06 October 2008

Matius 11:20-24: KRISTUS SEBAGAI PUSAT HIDUP-6


Ringkasan Khotbah: 2 Juli 2006

Kristus Sebagai Pusat Hidup (6)
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 11:20-24


Pendahuluan
Injil Matius pasalnya yang ke-11 ini dibagi menjadi dua bagian dimana pada bagian pertama, yakni: konsep mujizat berkait erat dengan sikap kita terhadap Kristus telah kita renungkan sebelumnya. Tanda-tanda yang Tuhan Yesus kerjakan bukan sekedar sebuah mujizat biasa yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Tidak! Semua tanda itu dimaksudkan supaya orang dapat melihat bahwa Kristus adalah Mesias dan menjadikan Kristus sebagai pusat hidup manusia. Orang seharusnya takut dan gentar ketika melihat mujizat Tuhan (Mzm. 65:9) namun ironisnya, hari ini orang justru berbondong-bondong datang ingin mendapatkan dan mengalami mujizat. Hari ini kita akan merenungkan bagian kedua dari Injil Matius 11. Perhatikan, ketika Tuhan Yesus melakukan mujizat maka para murid Yohanes ini tidak mengalami mujizat, mereka hanya melihat tanda namun dari tanda ini para murid dituntut untuk mengerti dan tahu bahwa ada suatu kaitan erat antara tanda dan pribadi Kristus. Namun “tahu“ disini bukanlah sekedar tahu secara pengetahuan. Tidak! Merupakan kegagalan dunia pendidikan modern hanya sekedar mengajarkan pengetahuan tanpa kita terkait didalamnya dan ini juga berimbas dalam iman Kekristenan; orang belajar iman Kristen hanya sekedar sebagai pengetahuan secara kognitif, pemuasan intelektual belaka. Adalah suatu kegagalan fatal dari iman Kekristenan kalau kita masuk dalam dua ekstrim, yakni: 1) iman hanya dimengerti secara kognitif, 2) hidup tidak berkait dengan Firman. Bagian inilah yang ingin dipaparkan oleh Tuhan Yesus di segmen kedua dari Injil Matius pasalnya yang kedua dimana mujizat sangat berkait erat dengan beberapa aspek kehidupan:

I. Mujizat dan Pertobatan
Tuhan Yesus mulai mengecam kota-kota yang tidak bertobat, sekalipun di situ Ia paling banyak melakukan mujizat (Mat. 11:20). Di kota-kota itu, Tuhan beranugerah dengan melakukan banyak mujizat namun ironis, orang justru tidak bertobat. Jangan pernah berpikir bahwa kalau Tuhan melakukan mujizat di suatu tempat maka disitu orang pasti diselamatkan. Tidak! Disini, Tuhan Yesus mengkaitkan antara kota-kota yang pernah mendapat mujizat dengan kota Sodom dan Tirus, tanggungan kota Sodom dan Tirus ini akan lebih ringan. Hari ini, orang salah mengartikan sebuah mujizat. Mujizat yang dikerjakan oleh Tuhan Yesus berbeda dengan hal-hal spektakuler yang dilakukan oleh para dukun. Mujizat Tuhan Yesus adalah suatu tindakan yang dikerjakan oleh Tuhan atas sesuatu untuk mengintervensi sejarah maka ketika Allah berintervensi maka itu tidak akan dapat dibatalkan oleh alam semesta ataupun manusia karena mujizat itu melibatkan kuasa sekaligus kekuatan sekaligus kehendak dan otoritas tertinggi. Hari ini orang melihat suatu mujizat tak ubahnya seperti seorang dukun yang dapat memberikan keuntungan untuk diri. Sebagai contoh, ketika bisnis lesu, orang akan pergi kepada seseorang yang dapat memberikan keuntungan dan berhasil, bisnisnya menjadi lancar maka perhatikan ini bukan mujizat! Sebab yang berinisiatif bukan Allah tapi manusia. Manusia yang ingin mendapat keuntungan, manusia yang berinisiatif pergi ke suatu tempat karena ada suatu tujuan tertentu dalam dirinya dan dari sana orang berharap mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya. Gejala seperti inilah yang disebut dengan perdukunan.
Perhatikan, di balik mujizat ada suatu tuntutan tertentu yang mengharuskan manusia menyadari inti dan arti dari mujizat. Ketika manusia tidak lagi menempatkan Tuhan di posisi pertama dan utama maka semua yang kita lakukan, perbuatan baik apapun yang kita perbuat tidak akan bernilai di mata Allah dan semua itu akan dibuang percuma. Kita dapat melihat dari tokoh iman seperti: Habil – Kain; Daud – Saul, Yakub – Esau. Perhatikan, apa yang menurut manusia maka di mata Tuhan juga baik. Tidak! Memang, secara duniawi apa yang dilakukan Kain, Saul maupun Esau itu baik tetapi tidak di mata Tuhan sebab mereka tidak mengutamakan Tuhan. Kenapa Tuhan tidak menerima persembahan Kain tetapi menerima persembahan Habil? Habil memberikan yang terbaik dan yang paling penting adalah dia mengutamakan Tuhan melalui persembahan itu berbeda dengan Habil, dia memberi sesuatu dari dirinya sendiri. Demikian juga Saul, dia melakukan semua yang baik di mata manusia tetapi tidak di mata Tuhan. Dia melawan Tuhan demi untuk menyenangkan manusia. Sebaliknya Daud, secara manusia dia melakukan perbuatan yang sangat keji bahkan Tuhan menegaskan Daud tidak boleh membangun Bait Allah karena dari tangan banyak menumpahkan darah akan tetapi Tuhan berkenan padanya karena ia mengutamakan Tuhan. Yakub dan Esau pun sama; Esau adalah seorang yang berbakti pada orang tua namun dia menyepelekan hak kesulungan dan lebih memilih semangkok kacang merah. Sebaliknya Yakub, seorang penipu tetapi Tuhan berkenan atasnya karena dia selalu mengutamakan Tuhan. Biarlah kita mengevaluasi diri, sudahkah kita mengutamakan Tuhan di dalam seluruh aspek hidup kita?
Tuhan mengkritik dua kota besar, yakni Khorazim dan kota Betsaida. Nama Khorazim tidak banyak disebut dalam Alkitab namun orang lebih banyak menyebutnya dengan Kapernaum karena jaraknya yang berdekatan. Tuhan Yesus melakukan banyak mujizat di kota Kapernaum namun mujizat itu tidak membuat orang bertobat artinya mereka hanya ingin mendapatkan kenikmatan mujizat tetapi mereka tidak menghargai Kristus. Kota Betsaida terletak di pinggir danau Galilea, yakni tempat dimana Tuhan Yesus membuat mujizat memberi makan 5000 orang laki-laki dengan 5 roti 2 ikan. Ironisnya, mujizat yang dahsyat itu tidak membuat orang mengaku bahwa Kristus adalah Tuhan. Orang menikmati mujizat, mereka mengikut Yesus karena mereka kenyang dan terbukti ketika Tuhan Yesus menegur dengan keras apa yang menjadi motivasi mereka itu, mereka langsung pergi. Dengan kata lain, orang ingin Yesus sebagai “alat“ untuk memuaskan kebutuhan duniawi akibatnya kalau orang perlu maka orang akan datang kepada Yesus akan tetapi, ketika orang tidak merasa perlu maka Yesus dilupakan. Bagaimana mengerti hakekat mujizat? Mujizat harus kembali pada Ketuhanan Kristus; Kristus adalah pusat hidup maka inilah inti dari iman Kekristenan.
Tuhan ingin manusia hidup di dunia dapat hidup bahagia dan sejahtera namun itu bukanlah yang menjadi keinginan utama. Tidak! Tuhan ingin supaya manusia memahami bahwa manusia adalah makhluk relatif maka manusia harus mengutamakan Tuhan sebagai pusat utama melalui semua tanda yang Dia kerjakan di alam semesta ini. Betapa egoisnya kita kalau kita memaksa Tuhan supaya kita sendiri yang harus mengalami mujizat barulah kita mau mengaku Kristus adalah Tuhan. Perhatikan, teologi Reformed tidak anti mujizat. Tidak! Orang harusnya gemetar dan gentar ketika melihat kuasa, kedaulatan dan otoritas Allah dinyatakan di tengah dunia ini namun sangatlah disayangkan, orang justru bersikap sebaliknya dengan menjadikan Kristus sebagai alat. Iman Kristen menegaskan mujizat seharusnya membuat orang bertobat dan kembali pada Kristus; membuat orang hormat dan bersujud di hadapan-Nya, mengaku Kristus sebagai Raja atas segala raja.

II. Mujizat dan Dosa
Enam mujizat yang dikerjakan oleh Kristus (Mat. 11:5) seharusnya menyadarkan manusia akan keberadaan dirinya sebagai makhluk berdosa. Kebutaan, kelumpuhan, tuli, sakit kusta dan mati itu sebagai akibat dari dosa; tidak ada satu pun manusia yang baik di dunia, yakni “baik“ yang sesuai dengan standar Allah. Tidak ada! Semua manusia telah jatuh dalam dosa. Kedaulatan Allah ketika bertemu dengan manusia berdosa seharusnya membuat orang takut dan kecut hati. Petrus gemetar ketika Dia melihat Tuhan Yesus berjalan di atas air dan Petrus tersungkur dan takut ketika Tuhan Yesus menghentikan badai. Di Perjanjian Lama, seluruh bangsa Israel sangat takut ketika Allah hendak datang dan melawat umat-Nya. Respon inilah yang seharusnya muncul dalam diri setiap manusia ketika berhadapan dengan Allah yang Maha Suci yang menyatakan kedaulatan-Nya kepada manusia berdosa dan Allah yang Maha Suci itu datang untuk menyelesaikan dan mengeluarkan manusia dari belenggu dosa. Namun sayang, hari ini manusia justru sangat senang dan menikmati mujizat, manusia justru memperlihatkan suatu ekspresi dosa, yakni keserakahan. Seseorang yang telah mendapat atau melihat mujizat dan ia tidak bertobat maka efeknya justru ia berdosa. Manusia menjadi ketagihan mujizat dan hal itu akan berakumulasi semakin besar; orang ingin mendapat dan mendapat mujizat. Perhatikan, ketika manusia mulai ketagihan mujizat maka setan yang akan menjawab apa yang menjadi permintaannya. Muncul suatu pertanyaan apakah mujizat merupakan tanda orang beriman? Tidak! Alkitab menegaskan kota yang mendapat anugerah paling banyak justru kota itu celaka. Kuncinya bukan terletak pada mujizat. Banyak orang berpendapat kalau ia mendapat mujizat berarti Tuhan sayang padanya, imannya bertambah besar, orang mempunyai kekuatan besar. Salah! Orang yang berdosa bertobat merupakan mujizat. Bagaimana respon kita ketika anugerah Tuhan turun atas kita? Orang tidak meresponi anugerah dengan tepat maka anugerah itu akan menjadi sebatas anugerah umum belaka yang justru membuat orang semakin berdosa, orang menjadi egois karena ingin menikmati anugerah itu seorang diri belaka. Sadarlah setiap hari kita menikmati mujizat Tuhan namun sampai seberapa jauhkah sikap kita terhadap mujizat yang Tuhan kerjakan atas kita? Apakah mujizat itu menyadarkan kita bahwa kita adalah manusia berdosa dan kita menjadi bertobat?
Injil Matius 11 ini tidak membutuhkan penafsiran yang dalam, orang harusnya memahami dengan sangat jelas namun dunia modern telah memutarbalikkan Firman. Alkitab menyatakan dengan jelas Tuhan Yesus melakukan banyak mujizat namun perhatikan, Tuhan ingin manusia berespon dengan tepat. Memang, Tuhan Yesus melakukan banyak mujizat di Galilea namun tidak semua orang memperoleh mujizat dan tidak setiap hari Dia memberi makan banyak orang. Tidak! Setiap mujizat yang Tuhan kerjakan adalah untuk suatu maksud rencana Tuhan dan dikerjakan atas dasar inisiatif Tuhan. Setiap anak Tuhan pasti pernah mengalami dan merasakan mujizat Tuhan, yakni mujizat pertobatan. Tuhan Yesus mati menebus dosa, Dia bangkit dan menang atas kuasa maut maka itulah mujizat terbesar. Tidak ada satu mujizat apa pun yang ada di dunia seperti yang dikerjakan oleh Kristus yang pernah ada di alam semesta ini. Adalah suatu mujizat kalau kita dapat menyadari kita orang berdosa dan kembali pada Tuhan sebab tidak ada suatu jasa atau usaha apa pun dari diri kita yang dapat membuat kita berbalik pada Tuhan.

III. Mujizat dan Penghakiman
Mujizat sangat berkait erat dengan hari penghakiman (Mat. 11:22-24). Hari ini, mujizat hanya dikaitkan pada suatu kenikmatan dunia. Orang yang gagal berespon dengan tepat maka ingatlah, penghakiman telah menanti kita. Mujizat Tuhan merupakan pernyataan kebenaran Tuhan, ini berarti ketika manusia melawan sama dengan melawan kebenaran Tuhan dan orang yang melawan akan mendapat penghukuman Allah. Dosa adalah melawan Allah dan kebenaran-Nya. Hukuman yang sesuai untuk orang yang melawan Tuhan adalah mati sebab upah dosa adalah maut. Adalah suatu tindakan yang tidak dapat dibenarkan kalau seorang anak melawan apa yang menjadi perintah dari orang tuanya apalagi melawan Tuhan, Sang Pencipta manusia dan Sumber Kebenaran. Apa yang Tuhan kerjakan adalah untuk kepentingan dan kebaikan manusia sendiri. Setiap tindakan Allah menuntut suatu respon kebenaran dari manusia. Kebenaran yang tidak direspon dengan kebenaran akan berakibat fatal. Seorang yang belum pernah mendengar berita Injil tidak akan merasakan ketakutan dan kegentaran dibandingkan dengan orang yang mendapat berita Injil. Hanya ada dua pilihan bagi orang yang mendapat berita Injil, yakni menerima atau menolak dan orang harus mengambil keputusan dari dua pilihan tersebut. Ini merupakan penghakiman kalau orang salah mengambil keputusan berarti hukuman mati telah menanti kita.
Dalam kehidupan, orang seringkali berusaha menghindar dari berbagai keputusan namun toh mustahil, manusia akan sampai pada suatu titik penting dimana manusia harus mengambil suatu keputusan maka saat itu, kita harusnya gemetar sebab kalau kita salah memutuskan akan berakibat fatal. Demikian halnya kita meresponi suatu mujizat; mujizat seharusnya menyadarkan kita pada suatu posisi penghakiman, encounter position. Manusia dihadapkan pada dua pilihan dan manusia harus menentukan: ya atau tidak. Jangan pernah berpikir kalau mujizat itu haruslah sesuatu yang spektakuler. Tidak! Sadarlah setiap hari kita mengalami banyak mujizat dalam setiap aspek hidup kita. Biarlah kita mengevaluasi diri apakah kita menyadari setiap mujizat yang Tuhan telah kerjakan dalam hidup kita? Dan bagaimanakah respon kita terhadap mujizat Tuhan itu? Penghakiman Allah menuntut suatu respon dari kita; kebenaran Allah harus direspon dengan kebenaran maka saat itulah Tuhan berkenan. Ketika Tuhan berkenan atas kita maka itu menjadi sukacita tersendiri dalam kita.
Kristus haruslah menjadi pusat hidup kita dengan demikian: 1) orang akan peka melihat apa yang terjadi dalam sejarah, 2) orang merasa takut dan gentar di dalam setiap langkah hidupnya. Ingatlah, kalau Tuhan masih memberikan kesempatan pada kita untuk melayani Dia maka itu harusnya menjadikan kita takut dan gentar karena kita sedang melayani Sang Raja di atas segala raja sehingga kita harus memberikan yang terbaik pada-Nya. Percayalah, Tuhan akan memimpin dalam setiap langkah hidup kita, mujizat Tuhan akan selalu berada di depan beserta dengan kita; 3) ada penghakiman, hal ini menjadikan kita awas dalam setiap langkah kita. Di tengah dunia yang semakin hancur, arahkanlah hidup dan pandangan hidup kita hanya pada Kristus, berpegang teguh pada-Nya maka hidup kita tidak akan mudah diombang-ambingkan oleh arus dunia. Amin (Ringkasan Khotbah ini belum diperiksa
melakukan semua yang baik di mata manusia tetapi tidak di mata Tuhan. Dia melawan Tuhan demi untuk menyenangkan manusia. Sebaliknya Daud, secara manusia dia melakukan perbuatan yang sangat keji bahkan Tuhan menegaskan Daud tidak boleh membangun Bait Allah karena dari tangan banyak menumpahkan darah akan tetapi Tuhan berkenan padanya karena ia mengutamakan Tuhan. Yakub dan Esau pun sama; Esau adalah seorang yang berbakti pada orang tua namun dia menyepelekan hak kesulungan dan lebih memilih semangkok kacang merah. Sebaliknya Yakub, seorang penipu tetapi Tuhan berkenan atasnya karena dia selalu mengutamakan Tuhan. Biarlah kita mengevaluasi diri, sudahkah kita mengutamakan Tuhan di dalam seluruh aspek hidup kita?
Tuhan mengkritik dua kota besar, yakni Khorazim dan kota Betsaida. Nama Khorazim tidak banyak disebut dalam Alkitab namun orang lebih banyak menyebutnya dengan Kapernaum karena jaraknya yang berdekatan. Tuhan Yesus melakukan banyak mujizat di kota Kapernaum namun mujizat itu tidak membuat orang bertobat artinya mereka hanya ingin mendapatkan kenikmatan mujizat tetapi mereka tidak menghargai Kristus. Kota Betsaida terletak di pinggir danau Galilea, yakni tempat dimana Tuhan Yesus membuat mujizat memberi makan 5000 orang laki-laki dengan 5 roti 2 ikan. Ironisnya, mujizat yang dahsyat itu tidak membuat orang mengaku bahwa Kristus adalah Tuhan. Orang menikmati mujizat, mereka mengikut Yesus karena mereka kenyang dan terbukti ketika Tuhan Yesus menegur dengan keras apa yang menjadi motivasi mereka itu, mereka langsung pergi. Dengan kata lain, orang ingin Yesus sebagai “alat“ untuk memuaskan kebutuhan duniawi akibatnya kalau orang perlu maka orang akan datang kepada Yesus akan tetapi, ketika orang tidak merasa perlu maka Yesus dilupakan. Bagaimana mengerti hakekat mujizat? Mujizat harus kembali pada Ketuhanan Kristus; Kristus adalah pusat hidup maka inilah inti dari iman Kekristenan.
Tuhan ingin manusia hidup di dunia dapat hidup bahagia dan sejahtera namun itu bukanlah yang menjadi keinginan utama. Tidak! Tuhan ingin supaya manusia memahami bahwa manusia adalah makhluk relatif maka manusia harus mengutamakan Tuhan sebagai pusat utama melalui semua tanda yang Dia kerjakan di alam semesta ini. Betapa egoisnya kita kalau kita memaksa Tuhan supaya kita sendiri yang harus mengalami mujizat barulah kita mau mengaku Kristus adalah Tuhan. Perhatikan, teologi Reformed tidak anti mujizat. Tidak! Orang harusnya gemetar dan gentar ketika melihat kuasa, kedaulatan dan otoritas Allah dinyatakan di tengah dunia ini namun sangatlah disayangkan, orang justru bersikap sebaliknya dengan menjadikan Kristus sebagai alat. Iman Kristen menegaskan mujizat seharusnya membuat orang bertobat dan kembali pada Kristus; membuat orang hormat dan bersujud di hadapan-Nya, mengaku Kristus sebagai Raja atas segala raja.

II. Mujizat dan Dosa
Enam mujizat yang dikerjakan oleh Kristus (Mat. 11:5) seharusnya menyadarkan manusia akan keberadaan dirinya sebagai makhluk berdosa. Kebutaan, kelumpuhan, tuli, sakit kusta dan mati itu sebagai akibat dari dosa; tidak ada satu pun manusia yang baik di dunia, yakni “baik“ yang sesuai dengan standar Allah. Tidak ada! Semua manusia telah jatuh dalam dosa. Kedaulatan Allah ketika bertemu dengan manusia berdosa seharusnya membuat orang takut dan kecut hati. Petrus gemetar ketika Dia melihat Tuhan Yesus berjalan di atas air dan Petrus tersungkur dan takut ketika Tuhan Yesus menghentikan badai. Di Perjanjian Lama, seluruh bangsa Israel sangat takut ketika Allah hendak datang dan melawat umat-Nya. Respon inilah yang seharusnya muncul dalam diri setiap manusia ketika berhadapan dengan Allah yang Maha Suci yang menyatakan kedaulatan-Nya kepada manusia berdosa dan Allah yang Maha Suci itu datang untuk menyelesaikan dan mengeluarkan manusia dari belenggu dosa. Namun sayang, hari ini manusia justru sangat senang dan menikmati mujizat, manusia justru memperlihatkan suatu ekspresi dosa, yakni keserakahan. Seseorang yang telah mendapat atau melihat mujizat dan ia tidak bertobat maka efeknya justru ia berdosa. Manusia menjadi ketagihan mujizat dan hal itu akan berakumulasi semakin besar; orang ingin mendapat dan mendapat mujizat. Perhatikan, ketika manusia mulai ketagihan mujizat maka setan yang akan menjawab apa yang menjadi permintaannya. Muncul suatu pertanyaan apakah mujizat merupakan tanda orang beriman? Tidak! Alkitab menegaskan kota yang mendapat anugerah paling banyak justru kota itu celaka. Kuncinya bukan terletak pada mujizat. Banyak orang berpendapat kalau ia mendapat mujizat berarti Tuhan sayang padanya, imannya bertambah besar, orang mempunyai kekuatan besar. Salah! Orang yang berdosa bertobat merupakan mujizat. Bagaimana respon kita ketika anugerah Tuhan turun atas kita? Orang tidak meresponi anugerah dengan tepat maka anugerah itu akan menjadi sebatas anugerah umum belaka yang justru membuat orang semakin berdosa, orang menjadi egois karena ingin menikmati anugerah itu seorang diri belaka. Sadarlah setiap hari kita menikmati mujizat Tuhan namun sampai seberapa jauhkah sikap kita terhadap mujizat yang Tuhan kerjakan atas kita? Apakah mujizat itu menyadarkan kita bahwa kita adalah manusia berdosa dan kita menjadi bertobat?
Injil Matius 11 ini tidak membutuhkan penafsiran yang dalam, orang harusnya memahami dengan sangat jelas namun dunia modern telah memutarbalikkan Firman. Alkitab menyatakan dengan jelas Tuhan Yesus melakukan banyak mujizat namun perhatikan, Tuhan ingin manusia berespon dengan tepat. Memang, Tuhan Yesus melakukan banyak mujizat di Galilea namun tidak semua orang memperoleh mujizat dan tidak setiap hari Dia memberi makan banyak orang. Tidak! Setiap mujizat yang Tuhan kerjakan adalah untuk suatu maksud rencana Tuhan dan dikerjakan atas dasar inisiatif Tuhan. Setiap anak Tuhan pasti pernah mengalami dan merasakan mujizat Tuhan, yakni mujizat pertobatan. Tuhan Yesus mati menebus dosa, Dia bangkit dan menang atas kuasa maut maka itulah mujizat terbesar. Tidak ada satu mujizat apa pun yang ada di dunia seperti yang dikerjakan oleh Kristus yang pernah ada di alam semesta ini. Adalah suatu mujizat kalau kita dapat menyadari kita orang berdosa dan kembali pada Tuhan sebab tidak ada suatu jasa atau usaha apa pun dari diri kita yang dapat membuat kita berbalik pada Tuhan.

III. Mujizat dan Penghakiman
Mujizat sangat berkait erat dengan hari penghakiman (Mat. 11:22-24). Hari ini, mujizat hanya dikaitkan pada suatu kenikmatan dunia. Orang yang gagal berespon dengan tepat maka ingatlah, penghakiman telah menanti kita. Mujizat Tuhan merupakan pernyataan kebenaran Tuhan, ini berarti ketika manusia melawan sama dengan melawan kebenaran Tuhan dan orang yang melawan akan mendapat penghukuman Allah. Dosa adalah melawan Allah dan kebenaran-Nya. Hukuman yang sesuai untuk orang yang melawan Tuhan adalah mati sebab upah dosa adalah maut. Adalah suatu tindakan yang tidak dapat dibenarkan kalau seorang anak melawan apa yang menjadi perintah dari orang tuanya apalagi melawan Tuhan, Sang Pencipta manusia dan Sumber Kebenaran. Apa yang Tuhan kerjakan adalah untuk kepentingan dan kebaikan manusia sendiri. Setiap tindakan Allah menuntut suatu respon kebenaran dari manusia. Kebenaran yang tidak direspon dengan kebenaran akan berakibat fatal. Seorang yang belum pernah mendengar berita Injil tidak akan merasakan ketakutan dan kegentaran dibandingkan dengan orang yang mendapat berita Injil. Hanya ada dua pilihan bagi orang yang mendapat berita Injil, yakni menerima atau menolak dan orang harus mengambil keputusan dari dua pilihan tersebut. Ini merupakan penghakiman kalau orang salah mengambil keputusan berarti hukuman mati telah menanti kita.
Dalam kehidupan, orang seringkali berusaha menghindar dari berbagai keputusan namun toh mustahil, manusia akan sampai pada suatu titik penting dimana manusia harus mengambil suatu keputusan maka saat itu, kita harusnya gemetar sebab kalau kita salah memutuskan akan berakibat fatal. Demikian halnya kita meresponi suatu mujizat; mujizat seharusnya menyadarkan kita pada suatu posisi penghakiman, encounter position. Manusia dihadapkan pada dua pilihan dan manusia harus menentukan: ya atau tidak. Jangan pernah berpikir kalau mujizat itu haruslah sesuatu yang spektakuler. Tidak! Sadarlah setiap hari kita mengalami banyak mujizat dalam setiap aspek hidup kita. Biarlah kita mengevaluasi diri apakah kita menyadari setiap mujizat yang Tuhan telah kerjakan dalam hidup kita? Dan bagaimanakah respon kita terhadap mujizat Tuhan itu? Penghakiman Allah menuntut suatu respon dari kita; kebenaran Allah harus direspon dengan kebenaran maka saat itulah Tuhan berkenan. Ketika Tuhan berkenan atas kita maka itu menjadi sukacita tersendiri dalam kita.
Kristus haruslah menjadi pusat hidup kita dengan demikian: 1) orang akan peka melihat apa yang terjadi dalam sejarah, 2) orang merasa takut dan gentar di dalam setiap langkah hidupnya. Ingatlah, kalau Tuhan masih memberikan kesempatan pada kita untuk melayani Dia maka itu harusnya menjadikan kita takut dan gentar karena kita sedang melayani Sang Raja di atas segala raja sehingga kita harus memberikan yang terbaik pada-Nya. Percayalah, Tuhan akan memimpin dalam setiap langkah hidup kita, mujizat Tuhan akan selalu berada di depan beserta dengan kita; 3) ada penghakiman, hal ini menjadikan kita awas dalam setiap langkah kita. Di tengah dunia yang semakin hancur, arahkanlah hidup dan pandangan hidup kita hanya pada Kristus, berpegang teguh pada-Nya maka hidup kita tidak akan mudah diombang-ambingkan oleh arus dunia. Amin

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

Roma 11:1-5: "ISRAEL" SEJATI ATAU PALSU-14: Kaum Pilihan yang Tersisa-1

Seri Eksposisi Surat Roma :
Doktrin Predestinasi-13


“Israel” Sejati atau Palsu-14 :
Kaum Pilihan yang Tersisa-1


oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 11:1-5


Pasal 10 diakhiri dengan pernyataan bahwa Allah menghukum Israel (ayat 21), lalu mungkin di antara kita muncul pertanyaan apakah Allah menghukum dan membinasakan bangsa yang dipilih-Nya sendiri? Di pasal 11 ayat 1, Paulus melanjutkan, “Maka aku bertanya: Adakah Allah mungkin telah menolak umat-Nya? Sekali-kali tidak! Karena aku sendiripun orang Israel, dari keturunan Abraham, dari suku Benyamin.” Dari ayat ini, Paulus jelas mengatakan bahwa Allah tidak menolak umat-Nya. Pernyataan “sekali-kali tidak!” yang merupakan penegasan muncul dengan terjemahan yang cukup beraneka ragam di dalam Alkitab bahasa Inggris. King James Version dan American Standard Version (ASV) menerjemahkannya, “God forbid.” (=Allah melarangnya.) Literal Translation of the Holy Bible (LITV) menerjemahkannya, “Let it not be!” (terjemahan bebas: jangan sampai itu terjadi!) International Standard Version (ISV) menerjemahkannya, “Of course not!” (=Tentu tidak!) God’s Word (GW) menerjemahkannya, “That's unthinkable!” (=Itu tidak mungkin!) Analytical-Literal Translation (ALT) menerjemahkannya, “Absolutely not!” (Secara mutlak tidak!) Variasi keenam terjemahan Alkitab bahasa Inggris jelas menunjukkan bahwa Allah memang tidak mungkin menolak umat yang telah dipilih-Nya. Lalu, Paulus menyebutkan bahwa dia sendiri adalah orang Israel, dari keturunan Abraham, dan dari suku Benyamin. Di Filipi 3:5, ia mengemukakan asal usulnya lebih jelas, “disunat pada hari kedelapan, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli, tentang pendirian terhadap hukum Taurat aku orang Farisi,” Ketika kita menelusuri sejarah Perjanjian Lama (puji Tuhan, Pdt. Aiter telah mencerahkan saya dalam hal ini), suku Benyamin adalah suku terakhir dari 12 suku terakhir (karena Benyamin adalah anak bungsu Yakub), dan sebelum diangkat Raja Saul (karena Israel meminta raja kepada Tuhan), sempat terjadi perang saudara antara suku Benyamin dengan kesebelas suku Israel lain. Pada peperangan pertama, suku Benyamin perang, tetapi di peperangan kedua, kesebelas suku Israel lah yang menang. Lalu, uniknya ketika Israel meminta pemimpin kepada Tuhan, Tuhan memakai Saul yang lahir dari suku Benyamin (1Sam. 9:21) untuk memimpin Israel (meskipun sebenarnya Daud lah yang dipersiapkan Tuhan untuk menjadi raja). Ini dilakukan-Nya untuk mempermalukan bangsa Israel khususnya kesebelas suku yang merasa diri hebat, dan menganggap suku Benyamin itu terkecil. Suku Benyamin akhirnya melahirkan Paulus, seorang rasul Kristus yang luar biasa. Sekali lagi, Tuhan mau menunjukkan kuasa-Nya. Meskipun manusia menganggap suku tertentu itu kecil dan bungsu, tetapi Tuhan tetap memperhatikannya. Lalu, bagian ini juga mengajar kita bahwa Roma 10:21 tidak berarti Allah membuang semua Israel, tetapi Allah menghukum mereka yang termasuk umat tertolak. Namun, kepada umat pilihan dari Israel, Allah tidak menghukum dan membinasakan. Ketiga pasal dari pasal 9 s/d 11 sangat jelas mengajarkan tentang konsep predestinasi, dan jelaslah predestinasi itu ajaran Alkitabiah.


Hal ini diperjelas oleh Paulus di ayat 2a, “Allah tidak menolak umat-Nya yang dipilih-Nya.” Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear (2003) menambahkan kata “sebelumnya” pada kata “dipilih-Nya” (hlm. 856). Penambahan kata ini cukup signifikan, karena memberi kita beberapa pelajaran penting tentang apa arti kovenan (perjanjian):

Pertama, kedaulatan Allah dan predestinasi. Allah yang berdaulat juga adalah Allah yang memilih beberapa manusia untuk diselamatkan di dalam Kristus. Ketika Ia memilih manusia, itu dilakukannya sebelum dunia dijadikan (Efesus 1:4). Pemilihan Allah ini dilakukannya di dalam Kristus yang menebus dosa-dosa umat-Nya. Lalu, Roh Kudus mengefektifkan penebusan Kristus tersebut ke dalam hati umat pilihan-Nya dengan melahirbarukan mereka sehingga mereka dapat bertobat dan menerima Kristus. Dengan kata lain, seluruh proses pemilihan Allah dilakukan murni oleh Allah sendiri, dan tidak ada jasa baik manusia yang terlibat. Oleh karena itu, jika “theologi” Arminian mengajarkan bahwa Allah memilih manusia setelah Ia melihat terlebih dahulu siapa yang akan bertobat itu jelas tidak sesuai dengan kebenaran Alkitab. Ajaran tersebut jelas merendahkan Allah di bawah manusia, sehingga seolah-olah Allah akan kewalahan jika manusia memilih untuk tidak memilih-Nya. Allah seperti ini jelas bukan Allah Alkitab, karena Allah Alkitab adalah Allah yang berdaulat mutlak dan tidak tergantung pada respon manusia di dalam proses pemilihan!

Kedua, predestinasi dan kovenan. Setelah memilih beberapa orang, barulah Allah mengadakan kovenan kepada orang yang dipilih-Nya itu, sehingga mereka mampu menjalankan apa yang dikehendaki-Nya untuk memuliakan nama-Nya. Kovenan ini dibuat bukan oleh dua pihak (yaitu Allah dan manusia), tetapi hanya oleh satu pihak, yaitu Allah. Kejadian 17:2-4 jelas mengajar tentang kovenan pertama Allah dengan Abraham ketika Allah menyatakan diri pertama kali kepada Abraham (dulu: Abram). Tidak ada unsur jasa baik manusia terlibat di dalam kovenan ini, mengapa? Karena Allah lah yang pertama kali berinisiatif menyatakan diri-Nya kepada Abram yang sebelumnya Abram tak pernah mengenal Allah tersebut. Kemudian, kovenan ini ditunjukkan melalui diberkatinya Abraham dengan banyak keturunan, lalu keturunan-keturunan yang dipilih-Nya itu akhirnya menjadi bangsa Israel yang akhirnya menetap di Tanah Perjanjian, Kanaan. Ketika perjalanan menuju Tanah Kanaan, bangsa Israel diberi Hukum Allah (Dasa Titah, aturan-aturan ibadah, dll). Lalu, terakhir, mereka akhirnya memiliki raja sebagai pemimpin mereka. Pdt. Aiter di dalam Seminar: The Beauty of the Old Testament pada tanggal 24-25 Maret 2008 di Surabaya menyebut keempat unsur ini sebagai pembentukan Kerajaan Israel dan unsur-unsur ini dikaitkan dengan Perjanjian Baru menjadi empat hal: benih keturunan mengacu kepada umat pilihan-Nya di dalam Kristus, hukum mengacu kepada hukum Kristus, tanah perjanjian mengacu kepada diri orang percaya, dan raja mengacu kepada Kristus. Di sini, kita mendapatkan gambaran integratif dan holistik tentang Kerajaan Allah dan umat pilihan Allah. Ketika Allah mengadakan kovenan-Nya dengan manusia, itu dimaksudkannya agar manusia itu hidup benar di hadapan-Nya dan memuliakan nama-Nya.

Ketiga, kovenan dan pemeliharaan Allah. Setelah Bapa memilih beberapa orang (dan mengadakan kovenan kepada mereka), Kristus menebus dosa-dosa mereka, dan Roh Kudus melahirbarukan mereka, apakah itu sudah selesai? TIDAK. Umat pilihan yang telah diselamatkan oleh karya Allah Trinitas tidak dibiarkan binasa, tetapi dipelihara-Nya, sehingga mereka tidak akan mungkin binasa atau kehilangan keselamatan (Yoh. 3:16; 6:40:44; 10:27-29). Pemeliharaan-Nya membuktikan kesetiaan-Nya yang tidak pernah berubah pada umat pilihan-Nya. Kalau “theologi” Arminian mengajarkan bahwa keselamatan orang Kristen sejati (atau umat pilihan-Nya) bisa hilang, berarti mereka mempercayai sekali lagi kedaulatan manusia di atas Allah dengan asumsi bahwa mereka yang terhilang/murtad adalah mereka yang dengan aktif menolak Allah dan Allah tidak dapat berbuat apa-apa (kewalahan) atau dalam bahasa Jawa disebut: nrimo. Konsep nrimo ini membuktikan ketidakberdayaan Allah terhadap tindakan manusia, dan hal ini jelas BUKAN konsep Alkitab! Ketika kita mengerti konsep Alkitab ini di dalam kerangka pikir theologi Reformed, kita baru mengerti alasan Paulus di ayat 2 ini mengatakan bahwa Allah tidak nenolak umat yang dipilih-Nya, yaitu karena adanya pemeliharaan dan kesetiaan Allah yang tidak berubah.


Konsep Allah yang tidak menolak umat pilihan-Nya dijelaskan dengan menggunakan satu contoh di dalam Perjanjian Lama sehingga kita makin mengerti.
Contoh itu adalah di zaman Elia. Di ayat 2b-3, Paulus mengatakan, “Ataukah kamu tidak tahu, apa yang dikatakan Kitab Suci tentang Elia, waktu ia mengadukan Israel kepada Allah: "Tuhan, nabi-nabi-Mu telah mereka bunuh, mezbah-mezbah-Mu telah mereka runtuhkan; hanya aku seorang dirilah yang masih hidup dan mereka ingin mencabut nyawaku."” Ayat ini jelas mengajar bahwa meskipun bangsa Israel sudah berdosa begitu jahat membunuh nabi-nabi Allah, Ia tetap menyisakan salah satunya Elia. Yang lebih menarik lagi, bukan hanya Elia, Paulus lebih tajam lagi mengatakan di ayat 4, “Tetapi bagaimanakah firman Allah kepadanya? "Aku masih meninggalkan tujuh ribu orang bagi-Ku, yang tidak pernah sujud menyembah Baal."” Ayat ini dikutip dalam 1 Raja-raja 19:18. Uniknya, bukan hanya Elia saja, Allah juga menyisakan 7.000 orang Israel sejati yang tidak menyembah Baal bahkan mulutnya tidak mencium Baal (lih. I Raja-raja 19:18b). Di seluruh Perjanjian Lama, kita juga menjumpai hal serupa, bahwa Allah menyisakan beberapa orang Israel untuk tetap setia beribadah kepada-Nya dan hidup bagi-Nya di antara banyak orang Israel yang berdosa. Lalu, ia mengimplikasinya untuk zaman di mana ia hidup (dan juga bagi kita) di ayat 5, “Demikian juga pada waktu ini ada tinggal suatu sisa, menurut pilihan kasih karunia.”


Apa yang bisa kita pelajari dari ketiga ayat berhubungan dengan sisa (remnant) ini?
Pertama, sisa itu minoritas. Di dalam keseluruhan Perjanjian Lama, kita mendapatkan gambaran bahwa yang namanya kaum sisa adalah kelompok minoritas. Abram dipanggil Tuhan membuktikan ia adalah kaum sisa yang dipilih Allah, sedangkan banyak orang yang hidup di zamannya tidak dipilih-Nya. Sampai di Perjanjian Baru, Tuhan Yesus dengan gamblang mengajar tentang konsep sisa sebagai minoritas di dalam Matius 7:13-14, “Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya; karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya.” Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkannya, “Masuklah melalui pintu yang sempit, sebab pintu dan jalan yang menuju ke neraka besar dan lebar, dan banyak orang yang melaluinya. Tetapi sempit dan sukarlah pintu dan jalan yang membawa orang kepada hidup. Dan hanya sedikit orang yang menemukannya.” Kita pasti ingat dengan lagu Sekolah Minggu yang mengajarkan apa yang Tuhan Yesus ajarkan ini, yaitu ada dua jalan, jalan yang lebar dan sempit. Jalan yang lebar, lebar pintunya dan menuju kepada kebinasaan, sedangkan jalan yang sempit, sempit pintunya dan menuju kepada kekekalan. Dengan kata lain, jalan yang lebar: lebar pintunya menuju kepada tujuan akhir yang sempit, sedangkan jalan yang sempit: sempit pintunya menuju kepada tujuan akhir yang luas. Lebih dalam lagi, Tuhan Yesus mengajar bahwa orang yang masuk melalui pintu/jalan yang lebar itu banyak (mayoritas), tetapi orang yang mau masuk melalui pintu/jalan yang sempit itu sedikit (minoritas), mengapa? Karena tidak banyak orang mau masuk melalui pintu yang sempit. Tuhan mau anak-anak-Nya hidup dan masuk melalui pintu yang sempit. Dalam hal ini, Ia telah mengajar kita bahwa untuk dapat masuk melalui pintu yang sempit itu, umat-Nya harus menderita aniaya karena nama Kristus (Matius 10:38; 16:24). Bukan hanya itu saja, Ia sendiri mengajar di dalam Matius 5:10-12 bahwa justru orang yang menderita aniaya itu adalah orang yang berbahagia (atau terjemahan yang lebih tepat: diberkati/blessed). Tuhan mengingatkan kita melalui hal ini bahwa menjadi kaum sisa itu harus minoritas, susah, dll. Mengapa harus minoritas? Karena itu adalah standar Allah. Allah tidak menuntut kuantitas yang sangat besar untuk masuk Surga, tetapi Ia menuntut kualitas orang-orang yang masuk Surga (meskipun tentu mencakup kuantitas, tetapi tetap tidak banyak). Mengapa Allah menuntut kualitas? Karena Ia melihat hati, bukan fenomena. Ingatlah, Allah tidak pernah tertipu oleh fenomena luar, Ia menyelidiki hati setiap manusia. Di dalam Perjanjian Lama, Raja Daud mengerti konsep ini (Mazmur 17:3). Ketika hendak memilih raja bagi Israel, Tuhan berfirman kepada Samuel, “"Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati."” (1 Samuel 16:7) Di dalam Perjanjian Baru, Tuhan Yesus sendiri mengajar di dalam Lukas 16:15, “Sebab apa yang dikagumi manusia, dibenci oleh Allah.” Di dalam Matius 15:18-20, Tuhan Yesus lebih tajam mengajar, “Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang. Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat. Itulah yang menajiskan orang. Tetapi makan dengan tangan yang tidak dibasuh tidak menajiskan orang."” Bagaimana dengan kita? Kita sudah belajar bahwa Allah menuntut hati dan kualitas kita di hadapan-Nya, apakah kita masih hidup sembrono di hadapan-Nya sambil tetap aktif “melayani”? Ataukah kita hari ini mau berkomitmen untuk tidak munafik, tetapi bertobat memurnikan hati dan motivasi kita sebelum kita aktif melayani Tuhan?? Jika kita mau hidup taat di hadapan Allah, ingatlah, jumlah umat pilihan-Nya itu tetap minoritas, TIDAK pernah mayoritas. Oleh karena itu, jangan pernah mengharapkan kuantitas jemaat di dalam gereja tanpa memerhatikan kualitas, tetapi utamakanlah kualitas sambil tetap mencari kuantitas. Perhatikan, setiap gereja yang terus memperhatikan kuantitas dengan berbagai cara, misalnya merebut jemaat gereja lain dengan mengiming-imingi khotbah yang enak, gampang, dll, ceklah 10 tahun kemudian kerohanian gereja tersebut dan jemaat yang dicurinya, maka akan kelihatan bahwa gereja dan jemaat tersebut tidak akan pernah bertumbuh. Mengapa? Karena mereka memperhatikan kuantitas dan sesuatu yang menyenangkan. Pertumbuhan rohani tidak pernah berjumlah banyak, tetapi pasti berjumlah sedikit, karena Tuhan menyaringnya (bnd. Matius 7:21-23). Ketika gereja mau bertumbuh rohaninya, jangan pernah mengharapkan kuantitas yang banyak tanpa kualitas, tetapi sebaliknya, harapkanlah kualitas sambil tetap mengejar kuantitas (meskipun tentu tetap tidak bisa banyak). Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) yang didirikan oleh hamba-Nya yang setia, Pdt. Dr. Stephen Tong adalah salah satu gereja yang dipakai Tuhan. Sebagai seorang pendiri dan ketua sinode, Pdt. Dr. Stephen Tong mengajar prinsip keseimbangan ini, yaitu antara kualitas dan kuantitas (kualitas diutamakan, kuantitas menyusul). Ketika kualitas ditingkatkan, maka kuantitas akan bertambah (meskipun tidak bisa banyak/berlimpah). Dan puji Tuhan, sampai 2008, sudah ada lebih dari 30 cabang GRII di Indonesia dan dunia, bahkan mencapai Jerman dan Tiongkok (melalui pengajaran dan mimbar ekspositoris yang ketat setiap kebaktian/pembinaan) di mana gereja-gereja lain tidak mampu mengerjakannya. Banyak gereja Karismatik yang mempopulerkan doktrin pertumbuhan gereja (church growth), tetapi sayangnya, gereja tersebut (khususnya dari Indonesia) tak bisa bertumbuh di negara-negara Eropa dan Tiongkok. Mengapa? Karena negara-negara Eropa adalah negara yang dipenuhi dengan penduduk yang pintar, dan Tiongkok adalah negara komunis. Carilah satu saja gereja Karismatik/Pentakosta di negara-negara Eropa yang tetap eksis dan bersumbangsih bagi masyarakat sekitarnya. Saya berani menjamin tidak ada, mengapa? Karena gereja-gereja tersebut hanya mengejar kuantitas yang banyak, tanpa mengejar kualitas. Sebaliknya, kita juga menjumpai banyak gereja di negara Eropa menjadi sepi pengunjung (banyak jemaatnya terdiri dari orang-orang tua). Bukan hanya di Eropa, di Indonesia, banyak gereja-gereja Protestan arus utama sudah kehilangan banyak jemaat, karena jemaat-jemaat mereka lebih suka mencari gereja-gereja yang tidak beraturan lagi (seperti banyak Karismatik/Pentakosta). Bukan hanya kehilangan jemaat, banyak jemaat di gereja-gereja tersebut hanya menjalani ibadah secara rutinitas saja, akibatnya mereka sambil ke gereja, sambil percaya takhayul, dan hal-hal klenik lainnya. Mengapa? Karena mereka tidak ada kuasa lagi di dalam melayani dan berkhotbah atau dengan kata lain, mereka mementingkan kualitas, tanpa kuantitas. Reformed Injili mewakili keKristenan bersuara bahwa dua hal ini harus seimbang, dengan mementingkan kualitas terlebih dahulu, baru kuantitas menyusul. Memang benar bahwa sisa itu minoritas, tetapi biarlah kaum sisa ini dipakai Tuhan secara dahsyat untuk mengguncang dunia dan memperbaikinya setahap demi setahap agar dunia yang sudah berdosa ini dapat pelan-pelan dibenahi untuk memuliakan Tuhan. Itulah tugas mandat budaya yang harus dilakukan oleh orang Kristen.

Kedua, sisa itu dituntut berbeda. Selain minoritas, Tuhan menuntut kaum sisa ini harus berbeda. Berbeda di dalam apa? Dua hal, berbeda di dalam status, dan di dalam hal paradigma. Berbeda di dalam status, hal itu sudah jelas, yaitu sebagai umat pilihan-Nya, kita berbeda secara status. Artinya, kita dipisahkan dari dunia ini untuk menjadi warga negara Kerajaan Surga. Hal ini sudah diajarkan Paulus di Roma 1:1, “Dari Paulus, hamba Kristus Yesus, yang dipanggil menjadi rasul dan dikuduskan untuk memberitakan Injil Allah.” Terjemahan yang lebih tepat dari King James Version, “Paul, a servant of Jesus Christ, called to be an apostle, separated unto the gospel of God,” Kata “dikuduskan” dalam KJV diterjemahkan separated (=dipisahkan) yang diambil dari kata Yunani aphorizō. Bukan hanya rasul, sebagai umat pilihan Allah pun, kita dipisahkan dari dunia. Konsep ini diajarkan di dalam 1 Petrus 2:9, “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib:” Kata “memanggil keluar” dalam ayat ini bisa diidentikkan dengan memisahkan dari dunia yang berdosa menuju kepada terang-Nya yang ajaib. Berbeda di dalam hal paradigma, kita belajar dari Roma 12:2, di mana Tuhan melalui Paulus mengajar, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Dari ayat 2 ini, kita membagi dua hal yang dituntut Tuhan, yaitu: pertama, tidak boleh menuruti arus dunia. Mengapa? Karena dunia ini adalah dunia yang berdosa dan rusak total, sehingga sebagai umat-Nya, kita MUTLAK tidak boleh mengikuti arus dunia. Tetapi apakah itu berarti kita menutup diri terhadap budaya luar, lalu kita bersemedi di gunung-gunung seperti yang dilakukan oleh para petapa?? TIDAK! Tuhan tidak menyuruh kita mengasingkan diri untuk bertarak/menyiksa diri, melainkan Tuhan menyuruh kita untuk TIDAK menuruti arus dunia, yang artinya tidak menuruti pemikiran dan sikap dunia yang tidak sesuai dengan Kebenaran Allah dan firman-Nya. Bagaimana dengan kita? Apakah kita yang mengaku diri “Kristen” bahkan “melayani Tuhan” masih tetap mengikuti arus dunia dengan beribu dalih yang diselimuti oleh argumentasi “rohani”? Mari kita menguji dan mengintrospeksi hati dan motivasi kita di hadapan Allah. Kedua, berubahlah oleh pembaharuan budimu. Selain tidak menuruti arus dunia, kita dituntut untuk lebih dalam lagi, yaitu mengubah akal budi kita. Mengubah akal budi kita dengan cara bagaimana? Jelas, dengan cara belajar Firman Tuhan dan peka terhadap kondisi zaman. Dengan belajar Firman Tuhan, kita diperlengkapi dengan senjata-senjata Kebenaran, lalu dengan peka terhadap kondisi zaman, kita diperlengkapi dengan cara bagaimana senjata-senjata itu dipergunakan. Senjata tidak perlu dikaitkan dengan kekerasan. Saya menafsirkan bagaimana senjata itu dipergunakan berkaitan dengan bagaimana kita menjadi garam dan terang bagi dunia. Garam berarti kita memberi rasa atau mempengaruhi dunia sekeliling kita melalui kebenaran Firman Tuhan yang kita bagikan baik melalui penginjilan maupun mandat budaya maupun juga di dalam kehidupan sehari-hari. Menjadi terang berarti kita menerangi dunia kita yang gelap ini dengan terang kasih dan kebenaran Kristus. Pada saat kita sudah mengubah akal budi kita, saat itulah kita mampu membedakan sendiri manakah kehendak Allah yang baik, berkenan kepada Allah dan sempurna dengan kehendak diri dan setan yang jahat (pura-pura baik) dan tidak sempurna. Kita bisa menentukan positioning kita sendiri setelah kita mengubah akal budi kita dan menaklukkannya di bawah Firman Allah. Dengan kata lain, mengutip Pdt. Sutjipto Subeno, akal budi yang berubah menentukan tingkah laku, perkataan dan perbuatan kita berubah untuk memuliakan Tuhan. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mau berkomitmen mengubah akal budi kita agar takluk mutlak di bawah Firman Allah? Ataukah kita (terutama mereka yang sudah sekolah theologi yang liberal atau separuh liberal) dengan beribu argumentasi “theologis” berdalih bahwa Alkitab itu adalah Firman Allah hanya menyangkut masalah keselamatan dan iman, dan bukan masalah lain (misalnya: etika, dll)? Ingatlah, presuposisi Anda menentukan sikap yang Anda ambil, dan sikap itu akan dihakimi Tuhan pada akhir zaman. Selagi masih ada kesempatan, BERTOBATLAH! Buanglah presuposisi dunia berdosa dan kembalilah kepada Alkitab!

Ketiga, sisa itu adalah anugerah Allah. Dua konsep tentang sisa di atas bisa mengakibatkan beberapa orang Kristen menjadi sombong dengan alasan: berbeda dari dunia (membuktikan diri hebat), dll. Oleh karena itu, untuk mengantisipasinya, Paulus sendiri sudah mengajarkan di ayat 5 bahwa kaum sisa itu ada melalui pilihan kasih karunia. Atau dengan kata lain, kaum sisa itu adalah anugerah Allah. Jika Allah tidak beranugerah, tidak mungkin ada kaum sisa. Oleh karena itu, selain kita belajar bahwa kaum sisa itu minoritas dan membuat perbedaan dari dunia, kita harus belajar juga bahwa kaum sisa bisa ada atas perkenanan atau anugerah Allah. Tanpa anugerah Allah, kita akan dibiarkan binasa dan mengikuti arus zaman. Biarlah konsep ini menyadarkan kita untuk terus-menerus bersyukur atas anugerah-Nya yang begitu besar khusus bagi kita yang sudah dipilih-Nya menjadi umat pilihan-Nya yang minoritas. Selain itu, kita juga dituntut untuk terus bergantung mutlak kepada Allah, karena hanya anugerah-Nya yang memampukan kita tetap ada dan hidup memuliakan Tuhan di tengah arus pemikiran dunia berdosa ini.


Kita telah belajar banyak hal tentang kovenan, predestinasi dan kedaulatan Allah, serta prinsip kaum yang tersisa (remnant). Biarlah kita tidak menjadikan konsep-konsep ini berhenti di rasio saja, tetapi mendarat di dalam setiap aspek kehidupan kita sehari-hari. Maukah kita mulai saat ini kita berkomitmen untuk tidak usah gentar lagi jika kita disebut kaum tersisa, tetapi terus memandang kepada Allah dengan bergantung kepada-Nya dan taat mutlak kepada firman-Nya? Amin. Soli Deo Gloria.