29 January 2014

Buku ke-29: "JANGAN MENGHAKIMI!" Perspektif Alkitabiah (Denny Teguh Sutandio)


Di dalam Kekristenan dewasa ini, kita sering kali mendengar bahkan mungkin sekali mengatakan, “Jangan menghakimi!” ketika ada orang Kristen yang menegur theologi dari orang Kristen lainnya. Mengapa mereka berkata demikian? Benarkah konsep “Jangan menghakimi!” ini Alkitabiah? Apa yang Alkitab ajarkan tentang konsep menghakimi yang benar?

Temukan jawabannya dalam
Buku
“JANGAN MENGHAKIMI!”:
Perspektif Alkitabiah

oleh: Denny Teguh Sutandio

Penerbit: Sola Scriptura

Harga: Rp 40.000, 00/buku
+ ongkos kirim (tergantung lokasi)


Berminat?
Segera dapatkan buku ini dengan membelinya di:
Denny Teguh Sutandio (0878-5187-3719)

NB: Buku akan dikirimkan ke alamat pemesan setelah pemesan melakukan transfer biaya pesanannya paling lambat satu minggu setelah pemesan mendapat SMS balasan dari saya.



Apa kata mereka tentang buku ini?
“Banyak orang percaya masa kini yang belum memahami benar dengan Injil dan Sikap Menghakimi. Buku Denny Teguh Sutandio menjelaskan dengan gamblang dan Alkitabiah serta memberikan saran praktis untuk melaksanakannya. Saya sarankan agar setiap orang percaya membaca buku ini.”
Pdt. Lo Djin Tih, M.Th.
Gembala Sidang Gereja Kristus Tuhan (GKT) Anugerah, Surabaya

“Menyampaikan kebenaran dengan standar Firman Tuhan adalah wajib, namun bukan dengan kesombongan atau menganggap diri yang lebih baik.  Denny Teguh Sutandio menulis buku ini sangat baik, lugas, dan Alkitabiah dan wajib dibaca oleh semua orang yang mengakui dirinya Kristen, agar tidak tersesat dalam pemakaian istilah “Jangan Menghakimi!””
Pdt. Sucianto Nugroho, S.Th.
Pendeta di Gereja Kebangunan Kalam Allah Indonesia (GKKAI) Tenggilis Mejoyo, Surabaya

“Buku yang sangat aplikatif dan kontekstual berkaitan dengan kebiasaan lokal di Indonesia. Sebuah tinjauan theologis yang kritis, sekaligus logis serta obyektif. Sangat penting untuk menambah wawasan pemikiran Kristen.”
Ev. David Koesbianto, S.Th.
Spiritual Growth Manager di Universitas Pelita Harapan, Surabaya

27 January 2014

Renungan: "DOKTRIN DAN APLIKASI" (Denny Teguh Sutandio)


DOKTRIN DAN APLIKASI

oleh: Denny Teguh Sutandio



I. PENDAHULUAN
Apa yang ada di benak Anda ketika Anda mendengar atau mengucapkan kata “Kristen”? Apakah “Kristen” hanya sekadar nama sebuah agama? Tentu tidak. Nama “Kristen” sejatinya berarti “pengikut Kristus” di mana nama ini pertama kali merupakan ejekan oleh orang-orang sekuler kepada para pengikut Kristus pada zaman gereja mula-mula. Nah, karena berarti “pengikut Kristus”, maka setiap orang yang menyebut diri Kristen seharusnya mengenal (Ef. 4:13) dan meneladani Kristus (Flp. 2:1-11). Di sini, saya menyebut dua kata “mengenal” dan “meneladani”. Hal ini berarti di dalam Kekristenan, unsur pengajaran/pengenalan akan Allah (doktrin = ajaran) dan aplikasi tak bisa dilepaskan satu sama lain.


II. KETERPECAHAN DALAM KEKRISTENAN
Namun sayangnya di dalam Kekristenan abad ini khususnya di Indonesia aspek pengajaran dan aplikasi terpisah.
A. Penekanan Pada Aplikasi Secara Berlebihan
Banyak pemimpin gereja yang terus menekankan aplikasi hidup yang ujung-ujungnya pada moralitas “Kristiani” yang hampir tidak bisa dibedakan dari moralitas non-Kristen. Hal ini terjadi baik pada banyak gereja arus utama maupun gereja kontemporer. Ada satu gereja di mana pendeta yang menonjol di gereja itu masih muda selalu menekankan aspek praktis, misalnya hubungan mertua-menantu, hubungan pribadi dengan Allah, dll, tetapi melupakan aspek pengajaran. Meskipun di dalam bukunya maupun di dalam Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) yang ia pimpin, sang pendeta muda ini mengatakan bahwa otoritas tertinggi adalah Alkitab, tetapi pada praktiknya, ia tak pernah sedikit pun menguji pengalaman yang ia terima berdasarkan Alkitab. Biasanya salah satu cirinya adalah baik pemimpin gereja maupun jemaatnya sering melontarkan perkataan, “Sudahlah, jangan doktrin tok. Yang penting perbuatannya.”

Lalu, apa sebenarnya yang melatarbelakangi gejala di atas?
1. Kekristenan Bukanlah Agama, Tetapi Hubungan/Relasi
Bagi beberapa pemimpin gereja kontemporer dan banyak orang Kristen, Kekristenan dianggap sebuah relasi/hubungan, bukan sebuah agama. Karena merupakan relasi, maka bagi mereka, Kekristenan lebih menekankan hubungan subyektif umat Allah dengan Allah. Jangan heran, dari pola pikir ini, bagi mereka, doktrin tidaklah penting. Karena menganggap doktrin tidak penting, maka jangan heran, ada pemimpin gereja yang tidak konsisten di dalam pengajaran doktrinalnya, terkadang Calvinisme (Reformed), terkadang Arminianisme.1

2. Pragmatisme
Selain itu, penyebab konsep “doktrin tidak penting, yang penting perbuatannya” adalah gejala pragmatisme yang sedang merajalela di kalangan Kekristenan. Banyak orang Kristen yang notabene sibuk di dalam urusan pekerjaan baik sebagai usahawan maupun pekerja kantor merasa bahwa dari hari Senin s/d Sabtu (atau Jumat), mereka sudah letih bekerja dan hari Minggu dipergunakan oleh banyak orang Kristen untuk beribadah di gereja. Keletihan bekerja selama 5 ½ -6 hari ini mengakibatkan mereka mencari gereja-gereja di mana si pengkhotbah mengkhotbahkan hal-hal yang mudah dicerna ditambah dengan lelucon (kalau perlu dari awal hingga akhir khotbah penuh dengan lelucon). Kegemaran mereka mendengarkan khotbah yang mudah dicerna diwujudkan dengan sikap mereka yang suka sekali mendengarkan khotbah yang menyenangkan telinga mereka, misalnya mengajarkan bahwa percaya Yesus pasti kaya, tidak pernah sakit, bahkan tidak pernah digigit nyamuk. Jangan heran, kalau ada pengkhotbah yang menguraikan Alkitab dan doktrin Kristen dengan bertanggung jawab, mereka akan menganggapnya sebagai “teori saja” dan akan “menghakimi” si pengkhotbah bahwa khotbahnya tidak bagus. Jadi, bagus atau tidaknya khotbah diukur dari seberapa si pendengar tertarik dan merasa disenangkan oleh pengkhotbah melalui khotbahnya.

3. Kejenuhan Dengan Berbagai Perdebatan Theologis yang Tidak Penting
Penyebab terakhir penekanan berlebihan terhadap aspek praktika adalah karena beberapa pemimpin gereja dan banyak orang Kristen jenuh dengan berbagai perdebatan theologis yang tidak penting. Belajar doktrin tentu penting, tetapi terkadang beberapa orang Kristen dan pemimpin gereja yang menggemari theologi menjadi terlalu mengurusi perbedaan theologi untuk hal yang sangat minor, sehingga akibatnya timbullah perdebatan yang tidak perlu. Hal inilah yang mengakibatkan banyak orang Kristen merasa jenuh dan akhirnya mengeluarkan pernyataan, “Percuma doktrin tok, yang penting perbuatannya.”

B. Penekanan Pada Doktrin Secara Berlebihan
Beberapa pemimpin gereja dan beberapa orang Kristen sadar akan bahaya jika mengabaikan doktrin (ajaran) Kristen, maka mereka membentuk sebuah persekutuan dan gereja yang benar-benar mengajarkan doktrin secara bertanggung jawab. Mereka rajin mengadakan seminar, pembinaan, kuliah theologi awam, bahkan membuka toko buku rohani yang menjual buku-buku theologi bermutu yang terseleksi ketat. Tentu hal-hal tersebut tidaklah salah, tetapi yang menjadi permasalahannya, beberapa orang Kristen yang menggemari belajar doktrin Kristen ini akhirnya menjadi terlalu doktrinal dan hampir melupakan aspek lain dalam Kekristenan yaitu kerohanian dan aplikasi. Kebanyakan mereka akan sangat alergi ketika mendengar kata “pengalaman” bahkan jika kata itu diucapkan oleh temannya yang sealiran theologi dengannya. Akhirnya mereka akan menjadi pribadi-pribadi yang ke mana-mana kerjaannya hanya satu, yaitu “menghakimi” orang lain untuk hal-hal yang tidak penting. Atau mungkin juga ada beberapa orang Kristen yang suka membaca buku-buku theologi bahkan aktif melayani di gereja atau persekutuan kampus, tetapi ia tetap merupakan orang yang membohongi orang lain.

Lalu, apa yang melatarbelakangi gejala ini? Penyebabnya hanya satu, yaitu bagi mereka, doktrin itu terpenting, bahkan dapat dikatakan “segala-galanya.” Bagi mereka, doktrin itu terpenting karena tanpa doktrin, bangunan iman Kristen akan runtuh. Dengan alasan inilah, para penggemar theologi yang melayani sebagai pendeta akan berusaha sungguh-sungguh mengadakan seminar atau pembinaan iman di berbagai tempat dengan tema-tema theologis. Lebih tajam lagi, bagi banyak penggemar theologi (istilah dari saya pribadi), orang Kristen yang tidak mengerti doktrin bukanlah orang Kristen. Jika ia bertemu dengan orang Kristen lain yang tidak mengerti Allah Tritunggal, ia bukannya dengan kasih menuntun mereka, malahan mungkin sekali ia akan mencibir orang tersebut dengan bergumam dalam hati (atau berkata langsung), “Sudah puluhan tahun menjadi orang Kristen, masa tidak mengerti Allah Tritunggal?” Jika ada saudara seimannya yang menegurnya karena terlalu ekstrem, beberapa penggemar theologi akan mengeluarkan jurus sakti untuk membela kelemahannya dengan jargon-jargon theologi dan Alkitab. Tidak ada spirit kerendahan hati dan mau diajar (teachable) di dalam diri banyak penggemar theologi.


III. MENGINTEGRASIKAN DOKTRIN DAN APLIKASI
Di tengah ketimpangan di dalam Kekristenan yang terlalu menekankan aplikasi atau/dan doktrin, maka Kekristenan yang sehat dan Alkitabiah adalah Kekristenan yang terintegrasi yang mengintegrasikan antara doktrin yang ketat dan bertanggung jawab dengan aplikasi praktis. Mari kita menyimak pengajaran Alkitab tentang hal ini dan aplikasi praktis integrasinya.
A. Pengajaran Alkitab
Jika kita membaca Alkitab khususnya Perjanjian Baru, kita mendapati bahwa doktrin dan aplikasi tidak terpisah. Di dalam Injil, khususnya Injil Matius 5-7, kita menjumpai catatan Matius tentang khotbah Yesus di atas bukit yang menyentuh baik aspek doktrinal yaitu pengenalan akan Allah yang Mahatahu (Mat. 6:6, 8) dan Pemelihara hidup umat-Nya (Mat. 6:25-26) sekaligus aplikasinya yaitu berdoa tanpa memaksa Allah dengan bertele-tele (Mat. 6:7-8) dan hidup tidak kuatir (Mat. 6:31-34). Selain itu, Kristus bukan hanya mengajar tentang pentingnya mengasihi musuh kita (Mat. 5:44), tetapi Ia sendiri mengaplikasikannya dengan mengampuni orang-orang yang telah menyalibkan-Nya (Luk. 23:34).

Di dalam surat-surat rasuli, kita mendapati hal serupa. Di dalam hampir setiap surat yang ditulis Paulus, Petrus, dll, selalu ada 2 bagian yaitu bagian doktrinal dan aplikatif/praktika. Misalnya, surat Paulus kepada jemaat di Roma mengandung dua bagian: bagian doktrinal (Rm. 1 s/d 11) dan praktika/aplikatif (Rm. 12 s/d 15). Hal yang sama juga terdapat di surat Paulus kepada jemaat di Galatia: Galatia 1 s/d 3 mengandung bagian doktrinal disusul dengan 3 pasal terakhir yang mengandung bagian aplikatif.

Format agak berbeda muncul di dalam surat-surat Paulus lainnya, yaitu bagian doktrinal langsung diikuti bagian praktika, kemudian doktrinal, lalu disusul praktika, dst. Misalnya, permasalahan perpecahan jemaat di dalam Korintus (masalah praktika) diatasi Paulus dengan mengajar tentang peran berbeda di dalam pengutusan Kristus (1Kor. 1:17a) yang berpusat pada salib Kristus yang merupakan hikmat Allah (ay. 17b-18) (aspek doktrinal). Bukan hanya itu saja, Paulus mengamati bahwa problematika di balik perpecahan jemaat Korintus adalah karena mereka masih termasuk manusia duniawi yang masih memerlukan susu dan bukan makanan keras (1Kor. 3:2-3) (aspek doktrinal) dan itu diselesaikannya dengan mengajar bahwa para pelayan Kristus itu saling melengkapi (Paulus menanam, Apolos menyiram) dan yang terpenting adalah Kristus yang memberi pertumbuhan di dalam jemaat (ay. 5-11) (aspek praktika). Hal serupa juga muncul di surat Filipi: nasihat praktis Paulus untuk merendahkan diri (Flp. 2:3) (aspek praktika) didasarkan pada teladan Kristus yang meskipun adalah Allah rela mengosongkan diri dan menjadi seorang hamba yang taat sampai mati disali (ay. 5-11) (aspek doktrinal). Surat 1 Petrus juga sama, di mana Petrus menasihati orang-orang Kristen untuk tunduk kepada atasan dan siap menderita yang tidak harus mereka tanggung (1Ptr. 2:18-19) (bagian praktika) didasarkan pada konsep Kristus yang rela menderita (ay. 21) (bagian doktrinal).

Semua ini mengajarkan bahwa Alkitab sendiri tidak pernah memisahkan aspek doktrinal dan praktika di dalam iman Kristen.

B. Aplikasi Praktis
Jika Alkitab sendiri tidak memisahkan antara doktrin dan aplikasi, bagaimana dengan orang Kristen? Seharusnya orang Kristen tidak memisahkannya, tetapi mengintegrasikannya. Problematikanya adalah tidak mudah mengintegrasikan doktrin dan aplikasi di dalam kehidupan Kristen sehari-hari. Saya cukup prihatin dengan beberapa orang Kristen maupun non-Kristen yang dengan mudahnya berkata, “Doktrin/agama tidak penting, yang penting perbuatannya.” Kebanyakan orang yang berkata demikian tidak pernah menunjukkan perbuatan baiknya kepada orang lain. Sungguh ironis. Ini menunjukkan bahwa mengaplikasikan doktrin Kristen tidaklah mudah.
1. Integrasi Doktrin dan Aplikasi: Proses (yang Lama)
Komitmen mengintegrasikan doktrin dan aplikasi bukanlah pekerjaan yang mudah. Mengapa? Karena kita harus memperhatikan pentingnya proses di dalamnya. Artinya, perubahan hati dan tingkah laku tidak bisa sekali jadi (instan), tetapi berlangsung terus-menerus. Dan itu berarti kita sebagai orang Kristen harus siap dibentuk oleh Roh Kudus untuk makin serupa dengan Kristus di dalam segala aspek kehidupan kita. Ketika kita berbicara tentang proses di dalam mengintegrasikan doktrin dan aplikasi, kita akan memikirkan dua aspek di dalamnya, yaitu:
a) Proses: berubah secara perlahan
Ketika kita berbicara tentang “proses” di dalam mengintegrasikan doktrin dan aplikasi, kita berbicara tentang adanya proses perubahan yang berlangsung secara perlahan. Artinya, proses itu tidak terjadi di dalam waktu 1 menit atau 1 hari, kemungkinan sekali proses itu berlangsung hingga kita meninggal. Yang jelas ada kemajuan perlahan di dalam proses perubahan tersebut. Misalnya, hari ini kita masih suka berdusta kepada orang lain, tetapi bulan depan, kita mencoba mengurangi dusta itu, dan di tahun depan, kita sudah menghilangkan kebiasaan berdusta dan gemar berkata jujur kepada orang lain. Proses dari gemar berdusta menjadi gemar berkata jujur memerlukan waktu yang tidak singkat. Saya mengambil contoh dari proses yang saya jalani sendiri: dahulu saya orangnya egois dan kurang bisa mengerti orang lain, tetapi secara proses, saat ini ketika berkomunikasi dengan orang lain, saya berusaha memahami orang lain dari perspektif orang lain, bukan dari perspektif saya sendiri. Tentu saja saya tidak sempurna menjalankan hal ini, tetapi setidaknya saya mau berproses.

b) Proses: jatuh bangun di dalam iman
Karena proses itu merupakan suatu hal yang terjadi secara perlahan, maka otomatis proses yang terjadi bukanlah suatu proses yang mulus. Artinya, di dalam proses mengintegrasikan doktrin dan aplikasi hidup, pasti terdapat unsur jatuh bangun di dalam iman. Mungkin di hari ini, kita disadarkan oleh firman Tuhan bahwa pentingnya rendah hati, tetapi besok, kita melupakannya, kemudian lusa, kita diingatkan oleh saudara seiman kita, lalu esok harinya kita melupakannya.

2. Kesulitan Mengintegrasikan Antara Doktrin dan Aplikasi
Di dalam proses jatuh bangun di dalam iman di dalam mengintegrasikan doktrin dan aplikasi, kita harus mengakui bahwa kita pasti menjumpai berbagai kesulitan menjalankannya. Mari kita memikirkan kesulitan apa saja yang kita hadapi di dalam mengintegrasikan antara doktrin dan aplikasi, lalu bagaimana solusinya.
a) Kesulitan internal: kedagingan/keinginan daging
Sebagai orang Kristen, kita sudah diajar tentang pentingnya rendah hati, mengasihi musuh, dll, namun ketika kita berusaha menjalankannya, kita menjumpai kesulitan di mana kesulitan itu diakibatkan oleh keinginan daging di dalam diri kita. Pergumulan yang tak pernah berhenti ini juga dialami Paulus ketika ia mengungkapkan bahwa apa yang ia kehendaki justru tidak ia kerjakan, tetapi sebaliknya: ia mengerjakan apa yang tidak ia kehendaki (Rm. 7:19-23). Hal yang sama juga terjadi pada Petrus yang berlaku munafik di mana ia ditegur Paulus (Gal. 2:11-14). Para rasul Kristus pun pernah jatuh ke dalam keinginan daging, maka kita pun tidak mungkin luput dari kesulitan ini.

Alkitab jelas mengajar bahwa keinginan daging bertentangan dengan Allah alias Allah membencinya (Gal. 5:17; Rm. 8:7). Selain itu, keinginan daging itu mengikat kita. Paulus mengajar hal ini di Galatia 4:3, “Demikian pula kita: selama kita belum akil balig, kita takluk juga kepada roh-roh dunia.” “Akil balig” dalam teks Yunaninya νήπιοι (nētioi) yang berasal dari kata νήπιος (nētios) yang dalam konteks ini berarti “kecil” atau “belum dewasa” (bdk. 1Tes. 2:7). Tentu “akil balig” yang Paulus maksudkan di Galatia 4:3 bukan secara harfiah, tetapi secara rohani di mana maksudnya ketika jemaat Galatia belum menerima Kristus (bdk. ay. 4), mereka takluk kepada roh-roh dunia, tetapi setelah Kristus menyelamatkan mereka, mereka menjadi anak-anak Allah yang seharusnya tidak lagi takluk kepada roh-roh dunia (ay. 5-9). Kata “takluk” dalam teks Yunaninya δεδουλωμένοι (dedoulōmenoi) berarti “diperbudak” di mana kata ini merupakan kata kerja bentuk pasif dari kata dasar δουλόω (douloō) yang berarti “budak.” Artinya, pada waktu kita belum menerima Kristus, kita diperbudak oleh roh-roh dunia. Penggunaan kata “diperbudak” lebih jelas ketimbang “takluk.” Mengapa? Karena ketika Paulus mengajar bahwa kita diperbudak oleh roh-roh dunia, itu berarti kita benar-benar terikat pada roh-roh dunia di mana kita menjadi budaknya dan kita tak akan bisa terlepas jika Allah tidak melepaskannya melalui penebusan Kristus. Terikatnya kita dengan keinginan daging mengakibatkan kita menjadi hamba dosa (Yoh. 8:34; Rm. 6:16) di mana kita terus memikirkan hal-hal daging (Rm. 8:5).

Lalu, apa saja yang termasuk keinginan daging ini? Paulus mendaftarkannya di dalam Galatia 5:19-21a,
19…percabulan, kecemaran, hawa nafsu,
20penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah,
21kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya.
Keinginan daging di atas meliputi secara religius (penyembahan berhala, sihir), etika (perseteruan, perselisihan, amarah, dll), maupun moral (percabulan, kecemaran, hawa nafsu). Ini berarti keinginan daging mencakup segala sesuatu mulai dari hati, pikiran, hingga tindakan. Kita tidak akan menjelaskan semua yang didaftarkan Paulus di atas, tetapi kita akan merenungkan beberapa di antaranya.

Bagaimana mengaplikasikan konsep di atas? Pada hari Minggu di gereja, kita mendengar sang pendeta mengkhotbahkan bahwa orang Kristen harus hidup suci. Meskipun kita mendengarkan khotbah itu dengan seksama, tetapi keinginan daging terus memaksa kita untuk berbuat sesuatu yang tidak suci dengan cara merayu kita tentang nikmatnya percabulan, dll dan betapa tersiksanya hidup suci.

Begitu juga halnya dengan kemarahan. Kita tahu bahwa Alkitab mengajar kita bahwa jika kita marah, jangan berdosa dan jangan sampai matahari terbenam (Ef. 4:26), tetapi keinginan daging yang berpusat pada diri ini terus merayu kita untuk marah bahkan tentang hal-hal yang tidak penting. Misalnya, ketika ada seorang supir mikrolet/bemo atau pengendara sepeda motor menyerobot kita tatkala kita sedang mengemudikan mobil, apa yang akan kita lakukan? Marah? Hal-hal seperti itu sudah biasa terjadi di Indonesia dan itu seharusnya tidak membuat kita marah apalagi mengeluarkan kata-kata makian.

Hal yang sama juga dengan perselisihan. Kita tahu dari Alkitab bahwa sesama pelayan Tuhan harus tidak boleh bertengkar (2Tim. 2:24), tetapi kita menjumpai beberapa pendeta saling bertengkar bahkan untuk hal-hal yang tidak penting. Bahkan pertengkaran itu mengakibatkan salah satu pendeta menyebut pendeta lain yang berbeda doktrin sekunder dengannya sebagai “sesat”. Atas nama kemurnian doktrin sesuai dengan Alkitab, kita dengan mudahnya bertengkar dengan pendeta lain tanpa memperhatikan hal yang lebih penting lagi. Gereja-gereja pun tidak kalah bertengkar. Menurut pengakuan teman saya yang melayani di sebuah gereja Injili di Surabaya (sebut saja: gereja Y), ada jemaat gereja X yang pindah ke gereja Y yang secara theologis masih mirip sudah dicap oleh pendeta gereja X sebagai “jemaat yang tidak setia.” Saya heran, jemaat disuruh setia kepada siapa? Bukankah setia hanya kepada Kristus? Mengapa kok menjadi setia kepada gereja? Di mana dasar Alkitabnya?

Perselisihan yang paling parah dalam bentuk roh pemecah (Gal. 5:21). Kata Yunani yang dipakai adalah αἱρέσεις (haireseis) yang berasal dari kata αἵρεσις (hairesis) yang dalam konteks ini berarti “perpecahan” (bdk. 1Kor. 11:19). Kita tahu dari Alkitab bahwa kita harus bersatu di dalam Kristus (Yoh. 17:21), tetapi di dalam sejarah gereja, kita telah menyimak fakta perpecahan di mana gereja Timur pecah dengan gereja Barat pada abad XI. Kemudian hingga tahun ini, kita mengamati begitu banyak gereja terpecah-pecah. Perpecahan karena doktrin primer (Allah Tritunggal, Kristus sebagai Allah dan manusia, kelahiran Kristus dari anak dara Maria, Kristus sebagai satu-satunya Juruselamat, dll) masih bisa dipahami, tetapi sering kali perpecahan gereja terjadi karena hal-hal yang tidak penting bahkan sangat remeh yaitu masalah uang. Di Indonesia, karena satu gereja di sebuah kota tidak menyetorkan uang hasil persembahan ke sinode pusat gereja tersebut, maka ketua sinode gereja mengeluarkan gereja tersebut. Perselisihan antar gereja yang satu theologi pun terkadang berakibat pada perpecahan dan tidak ada kesatuan di dalamnya. Gereja X tidak mau mendukung kegiatan gereja Y dan begitu pula sebaliknya. Ataupun gereja X ingin kegiatannya dipublikasikan di gereja Y, tetapi gereja X tidak mau kegiatan gereja Y dipublikasikan di gereja X. Bukan hanya perpecahan, tetapi keegoisan juga telah merajalela bahkan di dalam gereja dengan dalih “kemurnian doktrin”. Sungguh memprihatinkan.

b) Kesulitan eksternal: faktor lingkungan dan masyarakat yang menggoda
Biasanya keinginan daging bukan hanya berasal dari diri kita, tetapi juga dari pihak luar yaitu godaan lingkungan dan masyarakat. Godaan lingkungan dan masyarakat itu mencakup godaan berupa filsafat/gaya hidup manusia sekitar maupun barang-barang mati (media elektronik maupun cetak). Kita tahu bahwa kita tidak boleh marah sampai berdosa, tetapi keinginan daging merayu kita untuk melampiaskan kemarahan kita dan keinginan daging ini ditunjang dengan faktor lingkungan di sekitar kita, misalnya supir bemo atau pengendara sepeda motor yang tiba-tiba menyerobot kita (jika kita mengendarai mobil) atau karyawan kita di perusahaan yang sangat lambat bekerja (jika kita sebagai direktur). Kita tahu dari Alkitab bahwa kita harus hidup kudus, tetapi lingkungan kita mengindoktrinasi kita bahwa hidup tidak kudus itu adalah menyenangkan melalui berbagai media elektronik maupun cetak yang menampilkan gambar-gambar dan video porno.

Kita tahu dari Alkitab bahwa sesama saudara seiman harus saling bersatu (Yoh. 17:21), tetapi keinginan daging yang berwujud perpecahan ditunggangi dengan fakta menariknya gereja lain yang sama theologinya mengakibatkan suatu gereja bertengkar bahkan bermusuhan. Maksudnya mungkin sekali pendeta gereja Y mengadakan seminar atau pembinaan theologi dengan tema yang lebih bervariasi dari pendeta gereja X yang selalu mengadakan seminar dengan tema yang itu-itu saja, lalu pendeta gereja X merasa “disaingi” oleh pendeta gereja Y. Variasi tema seminar merupakan faktor eksternal yang memicu adanya perpecahan. Karena alasan ini, maka pendeta gereja X melarang secara implisit jemaatnya untuk mengikuti kegiatan gereja Y. Bahkan ada pendeta dari gereja X yang memblacklist jemaat yang mengikuti pembinaan yang diselenggarakan oleh gereja Y padahal secara theologis, gereja X dan Y sama theologinya. Sungguh memprihatinkan.

3. Berusaha Mengintegrasikan Antara Doktrin dan Aplikasi
Kesulitan mengintegrasikan antara doktrin dan aplikasi harus segera diatasi, tetapi kita perlu mengingat bahwa solusi atas kesulitan ini bukanlah solusi instan, melainkan solusi proses di mana kita terus-menerus dibentuk oleh Roh Kudus untuk memuliakan-Nya. Solusi proses seperti apa? Solusi prosesnya adalah mencoba menghidupi doktrin yang telah kita pelajari. Bagaimana caranya? Caranya adalah dengan:
a) Tanyakan kepada diri kita apakah kita sudah mengalami dan menjalankan firman Allah?
Mencoba menghidupi doktrin yang telah kita pelajari itu dengan cara menanyakan kepada diri kita apakah kita sudah mengalami dan menjalankan firman Allah. Sering kali bagi para penggemar theologi, kita mudah sekali mengisi otak kita dengan berbagai pengajaran doktrinal baik melalui buku, seminar, khotbah, dll, tetapi kita sering kali lupa menjadikan pengajaran itu refleksi bagi kita. Jika kita belajar bahwa Allah itu berdaulat mutlak atas segala sesuatu, mulai sekarang, tanyakan kepada diri kita, apakah kita sudah mengalami Allah yang berdaulat mutlak itu di dalam kehidupan kita, meskipun kita tidak melihat segala sesuatu di depan kita? Sudahkah kita taat pada Allah yang berdaulat itu? Jika kita belajar tentang penebusan Kristus, sudahkah kita mengalami anugerah itu di dalam hidup kita? Sudahkah itu mengubah hidup kita? Jika kita belajar doktrin bahwa kita harus memuliakan Allah, tanyakan kepada diri, sudah sejauh mana kita memuliakan-Nya?

b) Tanyakan kepada diri kita apa yang harus kita lakukan tatkala Allah berkata sesuatu?
Terakhir, bukan hanya tanyakan kepada diri kita tentang apakah kita sudah mengalami dan menjalankan firman, kita juga perlu bertanya kepada diri kita tentang apa yang harus kita kerjakan tatkala firman Allah berkata sesuatu. Hal ini berbicara tentang tujuan ke depan di dalam hidup kita. Ketika Alkitab berkata agar kita rendah hati, tanyakan kepada diri kita sendiri, sudah siapkah kita berkomitmen untuk merendahkan hati kita di hadapan-Nya.

Dengan berani bertanya kepada diri kita, di saat itu kita sedang membuka gerakan Roh Kudus yang melembutkan hati dan mendorong kita untuk taat kepada-Nya. Hal ini berarti proyek integrasi doktrin dan aplikasi dimulai oleh Roh Kudus secara aktif dan dikerjakan oleh umat-Nya juga secara aktif atas dorongan Roh Kudus.

4. Peran Saudara Seiman Di Dalam Mengintegrasikan Doktrin dan Aplikasi
Mengintegrasikan doktrin dan aplikasi sebenarnya bukan merupakan tugas masing-masing orang Kristen, tetapi tugas semua orang Kristen secara bersama. Oleh karena itu, saudara seiman berperang penting di dalam proses integrasi doktrin dan aplikasi. Saya sendiri banyak mengalami betapa pentingnya peran saudara seiman di dalam proses saya mengintegrasikan doktrin dan aplikasi. Saya banyak mendapat pengajaran dari Ev. Bedjo Lie, Th.M. yang menasihati saya untuk membaca buku-buku tentang hubungan pria dan wanita selain membaca buku-buku theologi, sehingga saya lebih mengerti aplikasi, selain doktrin. Kemudian saya juga banyak belajar dari beberapa teman Kristen saya di luar gereja saya tentang pentingnya mengintegrasikan doktrin dan aplikasi. Semuanya ini mengajar kita bahwa doktrin bukan segala-galanya. Saya percaya bahwa doktrin itu penting bagi orang Kristen, tetapi berhati-hatilah terhadap memberhalakan doktrin seolah-olah orang Kristen harus memiliki doktrin tingkat tinggi terlebih dahulu baru bisa masuk Sorga.


KESIMPULAN
Di tengah keterpecahan antara doktrin dan aplikasi, orang Kristen dipanggil untuk menjadi garam dan terang bagi dunia yang berusaha menjalankan firman Allah di dalam kehidupan sehari-hari, sehingga orang luar dapat melihat tingkah laku kita dan memuliakan Allah. Doktrin itu memang penting, tetapi juga harus disertai dengan kerohanian yang mantap dan aplikasi yang mendarat. Hal ini sangat sulit, tetapi mulailah berkomitmen untuk mengintegrasikan antara doktrin dan aplikasi dengan pertolongan Roh Kudus. Amin. Soli Deo Gloria.


Catatan kaki:
1Theologi Reformed atau Calvinisme menekankan kedaulatan Allah mutlak atas segala sesuatu, termasuk di dalam keselamatan umat-Nya, sehingga Calvinisme mengajarkan bahwa dari antara semua manusia yang telah rusak total akibat dosa, Allah memilih beberapa manusia itu untuk menjadi umat pilihan-Nya tanpa melihat jasa baik manusia, di mana pemilihan itu direalisasikan oleh Kristus yang diutus untuk menebus dosa umat pilihan-Nya, kemudian karya penebusan Kristus ini diefektifkan oleh Roh Kudus ke dalam hati umat pilihan-Nya, di mana anugerah ini tidak dapat ditolak, dan terakhir Allah akan menyempurnakan keselamatan yang telah dimulai-Nya itu dengan menjaga keselamatan umat-Nya, sehingga mereka tidak akan binasa selama-lamanya. Berbeda dengan Calvinisme, Arminianisme mengajarkan kedaulatan Allah yang tidak mutlak, di mana berkaitan dengan keselamatan, dari antara manusia yang tidak sepenuhnya rusak total, Allah memilih beberapa manusia untuk menjadi umat-Nya setelah Allah terlebih dahulu melihat bahwa orang-orang ini berespons terhadap Allah, kemudian Bapa mengutus Kristus untuk menebus dosa semua manusia dan karya penebusan Kristus ini diefektifkan oleh Roh Kudus di dalam hati orang yang akan percaya, tetapi karya Allah ini dapat ditolak oleh manusia melalui kehendak bebasnya. Bagi mereka yang menerima anugerah keselamatan, mereka harus menjaga keselamatan mereka agar tidak binasa.

26 January 2014

Resensi Buku-252: MANUSIA SEJATI, MANUSIA SUKSES (Tumbur Tobing, M.B.A.)


Di zaman ini, begitu banyak motivator berkeliaran mengajar manusia bahwa manusia itu adalah pribadi yang hebat dan mampu menciptakan kesuksesan. Bahkan seorang motivator cukup terkenal meneriakkan slogan, “Sukses Adalah Hak Saya”. Apa sebenarnya makna kesuksesan menurut Kekristenan?

Temukan jawabannya dalam:
Buku
MANUSIA SEJATI, MANUSIA SUKSES:
Success Is Not My Right

oleh: Tumbur Tobing, M.B.A.

Penerbit: Yayasan Kalam Hidup, Bandung, 2009



Di dalam bukunya, bapak Tumbur Tobing memaparkan makna sukses menurut ukuran dunia vs perspektif Alkitab. Di bab 1, beliau menguraikan pandangan umum tentang kepuasan dan kesuksesan yang dikaitkan dengan latar belakang paganisme dan teknik motivasi ala Gerakan Zaman Baru. Kemudian, di bab 2, beliau menganalisa pertanyaan, dari manakah kesuksesan itu: usaha Allah atau usaha manusia. Di bab ini, beliau juga memaparkan problematika “theologi” kemakmuran yang menjamur di banyak gereja kontemporer dewasa ini. Melalui bab ini, beliau mengajarkan bahwa kesuksesan adalah usaha Allah yang harus ditanggapi oleh manusia melalui perspektif Allah dan firman-Nya. Nah, pola pikir di bab ini mengarahkan kita untuk mengerti bab 3 di mana ada 10 kiat sukses menurut perspektif Allah. Di bagian lampiran, ada 4 judul yang ingin dijelaskan pak Tumbur tentang perkataan Tuhan Yesus di kayu salib, profesi, dan kesuksesan.



Profil Penulis:
Tumbur Tobing, M.B.A. menjalankan usaha sendiri di bidang outsourcing and recruitment “transform” dan di bidang distribusi consumer goods “Tis General Trading and Distribution” sekaligus “T & T Management Consultant” yang memfokuskan diri pada integrasi antara iman Kristen dan workplace. Beliau menyelesaikan studi Master of Business Administration (M.B.A.) di Filipina pada tahun 1990. Beliau telah berpengalaman lebih dari 15 tahun di industri consumer goods, khususnya di bidang marketing dan sales baik di perusahaan multinasional maupun swasta nasional. Beliau juga menjadi anggota dewan eksekutif di Reformed Center for Religion and Society, Dewan Pengawas di Persekutuan Pembaca Alkitab (PPA), dan pembicara di persekutuan, kantor, kampus, gereja (remaja, pemuda, umum, professional), serta konsultan dan trainer (inhouse training) di beberapa perusahaan swasta. Beliau pernah mendalami theoogi untuk kaum awam selama 3 tahun di Sekolah Theologi Reformed Injili Jakarta (STIJ) dan saat ini sedang mendalami Theologi Mandat Budaya di Institut Reformed (sekarang: Sekolah Tinggi Theologi Reformed Injili Internasional), Jakarta.

19 January 2014

Resensi Buku-251: BAGAIMANA PANDANGAN KRISTUS AKAN GEREJA? (Rev. DR. JOHN R. W. STOTT, C.B.E.)


Gereja adalah perkumpulan orang-orang percaya yang dahulu berdosa namun telah dibenarkan oleh Kristus. Paradoksikal ini mengakibatkan meskipun sebagai tubuh Kristus, gereja yang terdiri dari berbagai macam orang mengalami jatuh bangun dalam iman, ada yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Bagaimana Kristus sendiri sebagai Kepala Gereja memandang gereja?

Temukan jawabannya dalam:
Buku
BAGAIMANA PANDANGAN KRISTUS AKAN GEREJA?:
Pemahaman Berdasarkan Kitab Wahyu 2-3

oleh: Rev. DR. JOHN R. W. STOTT, C.B.E.

Penerbit: Literatur SAAT Malang, 1999 (cetakan ke-4)

Penerjemah: Pdt. Hasan Sutanto



Dalam mengajar pandangan Kristus terhadap gereja, (alm.) Rev. Dr. John R. W. Stott mengambil perikop surat kepada ketujuh jemaat di kitab Wahyu 2-3. Sebelumnya, beliau menguraikan pendahuluan kitab Wahyu dengan menjelaskan 3 ciri khas kitab ini, yaitu kitab ini merupakan wahyu kepada gereja, diwahyukan oleh Tuhan Yesus, dan wahyu yang diberikan melalui Yohanes. Pendahuluan di Bab 1 ini menjadi pengantar kita memahami latar belakang singkat kitab Wahyu. Pengantar ini memimpin kita untuk menyelidiki isi dari pewahyuan Kristus melalui Yohanes kepada 7 jemaat, yaitu: Efesus, Smirna, Pergamus, Tiatira, Sardis, Filadelfia, dan Laodikia. Isi pewahyuan Kristus kepada 7 jemaat ini dijelaskan oleh Dr. Stott dengan penjelasan yang mudah dimengerti dengan mengaitkan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Setelah itu, Dr. Stott merefleksikan setiap isi surat kepada 7 jemaat itu ke dalam kehidupan Kristen sehari-hari di zaman sekarang. Biarlah buku pengantar studi Kitab Wahyu 2-3 ini memimpin hati dan pikiran kita untuk memahami apa yang Kristus kehendaki di setiap gereja.



Profil Rev. DR. JOHN R. W. STOTT:
(alm.) Rev. DR. JOHN ROBERT WALMSLEY STOTT, CBE adalah seorang pemimpin Kristen dari Inggris dan pendeta gereja Anglikan yang tercatat sebagai seorang pemimpin dari gerakan Injili di seluruh dunia. Beliau terkenal sebagai salah seorang penulis terpenting dari the Lausanne Covenant pada tahun 1974. Beliau lahir di London pada tahun 1921 dari Sir Arnold dan Lady Stott. Stott belajar modern languages di Trinity College, Cambridge di mana beliau lulus dengan dua gelar dalam bidang bahasa Prancis dan Theologi. Di universitas, beliau aktif di the Cambridge inter-collegiate Christian Union (CICCU).
Setelah ini, beliau berpindah ke Ridley Hall Theological College (juga the University of Cambridge) sehingga beliau dapat ditahbiskan menjadi pendeta Anglikan pada tahun 1945 dan menjadi pembantu pendeta di the Church of All Souls, Langham Place (1945-1950) (website: www.allsouls.org) kemudian Pendeta (1950-1975). Beliau dipilih menjadi Pendeta bagi Ratu Inggris Elizabeth II (1959-1991) dan Pendeta luar biasa pada tahun 1991. Beliau menerima CBE pada tahun 2006 dan menerima sejumlah gelar doktor kehormatan dari sekolah-sekolah di Amerika, Inggris dan Kanada. Salah satunya adalah Lambeth Doctorate of Divinity pada tahun 1983.

12 January 2014

Resensi Buku-250: DOSA-DOSA SPEKTAKULER DAN TUJUAN GLOBALNYA BAGI KEMULIAAN KRISTUS (Rev. John S. Piper, D.Theol.)


Allah adalah Allah yang berdaulat atas segala sesuatu termasuk dosa. Allah yang berdaulat atas dosa tidak berarti Allah menciptakan dosa, tetapi Allah yang menetapkan dosa yang bertujuan akhir untuk memuliakan Anak Tunggal-Nya yaitu Tuhan Yesus Kristus. Bagaimana kita mengerti kebenaran yang rumit ini?

Temukan jawabannya dalam:
Buku
DOSA-DOSA SPEKTAKULER 
DAN TUJUAN GLOBALNYA BAGI KEMULIAAN KRISTUS

oleh: Rev. John S. Piper, D.Theol.

Penerbit: Momentum Christian Literature, Surabaya, 2012

Penerjemah: Rosdiana Siregar



Di awal buku ini, Dr. John S. Piper mengatakan bahwa maksud buku ini ditulis adalah untuk menguatkan orang Kristen bahwa Allah adalah Allah yang berdaulat atas segala sesuatu termasuk kejahatan dan memaksudkan kejahatan itu demi menggenapkan kehendak-Nya yang mulia yaitu memuliakan Anak-Nya, Kristus. Di bab 1 dan 2, beliau menjelaskan maksudnya ini dengan mengaitkan kedaulatan Allah dan dosa. Kemudian di bab 3, beliau menjelaskan siapakah iblis dan apa kaitan Allah yang berdaulat dengan diizinkan iblis untuk hidup. Tujuan buku ini yaitu Allah yang berdaulat memakai dosa-dosa dan kejahatan untuk memuliakan Kristus diuraikan secara mendalam namun sederhana mulai bab 4 s/d 8 di mana melalui kisah-kisah Alkitab dari Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru, Dr. Piper membukakan hati dan pikiran kita betapa tokoh-tokoh Alkitab yaitu Adam, kecongkakan orang-orang yang melawan Allah dengan membangun menara Babel, Yusuf dijual, Daud, dan Yudas Iskariot yang melakukan dosa-dosa spektakuler atau/dan mengalami kejahatan dari orang lain ternyata membawa kemuliaan bagi Kristus. Biarlah melalui buku kecil ini, kita makin mengerti bahwa Allah adalah Allah yang berdaulat bahkan atas dosa dan penderitaan yang kita tanggung sambil tetap menyadari bahwa kita harus mengalahkan kejahatan dan dosa dengan iman kepada Kristus.



Rekomendasi:
“Ketika menyangkut holocaust dan kengerian-kengerian lainnya, kebanyakan dari kita berasumsi bahwa Allah tidak berdaya. Kita membayangkan Iblis melakukan pengrusakan ketika Allah tidak memperhatikan; kita merasionalisasi ‘kekeliruan-kekeliruan’ Allah, membayangkan bahwa Ia melepaskan tangan-Nya dari kemudi ketika tragedi-tragedi terjadi. Tetapi dari halaman-halaman Kitab Suci, John Piper melukiskan satu gambar yang berbeda yang akan menguatkan hati Anda, mendorong iman Anda, dan memperdalam pemahaman Anda akan ‘luasnya’ kedaulatan Allah.”
Joni Eareckson Tada
Joni and Friends International Disability Center

“Saya telah membaca buku ini dua kali. Kebenaran-kebenaran yang berbobot mengenai hikmat dan kuasa Allah yang berdaulat yang diuraikan di dalam halaman-halaman ini menciptakan di dalam diri saya perasaan bersyukur dan rasa aman yang ultimat. Diingatkan akan kuasa-Nya atas segala sesuatu sungguh merupakan hal yang tidak ternilai, dan saya pikir saya tidak akan pernah berkhotbah dengan cara yang sama lagi.”
Rev. Matt Chandler
Pendeta di The Village Church, Highland Village, Texas yang menyelesaikan studi Bachelor dalam bidang Alkitab di Hardin-Simmons University di Abilene, Texas.

“‘Wawasan dunia yang lembek menciptakan orang-orang Kristen yang lembek’ – demikian refrein dari buku ini. Tetapi wawasan dunia yang diberikan Dosa-dosa Spektakuler sama sekali tidak lembek. Wawasan dunia buku ini berani menanyakan – dan menjawab – pertanyaan yang paling sulit bagi orang Kristen: ‘Mengapa dosa, penderitaan, dan kejahatan eksis di dalam dunia di mana Allah berdaulat?” Dr. Piper telah memberikan theodise yang jujur, alkitabiah, dan pastoral bagi generasi kita. Halaman-halaman buku ini memberi terang di dalam ruang tergelap theologi Kristen.”
Rev. Rick Holland, D.Min.
Pendeta Senior di Mission Road Bible Church dan Pendiri the Resolved Conference (pelayanan yang memanggil generasi baru untuk menghidupi hidup dengan devosi yang serius kepada Yesus Kristus) yang menyelesaikan studi Bachelor of Science (B.S.) di the University of Tennessee, Chattanooga; Master of Divinity (M.Div.) di The Master’s Seminary; dan Doctor of Ministry (D.Min.) di The Southern Baptist Theological Seminary, U.S.A.

“Mustahil untuk benar-benar memahami dahsyatnya penghiburan dari kedaulatan Allah sebelum kita terlebih dahulu memikirkan kedaulatan tersebut di dalam terang sengsara, penderitaan, kejahatan, dan dosa. Di dalam buku kecil ini, John Piper memberikan hadiah yang berharga bagi gereja dengan menunjukkan bagaimana keterjatuhan dunia ini telah dirancang bagi kebaikan ultimat kita dan kemuliaan ultimat Allah. Buku ini adalah seruan yang Alkitabiah dan meyakinkan bagi generasi ini untuk memperhatikan dunia Allah di dalam terang firman Allah. Barangsiapa mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar!”
Prof. Miles V. Van Pelt, Ph.D.
Alan Belcher Professor of Old Testament and Biblical Languages dan Dekan Akademis di Reformed Theological Seminary, Jackson, U.S.A. yang menyelesaikan studi B.A. di Azusa Pacific University; Master of Arts (M.A.) di Gordon-Conwell Theological Seminary; dan Doctor of Philosophy (Ph.D.) di The Southern Baptist Theological Seminary, U.S.A.



Profil Rev. Dr. John Piper:
Rev. John Stephen Piper, B.A., B.D., D.Theol. adalah Pendeta Pengkhotbah dan Visi di Betlehem Baptist Church, Minneapolis, U.S.A. Beliau menyelesaikan studi Bachelor of Arts (B.A.) dari Wheaton College, U.S.A.; Bachelor of Divinity (B.D.) dari Fuller Theological Seminary, U.S.A.; dan Doctor of Theologie (D.Theol.) dari University of Munich, Munich, Jerman Barat. Disertasinya, Love Your Enemies, diterbitkan oleh Cambridge University Press dan Baker Book House.

05 January 2014

Resensi Buku-249: INTRODUCTION TO BIBLICAL INTERPRETATION (Dr. William W. Klein, Dr. Craig L. Blomberg, dan Dr. Robert L. Hubbard)


Ketika kita membaca Alkitab, otomatis kita menafsirkan Alkitab. Apa yang perlu kita perhatikan sebagai penafsir Alkitab? Apa tugas dan tujuan dari si penafsir Alkitab?

Temukan jawabannya dalam:
Buku 
INTRODUCTION TO BIBLICAL INTERPRETATION
(PENGANTAR TAFSIRAN ALKITAB)

oleh: 
Prof. William W. Klein, Ph.D.
Prof. Craig L. Blomberg, Ph.D.
Prof. Robert L. Hubbard, Jr., Ph.D.

Penerbit: Literatur SAAT Malang, 2012

Penerjemah: Timotius Lo



Ketiga penulis ini membagi bukunya ke dalam dua bagian, yaitu: Tugas dari Penafsir (Bagian I) dan Penafsir dan Tujuannya (Bagian II). Di bagian I ini, mereka menjelaskan pentingnya penafsiran Alkitab sebagai sebuah ilmu dan seni, berbagai tantangan bagi penafsiran Alkitab, dan tujuan dari penafsiran Alkitab. Kemudian, di bab selanjutnya di bagian yang sama, mereka menjelaskan sejarah penafsiran yang cukup singkat namun cukup jelas mulai dari penafsiran orang Yahudi (Yudaisme Helenistik, Komunitas Qumran, dan Yudaisme Rabinik), periode apostolik, periode patristik (bapa-bapa gereja, kelompok Alexandria, dan konsili gereja), abad pertengahan, reformasi, pasca-reformasi, dan periode modern (abad XIX, XX, pasca-Perang Dunia I, dan pasca-Perang Dunia II). Di bab 3, mereka menjelaskan berbagai teori pendekatan penafsiran Alkitab, yaitu kritik kesusastraan dan pendekatan-pendekatan sosial-ilmiah beserta kelebihan dan kekurangannya bagi studi penafsiran Alkitab. Setelah itu, di bab 4, mereka menjelaskan seputar kanon Alkitab dan terjemahan-terjemahannya. Di bagian II, di bab 5, mereka menjelaskan seluk-beluk seorang penafsir Alkitab, mulai dari kualifikasi-kualifikasi seorang penafsir, presuposisi bagi penafsir yang benar, dan pemahaman awal dari penafsir berkaitan dengan teks Alkitab. Dan di bab terakhir, mereka menjelaskan tujuan penafsiran Alkitab yang berkaitan dengan makna (makna teks menurut pembaca mula-mula) dan signifikansi (bagi pembaca di zaman sekarang). Buku ini memiliki keunikan tersendiri dibandingkan beberapa buku pengantar menafsirkan Alkitab lainnya, karena buku ini membahas secara detail signifikansi penafsiran Alkitab, sejarahnya, berbagai pendekatan, hingga makna dan signifikansi teks Alkitab yang hendak ditafsirkan. Biasanya beberapa buku pengantar menafsirkan Alkitab yang saya baca selalu membahas tentang menafsirkan Alkitab sesuai jenis literaturnya, dll. Biarlah buku ini dapat mencerahkan hati dan pikiran kita agar kita dapat mengerti dan menafsirkan Alkitab dengan tepat.


Rekomendasi:
“Sebuah studi yang sangat komprehensif atas keseluruhan bidang studi penafsiran Alkitab. Tidak ada buku lain yang begitu baik membahas penafsiran Alkitab seluas ini.”
Rev. Prof. Douglas K. Stuart, Ph.D., D.D.
Profesor Perjanjian Lama di Gordon-Conwell Theological Seminary, U.S.A. dan pendeta senior di Linebrook Church di Ipswich, Massachusetts yang menyelesaikan studi Bachelor of Arts (B.A.) di Harvard University; graduate studies di Yale Divinity School; dan Doctor of Philosophy (Ph.D.) di Harvard University.

“Buku Introduction to Biblical Interpretation akan mengisi kekosongan yang telah dinantikan selama bertahun-tahun.”
Prof. Craig A. Evans, Ph.D., D.Habil.
Payzant Distinguished Professor of New Testament Direktur dari graduate program di Acadia Divinity College di Wolfville, Nova Scotia yang menyelesaikan studi B.A. dalam bidang Sejarah dan Filsafat di Claremont McKenna College; Master of Divinity (M.Div.) di Western Baptist Seminary, Portland, Oregon; Master of Arts (M.A.) dan Ph.D. dalam bidang Studi Biblika di Claremont Graduate University; dan dianugerahi gelar D.Habil. oleh the Karoli Gaspard Reformed University di Budapest.



Profil para penulis:
Prof. William W. Klein, B.S., M.Div., Ph.D. adalah Profesor Perjanjian Baru dan Ketua Divisi Studi Biblika di Denver Seminary, U.S.A. Beliau menyelesaikan studi Bachelor of Science (B.S.) di Wheaton College, U.S.A.; M.Div. di Denver Seminary; dan Ph.D. di the University of Aberdeen di Skotlandia. Beliau adalah anggota dari: the Evangelical Theological Society, Society of Biblical Literature, Institute for Biblical Research, dan Tyndale Fellowship for Biblical Research. Beliau telah menulis beberapa buku, yaitu: The New Chosen People: A Corporate View of Election, The Book of Ephesians: An Annotated Bibliography, dan Become What You Are: Spiritual Formation According to the Sermon on the Mount. Beliau juga menjadi ketua konsultan eksegesis Perjanjian Baru bagi Alkitab terjemahan The Message. Beliau juga menuliskan tafsiran kitab Efesus bagi edisi revisi dari the Expositor’s Bible Commentary.

Prof. Craig L. Blomberg, B.A., M.A., Ph.D. adalah Distinguished Professor of New Testament di Denver Seminary, U.S.A. Beliau menyelesaikan studi B.A. di Augustana College; M.A. di Trinity Evangelical Divinity School, U.S.A.; dan Ph.D. bidang Perjanjian Baru di Aberdeen University di Skotlandia. Beliau telah menulis atau mengedit 20 buku-buku antara lain: The Historical Reliability of the Gospels, Interpreting the Parables, tafsiran-tafsiran Injil Matius, 1 Korintus, dan Yakobus, Jesus and the Gospels: An Introduction and Survey, From Pentecost to Patmos: An Introduction to Acts through Revelation, Neither Poverty nor Riches: A Biblical Theology of Possessions; Making Sense of the New Testament: Three Crucial Questions; Preaching the Parables; Contagious Holines: Jesus’ Meals with Sinners; dan Handbook of New Testament Exegesis.

Rev. Prof. Robert L. Hubbard, Jr., A.B., B.D., M.A., Ph.D. adalah Professor Emeritus Perjanjian Lama di North Park Theological Seminary, Chicago, U.S.A. dan pendeta yang ditahbiskan di the Evangelical Free Church of America. Beliau menyelesaikan studi Bachelor of Arts (A.B.) di Wheaton College; Bachelor of Divinity (B.D.) di Fuller Theological Seminary, U.S.A.; M.A. dan Ph.D. di Claremont Graduate School. Beliau menulis buku: The Book of Ruth: New International Commentary on the Old Testament dan sekarang sedang menulis buku tafsiran kitab Ester dan Ratapan bagi seri New International Commentary on the Old Testament (di mana beliau menjadi editor umumnya).