30 January 2008

TUHAN, AJARLAH KAMI MEMBERITAKAN FIRMAN-MU (Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S.)

Tuhan, Ajarlah Kami Memberitakan Firman-Mu
(Sebuah Refleksi Pribadi Atas Panggilan Berkhotbah)


oleh : Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S.



Judul di atas tidak pernah saya dengar secara langsung sebagai suatu doa yang dikatakan oleh pak Tong (Pdt. Dr. Stephen Tong, ed.). Namun yang pernah saya dengar adalah kesadaran akan ketidaksanggupan beliau ketika harus mengajar mata kuliah homiletika (ilmu berkhotbah, ed.), karena beliau sendiri berpendapat belum begitu bisa berkhotbah. Suatu kerendahan hati yang pura-pura supaya mendapat kemuliaan yang lebih tinggi? Saya kira tidak. Karena pengertian paradoks seperti ini tidak mungkin tidak beliau mengerti dari pengajaran Firman Tuhan sebagaimana diteruskan oleh para reformator.[1] Dan saya pikir pemahaman seperti ini bukan hanya cocok diterapkan untuk homiletika tapi juga untuk semua bidang yang lain.

Tulisan singkat ini tidak bermaksud untuk merepresentasikan homiletika yang diajarkan oleh pak Tong (lebih baik kita mendengar langsung dari beliau), namun sebagai suatu refleksi pribadi yang subyektif sifatnya, sejauh yang dapat saya cerna dan olah kembali. Saya akan mulai dari tiga, bahkan empat poin dasar yang seringkali dikatakan oleh pak Tong mengenai tugas khotbah.

Yang pertama, khotbah harus menyatakan otoritas dari Tuhan. Kita teringat perkataan Luther yang menyatakan bahwa seorang pengkhotbah setelah menyelesaikan khotbahnya tidak perlu meminta pengampunan mengenai kekurangan dan keterbatasannya, “for it is God’s Word and not (the preacher’s) and God ought not and cannot forgive it, but only confirm, praise, and crown it.”
[2] Kedengarannya seperti bertentangan dengan pemahaman paradoks di alinea pertama tadi, mengapa tiba-tiba menjadi congkak di sini? Bukan bertentangan, melainkan ini adalah pengertian paradoks yang lain lagi: seorang pengkhotbah yang baik perlu menyadari ketidakberdayaannya, untuk dapat mengerti bahwa kemahakuasaan Tuhanlah yang sedang bekerja pada saat ia berdiri di atas mimbar. Ia tidak perlu merasa sungkan dan minder akan kekurangannya, karena justru melalui jalan itulah kuasa Tuhan dinyatakan secara sempurna.[3] Alangkah sulitnya untuk mengerti kebenaran yang sangat sederhana ini. Kita menjumpai mimbar-mimbar yang begitu confidence memberitakan ajaran-ajaran sesat yang tidak berasal dari Firman Tuhan di satu sisi, dan di sisi yang lain pengkhotbah-pengkhotbah yang ‘minder’ dan ‘sungkan’ untuk menegur dosa mereka. Para pencari muka manusia seperti ini tidak mungkin sanggup untuk menyatakan kemuliaan wajah Tuhan yang berbicara melalui mimbar. Tidak ada otoritas, tidak ada penyertaan dari tempat yang tinggi.

Yang kedua, seorang pengkhotbah menyampaikan berita (message) yang relevan bagi pendengarnya. Ada perbedaan antara message dan information. Informasi hanya berupa data, tidak harus ada kaitan yang personal, juga tidak memiliki aspek momen waktu yang krusial. Sebaliknya, message sekalipun tidak harus selalu merupakan new insights, mungkin bahkan perkataan yang kita ‘sudah’ pernah mendengarnya, namun dibutuhkan pada saat itu, karena itu adalah sapaan pribadi dari Tuhan kepada masing-masing pendengar. Tidak ada salahnya dengan new insights yang menambah wawasan pengetahuan kita lebih luas dan kaya, namun ketika seorang menyampaikan Firman Tuhan, ia melakukan lebih daripada hal itu. Seorang pengkhotbah yang diurapi memiliki kepekaan rohani untuk membicarakan kalimat-kalimat yang menyelidiki hati manusia yang terdalam, sementara ia sendiri tidak tentu tahu pergumulan pendengarnya. Relevansi message yang disampaikannya didasarkan pada iman yang sederhana atas kemahatahuan Allah yang mengenal setiap kebutuhan domba-domba-Nya. Karunia nubuat seperti ini tentu adalah semata-mata pemberian Allah dan yang menjadi tanggung jawab si pemberita Firman adalah dia sendiri hidup bersama dengan domba-domba yang ia layani. Ia menderita dan terluka bersama dengan domba-dombanya. Ia sendiri menanggapi dan menggumuli hidupnya di hadapan Tuhan. Ia bukan mesin fotokopi dan ketika ia mengutip perkataan para orang saleh, ia dengan jujur dan tulus belajar untuk mencicipi kedalaman pergumulan jiwa mereka.

Yang ketiga, kuasa yang mengubah (transforming power). Seorang pengkhotbah yang diurapi Tuhan tidak sekadar tampil sebagai pembicara yang menarik. Menarik adalah satu hal, menyampaikan berita yang mengubah hati dan hidup manusia adalah hal yang lain lagi. Seorang pengkhotbah yang baik tidak mempedulikan apakah khotbahnya diterima dan diakui dengan baik atau tidak, melainkan ia mendorong semua pendengarnya untuk bertumbuh menjadi dewasa. Transforming power ini berkaitan erat dengan convincing power, sementara convincing power berkaitan dengan ketulusan dan kesungguhan kerinduan si pemberita untuk menaati apa yang ia sampaikan. Setiap pengkhotbah adalah orang berdosa yang selalu membutuhkan anugerah pengampunan Tuhan. Ia bukanlah orang yang sempurna dalam pengertian kesempurnaan yang mutlak kelak di sorga. Ia bahkan kadang juga gagal dalam kesaksian untuk menjadi teladan atas apa yang ia khotbahkan. Namun kesempurnaannya terutama terletak pada sikap hatinya yang menjadikan dirinya sendiri sebagai pendengar yang pertama terhadap khotbah yang disampaikannya. Bersama dengan orang-orang Puritan yang saleh, ia meneriakkan khotbah yang paling keras dan tajam kepada dirinya sendiri.

Yang keempat, dinamika. Ini mirip dengan apa yang sudah dibahas di atas tadi, yaitu kepekaan menangkap apa yang Tuhan mau katakan pada saat itu. Seorang pengkhotbah yang baik, mempersiapkan dengan baik khotbah yang akan disampaikannya. Ia bukanlah seorang yang ‘bergantung kepada kuasa Roh Kudus’ tanpa melakukan persiapan apa-apa. Lloyd-Jones (D. Martyn Lloyd-Jones, ed.) mengatakan agar setiap pengkhotbah mempersiapkan dengan baik khotbah yang akan disampaikan, “The great preachers have been men who prepared great sermons.
[4] (=Pengkhotbah agung telah menjadi orang yang mempersiapkan khotbah yang agung., ed.) Namun ketika ia berdiri di atas mimbar, ia harus mempersilakan Roh Kudus untuk memegang kontrol sepenuhnya atas setiap perkataan yang keluar dari mulutnya, “...though you may go into the pulpit with what you regard as an almost perfect sermon, you never know what is going to happen to it when you start preaching...[5] (=...meskipun Anda berdiri di atas mimbar dengan apa yang Anda anggap sebagai sebuah khotbah yang sempurna, Anda tidak pernah mengetahui apa yang akan terjadi ketika Anda mulai berkhotbah..., ed.) Dia sendiri menyaksikan bagaimana seringkali kalimat-kalimat yang terbaik yang diucapkan dalam khotbahnya justru merupakan kalimat yang tidak ada dalam persiapannya. Pengkhotbah yang terlalu bergantung pada persiapannya dan tidak terbuka pada pimpinan Roh Kudus secara mendadak di atas mimbar akan sulit untuk menyatakan dinamika ini. Sebaliknya, mereka yang hanya menantikan karya Roh Kudus namun tidak melakukan persiapan apa-apa adalah orang-orang yang tidak taat menjalankan bagian dan tanggung jawab yang dipercayakan Tuhan kepadanya.

Beberapa poin tambahan lagi yang dapat kita pelajari dari pak Tong mengenai tugas khotbah yaitu suatu prinsip sederhana seperti kita warisi dari para reformator. Seorang pengkhotbah hanya memberitakan Kitab Suci. Calvin mengatakan, “The Spirit will not be a maker of new revelations.
[6] Sekalipun demikian, tugas seorang pengkhotbah adalah “to expound the scripture in the midst of the worshipping Church, preaching in the expectancy that God will do, through his frail human word, what He did through the Word of His prophets of old, that God by His grace will cause the word that goes out of the mouth of man to become a Word that proceeds from God Himself, with all the power and efficacy of the Word of the Creator and Redeemer.[7] Keaslian (authenticity) seorang pengkhotbah bukanlah dalam pengertian ia memberitakan wahyu-wahyu baru yang tidak ada dan bahkan bertentangan dengan Alkitab, melainkan bahwa ia tetap setia memberitakan wahyu yang tua itu, namun yang senantiasa menjadi baru dan segar karena “as if men ‘heard the very words pronounced by God himself.[8] Seorang pengkhotbah yang baik bergumul agar jemaatnya tidak melihat wajah manusia yang berdosa, melainkan kemuliaan wajah Tuhan yang sedang berkata-kata pribadi kepada domba-domba-Nya.

Dalam kaitan ini, pak Tong juga mengatakan bahwa kita perlu belajar beriman dan percaya bahwa Roh yang telah menggerakkan para nabi dan para rasul memberitakan Firman Tuhan adalah Roh yang sama yang juga dapat menggerakkan kita. Di sini, kita teringat perkataan seorang Elisa sebelum Elia terangkat ke sorga, “Biarlah kiranya aku mendapat dua bagian dari rohmu.” (2Raj. 2:9) Sayang sekali, di kalangan gereja-gereja Protestan tidak banyak pemberita-pemberita Firman yang memiliki urapan dan kuasa yang besar. Pengkhotbah-pengkhotbah yang hanya berusaha untuk menyenangkan pendengar dan jemaatnya dan tidak mencari kepenuhan kuasa dan kehadiran Tuhan dalam pelayanannya tidak mungkin dapat hidup memperkenan serta menyenangkan hati Tuhan.

Berbeda dengan pengkhotbah legendaris seperti Dr. Andrew Gih, pak Tong tidak berusaha untuk membujuk (persuade) pendengarnya untuk menerima kebenaran Injil Yesus Kristus. Seringkali pada saat calling beliau mengatakan, “Sekarang saya memberikan kesempatan terakhir bagi mereka yang mau menerima Tuhan ... setelah itu kesempatan akan ditutup.” Injil dan Firman Tuhan bukanlah sesuatu yang perlu diobral, karena bukan Tuhan yang membutuhkan manusia, tapi manusialah yang membutuhkan Tuhan dan Firman-Nya. Seorang theolog menggambarkan khotbah Jonathan Edwards demikian, “Rather than attempt to persuade the unconverted, Edwards tried by means of his preaching, in addition to offering the Word, (1) to provide the optimal conditions and circumstances within which conversion might take place, (2) to offer the logical connections between guilt and repentance so that those who have been or are being converted might better understand what is happening to them, and (3) to prevent the misinterpretation of pseudo-religious experience, especially by those who believe they have experienced grace but have not.
[9] Seorang pengkhotbah yang baik tidak menyayangkan perasaan pendengarnya agar jangan sampai dibuat terluka. Alkitab mengatakan, “Sebab dukacita menurut kehendak Allah menghasilkan pertobatan yang membawa keselamatan dan yang tidak akan disesalkan, tetapi dukacita yang dari dunia ini menghasilkan kematian.” (2Kor. 7:10)

Mungkin poin yang terakhir, seorang pengkhotbah yang baik setiap kali berdiri di atas mimbar, melihatnya sebagai kesempatan yang pertama kali, sekaligus yang terakhir kalinya. Sebagai yang pertama kali sehingga ia boleh senantiasa menjaga perasaan ketidaklayakan dan ketidakmampuan, supaya ia terus-menerus belajar bergantung kepada kuasa Tuhan. Sebagai yang terakhir kali sehingga ia berusaha untuk memberikan yang terbaik yang dapat ia berikan. Lloyd-Jones dalam bukunya Preaching and Preachers mengutip perkataan terkenal Richard Baxter, “I preach as never sure to preach again and as a dying man to dying men.”[10] Kaitan erat antara eschatological consciousness dengan hidup yang menggunakan waktu dengan baik sudah dicatat dalam Alkitab (Ef. 5:16). Ketika seseorang belajar untuk selalu melihat setiap kesempatan sebagai kesempatan yang terakhir, ia akan mempunyai cara pandang yang berbeda dalam melakukan segala sesuatu dalam hidup ini.

Dalam tulisan yang singkat ini, saya berharap dapat menggambarkan dengan gamblang bahwa homiletika Pdt. Stephen Tong mewarisi semangat dan pengertian yang dapat kita telusuri dalam sejarah Gereja, mulai dari Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, para reformator dan pengkhotbah-pengkhotbah yang diurapi Tuhan. Kiranya kita dengan rendah hati boleh belajar dari kehidupan Kristus sebagaimana dinyatakan dalam hidup hamba-hamba-Nya yang dikasihi-Nya. Sola Gratia. Sola Fide. Solus Christus. Soli Deo Gloria!


Sumber :
Handout khotbah Pdt. Billy Kristanto di sesi Worker di National Reformed Evangelical Convention (NREC) 2007.


Disalin ulang dan diedit oleh :
Denny Teguh Sutandio, S.S.
(proofreader di Momentum Christian Literature, Surabaya)



Profil Pdt. Billy Kristanto :
Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S. lahir pada tahun 1970 di Surabaya. Sejak di sekolah minggu mengambil bagian dalam pelayanan musik gerejawi. Setelah lulus SMA melanjutkan studi musik di Hochschule der Künste di Berlin majoring in harpsichord (Cembalo) di bawah Prof. Mitzi Meyerson (1990-96).
Setelah lulus dari situ melanjutkan post-graduate study di Koninklijk Conservatorium (Royal Conservatory) di Den Haag, a conservatory with the largest early music department in the world (mempelajari historical performance practice). Belajar di bawah Ton Koopman, seorang dirigen, organis, cembalis dan musicolog yang sangat ahli dalam interpretasi karya J. S. Bach. Selain itu juga mempelajari fortepiano di bawah Prof. Stanley Hoogland.
Setelah lulus dari situ pada tahun 1998 pulang ke Indonesia, lalu melayani sebagai Penginjil Musik di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) di Jakarta pada Februari 1999. Pada tahun yang sama memulai study Teologi di Institut Reformed di Jakarta. Lulus pada tahun 2002 dengan Master of Christian Studies. Sejak tahun 2002 sampai sekarang menjabat sebagai Dekan School of Music di Institut Reformed Jakarta serta menggembalakan jemaat Mimbar Reformed Injili Indonesia (MRII) Jerman : Berlin, Hamburg dan Munich. Beliau ditahbiskan menjadi pendeta sinode Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) pada Paskah 2005 dan saat ini sedang menyelesaikan studi doktoral di bidang filsafat di Universitas Heidelberg, Jerman. Beliau menikah dengan Suzianti Herawati dan dikaruniai seorang putri, Pristine Gottlob Kristanto.


[1] Bandingkan perkataan Paulus bahwa di antara orang berdosa, dialah yang paling berdosa (1Tim. 1:15).
[2] Luthers Works Vol. 41, American ed., ed. by Jaroslav Pelikan and Helmut T. Lehmann (St. Louis: Concordia Publishing House; Philadelphia: Fortress, 1958-86), 216.
[3] Bersama dengan Paulus, ia mengatakan, “Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.” (2Kor. 12:10)
[4] D. Martyn Lloyd-Jones, Preaching and Preachers (Grand Rapids, Mich.: 1972), 79.
[5] Ibid., 80.
[6] Commentary on John 14:26, Calvini Opera Vol. 47, 334-335. Quoted in Haroutunian, Calvin: Commentaries, 397.
[7] Ibid.
[8] T. H. L. Parker, The Oracles of God: An Introduction to the Preaching of John Calvin (London and Redhill: Lutterworth, 1947), 50. Ia mengacu pada Calvini Opera Vol. 25, 646.
[9] Stephen R. Yarborough and John C. Adams, Delightful Convinction: Jonathan Edwards and the Rhetoric of Conversion, Great American Orators, no. 20 (Westport, Conn., and London: Greenwood, 1993), 10.
[10] Lloyd-Jones, Preaching and Preachers, 86.

Resensi Buku-40 : KRISTUS YANG TIADA TARA (Rev. DR. JOHN R. W. STOTT, CBE)

...Dapatkan segera...
Buku
INCOMPARABLE CHRIST (KRISTUS YANG TIADA TARA)

oleh : Rev. DR. JOHN R. W. STOTT

Penerbit : Momentum Christian Literature, 2007

Penerjemah : Ina Elia





Dunia postmodern adalah dunia yang dipenuhi dengan ide pluralisme dan universalisme yang menganggap segala sesuatu adalah sama. Selain itu, ide filsafat pragmatisme melahirkan banyak manusia mengeluarkan sesuatu/ide dengan tidak bertanggungjawab. Tidak heran, di zaman postmodern ini, buku The Da Vinci Code, “Injil” Yudas, “Injil” Thomas, dll bermunculan untuk menipu dunia tentang “kebusukan” Kristus. Mereka “boleh” saja menuduh dan memfitnah Kristus dengan keji, tetapi sebagai umat pilihan-Nya, sudah seharusnya kita lebih mengenal Kristus yang sebenarnya, yaitu Kristus yang tak dapat dibandingkan (atau Kristus yang tiada taranya) itu. Bagaimana caranya ? Caranya adalah melalui Alkitab dan belajar melalui sejarah bagaimana pandangan orang tentang Kristus (baik benar maupun salah) dan bagaimana Kristus mempengaruhi dunia. Hal inilah yang diuraikan oleh seorang pendeta, penginjil, theolog, pengkhotbah, apologet dan penafsir Alkitab terkenal di seluruh dunia, Rev. DR. JOHN R. W. STOTT. Dr. Stott menjelaskan finalitas Kristus dalam dua hal, yaitu : Kristus menurut Alkitab dan Kristus menurut dunia. Kristus menurut Alkitab adalah penguraian Dr. Stott tentang Pribadi Kristus di dalam Perjanjian Baru dari Injil Matius s/d Wahyu (dibahas pada Bab 1 dan 4), sedangkan Kristus menurut dunia adalah penguraian Dr. Stott tentang pribadi Kristus disoroti dari orang-orang dunia/Kristen sejak zaman bapa gereja, konsili gereja sampai formulasi iman di dalam Kongres Penginjilan, seperti Lausanne (dibahas pada Bab 2 : Yesus menurut Gereja/Yesus yang Lain) dan pribadi dan ajaran Kristus yang mempengaruhi orang-orang dunia, seperti Mahatma Gandhi, Ronald Allen, Joni Eareckson Tada, dll (dibahas pada Bab 4 : Yesus yang Berpengaruh/Kisah tentang Yesus). Banyak hal menarik dan memberikan pengertian dari buku Dr. Stott ini yang mungkin jarang dibahas oleh pengkhotbah siapapun. Biarlah buku ini menjadi bahan inspirasi dan peneguhan iman kita di tengah zaman postmodern yang menyuarakan pluralisme.







Profil Rev. DR. JOHN R. W. STOTT :
Rev. Dr. John Robert Walmsley Stott,
CBE adalah seorang pemimpin Kristen dari Inggris dan pendeta gereja Anglikan yang tercatat sebagai seorang pemimpin dari gerakan Injili di seluruh dunia. Beliau terkenal sebagai salah seorang penulis terpenting dari the Lausanne Covenant pada tahun 1974. Beliau lahir di London pada tahun 1921 dari Sir Arnold dan Lady Stott. Stott belajar modern languages di Trinity College, Cambridge di mana beliau lulus dengan dua gelar dalam bidang bahasa Prancis dan Theologia. Di universitas, beliau aktif di the Cambridge inter-collegiate Christian Union (CICCU).
Setelah ini, beliau berpindah ke
Ridley Hall Theological College (juga the University of Cambridge) sehingga beliau dapat ditahbiskan menjadi pendeta Anglikan pada tahun 1945 dan menjadi pembantu pendeta di the Church of All Souls, Langham Place (1945-1950) (website : www.allsouls.org) kemudian Pendeta (1950-1975). Beliau dipilih menjadi Pendeta bagi Ratu Inggris Elizabeth II (1959-1991) dan Pendeta luar biasa pada tahun 1991. Beliau menerima CBE pada tahun 2006 dan menerima sejumlah gelar doktor kehormatan dari sekolah-sekolah di Amerika, Inggris dan Kanada. Salah satunya adalah Lambeth Doctorate of Divinity pada tahun 1983.

Matius 8:23-27 : COMMITMENT AND TEMPTATION

Ringkasan Khotbah : 20 Februari 2005

Commitment and Temptation
oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 8:23-27



Kita sudah memahami bahwa mengikut Kristus bukanlah pengikutan yang bersifat fanatisme atau karena ingin mendapatkan keuntungan. Tidak! Ingat, serigala mempunyai liang, burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya (Mat. 8:20). Mengikut Kristus haruslah dengan komitmen penuh dan motivasi murni. Kristus haruslah menjadi yang terutama sebab Dia adalah Raja atas segala raja, King of kings dan Sang Raja itu datang ke dalam dunia untuk menjadi tebusan bagi kita, manusia berdosa. Sayangnya, manusia berdosa yang egois tidak memahami kebenaran ini, manusia hanya memikirkan kenikmatan dirinya sendiri maka tidaklah heran kalau kebenaran yang sejati itu selalu bertentangan dengan konsep manusia. Ironisnya, manusia tidak menyadari kalau yang mereka anggap sebagai kebenaran tersebut justru berakibat pada kebinasaan.
Tuhan haruslah yang terutama kalau kita tidak dapat menjadikan Kristus sebagai yang terutama maka omong kosong kalau kemudian ia mengatakan bahwa ia beriman dan menjadikan Kristus sebagai Tuhan atas dirinya. Tuhan tidak ingin ada ilah lain di hadapan-Nya sebab hal itu menjadi perzinahan rohani. Kristus berhak untuk diikuti sebab Dia adalah Raja atas segala raja dan Dia adalah penguasa alam semesta yang mempunyai kedaulatan penuh atas seluruh ciptaan-Nya. Dan hal ini ditunjukkan oleh Matius melalui kisah Tuhan Yesus meredakan angin ribut. Kita telah memahami sebelumnya bahwa Injil Matius tidak ditulis berdasarkan urutan sejarah sebab itu bukan tujuan Matius. Peristiwa Tuhan Yesus meredakan angin ribut ini sesungguhnya terjadi lebih dahulu, yakni sebelum Tuhan Yesus berbicara dengan Ahli Taurat dan murid-Nya tentang hal mengikut Dia. Namun Matius meletakkannya terbalik, Matius ingin mengkaitkan bahwa setelah orang memutuskan untuk menjadi pengikut Kristus maka kini ia harus mengikut Kristus (ay. 23).
Ketika Yesus dan para murid naik ke dalam perahu, sekonyong-konyong datanglah angin ribut. Angin ribut disini bukanlah angin keras biasa sebab sebagian besar murid Kristus yang notabene seorang nelayan yang biasa menghadapi badai dan gelombang pun menjadi takut, panik, dan kuatir. Hal ini membuktikan bahwa badai tersebut berada di luar batas mereka. Bukankah reaksi yang ditunjukkan oleh para murid ini juga menjadi gambaran diri setiap kita, ketika badai dan gelombang, yakni kesulitan itu datang menerpa maka orang tidak lagi dapat melihat kesulitan itu sebagai ujian iman dan memandangnya sebagai kebahagiaan tetapi orang justru ingin cepat menyelesaikan menurut caranya sendiri sebab mata kita selalu tertuju pada realita.
Tuhan Yesus menegur mereka dengan keras: “Mengapa kamu takut, kamu yang kurang percaya.“ Kata “kurang percaya“ disini berarti orang yang beriman kecil sebab apa yang menjadi komitmen kita belum menjadi iman yang sejati terbukti badai gelombang tidak menjadikan kita semakin beriman namun justru membuat kita takut dan kuatir. Badai gelombang yang bergolak dengan begitu dahsyat langsung berhenti dan danau menjadi teduh sekali itu ketika Tuhan Yesus menghardiknya. Secara logika, orang sukar untuk mengerti, orang seharusnya menyadari bahwa Yesus adalah Allah pemilik alam semesta sebab angin dan danau pun taat kepadanya. Adalah anugerah dan menjadi sukacita tersendiri bagi kita kalau Tuhan, Pemilik dan Penguasa alam semesta ini berkenan memanggil dan menjadikan kita sebagai murid-Nya, sayang, iman kita terlalu kecil, maka tidaklah heran kalau kita tidak dapat melihat Tuhan sedang bekerja dengan ajaib dan heran untuk itu kita harus memahami:
1. Mengikut Kristus bukan tanpa kesulitan.
Tuhan tidak pernah berjanji bahwa kalau kita mengikut Kristus, Raja di atas segala raja itu maka kita tidak akan pernah mengalami kesulitan dan penderitaan. Tidak! Jangan tertipu dengan ajaran bidat yang mengajarkan bahwa, Tuhan itu Maha Dahsyat maka menjadi murid Tuhan yang Maha Dahsyat itu, kita pasti tidak akan pernah mengalami penderitaan. Pertanyaannya adalah kalau Tuhan Maha Dahsyat, apakah kita dapat mengatur Dia sedemikian rupa menuruti semua keinginan kita? Tidak! Tuhan yang harus menjadi pemegang kuasa tertinggi dan Dia berkuasa atas hidup manusia; tidak ada siapapun atau apapun di dunia ini yang dapat memimpin dan mengarahkan hidup kita. Ketika Tuhan Yesus mengajak murid-murid-Nya ke danau, Tuhan Yesus pasti tahu akan datang gelombang yang menerpa dan Tuhan Yesus tidak menghindarkan murid-murid-Nya dari bahaya itu. Tuhan sengaja membiarkan murid-murid-Nya menghadapi gelombang, Tuhan Yesus tidur nyenyak di buritan ketika gelombang besar itu mengombang-ambingkan perahu. Sesungguhnya, Tuhan Yesus ingin menguji iman para murid namun murid-murid ingin supaya Yesus segera menyelesaikan masalah mereka. Bukankah kita seringkali juga demikian? Kita ingin supaya Yesus segera mengangkat semua kesulitan hidup dan hal ini juga menjadi teriakan nabi Habakuk. Berapa lama lagi, Tuhan, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar, aku berseru kepada-Mu: “Penindasan!“ tetapi tidak Kau tolong? (Hab. 1:2). Kalau Tuhan diam bukan berarti Tuhan tidak peduli. Tuhan tidak langsung bertindak karena Tuhan ingin supaya anak-anak-Nya mempunyai kekuatan sehingga kita bisa menghadapi berbagai-bagai kesulitan.
Di dalam kehidupan Kristen, kita seringkali dilumpuhkan oleh ajaran-ajaran palsu yang mengajarkan bahwa kita akan menjadi kaya dan sukses, kita tidak akan sakit. Kalaupun kita mengalami sakit, berarti ada dosa yang telah kita perbuat maka segeralah meminta ampunan pada-Nya. Setelah melihat begitu banyak mujizat yang dilakukan oleh Kristus, murid-murid seharusnya tahu bahwa pastilah kapal itu tidak akan tenggelam sebab ada Yesus di dalam perahu. Tapi sayang, para murid kurang beriman, mereka justru menjadi panik dan kuatir. Sesungguhnya, melalui kesulitan dan penderitaan itu Tuhan ingin menjadikan anak-anak-Nya dewasa, mature. Sayangnya, hari ini banyak orang Kristen ingin menjadi “bayi rohani“ yang segala sesuatunya selalu minta diperhatikan. Celakanya, dunia mengerti tentang perlunya pertumbuhan fisik yang diikuti dengan kedewasaan mental namun orang Kristen justru tidak memahami pentingnya kedewasaan rohani.

2. Mengikut Kristus dilatih menjadi dewasa.
Pengikut Kristus sejati haruslah kuat menghadapi kesulitan dan ingat, ada Tuhan bersama dengan kita, Dia tidak akan membiarkan kita sendiri menghadapi semua kesulitan. Realita ini seharusnya memberikan kekuatan kepada kita untuk melangkah dalam dunia. Tuhan tahu sampai dimana batas kita mampu menghadapi kesulitan. Tuhan tidak akan membiarkan kita dicobai sedemikian rupa sampai di luar batas kemampuan kita. Tuhan tahu sampai dimana batas kemampuan para murid-murid itu menghadapi gelombang karena itu Tuhan tidak tinggal diam, Dia langsung menghardik angin itu. Jangan pernah berpikir bahwa orang yang banyak mengalami mujizat Tuhan itu karena ia mempunyai iman yang besar. Tidak! Justru sebaliknya, orang yang senantiasa selalu ditolong Tuhan menunjukkan imannya kerdil. Seharusnya ia malu sebab ia tidak mempunyai daya juang untuk menghadapi kesulitan. Perhatikan, ketika iman itu sampai pada titik puncak maka Tuhan menunjukkan bahwa kita mempunyai kekuatan pertahanan yang sangat besar.
Hal ini sangat kontras kalau dibandingkan dengan Tuhan Yesus sendiri ketika Ia harus menghadapi penderitaan yang begitu besar, “Bapa, kalau boleh cawan ini lalu daripada-Ku“. Tuhan tidak minta supaya Bapa mengangkat cawan itu. Kesulitan hidup yang Tuhan perkenankan untuk kita lewati dimana kesulitan itu bukan sebagai akibat dari perbuatan dosa kita maka biarlah kita meneladani sikap Yesus:“Biarlah, kehendak-Mu saja yang jadi“. Jiwa seperti inilah yang harus ada dalam diri mereka yang menyebut diri sebagai murid Kristus sejati, yaitu taat mutlak pada kehendak Tuhan dan rela menghadapi kesulitan karena kita tahu semua penderitaan itu dimaksudkan demi untuk kebaikan kita, yakni pendewasaan iman dengan demikian kita dapat menjadi saksi bagi dunia.
Ironis, hari ini orang justru berpikir terbalik, seorang bayi dianggap dewasa. Seperti halnya orang yang diberikan karunia berbahasa Roh dianggap karena mereka mempunyai iman yang besar. Tidak! Karunia bahasa Roh itu diberikan untuk orang yang tidak beriman (1Kor. 14:22). Sayang, banyak orang Kristen yang melewatkan ayat ini. Mengikut Kristus berarti rela dipimpin oleh Kristus dan ingat, pimpinan Tuhan akan menjadikan kita dewasa. Jangan takut, Tuhan tahu sampai dimana batas kemampuan kita dapat menanggung penderitaan sebab Tuhan tidak akan menguji kita melampaui kekuatan kita dan percayalah, pada waktu kita dicobai, Ia akan memberikan jalan keluar, sehingga kita dapat menanggungnya (1Kor. 10:13). Tuhan tahu, Ayub adalah seorang beriman besar karena itu Tuhan mengijinkan ia dicobai oleh iblis; Ayub harus mengalami kesulitan dan penderitaan. Maka dapatlah dibayangkan, orang Kristen karismatik atau mereka yang ikut dalam gerakan neo pantekostalisme pastilah akan meninggalkan Tuhan ketika ia mengalami kesulitan seperti Ayub. Tuhan tahu sampai dimana kapasitas iman Ayub maka ketika iman Ayub mulai goyah, Ayub mulai mengutuki hari kelahirannya karena saudara-saudara seimannya, maka Tuhan mulai bertindak. Tuhan memulihkan keadaan Ayub; Tuhan memberkati Ayub dengan mengembalikan seluruh hartanya dengan berlipat-lipat. Di dunia modern, iman Kristen telah dirusak oleh berbagai macam ajaran-ajaran palsu maka tidaklah heran kalau anak-anak Tuhan tidak mempunyai daya untuk menghadapi gelombang yang dahsyat, orang Kristen tidak mempunyai iman yang cukup untuk kita bisa tahu rencana Tuhan yang indah di balik gelombang itu dan dimana kekuatan kita. Tuhan membiarkan kita masuk dalam berbagai-bagai kesulitan untuk mendidik dan melatih supaya mempunyai kedewasaan rohani. Pikiran Tuhan lebih tinggi dari pikiran manusia, Dia melihat yang tidak dapat kita lihat.
3. Mengikut Kristus disiapkan untuk melakukan perkara besar.
Setelah Tuhan Yesus menyelesaikan misi-Nya di dunia, maka tanggung jawab pelayanan berada di tangan murid-Nya karena itu iman mereka harus dilatih terlebih dahulu. Akan tetapi, seringkali orang tidak siap untuk dididik Tuhan, kita tidak siap dengan berbagai-bagai kesulitan. Bagaimana mungkin buah zaitun akan menghasilkan minyak kalau tidak ditekan atau buah anggur akan menjadi arak kalau tidak diperas? Kita sepatutnya mengucap syukur kalau Tuhan masih berkenan mendidik kita dengan luar biasa, kita boleh mengalami pengalaman indah berjalan bersama dengan Tuhan. Seringkali, ketika kesulitan itu datang kita tidak pernah memandangnya sebagai ujian iman, kita hanya melihat ujian itu sebagai beban yang harus kita tanggung padahal Tuhan mau memakai kita menjadi alat-Nya untuk berbagian dalam pekerjaan-Nya. Siapakah kita sehingga Tuhan berkenan memakai kita, manusia berdosa dan terbatas ini dipakai menjadi alat-Nya sehingga menjadi saluran berkat bagi banyak orang?

Setiap hari kita telah merasakan anugerah Tuhan telah memelihara hidup kita dan kita melihat dan merasakan mujizat Tuhan yang bekerja dengan luar biasa bahkan sangat sukar dimengerti logika manusia. Pertanyaannya apakah pimpinan Tuhan yang begitu dahsyat atas kita tersebut belum cukup membuktikan bahwa Tuhan menyertai kita. Ingat, Tuhan tidak pernah tidur, Dia tidak pernah meninggalkan kita walau sedetikpun, Dia ada di dalam kapal. Apakah kita masih kurang percaya? Apakah kita masih beriman kerdil? Kalau sampai detik ini, kita dapat melewati kesulitan, ingat, itu karena Tuhan yang memimpin. Tuhan ingin membentuk kita melalui latihan-latihan iman, tanpa latihan tidak ada pertumbuhan iman dan terkadang Tuhan memang membiarkan kita menghadapi kesulitan itu sampai di titik kritis sehingga kita dapat merasakan mujizat Tuhan yang ajaib. Biarlah kita mulai belajar untuk dilatih Tuhan dengan demikian kita bertumbuh dalam iman dan itu menjadikan kita bersemangat dan mempunyai kekuatan untuk mengerjakan pekerjaan Tuhan yang besar.
Jangan takut, Tuhan ada di kapal bersama-sama dengan kita, di saat gelombang itu datang, mungkin kita merasa lelah dan letih karena telah bekerja keras berusaha mengeluarkan air dari kapal supaya tidak tenggelam namun percayalah, ketika kita telah berada di ambang batas kekuatan kita maka Tuhan akan menolong tepat pada waktu-Nya. Seorang pengikut Kristus bukan berarti kita dilewatkan dari badai, angin menjadi tenang dan kapal kita akan melaju dengan lancar. Tidak! Kita seharusnya makin bersyukur kalau Dia berkenan membawa kita ke dalam kesulitan-kesulitan yang berat. Jangan mudah ditipu oleh gejala jaman yang berpendapat bahwa dunia semakin hari semakin enak karena setiap manusia egois yang hanya memikirkan kesejahteraan diri sendiri. Biarlah konsep kita diubahkan dengan demikian kita mempunyai kekuatan iman. Karena itu jadilah kuat di dalam Tuhan sehingga kita bisa menjadi saksi Tuhan di tengah dunia dan menolong mereka yang lemah iman dan tidak ada pengharapan. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber :

Roma 5:6-11 : PENDERITAAN YANG BERHARGA-2

Seri Eksposisi Surat Roma :
Hasil Pembenaran Melalui Iman-3


Penderitaan yang Berharga-2 :
Pengharapan dan Teladan dari Penderitaan Kristus

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 5:6-11.

Setelah Paulus menjelaskan tentang hasil dari pembenaran yang kedua yaitu kesengsaraan (Roma 5:3-5), ia melanjutkan pembahasannya dengan memberikan teladan dan pengharapan penderitaan yang Kristus alami sebagai alasan mengapa penderitaan karena nama Kristus itu berharga. Ingatlah, setiap orang Kristen yang sungguh-sungguh mau mengikut Kristus harus menyangkal diri, memikul salib dan mengikut-Nya (Matius 16:24). Penderitaan adalah harga yang harus kita tanggung di dalam mengikut Kristus. Meskipun demikian, sebagai anak-anak-Nya, kita dijamin oleh-Nya bahwa di dalam penderitaan, penderitaan Kristus yang telah mengalahkan maut menjadi pengharapan masa depan yang indah yang akan menanti kita sekaligus teladan bagi penderitaan yang kita alami. Mari kita merenungkan kedua poin ini di dalam ayat 6-11. Di dalam keenam ayat ini, Paulus membagi enam prinsip penderitaan penebusan Kristus sebagai teladan dan pengharapan bagi kita yang menderita karena nama Kristus.

Pertama, penderitaan Kristus ditujukan untuk orang-orang berdosa (lemah dan durhaka). Di dalam ayat 6a, Paulus menguraikan, “Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka…” Di dalam bagian ini, Paulus langsung menunjukkan status dan kondisi kita yang berdosa. Pertama, kondisi lemah. “Karena waktu kita masih lemah” dalam Alkitab terjemahan King James mengartikannya, “For when we were yet without strength…” International Standard Version (ISV) menerjemahkannya powerless (=tidak ada kekuatan). Dengan kata lain, “lemah” berarti tanpa kekuatan (strengthless bisa diterjemahkan sick/sakit, impotent/tidak bertenaga, dll). Ini adalah kondisi kita ketika jatuh ke dalam dosa. Dosa mengakibatkan kita lemah, tak bertenaga apapun untuk berbuat sesuatu yang baik. Dengan kata lain, dosa mematikan keinginan kita untuk menyenangkan Allah. Mengapa ? Karena dosa adalah ketidaktaatan terhadap perintah-Nya atau menyelewengnya kita dari sasaran Allah. Paulus di dalam Roma 7:18 menuturkan, “Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik.” Paulus menuliskan hal ini di dalam perikop tentang perjuangan hukum Taurat dan dosa. Di dalam bagian ini, ia menjelaskan bahwa meskipun hukum Taurat itu baik bagi umat-Nya, tetapi ketika kita masih hidup di dalam dunia ini, dosa terus melekat di dalam kita sehingga ketika kita ingin berbuat sesuatu yang menyenangkan Allah, ternyata kita malahan mendukakan hati-Nya (Roma 7:19-20). Itulah kuasa dosa yang terus membuat kita mendukakan hati-Nya. Kedua, status orang durhaka. Paulus mencatat hal ini di dalam ayat 6a di atas dengan menggunakan terjemahan ungodly di dalam KJV yang dalam bahasa Yunaninya asebēs berarti irreverent, that is, (by extension) impious or wicked: - ungodly (man). (=tidak sopan, yaitu, (secara perluasan) tidak beriman/berTuhan atau jahat : orang yang tak berTuhan.) Dengan kata lain, ketika kita jatuh ke dalam dosa, status kita langsung disebut “tidak berTuhan” dan “jahat”. Itulah status yang kita layak tanggung akibat ketidaktaatan manusia pertama. Kalau secara kondisi, kita lemah dan tak berdaya dalam menghadapi dosa, maka secara status, kita lebih kejam lagi yaitu benar-benar menyetujui adanya dosa dan melawan Allah, sehingga disebut “tidak berTuhan”. Di sini, status kita melebihi kondisi kita. Bagaimana dengan realita dunia kita ? Dunia postmodern yang kita hidupi saat ini mulai membalikkan/meniadakan realita ini dengan mengajarkan bahwa di dalam diri kita ada kekuatan besar yang berdiam (giant power/force dwells in us). Ajaran ini dipengaruhi oleh Gerakan Zaman Baru dengan ide man is god (manusia adalah “allah”). Dan anehnya, ajaran gila ini rupanya telah merasuki dunia pendidikan (khususnya manajemen), psikologi, dan bahkan di dalam keKristenan. Alhasil, tidak heran, kita melihat seorang Tung Desem Waringin, Andrie Wongso, dll laris diundang bahkan di sebuah kampus “Kristen” swasta terkenal di Surabaya, bahkan dipopulerkan di dalam keKristenan (oleh beberapa dosen “Kristen) dan “gereja” melalui buku-buku Berpikir Positif dari Norman Vincent Peale, David Yonggi Cho, Robert H. Schuller, Zig Ziglar (buku terkenalnya : “Smile” dipakai sebagai bahan “renungan” oleh seorang dosen “Kristen” yang adalah istri “pendeta” emeritus GKI Pregolan Bunder, Surabaya di dalam setiap perkuliahannya di salah satu kampus “Kristen” swasta terkenal di Surabaya), dll. Orang-orang Kristen terus-menerus diindoktrinasi bahwa mereka itu hebat, pintar, mampu, bijaksana, dll dan mulai disimpangkan/diselewengkan dari berita Alkitab bahwa manusia itu berdosa. Itu adalah tipu daya setan yang mulai meracuni keKristenan, tetapi sayangnya banyak orang “Kristen” masih tertidur oleh bujuk rayu si setan dan tidak mau kembali kepada Alkitab. Sudah saatnya, para kaum pilihan-Nya sadar dari tipu daya si setan, bertobat dan kembali kepada Alkitab sebagai satu-satunya kebenaran mutlak. Alkitab mengajarkan bahwa kita berdosa, dan itu harus kita amini dan sadari. Kesadaran tentang dosa adalah titik awal nantinya kita bisa bertobat. Ketika kita tidak menyadari dosa ini, kita tidak mengerti untuk apa kita bertobat dan lebih parah kita tidak mengerti untuk apa Kristus mau mati bagi dosa-dosa kita. Kembali, semua status dan kondisi kita yang berdosa ternyata menemui kebuntuan. Tidak ada seorangpun yang dapat melepaskan kita (sekalipun para utusan Allah) dari status dan kondisi kita ini. Lalu, adakah jalan keluarnya ? Puji Tuhan, Paulus di dalam ayat 6a menyatakan bahwa bagi kita yang masih lemah dan durhaka ini, Kristus telah mati untuk kita. Kematian Kristus menunjukkan bahwa ada pengharapan dan jalan keluar dari masalah yang kita hadapi yaitu status dan kondisi kita yang berdosa. Selain pengharapan, kematian Kristus juga harus menjadi teladan bagi kita yang harus terus-menerus mematikan dosa di dalam diri kita. Di dalam Efesus 4:17-32, Paulus dengan gamblang memaparkan bahwa kita sebagai manusia baru harus hidup lebih memuliakan Allah daripada ketika kita masih seteru Allah (manusia lama). Rasul Yohanes juga mengingatkan kita, “Setiap orang yang lahir dari Allah, tidak berbuat dosa lagi; sebab benih ilahi tetap ada di dalam dia dan ia tidak dapat berbuat dosa, karena ia lahir dari Allah.” (1 Yohanes 3:9) Dengan kata lain, “mematikan dosa” sama dengan menyangkal diri. Menyangkal diri tidak berarti kita tidak boleh memiliki keinginan sama sekali. Inilah kekeliruan terbesar dan terkonyol di dalam agama dari Timur yang mengajarkan bertarak diri (askese). Kalau kita tidak boleh memiliki keinginan, berarti kita pun tidak boleh mengingini untuk masuk nirwana (menurut agama itu). Itu logika yang tepat, tetapi herannya sambil mengajarkan bahwa kita tidak boleh memiliki keinginan, agama ini juga mengajarkan bahwa setiap orang bisa menjadi “allah”. Sungguh suatu logika yang tidak masuk akal. Kembali, menyangkal diri berarti kita berani mengatakan “tidak” kepada setiap keinginan kita yang negatif (dan beberapa keinginan positif) untuk disesuaikan dengan kehendak dan kedaulatan Allah. Di dalam proses menyangkal diri, baiklah kita terus-menerus dipimpin dan disucikan oleh Roh Kudus.

Kedua, penderitaan Kristus ditentukan oleh Allah. Kalau kita kembali pada ayat 6, pada enam kalimat terakhir, Alkitab LAI menyebutkan, “pada waktu yang ditentukan oleh Allah.” Kalimat ini tidak dapat kita jumpai pada KJV yang hanya menyebut “in due time”. ISV juga hanya menyebutkan, “at just the right time” English Standard Version menyebutkan hal yang sama, “at the right time” Di sini, LAI menambahkan kata “Allah” menunjukkan bahwa kematian Kristus bukan ditentukan oleh manusia atau Kristus dapat disalib gara-gara Yudas menjual-Nya (seolah-olah tanpa Yudas, Kristus tak mungkin disalib atau Allah Bapa “bingung” memilih sarana lain untuk membuat Kristus disalib). Hal tersebut tidak pernah ada dalam “kamus” Alkitab/Allah, karena Allah kita adalah Allah yang sejati yang berdaulat yang merencanakan segala sesuatu dan kita mempercayai bahwa rencana-Nya pasti berhasil karena Ia adalah Allah yang layak dipercaya (trust-worthy God). Kalau kita mempercayai kepada “Allah” yang “plin-plan”, jujur, itu bukan Allah yang diajarkan dan diberitakan oleh Alkitab, tetapi diajarkan oleh para pemuja postmodernisme, open theism, pluralisme, dan sejenisnya yang pura-pura memakai plang “Kristen” ! Kembali, ketika kita mengerti bahwa penderitaan Kristus ditentukan oleh Allah, kita dapat belajar beberapa prinsip, yaitu pertama, penderitaan Kristus menjadi pengharapan bahwa bukan karena kita yang minta diselamatkan baru Allah menyelamatkan, tetapi Allah yang merencanakan keselamatan, Dia jugalah yang menggenapinya di dalam Pribadi Kristus. Kedua, penderitaan Kristus menjadi teladan bagi kita yang harus menyangkal diri bahwa penderitaan yang kita alami itu juga atas kehendak Allah/diizinkan Allah untuk menguji iman kita di dalam mengikut-Nya. Rasul Petrus di dalam 1 Petrus 4:14 mengajarkan, “Berbahagialah kamu, jika kamu dinista karena nama Kristus, sebab Roh kemuliaan, yaitu Roh Allah ada padamu.” Kata “berbahagialah” di dalam ayat ini sama dengan kata “berbahagia” yang diucapkan oleh Tuhan Yesus di dalam Matius 5:3-11 (khususnya ayat 10) yang dalam bahasa Yunaninya makarios bisa berarti “diberkatilah” (blessed). Khususnya di Indonesia, kita membaca banyak berita bahwa banyak gereja dibakar, izin pembangunan gereja dipersulit dengan berjuta alasan yang tidak masuk akal (tetapi kalau membangun tempat ibadah agama mayoritas dipermudah, bahkan banyak yang tidak pakai IMB/Izin Mendirikan Bangunan), dll. Itu semua adalah bentuk penderitaan yang harus ditanggung ketika kita berkomitmen menjadi pengikut Kristus sejati. Menjadi orang “Kristen” kampungan dan murahan (pseudo-Christians) itu mudah, karena tidak usah memikul salib (kalau perlu meng“amin”i apa yang dicetuskan oleh para penganut “theologia” kemakmuran bahwa orang “Kristen” adalah anak “raja” yang pasti kaya, sukses, diberkati, sembuh, bahkan tidak pernah digigit nyamuk), tetapi kalau kita sungguh-sungguh mau mengikut Kristus (the true Christians), kita harus rela menanggung aniaya karena seperti Kristus yang telah difitnah, dianiaya, dll, kita pun sebagai pengikut sekaligus murid-Nya pun harus mengalami hal yang sama, selain itu karena kita harus menTuhankan Kristus bukan men”Tuhan”kan penguasa, dan hal-hal palsu lainnya.

Ketiga, penderitaan Kristus ditujukan untuk menggantikan kita yang masih berdosa ® substitusi (ayat 7-8). Poin ketiga ini kelihatannya sama dengan poin pertama, tetapi pada poin ini saya menitikberatkan pada kematian Kristus yang menggantikan (substitusi). Pada ayat 7, Paulus berkata, “Sebab tidak mudah seorang mau mati untuk orang yang benar--tetapi mungkin untuk orang yang baik ada orang yang berani mati--.” “Orang yang benar” dalam terjemahan KJV adalah a righteous man, dalam bahasa Yunaninya menggunakan kata dikaios yang bisa berarti adil benar. Lalu, siapakah orang adil/benar yang Paulus maksudkan ? Dari tafsiran Adam Clarke dalam Adam Clarke’s Commentary on the Bible, kita mendapatkan sedikit latar belakang tradisi Yudaisme bahwa orang-orang Yahudi membedakan empat macam orang, di mana orang macam pertama dari empat macam orang tersebut disebut orang yang adil (a just man) yang mengatakan, “what is mine, is my own; and what is thine, is thy own.” (=apa yang menjadi milikku adalah milikku ; dan apa yang menjadi milikmu, adalah milikmu.) Adam Clarke mengatakan, “These may be considered the just, who render to every man his due; or rather, they who neither give nor take.” (=Orang ini dapat disebut orang adil, yang memberikan kepada setiap orang haknya masing-masing ; atau lebih baik, mereka tidak memberi atau mengambilnya.) Dari tafsiran ini, saya berani menyimpulkan bahwa a just man sebenarnya adalah orang yang merasa diri “benar” dan “layak”, tetapi sebenarnya tidak mampu. Mengapa saya berani mengambil kesimpulan demikian ? Karena seperti yang diungkapkan Clarke, a just man menunjuk kepada orang yang selalu menuntut keadilan tetapi tidak mengerti sesuatu yang melampaui keadilan yaitu kasih yang tanpa syarat (unconditional love). Kasih dan keadilan tidak bisa dipisahkan, karena itu saling terkait. Bagi mereka yang seolah-olah merasa diri “benar”, Tuhan melalui Paulus berkata bahwa itu adalah hal yang sulit khususnya di dalam pengorbanan Kristus yang bersifat mengganti. Mengapa ? Karena a just man selalu merasa diri “layak”, “tak berdosa”, dll lalu kalaupun ia melakukan sesuatu yang salah/berdosa, maka ia dengan sombongnya akan berjuang sendiri untuk melepaskan/keluar dari jurang kesalahan/dosan. Terhadap orang inilah, Kristus sulit mau berkorban bagi/menggantikan posisi mereka. Tetapi meskipun sulit, Kristus rela melakukannya karena kematian-Nya membuktikan cinta kasih Allah kepada dunia yang jauh melampaui konsep keadilan manusia (Yohanes 3:16 ; Roma 5:8). Apa yang Kristus kerjakan berbeda total dari apa yang manusia dunia lakukan. Hal ini ditunjukkan Paulus dengan membedakan konsep substitusi di dalam pengorbanan Kristus dengan tindakan orang yang mau mati bagi orang yang baik. Tindakan pertama yaitu tindakan pengorbanan Kristus adalah tindakan yang mulia dan dimotivasi oleh cinta yang tanpa bersyarat yang tak memerlukan balas jasa apapun dari siapapun juga (karena manusia yang olehnya Kristus mati tidak memiliki daya/jasa baik yang cukup syarat untuk membalas kasih Allah), sedangkan tindakan kedua adalah tindakan yang seolah-olah kelihatan “berkorban”, tetapi sebenarnya mau meminta balas jasa (karena orang ini mati bagi orang yang mati yang akan membalas jasanya). Penderitaan Kristus ini menjadi pengharapan bagi kita yang berada di dalam penderitaan bahwa kita memiliki Kristus yang sudah menggantikan kita yang seharusnya berdosa. Sudah seharusnya kita tidak lagi arogan lalu berkata bahwa kita bisa menyelesaikan dosa kita sendiri. Itu adalah tindakan atheis yang menghina karya penebusan Allah. Kita sebagai umat pilihan-Nya yang telah ditebus harus terus-menerus bersyukur atas anugerah-Nya dan mengerjakan keselamatan kita (bukan supaya kita diselamatkan/tidak kehilangan keselamatan) sebagai respon kita telah ditebus dan diselamatkan untuk memuliakan Allah. Penderitaan Kristus juga dapat menjadi teladan bagi kita sehingga kita rela berkorban/mati bagi orang-orang yang kita kasihi demi Injil. Penginjilan tanpa dimotivasi dan bertujuan untuk mengasihi jiwa-jiwa yang terhilang adalah penginjilan yang sia-sia. Sudahkah kita mengasihi jiwa-jiwa yang terhilang dan membawanya kepada Kristus ?

Keempat, penderitaan Kristus meredakan murka Allah ® propisiasi (ayat 9). Pada ayat 9, Tuhan melalui Paulus mengungkapkan, “Lebih-lebih, karena kita sekarang telah dibenarkan oleh darah-Nya, kita pasti akan diselamatkan dari murka Allah.” Tentang propisiasi atau peredaan murka Allah, Paulus sudah menjelaskannya di dalam Roma 3:25, “Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya…” (KJV, “Whom God hath set forth to be a propitiation through faith in his blood,…”) dan Yohanes menjelaskannya di dalam 1 Yohanes 4:10, “Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita.” (KJV, “Herein is love, not that we loved God, but that he loved us, and sent his Son to be the propitiation for our sins.”). Semua kata “pendamaian” di dalam kedua bagian ayat ini seharusnya diterjemahkan “peredaan murka Allah”. Peredaan murka Allah yang Kristus kerjakan menjadi pengharapan bagi kita yang seharusnya mati dan dikenai murka Allah akibat dosa, tetapi puji Tuhan, penebusan Kristus di kayu salib sudah memenuhi syarat wujud keadilan dan kasih Allah bagi manusia berdosa. Penderitaan Kristus ini juga menjadi teladan bagi kita yang harus menderita karena nama Kristus supaya kita tetap memberitakan Injil sehingga banyak orang diselamatkan dari murka Allah yang menyala-nyala. Penderitaan kita karena nama Kristus seharusnya tidak memadamkan semangat kita dalam mengabarkan Injil, melainkan justru mengobarkan semangat kita bahwa orang-orang yang menganiaya kita harus diinjili agar mereka pada suatu saat atas kehendak-Nya dapat bertobat dan kembali kepada Kristus serta diselamatkan dari murka Allah yang dahsyat.

Kelima, penderitaan Kristus memperdamaikan kita dengan Allah ® rekonsiliasi (ayat 10). Selain substitusi dan propisiasi, penebusan Kristus juga mendamaikan kita yang dahulu adalah seteru/musuh Allah yang najis dan berdosa dengan Allah yang Mahakudus, seperti yang dipaparkan Paulus di ayat 10, “Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya!” Kata “diperdamaikan” dalam KJV adalah reconcile (=direkonsiliasikan/diperdamaikan). Kalau kita mengerti kata “musuh”, maka kita seharusnya mengerti bahwa itulah status kita ketika kita masih berdosa. Kalau di poin pertama, kita belajar tentang status dan kondisi kita yang jatuh ke dalam dosa yaitu durhaka/tidak berTuhan dan lemah/tidak berdaya, maka di poin ini, kita belajar tentang status kita dahulu yang “baru” yaitu musuh/seteru Allah. Kita disebut seteru Allah karena kita melawan ketetapan-Nya. Bagi seorang musuh, kita sudah seharusnya melawannya, hal yang sama juga dilakukan oleh Allah. Tetapi sekali lagi karena kasih-Nya begitu besar, maka beberapa orang dari antara musuh-Nya yang memberontak dipilih, dipanggil dan dibenarkan-Nya di dalam Kristus, sehingga mereka beroleh anugerah-Nya untuk beriman di dalam Kristus. Bagi orang-orang pilihan-Nya inilah, Kristus mati dan memperdamaikan mereka dengan Allah. Adalah tidak masuk akal jika ada orang-orang yang tidak dipilih-Nya berani mengklaim diri umat pilihan Allah lalu menyatakan diri dengan sombongnya bahwa Kristus juga mati untuknya. Itu adalah ajaran yang aneh dan tidak sesuai dengan Alkitab. Penderitaan Kristus ini menjadi pengharapan bagi umat pilihan-Nya yang berdosa yaitu kita yang dahulu berdosa sudah diperdamaikan dengan Allah yang Mahakudus melalui penebusan Kristus, sehingga kita diselamatkan oleh hidup Kristus dan kita tidak usah takut (dalam pengertian takut yang berlebihan) menghampiri Allah. Bukan berarti karena kita telah ditebus oleh Kristus, maka kita boleh sembarangan menghadap Allah, lalu seenaknya sendiri menggunakan hal-hal yang tidak bertanggungjawab di dalam ibadah. Itu namanya “anak-anak Allah” yang keterlaluan/kelewatan (Jawa : nglunjak). Meskipun kita sudah ditebus oleh Kristus, kita sebagai anak-anak-Nya tetap harus menghormati dan takut kepada-Nya, karena Ia tetap adalah Allah dan Tuhan kita (sedangkan kita adalah manusia yang terbatas), meskipun kita bisa/dapat tetap bersukacita ketika menghadap Allah. Inilah paradoks di dalam ibadah Kristen : takut dan gentar terhadap Allah sekaligus bersukacita. Penderitaan Kristus juga menjadi teladan bagi kita yaitu perdamaian antara manusia dengan Allah di dalam Kristus adalah wujud perdamaian sejati meskipun kita menderita aniaya. Seringkali di dunia ini, ketika ada orang yang mengalami penderitaan, para pemuja “theologia” religionum/social “gospel” selalu melontarkan kalimat “damai”, “gencatan sejata”, “toleransi”, dll supaya tidak terjadi penderitaan dan penganiayaan. Apakah itu salah ? Di satu sisi, benar, tetapi di sisi lain, inti masalahnya bukan sekedar penghentian tindakan penganiayaan/kekerasan/penderitaan, tetapi esensinya justru terletak pada pendamaian antara manusia dengan Allah di dalam Kristus. Kalau manusia tidak didamaikan kembali dengan Allah, maka manusia tak mungkin bisa berdamai dengan sesamanya, karena masalah manusia yang paling serius adalah dosa, dan bukan hanya sekedar ketidakseimbangan/ketidaktenteraman atau penderitaan/penganiayaan/dll.

Terakhir, penderitaan Kristus membuat kita berbangga di dalam-Nya (ayat 11). Di dalam ayat 11, Paulus mengungkapkan, “Dan bukan hanya itu saja! Kita malah bermegah dalam Allah oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, sebab oleh Dia kita telah menerima pendamaian itu.” Kata “bermegah” bisa berarti bersukacita (joy/rejoice) atau berbangga (boast). Bukan hanya substitusi, propisiasi dan rekonsiliasi, penebusan dan penderitaan Kristus memberikan pengharapan kepada kita bahwa meskipun kita mengalami penganiayaan, Roh-Nya yang Kudus membuat kita terus-menerus bersukacita di dalam Allah. Mengapa kita bisa bersukacita meskipun penderitaan mengancam kita ? Karena kita memiliki pengharapan yang kokoh di dalam Kristus yang telah mengalami dan menang mengalahkan segala pencobaan, sehingga Ia dinobatkan sebagai Imam Besar Agung (Ibrani 4:14-15). Selain itu, penderitaan Kristus yang mengakibatkan kita bersukacita di dalam-Nya juga menjadi teladan bagi kita untuk menyalurkan sukacita di dalam penderitaan ini baik dengan berbagi kepada sesama, khususnya yang paling utama yaitu memberitakan Injil. Sehingga ketika orang yang menganiaya kita tetap melihat kita bersukacita bahkan masih memberitakan Injil, orang tersebut atas kemurahan-Nya akan bertobat dan kembali kepada Kristus. Hal ini sudah dialami oleh Paulus yang tetap memberitakan Injil kepada kepala penjara di Filipi meskipun dipenjara dan mengalami penderitaan (Kisah Para Rasul 16:19-40). Maukah kita meneladani Paulus dengan menjadi saksi Kristus bahkan di dalam penderitaan sekalipun ?

Setelah kita merenungkan keenam prinsip penderitaan Kristus yang menjadi pengharapan sekaligus teladan bagi kita yang menderita, biarlah kita menjadikan penderitaan Kristus bukan sekedar teori/rutinitas ketika kita memperingati Jumat Agung, tetapi penderitaan Kristus menjadi titik pusat kehidupan keKristenan kita dalam menapaki setiap penderitaan yang harus ditanggung karena mengikut Kristus. Soli Deo Gloria. Amin.

27 January 2008

Seri Pengajaran Calvinisme-5 : KETEKUNAN ORANG PERCAYA SEJATI

Seri Pengajaran Calvinisme-5
KETEKUNAN ORANG PERCAYA SEJATI
(Ulangan 32:10; Lukas 22:31-32; Yohanes 10:28-29)

oleh : Ev. Antonius Steven Un, S.Kom., M.Div.



Pendahuluan
Tema “Ketekunan Orang-Orang Kudus” merupakan tema terakhir atau kelima dari pokok kesimpulan doctrinal Sinode Dortrecht Belanda 1618-1619 yang dikenal dengan “Lima Pokok Calvinisme”. Doktrin ini secara sederhana menyatakan bahwa sekali orang Kristen diselamatkan, akan tetap selamat. Tetapi untuk menghindarkan dari kesalahan, John Murray menegaskan bahwa istilah “ketekunan” digunakan sebagai wujud bahwa orang Kristen harus bertekun di dalam iman mereka kepada Tuhan dan bukan berleha-leha dalam dosa setelah mendapatkan kepastian keselamatan.

Tuhan Yesus dengan jelas memberitahu bahwa sekalipun setan ingin menggoncangkan iman Petrus, imannya tidak akan gugur karena berada dalam pemeliharaan Tuhan. Tetapi doktrin ini didasarkan atas asumsi bahwa orang yang mendapatkan jaminan keselamatan adalah ia yang benar-benar percaya Tuhan Yesus, bukan yang hanya secara fenomenal saja berada dalam Kristus. (Bdk. 1 Yoh.2:19).

Banyak orang yang secara fenomenal kelihatan Kristen sebenarnya bukan orang percaya sejati. Itu sebabnya Anthony Hoekema menegaskan istilah “Ketekunan Orang Percaya Sejati”. Dari fenomena terluar adalah ia yang memiliki nama Alkitab seperti Daniel, Lukas dsb. Lalu, ia yang ber-KTP Kristen. Lebih dalam lagi, ia yang beraktivitas rohani Kristen seperti ibadah minggu, doa makan dst. Fenomena yang lebih masuk ke dalam lagi adalah ia yang terlibat dalam pelayanan Kristen. John Murray bahkan menegaskan ada orang yang kelihatan bertobat karena lebih dari semua itu, ia bahkan menangis dan “mau percaya Tuhan Yesus sungguh-sungguh”. Tetapi semua fenomena itu hanyalah fenomena luar. Orang yang kelihatan bertobat, mungkin pertobatannya hanyalah respon agamawi atau psikologis bukan hasil kelahiran kembali oleh Roh Kudus.

Orang yang belum benar-benar diselamatkan, tidak dapat dikatakan keselamatannya hilang karena ia belum pernah mempunyai keselamatan, bagaimana dikatakan itu hilang?


Mengapa Keselamatan Tidak Bisa Hilang?
Jika seseorang sudah benar-benar percaya Tuhan Yesus dan diselamatkan maka keselamatan itu tidak mungkin hilang/gugur. Mengapa? Pertama, karena keselamatan manusia adalah pilihan Allah yang merupakan isi hati Tuhan sejak kekekalan. Efesus 1:4 menyatakan bahwa Tuhan memilih manusia untuk kudus dan tak bercacat. Bagian Alkitab yang lain memberitahu bahwa kudus dan tak bercacat itu bisa terjadi nantinya di dalam surga. Berarti apa yang menjadi keinginan Tuhan untuk orang pilihan baru bisa tercapai nantinya di dalam surga. Lagipula, karena hal itu adalah isi hati Tuhan kekal sehingga Tuhan akan bagaimana “berusaha” sehingga isi hatinya bisa terkabulkan. Manusia saja kalau sudah mempunyai ketetapan hati, ia akan mati-matian berjuang hingga mencapai apa yang ia inginkan. Apalagi Tuhan, kalau ia ingin manusia pilihan itu kudus dan tak bercacat maka tidak bisa tidak, Tuhan akan mengerjakannya.

Kedua, karena Tuhan berjanji barangsiapa yang percaya kepada Tuhan Yesus akan beroleh keselamatan hidup yang kekal. Hal ini jelas dalam Yohanes 3:16; 6:47. Karena Allah adalah Allah yang tidak mungkin ingkar janji maka apa yang Ia janjikan pasti dipenuhiNya. Misalnya, ketika Tuhan berjanji kepada Yusuf, Musa, Yosua, Daud untuk menyertai mereka, Tuhan lakukan itu dengan setia, termasuk menyertai Yusuf masuk sumur, rumah Potifar dan penjara. Keselamatan tidak mungkin hilang karena Tuhan berjanji barang siapa percaya Tuhan Yesus pasti menerima hidup kekal.

Ketiga, karena Allah adalah Allah yang tidak berubah. Alkitab jelas menyatakan hal ini seperti dalam Maleakhi 3:6 dan Yakobus 1:17. Allah di dalam hakekat, janji, keputusan dan segala-galanya tidak mungkin berubah. Hal ini tidak berarti Allah mati, sebab yang mati juga tidak berubah/ bergerak. Allah bergerak aktif, ya aktif tetapi tidak berubah (immutability is not immobility). Karena itu, Roma 11:29 mengatakan bahwa Allah tidak menyesali panggilan dan kasih karuniaNya. Samuel juga pernah berkata bahwa Tuhan bukan manusia yang bisa menyesal. Tetapi di sisi lain, penyesalan juga terungkap dalam Kejadian 6 tatkala manusia sudah jatuh dalam dosa dan hidup penuh kejahatan. Penyesalan dalam kasus Kejadian 6, bukanlah ungkapan Allah berubah tetapi bahwa Allah sangat berduka. Tidak ada istilah yang lebih tajam menggambarkan dukacita Allah selain istilah penyesalan. Allah sangat berduka kala itu.

Keempat, karena tidak ada apapun yang sanggup merebut kita dari tangan Tuhan. Tuhan Yesus menyatakan dalam Yohanes 10:28 bahwa domba-dombaNya pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya karena tidak ada seorang pun yang “akan” merebut dari tanganNya. Di sini Tuhan Yesus menggunakan istilah “akan”, suatu ketidakmungkinan. Tetapi seolah-olah kurang, Ia menambahkan ayat 29, tidak ada seorang pun yang “dapat” merebut dari tangan Bapa karena Bapa lebih besar dari siapapun. Istilah “dapat” menggambarkan ketidakmampuan. Jadi, terdapat ketidakmungkinan dan ketidakmampuan siapapun untuk merebut kita dari tangan Allah. Karena itu, keselamatan tidak mungkin hilang.

Kelima, karena orang percaya sedang berada dalam proyek Roh Kudus untuk menjadikan kita serupa dengan Kristus. Inilah seluruh pekerjaan Roh Kudus yang disebut dalam doktrin keselamatan sebagai “Pengudusan”. Sehingga, makna kekudusan dan pertumbuhan rohani berarti semakin hari semakin serupa dengan Kristus. Karena itu, penderitaan dan kejatuhan dalam dosa bukannya menyebabkan keselamatan hilang, tetapi justru dipakai Roh Kudus membentuk kita serupa Kristus.

Sumber :
http://griimalang.page.tl/Home.htm



Profil Ev. Antonius S. Un :
Ev. Antonius Steven Un, S.Kom., M.Div. adalah gembala sidang Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Malang yang menyelesaikan studi Sarjana Komputer (S.Kom.) di Universitas Bina Nusantara Jakarta dan Master of Divinity (M.Div.) di Institut Reformed, Jakarta. Beliau aktif melayani dalam Gerakan Reformed Injili di berbagai kota seperti Jakarta, Surabaya, Denpasar, Kupang, Yogyakarta dll. Beliau juga aktif menulis di koran seperti Kompas Jawa Timur dan SINDO (Seputar Indonesia) Sore Jabotabek.

23 January 2008

Matius 8:18-21 : THE ATTITUDE OF THE TRUE FOLLOWER

The Attitude of the True Follower
oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 8:18-21
Kristus adalah Tuhan dan Guru yang Agung maka sudah sepatutnyalah kalau setiap orang mengikut dan menjadi murid-Nya dan Tuhan Yesus telah memberikan teladan indah bagaimana menjadi seorang murid sejati, the true follower. Kristus bukan sekedar berteori tetapi Dia menjalankan teori yang Ia ajarkan tersebut dalam kehidupan-Nya. Untuk menjadi seorang pengikut Kristus sejati, pertama-tama kita harus memahami terlebih dahulu akan esensi seorang murid sejati maka kita harus mengubah konsep berpikir atau paradigma yang salah dan kembali pada kebenaran, yaitu: Pertama, mengarahkan pandangan mata kita hanya kepada kehendak Tuhan. Pada umumnya, saat masalah datang, manusia selalu memandang ke bawah akibatnya kita selalu melihat dan merasakan kesulitannya saja sebab kita telah terjepit oleh kondisi. Berbeda halnya kalau kita memandang pada Tuhan maka percayalah, bersama Tuhan, segala kesulitan tersebut dapat kita lewati sebab kita tahu bahwa semuanya itu sudah menjadi kehendak Tuhan dan demi untuk kemuliaan nama-Nya. Kedua, menguji hati apakah kita mempunyai motivasi yang bersih. Orang lain tidak tahu apa motivasi kita sebab ada kemungkinan sepertinya kita mempunyai motivasi rohani namun sesungguhnya di balik motivasi yang “rohani“ itu ada motivasi duniawi yang mengikut di belakangnya. Sebagai contoh, banyak orang Kristen yang “katanya“ sedang melakukan pelayanan misi, yaitu memberitakan Injil ke daerah namun sesungguhnya motivasi mereka bukanlah mengabarkan Injil tapi rekreasi. Alkitab mengajarkan seorang murid sejati haruslah mempunyai motivasi murni, yaitu segala sesuatu yang kita kerjakan adalah untuk Tuhan bukan untuk manusia. Ketiga, mempersiapkan hati untuk segala kemungkinan yang terburuk yang mungkin terjadi, prepare for the worst. Kalau kita tidak mempunyai kesiapan hati maka saat kesulitan itu datang, kita akan pergi dan meninggalkan Tuhan. Mengikut yang dimaksud oleh Tuhan Yesus adalah mengikut yang selama-lamanya bukan sekedar mengikut ketika keadaan menyenangkan saja.Setelah kita memahami dan memiliki jiwa seorang murid dengan paradigma yang baru, pertanyaannya kini bagaimana hal itu termanifestasi dalam tindakan kita. Hati-hati, setiap tindakan kita merupan cerminan dari konsep berpikir atau paradigma kita, apakah kita mempunyai paradigma salah atau benar. Kalau Matius hanya mengambil dua contoh orang yang mengikut Kristus, yaitu ahli Taurat dan murid Kristus sendiri maka itu bukan berarti yang mau menjadi murid Kristus hanya dua orang itu saja. Tidak! Mengingat banyaknya mujizat yang Yesus lakukan maka hari itu pastilah banyak orang yang hendak mengikut Kristus namun baik Matius maupun Lukas tidak mencatat semua sebab memang, tujuannya bukan mencatat detail tetapi mereka ingin supaya pembaca melihat apa yang sedang terjadi dan bagaimana mengerti ada apa dibalik kejadian tersebut. Alkitab tidak mencatat apakah si ahli Taurat ini bertobat dan mengikut ataukah meninggalkan Tuhan Yesus dan Alkitab juga tidak mencatat apakah si murid ini mengerti akan penjelasan Yesus dan kemudian memutuskan untuk mengikut Yesus dengan sungguh-sungguh atau meninggalkan Yesus. Kenapa Alkitab tidak mencatat? Beberapa penafsir beragumen kita tidak perlu mencari kenapa sebab memang bukan tentang kenapa tetapi Matius ingin mengajak pembaca masuk ke dalam pilihan sikap. Tuhan Yesus tidak menunjukkan sikap senang ketika ada seorang ahli Taurat yang hendak berniat menjadi murid-Nya. Tidak! Tuhan Yesus justru memberikan pilihan yang menuntut suatu keputusan, yakni serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya (Mat. 8:20). Keputusan setiap orang pastilah tidak sama bahkan orang Kristen yang mendengar kalimat inipun belum tentu menghasilkan reaksi yang sama. Sebagian orang mungkin memutuskan untuk ikut namun sebagian orang mungkin memutuskan tidak mau mengikut Yesus. Jadi, kalimat ini kembali kepada pribadi setiap kita, bagaimana paradigma yang benar yang Tuhan Yesus sudah teladankan tersebut terimplikasi pada setiap kita. Bagaimana menjadi seorang pengikut Kristus sejati? Ada tiga aspek yang perlu kita perhatikan: 1. Total ServiceSebagai hasil dari paradigma yang diubahkan maka pengikut Tuhan Yesus haruslah mempunyai sikap pelayanan yang sepenuh hati, total service. Hal inipun sangatlah disadari oleh dunia khususnya dalam dunia kerja, dengan segala cara perusahaan akan mengusahakan supaya pekerjanya berjiwa loyal pada perusaahaan dengan demikian perusahaan yang diuntungkan. Bahkan beberapa perusahaan tertentu menggunakan prinsip meditasi new age untuk memotivasi para pekerjanya. Dunia melihat secara pragmatis, untuk sesaat memang kelihatan hebat namun dunia tidak memahami bahwa pertumbuhan yang cepat tanpa pondasi yang kuat berakibat kehancuran. Dunia tahu pentingnya total service namun ironisnya orang Kristen tidak tahu bagaimana melayani Tuhan dengan total service. Tuhan Yesus sudah membukakan realita bahwa mengikut Dia menuntut suatu total comitment, jangan mengharapkan keuntungan dari Kristus. Mengikut Kristus berarti kita turut melakukan pekerjaan dahsyat dan mulia karena itu, Kristus menuntut sikap pelayanan yang sepenuh hati.Semangat materialisme telah mencengkeram pikiran kita, maka sesungguhnya, orang bukan total komitmen pada perusahaan tapi pada uang akibatnya kalau ada perusahaan lain yang memberikan tawaran lebih besar maka ia akan pindah ke perusahaan lain. Begitu juga dengan pelayanan kita, banyak orang yang giat dan semangat melayani tapi sesungguhnya komitmen hidupnya diserahkan pada mamon. Seluruh hidupnya diserahkan pada uang. Betapa celakanya, manusia yang hidupnya dibelenggu dengan setan. Pertanyaannya ketika Tuhan Yesus mengatakan serigala punya liang, burung punya sarang tetapi Anak Manusia tidak punya tempat untuk meletakkan kepala-Nya, apakah itu berarti Tuhan Yesus sengaja mau membuat orang-orang yang mengikut Dia menjadi orang-orang yang papah? Apakah Tuhan Yesus tidak menghargai mereka, yaitu orang-orang yang telah melayani sesuai dengan apa mereka kerjakan? Tidak! Tuhan Yesus adalah Tuhan yang adil, Tuhan Yesus tahu bagaimana memberikan penghargaan. Uang yang diiming-imingi di depan itulah yang memacu manusia untuk maju seperti halnya anjing pacuan, greyhorne , bukankah anjing pacuan juga dipancing dengan makanan di depannya dengan demikian ia akan terus berpacu tapi sampai akhir toh ia tidak akan pernah mendapatkan apapun. Kristus telah menebus kita dari dosa dengan darah-Nya ketika kita masih berdosa. Kristus telah memberikan penghargaan pada kita terlebih dahulu; Dia mengangkat kita dari lumpur dosa dan memberikan keselamatan pada kita. Orang kristen sejati seharusnya menyadari dan berespon dengan tepat akan anugerah Tuhan ini. Tuhan sudah berikan diri-Nya menjadi tebusan dan harganya sangat mahal. Hal ini seharusnya menjadikan kita gemetar ketika kita melayani; bagaimana kita melakukan yang terbaik untuk Tuhan sebab kita telah mendapat keselamatan. Orang yang mengerti anugerah seharusnya mengerjakan setiap tugas pelayanan yang Tuhan beri dengan sepenuh hati namun sangatlah disayangkan, banyak orang justru mempermainkan anugerah. Puji Tuhan, kalau Dia telah berkenan menebus kita dari dosa, menyelamatkan kita dari kematian kekal dan menjadikan kita sebagai anak-Nya maka hendaklah hal itu menyadarkan kita bahwa darah Kristus sangatlah mahal, kita tidak akan mampu membayarnya, kita hanya dapat melayani Dia dengan sepenuh hati. 2. Single AuthorityKalimat Tuhan Yesus yang berkata: “Ikutlah Aku dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka“ ini berarti bahwa menjadi pengikut Kristus berarti tidak boleh mengikut yang lain. Kata “mengikut“ dari bhs. Yunani, eltheim yang berarti mengikut selama-lamanya dan itu menjadi keputusan tunggal. Seorang yang telah diubahkan paradigmanya maka hatinya selalu terarah pada Kristus. Mengikut Kristus berarti kembalinya kita pada otoritas tunggal, yaitu Kristus sebagai pemegang otoritas tertinggi. Namun, manusia tidak suka kalau ada kuasa lain yang lebih tinggi dan berkuasa atas dirinya. Seiring dengan berkembangnya dunia maka konsep berpikir manusia pun juga mengalami pengembangan namun bersifat negatif sebab telah terdistorsi oleh berbagai macam pikiran filsafat. Akibatnya, manusia menjadi paranoid, orang akan sukar percaya pada orang lain sebab manusia takut ditipu. Bahkan orang yang mengaku dirinya mempunyai rasa percaya diri pun sesungguhnya tidaklah demikian. Pertanyaannya sekarang apakah diri sendiri bisa dipercaya? Tidak! Sebab diri sendiri pun sedang mencari-cari rasa percaya itu. Sebagai contoh, ketika diri meyakini sesuatu sebagai kebenaran pertanyaannya apakah sesuatu itu merupakan kebenaran sejati sehingga keyakinan kita tidak akan salah? Sayangnya, itu bukanlah kebenaran sejati karena selama kita belum tahu salah maka hal tersebut dianggap sebagai kebenaran. Bayangkan, kalau setiap hal yang ia yakini ternyata kedapatan salah maka orang menjadi skeptis, akibatnya segala sesuatu yang ia anggap benar itulah kebenaran. Sikap skeptis ini meluas hingga ke seluruh dunia, dunia menjadi anti kepercayaan dan anti otoritas. Ketika manusia sudah sampai pada titik puncak skeptik maka saat berhadapan dengan Tuhan, maka Tuhan pun tidak ia percaya lagi. Bersama-sama dengan Frederich Engels, Karl Max membuat manifesto komunisme dan mencetuskan ekonomi kapitalisme namun dunia akhirnya sadar kalau paham komunisme justru tidak membuat orang menjadi kaya bersama-sama tetapi sebaliknya orang menjadi miskin bersama. Orang menjadi kecewa ironisnya kekecewaan tersebut ditumpahkan pada Tuhan. Hati-hati ketika orang berpikir, dirinya mampu maka itu menjadi titik kehancurannya. Hendaklah kita sadar bahwa kita harus kembali kepada Tuhan sebagai single authority yang mengontrol hidup kita sebab tidak ada siapapun atau apapun di dunia ini yang dapat memimpin dan mengarahkan hidup kita. Hal ini seharusnya menyadarkan kita, kita tidak perlu kuatir dan cemas akan hidup kita. Biarlah orang-orang “mati“ (arti: mati rohani) menguburkan orang-orang mati (mati jasmani) mereka. Ketika kita tahu apa yang menjadi prioritas hidup maka biarlah kita menjadi orang hidup yang hidup dalam pemikiran kita dan otoritas kita sehingga semua tindakan kita menjadi hidup. Dimanakah kita bisa mempunyai dinamika dan kehidupan seperti demikian? Jawabannya hanya satu, yaitu kalau kita hidup di dalam Kristus. Mengikut Kristus membutuhkan kesadaran bukan fanatisme tetapi ketaatan karena kita tahu siapa Kristus yang kita ikuti tersebut, yaitu Kristus yang telah menebus dan membayar kita dengan harga yang mahal, yaitu dengan darah-Nya dan itu telah lunas di bayar.3. Kerelaan Hati Yesus berkata, “Biarlah orang mati menguburkan orang-orang mati.“ Kalimat ini langsung memilah menjadi dua posisi dan menuntut keputusan dari kita, yaitu mengikut atau menolak. Hanya ada dua pilihan, tidak ada pilihan ketiga. Serigala punya liang, burung punya sarang, Anak Manusia tidak punya tempat untuk meletakkan kepala-Nya. Kalau kita termasuk sebagai orang yang “hidup“ maka kita harus mengikut pada yang Kristus yang hidup, biarlah orang mati menguburkan orang yang mati. Kita dihadapkan pada pilihan, mau posisi yang hidup atau posisi yang mati? Ingat, kalau kita memilih mengikut pada “yang hidup“ maka ia akan membawa pada kehidupan, kalau kita memilih mengikut pada “yang mati“ maka ia akan membawa kita pada kematian. Sebab kedua hal ini terletak pada dua kutub yang berbeda sehingga terjadi kesenjangan yang saling tarik menarik maka hati-hati, dengan demikian kita tidak salah memilih. Namun bukan berarti antara hidup dan mati tidak saling berhubungan. Tuhan juga tidak mengajarkan anak-anak-Nya supaya hidup secara eksklusif, yaitu hanya hidup dengan sesama orang Kristen saja. Tidak! Tuhan justru memberikan amanat Agung supaya kita pergi mengabarkan Injil ke seluruh bangsa. Tuhan ingin anak-anak-Nya mempunyai paradigma hidup yang diubahkan namun hal itu bukan berarti seorang anak Tuhan harus hidup terasing di dunia. Tidak! Tuhan justru menempatkan anak-anak-Nya di tengah-tengah kawanan serigala tapi ia haruslah tetap menjadi seekor domba dengan demikian ia menjadi terang dunia. Bagaimana anak Tuhan harus menjadi orang yang hidup di tengah-tengah orang mati tanpa kita diseret ke dalam kehidupan kematian. Inilah gambaran Kekristenan tentang discipleship of Christ. Sebagai murid Kristus yang sejati maka sikap murid seperti yang Tuhan Yesus teladankan itu harus terimplikasi dalam hidup kita sehari-hari dengan demikian hidup kita menjadi berkat bagi orang lain; orang disadarkan akan dosa dan bertobat. Biarlah sebagai murid Kristus sejati hendaklah kita mempunyai jiwa servanthood, pelayanan yang total, dan menyerahkan hidup kita sepenuhnya pada otoritas Kristus yang tunggal serta kerelaan untuk hidup dalam situasi yang bersifat kontras di tengah dunia. Amin. ? (Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)


Sumber :
http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2005/20050206.htm

Roma 5:3-5 : PENDERITAAN YANG BERHARGA-1

Seri Eksposisi Surat Roma :
Hasil Pembenaran Melalui Iman-2


Penderitaan yang Berharga-1

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 5:3-5.

Setelah Paulus menjelaskan bahwa efek/akibat dari pembenaran itu yaitu damai sejahtera (Roma 5:1-2), maka ia melanjutkan hasil dari pembenaran yang kedua yaitu kesengsaraan (Roma 5:3-5). Ini mengingatkan kita bahwa setelah kita dibenarkan melalui iman, kita tetap harus menderita aniaya oleh karena nama-Nya (Matius 16:24).

Pada pasal 5 ayat 3, Paulus mengatakan, “Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan,” Di ayat ini, kata “Dan bukan hanya itu saja.” menunjukkan bahwa selain menerima damai sejahtera dari Allah, kita yang sudah dibenarkan melalui iman juga menerima hal yang lain, yaitu penderitaan/kesengsaraan. Kalau kita melihat kembali konteks penulisan surat Roma, di mana jemaat-jemaat Kristen menerima penganiayaan dari kekaisaran Romawi yaitu barangsiapa yang berani menyebut Tuhan kepada pribadi selain Kaisar harus dihukum mati. Dalam konteks inilah, Paulus menghibur jemaat Roma agar mereka juga bermegah di dalam kesengsaraan selain menerima damai sejahtera dari/dengan Allah setelah dibenarkan melalui iman. Kata “kesengsaraan” dalam bahasa Yunani thlipsis berarti pressure (=tekanan) atau bisa berarti persecution, tribulation, trouble, etc (=penganiayaan, penderitaan, masalah, dll). Lalu, kata “bermegah” dalam bahasa Yunani kauchaomai bisa berarti rejoice (=bersukacita). Ini adalah suatu paradoks yang diajarkan Paulus. Banyak pemimpin gereja saat ini menipu jemaatnya yang lagi menderita dengan mengatakan bahwa kalau mereka “percaya”, semua penderitaan pasti sirna/hilang. Tidak seperti para pemimpin gereja palsu tersebut, Paulus menghibur jemaat Roma bukan dengan meniadakan realita, tetapi memaparkan realita dari perspektif kedaulatan Allah. Apakah itu ? Paulus mengajar bahwa di dalam penderitaan, jemaat Roma harus bersukacita. Apa yang Paulus ajarkan sama seperti yang Kristus ajarkan di dalam khotbah di bukit, “Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” (Matius 5:10) Kata “berbahagialah” dalam bahasa asli (Yunani)nya lebih tepat diterjemahkan blessed (=diberkatilah) atau fortunate (=keberuntungan). Ketika menghadapi penderitaan, orang dunia seringkali kalah di dalamnya atau bahkan bersungut-sungut, tetapi keKristenan mengajarkan bahwa justru di dalam penderitaan, kita harus bersukacita/berbahagia, mengapa ? Dari ajaran Kristus sendiri, penderitaan itu dilakukan asalkan demi Kebenaran/memberitakan Kebenaran, maka penderitaan itu baru dikatakan berbahagia/diberkati/beruntung. Hal ini sudah dibuktikan oleh para rasul sendiri (Kisah 5:41) dan diajarkan oleh Petrus (1 Petrus 4:13). Kedua, di dalam penderitaan, kita harus bersukacita, karena berdasarkan ajaran Paulus (Roma 5:3), penderitaan/kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan (prinsip pertama). Kata “ketekunan” dalam bahasa Yunani hupomonē berarti cheerful (or hopeful) endurance, constancy: - enduring, patience, patient continuance (waiting) (=kesabaran/ketahanan yang gembira/berharap ; keteguhan/kesetiaan/kepatuhan : tahan, sabar, sabar yang berkelanjutan (proses menunggu)). Penderitaan yang menghasilkan ketekunan juga diajarkan oleh Yakobus di dalam Yakobus 1:3, “...ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan.” Di sini, Yakobus melihat penderitaan sebagai ujian terhadap iman orang percaya. Apa artinya ketekunan sebagai hasil dari penderitaan/kesengsaraan ? Bukankah justru orang-orang dunia di dalam penderitaan seringkali mengeluh dan ingin segera mengakhirinya dengan berbagai cara, misalnya bunuh diri ? Di sini, ada pengharapan bagi orang-orang percaya (anak-anak Allah). Anak-anak Allah memang harus menghadapi penderitaan, ancaman, fitnahan, dll (Matius 16:24 ; Yohanes 16:1-2), tetapi kita percaya di dalam Allah yang setia yang akan memberikan kekuatan kepada kita sehingga kita mampu menang di dalam setiap penderitaan/kesengsaraan. Apa artinya kemenangan di dalam penderitaan ? Apakah ini berarti kita meniadakan realita penderitaan ? TIDAK ! Justru, kemenangan ini adalah kemenangan yang tahan/sabar dan tekun melihat Allah sebagai Sumber Kebenaran. Hal ini juga diungkapkan oleh Matthew Henry di dalam tafsirannya Matthew Henry’s Commentary on the Whole Bible, “Tribulation worketh patience, not in and of itself, but the powerful grace of God working in and with the tribulation… patience, as parts and gifts increase by exercise.” (=penderitaan/penganiayaan menghasilkan ketekunan/ketabahan, bukan di dalam atau dari penderitaan itu sendiri, tetapi dari anugerah Allah yang berkuasa yang bekerja di dalam dan dengan penderitaan itu... ketekunan/ketabahan/kesabaran, sebagai bagian dan karunia ditingkatkan melalui latihan.) Di sini, kita mendapatkan pengajaran yang bagus dari Matthew Henry, yaitu anugerah Allah bukan hanya kelihatan positif, tetapi juga mungkin kelihatan negatif tetapi bermotivasi dan bertujuan positif. Apa wujud anugerah Allah yang seolah-olah kelihatan negatif ? Yaitu memakai penderitaan untuk melatih ketekunan/keteguhan umat pilihan-Nya. Iman yang tidak diuji adalah iman yang tidak ada artinya, karena iman justru nampak ketika iman itu bukan berharap kepada sesuatu yang kelihatan ketika menghadapi penderitaan, tetapi berharap dan berserah total kepada sesuatu yang tidak kelihatan, yaitu Tuhan. Sama seperti Abraham yang diuji oleh Allah dengan mengorbankan Ishak, dan ia tetap taat karena ia beriman di dalam Allah yang setia, maka kita pun harus meneladani iman Abraham untuk berani berkorban dan siap menghadapi ujian Allah dalam bentuk penderitaan, dll, karena kita percaya di dalam Allah yang setia akan janji-Nya. Oleh karena itu, kita harus sabar/tabah di dalam menghadapi penganiayaan. Artinya, kita tidak boleh gegabah, marah-marah, bersungut-sungut, dll, sebaliknya kita sabar dan terus menunggu dan berharap pada janji Allah.

Lalu, Paulus melanjutkan pengajarannya, “dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan.” (ayat 4). King James Version (KJV) menerjemahkan, “And patience, experience; and experience, hope:” Kata “tahan uji” di dalam KJV adalah experience, yang dalam bahasa Yunani dokimē berarti test (abstractly or concretely); by implication trustiness: - experience (-riment), proof, trial (=ujian {secara abstrak atau konkrit} ; secara implikasi :dapat dipercaya, pengalaman, pembuktian/sanggup/tahan, percobaan). Dengan kata lain, setelah penderitaan menghasilkan ketekunan, maka ketekunan menghasilkan tahan uji/pengalaman. Apa artinya ? Artinya, ketekunan/ketabahan kita di dalam penderitaan membuktikan bahwa kita bukan orang “Kristen” murahan yang asal-asalan menjadi Kristen atau menjadi Kristen dengan motivasi yang tidak beres. Dengan baik sekali, Albert Barnes di dalam tafsirannya Albert Barnes’ Notes on the Bible memaparkan, “that thorough examination by which we ascertain the quality or nature of a thing, as when we test a metal by fire, or in any other way, to ascertain that it is genuine. It also means approbations, or the result of such a trial; the being approved, and accepted as the effect of a trying process.” Albert Barnes memaparkan bahwa penderitaan yang menghasilkan ketekunan membuahkan adanya proses tahan uji. Seperti yang telah saya paparkan di atas, iman yang tak diuji adalah iman yang palsu/sia-sia, maka ketika menghadapi ujian dari Allah, kita harus bersukacita, tetap teguh, setia, dll, karena itu semua membuktikan bahwa kita adalah orang-orang Kristen sejati. Orang Kristen yang tidak menderita bukan orang Kristen yang imannya beres. Justru, orang Kristen yang beriman beres pasti akan mengalami banyak penderitaan/kesengsaraan, entah itu fitnahan, hujatan, dll, karena ia memiliki iman yang teguh dan tak tergoyahkan. Sedangkan, orang “Kristen” yang beriman tidak beres, mudah berkompromi adalah sahabat bagi dunia, tetapi musuh Allah. Justru, kalau kita yang beriman beres dan mengalami penganiayaan/kesengsaraan, itu mengakibatkan pada kesempatan lain di dalam penderitaan, kita juga mampu menghadapinya. Jadi, tahan uji berarti siap menghadapi segala penderitaan/resiko lain karena ia telah berhasil mengalahkan satu masalah/penderitaan, seperti emas yang terus dibakar oleh api tidak membuat emas itu melebur, justru membuat emas itu menjadi makin teruji kesejatian/keasliannya. Hal ini juga diajarkan oleh Yakobus di dalam Yakobus 1:4, “Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun.” “Tahan uji” di dalam pengajaran Paulus identik dengan kata “buah yang matang” (terjemahan KJV : perfect work = karya/kerja yang lengkap/sempurna) di dalam pengajaran Yakobus. Dengan kata lain, tahan uji di dalam pengertian kedua adalah tahan uji yang berkaitan dengan proses pemurnian menuju kesempurnaan. Theologia Reformed mengajarkan paradoksikal di dalam keKristenan, yaitu kita sudah diselamatkan di dalam karya penebusan Kristus, tetapi sekaligus belum diselamatkan, karena keselamatan sempurna hanya di dalam Surga. Oleh karena itu, kita di dalam dunia sedang mengalami proses pemurnian (pengudusan) terus-menerus (tanpa henti) menuju kesempurnaan, sehingga kita nantinya akan menyerupai gambar Kakak Sulung kita yaitu Tuhan Yesus Kristus. Di dalam proses pemurnian, Allah tidak meniadakan realita penganiayaan, tetapi Ia justru memakai penderitaan/kesengsaraan untuk menguji dan memurnikan iman kita sehingga kita semakin lama semakin bertumbuh di dalam kedewasaan iman. Iman yang teruji adalah bukti kedewasaan iman. Sedangkan orang “Kristen” yang selalu bersungut-sungut di dalam penderitaan sama sekali tidak membuktikan orang “Kristen” tersebut adalah orang yang sudah dewasa imannya, melainkan membuktikan orang yang imannya masih kanak-kanak (childish faith). Di dalam hal ini, kita dapat belajar dari pengalaman Pdt. Dr. Stephen Tong tentang pengalaman penderitaan. Beliau sejak umur 3 tahun sudah ditinggal oleh ayahnya dan hidupnya dibiayai oleh ibunya. Pada usia belasan tahun, beliau harus mengajar filsafat sambil belajar. Mungkin orang-orang “Kristen” kontemporer yang pro dengan “theologia” kemakmuran akan memandang hidup yang menderita ini adalah kutukan dari Tuhan. Ini adalah ajaran yang sama sekali tidak bertanggungjawab. Tetapi kita melihat justru di dalam hidup yang menderita mengakibatkan orang-orang ini menjadi orang yang kuat, tegar, setia, taat, jujur, dll, sehingga ketika ia harus melalui penderitaan yang berat di kemudian hari, ia tetap kuat dan sanggup melewatinya. Hal inilah yang terus diteladankan dari hamba-Nya yang setia, Pdt. Dr. Stephen Tong. Dari keluarga yang miskin, Pdt. Dr. Stephen Tong lahir, tetapi jika Anda melihat semangat pelayanan Pdt. Dr. Stephen Tong yang teguh, tanpa kompromi, dll, Anda akan terkagum-kagum. Mengapa bisa seperti ini ? Karena beliau dari kecil sudah dilatih menerima segala bentuk penderitaan. Mungkin kita yang sudah hidup di dalam zaman yang begitu enak, kita tak memiliki pengalaman seperti Pdt. Dr. Stephen Tong, tetapi setiap kita sebagai anak-anak Tuhan mau tidak mau harus mengalami penderitaan dan biarlah penderitaan/resiko tersebut menjadi alat Tuhan untuk menguji dan mendewasakan iman kita makin serupa dengan Kristus.
Dan, prinsip ketiga, tahan uji tersebut menimbulkan pengharapan. Kata “pengharapan” dalam bahasa Yunani elpis bisa berarti expectation, confidence : faith, hope (=pengharapan, keyakinan : iman, pengharapan). Beberapa tafsiran Alkitab yang saya baca, bagian ini membicarakan hasil dari penderitaan yaitu pengharapan atau iman yang teguh. Dengan kata lain, penderitaan yang telah membuat seseorang tahan uji/siap menghadapi penderitaan dalam wujud lain mengakibatkan orang tersebut semakin berharap bukan kepada manusia, tetapi kepada Allah. Di dalam penderitaan, Allah kita adalah Allah yang setia yang memberikan kekuatan kepada kita. Dan ingatlah, “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” (1 Korintus 10:13).

Mengapa kita memiliki pengharapan seperti itu ? Jawabannya ada di dalam ayat 5, “Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.” Kita bisa memiliki pengharapan kepada Allah di dalam penderitaan, karena ada dua alasan yang dipaparkan Paulus : pertama, kasih Allah. Penganiayaan, fitnahan, kesengsaraan, dan segala bentuknya bukan wujud kebencian Allah atau kutukan Allah, seperti yang diajarkan oleh banyak gereja “Kristen” kontemporer yang pro dengan “theologia” kemakmuran ! Segala bentuk penderitaan justru membuktikan Allah itu mengasihi umat-Nya sehingga Ia ingin mendewasakan imannya. Jemaat mula-mula adalah saksi matanya. Mereka sungguh-sungguh beriman di dalam Kristus, sehingga untuk itu, mereka harus menderita menjadi santapan bagi singa yang lapar, dibakar hidup-hidup, dll. Bapa-bapa gereja yang agung juga mengalami hal yang sama. Dr. Martin Luther, seorang reformator gereja juga mengalami penderitaan yaitu dibuang dari gereja Katolik karena dianggap membangkang, padahal ia ingin menegakkan iman Kristen sejati di atas dasar Alkitab. Bahkan kaum Puritan (Calvinis) di suatu negara yang mayoritas Katolik harus mengungsi ke negara lain karena mereka dikucilkan dan dibuang. Semua gereja/orang Kristen yang sungguh-sungguh mengajar Firman dan Kebenaran pasti dibuang dan diasingkan dari dunia ini, karena sejujurnya, “tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng.” (2 Timotius 4:3-4). Siapakah orang-orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat tersebut ? Paulus menjelaskannya di dalam suratnya yang lain di dalam 2 Korintus 4:4, “orang-orang yang tidak percaya, yang pikirannya telah dibutakan oleh ilah zaman ini, sehingga mereka tidak melihat cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus, yang adalah gambaran Allah.” Kasih Allah lah yang memungkinkan para duta/utusan Kebenaran ini mampu dan sanggup menghadapi berbagai macam penganiayaan fisik maupun mental.
Kedua, penghiburan dan pimpinan Roh Kudus. Selain kasih dan pemeliharaan Allah, kita dapat sanggup menghadapi berbagai penderitaan, karena ada penghiburan dan pimpinan Roh Kudus. Roh Kudus bukan membuat orang menjadi tidak sadarkan diri, itu bukan ajaran Alkitab ! Roh Kudus membuat orang yang dipimpin-Nya sadar, taat, patuh bukan kepada diri-Nya, tetapi kepada perintah Kristus. Di dalam Kisah Para Rasul 16:9, Roh Kudus mencerahkan Paulus melalui sebuah mimpi agar ia memberitakan Injil ke daerah Makedonia. Tetapi uniknya, di daerah ini, tepatnya di kota Filipi, dr. Lukas mencatat bahwa Paulus dan Silas difitnah dan dipenjarakan (Kisah 16:19-34). Kalau kita melihat sekilas, maka kita mungkin bertanya, masa mungkin Roh Kudus memimpin hamba-Nya mengalami penderitaan ? Mungkin itu juga yang dicetuskan oleh para penganut “theologia” kemakmuran. Tetapi di sini, Alkitab sendiri memberitakan bahwa Roh Kudus memimpin umat/hamba-Nya mengalami penderitaan. Lalu, apa tujuannya ? Meskipun seolah-olah kelihatan negatif, tetapi Allah menunjukkan bahwa tujuannya adalah baik. Kalau kita kembali kepada kisah tadi, meskipun Paulus dan Silas dipenjara, tetapi Paulus dapat memberitakan Injil kepada kepala penjara tersebut setelah terjadi gempa bumi yang hebat membuka semua pintu penjara tetapi semua narapidana tersebut tidak melarikan diri (Kisah Para Rasul 16:26-33). Kalau kita melihat pimpinan Tuhan hanya selalu positif, maka kita tidak dapat memahami pimpinan-Nya dan kehendak-Nya. Belajarlah untuk mengalami dan mengenali kehendak dan pimpinan-Nya melalui Roh Kudus. Lalu, percayalah bahwa pimpinan-Nya selalu baik bagi kita menurut kehendak-Nya meskipun seolah-olah pimpinan Roh Kudus selalu kelihatan negatif.

Setelah kita merenungkan ketiga ayat ini, maukah kita saat ini hidup sungguh-sungguh beriman di dalam Kristus meskipun harus menanggung aniaya yang seolah-olah membuat kita menderita ? Maukah di dalam penderitaan tersebut kita semakin berharap kepada janji-janji dan kehendak Allah yang ingin mendewasakan iman kita ? Bertobatlah dan kembali kepada ajaran Alkitab yang bertanggungjawab. Amin. Soli Deo Gloria...