21 August 2011

Resensi Buku-131: ANTARA KETAT DAN LONGGAR (Bp. Heman Elia, S.Psi., M.Psi.)

Anak adalah anugerah Allah yang dititipkan kepada setiap orangtua. Adalah suatu kewajiban orangtua untuk membesarkan anak di dalam takut akan Tuhan. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mendidik anak di dalam Tuhan? Beberapa orangtua mengambil jalur ekstrem, misalnya ada yang terlalu melindungi anaknya (over-protective), di sisi lain ada yang terlalu melepaskan anaknya. Benarkah kedua ekstrem demikian?


Temukan jawabannya dalam:
Buku
ANTARA KETAT DAN LONGGAR

oleh: Bp. Heman Elia, S.Psi., M.Psi.

Penerbit:
Literatur Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang dan Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK)



Melalui bijaksana dari firman Tuhan, Bp. Herman Elia, M.Psi. menyadarkan kita pentingnya keseimbangan di dalam mendidik anak: memberikan pendidikan dan pelajaran yang ketat kepada anak dan mulai melepas mereka secara perlahan ketika mereka sudah bertumbuh dewasa. Ketika orangtua mencoba melepas anak secara perlahan, di saat itulah, orangtua sedang memberi kepercayaan kepada si anak untuk memikul tanggung jawab. Sehingga ketika si anak menyalahgunakan kepercayaan tersebut, maka orangtua wajib menghukum, namun TIDAK perlu sampai memprotect anak secara berlebihan. Tujuan keseimbangan tersebut adalah untuk mendewasakan si anak sehingga nantinya si anak bisa memikul tanggung jawab. Biarlah buklet kecil ini dapat menjadi pelajaran bagi orangtua Kristen untuk mendidik anak secara bertanggungjawab.



Profil Heman Elia, M.Psi.:
Heman Elia, S.Psi., M.Psi. adalah dosen Psikologi dan Konseling di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Psikologi (S.Psi.) di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan Magister Psikologi (M.Psi.) di Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta.

Bagian 8: "DAN JANGANLAH MEMBAWA KAMI KE DALAM PENCOBAAN"

TUHAN, AJARLAH KAMI BERDOA-8

(Seri Pengajaran Doa Bapa Kami):

“dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan”

(Mat. 6:13a)

oleh: Denny Teguh Sutandio

Permintaan kita ketiga yang Kristus ajarkan agar Allah tidak membawa kita ke dalam pencobaan. Kata “pencobaan” dalam ayat ini dalam bahasa Yunaninya peirasmon bisa diterjemahkan sebagai ujian atau pencobaan dan terjemahan itu harus disesuaikan dengan konteksnya. Peirasmon di dalam 1 Petrus 4:12 diterjemahkan sebagai ujian dan itu sesuai dengan konteksnya yaitu penderitaan Kristus (ay. 13), sedangkan peirasmon di dalam Matius 26:41 lebih tepat diterjemahkan sebagai pencobaan karena kata itu disusul dengan perkataan Tuhan Yesus selanjutnya, “roh memang penurut, tetapi daging lemah.

Lalu, bagaimana dengan Yakobus 1:12-13? Di Yakobus 1:12, Tuhan berfirman melalui Yakobus, “Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia.” Apakah kata peirasmon di ayat ini tepat jika diterjemahkan sebagai pencobaan? TIDAK. Jika kita meneliti ayat ini, maka terjemahan kata “pencobaan” ini jelas tidak cocok, karena ayat ini didahului oleh kata “Berbahagialah” (Yun.: makarios; Ing.: blessed). Di dalam Alkitab, pencobaan merujuk kepada sesuatu yang jahat dan berpotensi menjatuhkan (misalnya: pencobaan Yesus oleh iblis di Mat. 4:1-11).

Pdt. Yakub Tri Handoko, Th.M. menerjemahkan kata peirasmon di ayat 12 ini sebagai ujian, karena “Alkitab secara konsisten mengajarkan bahwa pencobaan harus dilawan, baik dengan menjauhkan diri dari pencobaan (Mat. 6:13; 26:41) maupun melawan iblis (Yak. 4:7; 1Ptr. 5:8-9).”[1]

Sedangkan di Yakobus 1:13, kata dicobai (Yun.: peirazomenos) lebih tepat diterjemahkan sebagai pencobaan/dicobai dan bukan pengujian/diuji. Mengapa? Karena di ayat ini, Yakobus hendak mengajar penerima suratnya agar jangan menyalahkan Allah sebagai sumber pencobaan (jangan mengatakan bahwa kita sedang dicobai Allah) “Sebab Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat, dan Ia sendiri tidak mencobai siapapun.” Jika ayat ini diterjemahkan sebagai ujian, maka tentu tidak mungkin Yakobus mengajar para pembaca suratnya agar tidak mengatakan Allah sedang menguji mereka, karena memang pengujian berasal dari Allah.

Selain itu, ayat 13 dilanjutkan oleh ayat 14, “Tetapi tiap-tiap orang dicobai (Yun.: peirazetai) oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya.” Lebih tidak masuk akal lagi, jika kata peirazetai diterjemahkan sebagai ujian, karena tidak ada ujian yang berasal dari diri sendiri (yang ada hanyalah pencobaan) dan juga ujian tidak mungkin menyeret dan memikat kita (konotasi negatif). Yang biasa menyeret dan memikat manusia adalah pencobaan (bdk. ketika iblis mencobai Tuhan Yesus di Mat. 4:1-11).

Lalu, apa maksud Kristus mengajar kita memohon kepada Allah agar Allah tidak membawa kita kepada pencobaan, padahal Roh sendiri membawa Yesus untuk dicobai iblis (Mat. 4:1)?

1. Pencobaan itu Sesuatu yang Sangat Berbahaya

Dengan permohonan agar Allah tidak membawa kita ke dalam pencobaan, Kristus hendak mengajar kita bahwa realitas pencobaan bukanlah realitas yang mudah, tetapi sangat sulit dan berbahaya. Terkadang, kita cenderung meremehkan pencobaan bahkan menghina mereka yang tersandung ke dalam pencobaan dunia, sehingga seolah-olah kita merasa lebih baik dan benar daripada mereka yang terjatuh ke dalam pencobaan. Sikap demikian merupakan suatu bentuk kesombongan terselubung.

Fakta membuktikan bahwa banyak orang Kristen yang dicobai dan beberapa terjatuh ke dalam pencobaan menunjukkan bahwa pencobaan itu benar-benar berbahaya, namun dibalut dengan “kulit luar” yang manis. Rev. Kris Lundgaard, M.Div. menyebutnya sebagai seni menipu dan mendefinisikannya sebagai “untuk membuat orang mempercayai hal yang bertolak belakang dari kenyataan, sehingga ia akan melakukan sesuatu yang jika bukan dengan cara demikian tidak akan ia lakukan. Inilah cara kedagingan membuatmu menjadi hamba dosa yang sukarela.”[2]

Dari definisi Rev. Kris Lundgaard, penipuan ini membuat orang:

a) mempercayai hal palsu/salah yang dianggapnya asli/benar

Sesuatu yang salah dan berdosa biasanya ditampilkan seolah-olah “benar”, sehingga hal itu mengakibatkan banyak orang mempercayainya sebagai kebenaran. Contoh, banyak orang dunia dengan etika situasi yang diimaninya percaya bahwa free-sex itu tidak salah, karena tindakan itu dipercaya muncul dari motivasi “kasih.”

b) melakukan apa yang dipercayainya meskipun itu salah.

Karena mempercayai hal yang seolah-olah “benar” dan sah itulah, banyak orang dunia melakukan apa yang dipercayainya, meskipun terbukti (nantinya) bahwa kepercayaan dan tindakan mereka itu salah. Contoh, karena percaya bahwa free-sex itu “benar” karena dilakukan dengan motivasi “kasih”, maka banyak anak muda mempraktikkan free-sex, sehingga beberapa gadis hamil di luar nikah dan tidak sedikit yang menggugurkan kandungannya karena belum siap merawat anak. Meskipun tindakan itu dapat dicegah dengan memakai kondom, tetapi tindakan itu didasarkan pada motivasi yang tidak beres yaitu demi seks. Akibatnya, pernikahan pun diidentikkan dengan kepuasan seks di mana hal ini tidak ada bedanya dengan pernikahan binatang yang demi nafsu birahi saja.

Makin seseorang melakukan hal-hal demikian, ia makin mirip binatang ketimbang manusia. Sungguh mengenaskan!

2. Kita Tidak Akan Sanggup Mengalahkan Pencobaan Dengan Kekuatan Sendiri.

Karena pencobaan itu sangat berbahaya, maka dengan berdoa agar Allah tidak membawa kita ke dalamnya, Kristus mengajar kita bahwa kita sendiri tidak akan sanggup mengalahkan pencobaan. Kita harus mengakui kelemahan kita sendiri dalam mengalahkan pencobaan. Sekali lagi, jangan pernah menyombongkan diri ketika kita menghadapi pencobaan, karena di saat kita sombong, kita sudah diperangkap oleh pencobaan itu sendiri dan itu mengakibatkan kita makin tidak bisa lepas dari pencobaan.

Kelemahan kita di dalam mengatasi pencobaan ditunjukkan dengan lemahnya kita mengikuti apa yang disodorkan oleh pencobaan. Mari kita berbicara jujur. Banyak cowok lemah dalam menghadapi pencobaan ketika di hadapan mereka, banyak cewek cantik dan seksi lewat atau mereka melihat cewek-cewek cantik dan seksi. Kelemahan itu berakibat mereka sering berfantasi hal-hal yang jorok.

Belajar mengaku kelemahan kita menolong kita mengintrospeksi bahwa kita tak mungkin bisa mengalahkan pencobaan dengan kekuatan sendiri. Lalu, siapakah yang dapat melepaskan kita dari pencobaan? Jelas, Allah! Di dalam 1 Korintus 10:13, Allah berjanji, “Pencobaan-pencobaan[3] yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” Dari ayat ini, kita dihiburkan dan dikuatkan Allah melalui janji-Nya:

a) Allah menyebut pencobaan yang kita alami itu adalah pencobaan biasa yang tidak akan melebihi kekuatan/kemampuan kita

Puji Tuhan, Ia menguatkan kita dengan menyebut pencobaan kita adalah pencobaan yang biasa sesuai standar dan urutan-Nya. Tetapi bukankah kita sering menganggap bahwa pencobaan kita adalah pencobaan yang amat berat kita tanggung? TIDAK! Allah yang sangat mengetahui kemampuan kita pasti mengetahui porsi pencobaan yang Ia izinkan agar kita tanggung. Melihat cara Allah menyebut pencobaan kita itu sebagai pencobaan yang biasa memerlukan mata iman yang tajam dan itu memerlukan proses yang lama menuju kedewasaan iman di dalam Kristus.

Makin seseorang beriman secara dewasa di dalam Kristus, ia makin menganggap pencobaan yang diizinkan Allah ini adalah pencobaan biasa, karena ia telah mengalami berbagai macam pencobaan. Saya menyebutnya sebagai latihan menghadapi pencobaan.

b) Allah itu setia yang akan memberikan jalan keluar kepada kita, sehingga kita mampu menanggung pencobaan itu.

Pencobaan kita bukan hanya pencobaan biasa di mata Allah, Ia mengatakan bahwa Ia adalah Allah yang setia yang akan memberikan jalan keluar kepada kita. Jalan keluar apa? Apakah jalan keluar itu membuat kita terbebas dari semua pencobaan? TIDAK! Justru jalan keluar yang Allah sediakan adalah jalan keluar berupa kekuatan yang dari Allah dalam menanggung pencobaan itu. Di sini, Ia membedakan dua macam kekuatan/kemampuan/kuasa (Yun.: dunamai): kemampuan manusia sendiri vs kemampuan manusia yang diberi kekuatan/kemampuan dari Allah. Melalui kemampuan yang Allah berikan kepada kita, maka kita dimampukan-Nya bertahan dalam pencobaan, sehingga kita tidak terjatuh ke dalam pencobaan. Puji Tuhan!

Biarlah melalui doa ini, kita diajar Kristus untuk berhati-hati terhadap pencobaan, namun tetap bergantung dan berharap terus-menerus kepada-Nya. Amin.



[1] Yakub Tri Handoko, Tafsiran Alkitab Untuk Awam: Surat Yakobus (Surabaya: Sekolah Theologi Awam Reformed, 2008), hlm. 61.

[2] Kris Lundgaard, Musuh dalam Diriku: Pembicaraan Terus Terang mengenai Kuasa dan Kekalahan Dosa, terj. Rosana Palatehan (Cetakan ke-3) (Surabaya: Momentum Christian Literature, 2010), hlm. 53.

[3] Dalam teks Yunani, kata “pencobaan-pencobaan” dalam ayat ini berbentuk tunggal (singular) dan menurut konteks, “pencobaan” ini merujuk kepada bentuk pencobaannya yang beraneka ragam: hal-hal yang jahat (ay. 6), penyembah-penyembah berhala (ay. 7), percabulan (ay. 8), mencobai Tuhan dengan menghina apa yang telah Allah berikan kepada mereka (ay. 9; bdk. Bil. 21:5-6).