02 May 2008

Bab 7: Mandat Injil, Mandat Theologi, dan Mandat Budaya

Bab 7
Mandat Injil, Mandat Theologi, dan Mandat Budaya




Keunikan theologi Reformed poin kelima adalah gereja (kelihatan) dan orang Kristen (gereja yang tidak kelihatan) harus menegakkan mandat: Injil (penginjilan), theologi, dan budaya. Mari kita mengerti masing-masing artinya dan signifikansinya bagi kita sebagai orang Kristen di era postmodern ini.

7.1. Mandat Injil (Penginjilan)
Mandat terpenting yang diajarkan oleh Alkitab bukan mandat sosial, tetapi mandat penginjilan. Banyak penganut “theologi” religionum mementingkan aspek sosial di dalam misi dengan segudang “dukungan” ayat-ayat Alkitab, padahal inti berita Alkitab bukan itu, tetapi mandat penginjilan. Mengapa? Karena penginjilan adalah mandat dari Allah sendiri yang bertujuan membebaskan umat-Nya dari dosa/kegelapan menuju kepada Terang Allah yang ajaib (1Ptr. 2:9-10). Mandat terpenting yang Tuhan Yesus perintahkan bukan untuk menolong sesama, tetapi memberitakan Injil. Mari kita menelusuri pengajaran Alkitab yang paling penting ini.

Mandat penginjilan terlihat jelas di dalam Amanat Agung di dalam Matius 28:19-20, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman."” Sebelum ayat 19, di ayat 18, Tuhan Yesus menyatakan kuasa-Nya yang berdaulat (dari Allah Bapa) baik di Surga maupun di bumi. Dasar inilah yang menjadi dasar dan sumber Tuhan Yesus memerintahkan para rasul/murid untuk memberitakan Injil. Banyak orang “Kristen” bahkan “theolog/pemimpin gereja” yang mengajarkan bahwa Matius 28:19 hanya berlaku bagi para rasul, sehingga mereka menolak urgensinya penginjilan, lalu mereka menekankan pentingnya aksi sosial saja. Bahkan seorang pemimpin gereja dari gereja Protestan arus utama sampai mengatakan bahwa yang terpenting itu memberi sesama kita makan daripada menginjili mereka. Luar biasa aneh, seorang pemimpin gereja bisa menekankan pentingnya hal lahiriah ketimbang rohaniah.

Benarkah penginjilan tidak perlu dan hanya berlaku bagi para murid? Alkitab menjawabnya TIDAK!
Yang lebih unik lagi, pengabar Injil pertama bukan para rasul, tetapi seorang perempuan Samaria. Bacalah baik-baik diskusi Tuhan Yesus dengan perempuan Samaria di Yoh. 4:5-30 dan perhatikan reaksi perempuan itu setelah mengenal Tuhan Yesus di ayat 28-30, “Maka perempuan itu meninggalkan tempayannya di situ lalu pergi ke kota dan berkata kepada orang-orang yang di situ: "Mari, lihat! Di sana ada seorang yang mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat. Mungkinkah Dia Kristus itu?" Maka merekapun pergi ke luar kota lalu datang kepada Yesus.” Hal ini sangat berlainan dengan banyak orang Kristen di zaman postmodern ini. Mereka ada yang sudah banyak belajar doktrin, tetapi malas memberitakan Injil. Bahkan tidak sedikit para pemimpin gereja (yang sudah mulai liberal, meskipun mereka tidak mau mengakuinya) menolak dengan tegas pemberitaan Injil secara verbal, sebaliknya mengajarkan pemberitaan Injil melalui perbuatan baik. Tindakan ini jelas bertentangan mutlak dengan pengajaran Alkitab.

Contoh kedua, Filipus, salah seorang pelayan gereja mula-mula adalah seorang pengabar Injil. Dokter Lukas mencatat hal ini di dalam Kisah Para Rasul 8:5, “Dan Filipus pergi ke suatu kota di Samaria dan memberitakan Mesias kepada orang-orang di situ.” (bdk. Kis. 6:5) Filipus juga memberitakan Injil kepada sida-sida dari Etiopia (Kis. 8:26-40). Dan sida-sida Etiopia itu, meskipun tidak dicatat di Alkitab, juga memberitakan Injil kepada warga Etiopia, sehingga banyak warga Etiopia menjadi pengikut Kristus. Begitu juga seorang martir Kristus pertama, Stefanus, bukan seorang rasul, tetapi seorang pelayan Tuhan di gereja mula-mula (Kis. 6:5), tetapi dia juga seorang pengabar Injil yang rela mati demi Injil (baca: Kis. 7). Siapakah perempuan Samaria, Filipus, sida-sida dari Etiopia, dan Stefanus? Mereka bukan rasul, tetapi mereka tetap memberitakan Injil Kristus secara verbal.

Dari dua contoh singkat dari Perjanjian Baru ini, kita belajar bahwa penginjilan adalah tugas yang paling penting bagi gereja dan orang Kristen. Penginjilan sejati harus mencakup dua aspek: verbal dan perbuatan. Saya juga menambahkan bahwa penginjilan bisa melalui media internet, seperti email, Friendster, forum, milis, dll. Dengan kata lain, semua media baik cetak maupun elektronik bisa dipakai sebagai sarana penginjilan. Bagaimana dengan kita? Kristus memerintahkan kita untuk memberitakan Injil, sudahkah kita menjalankannya?


7.2. Mandat Theologi
Setelah kita memberitakan Injil, kita dituntut untuk mengajar mereka yang sudah diinjili. Kita dapat membaca urutannya di dalam Mat. 28:19-20, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman."” Setelah memberitakan Injil, Kristus memerintahkan para rasul (dan juga kita) untuk membaptis mereka sebagai bukti mereka menjadi warga/anggota keluarga Kerajaan Allah, lalu dilanjutkan dengan mengajar mereka yang sudah diinjili dan dibaptis itu dengan semua perkataan Tuhan Yesus (=Alkitab). Mandat untuk mengajar inilah yang saya sebut sebagai mandat theologi. Dari Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru, kita mendapatkan gambaran total mengenai pentingnya pengajaran theologi/iman Kristen yang beres (baik kepada anak-anak sejak kecil maupun kepada orang dewasa/jemaat). Mari kita menelusurinya.

Di dalam Kitab Ulangan 6:4-7, Tuhan berfirman, “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” Keempat ayat ini sering disebut sebagai Shema (=dengarlah). Ayat ini menjadi dasar iman orang Yahudi tentang Allah dan bagaimana orangtua Yahudi mendidik iman ini kepada anak-anak mereka sejak kecil sebagai wujud mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati dan jiwa dan kekuatan. Apa yang Tuhan perintahkan kepada orangtua Yahudi tentang mendidik iman ini kepada anak-anak mereka? Tuhan menuntut orangtua Yahudi mengajarkan iman ini secara berulang-ulang kepada anak-anak. English Standard Version (ESV) dan King James Version (KJV) menerjemahkannya sebagai mengajarkan dengan tekun (diligently). Artinya, iman kepada Allah bukan diajarkan secara sembarangan atau kalau ingat, tetapi iman adalah sesuatu yang terpenting yang harus diajarkan terus-menerus dengan tekun. Sebegitu pentingnya iman ini, maka Tuhan melanjutkan pengajaran-Nya melalui Musa agar para orangtua Yahudi membicarakan pentingnya iman ini kepada anak-anak mereka sejak kecil di mana dan kapan pun anak-anak mereka bersama para orangtua, baik ketika duduk di rumah, sedang di luar rumah atau di dalam perjalanan, bahkan ketika mereka mau tidur dan bangun. Dengan kata lain, sejak kecil, mereka memahami apa arti iman kepada Allah dan mengasihi-Nya, bahkan ketika mau tidur, mereka “didongengi” (lebih tepatnya, diajari) oleh para orangtua mereka tentang iman kepada Allah. Dari kecil, mereka belajar Taurat, dan setelah dewasa (kira-kira umur 30 tahun), mereka baru boleh mengajar. Perhatikan, itulah sebabnya Tuhan Yesus baru keluar mengajar pada usia 30 tahun. Jadi, tidaklah benar jika ada anggapan bahwa Tuhan Yesus pergi ke India untuk belajar Buddhisme, lalu kembali ke Israel pada usia 30 tahun untuk mengajar. Tradisi Israel yang mengajar pentingnya iman ini sangat berbeda dengan kondisi kita di zaman postmodern. Orangtua bahkan tidak sedikit orangtua Kristen mengabaikan pentingnya iman dan pengajaran iman kepada anak-anak, sehingga dari kecil, anak-anak tidak mendapatkan pengertian iman yang bertanggung jawab. Tidak usah heran, anak-anak yang sejak kecil tidak dididik dengan iman yang beres, ketika mereka tumbuh dewasa, mayoritas mereka hidup tidak karuan. Pdt. Sutjipto Subeno menuturkan bahwa di Amerika, karena adanya emansipasi (atau emansisapi?) wanita, ibu-ibu meninggalkan tugas menjaga dan merawat anak, lalu pergi bekerja. Akibatnya, anak-anak mereka tumbuh dewasa secara liar, hidup seenaknya sendiri, tidak mau dinasehati, dll. Lalu, akhirnya mereka sadar akan bahaya ini dan kemudian menyerukan agar ibu-ibu kembali ke rumah tangga dan mengurus anak-anak. Filsafat emansipasi dunia ternyata bukan memberikan solusi baik, malahan merusak generasi di masyarakat, tetapi sayang banyak orang Kristen bahkan pemimpin gereja malahan mendukung gerakan rusak ini. Kurangnya pendidikan tentang pentingnya iman mengakibatkan anak-anak hidup rusak. Mengapa? Karena iman sejati adalah dasar untuk berpikir, berkata-kata, dan bertindak (bdk. Ibr. 1:1-3).

Bukan hanya itu saja, selain orangtua “Kristen” tidak mengajar pentingnya iman Kristen kepada anak-anak, mereka sebaliknya mengajar mereka “pentingnya” pragmatisme, materialisme, dll (secara terselubung). Pdt. Sutjipto Subeno menuturkan bahwa banyak orangtua zaman postmodern ini (tidak terkecuali: “Kristen”) mengajarkan kepada anak-anaknya bahwa kalau mau melakukan segala sesuatu harus diukur untung ruginya. Akibatnya, ketika sudah menjadi dewasa, anak-anak mereka berpikir pragmatis, bahkan ketika diinjili, mereka akan berpikir apakah menjadi Kristen tambah untung atau rugi. Tidak heran, mereka akan dengan mudahnya masuk ke dalam banyak gerakan/golongan “Kristen” kontemporer saat ini yang menekankan “theologi” kemakmuran, karena itu cocok dengan pikiran yang ditanamkan orangtua mereka sejak kecil. Selain pragmatisme, Pdt. Sutjipto Subeno juga menuturkan bahwa para orangtua saat ini (banyak juga “Kristen” di dalamnya) mengajarkan materialisme dengan mengatakan bahwa anak-anak belajar dari kecil supaya bisa bekerja nantinya, kalau sudah bekerja, bisa mencari dan mendapatkan uang, lalu menikah, punya anak, lalu mendidik anak untuk belajar supaya bisa bekerja dan mendapatkan uang, dll. Siklus itu terus berputar dan tidak bertujuan akhir yang bertanggung jawab. Yang sungguh menakutkan, konsep ini juga diajarkan oleh banyak orangtua yang menyebut diri “Kristen” bahkan aktif “melayani Tuhan”. Apalagi, ditambah dengan maraknya buku-buku manajemen yang mengajarkan untuk tidak lagi beriman Kristen, misalnya buku-buku dari Robert T. Kiyosaki, seperti Rich Dad, Poor Dad, atau/dan Retire Young, Retire Rich (Pensiun Dini, Pensiun Kaya), dll. Saya melihat sendiri ada orangtua (ibu) “Kristen” yang mengajarkan prinsip-prinsip buku Kiyosaki ini kepada anaknya, lalu ketika orangtua ini ditegur, dia tidak mau, dengan segudang alasan. Akibat dari membaca buku Kiyosaki ini, anaknya makin gila-gilaan membuka toko, dan akibatnya bangkrut dan terlilit utang. Inilah realita dunia berdosa dengan pendidikan yang semakin hancur. Bagaimana dengan kita? Masihkah kita mau ditipu oleh arus dunia? Maukah kita hari ini berkomitmen menjalankan mandat theologi dengan mendidik iman Kristen yang beres kepada anak-anak kita sejak kecil supaya mereka tumbuh dewasa memuliakan Tuhan?

Kedua, penulis kitab Amsal memberikan kata-kata bijak tentang pentingnya mendidik anak. Amsal 22:6, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.” Amsal 29:17, “Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketenteraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu.” Dua bagian dari Amsal ini mencerahkan pikiran kita betapa pentingnya mendidik iman Kristen bahkan dari kecil. Pertama, mendidik orang muda berarti mendisiplin mereka. Kata “didiklah” dalam bahasa asli secara figuratif bisa diterjemahkan mendisiplin. Dengan kata lain, ketika kita mendidik orang muda (KJV: child/anak), kita juga mendisiplin mereka dengan prinsip-prinsip Kebenaran. Anak-anak yang dari kecil tidak didisiplin bisa berbahaya ketika mereka dewasa. Perhatikan apa yang ditekankan Amsal 22:6, anak yang dididik/didisiplin akan mengakibatkan di masa tuanya, ia tidak akan menyimpang dari jalan Kebenaran. Sebaliknya, mereka yang tidak dididik, di masa tuanya, kebanyakan mereka akan brutal dan hidup seenaknya sendiri (Roh Kudus bisa memimpin beberapa anak-anak – yang termasuk umat pilihan-Nya, tetapi kurang dididik oleh orangtua – untuk bertobat dan kembali kepada Kristus). Kedua, mendidik anak berarti menghukum mereka. Kata “didiklah” di dalam Amsal 29:17 dalam terjemahan KJV adalah Correct (=koreksilah) atau bisa diterjemahkan Chastise (=menghukum untuk kebaikan). Dengan kata lain, mendidik anak berarti juga rela menghukum anak kita yang berbuat salah tetapi bukan dengan maksud dendam atau melampiaskan emosi kita, tetapi dengan maksud kebaikan. Pdt. Sutjipto Subeno memberikan ilustrasi membedakan antara menghukum dengan maksud kebaikan Vs dengan emosional, dll. Misalnya, ketika gelas gratis (hadiah karena membeli deterjen, dll) di rumah tiba-tiba dipecahkan oleh anak kita, orangtua membiarkannya, tetapi ketika vas bunga atau guci antik yang dari Tiongkok yang mahal harganya tiba-tiba dipecahkan anak kita, orangtua langsung marah, lalu memukul anaknya dengan keras. Dari sini, anak akan bingung, mengapa ketika memecahkan gelas gratis, orangtuanya tidak marah, tetapi ketika memecahkan vas bunga/guci/dll, orangtuanya marah. Jelas terlihat, orangtua yang marah dan menghukum ini tidak tepat, karena orangtua ini menghukum bukan dengan tujuan kebaikan, tetapi karena mengganggu orangtua (prinsip: untung rugi à kalau gelas gratis yang pecah, orangtua tidak rugi, tetapi kalau vas bunga yang mahal pecah, orangtua merasa rugi). Seharusnya orangtua ini menghukum anak yang ceroboh menjatuhkan gelas gratis maupun vas bunga yang mahal, agar anak itu menyadari bahwa ia tidak boleh nakal/ceroboh. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mendidik anak dengan mendisiplin dan menghukum mereka ketika berbuat salah dengan motivasi dan tujuan kebaikan dan Kebenaran? Mari kita mengintrospeksi diri.

Ketiga, Tuhan melalui Rasul Paulus di dalam Efesus 6:4 mengajar, “Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.” Kembali, bapak-bapak diajar untuk tidak membuat anak-anaknya marah/dendam kepada mereka, tetapi mendidik mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. King James Version menerjemahkan “ajaran dan nasihat” sebagai penyuluhan/pengajaran dan peringatan (nurture and admonition). Di sini, kita belajar bahwa pengajaran penting dari para bapak/orangtua adalah bersumber dari Tuhan, yaitu apa yang diajarkan dan diperintahkan Tuhan. Dengan kata lain, firman Tuhan (Alkitab) menjadi standar mutlak pengajaran kepada anak-anak tentang mana yang merupakan kehendak Allah, yang baik, berkenan kepada Allah, dan sempurna (bdk. Rm. 12:2). Kalau orangtua “Kristen” sendiri masih meragukan keterandalan (ketidakbersalahan) Alkitab, bagaimana mereka bisa mengajar anak-anak mereka tentang firman Tuhan? Oleh karena itu, sebagai wujud mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, akal budi, dan kekuatan, marilah kita sebagai orangtua Kristen yang beres mendidik anak-anak kita di dalam iman Kristen yang bertanggung jawab, supaya anak-anak kita sejak kecil mengenal Tuhan dan ketika tumbuh dewasa, mereka makin memuliakan Tuhan.

Keempat, Rasul Paulus menasehatkan Timotius di dalam 2 Timotius 4:2, “Di hadapan Allah dan Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati, aku berpesan dengan sungguh-sungguh kepadamu demi penyataan-Nya dan demi Kerajaan-Nya: Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran.” Kepada Timotius, Paulus berpesan dengan sungguh-sungguh agar Timotius sebagai anak rohaninya tetap memberitakan Firman, bersiap sedia dalam segala waktu, menyatakan apa yang salah, menegur, dan menasehati dengan segala kesabaran dan pengajaran. Artinya, konsep pengajaran Firman ditekankan oleh Paulus melalui Timotius bagi jemaat Tuhan. Selain pengajaran Firman, jemaat juga harus dididik dan didisiplin melalui teguran, nasihat, dll supaya mereka makin menghargai ibadah di hadirat Tuhan. Banyak orang “Kristen” yang tahu banyak doktrin, tetapi tidak memiliki hati dan sikap yang hormat ketika beribadah di gereja. Mereka sembarangan bersikap di gereja, mengobrol sendiri, mengetik SMS ketika khotbah disampaikan, bahkan membiarkan bayi menangis yang mengganggu jemaat lain ketika khotbah diberitakan, dll. Masihkah orang ini disebut orang Kristen ketika ia tidak lagi memiliki sikap hati yang gentar ketika menghampiri hadirat Tuhan? Pengajaran firman Tuhan dan pendisiplinan jemaat ini begitu penting, mengapa? Di ayat 3-4, Paulus memberikan alasannya, “Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng.” Dari kedua ayat ini, Paulus mengemukakan alasannya yaitu karena adanya ajaran sesat yang berupa dongeng-dongeng isapan jempol yang begitu menarik jemaat. Hal yang sama juga terjadi di zaman postmodern. Peringatan Paulus juga menjadi peringatan bagi orang Kristen saat ini, yaitu pentingnya memberitakan dan mengajar Firman, karena apa yang terjadi di zaman Paulus (dan Timotius) ini juga terjadi di zaman kita. Zaman postmodern dipenuhi dengan orang-orang yang enggan mendengarkan Kebenaran, tetapi gemar mendengarkan dongeng-dongeng yang tidak berkualitas. Tidak heran, novel The Da Vinci Code laris manis, bahkan filmnya diputar di Indonesia dan di dunia. Dongeng begitu laris, lalu bagaimana sikap orang Kristen? Hanya bereaksi tentang dongeng itu? TIDAK. Pdt. Dr. Stephen Tong berkali-kali menekankan Kekristenan jangan pernah menjadi penjawab tantangan zaman, tetapi harus menjadi penantang zaman. Mengapa? Karena kita memiliki Kebenaran absolut, yaitu Firman Tuhan yang lebih tinggi daripada buku/kitab apapun. Firman Tuhan inilah yang harus didengungkan dan diajarkan secara ketat, teliti, jujur, dan bertanggung jawab. Melalui standar kebenaran Firman Tuhan, kita harus siap menantang segala filsafat dunia yang berdosa dan menundukkannya di bawah kaki Kristus. Theologi dan doktrin sejati adalah theologi/doktrin yang berpusat kepada Kristus (Christ-centered). Artinya, theologi yang beres adalah theologi yang melihat segala sesuatu dari sudut pandang kedaulatan Allah. Tetapi realita yang terjadi banyak “theologi” Kristen menawarkan diri sebagai yang paling Alkitabiah, dari “theologi” Katolik, Orthodoks Syria, religionum, sampai Karismatik/Pentakosta. Benarkah yang Alkitabiah pasti sesuai dengan Alkitab? Tidak. Di tengah kancah munculnya arus theologi yang mengklaim “Alkitabiah”, theologi Reformed muncul sebagai theologi yang berkomitmen setia kepada Alkitab. Agar dapat setia, theologi Reformed terus mau diperbarui supaya makin taat kepada Alkitab (ecclesia reformata semper reformanda), bukan taat kepada dunia yang berdosa dengan segala filsafatnya yang rusak (seperti: “theologi” religionum/social “gospel”)! Untuk mengerti secara ringkas tentang theologi Reformed (yang seharusnya Injili), mari kita simak perkataan Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam Prakata pada setiap buku Teologi Sistematika (yang ditulis oleh Prof. Dr. Louis Berkhof), “Sejarah membuktikan teologi yang berkompromi dengan pikiran jaman, secara lahiriah sepertinya lebih sesuai dengan jaman itu, namun sebenarnya segera akan digugurkan oleh jaman selanjutnya. Sedangkan Teologi Reformed seolah-olah kurang sesuai dengan arus jaman, namun telah menjadi penghakim pikiran jaman, yang sendirinya tidak berpangkalan pada kekekalan.”
[1] Theologi Reformed bukan theologi yang ikut arus zaman, tetapi theologi Reformed adalah theologi yang terus berubah untuk makin sesuai dengan kehendak Allah. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa orang yang terus ikut arus zaman adalah orang mati seperti ikan mati yang dibawa oleh arus air. Mengapa? Karena orang itu seperti ikan tidak memiliki standar iman dan hidup yang beres sesuai dengan Kebenaran. Tidak heran, theologi Reformed makin dibenci oleh orang-orang “Kristen” (bahkan para “pemimpin gereja”) yang terus ikut arus zaman dan tidak mau taat dan rela dibentuk oleh Allah dan firman-Nya. Hanya orang Kristen yang beres yang rela dibentuk oleh firman-Nya melalui theologi Reformed.

Sebagai penutup, biarlah kita memerhatikan apa yang diajarkan Paulus sendiri di dalam Kolose 2:8, “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus.” Ketika dunia berdosa menawarkan semua filsafatnya yang kosong dari rasionalisme, empirisisme, pragmatisme, materialisme, dll, masihkah kita sebagai orang Kristen yang beres tidak mau mengikuti arus tersebut dan kembali kepada Alkitab dan kedaulatan Allah? Ataukah kita masih saja berkompromi dengan filsafat dunia berdosa? Mari kita mengintrospeksi diri masing-masing.


7.3. Mandat Budaya
Setelah kita mengerti mandat penginjilan dan mandat theologi, tugas kita selanjutnya adalah menjalankan mandat budaya bagi kemuliaan Tuhan. Apa yang dimaksud dengan mandat budaya (cultural mandate)? Situs wikipedia memberikan definisi mandat budaya sebagai pengimplikasian iman Kristen di dalam kehidupan sehari-hari. (http://en.wikipedia.org/wiki/Cultural_mandate) Definisi ini cukup baik, tetapi kurang memadai. Mandat budaya yang benar adalah suatu mandat yang diperintahkan Tuhan sendiri kepada manusia untuk menaklukkan dan memelihara serta mengembalikan alam ciptaan-Nya itu untuk kemuliaan Tuhan. Di dalam Penciptaan, Tuhan Allah sendiri berfirman, “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi."” (Kej. 1:28) Tuhan memerintahkan manusia untuk menguasai alam ciptaan-Nya ini. Bukan hanya menguasai, Tuhan juga memerintahkan manusia untuk memeliharanya (Kej. 2:15). Artinya, Tuhan memerintahkan manusia untuk menguasai dan memelihara alam ciptaan-Nya untuk dipergunakan memuliakan-Nya selama-lamanya. Sehingga di dalam theologi Reformed, kita mengerti bahwa Tuhan memerintahkan kita bukan hanya mengurusi masalah rohani saja, tetapi juga kehidupan lain, misalnya politik, ekonomi, dll untuk menebus hal-hal tersebut bagi kemuliaan nama-Nya.


7.3.1.Dasar Mandat Budaya
Apa yang mendasari mandat budaya di dalam theologi Reformed?
Pertama, yaitu prinsip theologi Reformed yang memandang manusia sebagai nabi, imam, dan raja dari Allah. Rev. G. I. Williamson, B.D. di dalam bukunya Katekismus Singkat Westminster menguraikan arti dari Pertanyaan dan Jawaban ke-10 ini tentang bagaimana Allah menciptakan manusia. Sebagai nabi, manusia diciptakan Allah dalam hal pengetahuan-Nya. Artinya, manusia mampu memahami penyataan Allah sebelum mereka jatuh ke dalam dosa. Di dalam penciptaan, ini terlihat jelas ketika Adam memberi nama binatang (Kej. 2:20) dan Hawa, istrinya (Kej. 3:20). Begitu juga, manusia sebagai nabi, berfungsi sebagai orang yang melihat kebenaran Allah dan menyatakannya bagi kebaikan orang lain.
[2] Dalam kaitannya dengan mandat budaya, sebagai nabi, manusia menaati perintah Allah untuk memelihara alam ini untuk kemuliaan-Nya. Sebagai imam, manusia diciptakan Allah di dalam hal kekudusan. Artinya, ia dikuduskan Allah untuk melayani-Nya.[3] Dalam hal ini, juga berarti manusia dikuduskan Allah untuk menebus kembali ciptaan-Nya untuk memuliakan-Nya. Terakhir, sebagai raja, ia diciptakan Allah dalam hal kebenaran. Artinya, ia menjalankan dengan setia sesuai dengan apa yang sudah diketahuinya (sebagai nabi) dan kerinduan yang dikuduskan untuk melayani Dia (sebagai imam).[4] Dalam kaitan dengan mandat budaya, manusia diciptakan sebagai raja untuk menguasai alam ciptaan-Nya ini dengan bertanggung jawab.

Kedua, prinsip anugerah umum Allah (common grace of God) dan anugerah khusus Allah (saving grace of God). Anugerah umum Allah berarti anugerah Allah yang diberikan kepada semua manusia tanpa kecuali dan tidak bersifat menyelamatkan. Anugerah ini berupa pemeliharaan Allah secara umum kepada semua manusia, misalnya seperti yang dikatakan Tuhan Yesus, “Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” (Mat. 5:45) Jadi, Allah memelihara alam semesta ini untuk manusia, dengan cara menurunkan hujan dan menerbitkan matahari sesuai pemeliharaan-Nya baik bagi umat pilihan-Nya maupun bukan umat pilihan. Anugerah umum juga bisa berupa suara hati nurani (ada sedikit kaitannya dengan wahyu umum Allah secara internal, yaitu hati nurani—istilah Pdt. Dr. Stephen Tong) yang sudah ditanamkan Allah untuk menjadi wakil Allah memimpin manusia untuk mengetahui mana yang benar dan salah. Anugerah umum ini diberikan Allah dengan tujuan untuk mengurangi kejahatan di dunia ini. Dari prinsip ini, kita belajar bagaimana melalui hati nurani dan pemeliharaan Allah secara umum, kita masih bisa menyaksikan kedaulatan Allah yang dipahami secara umum. Kita bisa belajar dari orang-orang non-Kristen tentang etika, keluarga, dll (saya lebih suka merekomendasikan banyak filsafat Kong Fu Tse dan Tao ketimbang agama-agama lain) karena di dalam filsafat-filsafat dan agama-agama tersebut terkandung suatu bijaksana sebagai respon terhadap wahyu umum Allah atau pun merupakan penerima anugerah umum Allah. Tetapi pengenalan akan Allah tidak cukup hanya melalui anugerah umum Allah. Allah memberikan anugerah khususnya yang bersifat menyelamatkan bagi umat pilihan-Nya, yaitu anugerah penebusan di dalam Kristus. Mengutip salah satu pernyataan Pdt. Sutjipto Subeno, Kristus sendiri yang berinkarnasi adalah wujud intervensi Allah sendiri ke dalam dunia ciptaan (Allah menjadi manusia). Dengan kata lain, inkarnasi Kristus sendiri menunjukkan proses penebusan budaya pertama kalinya. Lalu, hal ini diteruskan kepada kita sebagai umat pilihan-Nya untuk melaksanakan apa yang telah Kristus kerjakan. Dengan kata lain, anugerah khusus Allah yang menyelamatkan harus menjadi penerang dan penghakim anugerah umum Allah yang telah diselewengkan oleh dosa. Injil Kristus di Alkitab yang merupakan wahyu khusus Allah bukan hanya berbicara mengenai cara kita masuk Surga dan hidup dalam Kerajaan Allah, tetapi Injil juga mengajar kita tentang bagaimana hidup di dalam kerajaan dunia ini dengan pedoman dan fokus dari Kerajaan Allah. Setelah kita mengerti tentang signifikansi Injil ini, kita akan semakin memahami tentang menjadi garam dan terang bagi dunia. Menjadi garam berarti kita memberikan pengaruh kepada dunia kita melalui kehadiran kita di tengah dunia. Menjadi terang berarti kita memberikan terang Kristus yang menerangi kegelapan dunia berdosa. Dua hal ini jika digabung akan menjadi kekuatan kuasa anak-anak Tuhan dalam menebus budaya bagi Kristus.

7.3.2.Menjalankan Mandat Budaya
Lalu, bagaima kita menjalankan mandat budaya?
Pertama, percaya kedaulatan Allah dan Alkitab. Titik pertama yang mutlak ketika kita mau menjalankan mandat budaya adalah memercayai dengan mutlak kedaulatan Allah sebagai Pencipta, Pemelihara, Penebus, dan Penyempurna segala sesuatu (belajar lagi 7 prinsip kedaulatan Allah yang saya paparkan di atas) dan Alkitab. Mengapa? Karena dengan mempelajari kedaulatan Allah, kita semakin mengerti seberapa dahsyat dan agungnya Allah kita, dan di situ, kita baru menyadari bahwa mandat dari Allah yang Mahaagung itu harus kita jalankan dengan penuh kegentaran. Tidak heran, di mana theologi Reformasi/Reformed berada, para penganutnya selalu memberikan sumbangsih positif bagi negara/daerah di mana mereka tinggal melalui semangat mereka yang bekerja keras seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kol. 3:23). Geneva, tempat di mana Calvin pernah mengajar dan tinggal, menghasilkan barang berkualitas tinggi. Sumber wikipedia menyebut Geneva sebagai penghasil arloji berkualitas, seperti:
Baume et Mercier, Chopard, Franck Muller, Patek Philippe, Rolex, Raymond Weil, Omega, etc. (http://en.wikipedia.org/wiki/Geneva) Pdt. Dr. Stephen Tong menuturkan bahwa Dr. Martin Luther adalah seorang petani yang memiliki semangat keakuratan, ketelitian, kejujuran, dan kesungguhan yang tidak bisa dikompromikan, sehingga semangat ini memengaruhi komposer musik klasik ternama, Johann Sebastian Bach (21 Maret 1685-28 Juli 1750). Begitu juga dengan George Frideric Handel (Jumat, 23 Februari 1685­-Sabtu, 14 April 1759). Kedua tokoh komposer musik ini dipengaruhi oleh theologi Reformasi/Lutheran. Lalu, baru setelah itu, Joseph Haydn, Wolfgang Amadeus Mozart, dan Ludwig van Beethoven ynag beragama Katolik juga ikut-ikutan menggubah musik setelah meneladani dua tokoh musik besar tadi.[5] Ini membuktikan keterandalan negara-negara yang dipengaruhi oleh Reformasi dan Kekristenan. Contoh lain, bandingkan antara warga Jerman/Belanda dalam membangun rumah dengan warga Indonesia dalam membangun rumah. Orang-orang Jerman, Belanda, dll yang dipengaruhi oleh semangat Reformasi Luther maupun Calvin selalu membuat rumah dengan arsitektur yang indah, teratur, teliti, sedangkan banyak orang Indonesia (non-Kristen) kalau membuat rumah sangat kacau, jika dilihat dari atas, bangunannya tidak teratur dan asimetris.
Bukan hanya percaya pada kedaulatan Allah, umat pilihan harus percaya ketidakbersalahan Alkitab karena ketidakbersalahan Allah sendiri sebagai Pengwahyu Alkitab (baca penjelasan saya di poin kedua keunikan theologi Reformed tentang Otoritas Alkitab). Artinya, ia mengimani 100% apa yang diajarkan Alkitab sebagai Kebenaran yang tanpa salah. Baru setelah itu, ia baru bisa menjalankan mandat budaya dengan prinsip yang jelas. Sebagai contoh, konsep demokrasi muncul dari Kekristenan dipengaruhi oleh Reformasi baik dari Luther maupun Calvin. Konsep ini, menurut Pdt. Dr. Stephen Tong, tidak ditemukan dalam agama-agama lain, kecuali dalam Kekristenan yang dimengerti di dalam kerangka pikir theologi Reformasi dan Reformed. Apa arti demokrasi? Demokrasi berarti suatu pemerintahan bukan di tangan Allah atau penguasa, tetapi di tangan rakyat. Konsep ini sebenarnya bersumber dari pengajaran bahwa manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah. Sebagai pribadi yang diciptakan, Prof. Anthony A. Hoekema, Th.D. memaparkan konsep yang menarik, yaitu manusia adalah makhluk yang memiliki “kehendak bebas” sekaligus manusia yang harus bergantung dan taat mutlak pada Pencipta (yang diciptakan).
[6] Karena manusia memiliki “kemandirian yang relatif”, maka manusia berhak menentukan hidupnya sendiri termasuk bagi masyarakat. Tetapi ia harus ingat bahwa manusia tetap adalah ciptaan yang harus bergantung pada Allah. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, konsep kedua (manusia sebagai ciptaan) dibuang dan konsep pertama (manusia sebagai pribadi) dijunjung tinggi. Akibatnya, manusia mengerti kehendak bebas dengan seliar mungkin tanpa ada referensi dari Kebenaran. Di saat itulah, muncullah demokrasi tanpa kebenaran. Demokrasi ini muncul di dalam Perjanjian Lama, ketika bangsa Israel mengomel dan bosan karena setiap hari diperintah Tuhan, maka mereka meminta raja untuk memerintah mereka seperti bangsa lain yang memiliki raja (1Sam. 8:5). Lalu, apa jawab Tuhan? Perhatikanlah, Tuhan berfirman kepada Samuel, “Dengarkanlah perkataan bangsa itu dalam segala hal yang dikatakan mereka kepadamu, sebab bukan engkau yang mereka tolak, tetapi Akulah yang mereka tolak, supaya jangan Aku menjadi raja atas mereka. Tepat seperti yang dilakukan mereka kepada-Ku sejak hari Aku menuntun mereka keluar dari Mesir sampai hari ini, yakni meninggalkan Daku dan beribadah kepada allah lain, demikianlah juga dilakukan mereka kepadamu. Oleh sebab itu dengarkanlah permintaan mereka, hanya peringatkanlah mereka dengan sungguh-sungguh dan beritahukanlah kepada mereka apa yang menjadi hak raja yang akan memerintah mereka.” (1Sam. 8:7-9) Lalu, Tuhan memberi tahukan hak raja yang menguasai Israel (baca ayat 11-18), dan akhirnya Israel tetap meminta seorang raja (ay. 19-20). Setelah itu, Tuhan mengabulkan permintaan mereka karena Ia mau membuktikan kesalahan dan kebebalan permintaan mereka kepada-Nya (ay. 21-22 dan pasal-pasal selanjutnya) Meskipun ada raja, Perjanjian Lama mengindikasikan bahwa ada raja yang takut akan Tuhan, dan sebaliknya ada raja yang tidak takut akan Tuhan. Inilah resiko yang diambil oleh orang Israel karena mereka bersungut-sungut meminta raja. Tuhan kadang kala membiarkan manusia memberontak untuk menunjukkan seberapa “kuat” mereka di hadapan-Nya. Begitu pula, Tuhan menunjukkan kepada kita kebebalan manusia berdosa serupa melalui dampak praktis demokrasi yang tanpa disertai Kebenaran ini muncul di negara-negara seperti Amerika, dan diadopsi oleh Indonesia yang mayoritas penduduknya belum berpendidikan tinggi (lebih tepatnya bermoral). Di Amerika, demokrasi mengakibatkan Amerika bukan sebagai negara yang bermoral baik, tetapi justru menjadikan Amerika sebagai pusat munculnya ajaran sesat. Perhatikanlah, dari mana munculnya bidat Children of God? Dari Amerika. Dari mana munculnya Saksi-saksi Yehuwa? Dari Amerika. Lalu, konsep ini mau diimpor dan diterapkan di Indonesia. Tidak heran, di negara kita, etika tidak lagi dijunjung tinggi, tetapi demokrasi. Semua orang mau menuntut hak, tetapi mengabaikan kewajiban. Semua buruh demonstrasi menuntut kenaikan gaji, tanpa mengintrospeksi diri apakah kewajiban mereka sudah dikerjakan maksimal atau belum. Di dalam Kekristenan, hal serupa terjadi. Banyak orang “Kristen” menuntut hak, mengklaim janji-janji Tuhan untuk memberkati, dll, tetapi mereka yang menuntut hak hampir semua tidak mau berkorban menyangkal diri, memikul salib, dll sebagai kewajiban mereka sebagai pengikut Kristus. Marilah sebagai orang Kristen sejati, kita tidak lagi menuruti arus dunia, tetapi kembali kepada kedaulatan Allah dan Alkitab, sehingga kita bisa menjadi garam dan terang bagi dunia. Caranya, dengan kita tidak terus menuntut hak, tetapi terus mengerjakan kewajiban asasi.

Kedua, mengamati kondisi dunia kita. Pengetahuan Alkitab tidaklah cukup jika kita mau menebus budaya dunia kita. Oleh sebab itu, kita juga perlu mengetahui dan mengamati kondisi dunia dan budaya yang ada di dalamnya yang mau kita tebus. Tuhan Yesus mengajarkan bahwa kita harus peka melihat tanda-tanda zaman. Kepekaan itu dimengerti sebagai kepekaan kita sebagai pengikut Kristus melihat semua zaman dan dunia berdosa dari kacamata/perspektif kedaulatan Allah (God’s perspective), bukan dari kacamata dunia berdosa. Ketika kita melihat segala sesuatu dari kacamata Allah, kita akan menemukan betapa pentingnya kita menebus budaya kita yang rusak ini untuk dikembalikan kepada Allah sebagai Pencipta dan Sumber. Prof. Dr. Ds. Abraham Kuyper, salah satu contoh theolog Reformed (sering disebut sebagai: Pendiri/Bapak Neo-Calvinisme) adalah seorang yang mengamati tanda-tanda zaman, di mana Kekristenan sudah pada waktu itu mulai diserang oleh liberalisme (“Reformed” liberal: Hervormd) yang mengakibatkan orang Kristen mengalami kelesuan (atau “ketidakgairahan”) rohani. Dr. Kuyper akhirnya membangunkan orang Kristen dengan mengajarkan iman Kristen yang beres yang diimplikasikan pada kehidupan politik, sains, seni, dll. Bacalah buku Ceramah-ceramah Mengenai Calvinisme
[7] (Lectures on Calvinism) yang merupan pidato beliau di Princeton Theological Seminary, U.S.A. pada tahun 1898 (lalu Princeton University memberikan anugerah gelar doktor dalam bidang hukum kepada Dr. Kuyper)[8], Anda akan mengerti seberapa dalam pengaruh Calvinisme di dalam hampir setiap segi kehidupan dikontraskan dengan budaya dunia melalui agama-agama dan theologi yang tidak bertanggung jawab.

Ketiga, menjalankan apa yang kita percayai dengan gentar dan keluar dari hati yang taat. Setelah kita mengerti doktrin Reformed tentang kedaulatan Allah dan Alkitab serta budaya di mana kita hidup, kita dituntut untuk melakukan mandat budaya dengan mengintegrasikan iman Kristen yang sejati dengan setiap bidang kehidupan untuk memuliakan Tuhan. Mengerjakan mandat budaya ini selain dibekali dengan doktrin yang matang tentang kedaulatan Allah dan Alkitab juga harus keluar dari motivasi hati yang murni dan taat kepada firman Tuhan sambil disertai kegentaran melakukannya di hadapan Allah. Artinya ada kerinduan dari hati kita terdalam untuk taat pada firman Tuhan yaitu menjadi garam dan terang dunia. Dan kerinduan ini dipimpin dan dimurnikan oleh Roh Kudus melalui firman Tuhan, sehingga kerinduan ini dapat kita jalankan dengan hikmat dan kuasa Roh Kudus. Ingatlah satu hal, menjalankan mandat budaya tidak hanya dibutuhkan doktrin dan intelektualitas tinggi saja, tetapi yang lebih penting adalah kuasa Roh Kudus. Saya sudah mengalami bagaimana menjalankan mandat budaya, oleh karena itu saya bisa mengatakan bahwa mandat budaya seperti mandat penginjilan tidak bisa dilepaskan dari kuasa Roh Kudus yang dinamis. Teladanilah juga semangat Dr. Abraham Kuyper seperti yang telah saya paparkan di atas yang dengan berkobar-kobar memperjuangkan iman Kristen di dalam hal politik dan hukum, sehingga selain sebagai gembala sidang dan theolog, Dr. Kuyper juga menjadi negarawan dan sempat menjabat sebagai Perdana Menteri Belanda (1901-1905). Selain itu, Dr. John Hendrik de Vries di dalam kata pengantar buku Ceramah-ceramah Mengenai Calvinisme ini memaparkan bahwa Dr. Kuyper juga sebagai filsuf, ilmuwan, kritikus, pemimpin partai, pakar linguistik, dermawan, pakar publikasi, dll.
[9] Semua ini dilatarbelakangi oleh semangat dan hati beliau yang ingin menghadirkan Kristus di dalam setiap bidang kehidupan. Semboyannya yang terkenal, “There is not a single inch in the whole domain of our human existence over which Christ, who is sovereign over all, does not cry: Mine!” (terjemahan bebas: Tidak ada satu inci pun dalam seluruh keberadaan manusia tanpa Kristus berdaulat atasnya.) Adakah kita memiliki hati seperti Dr. Kuyper?

Keempat, mengetahui resiko dan tetap setia menjalankan mandat budaya. Dalam menjalankan mandat budaya, pasti ada resiko. Dan yang lebih berbahaya, resiko itu bukan datang dari orang non-Kristen, tetapi dari orang “Kristen” sendiri bahkan yang mengklaim diri “melayani ‘tuhan’”. Berapa banyak guru/dosen yang mengaku diri “Kristen” mengajar di kampus yang mengklaim diri “Kristen” ternyata adalah para praktisi atheis praktis yang melarang mahasiswa/inya menyebutkan iman Kristen dalam perkuliahan? Inilah tantangan terbesar dalam menjalankan mandat budaya dan saya sudah mengalami resiko ini. Lalu, apa yang harus kita kerjakan? Diam dan mengikuti apa yang dunia tawarkan? TIDAK. Sebagai pengikut Kristus yang mengerti mandat budaya, kita harus melawan dan bahkan menantang dunia. Tidak ada kata menyerah dalam kamus Kristen untuk menjalankan mandat dari Allah. Tuhan tidak mau kita terbuai oleh bujuk rayu iblis melalui resiko yang menghimpit kita. Tuhan mau kita menerobos semua kesulitan dengan pimpinan Allah. Sebagai kesaksian, saya telah mengalami resiko pahit yaitu dilarang mengatakan iman Kristen di dalam setiap perkuliahan, tetapi saya TIDAK pernah mengikuti larangan itu dan saya tetap memperjuangkan mandat budaya, dan terbukti hasil akhir perkuliahan saya yang diajar oleh dosen yang melarang saya itu cukup baik (meskipun tidak mencapai angka 8). Saya mengalami sendiri apa yang Tuhan janjikan, yaitu ketika kita taat kepada-Nya dan firman-Nya, Ia akan berjanji menyertai kita bahkan ketika kita diperhadapkan pada musuh. Ketika ada bahaya menyerang ketika menjalankan mandat budaya, jangan pernah menyerah, percayalah Roh Kudus akan memperlengkapi dan memimpin kita dengan kekuatan dan kuasa-Nya yang dahsyat. Kita hanya diminta taat dan selebihnya serahkanlah kepada kuasa-Nya yang melampaui segala sesuatu.

Setelah mengetahui prinsip-prinsip tentang mandat budaya, maukah kita dengan hati yang taat dan rela serta sungguh-sungguh mau menjalankan apa yang Tuhan perintahkan ini? Biarlah doktrin bukan menjadi doktrin yang menguasai rasio kita saja, tetapi menguasai hati dan perilaku kita di dalam menjalankan perintah-Nya demi kemuliaan-Nya.

[1] Louis Berkhof, Teologi Sistematika: Doktrin Allah, vii.
[2] G. I. Williamson, Katekismus Singkat Westminster 1, terj. The Boen Giok (Surabaya: Momentum, 2006), hlm. 57-58.
[3] Ibid., hlm. 58-59.
[4] Ibid., hlm. 59-60.
[5] Stephen Tong, Reformasi dan Teologi Reformed (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1991), hlm. 106.
[6] Anthony A. Hoekema, Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah, terj. Irwan Tjulianto (Surabaya: Momentum, 2003), hlm. 8-9.
[7] Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Momentum, 2005.
[8] Abraham Kuyper, Ceramah-ceramah Mengenai Calvinisme, terj. Peter Suwadi Wong (Surabaya: Momentum, 2005), viii.
[9] Ibid., ix.

1 comment:

Anonymous said...

The Top Ten
(10 daftar puncak ayat Alkitab yang mendasari ajaran Gereja)

Berikut adalah sepuluh daftar paling atas dari bagian di Alkitab, di mana gereja lain tidak bisa menjelaskan dengan baik tanpa mengadopsi pengajaran dari Gereja Katolik. Daftar ini bisa diperluas menjadi 20 paling atas, 50 paling atas, atau 100 paling atas, tetapi daftar 10 ini mencakup banyak hal dan dapat dengan mudah dimengerti sebelum dilakukan penjelasan ajaran (apologetik) yang lebih luas. Sepuluh daftar paling atas ini juga menyediakan pengenalan yang sempurna tentang pengajaran Gereja Katolik sebelum pembaca berusaha untuk mengkonsumsi lebih dari 2000 bagian Alkitab dan analisa di website ini (http://www.scripturecatholic.com).

Umat Katolik akan menjadi tahu dalam ayat-ayat ini sehingga mereka bisa secara efektif bersaksi tentang kebenaran dari Gereja. Gereja lain harus mengambil ayat-ayat ini secara mendalam sebagaimana mereka menghadapi tantangan kepercayaan mereka sendiri dan untuk menginvestigasi ajaran Gereja Katolik.

Tetapi kedua-duanya perlu ingat bahwa apologetik Katolik bukanlah berbicara tentang benar dan salah. Tetapi tentang berbagi kepenuhan dari kebenaran yang diberikan oleh Yesus Kristus kepada kita melalui GerejaNya yang Katolik dan Kudus. Kita juga percaya bahwa analisa ayat-ayat ini dan ayat yang lain di scripturecatholic.com menunjukkan bahwa pemahaman Gereja Katholik tentang Alkitab hampir selalu didasarkan pada makna literal dari kata-kata yang digunakan oleh penulis, suatu penafsiran paling layak dari berbagai cara penafsiran yang ada, dan posisi yang memberikan Yesus kemuliaan yang tinggi dengan menunjukkan kemurahan hati dan cintaNya yang tanpa batas kepada kita.

1. Matius 16:18-19/Yesaya 22:22 (Tentang Otoritas)
2. 1 Timotius 3:15 (Tentang Otoritas)
3. 2 Tesalonika 2:15 (Tradisi)
4. 1 Petrus 3:21 (Tentang Baptisan)
5. Yohannes 20:23 (Tentang Penguatan/Krisma)
6. Yohannes 6:53-58, 66-67 (Tentang Ekaristi)
7. 1 Korintus 11:27 (Tentang Ekaristi)
8. Yakobus 5:14-15 (Tentang Pengurapan)
9. Kolose 1:24 (Tentang Penderitaan)
10. Yakobus 2:24 (Tentang Perbuatan)

A. Otoritas

I. Matius 16:18-19 / Yesaya 22:22

Mat 16:18 Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.
Mat 16:19 Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.

YES 22:22 Aku akan menaruh kunci rumah Daud ke atas bahunya: apabila ia membuka, tidak ada yang dapat menutup; apabila ia menutup, tidak ada yang dapat membuka.

Dalam bahasa asli, kata jemaat dalam Mat 16:18 adalah Gereja (Yunani : Ekklesian/Ekklesia, Inggris KJV : Church). Kebanyakan gereja lain percaya bahwa "gereja" mengacu pada massa pengikut Kristen seluruh dunia, yang dengan bebas dihubungkan satu sama lain oleh iman mereka dalam Alkitab saja. Tetapi ayat ini menunjukkan bahwa "Gereja" yang didirikan oleh Yesus Kristus bukanlah suatu badan yang tak kelihatan dari pengikut bebas yang terhubung (loosely-connected), tetapi adalah suatu institusi yang hirarkis dan kelihatan yang dibangun di atas seseorang, Petrus. Seseorang yang diberi otoritas tertinggi, suatu badan dengan suksesi dinasti, dan diberikan ketidak-bersalahan (infallibility). Gereja ini Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik.

Di dalam ayat-ayat ini, kita lihat berikut :

Pertama, Yesus membangun GerejaNya (“ekklesia”) di atas Petrus. Yesus mengubah nama Simon menjadi Kepha, dan berkata bahwa di atas "Kepha" ini Ia akan membangun Gereja. Kepha, dalam bahasa Aram (bahasa di mana Yesus berbicara), berarti suatu bentuk batu karang raksasa, dan penggunaan Kepha oleh Yesus untuk mengubah nama Petrus menandakan dasar kepemimpinan di dalam Gereja (lihat juga Mrk. 3:16 dan Yoh. 1:42 di mana Yesus mengubah nama Simon menjadi "Kefas" yang mana transliterasi dari bahasa Aram "Kepha"). Hanya Gereja Katolik yang dapat memenuhi dan membuktikan suatu garis keturunan para pengganti yang tak terputus yang pondasinya adalah Petrus.

Yang kedua, Yesus mengatakan alam maut tidak pernah akan menguasai Gereja. Maka meskipun Yesus menugaskan manusia penuh dosa seperti Petrus untuk memimpin Gereja, Yesus berjanji neraka tidak akan menguasainya. Karena kuasa neraka mengacu pada yang hal-hal yang supranatural/gaib, ini harus berarti bahwa Gereja, walaupun dipimpin oleh orang-orang penuh dosa, akan dilindungi dengan sempurna. Karena Gereja sangat dilindungi, Gereja tidak bisa membawa orang beriman ke dalam kesalahan supranatural. Jadi, dia tidak bisa untuk memberi pengajaran yang salah dalam hal iman dan moral. Ketidak-bisa-an untuk memberi pengajaran yang salah dalam iman dan moral ini disebut "infallibility" atau ketidak-bersalahan (ini tidak bisa dikaitkan dengan kesalahan dan kebejatan para pemimpin Gereja, yang mana sudah mengarah pada "impeccabilas" atau ketidak-celaan). Jika Gereja tidak infallible, maka kuasa kematian atau alam maut tentu saja akan menjatuhkan anggotanya yang penuh dosa. Pengajaran Gereja yang konsisten dalam iman dan moral selama 2000 tahun membuktikan Yesus telah menjaga janjiNya.

Ketiga, Yesus memberi Petrus kunci kerajaan surga. Sementara banyak gereja lain berpikir bahwa pemberian "kunci" berarti bahwa Yesus menetapkan Petrus sebagai pelindung dari pintu gerbang surga, kenyataannya "kunci" tersebut mengacu pada otoritas Petrus atas Gereja di dunia (yang mana Yesus sering menggambarkannya sebagai "kerajaan surga." Mat. 13:24-52; 25:1-2; Mrk. 4:26-32; Luk 9:27; 13:19-20, dll.)
Di dalam kerajaan Daudiah (Perjanjian Lama), raja mempunyai perdana menteri di mana di atas bahunya Tuhan menempatkan kunci dari kerajaan (Yes 22:22). Dengan cara yang sama, kerajaan Kristus yang baru juga mempunyai seorang perdana menteri (Petrus dan para penggantinya) yang diberi kunci kerajaan.

Kunci tidak hanya merepresentasikan otoritas perdana menteri dalam mengatur jemaat Tuhan dalam ketidakhadiran sang raja, tetapi juga berarti termasuk rangkaian pergantian perdana menteri (sebagai contoh, di Yes 22:20-22, Eliakim menggantikan Shebna sebagai perdana menteri di dalam kerajaan Daudiah). Hanya Gereja Katolik yang mengakui dan membuktikan suatu rangkaian pergantian perdana menteri (paus) sampai dapat dilacak kembali ke Petrus, dan rangkaian pergantian ini dimudahkan melalui kunci kerajaan.

Akhirnya, Yesus mengatakan kepada Petrus bahwa apapun yang ia ikat dan lepaskan di atas bumi akan terikat dan terlepas pula di dalam surga. Seperti di dalam kerajaan Daudiah, kapan saja Petrus, perdana menteri membuka, tak seorangpun akan menutup, dan kapan saja ia menutup, tak seorangpun akan membuka. Yesus, oleh karena itu, memberi Petrus otoritas untuk membuat keputusan yang akan disahkan di dalam keabadian. Bagi Petrus yang penuh dosa (dan para penggantinya melalui penyampaian "kunci") untuk membuat keputusan seperti ini, ia harus dengan sempurna dilindungi. Sekali lagi, ini membuktikan bahwa Yesus memberikan ketidak-bersalahan (infallibility) kepada Gereja. Hanya di Gereja Katolik dan yang telah dibuktikan bahwa pengajarannya selama 2000 tahun dalam iman dan moral yang tidak berubah, infallibility dinyatakan.

II. 1 Timotius 3:15
1 Tim 3:15 Jadi jika aku terlambat, sudahlah engkau tahu bagaimana orang harus hidup sebagai keluarga Allah, yakni jemaat dari Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran.

Seperti yang dijelaskan di ayat yang pertama, dalam bahasa asli, kata jemaat dalam 1 Tim 3:15 inipun mauksudnya adalah Gereja (Yunani : Ekklesian, Inggris KJV : Church). Kebanyakan gereja lain percaya bahwa Alkitab menjadi tiang dan pondasi dari kebenaran, dan tidak ada pengetahuan di luar Alkitab yang diperlukan bagi keselamatan kita. tetapi kenapa Santo Paulus menulis bahwa Gereja, dan bukan Alkitab, menjadi tiang dan pondasi dari kebenaran? Ini adalah suatu teks kuat yang menyangkal teori Sola Scriptura (Hanya dengan Alkitab saja) dari gereja lain, yang mana secara salah meyakini bahwa Alkitab menjadi satu-satunya sumber kebenaran kekristenan (suatu teori yang tidak bisa ditemukan di manapun di dalam Alkitab sendiri). Sementara, Santo Paulus mengatakan Gereja yang menjadi tiang penopang dari kebenaran.

Ini maksudnya bahwa semua adalah kebenaran, bahwa Yesus mewarisi kita iman, moral dan keselamatan kita, mengalir melalui suatu Gereja yang hidup, seperti yang sudah kita pelajari, dibangun oleh Kristus sendiri di atas batu karang Petrus dan para penggantinya. Seperti yang diajarkan oleh Gereja Katolik, Tuhan telah memberi kita kebenaranNya dalam wujud firman yang hidup (Alkitab yang tertulis dan tradisi lisan) dan pengajaran yang hidup dari otoritas Gereja, yang diwarisi dengan pemberian kekuasaan untuk mengikat dan melepaskan. Sesungguhnya, ini adalah karena Gereja adalah pondasi kebenaran yang kita percayai dalam Alkitab. Ini adalah karena Gereja Katolik mengumpulkan Alkitab menjadi satu kitab dengan menentukan kitab mana adalah diilhami (inspired) oleh Tuhan dan kitab mana yang tidak. Gereja menyelesaikan pemilihan "kanon Alkitab" pada akhir abad keempat. Jika Gereja Katolik bukan merupakan puncak pondasi dari kebenaran, kepercayaan kita akan Alkitab akan tanpa dasar/pondasi yang kuat.

Kompilasi dari Alkitab oleh Gereja menerangi kesalahan Sola Scriptura. Seperti yang sudah disinggung di atas, gereja lain biasanya percaya bahwa Tuhan sudah mewahyukan semua hal yang diperlukan bagi keselamatan kita melalui Alkitab saja. Sebagai konsekuensi, mereka juga percaya bahwa tidak ada pengetahuan yang perlu dicari di luar Alkitab mengenai Iman Kristen yang diperlukan bagi keselamatan kita. Meskipun begitu, pengetahuan kitab-kitab mana yang menjadi bagian dari Alkitab dan kitab-kitab mana yang tidak adalah sangat penting bagi keselamatan kita, sebab jika kita tidak mengetahui, kita bisa terjerumus kepada kesalahan. Lebih lanjut, pengetahuan ini hanya bisa datang dari Tuhan sebab manusia tidak bisa melihat inspirasi ilahi.

Masalah dalam sola Scriptura, adalah bahwa pengetahuan tentang yang mana kitab-kitab yang diilhami dan yang mana yang tidak, tidaklah terdapat di Alkitab. Alkitab tidak mempunyai "daftar isi yang diilhami". Justru, pengetahuan tentang kanon adalah wahyu dari Tuhan yang penting bagi keselamatan kita, yang kita terima dari luar Alkitab. Wahyu ini diberikan kepada Gereja Katolik yang Kudus, dan fakta sejarah dan teologis ini menghancurkan doktrin Sola Scriptura (menariknya, sementara gereja lain menolak otoritas Gereja Katolik dalam kebanyakan hal, mereka menerima otoritas Gereja dalam menentukan kanon Perjanjian Baru).

Jika kita adalah seorang dari gereja lain berusaha untuk membuktikan doktrin Sola Scriptura, dan di sana adalah ayat yang berkata "Alkitab menjadi tiang dan penopang dari kebenaran," kita akan memproklamirkan ayat itu paling atas. Pada waktu yang sama, jika kita adalah seorang dari gereja lain, kita harus mengabaikan 1Tim 3:15 untuk melanjutkan protes tentang Iman Katolik.

B. Tradisi

III. 2 Tesalonika 2:15

2 Tes 2:15 Sebab itu, berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran yang kamu terima dari ajaran-ajaran yang kamu terima dari kami, baik secara lisan, maupun secara tertulis.

2 Tes 2:15 Therefore, brethren, stand fast, and hold the traditions which ye have been taught, whether by word, or our epistle.

2 Tes 2:15 ara oun adelphoi stêkete kai krateite tas paradoseis as edidachthête eite dia logou eite di epistolês êmôn

Di dalam Alkitab bahasa Yunani di atas, kata paradoseon, paradoseis, paradosin yang berdiri sendiri, selalu diterjemahkan sebagai tradition dalam bahasa inggris. Entah mengapa terjemahan bahasa Indonesia tidak menulisnya tradisi. Jika Anda mempunyai Alkitab atau Alkitab elektronik multi bahasa, dapat melihat contoh-contoh lain di Mat 15:2, Mat 15:3, Mat 15:6, Mar 7:3, Mar 7:5, Mar 7:8, Mar 7:9 dan beberapa ayat lagi, yang mengatakan bahwa kata tersebut berarti tradisi dalam bahasa Indonesia.

Seperti yang sudah kita bahas, gereja lain percaya bahwa kekristenan akan mengikuti Alkitab saja sebagai sumber Iman Kristen mereka (Sola Scriptura). Akan tetapi kenapa Paulus memberitahu kita untuk mengikuti kedua-duanya, yaitu Alkitab dan kata-kata lisan? Tidakkah Paulus menambahkan sesuatu hal lain untuk diikuti sebagai tambahan dari Alkitab? Ya, sebab doktrin Sola Scriptura adalah suatu doktrin salah.

Paulus berkata bahwa mematuhi tradisi yang tertulis (Kitab Suci) tidaklah cukup. Kita harus pula mematuhi tradisi lisan. Ini menjadi dasar pengajaran bahwa Kristus memberikan kepada para rasul pengajaran yang tidak tertulis (Rasul Yohanes mengatakan bahwa "dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu, bdk Yoh 21:25”).

Dengan kata lain, ini adalah semuanya yang lain di mana Gereja memberi pengajaran atas iman dan moral. Kita berterimakasih kepada tradisi lisan apostolik yang sudah secara pasti mengajarkan kepada kita tentang Allah Trinitas, dua keadaan Kristus (manusia dan ilahi), persatuan dari keadaan itu (hypostatic union), Filioque (Roh Kudus berasal dari Bapa dan Putra), dan kanon kitab suci (kitab-kitab mana yang termasuk di dalam Alkitab dan yang tidak). Semua pengajaran ini, dan banyak, banyak lagi yang lain tidak dengan tegas diajarkan di dalam Alkitab, tetapi secara umum dipercaya oleh semua kekristenan. Untuk belajar lebih banyak tentang tradisi lisan apostolik, Anda dapat membeli buku Katekismus Gereja Katolik.

Karena 2 Tesalonika 2:15 sangat mengganggu posisi doktrin Sola Scriptura, Gereja lain sering membantah bahwa dalam tradisi lisan, Paulus mengacu, tradisi itu harus berasal dari mulut para rasul. Argumentasi mereka lebih lanjut adalah bahwa, semua rasul meninggal, kita tidak lagi harus mengikuti tradisi lisan. Argumentasi ini, bagaimanapun, tidak bisa terbukti dari kitab suci (yang mana akan mungkin jika Sola Scriptura benar) dan pada kenyataannya, bertentangan dengan kitab suci sendiri. Sebagai contoh, di 2 Timotius 2:2 di mana Paulus (generasi pertama) menginstruksikan kepada Timotius (generasi kedua) untuk memberi pengajaran kepada yang lain tentang iman (generasi ketiga) yang akan bisa memberi pengajaran kepada yang lain juga generasi keempat). Argumentasi seperti itu juga bertentangan dengan seluruh maksud tradisi (dalam bahasa Yunani, "paradosis") yang mana berarti "diterima sampai ditangan" dari satu generasi kepada generasi berikutnya.


Lebih dari itu, argumentasi gereja lain juga terbantah, di mana pada saat Gereja memilih Kanon Alkitab. Sementara rasul terakhir Yohanes meninggal di sekitar tahun 100 M, Alkitab belum selesai dikumpulkan sampai tahun 397 M. Jadi Gereja diperlukan untuk menjaga tradisi lisan apostolik selama 300 tahun dalam rangka menentukan surat yang mana yang diilhami dan surat yang mana yang tidak. Tradisi tentu tidak berasal dari mulut rasul (mereka sudah meninggal), tetapi dari para pengganti mereka. (Tidak ada alasan juga untuk menyimpulkan bahwa Gereja perlu/seharusnya mendengarkan generasi keempat, kelima, atau keenam dari pengganti para pengganti rasul, tetapi tidak boleh mendengarkan dari para penggantinya di kemudian hari seperti kita saat ini).

Kita perlu juga catat bahwa tradisi apostolik yang diperintahkan Paulus kepada kita untuk diikuti di dalam 2 Tesalonika 2:15 tidak sama dengan tradisi orang Farisi yang dikutuk Yesus di dalam Mat 15:3 dan Mrk 7:9. Tradisi yang dikutuk Yesus mengarah pada peraturan ritual dan tindakan lain dalam Perjanjian Lama yang kontroversi dengan Perjanjian Baru. Maka ada tradisi manusia tertentu yang, jika bertentangan dengan Injil, kita harus menolak, dan tradisi apostolik lisan yang diperintahkan oleh Paulus harus kita terima.

Satu-satunya argumentasi gereja lain yang dapat dibuat adalah, sekali Alkitab dikumpulkan dan dikanonisasi, semua tradisi lisan apostolik sudah masuk dalam Kitab Suci. Sebagai hasilnya, kebutuhan untuk mengikuti tradisi lisan tidak diperlukan lagi. Tetapi mereka tidak bisa membuktikan dari Alkitab itu sendiri. Tidak ada di dalam Kitab Suci yang memerintahkan kita untuk mengikuti tradisi lisan hanya sampai Alkitab dikumpulkan dan dikanonisasi, dan kemudian mengikuti Alkitab saja (kata "Alkitab" bahkan tidak ada di Alkitab). Sesungguhnya, Yesus juga tidak pernah memerintahkan kepada siapapun dari para rasulNya untuk menulis apapun. Mereka hanya ditugaskan untuk "mengabarkan Injil kepada semua makhluk, Mat 28:19”. Sebab Kitab Suci adalah firman Tuhan yang hidup yang akan tetap sama dari kemarin, hari ini dan untuk selamanya (bdk. Ibr 13:10), dan tidak ada ayat di dalam Kitab Suci yang menentang perintah Paulus dalam 2 Tes 2:15, kita harus pula mematuhi tradisi lisan dari Gereja sebagaimana yang Paulus perintahkan, atau kita tidak setia kepada Kitab Suci.

C. Baptisan
IV. 1 Petrus 3:21
1 Pet 3:21 Juga kamu sekarang diselamatkan oleh kiasannya, yaitu baptisan, maksudnya bukan untuk membersihkan kenajisan jasmani, melainkan untuk memohonkan hati nurani yang baik kepada Allah oleh kebangkitan Yesus Kristus.


Kebanyakan gereja lain mengajarkan bahwa baptisan hanya simbolis dan tidak benar-benar menyelamatkan kita. Mengapa kemudian, Petrus mengatakan bahwa baptisan itu tentu saja menyelamatkan kita? Sebab baptisan, tidak seperti yang diajarkan gereja lain, adalah menyelamatkan. Melalui jasa dari kebangkitan Kristus, baptisan, Sakramen Inisiasi dalam Kristen yang dimulai oleh Kristus, membersihkan kita dari dosa asal, membuat kita diangkat menjadi anak-anak Tuhan, dan membawa kita kepada keselamatan.

Tidak seperti yang gereja lain ajarkan, baptis bukan hanya suatu tindakan simbolis yang berupa penuangan, percikan atau membenamkan orang ke dalam air (jika tidak, Petrus tidak akan berkata bahwa itu menyelamatkan kita). Kis 2:38 juga mengatakan hal ini bahwa kita harus bertobat dan dibaptis untuk pengampunan dosa kita. Pertobatan sudah barang tentu menjadi syarat keselamatan, dan baptisan merupakan tanda ke-berolehan keselamatan tersebut. Baptisan bukan hanya suatu pendekatan kepada Tuhan melalui suatu tanda simbolis. Inilah alasan kenapa Petrus mengatakannya "bukan sebagai suatu penghapusan kotoran dari badan”. Kebanyakan ahli mengatakan Petrus sedang mengacu pada khitanan (upacara ritual inisiasi dalam Perjanjian Lama) ketika ia menulis tentang “penghapusan kotoran dari badan. ”Khitanan adalah suatu isyarat simbolis di depan Tuhan yang tidak pernah dapat menyelamatkan kita. Tetapi, paling tidak, Petrus mengajar baptisan itu tidak berkenaan dengan bagian luar/lahiriah, tetapi bagian dalam dari kehidupan seseorang.

Jadi, Petrus mengajarkan bahwa baptisan itu menyelamatkan kita “dengan nurani yang bersih”. Ini berkenaan dengan bagian dalam kehidupan. Dengan cara yang sama, penulis dari Ibr 10:22, dalam hubungannya dengan pencucian dengan air yang murni (tentang baptis), mengatakan kita dibasuh dan menjadi “bersih dari nurani yang jahat”. Baptis menghapus dosa asal yang menggelapkan nurani kita. Ini memurnikan bagian dalam dari kehidupan seseorang. Baptis bukan hanya suatu eksternal, simbolis, upacara tanda/isyarat, (jika tidak, para penulis yang kudus tidak akan menulis tentang pemurnian dari nurani, di mana dosa dilahirkan).

Jadi, melalui kebangkitan Kristus, sekarang baptisan benar-benar menyelamatkan hidup rohani kita, sama halnya perahu nabi Nuh (yang mana Petrus mengatakan baptisan "sesuai dengan") yang menyelamatkan hidup keluarganya. Di dalam baptisan, kita dicuci bersih dari dosa asal dan menjadi anak angkat laki-laki dan perempuan dari Bapa. Inilah alasan kenapa Paulus menulis kepada Titus, mengenai baptisan, yaitu “Dia menyelamatkan kita dengan rahmat-Nya oleh permandian kelahiran kembali dan oleh pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus, yang mana Dia menuangkannya kepada kita dengan melimpah melalui Yesus Kristus, sedemikian sehingga kita dibenarkan oleh rahmatNya dan menjadi pewaris hidup abadi.” (Tit 3:5-7). Paulus menguatkan pengajaran Petrus bahwa baptisan itu menyelamatkan kita dengan pembaharuan bagian dalam hidup kita, yakni, jiwa kita, yang mana kini diwarisi dengan keilahian Tuhan dan rahmat penyucian. Jadi kita menjadi anak-anak Tuhan dan mewarisi kerajaanNya.

Hanya Gereja Katolik yang mengajarkan bahwa baptisan, berdasarkan atas jasa Kristus dan pelaksanaannya kepada kita, adalah menyelamatkan. Gereja lain, bertentangan dengan 1 Pet 3:21 (dan Titus 3:5-7; Yoh 3:5; dan Ibr 10:22) memberi pengajaran baptisan itu hanya simbolis. Dalam pelaksanaannya, Gereja Katolik melakukan persiapan yang cukup panjang untuk calon baptis (katekumen), karena menyadari bahwa baptisan adalah sesuatu yang sakral. Baptisan, karena merupakan meterai penyelamatan, harus benar-benar dipersiapkan oleh calon baptis dalam hal pemahaman ajaran Gereja Katolik, dan tentunya adalah pertobatan.


D. Pengakuan Dosa
V. Yohanes 20:22-23

Yoh 20:22 Dan sesudah berkata demikian, Ia mengembusi mereka dan berkata: “Terimalah Roh Kudus”.
Yoh 20:23 Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.

Gereja lain percaya bahwa orang Kristen perlu mengaku dosa mereka secara pribadi kepada Tuhan, dan tidak kepada seorang imam. Mengapa, kemudian Yesus memberi kuasa kepada para rasul untuk mengampuni dan mempertahankan dosa? Sebab, tidak seperti kepercayaan gereja lain, Yesus percaya bahwa orang Kristen secara terbaik berkembang dalam kekudusan dengan mengaku dosa mereka kepada para imam Nya dan menerima pengampunan dalam sakramen pengakuan dosa. Pengakuan dosa menjadi cara normatif dimana Tuhan mengampuni dosa kita.

Ayat ini sangat kuat mengganggu posisi gereja lain. Pertama, kita lihat bahwa Yesus menghembusi para rasulNya. Satu-satunya waktu lain Tuhan menghembusi manusia adalah ketika Ia menciptakan manusia dan memberikan nyawa di badannya (Kej 2:7). Ketika Tuhan menghembusi manusia, suatu perubahan terjadi. Di sini, para rasul diubah menjadi "Kristus lain" yang diisi dengan Roh Kudus dan diberi otoritas ilahi oleh Yesus untuk mengampuni dosa.

Begitu juga, Matius menulis, Tuhan itu memberi kuasa kepada manusia (Yesus sebagai Anak Manusia) untuk mengampuni dosa (Mat. 9:8). Kita juga catat bahwa Yesus tidak membedakan antara dosa yang sangat serius (dosa berat) dan dosa yang lebih sedikit (dosa ringan) (seperti pada 1 Yoh 5:16-17). Berdasarkan atas kemurahan hati Tuhan, para rasul bisa mengampuni semua dosa.

Kita juga mencatat bahwa para rasul tidak hanya diberi kuasa untuk mengampuni dosa, tetapi juga untuk mempertahankan dosa. Apa artinya ini? Maksudnya adalah bahwa para rasul diberi anugerah dalam memberikan pertimbangan dan keputusan atas ketulusan dari pengaku dosa, dan mengikat pengaku dosa dengan tindakan penebusan dosa agar diampuni dosanya. Jika di dalam pertimbangan para rasul, pengaku dosa tidak tulus hati, atau dikehendaki harus melaksanakan tindakan penebusan dosa di dalam perbaikan terhadap dosanya, para rasul bisa mempertahankan dosa (menahan pengampunan) sampai kondisi-kondisi mereka dipenuhi. Sementara otoritas seperti itu hanya dimiliki oleh Tuhan sendiri, Kristus membagi otoritas ini bersama dengan para rasul.


Kuasa untuk mempertahankan dosa sangat penting sebab ini memberikan otoritas kepada para imam, tidak hanya untuk mengampuni dosa, tetapi untuk menghapus penghukuman sementara terhadap dosa (Gereja menyebut penghapusan dari hukuman sementara terhadap dosa yang telah diampuni ini dengan sebutan "indulgensi"). Tentunya, jika seorang imam dapat mengampuni dosa berat (yang mana, jika tidak diampuni akan mengirim orang ke neraka), imam tentunya dapat menghapus hukuman sementara terhadap dosa ringan. Ini adalah bagian dari otoritas imam untuk mengikat (menahan dosa dan menentukan penebusan dosa) dan otoritas untuk melepaskan (mengampuni dosa dan penghapusan hukuman sementara terhadap dosa).

Tentu saja anugerah Yesus dalam otoritas yang disebutkan dalam Yoh 20:22-23 hanya dapat diberikan jika pengaku dosa mengaku dosanya secara lisan kepada para rasul. Para rasul tidak memberikannya dengan membaca pikiran si pengaku dosa, dan sekalipun mereka mengaku secara lisan, pengampunan dosa masih akan tergantung pada keinginan pendosa untuk diampuni (pendosa akan menyatakan keinginan itu dengan mengaku dosanya kepada imam). Jika pengakuan lisan tidak diperlukan, cara Yesus memberikan anugerah kepada para rasul tidak akan ada artinya.
Akhirnya, sekelompok kecil gereja lain mengakui bahwa para rasul mempunyai kuasa untuk mengampuni dan mempertahankan dosa, mereka hanya dapat mengesampingkan Yoh 20:22-23 dengan membantah bahwa otoritas ini berakhir pada kematian mereka. Masalah dengan argumentasi mereka bahwa ini tidak bisa dibuktikan dari Kitab Suci ( tidak bagian dalam Kitab Suci yang mengajarkan bahwa otoritas mengikat dan melepas, dari para rasul akan berakhir pada kematian). Sebaliknya, argumentasi dapat dibuktikan dari catatan sejarah (Gereja sudah dan terus memberikan sakramen pengakuan dosa selama berabad-abad).

Lebih dari itu, gereja lain gagal untuk memberikan penjelasan yang cukup tentang mengapa Yesus harus mewariskan anugerah yang tidak masuk akal seperti itu kepada jaman para rasul, dan kemudian mengambil kembali anugerah itu dari generasi berikutnya. Jawabannya, tentu saja adalah bahwa Ia tidak mengambil anugerah itu kembali. Anugerah dipelihara melalui rangkaian suksesi para imam oleh sakramen imamat seperti yang Kristus harapkan. Tentang pewarisan anugerah ini, Alkitab sering menyebutnya sebagai "penumpangan tangan." Kis 6:6; 13:3; 8:18; 9:17; 1 Tim 4:14; 5:22; 2 Tim 1:6

E. Ekaristi
VI. Yohanes 6:53-58, 66-67
Yoh 6:53 Maka kata Yesus kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu.
Yoh 6:54 Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman.
Yoh 6:55 Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman.
Yoh 6:56 Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia.
Yoh 6:57 Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku.
Yoh 6:58 Inilah roti yang telah turun dari sorga, bukan roti seperti yang dimakan nenek moyangmu dan mereka telah mati. Barangsiapa makan roti ini, ia akan hidup selama-lamanya."
Yoh 6:66 Mulai dari waktu itu banyak murid-murid-Nya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia.
Yoh 6:67 Maka kata Yesus kepada kedua belas murid-Nya: "Apakah kamu tidak mau pergi juga?".

Kebanyakan gereja lain percaya bahwa roti dan anggur yang ditawarkan oleh Imam Katolik di dalam Misa Kudus hanya lambang dari tubuh dan darah Kristus. Mereka tidak percaya bahwa orang Kristen harus benar-benar makan daging dan minum darah Kristus untuk memperoleh hidup abadi. Mereka tidak percaya bahwa daging Kristus adalah makanan yang nyata, dan darahNya adalah minuman yang nyata. Mengapa, kemudian, Yesus berulang-kali mengatakan dalam ayat ini bahwa kita harus makan dagingNya dan minuman darahNya atau kita tidak punya hidup di dalam diri kita? Mengapa Kristus mengatakan bahwa dagingNya tentu saja adalah makanan, dan darahNya tentu saja adalah minuman, jika darah dan dagingNya bukan benar-benar makanan dan minuman? Pengajaran Yesus tentang Ekaristi ini adalah yang paling besar di dalam seluruh Kitab Suci, dan ayat ini adalah ayat yang sangat membuat masalah dan pertentangan di gereja lain, bahwa roti dan anggur dalam Misa Kudus hanya sebagai lambang.


Ketika Yoh 6 dengan penuh doa dibaca, kita lihat bagaimana Yesus secara berangsur-angsur memberi pengajaran orang beriman tentang roti dari sorga yang membawa hidup, yang akan Ia berikan kepada dunia (melalui pemecahan lembaran roti, mengacu kepada hujan manna yang diberikan kepada bangsa Israel, dan akhirnya mengacu kepada roti yang Yesus akan berikan, yang mana adalah dagingNya sendiri). Ketika bangsa Yahudi mempertanyakan Yesus tentang bagaimana mungkin ia bisa memberi mereka dagingNya untuk dimakan, Yesus menjadi lebih harafiah di dalam penjelasanNya. Yesus mengatakan beberapa kali bahwa kita harus makan (di dalam bahasa Yunani, "phago") dagingNya untuk memperoleh hidup abadi (yang secara harafiah berarti "untuk mengunyah").

Ketika bangsa Yahudi mempertanyakan keanehan pengajaranNya lebih lanjut, lebih lanjut pula Yesus menggunakan kata yang lebih harafiah lagi (di dalam Yunani, "trogo") untuk menjelaskan bagaimana kita harus makan dagingNya untuk memperoleh hidup abadi (yang mana secara harafiah berarti "untuk menggerogoti atau memamah") (Yoh 6:54). Di bagian lain Perjanjian Baru, kata “trogo” hanya digunakan dua kali (Mat. 24:38; Yoh 13:18) dan selalu digunakan secara harafiah (makan secara fisik). Gereja lain tidak mampu memberikan satu contoh di mana kata "trogo" pernah digunakan dalam makna simbolis. Untuk mengarahkan ke titik utama dari pengajaranNya, Yesus mengatakan bahwa dagingNya tentu saja makanan riil, dan darah Nya adalah tentu saja minuman riil (Yesus tidak mengatakan sesuatupun tentang roti (dan anggur) yang menjadi lambang Tubuh dan Darahnya).

Apakah kemungkinan-kemungkinan yang paling memaksa dari bagian ini, dan apa yang terjadi pada ujung ceramah Yesus. Kita mengetahui bahwa bangsa Yahudi memahami bahwa Yesus mengatakan secara harafiah. Ini ditunjukkan oleh pertanyaan mereka, "Bagaimana mungkin manusia memberi kepada kita dagingNya untuk dimakan?" Mereka tidak bisa mengerti tentang mengapa mengkonsumsi daging Yesus dapat membawa hidup dan bagaimana mereka bisa mungkin melakukan hal seperti itu. Kita juga mengetahui bahwa Yesus bereaksi terhadap pertanyaan mereka dengan menjadi lebih harafiah lagi tentang memakan daging Nya dan meminum darah Nya. Tetapi kita belajar dari ujung ceramah Yesus, bahwa banyak dari pengikut Nya, oleh karena kesulitan memahami pengajaranNya, memutuskan untuk tidak lagi mengikutiNya, dan Yesus membiarkan mereka pergi. Kemudian Ia menghampiri para rasulNya dan menanyai mereka "Akankah kamu juga pergi?".

Akankah Yesus, yang adalah inkarnasi dari Firman Tuhan yang menjadi manusia untuk menyelamatkan umat manusia, mengijinkan pengikut nya untuk meninggalkanNya jika mereka salah mengerti tentang pengajaranNya? Tentu saja tidak, apalagi pengajaranNya tentang bagaimana mereka memperoleh hidup abadi yang mana adalah inti dari misi Yesus. Yesus selalu menerangkan arti dari pengajaranNya kepada para muridNya (Mrk 4:34).

Yesus tidak mengatakan, "Hei, orang-orang, kembali ke sini, kamu semua salah mengerti". Ia tidak melakukan ini sebab mereka semua tidak salah. Mereka memahami dengan tepat, kita harus makan daging Yesus dan minum darahNya, atau kita tidak memiliki hidup di dalam diri kita. Gereja lain yang menentang, bahwa roti dan anggur yang diberikan oleh Gereja Katolik di dalam Misa Kudus adalah hanya simbol (dan bukan secara ajaib menjadi tubuh dan darah Kristus melalui tindakan dari Imam yang bertindak "sebagai persona Christi") harus membaca Yoh 6:53-58, 66-67, mengapa Yesus menggunakan kata-kata yang Ia katakan, dan mengapa Yesus mengijinkan pengikut Nya untuk meninggalkanNya jika mereka memahamiNya dengan benar (yang mana adalah satu-satunya kejadian di dalam Injil di mana Kristus mengijinkan murid Nya untuk meninggalkanNya berkenaan dengan pengajaran doktrin).

Ketika kita merenungkan misteri ini dengan pikiran dan hati yang terbuka, kita diajak untuk percaya dan mengetahui bahwa Ekaristi menjadi cara Bapa untuk memberi kita PutraNya di dalam perjanjian cinta yang abadi oleh kuasa Roh Kudus. Ekaristi adalah perluasan dari Inkarnasi. Jika kita bisa mempercayai Inkarnasi (Tuhan menjadi bayi mungil), selanjutnya akan mudah bagi kita untuk percaya bahwa Tuhan membuat Dirinya secara hakekat hadir dalam wujud roti dan anggur. Gereja telah mengajar untuk 2000 tahun lamanya bahwa Ekaristi menjadi sumber dan puncak dari Iman Kristen, kesempurnaan dari pengorbanan anak domba Paskah, yang mana kita dikembalikan kepada Tuhan dan mengambil bagian di dalam hidup ilahiNya. Paulus mengatakan, "anak domba Paskah kita telah dikorbankan, oleh karena itu, mari kita merayakan pesta". (1 Kor 5:7-8).

VII. 1 Korintus 11:27
1 Kor 11:27 Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan.

Walaupun gereja-gereja lain mengajarkan bahwa Ekaristi hanyalah simbol dari tubuh dan darah Kristus, Paulus dalam ayat ini mendasari pengajaran Katolik yang mengajar bahwa Kristus itu nyata, sungguh-sungguh, dan secara hakekat (substansi) hadir dialam Ekaristi. Paulus mengkonfirmasikan apa yang Yesus ajarkan dalam Injil Yohanes bab 6. Jika kita ikut serta dalam Ekaristi dengan tidak layak, kita bersalah karena kejahatan mencemarkan tubuh dan darah Kristus (yang secara harafiah, membunuh Kristus). Ini pengajaran yang sangat khidmat dan kuat membuktikan dengan pasti pemahaman Katolik tentang Ekaristi dan meninggalkan keraguan kecil, bila ada, tentang kehadiran yang riil (Real Presence).


Suatu ilustrasi tentang penerapan dari ayat ini yang mungkin sangat menolong. Suatu waktu, sebut saja Toni yang seorang Katolik sedang berdebat dengan seseorang dari gereja lain di tempat kerja, tentang Kehadiran Kristus yang riil (Real Presence) dalam Ekaristi. Toni menerangkan kepadanya bahwa dalam ketiga Injil Sinoptik tentang Perjamuan Terakhir, seperti juga dalam pengajaran Paulus yang menerima secara langsung dari Kristus, Yesus mengambil roti, memberkati dan memecah-mecahkannya, dan berkata, "Inilah tubuhKu". Dengan cara yang sama, ia mengambil anggur, mengucap syukur, dan berkata, "Inilah darahKu" (Mat 26:26-28, Mar 14:22-24, Luk 22:19-20, dan 1 Kor 11:21-25). Toni menekankan bahwa Yesus tidak mengatakan "Ini mewakili tubuh dan darahKu," atau " Ini adalah lambang tubuh dan darahKu" (meskipun ada banyak kata kerja dalam bahasa Aram untuk kata “mewakili”). Toni menjelaskan lebih lanjut kepadanya, bahwa Tuhan tidak, dan tidak bisa, menyatakan sesuatu tanpa membuatnya, dan menantang dia untuk menemukan dalam Kitab Suci, ayat untuk membuktikan Toni salah, dan ia tidak bisa.

Sebagai gantinya, gereja lain memberikan penjelasan, dengan ilustrasi foto istrinya diambil dari dinding di dalam ruangannya, dan diberikannya kepada Toni, dan berkata, "Inilah istriku". Kemudian ia menanyai Toni, "Apakah ini bukan benar-benar dia, siapakah dia?". Ia pikir ia membuat Toni diam.

Pertama-tama Toni memberi selamat pada dia atas pasangan cantik yang dikaruniakan kepadanya seperti itu. Toni kemudian berpura-pura menyobek foto itu dan menjatuhkannya ke lantai, berpura-pura menginjak-injaknya. Toni membuat sedikit kegaduhan. Ia melihat Toni dengan ekspresi terkejut dan bingung. Toni kemudian menanyainya, “Bukankah sekarang saya bersalah telah mencemarkan tubuh dan darah istrimu?”

Setelah beberapa saat, ia menjawab, “Tidak”. Toni balik bertanya kepadanya, “Mengapa tidak?”. Pikirannya benar-benar berputar, tetapi Toni berpikir bahwa ia tidak mengetahui arah pikiran Toni. Toni menyela untuk membantunya, dengan mengatakan “aku akan memberitahu kamu mengapa, dari poin yang baru saja kamu buat. Karena foto istrimu hanyalah simbol dari dia (istrimu), dan bukan benar-benar dia?”. Sampai titik ini, ia setuju, tetapi masih bingung. Toni kemudian menambahkan, “menjadi bersalah dengan mencemarkan tubuh dan darah istrimu karena menyobek fotonya dan akan menyakitkan hatinya adalah tidak mungkin, sebab kamu tidak bisa mencemarkan suatu simbol, apakah ini benar?” Ia menyetujui.


Toni kemudian mengarahkan pembicaraan ke titik utama dengan mendekatinya dan menanyakan dengan pelan-pelan. “Kemudian mengapa Paulus di dalam 1 Kor 11:27 menyatakan kepada kita bahwa kita menjadi bersalah dengan mencemarkan tubuh dan darah Kristus jika kita menerima Ekaristi dengan tidak layak? Itu adalah sesuatu pernyataan yang tak masuk akal jika Ekaristi hanyalah suatu simbol, tidakkah seperti itu?”. Setelah jeda beberapa lama terlihat kebingungan dari teman Toni dari gereja lain tersebut untuk berkata-kata. Yang dapat dilakukannya adalah meminta Toni untuk mengembalikan foto istrinya kepadanya dan berjanji bahwa ia akan membaca ayat dalam konteks yang benar dan akan kembali lagi kepada Toni. Tetapi ia tidak pernah melakukannya.






F. Pengurapan Orang Sakit
VIII. Yakobus 5:14-15

Yak 5:14 Kalau ada seorang di antara kamu yang sakit, baiklah ia memanggil para penatua jemaat, supaya mereka mendoakan dia serta mengolesnya dengan minyak dalam nama Tuhan.
Yak 5:15 Dan doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang sakit itu dan Tuhan akan membangunkan dia; dan jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni.

Sementara gereja lain biasanya mempunyai beberapa bentuk bantahan untuk kebanyakan ayat dalam Kitab Suci yang mendukung pengajaran Gereja Katolik (yang selalu dapat dibuktikan balik), mereka biasanya hanya mempunyai sedikit kata-kata untuk Yak 5:14-15. Kebanyakan gereja lain menyimpan ayat ini, tidak pernah untuk berhubungan dengannya lagi. Ini adalah karena tidak ada tempat untuk meletakkan ayat ini dalam Teologinya. Tidak cocok di bagian manapun.

Bagian ini mendasari Sakramen Pengurapan Orang Sakit dari Gereja Katolik (yang dulu disebut "Pemberian minyak suci secara sungguh-sungguh/Extreme Unctuation") Sakramen ini, yang adalah salah satu tujuh sakramen, Yesus mengadakan untuk GerejaNya, dan diberikan kepada orang-orang dalam bahaya kematian, menderita penyakit yang mematikan, atau berhadapan dengan penanganan medis yang serius.

Ayat ini menunjukkan beberapa hal yang telah diajarkan oleh Gereja selama 2000 tahun. Pertama, untuk menerimakan sakramen, orang harus meminta uskup atau para imam Gereja. Ini memerlukan seorang laki-laki yang secara khusus ditahbiskan untuk melakukan pekerjaan khusus tersebut, dan berkaitan dengan apa yang kita mengerti tentang Gereja (jangan lupakan Petrus, kunci-kunci, suksesi kerasulan, pentahbisan imam, kuasa untuk mengikat dan melelepaskan, dan pondasi dari kebenaran).

Kedua, Yakobus mengatakan doa imam yang penuh iman akan menyelamatkan penderita sakit dan Tuhan akan menaikkan dia ke atas. Ini menunjukkan tindakan para imam Gereja dalam pribadi Kristus (“in persona Christi") di dalam melanjutkan karya penyelamatan Kristus. Yesus adalah satu-satunya Juru Selamat kita, tetapi Ia menginginkan kita untuk mengambil bagian di dalam imamatNya yang abadi, dan Ia memanggil manusia (laki-laki) tertentu untuk mengambil bagian dengan cara yang sangat mendalam untuk menuju keselamatan (melalui jabatan imamat yang dijelaskan di sini). Sehingga para imam, melalui kuasa Kristus, menyelamatkan jiwa penderita sakit.

Akhirnya, berdasarkan atas doa dan tindakan dari para imam, dosa-dosa penderita sakit diampuni (ini yang sebenarnya menyelamatkan jiwa manusia). Gereja lain mengalami kesulitan besar dengan ayat ini terutama karena ayat ini menunjukkan bahwa para imam mempunyai otoritas dan kuasa untuk mengampuni dosa (yang diberikan kepada manusia oleh Kristus, lihat juga Mat 9:8, Yoh 20:23). Tidak sama dengan apa yang Alkitab nyatakan, tidak ada di manapun dalam teologi atau praktek di gereja lain yang menyatakan tentang pengampunan dosa oleh pendeta atau sakramen untuk orang sakit.


G. Penderitaan
IX. Kolose 1:24
Kol 1:24 Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat.

Kol 1:24 Who now rejoice in my sufferings for you, and fill up that which is behind of the afflictions of Christ in my flesh for his body's sake, which is the church

Seperti pada beberapa ayat sebelumnya, di dalam ayat ini, kata church dalam bahasa inggris sebenarnya lebih cocok diterjemahkan sebagai gereja, yang merupakan Tubuh Kristus. Umat Kristen percaya bahwa penderitaan yesus dan kematianNya secera keseluruhan cukup untuk pengampunan semua dosa dunia. Mengapa kemudian Paulus mengatakan bahwa ada sesuatu yang kurang dalam penderitaan Kristus? Bagaimana hal ini mungkin? Pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh pemahaman Gereja Katolik yang sudah berumur 2000 tahun, bagaimana kita sebagai umat Kristen mengambil bagian dalam penebusan dan penyelamatan Kristus.

Kebanyakan gereja lain memberikan Anda janji manis ketika mereka memberikan pengajaran tentang penderitaan. Sebab di dalam aliran gereja lain tersebut pada umumnya Anda semua hanya perlu untuk menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadi, dan diselamatkan, tidak ada yang lain, penderitaan sederhananya dipandang sebagai sesuatu yang harus dipikul sebagai bagian dari keadaan manusia, tanpa nilai atau manfaat untuk diri kita atau orang lain. Karena Gereja Katolik percaya bahwa masing-masing dari kita, berdasarkan baptisan kita, mengambil bagian dalam Imamat abadi Kristus, Gereja juga mengajarkan bahwa doa kita, perbuatan baik, dan bahkan penderitaan adalah melanjutkan pekerjaan penebusan Kristus. Ini adalah konsekwensi dari menjadi anggota persekutuan para Kudus. Ini adalah juga yang ditulis oleh Paulus tentang suratnya di Kolose 1:24.

Di ayat ini, Paulus mengatakan ia bergembira di dalam penderitaannya untuk kepentingan orang lain. Dari yang yang kita pahami tentang Paulus, kita dapat dengan menyimpulkan bahwa pada kenyataannya ia tidak bergembira di dalam keadaan seperti apapun (dia menderita). Ia bergembira karena telah menderita untuk ikut menyempurnakan pekerjaan penebusan Kristus. Memang sangat sedikit surat-surat tentang teologi ini. Kita juga lihat bahwa kegembiraan Paulus bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk anggota Gereja yang lain. Maka kegembiraan Paulus tentang nilai dari penderitaannya di dalam pekerjaan penebusan berdasarkan pada pemahaman bahwa penderitaanya adalah untuk membantu orang lain (bukan karena ia menikmati sakit dalam penderitaan). Ini menjadi lebih jelas seperti pada saat Paulus menjelaskan pengajarannya dalam konteks Tubuh Mistis Kristus, dan hanya dalam konteks ini pengajaran Paulus bisa dimengerti.

Paulus menjelaskan bahwa ia melengkapi apa yang menjadi kekurangan dari penderitaan Kristus. Tetapi Paulus tidak melakukan ini untuk kepentingan Kristus Sendiri, sebab penderitaan Kristus adalah cukup dan sempurna untuk penebusan kita. Paulus tidak bisa menambahkan apapun kepada kekuatan penderitaan Kristus. Justru, Paulus menjelaskan bahwa ia mengerjakan ini untuk kepentingan Gereja (Tubuh Mistik) di mana Kristus menjadi kepalanya. Mengapa? Sebab Tuhan menginginkan kita untuk mengambil bagian dalam penderitaan Kristus dalam melanjutkan pekerjaan penebusanNya. Jadi, di dalam Gereja dan untuk Gereja, Yesus Kristus, dengan cara yang misteri, memberikan ruang dan mengijinkan penderitaan kita untuk dipersatukan dengan penderitaanNya, untuk memenuhi kehendak Bapa. Dalam baptisan kita, di mana kita menjadi anak-anak di dalam PutraNya dan mengambil bagian dalam ImamatNya, bahwa penderitaan kita dapat melanjutkan pekerjaan penebusan Kristus. Ini adalah hal yang mulia, tetapi ini sama seperti cinta Tuhan kepada kita, dan ini justru oleh karena cinta Tuhan kepada kita semata.

Bagaimana kita, seperti Paulus, melengkapi kekurangan dari penderitaan Kristus untuk kepentingan Gereja? Kita memberikan penderitaan kita sebagai pengorbanan pujian kepada Tuhan. Sebagai ganti dari memikul penderitaan, kita secara harafiah akan menderita melalui doa untuk menyempurnakan pekerjaan penebusan Kristus. Ini adalah apa yang Gereja sebut sebagai "penderitaaan penebusan". Jenis penderitaan ini yang membuat Paulus bergembira, dan inilah alasan kenapa cara kita menjalani penderitaan menjadi sangat penting. Penderitaan seperti itu dapat bermanfaat tidak hanya bagi mereka yang menderita, tetapi bagi semua anggota Tubuh Kristus. Jenis penderitaan yang terburuk adalah penderitaan yang sia-sia. Hanya Gereja Katolik, yang selama 2000 tahun telah hidup dan diajar oleh pengajaran Paulus dalam penderitaan.

H. Perbuatan
X. Yakobus 2:24
Yak 2:24 Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman.

Sebagai tambahan terhadap kepercayaan mereka di dalam Alkitab Saja ("Sola Scriptura"), kebanyakan gereja lain percaya bahwa semua orang harus menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadi untuk dibenarkan oleh Tuhan (pembenaran adalah proses dengan mana manusia digerakkan oleh rahmat, menuju ke arah Tuhan dan meninggalkan dosa, dan menerima pengampunan dan kebenaran Tuhan). Jadi, kebanyakan gereja lain percaya bahwa orang dibenarkan dan diselamatkan oleh iman nya di dalam Kristus saja (yang disebut "Sola Fide" atau Iman Saja). Tetapi jika ini benar, kenapa kemudian Yakobus mengatakan bahwa seorang manusia dibenarkan oleh perbuatan dan bukan oleh iman saja?

Yakobus mengatakan ini, sebab kita dibenarkan, dan akhirnya diselamatkan melalui kedua-duanya, iman dan perbuatan kita, dan tidak hanya iman saja. Pada kenyataannya, satu-satunya tempat di dalam Alkitab di mana frase "iman saja" muncul adalah di dalam Yakobus 2:24 di mana di situ dikatakan kita dibenarkan oleh perbuatan dan bukan oleh iman saja. Sehingga Alkitab tidak pernah memberi pengajaran di manapun bahwa kita dibenarkan, diselamatkan, atau yang lainnya, oleh iman saja. Sementara dalam hal ini, posisi Gereja Katolik nampak jelas nyata, teologi iman dan perbuatan berkenaan dengan keselamatan kenyataannya cukup rumit, dan telah menjadi salah satu sumber utama perpecahan antara Gereja Katolik dan Gereja lain. Karenanya, poin-poin harus dibuat untuk menanggapi kontroversi ini dan memperjelas pengajaran Katolik

Pertama, Katolik akhirnya percaya bahwa kita diselamatkan, bukan oleh iman atau perbuatan, tetapi oleh Yesus Kristus dan hanya Dia. Kematian Yesus Kristus dan kebangkitanNya adalah semata-mata sumber dari pembenaran (sedang dalam hubungan yang benar dengan Tuhan) dan keselamatan kita (berbagi dalam kehidupan ilahi dengan Tuhan). Tetapi sebagai hasil dari kematian dan kebangkitan Kristus, kini kita mampu menerima rahmat Tuhan. Rahmat/anugerah adalah hidup ilahi milik Tuhan yang mana diberikanNya ke dalam jiwa kita. Inilah pengertian bahwa Adam pada permulaan kalah untuk kita, dan Kristus menang kembali untuk kita. Rahmat ini yang menyebabkan kita untuk mencari Tuhan dan untuk percaya dalam Dia (bagian "iman"). Non-Katolik biasanya berhenti sampai di sini.

Tetapi Tuhan menginginkan kita untuk merespon terhadap rahmatNya dengan membawa iman kita ke dalam tindakan (bagian "perbuatan"). Inilah alasan kenapa Yesus selalu mengajar tentang keselamatan kita dalam konteks apa yang benar-benar kita lakukan selama hidup kita di dunia, dan bukan berapa banyak iman yang kita miliki ("segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40,45)). Ketika Yesus memberi pengajaran tentang kedatanganNya yang kedua di mana Ia akan memisahkan domba dari kambing, Ia mendasarkan keselamatan dan kutukan atas apa yang benar-benar kita lakukan ("perbuatan"), apakah benar atau jahat. (Mat 25:31-46). Di dalam Yak 2:14-26, Yakobus dengan cara yang sama menginstruksikan kepada kita untuk meletakkan iman kita ke dalam tindakan dengan melakukan perbuatan baik, dan tidak hanya dengan memberikan persetujuan iman intelektual. Yakobus mengatakannya dengan "jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati" (Yak 2:17, 26).

Maka kita harus melakukan lebih dari menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadi. Bahkan setanpun percaya bahwa Yesus adalah Juru Selamat, dan "mereka gentar" (Yak 2:19). Kita harus pula berbuat baik. Iman menjadi permulaan proses yang mengarahkan kita kepada pembenaran, tetapi iman saja tidak pernah memperoleh rahmat pembenaran. Iman dan Perbuatan bertindak bersama-sama untuk mencapai Pembenaran kita. Paulus mengatakannya dengan sangat baik ketika ia menulis bahwa kita memerlukan "iman yang bekerja dalam kasih" (Gal 5:6). Kita tidak dibenarkan dan diselamatkan oleh iman saja.


Kedua, adalah penting untuk membedakan antara "perbuatan" yang diajarkan Yakobus di dalam Yak 2:24 dan "perbuatan menurut hukum" diajarkan Paulus di dalam Rom 3:20,28; Gal 2:16,21; 3:2,5,10; dan Efe 2:8-9. Gereja lain biasanya mengacaukan "perbuatan baik" yang diajarkan Yakobus dan “perbuatan menurut hukum” yang diajarkan Paulus" ketika mereka mencoba untuk membuktikan bahwa "perbuatan" adalah tidak relevan kepada pembenaran dan keselamatan. "Perbuatan menurut hukum" yang diajarkan Paulus di dalam Ef 2:8-9 dan di bagian lain merunjuk pada Hukum Musa dan sistem hukum mereka yang dibuat Tuhan, dan diwajibkan bagi mereka untuk memperloleh imbalan dari perbuatan. Mereka akan sangat “bangga” dengan perbuatan mereka dan menghargai perbuatan mereka untuk diri mereka sendiri. (Bdk Rom 4:2; Ef. 2:9). Paulus mengajarkan bahwa dengan kedatangan Kristus, Hukum Musa (tentang moral, hukum, dan peraturan adat) yang membuat Tuhan mengampuni dosa-dosa kita, tidak lagi dapat membenarkan seseorang. Sebagai gantinya, Paulus mengajarkan bahwa sekarang kita dibenarkan dan diselamatkan oleh rahmat (bukan kewajiban terhadap hukum) melalui iman (bukan perbuatan mematuhi hukum) (Ef. 2:5,8). Karenanya kita tidak lagi “bangga” dengan menghargai perbuatan kita untuk diri kita sendiri. Kita menghargainya untuk Tuhan yang memberikan segalanya kepada kita dengan cuma-cuma oleh rahmatNya.

Oleh karena itu, kita tidak lagi diharuskan untuk memenuhi “perbuatan hukum”, tetapi untuk memenuhi “Hukum Kristus” (Gal. 6:2). Inilah alasan kenapa Paulus menulis bahwa “pelaku hukum Taurat (yang relevan dengan hukum Kristus)” akan dibenarkan (Rom. 2:13). Tentu saja, “perbuatan menurut hukum” yang ditulis Paulus dalam Rom. 3:20,28; Gal. 2:16,21; 3:2,5,10 dan Ef. 2:8-9 tidak ada hubungannya dengan “perbuatan baik” yang diajarkan Yakobus dalam Yak. 2:24 atau “hukum” yang diajarkan Paulus dalam Rom. 2:13 (sebab semua menjadi bagian dari Firman Tuhan yang tidak pernah dapat saling berkontradiksi).

Secara ringkas, berdasar Kitab Suci, Gereja telah mengajarkan selama 2000 tahun bahwa kita dibenarkan dan diselamatkan oleh kemurahan hati dan rahmat Kristus melalui kedua-duanya iman dan perbuatan, dan bukan iman saja. Kita tidak lagi berada dalam sistem hukum hutang, di mana Tuhan memberikannya kepada kita (sebagai pemberi pinjaman/pendosa). Kita sekarang berada dalam sistem rahmat di mana Tuhan memberi penghargaan atas perbuatan kita ketika dilaksanakan dengan iman dalam Kristus ( Bapa/Anak). Ini juga berarti bahwa kita harus melanjutkan untuk melatih iman dan perbuatan kita sampai akhir dari hidup kita untuk diselamatkan. Inilah alasan kenapa Yesus mengatakan kepada kita untuk "bertahan sampai akhir" untuk bisa diselamatkan (Mat 10:22; 24:13; Mar 13:13). Ini adalah juga mengapa Paulus memperingatkan kita bahwa kita bisa kehilangan keselamatan kita jika kita tidak bertekun (Bdk Rom 11:20-23; 1 Kor 9:27). Iman Katolik ini membantah novel gereja lain tentang gagasan "sekali selamat tetap selamat".

Copyright 2006 by John Salza (johnsalza@scripturecatholic.com)
Alih Bahasa : Fantioz (fantioz@yahoo.com)