02 May 2008

Daftar Pustaka

Daftar Pustaka


“The Authority of Scripture.” The Belgic Confession. Christian Reformed Church. 23 April 2008 http://www.crcna.org/pages/belgic_articles1_8.cfm.

Berkhof, Louis. Teologi Sistematika: Doktrin Allah. Terj. Yudha Thianto. Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1993.

“Biblical Standard.” Beliefs. Christian Reformed Church. 23 April 2008 <http://www.crcna.org/pages/beliefs.cfm>.

Boettner, Loraine. Iman Reformed. Terj. Hendry Ongkowidjojo. Surabaya: Momentum, 2000.

Brown, Colin. Filsafat dan Iman Kristen. Terj. Lena Suryana dan Sutjipto Subeno. Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1994.

Calvin, John. Institutes of the Christian Religion. Ed. John T. McNeill. U.S.A.: Westminster John Knox Press, 2006.

––––––––––. Mutiara Kehidupan Kristen. Terj. Grace Purnamasari. Surabaya: Momentum, 2007.

Cornish, Rick. 5 Menit Sejarah Gereja. Terj. Handy Hermanto. Bandung: Pionir Jaya dan NavPress, 2007.

Crampton, W. Gary. Alkitab: Firman Allah. Terj. R. B. G. Steve Hendra. Surabaya: Momentum, 2000.

“Cultural Mandate.” Wikipedia. 2007. 25 April 2008 <http://en.wikipedia.org/wiki/Cultural_mandate>.

“Dispensasionalism.” Wikipedia. 2005. 24 Oktober 2005 <http://en.wikipedia.org/wiki/Dispensasionalism>.

Hoekema, Anthony A. Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah. Terj. Irwan Tjulianto. Surabaya: Momentum, 2003.

––––––––––––––––––. Alkitab dan Akhir Zaman. Terj. Kalvin S. Budiman. Surabaya: Momentum, 2004.

Kuyper, Abraham. Ceramah-ceramah Mengenai Calvinisme. Terj. Peter Suwadi Wong. Surabaya: Momentum, 2005.

Maris, Hans. Gerakan Karismatik dan Gereja Kita. Terj. Gerrit Riemer. Surabaya: Momentum dan Jakarta: LITINDO, 2004.

Palmer, Edwin H. Lima Pokok Calvinisme. Terj. Elsye. Surabaya: Momentum, 2005.

“Postmillenialism.” Wikipedia. 2005. 24 Oktober 2005 <http://en.wikipedia.org/wiki/Postmillenialism.

Tong, Stephen. Reformasi dan Teologi Reformed. Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1991.

Williamson, G. I. Katekismus Singkat Westminster 1. Terj. The Boen Giok. Surabaya: Momentum, 2006.

–––––––––––––. Pengakuan Iman Westminster. Terj. Irwan Tjulianto. Surabaya: Momentum, 2006.

Bab 9: Solus Christus dan Soli Deo Gloria

Bab 9
Solus Christus dan Soli Deo Gloria




Keunikan theologi Reformed yang terakhir adalah Kristus yang ditinggikan (Solus Christus) dan kemuliaan hanya bagi Allah Trinitas (Soli Deo Gloria).

9.1. Kristus yang Ditinggikan (Solus Christus)
Theologi Reformed memercayai bahwa segala sesuatu harus dikembalikan untuk meninggikan Kristus di atas segalanya. Rasul Paulus mengajarkan hal ini di dalam Filipi 1:20-21, “Sebab yang sangat kurindukan dan kuharapkan ialah bahwa aku dalam segala hal tidak akan beroleh malu, melainkan seperti sediakala, demikianpun sekarang, Kristus dengan nyata dimuliakan di dalam tubuhku, baik oleh hidupku, maupun oleh matiku. Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.” Mengapa Kristus harus dipermuliakan? Pdt. Dr. Stephen Tong pernah memberikan suatu jawaban, yaitu karena Ia pernah direndahkan. Kemuliaan Kristus tidak bisa dilepaskan dari kehinaan yang ditanggung-Nya. Artinya, Kristus baru bisa dipermuliakan setelah Ia mengalami penghinaan kayu salib. Pdt. Dr. Stephen Tong mengutip Dr. Martin Luther yang mengatakan bahwa theology of glory (theologi kemuliaan) harus dimengerti dalam kerangka pikir theology of the cross (theologi salib).

Apa signifikansinya bagi kita?
Konsep ini menyadarkan kita bahwa tanpa penderitaan, tidak ada kemuliaan. Kita baru bisa mendapatkan kemuliaan kita setelah kita ditempa oleh Tuhan dengan menderita bagi-Nya. Melalui penderitaan karena nama Kristus, pada saat itu Kristus ditinggikan. Rasul Paulus sungguh-sungguh mengerti konsep ini, sehingga setelah ia mengatakan bahwa Kristus dipermuliakan di dalam hidupnya, lalu ia berkomitmen bahwa hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan (Fil 1:21). Apa arti hidup adalah Kristus? Hidup adalah Kristus berarti hidup hanya memfokuskan diri pada Kristus atau dengan kata lain hidup orang Kristen sejati adalah hidup yang men-Tuhan-kan Kristus yang melihat segala sesuatu dari sudut pandang Kristus (Kristosentris/Christ-centered). Dengan hidup men-Tuhan-kan Kristus, kita bisa:
Pertama, mengerti jalan keluar dari setiap pergumulan manusia berdosa. Paulus dengan tajam sekali melihat segala permasalahan manusia dan mengaitkannya dengan Kristus. Ambil contoh, tentang hubungan suami dan istri dalam pernikahan. Di dalam Efesus 5:22-33 dengan bahasa yang mudah dipahami, Allah melalui Paulus mengajarkan bahwa hubungan suami dan istri seperti hubungan Kristus dengan jemaat. Perhatikan ayat 22-24, “Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu.” Di sini dikatakan bahwa istri harus tunduk kepada suami seperti kepada Tuhan. Artinya, seperti Kristus adalah kepala jemaat, maka suami adalah kepala istri. Kedua, seperti jemaat harus tunduk kepada Kristus, maka istri harus tunduk kepada suami dalam segala hal. Tetapi konsep ini tidak berhenti di sini saja, melainkan dilanjutkan dengan pengajaran di ayat 25-27, “Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela.” Istri yang tunduk kepada suami harus diimbangi dengan respon suami yang mengasihi istri. Semuanya itu memiliki referensi hubungan antara Kristus dengan jemaat.

Bukan hanya hubungan suami istri, hubungan tuan dan hamba juga direferensikan kepada Kristus. Hal itu diajarkan Paulus di Efesus 6:5-7, “Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia dengan takut dan gentar, dan dengan tulus hati, sama seperti kamu taat kepada Kristus, jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan hati orang, tetapi sebagai hamba-hamba Kristus yang dengan segenap hati melakukan kehendak Allah, dan yang dengan rela menjalankan pelayanannya seperti orang-orang yang melayani Tuhan dan bukan manusia.” Di sini, menurut Pdt. Sutjipto Subeno, jelas sekali bahwa Alkitab tidak melarang perbudakan, karena Paulus sendiri mengajarkan bahwa hamba taat kepada tuan, seperti mereka taat kepada Kristus. Alkitab tidak pernah melarang perbudakan, tetapi Alkitab mengecam tuan yang kejam! Mengapa? Karena tuan di sini menunjuk kepada Kristus, dan Kristus bukanlah Tuhan yang kejam. Hal ini ditunjukkan Paulus di ayat 8, “Kamu tahu, bahwa setiap orang, baik hamba, maupun orang merdeka, kalau ia telah berbuat sesuatu yang baik, ia akan menerima balasannya dari Tuhan.” Bukan hanya hamba yang taat kepada tuan, tuan pun tidak boleh kejam kepada hamba (baca ayat 9). Hari ini, konsep ini dibuang dan dilawan habis oleh manusia berdosa. Mereka menginginkan kebebasan yang liar, tidak boleh ada pembedaaan antara tuan dan hamba, semua itu sama. Di satu sisi, mereka benar, bahwa baik hamba maupun tuan, mereka sama-sama manusia yang diciptakan Tuhan, tetapi di sisi lain, mereka kurang memahami bahwa meskipun sama, mereka tetap berbeda status, tuan berfungsi sebagai tuan, dan hamba berfungsi sebagai hamba, jangan pernah dibalik. Konsep ini merujuk kepada Kristus dan umat-Nya. Selama-lamanya, Kristus adalah Tuhan sekaligus Pemilik hidup umat-Nya, dan umat-Nya adalah hamba-Nya yang taat mutlak. Posisi ini tidak bisa dibalik, lalu kita menjadi “tuan” dan Kristus menjadi “hamba”. Ketika posisi ini dibalik, itulah dosa. Dosa adalah pembalikan posisi yang seharusnya: Allah yang seharusnya dihormati dan ditinggikan, malah manusia dan iblis yang ditinggikan (perhatikan kembali Kejadian 3).

Kedua, kuat dan teguh menghadapi beratnya hidup ini. Mengapa? Karena kita mengarahkan hati dan pandangan hanya pada Kristus yang tersalib dan menang (bangkit) bagi kita. Ketika menghadapi beratnya penderitaan, Paulus berani beriman, “Itulah sebabnya aku menderita semuanya ini, tetapi aku tidak malu; karena aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan.” (2Tim. 1:12) Hidup yang terarah dan berpusat kepada Kristus mengakibatkan hidup kita tidak perlu khawatir, karena kita percaya pada Kristus yang memelihara hidup kita sampai pada hari Ia datang kedua kalinya. Tuhan Yesus mengajar bahwa kita tidak perlu khawatir, karena Allah memelihara hidup kita, oleh karena itu yang paling penting, kita harus mencari Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, maka apa yang kita butuhkan sehari-hari akan ditambahkan kepada kita (Mat. 6:25-31). Bukan berarti melalui ayat ini, kita tidak perlu bekerja keras. Kita perlu bekerja keras, tetapi di dalam kerja keras kita, kita tidak perlu terlalu khawatir, karena Allah memelihara kita senantiasa. Masih kita hidup khawatir? Bagi kita yang masih khawatir, firman Tuhan menguatkan kita untuk tidak perlu khawatir karena Allah memelihara hidup kita.


9.2. Kemuliaan Hanya Bagi Allah Trinitas (Soli Deo Gloria)
Selain Kristus yang harus dimuliakan, theologi Reformed juga mengajar bahwa segala kemuliaan hanya bagi nama Allah Trinitas (Rm. 11:36). Apa arti memuliakan Tuhan?

Katekismus Singkat Westminster Pasal 1 mengajar kita tentang hal ini:
P.1. Apakah tujuan utama manusia
J. Tujuan utama manusia adalah untuk memuliakan Allah (1Kor. 10:31; Why. 4:11) dan menikmati Dia selamanya (Mzm. 73:25-26).
[1]

Katekismus ini merupakan penjabaran dari pengajaran Dr. John Calvin di dalam bukunya Institutes of the Christian Religion yang menggabungkan antara pengenalan akan Allah dan pengenalan akan diri. Ketika kita mau mengenal diri, kita harus mengenal Allah sebagai Pencipta kita, demikian sebaliknya. Dengan mengenal Allah, kita semakin mengenal diri bahwa diri kita memiliki tujuan ultimat yang harus dicapai, yaitu memuliakan Allah dan menikmati-Nya selamanya. Rev. Dr. John S. Piper dalam bukunya Desiring God mengganti kata “dan” dengan kata “dengan” (by), sehingga tujuan utama manusia adalah untuk memuliakan Allah dengan menikmati Dia selamanya. Dengan penggantian kata ini, kita lebih mendapatkan gambaran jelas bagaimana memuliakan Allah. Kita bisa memuliakan Allah dengan cara menikmati Dia. Apa arti menikmati Allah? Sebelumnya, kita perlu membedakan dua hal: menikmati Allah Vs menikmati berkat-berkat Allah. Banyak orang Kristen suka menikmati berkat-berkat Allah, tetapi tidak suka menikmati Allah itu sendiri. Ini suatu keanehan dan kebahayaan fatal. Menikmati berkat-berkat Allah itu fana (tidak kekal) sifatnya, sedangkan menikmati Allah itu kekal adanya.

Mari kita menelusuri apa arti menikmati Allah. Menikmati Allah berarti:
Pertama, menikmati Pribadi Allah itu sendiri. Menikmati berarti suatu pengalaman yang tidak akan terlupakan. Gambaran inilah yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang Kristen, yaitu menikmati pengalaman bersama Allah. Menikmati pengalaman bersama Allah didahului oleh mengenal Pribadi Allah itu. Pengalaman yang didahului oleh pengenalan akan Allah ini bisa dibedakan dari pengalaman subjektif yang lebih banyak dikendalikan oleh sugesti. Contoh praktis membedakan dua hal ini adalah pada saat dunia menawarkan segala sesuatu yang “menguntungkan”, tetapi itu berdosa (merugikan orang lain), misalnya MLM, bermain saham, dll. Pengalaman subjektif akan menerima tawaran itu, karena orang yang mengalami pengalaman “bersama Allah” secara subjektif tidak mampu membedakan mana yang kudus dan benar dengan mana yang berdosa dan jijik. Tetapi pengalaman rohani sejati yang menikmati Pribadi Allah mampu membedakan mana yang benar dan kudus (Rm. 12:2), karena ia menikmati Pribadi Allah sambil mengenal Pribadi Allah itu yang Mahakudus dan Mahaagung adanya. Inilah yang dialami oleh Asaf di dalam Mazmur 73:25-26. Konteks ayat itu menjelaskan bahwa Asaf diperhadapkan kepada suatu realita bahwa orang fasik semakin kaya, sedangkan orang percaya semakin miskin. Pertama-tama, Asaf sempat “protes” kepada Tuhan, sampai ia masuk ke dalam hadirat Tuhan (ayat 17), ia baru mengerti rencana-Nya di balik semuanya itu. Ketika itu, ia baru menyadari bahwa tidak ada lain yang diingini di bumi kecuali Tuhan saja. Ini berarti ketika kita menikmati Pribadi Allah sambil mengenal-Nya, kita baru tahu seberapa agung Allah itu jika dibandingkan dengan hal-hal lain yang fana. Beranikah kita memiliki pengalaman menikmati Pribadi Allah ini?

Kedua, menikmati firman Allah. Menikmati Allah yang kedua berarti menikmati firman Allah atau Alkitab. Bukan hanya Pribadi Allah, kita juga harus menikmati firman-Nya di dalam hidup kita. Adalah sungguh aneh jika kita sebagai orang Kristen tidak menikmati firman-Nya, malahan bosan. Jika kita bosan membaca Alkitab, itu menandakan spiritualitas kita sedang berbahaya, marilah kita segera menyadarinya. Bagaimana kita menikmati firman-Nya? Kita menikmati firman Tuhan seperti kita membaca surat cinta dari pacar kita. Mengutip pernyataan Ev. Ivan Kristiono, M.Div. di dalam National Reformed Evangelical Youth Convention (NREYC) 2007, kalau kita membaca surat cinta pacar kita, kita tidak mungkin menyimpannya sembarangan, tetapi kita akan menyimpannya baik-baik, kalau perlu dibaca berulang kali. Seperti itulah yang seharusnya kita kerjakan ketika kita menikmati firman Tuhan. Kita menikmati firman-Nya dengan membaca berulang kali, mengerti dan memahaminya, serta melakukannya dalam kehidupan kita sehari-hari dengan mengoreksi semua konsep kita yang dahulu salah dan hidup baru sesuai firman-Nya.

Setelah kita merenungkan dua prinsip tentang menikmati Allah yang memuliakan-Nya ini, marilah kita berkomitmen mulai hari ini memuliakan Allah saja dengan menikmati Dia dan firman-Nya. Ketika kita memuliakan Dia, itu tandanya kita adalah orang Kristen sejati yang memusatkan seluruh hidupnya hanya kepada dan di dalam Kristus. Amin. Soli Deo Gloria.



[1] G. I. Williamson, Katekismus Singkat Westminster 1, terj. The Boen Giok (Surabaya: Momentum, 2006), hlm. 1.

Bab 8: Akhir Zaman: Aspek Sudah dan Belum

Bab 8
Akhir Zaman: Aspek Sudah dan Belum




Keunikan theologi Reformed keenam adalah tentang akhir zaman. Sebelum kita membahas tentang aliran-aliran theologi tentang akhir zaman, kita akan merenungkan dua hal penting, yaitu presuposisi tentang akhir zaman, dan tentang kedatangan Kristus.
8.1. Presuposisi Mengerti Akhir Zaman
Mengenai presuposisi dalam mengerti akhir zaman, kita harus mengerti ketegangan antara sudah (already) dan belum (not yet) di dalam theologia Paulus (paradoks). Ketegangan antara yang sudah dan belum dapat dimengerti secara berkesinambungan dari Perjanjian Lama sampai dengan Perjanjian Baru. Artinya, kedatangan Kristus yang pertama telah dinubuatkan di dalam kitab-kitab Perjanjian Lama dan telah direalisasikan dengan inkarnasi Kristus lalu kedatangan Kristus ini terus berlanjut sampai akhirnya Ia akan datang kembali kedua kalinya sebagai suatu kesinambungan sejarah Allah (History is His story). Selain itu, ketegangan antara yang sudah dan belum dapat dipahami di dalam hal keselamatan, yaitu, kita harus mengerti bahwa kita secara status sudah dikuduskan tetapi secara kondisi belum dikuduskan, karena kita menunggu pengudusan yang sempurna pada waktu akhir zaman. Di dalam hal keselamatan pula, kita harus mengerti bahwa secara status kita sudah diselamatkan karena Kristus telah menebus kita, tetapi di sisi lain, kita belum diselamatkan karena kita masih mengharapkan penyempurnaan (consummation) penebusan itu di dalam kekekalan.

Kegagalan dari tidak mengertinya konsep ketegangan antara sudah dan belum ini yaitu :
* Gagal melihat kekonsistenan dan kesinambungan sejarah Allah di dalam dunia menurut rencana-Nya yang berdaulat. Artinya, mereka yang menolak adanya ketegangan antara sudah dan belum ini juga sebenarnya sedang menolak konsep kesinambungan sejarah Allah dan tentunya juga menolak Allah sendiri yang Berdaulat, kekal, berencana.
* Mengabaikan apa yang Alkitab ajarkan tentang penginjilan (Matius 28:19-20) yang oleh beberapa kalangan “Kristen” liberal menganggapnya hanya berlaku pada saat itu oleh para murid-Nya saja dan tidak bagi kita yang hidup di zaman sekarang.
* Terlalu mementingkan kepentingan-kepentingan sekarang (materialisme, misalnya mengeruk uang untuk memenuhi kebutuhan sekarang) dan melupakan hal-hal di masa yang akan datang (yang bernilai kekekalan). Hal ini dianut oleh para “theolog” kemakmuran pada mayoritas gereja Karismatik/Pentakosta yang mengajarkan bahwa barangsiapa yang mengikut “Kristus” pasti kaya, sukses, sehat, tidak berpenyakit, bahkan tidak pernah digigit nyamuk. Hal ini akan berimplikasi baik eksplisit maupun implisit di dalam pandangan Akhir Zaman mereka: Dispensasionalisme (lihat penjelasannya di bawah).

Sedangkan, signifikansi mempercayai doktrin ketegangan antara sudah dan belum adalah :
* Kita dapat belajar dari sejarah kebenaran karena semua kebenaran adalah kebenaran Allah (all truth is God’s truth). Setiap sejarah kebenaran yang Allah izinkan terjadi tetap harus diuji berdasarkan Alkitab untuk selanjutnya kita pelajari. Contoh, kita dapat belajar etika dari filsafat Kong Fu-Tze tetapi tetap harus dihakimi dan diuji berdasarkan Alkitab.
* Kita harus dapat mengembangkan apa yang Alkitab ajarkan ke dalam bidang-bidang kehidupan, misalnya politik, ekonomi, filsafat, pengetahuan, seni, dll (mandat budaya) untuk membawa kemuliaan bagi Tuhan, karena semuanya itu diciptakan dari Allah, oleh Allah dan bagi Allah (Roma 11:36).
* Kita memiliki pengharapan yang kuat dan pasti di akhir zaman bahwa kita akan bersama-Nya selama-lamanya meskipun di dalam dunia harus menderita aniaya. Contoh, meskipun Paulus dipenjara dan mengalami masalah di dalam pelayanannya, ia tetap percaya bahwa ia pasti bersama-Nya di Surga pada saat kedatangan-Nya yang kedua.


8.2. Zaman Akhir dan Akhir Zaman Serta Tanda-tandanya
Setelah mengerti tentang ketegangan antara sudah dan belum, marilah kita mengerti kedua istilah, yaitu antara zaman akhir dan akhir zaman. Zaman akhir adalah zaman yang berlangsung antara kedatangan Kristus pertama dan kedua. Dengan kata lain, kita yang hidup di zaman postmodern ini sedang hidup di zaman akhir. Lalu, akhir zaman berarti suatu momen di mana Kristus datang kedua kalinya. Mengenai akhir zaman, Kristus dan Alkitab sendiri menjelaskan prinsip dari tanda-tanda zaman yang akan terjadi, yaitu :
* Tanda-tanda zaman menunjuk kepada apa yang Allah telah kerjakan di masa lampau, selain menunjuk kepada masa depan.
Tanda-tanda zaman (Matius 16:3) menunjuk kepada kemenangan Kristus yang mengakibatkan suatu perubahan yang penuh makna dalam sejarah. Ini membuktikan bahwa Allah terus-menerus bekerja di dalam sejarah (bukti providensia-Nya), menggenapi janji-Nya, dan membawa sejarah kepada penyempurnaan akhir penebusan-Nya (consumation).

* Tanda-tanda zaman menunjuk kepada akhir sejarah, khususnya kepada kedatangan Kristus yang kedua.
Tanda-tanda ini tidak menunjuk kepada waktu yang tepat tentang kedatangan Kristus yang kedua, tetapi menunjukkan bahwa tanda-tanda zaman itu merujuk ke masa depan berdasarkan apa yang Allah telah lakukan di masa lampau.

* Tanda-tanda zaman menyatakan kontinuitas pertentangan antara Kerajaan Allah dan kuasa Iblis dalam sejarah.
Melalui Perumpamaan Tuhan Yesus tentang Lalang di antara Gandum yang akan dituai pada akhir zaman sementara sebelumnya mereka tumbuh bersama-sama, kita akan terus (berarti suatu proses) menjumpai pertentangan antara kuasa Allah dan iblis di sepanjang sejarah dunia. Di sinilah, tanda-tanda zaman akan terus menjadi saksi bagi pertentangan tersebut. Kuasa Allah yang sedang bekerja di dalam dunia ditandai dengan pemberitaan Injil kepada bangsa-bangsa, sedangkan bertumbuhnya kemurtadan, kedurhakaan, dan peperangan menandakan kuasa iblis dalam dunia. Dengan kata lain, pertentangan yang terus berlanjut ini menandakan dua hal, yaitu adanya kesabaran dan murka Allah sekaligus Kristus sebagai Juruselamat bagi anak-anak-Nya dan Hakim bagi mereka yang menolak-Nya.

Lalu, apa signifikansi mempelajari tanda-tanda zaman ini bagi orang Kristen dan sikap kita selanjutnya ?
* Tanda-tanda zaman menuntut keputusan.
Melalui tanda-tanda zaman, Allah terus memanggil manusia untuk percaya kepada Anak-Nya dan diselamatkan sesuai kehendak dan waktu-Nya. Hal ini tentu telah direncanakan oleh-Nya sebelum dunia dijadikan, bukan menunggu setelah Ia menciptakan manusia. Oleh karena itu, mereka yang tidak dipilih-Nya tidak memperhatikan (dan mengerti) tanda-tanda zaman, karena mereka tidak mendapatkan anugerah khusus, dan secara otomatis, mereka pun sedang menumpuk penghakiman bagi dirinya. Sedangkan, bagi mereka yang telah dipilih menjadi anak-anak-Nya (umat pilihan-Nya), meskipun mereka harus melihat tanda-tanda zaman yang menyesakkan dan mengerikan, mereka tetap percaya bahwa Allah mengontrol semua kejahatan dan pada akhirnya, Kristus pasti menang mengalahkan segala kuasa kejahatan dan kemenangan-Nya menjadi jaminan bagi kemenangan anak-anak-Nya juga.

* Tanda-tanda zaman menuntut ketekunan dalam berjaga-jaga.
Bukan hanya berharap akan kemenangan yang diraih, anak-anak Tuhan pun harus berjaga-jaga dan tekun menunaikan apa yang Allah telah percayakan kepada mereka (Matius 24:42).
Apa yang bisa mereka kerjakan? Pertama, hidup bertanggungjawab dan suci. Dengan hidup bertanggungjawab, mereka bukan sembarangan mempergunakan hidup, melainkan benar-benar mempertanggungjawabkan hidup yang telah dikaruniakan-Nya misalnya dengan mempelajari Firman-Nya, memberitakan Injil, mengasihi sesama dengan kasih Allah yang bertanggungjawab, dll. Dengan hidup suci (Roma 13:11-13), mereka tidak sembarangan hidup di dalam dunia yang berdosa ini, tetapi mereka tetap dapat hidup suci dan mengendalikan diri dari berbagai macam kesenangan dunia yang hedonis dan materialis. Kesucian merupakan kriteria agar anak-anak-Nya bisa bertemu dengan Allah di Surga. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa dalam menantikan kedatangan Kristus yang kedua, anak-anak Tuhan harus suci, seperti seorang pengantin wanita yang bersiap-siap (dan tentunya tidak bermain layang-layang dahulu atau bermain kelereng, dll) menunggu pengantin pria.

Kedua, rela menyangkal diri bagi-Nya. Di dalam berjaga-jaga, kita bukan hanya pasif menerima kenyataan bahwa kita pasti menderita demi mengikut-Nya, tetapi kita dituntut untuk aktif mengabarkan Berita Injil, meskipun penderitaan demi penderitaan yang pasti kita tanggung. Itulah harga yang harus dibayar sebagai pengikut Kristus. Mengapa harus memberitakan Injil ? Karena tanpa pemberitaan Injil, dunia kita bakal hancur. Apakah dengan pemberitaan Injil, dunia kita pasti tambah baik ? TIDAK. Pemberitaan Injil hanya menolong manusia sedikit lebih baik dari keburukan dunia. Jangan mengharapkan dunia semakin tambah baik, karena Alkitab menubuatkan bahwa dunia pasti rusak dan jahat (Efesus 5:16), tetapi dengan pemberitaan Injil, Allah yang Berdaulat akan bekerja memanggil sekelompok umat pilihan-Nya keluar dari kegelapan dunia menuju ke terang-Nya yang ajaib sehingga mereka yang telah dipanggil ini juga dapat mempengaruhi dunia sekitarnya lagi. Di sini, ada kontinuitas di dalam pemberitaan Injil. Kita memberitakan Injil agar beberapa anak Tuhan yang Ia cerahkan dapat bertobat dan kembali kepada-Nya, lalu orang-orang yang kita injili ini juga bisa mempengaruhi dunia sekitarnya bagi kemuliaan-Nya. Apakah menjadi saksi cukup dengan memberitakan Injil? TIDAK. Menjadi saksi, kita juga harus mengerjakan mandat budaya, yaitu berusaha dengan sekuat tenaga memengaruhi dunia dengan prinsip-prinsip Alkitab.


8.3. Cara Kedatangan Kristus Kedua Kalinya
Setelah kita peka terhadap tanda-tanda zaman, maka kita harus mengerti dengan cara bagaimana Kristus akan datang kedua kalinya. Untuk itu, dari pengajaran Prof. Anthony A. Hoekema, Th.D. dalam bukunya Alkitab dan Akhir Zaman, saya memperoleh pengertian tentang cara kedatangan Kristus yang kedua kalinya, sebagai berikut
* Pribadi: Kristus sendiri akan kembali secara pribadi (Kisah 1:11 ; 3:19-21 ; Filipi 3:20 ; Kolose 3:4)
* Kasatmata (visible): kalau kedatangan Kristus yang pertama bersifat kasatmata atau dapat dilihat, maka secara otomatis kedatangan Kristus yang kedua juga bersifat kasatmata/dapat dilihat (Wahyu 1:7).
* Penuh kemuliaan: kalau pada kedatangan Kristus yang pertama, Kristus hadir dengan penuh penderitaan (Yesaya 53:2-3 ; Filipi 2:7-8), sedangkan pada kedatangan Kristus yang kedua, Ia akan datang dalam kemuliaan (Matius 24:30 ; 1 Tesalonika 4:16 ; 2 Tesalonika 1:10 ; Kolose 3:4 ; Wahyu 19:16).
[1]


8.4. Pandangan-pandangan Mengenai Akhir Zaman dan Tinjauan Theologis
Terakhir, kita akan membahas aliran-aliran theologi tentang akhir zaman. Di dalam theologi, kita mengenal adanya empat doktrin utama mengenai Akhir Zaman, yaitu Amilenialisme, Postmilenialisme, Premilenialisme (historis), dan Premilenialisme dispensasi (Dispensasionalisme). Dispensasionalisme ini nantinya dikembangkan di beberapa sekolah theologi di Indonesia (seperti: Sekolah Tinggi Theologi Injili Indonesia—STII) maupun di Amerika (Dallas Theological Seminary, dll). Perbedaan pandangan akhir zaman ini bersumber dari perbedaan tafsiran mengenai Wahyu 20 tentang Kerajaan 1000 Tahun. Apa yang diajarkan oleh masing-masing aliran ini?

1. Amilenialisme.
Amilenialisme adalah paham akhir zaman yang melihat Kerajaan 1000 tahun hanyalah simbol dan bukan dimengerti secara harafiah. Pandangan ini mengajarkan bahwa Kerajaan 1000 tahun itu adalah zaman di mana kita hidup sampai Kristus datang kedua kalinya. Zaman di Kerajaan 1000 tahun ini hadir, di situ pula Kerajaan Allah dinyatakan melalui gereja secara kelihatan dan anak-anak Tuhan (gereja yang tidak kelihatan) (Matius 12:28) bukan berbentuk teritorial/pemerintahan politis seperti impian para murid-Nya dahulu. Di dalam kerajaan ini, iblis masih bisa melawan, tetapi ketahuilah bahwa pengharapan anak-anak Tuhan tidak pernah luntur karena adanya serangan itu, karena Kristus pasti mengalahkan iblis secara sempurna ketika Ia datang kedua kalinya. Pada saat Kristus datang, tidak ada kematian, tidak ada air mata, tidak ada kertakan gigi, karena semua manusia pilihan-Nya diberikan tubuh baru untuk mendiami langit dan bumi yang baru. Doktrin ini juga mengerti Wahyu 20 bukan sebagai dua waktu yang berbeda, tetapi satu waktu yang sama dengan dua tindakan berbeda, mengangkat umat pilihan untuk menikmati Kerajaan Surga dan sekaligus mengangkat umat yang binasa untuk dihukum kekal. Secara ringkas, doktrin ini bisa digambarkan dalam urutan, yakni: milenium (kerajaan 1000 tahun terjadi antara kedatangan Kristus pertama dengan kedatangan Kristus kedua—saat ini) à tanda-tanda menjelang kedatangan Kristus à kedatangan Kristus kedua kalinya. Doktrin ini dianut oleh cukup banyak theolog Reformed, seperti Dr. Anthony A. Hoekema, Dr. Jay E. Adams, Dr. Herman N. Ridderbos, Dr. Geerhadus Vos, Dr. Louis Berkhof, Dr. Osward T. Allis, Dr. Abraham Kuyper, Dr. Herman Bavinck, dll.

2. Postmilenialisme.
Postmilenialisme adalah pandangan akhir zaman yang menafsirkan (Wahyu 20) bahwa kedatangan Kristus yang kedua kalinya terjadi setelah atau post- Kerajaan 1000 tahun. Meskipun beberapa penganut postmilenialisme memegang pandangan milenium dalam arti harafiah yaitu 1000 tahun, kebanyakan para postmilenialis melihat seribu tahun lebih sebagai sebuah istilah figuratif untuk periode waktu yang lama (mirip dengan pandangan Amilenialisme). Postmilenialisme juga mengajar bahwa kekuatan setan akan secara berangsur-angsur dikalahkan oleh perluasan Kerajaan Allah di sepanjang sejarah sampai kedatangan Kristus yang kedua. Kepercayaan bahwa kebaikan ini akan berangsur-angsur menang mengalahkan kejahatan memimpin para pendukung akan postmilenialisme untuk menjuluki diri mereka "optimillennialists” sebagai lawan dari "pessimillennial” dari para
Premilennialis and Amilennialis. Postmillenialisme dibagi menjadi dua, yaitu Revivalist Postmilennialism (juga Pietistic Postmillennialism) dan Reconstructionist Postmillennialism. Postmillenialisme Revivalis (Revivalist Postmillennialism) tidak melibatkan pandangan kehidupan sosial-politik seperti cara yang dilakukan oleh Postmillenialisme Rekonstruksionis (Reconstructionist Postmillennialism). Revivalist Postmillennialism melihat bahwa orang-orang Kristen seharusnya mengubah masyarakat dari bawah ke atas (hati dan pikiran manusia) lebih baik daripada dari atas ke bawah (institusi masyarakat politis dan sah) seperti di dalam Reconstructionist Postmillennialism. (http://en.wikipedia.org/wiki/Postmillenialism) Para theolog penganut paham ini di antaranya: Dr. Loraine Boettner, Dr. B. B. Warfield, J. Marcellus Kik, Norman Shepherd. Untuk melihat lebih jelas pandangan seorang postmilenialis, mari kita membaca pandangan Dr. Loraine Boettner (theolog Reformed dan penganut postmileanilisme) yang dikutip oleh Dr. Anthony A. Hoekema,
Kami mendefinisikan postmilenialisme sebagai pandangan tentang hal-hal akhir zaman, yang mempercayai bahwa Kerajaan Allah sekarang ini sedang terus diperluas melalui pemberitaan Injil dan pekerjaan Roh Kudus di dalam hati orang-orang, sehingga seluruh dunia pada akhirnya akan dikristenkan, dan setelah itu Kristus akan kembali di penutupan masa penuh kebenaran dan damai yang panjang, yang disebut sebagai “Millenium.”...
[2]

Apa kesalahan dalam pandangan ini?
Kesalahan utama dalam ajaran ini terletak pada optimisme fatal seorang postmilenialis akan dunia yang semakin baik. Boettner mengatakan, “seluruh dunia pada akhirnya akan dikristenkan, dan setelah itu Kristus akan kembali di penutupan masa penuh kebenaran dan damai yang panjang”. Alkitab dengan jelas mengajar bahwa dunia bukan semakin baik, tetapi semakin jahat (2Tim. 3:1, “Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar.”) Dunia yang katanya semakin maju, mengutip pernyataan Pdt. Sutjipto Subeno, sebenarnya hanya satu sisi yang semakin maju, yaitu teknologi, selebihnya, iman, moralitas, etika, kerja, dll, semakin menurun. Dengan mengetahui bahwa dunia akan semakin rusak, maka janganlah kita berpegang pada hal-hal dunia yang bersifat fana ini, tetapi berpeganglah dan berimanlah pada Allah dan firman-Nya karena Allah dan firman-Nya itu kekal adanya. Rasul Yohanes menulis di dalam 1 Yohanes 2:17, “Dan dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya.” Rasul Petrus menambahkan penjelasan ini, “Karena kamu telah dilahirkan kembali bukan dari benih yang fana, tetapi dari benih yang tidak fana, oleh firman Allah, yang hidup dan yang kekal. Sebab: "Semua yang hidup adalah seperti rumput dan segala kemuliaannya seperti bunga rumput, rumput menjadi kering, dan bunga gugur, tetapi firman Tuhan tetap untuk selama-lamanya." Inilah firman yang disampaikan Injil kepada kamu.” (1Ptr. 1:23-25)

Kesalahan kedua, yaitu menolak prinsip predestinasi. Dr. Boettner sebenarnya adalah theolog Reformed yang memercayai predestinasi Allah di dalam keselamatan, tetapi entah mengapa ketika mengajarkan tentang akhir zaman, beliau mengajarkan hal yang bertentangan dengan predestinasi yang diajarkannya sendiri. Perhatikan pernyataannya, “seluruh dunia pada akhirnya akan dikristenkan,” Kalau seluruh dunia dikristenkan, berarti tidak lagi prinsip pemilihan Allah (dan otomatis, penolakan Allah kepada beberapa orang sisanya). Prinsip inilah yang mengakibatkan banyak gereja yang mengklaim diri bertradisi Reformed, tetapi malas memberitakan Injil. Mengapa? Karena jika seluruh dunia dikristenkan, untuk apa lagi menginjili?

3. Premilenialisme historis.
Menurut Premilenialisme, kedatangan Kristus yang kedua kali terjadi sebelum milenium. Sebelum kedatangan Kristus kedua ini akan terjadi penginjilan kepada bangsa-bangsa, masa kesusahan, murtad atau pemberontakan yang hebat, dan munculnya pribadi antikristus. Gereja harus melewati kesusahan besar ini. Lalu, kedatangan Kristus yang kedua tidak terjadi dalam dua tahap, tetapi satu tahap (seperti pandangan Amilenialisme). Ketika Kristus datang kedua kalinya itu, orang percaya yang telah mati akan dibangkitkan, dan orang percaya yang masih hidup akan diubahkan dan dimuliakan, baru setelah itu mereka diangkat bersama-sama bertemu dengan Kristus di awan-awan. Setelah itu, mereka akan mendampingi Kristus di bumi. Di saat Kristus datang kedua kalinya, antikristus akan dibinasakan, akan terjadi pertobatan besar khususnya dari sejumlah besar orang Yahudi. Lalu, Kristus menegakkan Kerajaan-Nya di bumi ini selama seribu tahun. Yang anehnya, di dalam Kerajaan 1000 tahun ini, dosa dan kematian masih ada, tetapi kejahatan ini dibatasi. Menjelang akhir milenium ini, iblis akan dilepaskan untuk menyesatkan bangsa-bangsa. Tetapi ketika akhir milenium, iblis dikalahkan dan akan terjadi kebangkitan orang-orang fasik dari kematian yang akan diikuti dengan penghakiman. Di saat penghakiman itu, orang yang namanya tercatat di dalam kitab kehidupan akan masuk ke dalam kehidupan kekal, sedangkan orang yang namanya tidak tercatat, mereka akan menjalani penghukuman kekal.
[3] Dengan kata lain, kita bisa meringkas urutannya, yaitu: tanda-tanda sebelum kedatangan Kristus kedua (penginjilan, kesusahan, murtad, dll) à kedatangan Kristus kedua kalinya à milenium (Kerajaan 1000 tahun; masih ada kesusahan, kejahatan, dll sementara, sampai di akhir milenium, semuanya dimusnahkan) à penghakiman. Para tokoh penganut paham ini, di antaranya: George Eldon Ladd, Henry Alford, H. Grattan Guinness, Robert H. Gundry, S. H. Kellogg, D. H. Kromminga, J. Barton Payne, Alexander Reese dan Nathaniel West.

Pandangan ini memiliki kelebihan, yaitu seperti Amilenialisme, pandangan ini mengajar bahwa kedatangan Kristus terjadi hanya dalam satu tahap. Selebihnya, pandangan ini memiliki dua kelemahan, yaitu:
Pertama, kedatangan Kristus: 2,5 kali (mengutip pernyataan Pdt. Thomy J. Matakupan, M.Div.). Menurut pandangan ini, sebelum Kristus datang kedua kalinya, Ia datang di awan-awan menjemput orang percaya untuk nantinya memerintah bersama-Nya di Kerajaan 1000 Tahun. Ajaran seperti ini menjadikan Kristus tidak datang dua kali, tetapi 2,5 kali. Mengapa? Karena sebelum Ia datang kedua kali, Ia pernah turun “setengah”, yaitu di awan-awan tersebut. Hal ini melawan konsep Alkitab secara keseluruhan bahwa Ia datang dua kali (pertama: saat inkarnasi, Ia datang sebagai Juruselamat; kedua: kedatangan Kristus kedua kalinya untuk menjadi Hakim).

Kedua, memercayai bahwa setelah Kristus datang kedua kalinya, baru Kerajaan 1000 tahun didirikan, dan pada waktu itu, kejahatan masih ada, meskipun dibatasi. Di Alkitab, pada saat Kristus datang kedua kalinya, dikatakan tidak ada kesengsaraan, tidak ada air mata, dll. Jika setelah Kristus datang kedua kalinya masih ada dosa dan kematian (meskipun dibatasi), maka sia-sialah Kristus datang kedua kalinya, padahal Alkitab mengajar bahwa kedatangan Kristus kedua kalinya akan memusnahkan semua kejahatan.

4. Dispensasionalisme.
Dispensasionalisme muncul dari lingkungan religius yang gelisah di Inggris dan Irlandia pada tahun 1820an dan berakar dalam gerakan
Plymouth Brethren, khususnya pengajaran-pengajaran dari John Nelson Darby (1800-1882). Gerakan ini menekankan pengajaran dan penafsiran Alkitab berkenaan dengan nubuatan dan kedatangan Kristus kedua. Ajaran baru ini pertama kali tersebar di Amerika melalui konferensi-konferensi nubuatan seperti the Niagara Bible Conferences (1883-1897). Yang terpenting, Dwight L. Moody (1837-1899) setuju dengan garis besar yang luas dari dispensationalisme dan memiliki para pemimpin dispensasionalis lainnya sebagai pembantunya seperti Reuben A. Torrey (1856-1928), James M. Gray (1851-1925), Cyrus I. Scofield (1843-1921), William J. Eerdman (1833-1923), A. C. Dixon (1854-1925), dan A. J. Gordon (1836-1895). Penerbitan the Scofield Reference Bible pada tahun 1909 oleh the Oxford University Press adalah sesuatu dari sebuah prestasi lisan yang inovatif bagi gerakan ini, sejak pertama kalinya, dengan terang-terangan catatan-catatan dispensasionalis ditambahkan pada halaman-halaman isi Alkitab. The Scofield Reference Bible menjadi Alkitab penting yang digunakan oleh para Injili independen dan kaum Fundamentalis selama 60 tahun kemudian. C. I. Scofield memengaruhi Lewis Sperry Chafer (1871-1952) yang mendirikan Dallas Theological Seminary pada tahun 1924, yang telah menjadi pemimpin dispensasionalisme di Amerika. Dispensasionalisme berusaha mendominasi suasana orang-orang Injili di Amerika, khususnya di antara gereja-gereja Alkitab non-denominasi, banyak gereja Baptis, dan mayoritas kelompok Pentakosta dan Karismatik. (http://en.wikipedia.org/wiki/Dispensasionalism) Ajaran ini mirip dengan Premilenialisme historis yang memercayai Kerajaan 1000 tahun terjadi setelah kedatangan Kristus kedua kalinya. Selebihnya, pandangan dispensasionalisme (atau lebih dikenal: Pretribulasionisme) mengajarkan dua pokok penting menurut Dr. Hoekema, yaitu: Pertama, penafsiran secara harfiah nubuat-nubuat Alkitab. Dr. Hoekema mengutip pandangan seorang dispensasionalis bahwa kalau pun Alkitab menggunakan bahasa simbolis, mereka tetap harus menerapkan penafsiran secara harfiah. Kedua, perbedaan yang mendasar dan kekal antara Israel dan gereja. Para dispensasionalis memercayai di sepanjang sejarah, Allah sedang menggenapi dua macam rencana-Nya: yang satu berkaitan dengan bumi (yaitu Israel), dan yang lainnya berkaitan dengan sorga, yaitu Kekristenan.[4]

Mari kita mengerti hal ini satu per satu.
Dispensasionalisme membagi sejarah/pola hubungan Allah dengan manusia ke dalam 7 dispensasi (pembagian waktu). Menurut New Scofield Bible, Dr. Hoekema mengutip 7 dispensasi, tersebut: Tak Berdosa (Innocence), Hati Nurani atau Tanggung Jawab Moral (Conscience or Moral Responsibility), Pemerintahan oleh Manusia (Human Government), Janji (Promise), Hukum (Law), Gereja (Church), dan Kerajaan (Kingdom). Perbedaan dispensasi ini tidak berarti perbedaan cara dalam keselamatan, tetapi hanya sebagai periode waktu di mana manusia diuji dalam hal ketaatannya pada penyingkapan-penyingkapan tertentu dari kehendak Allah.
[5]

Kemudian, dispensasionalisme juga mengajarkan bahwa ketika Kristus datang pertama kali, Ia bermaksud menawarkan Kerajaan-Nya di bumi ini, tetapi karena orang Yahudi menolak, maka Kristus sekarang ini menggantinya dengan gereja. Tujuan gereja adalah untuk memanggil orang percaya khususnya bangsa-bangsa non-Yahudi (termasuk Yahudi) dan hal ini terjadi sampai Kristus datang kembali untuk mengangkat orang-orang percaya.

Bagi dispensasionalisme, kembalinya Kristus terjadi dalam dua tahap, yaitu tahap pertama, disebut pengangkatan (rapture) yang dapat terjadi setiap saat. Beberapa film akhir zaman yang beredar pada zaman ini menganut paham dispensasionalisme dengan menampilkan adegan pengangkatan tiba-tiba pada beberapa orang di mana saja. Pada masa pengangkatan, Kristus hanya berada di awan-awan. Setelah tahap pertama ini terjadi, barulah muncul tanda-tanda kedatangan Kristus kedua kalinya. Tanda-tanda ini berlangsung selama 7 tahun, yang meliputi kesusahan besar, penghakiman, munculnya antikristus, dan pertobatan sisa-sisa Israel kepada Yesus yang berjumlah 144.000 orang yang telah dimeteraikan dalam Wahyu 7:3-8, dll sementara itu Gereja berada di sorga. Setelah berlangsungnya masa 7 tahun itu, maka Kristus akan turun kembali dalam kemuliaan bersama dengan Gereja-Nya untuk membinasakan para musuh-Nya. Pada waktu itu, bangsa Israel akan dikumpulkan kembali ke Palestina. Sejumlah besar orang Israel yang masih hidup ketika Kristus turun ke bumi akan beriman kepada Kristus dan diselamatkan. Iblis akan diikat dan dilemparkan ke dalam jurang maut dan dimeteraikan selama seribu tahun. Kemudian, orang percaya yang mati pada masa tujuh tahun tribulasi akan dibangkitkan dari kematian. Orang percaya ini tidak masuk ke dalam Kerajaan 1000 tahun, tetapi ke dalam sorga. Setelah itu, barulah terjadi penghakiman atas bangsa-bangsa lain, lalu disusul penghakiman bagi bangsa Israel sendiri. Ketika orang-orang Israel pada masa ini berbalik kepada Tuhan, maka mereka akan masuk ke dalam pemerintahan kerajaan 1000 tahun dan menikmati segala berkat di dalamnya. Setelah semuanya itu, maka dimulailah kerajaan 1000 tahun yang dipimpin oleh Kristus sendiri. Ia duduk di takhta yang berada di Yerusalem dan memerintah atas sebuah kerajaan yang terdiri dari bangsa Yahudi (terutama), dan sebagian dari bangsa-bangsa lain. Dalam hal ini bangsa Israel mendapat hak istimewa di atas bangsa-bangsa lain. Yang anehnya, di masa ini, dispensasionalisme percaya bahwa manusia yang hidup di masa ini adalah manusia dalam kondisi sebagaimana adanya, tetap kawin, memiliki anak, dan bahkan tetap mengalami kematian. Di masa ini, mereka mengalami kemakmuran, produktivitas, dll. Bumi dipenuhi dengan pengenalan akan Allah, ibadah kepada Allah akan berpusat di Bait Allah, Yerusalem. Pada awal kerajaan ini, orang-orang yang tinggal adalah orang yang telah lahir baru. Lambat laun, setelah bertambah melalui anak-anak yang dilahirkan oleh mereka, maka orang-orang terpecah menjadi dua, ada yang bertobat dan menjadi orang percaya sejati, sebaliknya ada yang memberontak. Yang memberontak dikumpulkan untuk menyerang mereka yang percaya. Dan pada akhir masa kerajaan ini, Kristus datang untuk melenyapkan semua iblis dan kroninya. Sesudah masa seribu tahun, orang fasik yang telah mati akan dibangkitkan dan dihakimi di hadapan takhta putih yang mulia, sedangkan orang percaya akan masuk ke dalam kehidupan kekal. Meskipun semua orang percaya yang akan masuk ke dalam kekekalan ini merupakan satu kesatuan, masih tetap ada perbedaan antara orang Yahudi dengan bangsa lain.
[6]

Dari sekian panjang pemaparan ini, kita bisa menyimpulkan urutan pandangan dispensasionalisme:
Keselamatan Allah bagi Israel à inkarnasi Kristus menawarkan Kerajaan Israel jasmaniah à Israel menolak à Kristus memanggil gereja yang terdiri dari orang non-Israel (termasuk Israel) à Gereja-Nya mengalami pengangkatan tiba-tiba à tanda-tanda kedatangan Kristus kedua kalinya (kesusahan besar, antikristus, pertobatan orang Israel, dll) à Kristus datang kedua kalinya à penghakiman bagi orang Israel dan non-Israel (bagi yang bertobat, akan diselamatkan) à Kerajaan 1000 tahun (pemerintahan Kristus di Israel) à kehidupan kekal (masih ada perbedaan Israel dengan non-Israel).

Pandangan ini tetap memiliki kelebihan yaitu tetap memercayai bahwa keselamatan ada di dalam Kristus. Tetapi selebihnya, pandangan ini memiliki banyak kelemahan fatal lebih parah ketimbang pandangan Premilenialisme:

Pertama, penafsiran Alkitab yang harfiah. Kesalahan fatal para dispensasionalis adalah penafsiran Alkitab, khususnya Kitab Wahyu secara harfiah. Di dalam penafsiran Alkitab, kita belajar bahwa di dalam menafsirkan kitab-kitab di dalam Alkitab, kita harus memahami dahulu bentuk (genre) kitab tersebut. Misalnya, ketika kita menafsirkan kitab puitis seperti Mazmur, kita harus menafsirkannya dengan gaya bahasa puitis, bukan dengan pemahaman doktrinal (meskipun tetap mengandung unsur doktrinal). Di lain pihak, jika kita mau menafsirkan Kitab Wahyu, kita harus tahu bahwa Kitab Wahyu adalah kitab yang berisi simbol-simbol yang digunakan oleh Rasul Yohanes kepada jemaat-jemaat yang mengalami penganiayaan hebat. Simbol-simbol itu harus dimengerti di dalam konteks zaman itu, BUKAN dalam konteks zaman sekarang. Misalnya, ketika kita menjumpai bilangan 666 di dalam Wahyu 13:18, kebanyakan para penafsir dispensasionalis dan banyak pemimpin gereja Pentakosta/Karismatik menafsirkannya dengan menunjuk kepada kondisi modern, misalnya Paus sebagai Antikristus lah, negara Tiongkok, Amerika, dll. Itu kesalahan fatal. Alkitab harus pertama-tama dilihat dalam konteks budaya pada saat itu (what it said), baru setelah itu diimplikasikan (what it says), tetapi pengimplikasian itu tidak boleh lepas atau menyeleweng dari konteks yang ada. Ketika kita mau menafsirkan angka 666, kita harus melihat konteksnya, yaitu Antikristus, dan Antikristus itu adalah pribadi yang melawan Kristus. Pada zaman itu, tentu Kaisar Nero adalah pribadi antikristus itu, mungkin di zaman berikutnya menunjuk kepada orang lain, tetapi prinsipnya satu: barangsiapa yang melawan Kristus itu adalah antikristus. Tetapi tetap saja jangan pernah menafsirkan bahwa antikristus yang dimaksud di dalam ayat ini menunjuk kepada pribadi atau negara tertentu di dalam konteks modern. Itu perampasan konteks budaya Alkitab.

Kedua, konsep Kerajaan Allah yang jasmaniah. Para dispensasionalis memiliki kekacauan paradigma tentang konsep Kerajaan Allah dengan mengajarkan bahwa Kerajaan Allah itu bersifat teritorial. Tidak. Alkitab berkali-kali mengajar bahwa kerajaan Allah bukan berbentuk teritorial, tetapi rohani. Di masa inkarnasi, Tuhan Yesus sendiri mengajar, “Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu.” (Luk. 11:20) Artinya, Kerajaan Allah bukan jasmaniah, tetapi rohaniah. Jika menurut para dispensasionalis, Kerajaan Allah yang ditawarkan Tuhan Yesus itu jasmaniah, maka tentu Kristus datang dengan pasukan kuda yang lengkap, bersenjata, dll, tetapi ketika Ia inkarnasi, tidak ada satu kuasa dunia yang menyertai-Nya. Ini berarti Ia tidak datang untuk mendirikan Kerajaan Allah jasmaniah, tetapi rohaniah. Bukan hanya para dispensasionalis, para rasul pun ketika menyongsong Kristus yang mau naik ke sorga tetap memiliki konsep yang salah tentang Kerajaan Allah dengan bertanya, “Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?” (Kis. 1:6) Konsep ini dikoreksi oleh Tuhan Yesus dengan jawaban, “Engkau tidak perlu mengetahui masa dan waktu, yang ditetapkan Bapa sendiri menurut kuasa-Nya. Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi.” (Kis. 1:7-8) Konsep Kerajaan Allah kembali diajarkan Tuhan Yesus bukan bersifat jasmaniah, tetapi rohaniah yaitu melalui pengabaran Injil.

Ketiga, “Allah” yang plin-plan. Karena memercayai Kerajaan Allah yang jasmaniah yang ditawarkan Tuhan Yesus, tetapi ditolak oleh orang-orang Yahudi, para dispensasionalis mengajarkan bahwa Tuhan Yesus akhirnya “berpindah haluan” dan memanggil gereja-Nya yang terdiri dari orang-orang non-Yahudi (dan Yahudi juga). Di sini, jelas, para dispensasionalis memercayai “Allah” yang plin-plan yang bisa mengganti rencana-Nya yang berdaulat. Pandangan dispensasionalis mirip seperti pandangan penganut Open-Theism. Padahal Alkitab mengajarkan bahwa Allah itu berdaulat dan tidak ada satu pun rencana-Nya yang gagal. Hal ini dimengerti oleh Ayub di dalam Ayub 42:2, “"Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal.”

Keempat, orang Kristen yang tidak mengalami penganiayaan. Seorang penganut dispensasionalis dapat dianggap sebagai penganut “theologi” kemakmuran baik eksplisit maupun implisit. Mengapa? Karena para dispensasionalis memercayai bahwa sebelum terjadi masa kesusahan besar, maka orang Kristen diangkat dahulu di dalam masa pengangkatan (rapture). Ajaran ini jelas bertentangan dengan Alkitab, karena Alkitab sendiri mengajarkan bahwa orang Kristen harus memikul salib (Mat. 16:24), dan firman Tuhan sendiri mengingatkan bahwa jika mungkin orang pilihan bisa disesatkan (baca Mat. 24:24, “Sebab Mesias-mesias palsu dan nabi-nabi palsu akan muncul dan mereka akan mengadakan tanda-tanda yang dahsyat dan mujizat-mujizat, sehingga sekiranya mungkin, mereka menyesatkan orang-orang pilihan juga.”). Ini berarti bahwa semua orang bahkan umat pilihan harus menghadapi kesusahan besar bahkan penyesatan, tetapi bagi umat pilihan-Nya, Allah menjaga mereka, sehingga meskipun masih bisa disesatkan, mereka dipelihara oleh Allah dan dibawa kembali kepada-Nya.

Kelima, kedatangan Kristus terjadi 2,5 kali. Seperti yang telah saya tunjukkan di dalam kelemahan Premilenialisme historis, maka hal yang sama terjadi di dalam Dispensasionalisme yang mengajarkan bahwa ketika Kristus mengangkat umat pilihan, Ia berada di awan-awan. Maka, otomatis, Kristus pada saat ini datang tetapi hanya di awan-awan (setengah kali). Baru setelah itu, Ia datang penuh ke bumi ini. Jika dihitung, maka kedatangan Kristus terjadi 2,5 kali, dan itu melawan konsep keutuhan pengajaran Alkitab yang mengajarkan bahwa Kristus hanya datang dua kali.

Keenam, pertobatan yang terjadi berulang kali. Jika kita mengamati alur pola pikir para dispensasionalis, kita akan mendapati kekacauan pikiran, khususnya berkenaan dengan terjadinya pertobatan berulang kali. Pertobatan pertama terjadi pada Gereja-Nya. Lalu, terjadi pengangkatan. Kemudian, ketika ada tanda-tanda menjelang kedatangan Kristus kedua kalinya, ada pertobatan dari sisa-sisa Israel (pertobatan kedua). Setelah itu, Kristus datang kedua kalinya. Pada saat ini pun, sejumlah besar orang Israel yang masih hidup akan bertobat dan percaya kepada Yesus (pertobatan ketiga). Bagi orang ini, mereka akan masuk ke dalam sorga. Setelah itu ada penghakiman bagi bangsa Yahudi dan non-Yahudi. Setelah dihakimi, mereka yang bertobat, akhirnya mereka masuk dan menikmati berkat di dalam kerajaan 1000 tahun (pertobatan keempat). Di dalam kerajaan 1000 tahun ini, masih ada orang jahat dan percaya. Orang percaya sejati akan masuk ke dalam kekekalan, sedangkan orang jahat akan dihukum selama-lamanya. Dari 4 fase pertobatan yang kita amati ini, kita mendapati fakta bahwa pertobatan menurut kaum dispensasionalis terjadi murni karena kehendak manusia, bukan karena Roh Kudus. Jika pertobatan ini terjadi karena Roh Kudus, maka Roh Kudus tidak akan bekerja pada saat kedatangan Kristus kedua. Mengapa? Karena kedatangan Kristus kedua adalah kedatangan Kristus sebagai Hakim dan bukan sebagai Juruselamat, sehingga Roh Kudus tidak berfungsi di dalam hal keselamatan. Pertobatan yang terjadi murni karena kehendak bebas manusia jelas ditentang oleh Alkitab, karena Alkitab mengajarkan bahwa tanpa Roh Kudus, tidak ada orang yang dapat mengaku Yesus Kristus adalah Tuhan (bdk. 1Kor. 12:3b).

Dari keempat pandangan ini, kita bisa memilah sendiri pandangan mana yang lebih mendekati Alkitab, meskipun pandangan itu bukan hal yang mutlak. Dari keempat pandangan ini pula, kita belajar satu hal bahwa doktrin akhir zaman tidak bisa dipisahkan dari doktrin lain, seperti doktrin Allah, Alkitab, manusia dan dosa, keselamatan, dan Roh Kudus. Biarlah melalui pembahasan singkat ini, kita semakin mengerti bahwa kedatangan Kristus yang kedua kalinya semakin dekat. Meskipun kita tidak mengetahui kapan itu terjadi, tetapi marilah kita mempersiapkan diri dengan menguduskan hidup kita dan bersaksi bagi-Nya di mana pun kita berada.



[1] Anthony A. Hoekema, Alkitab dan Akhir Zaman, terj. Kalvin S. Budiman (Surabaya: Momentum, 2004).
[2] Ibid., hlm. 238.
[3] Ibid., hlm. 245-46.
[4] Ibid., hlm. 253.
[5] Ibid., hlm. 254.
[6] Ibid., hlm. 256-260.

Bab 7: Mandat Injil, Mandat Theologi, dan Mandat Budaya

Bab 7
Mandat Injil, Mandat Theologi, dan Mandat Budaya




Keunikan theologi Reformed poin kelima adalah gereja (kelihatan) dan orang Kristen (gereja yang tidak kelihatan) harus menegakkan mandat: Injil (penginjilan), theologi, dan budaya. Mari kita mengerti masing-masing artinya dan signifikansinya bagi kita sebagai orang Kristen di era postmodern ini.

7.1. Mandat Injil (Penginjilan)
Mandat terpenting yang diajarkan oleh Alkitab bukan mandat sosial, tetapi mandat penginjilan. Banyak penganut “theologi” religionum mementingkan aspek sosial di dalam misi dengan segudang “dukungan” ayat-ayat Alkitab, padahal inti berita Alkitab bukan itu, tetapi mandat penginjilan. Mengapa? Karena penginjilan adalah mandat dari Allah sendiri yang bertujuan membebaskan umat-Nya dari dosa/kegelapan menuju kepada Terang Allah yang ajaib (1Ptr. 2:9-10). Mandat terpenting yang Tuhan Yesus perintahkan bukan untuk menolong sesama, tetapi memberitakan Injil. Mari kita menelusuri pengajaran Alkitab yang paling penting ini.

Mandat penginjilan terlihat jelas di dalam Amanat Agung di dalam Matius 28:19-20, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman."” Sebelum ayat 19, di ayat 18, Tuhan Yesus menyatakan kuasa-Nya yang berdaulat (dari Allah Bapa) baik di Surga maupun di bumi. Dasar inilah yang menjadi dasar dan sumber Tuhan Yesus memerintahkan para rasul/murid untuk memberitakan Injil. Banyak orang “Kristen” bahkan “theolog/pemimpin gereja” yang mengajarkan bahwa Matius 28:19 hanya berlaku bagi para rasul, sehingga mereka menolak urgensinya penginjilan, lalu mereka menekankan pentingnya aksi sosial saja. Bahkan seorang pemimpin gereja dari gereja Protestan arus utama sampai mengatakan bahwa yang terpenting itu memberi sesama kita makan daripada menginjili mereka. Luar biasa aneh, seorang pemimpin gereja bisa menekankan pentingnya hal lahiriah ketimbang rohaniah.

Benarkah penginjilan tidak perlu dan hanya berlaku bagi para murid? Alkitab menjawabnya TIDAK!
Yang lebih unik lagi, pengabar Injil pertama bukan para rasul, tetapi seorang perempuan Samaria. Bacalah baik-baik diskusi Tuhan Yesus dengan perempuan Samaria di Yoh. 4:5-30 dan perhatikan reaksi perempuan itu setelah mengenal Tuhan Yesus di ayat 28-30, “Maka perempuan itu meninggalkan tempayannya di situ lalu pergi ke kota dan berkata kepada orang-orang yang di situ: "Mari, lihat! Di sana ada seorang yang mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat. Mungkinkah Dia Kristus itu?" Maka merekapun pergi ke luar kota lalu datang kepada Yesus.” Hal ini sangat berlainan dengan banyak orang Kristen di zaman postmodern ini. Mereka ada yang sudah banyak belajar doktrin, tetapi malas memberitakan Injil. Bahkan tidak sedikit para pemimpin gereja (yang sudah mulai liberal, meskipun mereka tidak mau mengakuinya) menolak dengan tegas pemberitaan Injil secara verbal, sebaliknya mengajarkan pemberitaan Injil melalui perbuatan baik. Tindakan ini jelas bertentangan mutlak dengan pengajaran Alkitab.

Contoh kedua, Filipus, salah seorang pelayan gereja mula-mula adalah seorang pengabar Injil. Dokter Lukas mencatat hal ini di dalam Kisah Para Rasul 8:5, “Dan Filipus pergi ke suatu kota di Samaria dan memberitakan Mesias kepada orang-orang di situ.” (bdk. Kis. 6:5) Filipus juga memberitakan Injil kepada sida-sida dari Etiopia (Kis. 8:26-40). Dan sida-sida Etiopia itu, meskipun tidak dicatat di Alkitab, juga memberitakan Injil kepada warga Etiopia, sehingga banyak warga Etiopia menjadi pengikut Kristus. Begitu juga seorang martir Kristus pertama, Stefanus, bukan seorang rasul, tetapi seorang pelayan Tuhan di gereja mula-mula (Kis. 6:5), tetapi dia juga seorang pengabar Injil yang rela mati demi Injil (baca: Kis. 7). Siapakah perempuan Samaria, Filipus, sida-sida dari Etiopia, dan Stefanus? Mereka bukan rasul, tetapi mereka tetap memberitakan Injil Kristus secara verbal.

Dari dua contoh singkat dari Perjanjian Baru ini, kita belajar bahwa penginjilan adalah tugas yang paling penting bagi gereja dan orang Kristen. Penginjilan sejati harus mencakup dua aspek: verbal dan perbuatan. Saya juga menambahkan bahwa penginjilan bisa melalui media internet, seperti email, Friendster, forum, milis, dll. Dengan kata lain, semua media baik cetak maupun elektronik bisa dipakai sebagai sarana penginjilan. Bagaimana dengan kita? Kristus memerintahkan kita untuk memberitakan Injil, sudahkah kita menjalankannya?


7.2. Mandat Theologi
Setelah kita memberitakan Injil, kita dituntut untuk mengajar mereka yang sudah diinjili. Kita dapat membaca urutannya di dalam Mat. 28:19-20, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman."” Setelah memberitakan Injil, Kristus memerintahkan para rasul (dan juga kita) untuk membaptis mereka sebagai bukti mereka menjadi warga/anggota keluarga Kerajaan Allah, lalu dilanjutkan dengan mengajar mereka yang sudah diinjili dan dibaptis itu dengan semua perkataan Tuhan Yesus (=Alkitab). Mandat untuk mengajar inilah yang saya sebut sebagai mandat theologi. Dari Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru, kita mendapatkan gambaran total mengenai pentingnya pengajaran theologi/iman Kristen yang beres (baik kepada anak-anak sejak kecil maupun kepada orang dewasa/jemaat). Mari kita menelusurinya.

Di dalam Kitab Ulangan 6:4-7, Tuhan berfirman, “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” Keempat ayat ini sering disebut sebagai Shema (=dengarlah). Ayat ini menjadi dasar iman orang Yahudi tentang Allah dan bagaimana orangtua Yahudi mendidik iman ini kepada anak-anak mereka sejak kecil sebagai wujud mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati dan jiwa dan kekuatan. Apa yang Tuhan perintahkan kepada orangtua Yahudi tentang mendidik iman ini kepada anak-anak mereka? Tuhan menuntut orangtua Yahudi mengajarkan iman ini secara berulang-ulang kepada anak-anak. English Standard Version (ESV) dan King James Version (KJV) menerjemahkannya sebagai mengajarkan dengan tekun (diligently). Artinya, iman kepada Allah bukan diajarkan secara sembarangan atau kalau ingat, tetapi iman adalah sesuatu yang terpenting yang harus diajarkan terus-menerus dengan tekun. Sebegitu pentingnya iman ini, maka Tuhan melanjutkan pengajaran-Nya melalui Musa agar para orangtua Yahudi membicarakan pentingnya iman ini kepada anak-anak mereka sejak kecil di mana dan kapan pun anak-anak mereka bersama para orangtua, baik ketika duduk di rumah, sedang di luar rumah atau di dalam perjalanan, bahkan ketika mereka mau tidur dan bangun. Dengan kata lain, sejak kecil, mereka memahami apa arti iman kepada Allah dan mengasihi-Nya, bahkan ketika mau tidur, mereka “didongengi” (lebih tepatnya, diajari) oleh para orangtua mereka tentang iman kepada Allah. Dari kecil, mereka belajar Taurat, dan setelah dewasa (kira-kira umur 30 tahun), mereka baru boleh mengajar. Perhatikan, itulah sebabnya Tuhan Yesus baru keluar mengajar pada usia 30 tahun. Jadi, tidaklah benar jika ada anggapan bahwa Tuhan Yesus pergi ke India untuk belajar Buddhisme, lalu kembali ke Israel pada usia 30 tahun untuk mengajar. Tradisi Israel yang mengajar pentingnya iman ini sangat berbeda dengan kondisi kita di zaman postmodern. Orangtua bahkan tidak sedikit orangtua Kristen mengabaikan pentingnya iman dan pengajaran iman kepada anak-anak, sehingga dari kecil, anak-anak tidak mendapatkan pengertian iman yang bertanggung jawab. Tidak usah heran, anak-anak yang sejak kecil tidak dididik dengan iman yang beres, ketika mereka tumbuh dewasa, mayoritas mereka hidup tidak karuan. Pdt. Sutjipto Subeno menuturkan bahwa di Amerika, karena adanya emansipasi (atau emansisapi?) wanita, ibu-ibu meninggalkan tugas menjaga dan merawat anak, lalu pergi bekerja. Akibatnya, anak-anak mereka tumbuh dewasa secara liar, hidup seenaknya sendiri, tidak mau dinasehati, dll. Lalu, akhirnya mereka sadar akan bahaya ini dan kemudian menyerukan agar ibu-ibu kembali ke rumah tangga dan mengurus anak-anak. Filsafat emansipasi dunia ternyata bukan memberikan solusi baik, malahan merusak generasi di masyarakat, tetapi sayang banyak orang Kristen bahkan pemimpin gereja malahan mendukung gerakan rusak ini. Kurangnya pendidikan tentang pentingnya iman mengakibatkan anak-anak hidup rusak. Mengapa? Karena iman sejati adalah dasar untuk berpikir, berkata-kata, dan bertindak (bdk. Ibr. 1:1-3).

Bukan hanya itu saja, selain orangtua “Kristen” tidak mengajar pentingnya iman Kristen kepada anak-anak, mereka sebaliknya mengajar mereka “pentingnya” pragmatisme, materialisme, dll (secara terselubung). Pdt. Sutjipto Subeno menuturkan bahwa banyak orangtua zaman postmodern ini (tidak terkecuali: “Kristen”) mengajarkan kepada anak-anaknya bahwa kalau mau melakukan segala sesuatu harus diukur untung ruginya. Akibatnya, ketika sudah menjadi dewasa, anak-anak mereka berpikir pragmatis, bahkan ketika diinjili, mereka akan berpikir apakah menjadi Kristen tambah untung atau rugi. Tidak heran, mereka akan dengan mudahnya masuk ke dalam banyak gerakan/golongan “Kristen” kontemporer saat ini yang menekankan “theologi” kemakmuran, karena itu cocok dengan pikiran yang ditanamkan orangtua mereka sejak kecil. Selain pragmatisme, Pdt. Sutjipto Subeno juga menuturkan bahwa para orangtua saat ini (banyak juga “Kristen” di dalamnya) mengajarkan materialisme dengan mengatakan bahwa anak-anak belajar dari kecil supaya bisa bekerja nantinya, kalau sudah bekerja, bisa mencari dan mendapatkan uang, lalu menikah, punya anak, lalu mendidik anak untuk belajar supaya bisa bekerja dan mendapatkan uang, dll. Siklus itu terus berputar dan tidak bertujuan akhir yang bertanggung jawab. Yang sungguh menakutkan, konsep ini juga diajarkan oleh banyak orangtua yang menyebut diri “Kristen” bahkan aktif “melayani Tuhan”. Apalagi, ditambah dengan maraknya buku-buku manajemen yang mengajarkan untuk tidak lagi beriman Kristen, misalnya buku-buku dari Robert T. Kiyosaki, seperti Rich Dad, Poor Dad, atau/dan Retire Young, Retire Rich (Pensiun Dini, Pensiun Kaya), dll. Saya melihat sendiri ada orangtua (ibu) “Kristen” yang mengajarkan prinsip-prinsip buku Kiyosaki ini kepada anaknya, lalu ketika orangtua ini ditegur, dia tidak mau, dengan segudang alasan. Akibat dari membaca buku Kiyosaki ini, anaknya makin gila-gilaan membuka toko, dan akibatnya bangkrut dan terlilit utang. Inilah realita dunia berdosa dengan pendidikan yang semakin hancur. Bagaimana dengan kita? Masihkah kita mau ditipu oleh arus dunia? Maukah kita hari ini berkomitmen menjalankan mandat theologi dengan mendidik iman Kristen yang beres kepada anak-anak kita sejak kecil supaya mereka tumbuh dewasa memuliakan Tuhan?

Kedua, penulis kitab Amsal memberikan kata-kata bijak tentang pentingnya mendidik anak. Amsal 22:6, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.” Amsal 29:17, “Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketenteraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu.” Dua bagian dari Amsal ini mencerahkan pikiran kita betapa pentingnya mendidik iman Kristen bahkan dari kecil. Pertama, mendidik orang muda berarti mendisiplin mereka. Kata “didiklah” dalam bahasa asli secara figuratif bisa diterjemahkan mendisiplin. Dengan kata lain, ketika kita mendidik orang muda (KJV: child/anak), kita juga mendisiplin mereka dengan prinsip-prinsip Kebenaran. Anak-anak yang dari kecil tidak didisiplin bisa berbahaya ketika mereka dewasa. Perhatikan apa yang ditekankan Amsal 22:6, anak yang dididik/didisiplin akan mengakibatkan di masa tuanya, ia tidak akan menyimpang dari jalan Kebenaran. Sebaliknya, mereka yang tidak dididik, di masa tuanya, kebanyakan mereka akan brutal dan hidup seenaknya sendiri (Roh Kudus bisa memimpin beberapa anak-anak – yang termasuk umat pilihan-Nya, tetapi kurang dididik oleh orangtua – untuk bertobat dan kembali kepada Kristus). Kedua, mendidik anak berarti menghukum mereka. Kata “didiklah” di dalam Amsal 29:17 dalam terjemahan KJV adalah Correct (=koreksilah) atau bisa diterjemahkan Chastise (=menghukum untuk kebaikan). Dengan kata lain, mendidik anak berarti juga rela menghukum anak kita yang berbuat salah tetapi bukan dengan maksud dendam atau melampiaskan emosi kita, tetapi dengan maksud kebaikan. Pdt. Sutjipto Subeno memberikan ilustrasi membedakan antara menghukum dengan maksud kebaikan Vs dengan emosional, dll. Misalnya, ketika gelas gratis (hadiah karena membeli deterjen, dll) di rumah tiba-tiba dipecahkan oleh anak kita, orangtua membiarkannya, tetapi ketika vas bunga atau guci antik yang dari Tiongkok yang mahal harganya tiba-tiba dipecahkan anak kita, orangtua langsung marah, lalu memukul anaknya dengan keras. Dari sini, anak akan bingung, mengapa ketika memecahkan gelas gratis, orangtuanya tidak marah, tetapi ketika memecahkan vas bunga/guci/dll, orangtuanya marah. Jelas terlihat, orangtua yang marah dan menghukum ini tidak tepat, karena orangtua ini menghukum bukan dengan tujuan kebaikan, tetapi karena mengganggu orangtua (prinsip: untung rugi à kalau gelas gratis yang pecah, orangtua tidak rugi, tetapi kalau vas bunga yang mahal pecah, orangtua merasa rugi). Seharusnya orangtua ini menghukum anak yang ceroboh menjatuhkan gelas gratis maupun vas bunga yang mahal, agar anak itu menyadari bahwa ia tidak boleh nakal/ceroboh. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mendidik anak dengan mendisiplin dan menghukum mereka ketika berbuat salah dengan motivasi dan tujuan kebaikan dan Kebenaran? Mari kita mengintrospeksi diri.

Ketiga, Tuhan melalui Rasul Paulus di dalam Efesus 6:4 mengajar, “Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.” Kembali, bapak-bapak diajar untuk tidak membuat anak-anaknya marah/dendam kepada mereka, tetapi mendidik mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. King James Version menerjemahkan “ajaran dan nasihat” sebagai penyuluhan/pengajaran dan peringatan (nurture and admonition). Di sini, kita belajar bahwa pengajaran penting dari para bapak/orangtua adalah bersumber dari Tuhan, yaitu apa yang diajarkan dan diperintahkan Tuhan. Dengan kata lain, firman Tuhan (Alkitab) menjadi standar mutlak pengajaran kepada anak-anak tentang mana yang merupakan kehendak Allah, yang baik, berkenan kepada Allah, dan sempurna (bdk. Rm. 12:2). Kalau orangtua “Kristen” sendiri masih meragukan keterandalan (ketidakbersalahan) Alkitab, bagaimana mereka bisa mengajar anak-anak mereka tentang firman Tuhan? Oleh karena itu, sebagai wujud mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, akal budi, dan kekuatan, marilah kita sebagai orangtua Kristen yang beres mendidik anak-anak kita di dalam iman Kristen yang bertanggung jawab, supaya anak-anak kita sejak kecil mengenal Tuhan dan ketika tumbuh dewasa, mereka makin memuliakan Tuhan.

Keempat, Rasul Paulus menasehatkan Timotius di dalam 2 Timotius 4:2, “Di hadapan Allah dan Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati, aku berpesan dengan sungguh-sungguh kepadamu demi penyataan-Nya dan demi Kerajaan-Nya: Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran.” Kepada Timotius, Paulus berpesan dengan sungguh-sungguh agar Timotius sebagai anak rohaninya tetap memberitakan Firman, bersiap sedia dalam segala waktu, menyatakan apa yang salah, menegur, dan menasehati dengan segala kesabaran dan pengajaran. Artinya, konsep pengajaran Firman ditekankan oleh Paulus melalui Timotius bagi jemaat Tuhan. Selain pengajaran Firman, jemaat juga harus dididik dan didisiplin melalui teguran, nasihat, dll supaya mereka makin menghargai ibadah di hadirat Tuhan. Banyak orang “Kristen” yang tahu banyak doktrin, tetapi tidak memiliki hati dan sikap yang hormat ketika beribadah di gereja. Mereka sembarangan bersikap di gereja, mengobrol sendiri, mengetik SMS ketika khotbah disampaikan, bahkan membiarkan bayi menangis yang mengganggu jemaat lain ketika khotbah diberitakan, dll. Masihkah orang ini disebut orang Kristen ketika ia tidak lagi memiliki sikap hati yang gentar ketika menghampiri hadirat Tuhan? Pengajaran firman Tuhan dan pendisiplinan jemaat ini begitu penting, mengapa? Di ayat 3-4, Paulus memberikan alasannya, “Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng.” Dari kedua ayat ini, Paulus mengemukakan alasannya yaitu karena adanya ajaran sesat yang berupa dongeng-dongeng isapan jempol yang begitu menarik jemaat. Hal yang sama juga terjadi di zaman postmodern. Peringatan Paulus juga menjadi peringatan bagi orang Kristen saat ini, yaitu pentingnya memberitakan dan mengajar Firman, karena apa yang terjadi di zaman Paulus (dan Timotius) ini juga terjadi di zaman kita. Zaman postmodern dipenuhi dengan orang-orang yang enggan mendengarkan Kebenaran, tetapi gemar mendengarkan dongeng-dongeng yang tidak berkualitas. Tidak heran, novel The Da Vinci Code laris manis, bahkan filmnya diputar di Indonesia dan di dunia. Dongeng begitu laris, lalu bagaimana sikap orang Kristen? Hanya bereaksi tentang dongeng itu? TIDAK. Pdt. Dr. Stephen Tong berkali-kali menekankan Kekristenan jangan pernah menjadi penjawab tantangan zaman, tetapi harus menjadi penantang zaman. Mengapa? Karena kita memiliki Kebenaran absolut, yaitu Firman Tuhan yang lebih tinggi daripada buku/kitab apapun. Firman Tuhan inilah yang harus didengungkan dan diajarkan secara ketat, teliti, jujur, dan bertanggung jawab. Melalui standar kebenaran Firman Tuhan, kita harus siap menantang segala filsafat dunia yang berdosa dan menundukkannya di bawah kaki Kristus. Theologi dan doktrin sejati adalah theologi/doktrin yang berpusat kepada Kristus (Christ-centered). Artinya, theologi yang beres adalah theologi yang melihat segala sesuatu dari sudut pandang kedaulatan Allah. Tetapi realita yang terjadi banyak “theologi” Kristen menawarkan diri sebagai yang paling Alkitabiah, dari “theologi” Katolik, Orthodoks Syria, religionum, sampai Karismatik/Pentakosta. Benarkah yang Alkitabiah pasti sesuai dengan Alkitab? Tidak. Di tengah kancah munculnya arus theologi yang mengklaim “Alkitabiah”, theologi Reformed muncul sebagai theologi yang berkomitmen setia kepada Alkitab. Agar dapat setia, theologi Reformed terus mau diperbarui supaya makin taat kepada Alkitab (ecclesia reformata semper reformanda), bukan taat kepada dunia yang berdosa dengan segala filsafatnya yang rusak (seperti: “theologi” religionum/social “gospel”)! Untuk mengerti secara ringkas tentang theologi Reformed (yang seharusnya Injili), mari kita simak perkataan Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam Prakata pada setiap buku Teologi Sistematika (yang ditulis oleh Prof. Dr. Louis Berkhof), “Sejarah membuktikan teologi yang berkompromi dengan pikiran jaman, secara lahiriah sepertinya lebih sesuai dengan jaman itu, namun sebenarnya segera akan digugurkan oleh jaman selanjutnya. Sedangkan Teologi Reformed seolah-olah kurang sesuai dengan arus jaman, namun telah menjadi penghakim pikiran jaman, yang sendirinya tidak berpangkalan pada kekekalan.”
[1] Theologi Reformed bukan theologi yang ikut arus zaman, tetapi theologi Reformed adalah theologi yang terus berubah untuk makin sesuai dengan kehendak Allah. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa orang yang terus ikut arus zaman adalah orang mati seperti ikan mati yang dibawa oleh arus air. Mengapa? Karena orang itu seperti ikan tidak memiliki standar iman dan hidup yang beres sesuai dengan Kebenaran. Tidak heran, theologi Reformed makin dibenci oleh orang-orang “Kristen” (bahkan para “pemimpin gereja”) yang terus ikut arus zaman dan tidak mau taat dan rela dibentuk oleh Allah dan firman-Nya. Hanya orang Kristen yang beres yang rela dibentuk oleh firman-Nya melalui theologi Reformed.

Sebagai penutup, biarlah kita memerhatikan apa yang diajarkan Paulus sendiri di dalam Kolose 2:8, “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus.” Ketika dunia berdosa menawarkan semua filsafatnya yang kosong dari rasionalisme, empirisisme, pragmatisme, materialisme, dll, masihkah kita sebagai orang Kristen yang beres tidak mau mengikuti arus tersebut dan kembali kepada Alkitab dan kedaulatan Allah? Ataukah kita masih saja berkompromi dengan filsafat dunia berdosa? Mari kita mengintrospeksi diri masing-masing.


7.3. Mandat Budaya
Setelah kita mengerti mandat penginjilan dan mandat theologi, tugas kita selanjutnya adalah menjalankan mandat budaya bagi kemuliaan Tuhan. Apa yang dimaksud dengan mandat budaya (cultural mandate)? Situs wikipedia memberikan definisi mandat budaya sebagai pengimplikasian iman Kristen di dalam kehidupan sehari-hari. (http://en.wikipedia.org/wiki/Cultural_mandate) Definisi ini cukup baik, tetapi kurang memadai. Mandat budaya yang benar adalah suatu mandat yang diperintahkan Tuhan sendiri kepada manusia untuk menaklukkan dan memelihara serta mengembalikan alam ciptaan-Nya itu untuk kemuliaan Tuhan. Di dalam Penciptaan, Tuhan Allah sendiri berfirman, “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi."” (Kej. 1:28) Tuhan memerintahkan manusia untuk menguasai alam ciptaan-Nya ini. Bukan hanya menguasai, Tuhan juga memerintahkan manusia untuk memeliharanya (Kej. 2:15). Artinya, Tuhan memerintahkan manusia untuk menguasai dan memelihara alam ciptaan-Nya untuk dipergunakan memuliakan-Nya selama-lamanya. Sehingga di dalam theologi Reformed, kita mengerti bahwa Tuhan memerintahkan kita bukan hanya mengurusi masalah rohani saja, tetapi juga kehidupan lain, misalnya politik, ekonomi, dll untuk menebus hal-hal tersebut bagi kemuliaan nama-Nya.


7.3.1.Dasar Mandat Budaya
Apa yang mendasari mandat budaya di dalam theologi Reformed?
Pertama, yaitu prinsip theologi Reformed yang memandang manusia sebagai nabi, imam, dan raja dari Allah. Rev. G. I. Williamson, B.D. di dalam bukunya Katekismus Singkat Westminster menguraikan arti dari Pertanyaan dan Jawaban ke-10 ini tentang bagaimana Allah menciptakan manusia. Sebagai nabi, manusia diciptakan Allah dalam hal pengetahuan-Nya. Artinya, manusia mampu memahami penyataan Allah sebelum mereka jatuh ke dalam dosa. Di dalam penciptaan, ini terlihat jelas ketika Adam memberi nama binatang (Kej. 2:20) dan Hawa, istrinya (Kej. 3:20). Begitu juga, manusia sebagai nabi, berfungsi sebagai orang yang melihat kebenaran Allah dan menyatakannya bagi kebaikan orang lain.
[2] Dalam kaitannya dengan mandat budaya, sebagai nabi, manusia menaati perintah Allah untuk memelihara alam ini untuk kemuliaan-Nya. Sebagai imam, manusia diciptakan Allah di dalam hal kekudusan. Artinya, ia dikuduskan Allah untuk melayani-Nya.[3] Dalam hal ini, juga berarti manusia dikuduskan Allah untuk menebus kembali ciptaan-Nya untuk memuliakan-Nya. Terakhir, sebagai raja, ia diciptakan Allah dalam hal kebenaran. Artinya, ia menjalankan dengan setia sesuai dengan apa yang sudah diketahuinya (sebagai nabi) dan kerinduan yang dikuduskan untuk melayani Dia (sebagai imam).[4] Dalam kaitan dengan mandat budaya, manusia diciptakan sebagai raja untuk menguasai alam ciptaan-Nya ini dengan bertanggung jawab.

Kedua, prinsip anugerah umum Allah (common grace of God) dan anugerah khusus Allah (saving grace of God). Anugerah umum Allah berarti anugerah Allah yang diberikan kepada semua manusia tanpa kecuali dan tidak bersifat menyelamatkan. Anugerah ini berupa pemeliharaan Allah secara umum kepada semua manusia, misalnya seperti yang dikatakan Tuhan Yesus, “Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” (Mat. 5:45) Jadi, Allah memelihara alam semesta ini untuk manusia, dengan cara menurunkan hujan dan menerbitkan matahari sesuai pemeliharaan-Nya baik bagi umat pilihan-Nya maupun bukan umat pilihan. Anugerah umum juga bisa berupa suara hati nurani (ada sedikit kaitannya dengan wahyu umum Allah secara internal, yaitu hati nurani—istilah Pdt. Dr. Stephen Tong) yang sudah ditanamkan Allah untuk menjadi wakil Allah memimpin manusia untuk mengetahui mana yang benar dan salah. Anugerah umum ini diberikan Allah dengan tujuan untuk mengurangi kejahatan di dunia ini. Dari prinsip ini, kita belajar bagaimana melalui hati nurani dan pemeliharaan Allah secara umum, kita masih bisa menyaksikan kedaulatan Allah yang dipahami secara umum. Kita bisa belajar dari orang-orang non-Kristen tentang etika, keluarga, dll (saya lebih suka merekomendasikan banyak filsafat Kong Fu Tse dan Tao ketimbang agama-agama lain) karena di dalam filsafat-filsafat dan agama-agama tersebut terkandung suatu bijaksana sebagai respon terhadap wahyu umum Allah atau pun merupakan penerima anugerah umum Allah. Tetapi pengenalan akan Allah tidak cukup hanya melalui anugerah umum Allah. Allah memberikan anugerah khususnya yang bersifat menyelamatkan bagi umat pilihan-Nya, yaitu anugerah penebusan di dalam Kristus. Mengutip salah satu pernyataan Pdt. Sutjipto Subeno, Kristus sendiri yang berinkarnasi adalah wujud intervensi Allah sendiri ke dalam dunia ciptaan (Allah menjadi manusia). Dengan kata lain, inkarnasi Kristus sendiri menunjukkan proses penebusan budaya pertama kalinya. Lalu, hal ini diteruskan kepada kita sebagai umat pilihan-Nya untuk melaksanakan apa yang telah Kristus kerjakan. Dengan kata lain, anugerah khusus Allah yang menyelamatkan harus menjadi penerang dan penghakim anugerah umum Allah yang telah diselewengkan oleh dosa. Injil Kristus di Alkitab yang merupakan wahyu khusus Allah bukan hanya berbicara mengenai cara kita masuk Surga dan hidup dalam Kerajaan Allah, tetapi Injil juga mengajar kita tentang bagaimana hidup di dalam kerajaan dunia ini dengan pedoman dan fokus dari Kerajaan Allah. Setelah kita mengerti tentang signifikansi Injil ini, kita akan semakin memahami tentang menjadi garam dan terang bagi dunia. Menjadi garam berarti kita memberikan pengaruh kepada dunia kita melalui kehadiran kita di tengah dunia. Menjadi terang berarti kita memberikan terang Kristus yang menerangi kegelapan dunia berdosa. Dua hal ini jika digabung akan menjadi kekuatan kuasa anak-anak Tuhan dalam menebus budaya bagi Kristus.

7.3.2.Menjalankan Mandat Budaya
Lalu, bagaima kita menjalankan mandat budaya?
Pertama, percaya kedaulatan Allah dan Alkitab. Titik pertama yang mutlak ketika kita mau menjalankan mandat budaya adalah memercayai dengan mutlak kedaulatan Allah sebagai Pencipta, Pemelihara, Penebus, dan Penyempurna segala sesuatu (belajar lagi 7 prinsip kedaulatan Allah yang saya paparkan di atas) dan Alkitab. Mengapa? Karena dengan mempelajari kedaulatan Allah, kita semakin mengerti seberapa dahsyat dan agungnya Allah kita, dan di situ, kita baru menyadari bahwa mandat dari Allah yang Mahaagung itu harus kita jalankan dengan penuh kegentaran. Tidak heran, di mana theologi Reformasi/Reformed berada, para penganutnya selalu memberikan sumbangsih positif bagi negara/daerah di mana mereka tinggal melalui semangat mereka yang bekerja keras seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kol. 3:23). Geneva, tempat di mana Calvin pernah mengajar dan tinggal, menghasilkan barang berkualitas tinggi. Sumber wikipedia menyebut Geneva sebagai penghasil arloji berkualitas, seperti:
Baume et Mercier, Chopard, Franck Muller, Patek Philippe, Rolex, Raymond Weil, Omega, etc. (http://en.wikipedia.org/wiki/Geneva) Pdt. Dr. Stephen Tong menuturkan bahwa Dr. Martin Luther adalah seorang petani yang memiliki semangat keakuratan, ketelitian, kejujuran, dan kesungguhan yang tidak bisa dikompromikan, sehingga semangat ini memengaruhi komposer musik klasik ternama, Johann Sebastian Bach (21 Maret 1685-28 Juli 1750). Begitu juga dengan George Frideric Handel (Jumat, 23 Februari 1685­-Sabtu, 14 April 1759). Kedua tokoh komposer musik ini dipengaruhi oleh theologi Reformasi/Lutheran. Lalu, baru setelah itu, Joseph Haydn, Wolfgang Amadeus Mozart, dan Ludwig van Beethoven ynag beragama Katolik juga ikut-ikutan menggubah musik setelah meneladani dua tokoh musik besar tadi.[5] Ini membuktikan keterandalan negara-negara yang dipengaruhi oleh Reformasi dan Kekristenan. Contoh lain, bandingkan antara warga Jerman/Belanda dalam membangun rumah dengan warga Indonesia dalam membangun rumah. Orang-orang Jerman, Belanda, dll yang dipengaruhi oleh semangat Reformasi Luther maupun Calvin selalu membuat rumah dengan arsitektur yang indah, teratur, teliti, sedangkan banyak orang Indonesia (non-Kristen) kalau membuat rumah sangat kacau, jika dilihat dari atas, bangunannya tidak teratur dan asimetris.
Bukan hanya percaya pada kedaulatan Allah, umat pilihan harus percaya ketidakbersalahan Alkitab karena ketidakbersalahan Allah sendiri sebagai Pengwahyu Alkitab (baca penjelasan saya di poin kedua keunikan theologi Reformed tentang Otoritas Alkitab). Artinya, ia mengimani 100% apa yang diajarkan Alkitab sebagai Kebenaran yang tanpa salah. Baru setelah itu, ia baru bisa menjalankan mandat budaya dengan prinsip yang jelas. Sebagai contoh, konsep demokrasi muncul dari Kekristenan dipengaruhi oleh Reformasi baik dari Luther maupun Calvin. Konsep ini, menurut Pdt. Dr. Stephen Tong, tidak ditemukan dalam agama-agama lain, kecuali dalam Kekristenan yang dimengerti di dalam kerangka pikir theologi Reformasi dan Reformed. Apa arti demokrasi? Demokrasi berarti suatu pemerintahan bukan di tangan Allah atau penguasa, tetapi di tangan rakyat. Konsep ini sebenarnya bersumber dari pengajaran bahwa manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah. Sebagai pribadi yang diciptakan, Prof. Anthony A. Hoekema, Th.D. memaparkan konsep yang menarik, yaitu manusia adalah makhluk yang memiliki “kehendak bebas” sekaligus manusia yang harus bergantung dan taat mutlak pada Pencipta (yang diciptakan).
[6] Karena manusia memiliki “kemandirian yang relatif”, maka manusia berhak menentukan hidupnya sendiri termasuk bagi masyarakat. Tetapi ia harus ingat bahwa manusia tetap adalah ciptaan yang harus bergantung pada Allah. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, konsep kedua (manusia sebagai ciptaan) dibuang dan konsep pertama (manusia sebagai pribadi) dijunjung tinggi. Akibatnya, manusia mengerti kehendak bebas dengan seliar mungkin tanpa ada referensi dari Kebenaran. Di saat itulah, muncullah demokrasi tanpa kebenaran. Demokrasi ini muncul di dalam Perjanjian Lama, ketika bangsa Israel mengomel dan bosan karena setiap hari diperintah Tuhan, maka mereka meminta raja untuk memerintah mereka seperti bangsa lain yang memiliki raja (1Sam. 8:5). Lalu, apa jawab Tuhan? Perhatikanlah, Tuhan berfirman kepada Samuel, “Dengarkanlah perkataan bangsa itu dalam segala hal yang dikatakan mereka kepadamu, sebab bukan engkau yang mereka tolak, tetapi Akulah yang mereka tolak, supaya jangan Aku menjadi raja atas mereka. Tepat seperti yang dilakukan mereka kepada-Ku sejak hari Aku menuntun mereka keluar dari Mesir sampai hari ini, yakni meninggalkan Daku dan beribadah kepada allah lain, demikianlah juga dilakukan mereka kepadamu. Oleh sebab itu dengarkanlah permintaan mereka, hanya peringatkanlah mereka dengan sungguh-sungguh dan beritahukanlah kepada mereka apa yang menjadi hak raja yang akan memerintah mereka.” (1Sam. 8:7-9) Lalu, Tuhan memberi tahukan hak raja yang menguasai Israel (baca ayat 11-18), dan akhirnya Israel tetap meminta seorang raja (ay. 19-20). Setelah itu, Tuhan mengabulkan permintaan mereka karena Ia mau membuktikan kesalahan dan kebebalan permintaan mereka kepada-Nya (ay. 21-22 dan pasal-pasal selanjutnya) Meskipun ada raja, Perjanjian Lama mengindikasikan bahwa ada raja yang takut akan Tuhan, dan sebaliknya ada raja yang tidak takut akan Tuhan. Inilah resiko yang diambil oleh orang Israel karena mereka bersungut-sungut meminta raja. Tuhan kadang kala membiarkan manusia memberontak untuk menunjukkan seberapa “kuat” mereka di hadapan-Nya. Begitu pula, Tuhan menunjukkan kepada kita kebebalan manusia berdosa serupa melalui dampak praktis demokrasi yang tanpa disertai Kebenaran ini muncul di negara-negara seperti Amerika, dan diadopsi oleh Indonesia yang mayoritas penduduknya belum berpendidikan tinggi (lebih tepatnya bermoral). Di Amerika, demokrasi mengakibatkan Amerika bukan sebagai negara yang bermoral baik, tetapi justru menjadikan Amerika sebagai pusat munculnya ajaran sesat. Perhatikanlah, dari mana munculnya bidat Children of God? Dari Amerika. Dari mana munculnya Saksi-saksi Yehuwa? Dari Amerika. Lalu, konsep ini mau diimpor dan diterapkan di Indonesia. Tidak heran, di negara kita, etika tidak lagi dijunjung tinggi, tetapi demokrasi. Semua orang mau menuntut hak, tetapi mengabaikan kewajiban. Semua buruh demonstrasi menuntut kenaikan gaji, tanpa mengintrospeksi diri apakah kewajiban mereka sudah dikerjakan maksimal atau belum. Di dalam Kekristenan, hal serupa terjadi. Banyak orang “Kristen” menuntut hak, mengklaim janji-janji Tuhan untuk memberkati, dll, tetapi mereka yang menuntut hak hampir semua tidak mau berkorban menyangkal diri, memikul salib, dll sebagai kewajiban mereka sebagai pengikut Kristus. Marilah sebagai orang Kristen sejati, kita tidak lagi menuruti arus dunia, tetapi kembali kepada kedaulatan Allah dan Alkitab, sehingga kita bisa menjadi garam dan terang bagi dunia. Caranya, dengan kita tidak terus menuntut hak, tetapi terus mengerjakan kewajiban asasi.

Kedua, mengamati kondisi dunia kita. Pengetahuan Alkitab tidaklah cukup jika kita mau menebus budaya dunia kita. Oleh sebab itu, kita juga perlu mengetahui dan mengamati kondisi dunia dan budaya yang ada di dalamnya yang mau kita tebus. Tuhan Yesus mengajarkan bahwa kita harus peka melihat tanda-tanda zaman. Kepekaan itu dimengerti sebagai kepekaan kita sebagai pengikut Kristus melihat semua zaman dan dunia berdosa dari kacamata/perspektif kedaulatan Allah (God’s perspective), bukan dari kacamata dunia berdosa. Ketika kita melihat segala sesuatu dari kacamata Allah, kita akan menemukan betapa pentingnya kita menebus budaya kita yang rusak ini untuk dikembalikan kepada Allah sebagai Pencipta dan Sumber. Prof. Dr. Ds. Abraham Kuyper, salah satu contoh theolog Reformed (sering disebut sebagai: Pendiri/Bapak Neo-Calvinisme) adalah seorang yang mengamati tanda-tanda zaman, di mana Kekristenan sudah pada waktu itu mulai diserang oleh liberalisme (“Reformed” liberal: Hervormd) yang mengakibatkan orang Kristen mengalami kelesuan (atau “ketidakgairahan”) rohani. Dr. Kuyper akhirnya membangunkan orang Kristen dengan mengajarkan iman Kristen yang beres yang diimplikasikan pada kehidupan politik, sains, seni, dll. Bacalah buku Ceramah-ceramah Mengenai Calvinisme
[7] (Lectures on Calvinism) yang merupan pidato beliau di Princeton Theological Seminary, U.S.A. pada tahun 1898 (lalu Princeton University memberikan anugerah gelar doktor dalam bidang hukum kepada Dr. Kuyper)[8], Anda akan mengerti seberapa dalam pengaruh Calvinisme di dalam hampir setiap segi kehidupan dikontraskan dengan budaya dunia melalui agama-agama dan theologi yang tidak bertanggung jawab.

Ketiga, menjalankan apa yang kita percayai dengan gentar dan keluar dari hati yang taat. Setelah kita mengerti doktrin Reformed tentang kedaulatan Allah dan Alkitab serta budaya di mana kita hidup, kita dituntut untuk melakukan mandat budaya dengan mengintegrasikan iman Kristen yang sejati dengan setiap bidang kehidupan untuk memuliakan Tuhan. Mengerjakan mandat budaya ini selain dibekali dengan doktrin yang matang tentang kedaulatan Allah dan Alkitab juga harus keluar dari motivasi hati yang murni dan taat kepada firman Tuhan sambil disertai kegentaran melakukannya di hadapan Allah. Artinya ada kerinduan dari hati kita terdalam untuk taat pada firman Tuhan yaitu menjadi garam dan terang dunia. Dan kerinduan ini dipimpin dan dimurnikan oleh Roh Kudus melalui firman Tuhan, sehingga kerinduan ini dapat kita jalankan dengan hikmat dan kuasa Roh Kudus. Ingatlah satu hal, menjalankan mandat budaya tidak hanya dibutuhkan doktrin dan intelektualitas tinggi saja, tetapi yang lebih penting adalah kuasa Roh Kudus. Saya sudah mengalami bagaimana menjalankan mandat budaya, oleh karena itu saya bisa mengatakan bahwa mandat budaya seperti mandat penginjilan tidak bisa dilepaskan dari kuasa Roh Kudus yang dinamis. Teladanilah juga semangat Dr. Abraham Kuyper seperti yang telah saya paparkan di atas yang dengan berkobar-kobar memperjuangkan iman Kristen di dalam hal politik dan hukum, sehingga selain sebagai gembala sidang dan theolog, Dr. Kuyper juga menjadi negarawan dan sempat menjabat sebagai Perdana Menteri Belanda (1901-1905). Selain itu, Dr. John Hendrik de Vries di dalam kata pengantar buku Ceramah-ceramah Mengenai Calvinisme ini memaparkan bahwa Dr. Kuyper juga sebagai filsuf, ilmuwan, kritikus, pemimpin partai, pakar linguistik, dermawan, pakar publikasi, dll.
[9] Semua ini dilatarbelakangi oleh semangat dan hati beliau yang ingin menghadirkan Kristus di dalam setiap bidang kehidupan. Semboyannya yang terkenal, “There is not a single inch in the whole domain of our human existence over which Christ, who is sovereign over all, does not cry: Mine!” (terjemahan bebas: Tidak ada satu inci pun dalam seluruh keberadaan manusia tanpa Kristus berdaulat atasnya.) Adakah kita memiliki hati seperti Dr. Kuyper?

Keempat, mengetahui resiko dan tetap setia menjalankan mandat budaya. Dalam menjalankan mandat budaya, pasti ada resiko. Dan yang lebih berbahaya, resiko itu bukan datang dari orang non-Kristen, tetapi dari orang “Kristen” sendiri bahkan yang mengklaim diri “melayani ‘tuhan’”. Berapa banyak guru/dosen yang mengaku diri “Kristen” mengajar di kampus yang mengklaim diri “Kristen” ternyata adalah para praktisi atheis praktis yang melarang mahasiswa/inya menyebutkan iman Kristen dalam perkuliahan? Inilah tantangan terbesar dalam menjalankan mandat budaya dan saya sudah mengalami resiko ini. Lalu, apa yang harus kita kerjakan? Diam dan mengikuti apa yang dunia tawarkan? TIDAK. Sebagai pengikut Kristus yang mengerti mandat budaya, kita harus melawan dan bahkan menantang dunia. Tidak ada kata menyerah dalam kamus Kristen untuk menjalankan mandat dari Allah. Tuhan tidak mau kita terbuai oleh bujuk rayu iblis melalui resiko yang menghimpit kita. Tuhan mau kita menerobos semua kesulitan dengan pimpinan Allah. Sebagai kesaksian, saya telah mengalami resiko pahit yaitu dilarang mengatakan iman Kristen di dalam setiap perkuliahan, tetapi saya TIDAK pernah mengikuti larangan itu dan saya tetap memperjuangkan mandat budaya, dan terbukti hasil akhir perkuliahan saya yang diajar oleh dosen yang melarang saya itu cukup baik (meskipun tidak mencapai angka 8). Saya mengalami sendiri apa yang Tuhan janjikan, yaitu ketika kita taat kepada-Nya dan firman-Nya, Ia akan berjanji menyertai kita bahkan ketika kita diperhadapkan pada musuh. Ketika ada bahaya menyerang ketika menjalankan mandat budaya, jangan pernah menyerah, percayalah Roh Kudus akan memperlengkapi dan memimpin kita dengan kekuatan dan kuasa-Nya yang dahsyat. Kita hanya diminta taat dan selebihnya serahkanlah kepada kuasa-Nya yang melampaui segala sesuatu.

Setelah mengetahui prinsip-prinsip tentang mandat budaya, maukah kita dengan hati yang taat dan rela serta sungguh-sungguh mau menjalankan apa yang Tuhan perintahkan ini? Biarlah doktrin bukan menjadi doktrin yang menguasai rasio kita saja, tetapi menguasai hati dan perilaku kita di dalam menjalankan perintah-Nya demi kemuliaan-Nya.

[1] Louis Berkhof, Teologi Sistematika: Doktrin Allah, vii.
[2] G. I. Williamson, Katekismus Singkat Westminster 1, terj. The Boen Giok (Surabaya: Momentum, 2006), hlm. 57-58.
[3] Ibid., hlm. 58-59.
[4] Ibid., hlm. 59-60.
[5] Stephen Tong, Reformasi dan Teologi Reformed (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1991), hlm. 106.
[6] Anthony A. Hoekema, Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah, terj. Irwan Tjulianto (Surabaya: Momentum, 2003), hlm. 8-9.
[7] Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Momentum, 2005.
[8] Abraham Kuyper, Ceramah-ceramah Mengenai Calvinisme, terj. Peter Suwadi Wong (Surabaya: Momentum, 2005), viii.
[9] Ibid., ix.