17 February 2008

TANAM DAN TUAI: Studi Tentang First Decree (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

TANAM DAN TUAI
Studi Tentang First Decree


oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.



“haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.”
(Ulangan 6:7)



Seorang guru sekolah begitu gemas mendengar seorang anak muridnya menyanyi sebuah lagu dengan notasi yang salah. Lalu, karena ia juga seorang guru seni suara, dia berusaha mengkoreksi murid tersebut. Dia memberitahu anak itu bahwa cara dia menyanyikan lagu itu salah, tidak seperti not yang seharusnya ketika lagu itu digubah. Pada mulanya anak itu membantah dan berkeras hati bahwa apa yang dia nyanyikan itu benar, karena sesuai dengan apa yang diajarkan oleh orang tuanya. Guru ini berusaha meyakinkan dan menunjukkan buku nyanyian yang ada notnya, dan memberi contoh menyanyikan lagu itu secara benar. Akhirnya, anak itu menyadari bahwa apa yang ia nyanyikan selama ini memang salah, dan ia mau belajar menyanyi lagu itu dengan benar. Anak itu mengikuti setiap not dari buku dan mencoba menyanyi dengan benar. Setelah berulang kali mencoba dan berjuang keras, akhirnya anak ini mulai bisa mengoreksi kesalahannya. Tetapi anehnya, setelah ia berdiam beberapa lama, kemudian mencoba lagi menyanyikan lagu itu, maka ia kembali menyanyi seperti yang pertama, yang salah, dan sulit lagi untuk mengoreksi ke yang benar. Perlu perjuangan lagi untuk mengingat lagi bagaimana menyanyi yang benar. Inilah masalah “dekrit pertama” atau yang lebih diknela sebagai “first-decree” (FD).

“Dekrit Pertama Pendidikan” merupakan hal yang sedemikian penting di dalam kita mendidik dan mengajar anak. Namun, tema ini sangat sedikit dibicarakan dan dimengerti, khususnya oleh orangtua dan para insan pendidikan. Bahkan ketika disebutkan, sedikit orangtua atau para pendidik yang mengerti apa yang dimaksud dengan “first decree” atau “dekrit pertama” pendidikan ini. Seolah-olah hal ini bisa diabaikan begitu saja, dan tidak dipedulikan, karena adanya asumsi pendidikan bisa diproses sekehendak hati pendidik.


Apa itu First Decree (FD)?
First Decree adalah pengajaran pertama yang diterima oleh seorang (anak), yang tertanam, sehingga merupakan suatu konsep atau kebenaran asasi bagi dirinya. Semakin kecil anak itu, semakin banyak FD yang dimasukkan kepadanya. Saat itu begitu banyak kebenaran-kebenaran yang baru bagi dirinya, yang akhirnya membentuk paradigma kehidupannya. Contoh mengajar menyanyi seperti di awal tulisan ini adalah contoh yang paling sering dialami seorang anak. Tetapi bukan hanya itu. Jika seorang anak diberitahu bahwa warna hijau itu adalah biru dan warna biru adalah hijau, maka akan sulit untuk mengoreksi kesalahan konsep warna itu pada usia dewasa nanti. Setiap kali diberitahu bahwa itu bukan hijau, tetapi biru, ia akan mengiyakan, tetapi tidak lama ia akan kembali lagi menyebut warna itu sebagai hijau. Butuh perjuangan keras untuk betul-betul bisa berubah dan kembali kepada apa yang benar.


Pentingnya First Decree
Pertama-tama, FD sangat berpengaruh pada seluruh kehidupan seseorang, karena akan membentuk paradigma hidupnya. Banyak orang menganggap enteng FD, karena dianggap hal yang lumrah. Orang salah menyanyi, bagi kebanyakan orang, dianggap bukan hal serius. Apalagi di era postmodern seperti sekarang, maka relativitas dan semangat non-akurat menjadi ciri khas masyarakat pragmatis. Manusia tidak mau berjuang untuk mencari kebenaran secara akurat, dan puas dengan apa yang ia anggap benar, walaupun itu tidak benar. Akibatnya, ia sangat mudah tertipu, karena tidak terbiasa lagi untuk mencari hal-hal yang benar dan akurat.

Kedua, yang juga sangat bermasalah, kesalahan-kesalahan FD seringkali menyangkut aspek yang cukup sentral dalam kehidupan, seperti problematika iman (believe) dan pendekatan (approach). Dua aspek ini merupakan hal yang sangat serius. Ketika anak-anak di sekolah diajarkan bahwa semua agama sama, tidak perlu dibeda-bedakan, maka ia akan bertumbuh menjadi seorang relativis dan humanis. Ia tidak lagi melihat bahwa setiap agama itu unik, dan setiap agama pasti mengandung unsur klaim kemutlakkan sebagai kebenaran. Maka tidak mungkin semua agama sama. Di sini manusia sudah ditipu paradigmanya sejak kecil. Akibatnya, ketika ada orang yang mengatakan, “kita harus betul-betul secara serius memilah dan memilih agama atau iman yang benar,” ia akan segera menentang dan menunjukkan sikap tidak suka. Sangat sulit untuk merubah konsep dasar seperti ini. Banyak sekali FD yang ditanamkan secara salah kepada seseorang, yang akhirnya membuat orang tersebut mudah sekali jatuh ke dalam dosa, atau mudah sekali tertipu oleh orang jahat, ataupun sangat sulit mengerti kebenaran Firman Tuhan.

Ketiga, seperti telah disinggung di butir pertama dan kedua, kita segera bisa melihat bahwa FD begitu penting, karena bukan menyangkut satu permasalahan tunggal, tetapi akan mempengaruhi orang lain, karena apa yang kita tanamkan akan menjadi keyakinan di dalam diri orang itu, dan dia akan memakainya untuk meyakinkan orang lain lagi. Seorang yang mendapatkan pendidikan yang salah di masa kecil, maka ia akan menganggap hal itu sebagai kebenaran, dan ia akan meyakinkan orang lain akan hal itu. Seorang yang dari kecil dididik bahwa tidak ada Allah, maka ia akan berusaha meyakinkan orang lain, bahwa memang tidak ada Allah. Hal ini terpaksa ia lakukan, karena ia tidak ingin apa yang ia yakini akhirnya terbukti salah. Maka ia akan berusaha sekuat tenaga agar membuat semua orang setuju dengan pemahamannya, yang sebenarnya salah.


Penanaman First Decree Pada Anak
Setelah kita menyadari akan betapa pentingnya penanaman FD pada anak khususnya, maka kita perlu memikirkan beberapa hal di dalamnya.
1. Masa kanak-kanak adalah masa yang sangat produktif untuk menangkap semua pengetahuan dan pengertian. Konsep-konsep penting dalam kehidupan manusia dimulai dari masa kanak-kanak. Di situlah seorang anak membangun seluruh paradigma hidupnya kelak. Maka, para ahli setuju bahwa usia “balita” (di bawah lima tahun), merupakan waktu yang sangat krusial untuk menanamkan nilai-nilai pada anak. Tetapi bukan sekadar nilai-nilai, iman Kristen melihat pentingnya menanamkan iman itu sendiri. Iman yang sejati adalah basis kemutlakan yang sangat dibutuhkan oleh anak untuk menjadi kompas hidupnya. Jika dasar imannya diletakkan pada dirinya sendiri, seumur hidup ia akan menghancurkan dirinya.

2. Penanaman FD yang benar pada anak akan membangun keutuhan integritas hidupnya. Hal ini sangat penting di dalam menggarap pertumbuhan anak yang sesuai dengan kebenaran Tuhan. Kita percaya, jika seseorang dibangun dengan pemikiran yang pragmatis dan duniawi, maka di dalam dirinya ada suatu “faktor perusak” (defeating factor) yang akan meledakkan dirinya di suatu saat kelak dalam hidupnya. Hidup yang terbangun di dalam kebenaran Firman akan membuat seluruh hidup akan terintegrasi secara baik. Hidup sedemikian akan membangun moralitas dan kehidupan yang mulia di masa depan. Alkitab mencatat bagaimana Musa dari kecil dididik oleh ibunya dengan Firman, maka ia tidak tergeser imannya ketika menjadi anak angkat puteri Firaun (Tong, 1991, hlm. 21).
Di dalam kehidupan bergereja, seorang anak yang terbangun dengan FD yang baik akan sangat mudah dipertumbuhkan, karena tidak mengalami konflik yang terlalu banyak di dalam dirinya. Seorang anak yang dibangun dengan FD yang salah, akan mengalami konflik untuk dibawa kembali kebenaran, dan membutuhkan perjuangan berat untuk melakukan koreksi. Inilah yang banyak dialami oleh setiap kita sebagai orang percaya, yang mendapatkan pengajaran atau penanaman FD yang salah di masa lalu.

3. Seorang anak yang kita tanam dengan FD yang baik, akan sangat menghemat waktunya untuk bertumbuh. Ada banyak waktu yang terbuang di dalam pertumbuhan seseorang ketika ia harus banyak sekali mengoreksi konsep-konsepnya yang salah. Itupun terkadang masih harus berhadapan dengan banyak kendala, akibat kesulitan orang-orang yang mau mengoreksi atau menolong dia.


Peranan Orangtua dan Guru
Dua pemeran penting di dalam penanaman FD adalah orangtua dan guru. Tuhan menyerahkan tugas tanggung jawab yang sangat berat kepada orangtua untuk menanamkan konsep-konsep kebenaran Firman Tuhan kepada anak-anak sejak usia dini. Firman Tuhan di awal makalah ini mengajarkan bagiamana orangtua harus secara intens mengajarkan kebenaran firman kepada anak-anak. Mereka harus mengerti kebenaran dari sejak dini. Jika mereka diajarkan hal yang salah, akan sangat sulit dan dibutuhkan perjuangan yang sangat berat untuk mengoreksi kebenaran.

Sangat disayangkan saat ini, kedua peran penting ini begitu banyak diabaikan. Banyak orangtua dengan tanpa rasa bersalah menyerahkan tugas penanaman FD kepada pembantu atau suster yang memelihara nakanya. Ia tidak melihat bahwa penanaman FD akan berdampak seumur hidup, sementara sang pembantu suatu saat akan meninggalkan anak itu dan tidak pernah bertanggungjawab atas apa yang ia tanam. Seorang filsuf dan pendidik yang luar biasa (Prof. Nicholas Wolterstroff, Ph.D., ed.) bersaksi,
"...begitu indahnya penanaman pengalaman kehidupan Kristen di dalam keluarga yang begitu saleh, menjadi dasar kehidupan seseorang sepanjang hidupnya kemudian."
(Wolterstroff, 2002, hlm. 10-11)

Demikian pula begitu banyak guru yang berpikir bahwa dia hanya seorang yang mencari sesuap nasi (dan semangkuk berlian—ed.), membagi pengetahuan yang ia tahu tanpa pertanggungjawaban bagaimana ia sedang menggarap satu pribadi manusia, yang nantinya akan membawa konsep itu seumur hidupnya. Seolah-olah tugas guru hanyalah satu dari sekian banyak profesi yang lain.

Orangtua dan guru harus sungguh-sungguh menyadari bahwa tugas menanam FD yang baik dan benar merupakan tanggung jawab besar yang Tuhan percayakan kepada Anda. Tugas ini begitu mulia karena membentuk paradigma, karakter, dan khususnya iman dari anak-anak yang Tuhan percayakan kepada kita. Seorang guru sekolah minggu yang sungguh-sungguh mengasihi dan mendidik anak-anak dengan baik, sampai ia dicintai oleh anak-anak, pastilah ia tidak akan menjadi hamba Tuhan yang gagal (Tong, 1991, hlm 19). Seorang guru yang baik, pastilah akan dikenang dan dihormati oleh murid-muridnya kelak. Pdt. Dr. Stephen Tong menegaskan bahwa guru yang baik adalah yang dia sendiri telah menjadi murid kebenaran (Tong, 1993, hlm 69).


Penutup
Jika selama ini kita tidak peduli dengan First Decree, mungkin karena kurangnya pengetahuan dan pengertian akan pentingnya tugas ini, kiranya kini kita boleh lebih secara serius memikirkan dan mengaplikasikan di dalam pendidikan kita. Jika selama ini kita tidak terlalu peduli akan pentingnya keakuratan akan kebenaran dan membiarkan semua pragmatis, kini kita perlu mulai memikirkan bahwa kebenaran harus dibedakan dari ketidakbenaran. Kita harus menanamkan FD yang paling benar, yang akurat, yang sesuai dengan Firman Tuhan. Seperti Pdt. Dr. Stephen Tong tegaskan, “kebenaran itu bukanlah pengetahuan, tetapi kekuatan” (Tong, 1993, hlm. 41).

Jika selama ini kita tidak melihat pentingnya peran orangtua dan guru dalam menanamkan FD, kini kita perlu bertobat dan berbalik untuk menebus kesalahan kita dengan sungguh-sungguh menggarap panggilan mulia ini di dalam panggilan pendidikan Kristen yang benar. Soli Deo Gloria.



Bibliografi:
Tong, Stephen Tong. 1991. Arsitek jiwa 1. Jakarta: LRII.
Tong, Stephen Tong. 1993. Arsitek jiwa II. Jakarta: LRII
Wolterstroff, Nicholas. 2002. Educating for life. Grand Rapids, Michigan: Baker Book House (edisi bahasa Indonesia: Wolterstorff, Nicholas. 2007. Mendidik untuk kehidupan. Surabaya: Penerbit Momentum).


Sumber: Buletin LOGOS Edisi 5, 2008.

Diketik ulang dan sedikit diedit oleh: Denny Teguh Sutandio.




Pdt. Sutjipto Subeno, S.Th., M.Div. adalah gembala sidang Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Andhika, Surabaya. Beliau juga adalah Direktur: Sekolah Theologia Reformed Injili Surabaya (STRIS) Andhika, International Reformed Evangelical Correspondence Studies (IRECS), dan Toko Buku Momentum (Momentum Christian Literature). Beliau juga sebagai co-founder Pendidikan Reformed Injili LOGOS (LOGOS Reformed Evangelical Education). Selain itu, beliau melayani sebagai bidang admission dan dosen di Institut Reformed, Jakarta dan dosen di Sekolah Theologia Reformed Injili Jakarta (STRIJ). Beliau pernah menjadi dosen tamu di Sekolah Tinggi Theologia Injili Abdi Allah (STT-IAA), Pacet. Selain itu, beliau juga pernah melayani di Belanda, Jerman, dll, menjadi pengkhotbah KKR Pemuda 2007: “New Life, New Creation” di Surabaya, KKR di Banjarmasin, KKR di Jember, dll. Beliau meraih gelar Sarjana Theologia (S.Th.) dan Master of Divinity (M.Div.) dari Sekolah Tinggi Theologia Reformed Injili Indonesia (STTRII) Jakarta. Beliau menikah dengan Ev. Susiana Jacob Subeno, B.Th. dan dikaruniai dua orang anak, yaitu: Samantha Subeno (1994) dan Sebastian Subeno (1998).