25 August 2007

Matius 4:1-11 : THE WAY OF THE DEVIL

Ringkasan Khotbah : 11 Juli 2004
The Way of the Devil
oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 4:1-11



Orang Kristen hendaklah sadar dan berjaga-jaga karena lawanmu, si iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya (I Ptr. 5:8). Tuhan sudah menyiapkan peralatan yang cukup bagi kita untuk melawan si iblis, yaitu Firman. Namun, sangatlah disayangkan manusia merasa kurang dengan senjata perang yang telah disediakan Tuhan; manusia merasa diri mampu melawan iblis dengan kekuatannya sendiri. Akibatnya manusia jatuh ke dalam jebakan iblis, tanpa kita sadari cara berpikir, sikap hidup dan tindakan kita sehari-hari justru lebih mirip dengan cara iblis, the way of the devil. Calvin menegaskan bahwa kerusakan total, total depravity inilah yang menjadi penyebab rusaknya tatanan dunia dan hal ini ditegaskan kembali oleh para teolog dalam sinode Dort.

Karena perbuatan dosa yang dilakukan Adam, manusia pertama, yang merupakan perwalian (representative) dari seluruh umat manusia di dunia maka kita pun ikut berdosa. Dosa menyebabkan manusia jauh dari Tuhan bahkan segala perbuatan baik tidak dilakukan dengan tulus melainkan hanya demi untuk keuntungan diri sendiri. Dan sifat dosa ini diturunkan pada manusia maka tidaklah heran kalau seorang anak kecil lebih mudah melakukan perbuatan dosa tanpa ada yang mengajarinya. Manusia tidak dapat hidup serupa dengan gambar dan rupa Allah. Puji Tuhan, Kristus datang sebagai Adam kedua yang di dalam-Nya kita beroleh segala berkat sorgawi; di dalam Kristus kita menjadi anak Allah dan beroleh pembenaran hidup, di dalam Kristus pula kita menerima segala janji dan kekayaan karunia. Dan hal ini sangat dipahami iblis, oleh sebab itu, dengan segala cara iblis mencobai Tuhan Yesus supaya jatuh dalam dosa dengan demikian tidak ada satu pun manusia dapat diselamatkan.
Bukan hal yang mudah merombak tatanan dunia yang sudah rusak total. Kita harus bersandar mutlak dan taat pada pimpinan Tuhan, jangan mengandalkan kekuatan sendiri karena cara Tuhan berbeda dengan cara iblis. Hati-hati dengan mereka yang mengaku diri anak Tuhan padahal sesungguhnya anak iblis karena tidak semua orang yang mengaku diri Kristen pasti beriman pada Kristus dan percaya pada Alkitab sebagai prinsip dasar iman. Hendaklah kita mengevaluasi diri kita masing-masing apakah setiap tindakan dan sikap hidup kita telah memancarkan kasih dan keadilan Kristus ataukah kita justru lebih mirip dengan cara iblis. Karena itu kita harus waspada dengan segala tipu muslihat iblis, yaitu:
I. Menggeser Prioritas Hidup
Tuhan Yesus berpuasa 40 hari 40 malam adalah demi untuk menggenapkan misi Kerajaan Allah - membangun spiritualitas dan kualitas pelayanan. Iblis mau mencoba menggeser prioritas utama Tuhan Yesus dari tujuan agung, yaitu melakukan kehendak Bapa ke hal yang bersifat materi, yaitu mengubah batu menjadi roti. Dan sifat humanis materialis ini telah merasuki dunia, orang tidak sadar kalau mereka telah masuk dalam jebakan iblis. Banyak orang tua salah mendidik anaknya, sebagai contoh: orang tua tidak suka kalau anaknya aktif melayani Tuhan karena mereka berpendapat bahwa pelayanan tidak dapat menghasilkan uang padahal di sisi lain mereka menyadari bahwa dekat pada Tuhan justru membuat hidup si anak menjadi lebih baik.

Semakin kaya dan semakin tinggi kedudukan seseorang maka dunia akan menilai orang tersebut sukses. Bukankah hal ini menjadi prioritas utama si iblis. Bagaimana dengan kita? Saat kita sedang beribadah dan melayani apa yang menjadi prioritas utama kita? Untuk Tuhan ataukah sekedar memenuhi kebutuhan “perut“? Kebutuhan akan makanan selalu menjadi prioritas utama manusia, first think first. Hal ini pun ditegaskan oleh Abraham Maslow bahwa kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan makanan. Iblis tahu akan hal ini, itulah sebabnya iblis menantang Yesus supaya mengubah batu menjadi roti, yaitu untuk memenuhi kebutuhan “perut“. Celakalah, kalau prioritas hidup kita hanya untuk “perut“ saja; lalu apa bedanya kita dengan binatang? Bukankah binatang hidup hanya untk makan? Iblis telah menggeser prioritas hidup manusia yang kepadanya diberikan “nafas hidup“ - makhluk yang paling mulia di antara semua ciptaan menjadi makhluk yang rendah, yakni binatang berkaki dua. Ingat, kenikmatan yang diberikan iblis hanya sementara dan berakhir pada kebinasaan kekal. Ironisnya, manusia tidak sadar kalau telah masuk dalam jebakan iblis. Spiritualitas sejati akan menjaga kita dari kerusakan moral dunia dan menyadarkan kita bahwa hidup bukan hanya dari roti saja tetapi dari setiap Firman yang keluar dari mulut Allah.

Sangatlah disayangkan, kalau manusia justru lebih memilih “roti“ yang bersifat sementara daripada Firman Hidup yang bersifat kekal. Betapa bodohnya manusia, demi untuk kenikmatan sementara justru mengorbankan Tuhan, orang lebih memilih pekerjaan daripada pelayanan. Sebagai anak Tuhan, biarlah Firman yang hidup itu menjadi prioritas hidup kita yang utama; apapun yang kita lakukan adalah demi untuk kemuliaan-Nya. Apakah Firman Tuhan sudah menguasai hidupmu? waspadalah, jangan tertipu oleh godaan iblis yang memang ingin supaya kita jatuh ke dalam dosa dan jauh dari Tuhan.


II. Menggeser Orientasi Hidup
Prioritas kita akan menentukan seluruh orientasi hidup kalau kita ada di dalam Kristus maka seluruh prioritas pasti berorientasi pada Kristus, yaitu untuk menjadi semakin serupa Dia. Kerohanian sejati akan mengontrol semua aspek kejasmanian kita. Hidup Kristus berorientasi pada hal yang spiritual, Ia berpuasa membuktikan bahwa Ia taat pada Bapa-Nya. Tuhan Yesus tidak mengatakan bahwa hidup manusia hanya Firman saja dan tidak perlu roti. Tidak! Manusia hidup bukan hanya dari roti saja tetapi dari setiap Firman yang keluar dari mulut Allah, berarti selain roti manusia juga perlu Firman dan yang terutama adalah Firman. Kalau orientasi hidup kita hanya pada Tuhan bukan berarti kita menjadi sok rohani tetapi justru akan mendatangkan kebaikan - mewarnai semua aspek dalam hidup kita dan kita juga tidak mudah tergoda oleh rayuan iblis.

Jangan pernah berpikir bahwa orang yang mempunyai intelegensi tinggi tidak akan dapat tertipu. Salah! Justru orang yang demikian yang paling mudah masuk dalam jebakan karena cara berpikirnya sama dengan iblis. Orientasi hidup tepat akan mendatangkan sukacita sejati karena seluruh tenaga, pemikiran kita akan terarah dengan tepat. Barang siapa mau hidup dalam Tuhan maka Tuhan pasti akan memimpin dan melindungi kita akan tetapi bukan berarti kita akan luput dari pencobaan. Tidak! Hidup di dunia kita tidak akan luput dari berbagai macam godaan tapi kalau orientasi hidup kita adalah Kristus maka kita menjadi lebih waspada dan peka terhadap segala macam godaan si iblis. Tuhan tidak mengajarkan kepada kita supaya kita lebih mementingkan hal yang rohani sehingga mengabaikan hal yang jasmani. Tidak! Justru Tuhan mengajarkan ora et labora, berdoa dan bekerja. Ketika bekerja biarlah orientasi kita bekerja itu adalah demi untuk kemuliaan nama Tuhan bukan demi egoisme diri kita. Orientasi hidup yang tepat akan mempengaruhi seluruh aspek hidup kita.


III. Menggeser Sikap Hidup
Iblis menempatkan Yesus di bubungan Bait Allah dan menantang Yesus supaya menjatuhkan dirinya sebab iblis tahu bahwa tentang Yesus ada tertulis: Ia akan memerintahkan malaikat-malaikat-Nya dan mereka akan menatang Engkau di atas tangannya, supaya kaki-Mu jangan terantuk kepada batu (Mzm. 91:11-12). Dalam hal ini, iblis sangat “rohani“. Rohani disini hanya sebatas fenomena saja. Ingat, kuasa spiritual yang ditunjukkan seseorang tidak membuktikan kerohaniannya baik; iblis dapat membuat seseorang sepertinya “rohani“ tapi bukan secara esensi tapi hanya gejala rohani belaka. Dengan licik, iblis menggoda manusia supaya jatuh dalam kesombongan rohani.


Tuhan justru mengajarkan agar kita rendah hati dan bersandar pada Allah saja karena tanpa Dia kita bukanlah apa-apa, we are nothing. Tuhan Yesus, Pencipta alam semesta rela mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia (Flp. 2:7); Tuhan Yesus tidak memakai hak ke-Allahan-Nya; Dia taat sampai mati di kayu salib. Itulah kerendahan hati sejati. Dan iblis tidak suka akan hal ini karena itu iblis menawarkan jalan pintas supaya Tuhan Yesus dikenal banyak orang dengan cepat mengenal Dia sebagai Anak Allah, yaitu dengan jalan menjatuhkan diri dari Bait Allah. Puji Tuhan, Yesus tidak masuk dalam jebakan iblis. Cara Tuhan adalah rendah hati taat pada pimpinan Tuhan. Orang yang hanya mengutamakan kesombongan diri maka ia akan sulit menerima pendapat orang lain apalagi untuk ia mau taat pada kehendak Tuhan. Kesombongan diri tersebut haruslah dihancurkan terlebih dahulu barulah orang menyadari keterbatasan dirinya dan merupakan suatu anugerah kalau Tuhan memukul karena itu berarti Tuhan masih berkenan memanggil kita untuk kembali pada-Nya. Terkadang Tuhan memakai penderitaan untuk mendidik anak-Nya untuk semakin bertumbuh. Tuhan Yesus berpuasa menunjukkan bahwa manusia terbatas; puasa bukan sarana untuk memaksakan kehendak diri sendiri pada Allah. Penyangkalan diri menjadi kunci utama taat pimpinan Tuhan.

IV. Menggeser Panggilan hidup
Iblis tidak suka melihat anak Tuhan yang hidup benar sesuai dengan Firman dan menggenapkan rencana-Nya. Dengan berbagai cara, iblis akan berusaha menjauhkan anak Tuhan dari panggilan-Nya dan mengalihkannya pada kehendak diri sendiri. Berhati-hatilah dengan akal licik si iblis yang selalu mengiming-iming kita dengan segala kenikmatan dunia yang semu. Syarat mengikut Tuhan adalah memikul salib dan menyangkal diri; dan iblis tahu bahwa syarat tersebut sangat sulit dijalankan karena itu iblis menawarkan pada manusia untuk jauh dari kehendak Tuhan dan menjalankan kehendak diri sendiri. Adalah anugerah kalau Tuhan berkenan memanggil kita dari dunia yang bergelimang dosa. Diri sendiri tidak dapat memanggil diri sendiri; lebih tepatnya bukan diri sendiri yang memanggil melainkan iblis. Untuk menjadi manusia sejati maka kita harus kembali pada Tuhan sang Pencipta. Kalau kita semakin jauh dari Tuhan maka itu menjadi kesuksesan iblis. Jadi, kesuksesan diri kita sebenarnya merupakan kesuksesan iblis. Kristus sukses menjalankan perintah Bapa-Nya sampai akhir, yaitu mati di kayu salib sehingga ia dapat berkata “Tetelestai“, sudah genap. Telah tersedia bagi kita, anak-anakNya yang telah menggenapkan rencana-Nya, yaitu sebuah mahkota kebenaran.

V. Menggeser Nilai Hidup
Iblis menggeser keinginan kita dari mencintai Tuhan kepada keinginan daging yang dikuasai nafsu. Iblis membawa Tuhan Yesus ke atas gunung yang sangat tinggi lalu memperlihatkan seluruh isi dunia dan kemegahan-Nya dan semuanya itu akan diberikan kepada-Nya asal Ia mau tunduk dan menyembah padanya. Iblis memberikan dalam jumlah yang sangat besar dan kemegahan, keagungan yang berkilauan. Kuantitas dan kualitas yang demikian yang seringkali membuat manusia jatuh dalam pencobaan. Manusia kalau sudah tergoda dengan keinginan nafsu maka itu berarti awal kehancuran diri kita. Apalah artinya kita mendapatkan seluruh isi dunia kalau kita kehilangan nyawa kita. Iblis mencoba mengalihkan keinginan manusia tersebut pada hal yang bersifat duniawi, yakni keinginan untuk menjadi kaya, kemegahan dunia. Jangan sia-siakan hidupmu dan menggantinya dengan hal yang tidak layak. Biarlah kita mengarahkan hidup kita pada hal-hal yang bersifat rohani, mengejar kekudusan, dan keinginan untuk lebih mengenal kebenaran dan keadilan. Hendaklah keinginan kita adalah keinginan untuk menjadi serupa Kristus, bersekutu dalam hidup-Nya supaya bersama-sama dalam kebangkitan-Nya; keinginan untuk menggenapkan rencana-Nya di dalam hidup kita dan seluruh hidup kita hanyalah untuk menyenangkan hati Tuhan, yakni memuliakan nama-Nya.

VI. Menggeser Pengabdian
Kelima cara yang dipakai iblis tersebut sebenarnya bertujuan agar manusia menyembah pada iblis. Ibadah artinya kepala yang menunduk hingga menyentuh tanah hal ini menunjukkan pengabdian yang penuh pada obyek pengabdian kita. Kalau kita menyembah pada Tuhan maka kita adalah budak dan Tuhan adalah Tuan kita. Di seluruh alam semesta ini hanya Tuhan saja yang patut kita sembah. Manusia tidak dapat menyembah pada dua tuan. Orang yang menyembah Tuhan tetapi juga menyembah iblis maka ia adalah pezinah. Ibadah kita pada Tuhan tidak dapat dikompromikan karena itu jangan mempermainkan ibadah. Tuhan tidak mau diri-Nya diduakan tetapi sebaliknya iblis justru memperbolehkan kita menyembah pada dua tuan, yaitu iblis dan Tuhan karena iblis tahu bahwa pada akhirnya Tuhanlah yang justru akan membuang manusia. Dengan semakin jauhnya manusia dari Tuhan maka keinginan iblis telah tercapai dan hal ini berarti iblis telah sukses.

Keenam cara iblis ini muncul di sekeliling kita lalu dimanakah posisi kita? Dunia pasti mengikut the way of Satan. Kita sudah tahu akibatnya kalau kita mengikut jalan iblis, yaitu kebinasaan kekal dan memahami bahwa kalau kita mengikut jalan iblis maka seluruh tatanan hidup kita pun pasti akan dipengaruhi olehnya maka itu berarti kita telah berada pada jalur yang salah sehingga mata kita tidak akan pernah dapat melihat kebenaran. Di tengah dunia yang kacau ini biarlah kita tahu bagaimana seharusnya kita menempatkan diri sehingga kita tidak menjadi korban dari setan. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber :

Roma 2:21-24 : STANDAR PENGHAKIMAN ALLAH-4 : Hukum Allah Vs Hukum Manusia-2 (Denny Teguh Sutandio)

Seri Eksposisi Surat Roma :
Realita Murka Allah-13


Standar Penghakiman Allah-4 :
Hukum Allah Vs Hukum Manusia-2

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 2:21-24.

Setelah membahas mengenai standar hukum yang orang-orang Yahudi pakai sebagai tameng untuk mengukur “superioritas” mereka, maka selanjutnya sebaliknya Allah menetapkan hukum yang sebenarnya bagi orang-orang Yahudi melalui pemaparan Paulus. Di dalam keempat ayat ini, Paulus membuka kedok kemunafikan orang-orang Yahudi yang munafik.

Ayat 21, Paulus menggunakan kata penghubung “Jadi” atau terjemahan King James Version : therefore (oleh karena itu), yang berarti ayat ini merupakan kelanjutan dan akibat dari “superioritas” hukum yang ditetapkan oleh orang-orang Yahudi yaitu kemunafikan. Di dalam ayat ini, Paulus mengatakan, “Jadi, bagaimanakah engkau yang mengajar orang lain, tidakkah engkau mengajar dirimu sendiri?” Di sini, Paulus dengan memakai otoritas hukum Allah menghakimi orang-orang Yahudi yang memutarbalikkan hukum Allah seenaknya sendiri dan menggantinya dengan hukum buatan mereka. Di dalam ayat-ayat sebelumnya, Paulus telah memaparkan “superioritas” orang-orang Yahudi yang merasa diri hebat, dapat mengajar orang lain, dll, tetapi sebenarnya mereka adalah orang-orang munafik. Mereka hanya pintar mengerti hukum Allah tanpa mengerti esensinya dan mempraktikannya. Oleh karena itu, di dalam ayat 21a ini, Paulus langsung mengaitkan antara mengajar orang lain dengan mengajar diri. Bagi Paulus, cukup mudah ketika kita mengajar orang lain, tetapi ketika dirinya mengajar dirinya sendiri, itu yang susah. Paulus adalah rasul Kristus yang patut kita teladani. Di dalam buku tentang refleksi atas Surat 1 Korintus (Ajarlah Kami Bertumbuh), Pdt. Billy Kristanto mengajarkan tentang karakter Paulus yang baik di dalam pelayanan, yaitu Paulus bukan hanya pintar berlogika dan mengajar, tetapi ia juga mengajar dirinya sendiri lebih keras. Artinya, Paulus lebih keras mengajar dirinya untuk lebih taat kepada Firman Allah daripada mengajar orang lain. Itulah orang yang berbijaksana. Di dalam pelayanan dan pertumbuhan rohani kita, seberapa berani kah kita mau dan mampu mengajar orang lain dengan terlebih dahulu mengajar diri kita sendiri. Ketika kita sudah mengajar diri kita sendiri untuk taat kepada Firman Allah, itu merupakan bukti kita sudah dewasa rohani. Setelah kita sudah mengajar diri sendiri dengan lebih keras untuk taat kepada Firman Allah, ketika kita berani mengajar orang lain, maka Pdt. Billy Kristanto mengatakan bahwa kita akan memiliki kuasa untuk itu. Ketika kita mengajar orang lain tentang sesuatu hal, marilah kita juga berkomitmen untuk menaati dan mendisiplinkan diri dalam menjalankan apa yang telah kita ajarkan kepada orang lain. Di sini saya memakai istilah progressive teaching (pengajaran yang terus-menerus) berhubungan dengan progressive spiritual growth in Christ (pertumbuhan rohani yang terus-menerus di dalam Kristus). Hal ini berlaku bagi diri kita khususnya dan bagi orang lain yang kita ajar. Rasul Yakobus juga mengingatkan kita bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati (Yakobus 2:26). Iman dan pengertian yang sejati akan Firman menghasilkan suatu tindakan yang memuliakan Allah. Tetapi sayangnya, banyak orang “Kristen” yang “no action, talk only”. Hal ini tidak berarti perbuatan menjadi penentu utama keberimanan seseorang ! Perbuatan bukan menjadi titik utama penentu iman seseorang, tetapi yang menjadi titik utama penentu iman seseorang adalah iman itu sendiri yang tidak berkontradiksi dengan dirinya dan tidak melawan Allah. Selagi Tuhan memberikan kesempatan kepada kita untuk melakukan perintah-Nya, di saat itu pulalah kita harus melakukannya bukan dengan terpaksa, tetapi dengan cinta kasih dan ketulusan hati sebagai anak-anak Tuhan yang telah ditebus oleh Kristus.

Lalu, apa yang menjadi ciri kemunafikan orang-orang Yahudi di mana mereka pandai mengajar orang lain tetapi tidak bisa mengajar diri sendiri ? Dari ayat 21b s/d 23, Paulus memaparkan empat ciri kemunafikan orang-orang Yahudi. Mari kita melihatnya satu per satu.
Kemunafikan pertama, Paulus mengatakan, “Engkau yang mengajar: "Jangan mencuri," mengapa engkau sendiri mencuri?” (ayat 21b) Terjemahan International Standard Version (ISV) dan English Standard Version (ESV) menerjemahkan “mengajar : “Jangan mencuri,”” dengan, “preach against stealing” (“berkhotbah melawan pencurian”). Ini berarti para pemimpin Yudaisme berkhotbah di atas mimbar sinagoge atau pertemuan ibadah lainnya dengan pernyataan-pernyataan yang melawan tindakan pencurian, tetapi herannya mereka sendiri tidak melakukannya alias mereka sendiri mencuri. Apa yang telah dilakukan oleh mereka ? Di dalam khotbah-Nya, Tuhan Yesus menegur dan menjelaskan dosa pencurian yang dilakukan oleh para pemimpin Yahudi, “(Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu menelan rumah janda-janda sedang kamu mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang. Sebab itu kamu pasti akan menerima hukuman yang lebih berat.)” (Matius 23:14). Mereka sebenarnya suka mencuri dengan merampas rumah para janda (terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari) tetapi anehnya agar kejahatan mereka tidak terungkap, mereka menipu dengan doa yang panjang-panjang. Dosa mereka dua kali lebih jahat dari orang-orang yang mereka sebut sebagai kafir. Bagaimana dengan kita ? Apakah kita sebagai orang Kristen juga bertindak tidak jauh berbeda dengan orang-orang Yahudi yang suka menyelimuti kejahatan dengan jubah agama ??!! Di Indonesia, orang-orang non-Kristen sudah membuktikan kemunafikan yang serupa dengan orang-orang Yahudi. Demi uang, para pejabat di Departemen Agama rela berkorupsi dan mencari keuntungan dengan program ibadah haji. Di dalam keKristenan, karena menegakkan “theologia” kemakmuran, banyak pendeta/hamba “Tuhan” gereja Karismatik/Pentakosta yang rela mencuri uang jemaatnya dengan dalih memberikan persembahan untuk Tuhan (padahal untuk memperkaya diri sang pemimpin “gereja” tersebut). Alhasil, yang menjadi kaya adalah “pendeta”/pemimpin “gereja”nya dan si jemaat tetap saja miskin. Saya mendengar cerita dari kakak sepupu saya bahwa ada orang yang berjemaat di gereja Karismatik rela menyerahkan cincinnya untuk “dipersembahkan bagi pekerjaan Tuhan” di dalam gereja tersebut, tetapi beberapa waktu kemudian orang ini melihat istri pendeta gereja tersebut memakai cincin yang telah dipersembahkannya itu. Saat melihat kejadian tersebut, orang ini kecewa. Pdt. Dr. Stephen Tong juga pernah menceritakan bahwa di Amerika, banyak pemuda/i Kristen yang rela ditipu oleh banyak pemimpin gereja Karismatik sehingga banyak dari mereka yang rela menyerahkan semua uangnya bagi gereja, alhasil sesampainya di rumah, mereka bingung dan kaget mengapa semua uangnya habis serta kecewa. Benarkah Tuhan membuat manusia kecewa ? Yang membuat manusia kecewa adalah para “pemimpin gereja” yang mengatasnamakan Tuhan menipu manusia. Hal ini mirip dengan tindakan orang-orang Yahudi. Akibatnya, ketika Tuhan Yesus melayani, banyak orang mengikut-Nya dan bukan orang-orang Yahudi, karena Tuhan Yesus bukan hanya berteori saja, Ia juga mempraktikkannya.

Kemunafikan kedua, Paulus memaparkan, “Engkau yang berkata: "Jangan berzinah," mengapa engkau sendiri berzinah?” (ayat 22a) “Berzinah” ini identik dengan menyeleweng (terjemahan King James Version, English Standard Version dan International Standard Version memakai kata “commit adultery” atau melakukan perzinahan atau penyelewengan). Berzinah ini memang adalah berzinah secara jasmani. Kata larangan “Jangan berzinah” dalam Dasa Titah atau Sepuluh Perintah Allah berkaitan dengan perzinahan di dalam pernikahan. Di dalam Perjanjian Lama, Daud dan Salomo adalah dua orang yang tadinya setia kepada Allah akhirnya berzinah dan hidup tidak kudus, tetapi bedanya, Daud masih mau mengakui dosanya dan dengan rendah hati bertobat, sedangkan Salomo tidak mau bertobat dan terus memperbanyak dosanya sehingga ia dihukum oleh Tuhan di mana kerajaannya akan dibagi-bagi. Perzinahan sebenarnya bukan hanya menyangkut hal-hal jasmaniah, tetapi juga hal-hal rohaniah. Orang-orang Israel juga melakukan tindakan zinah rohani. Para pemimpin mereka mengkhotbahkan agar jangan berzinah, tetapi ketika musuh menyerang mereka, akhirnya mereka rela menyerahkan dan mengkompromikan iman mereka (atau “melacurkan iman mereka” atau berzinah rohani) dengan menyembah ilah-ilah asing. Sehingga banyak nabi-nabi Tuhan dibangkitkan oleh-Nya untuk menegur dosa mereka. Yosua dipanggil untuk menantang orang-orang Yahudi untuk beribadah kepada Allah atau ilah-ilah asing dengan menantang para nabi baal dengan ilah-ilah mereka. Yesaya juga dipanggil oleh Allah untuk menyuarakan berita kebenaran. Begitu pula dengan Yeremia, dan para hakim yang Allah panggil, seperti Deborah, dll, tetapi bagaimana hasilnya ? Mereka bukannya bertobat, malahan makin jahat, yaitu membunuh para nabi Allah. Sehingga tidak heran Tuhan Yesus menghakimi ahli Taurat dengan perkataan yang keras, “Sebab itu, lihatlah, Aku mengutus kepadamu nabi-nabi, orang-orang bijaksana dan ahli-ahli Taurat: separuh di antara mereka akan kamu bunuh dan kamu salibkan, yang lain akan kamu sesah di rumah-rumah ibadatmu dan kamu aniaya dari kota ke kota, supaya kamu menanggung akibat penumpahan darah orang yang tidak bersalah mulai dari Habel, orang benar itu, sampai kepada Zakharia anak Berekhya, yang kamu bunuh di antara tempat kudus dan mezbah.” (Matius 23:34-35). Bagaimana dengan kita sebagai orang Kristen ? Apakah kita juga berzinah secara rohani ? Bukankah orang-orang “Kristen” duniawi selalu “melacurkan” iman mereka dengan mengkompromikan keKristenan dengan ide-ide filsafat atheis (misalnya dualisme, humanisme dan materialisme) ? Itulah bukti perzinahan rohani. Kalau di zaman Perjanjian Lama, orang-orang Israel “melacurkan” iman mereka dengan menyembah ilah-ilah asing, maka di zaman postmodern yang gila ini, orang-orang “Kristen” ditambah banyak pemimpin “gereja” (apalagi dari banyak kaum Karismatik/Pentakosta, Katolik dan Protestan mainline yang memuja “theologia” religionum/social “gospel”) juga “melacurkan” iman mereka dengan memasukkan unsur filsafat duniawi yang atheistik ke dalam keKristenan (misalnya, memasukkan unsur Gerakan Zaman Baru ke dalam keKristenan dengan munculnya ide, “Sebut dan Tuntutlah/Name it and Claim it ! yang mengajarkan bahwa apapun yang kita sebutkan pasti terjadi {kuasa perkataan}. Misalnya, seperti ajaran Yonggi Cho, kalau kita ingin mobil VW kodok, marilah kita membayangkan mobil tersebut dari warnanya, seri, harga, dll, lalu “imani” bahwa kita telah mendapatkannya.). Bukan hanya itu saja, orang-orang “Kristen” ada yang mengaku diri “melayani ‘tuhan’” tetapi herannya di dalam dunia sekuler, ia sangat anti kalau nama Tuhan disebut di dalam dunia sekuler, karena hal itu tidak ada hubungannya (alasannya religion dan science tidak ada hubungannya). Inikah iman Kristen ?! TIDAK ! Ini adalah iman atheistik praktis murni ditambah humanisme dan dualisme sebagai reaksi dari humanisme !

Kemunafikan ketiga, Paulus mengatakan, “Engkau yang jijik akan segala berhala, mengapa engkau sendiri merampok rumah berhala?” (ayat 22b). Dengan kata lain, orang-orang Yahudi yang merasa bersalah ketika berbuat dosa, tetapi herannya bukannya menjauhi, malahan mendekati dan terus-menerus melakukan dosa. Orang-orang “Kristen” di abad ini juga melakukan tindakan serupa. Mereka tahu bahwa menipu, berbohong, malas, dll itu berdosa, tetapi mereka melakukannya, mengapa ? Apakah mereka tidak tahu ? TIDAK. Mereka tahu tetapi apa yang mereka ketahui dengan yang mereka ingin jalankan/patuhi itu berbeda. Mereka hanya ingin mengetahui apa yang berdosa dan apa yang tidak, tanpa mau terlibat menjalankan apa yang mereka telah ketahui. Mereka tahu malas itu berdosa, tetapi herannya mereka tidak mau mengubah sikap malas mereka, malahan terus-menerus malas, entah itu malas membaca Alkitab, malas mempelajari Firman Tuhan, malas berdoa, dll. Mereka mengaku diri orang Kristen, tetapi herannya anti bahkan tidak ingin mempelajari iman mereka. Bukankah ini suatu ironi yang aneh ? Kalau kita memiliki pacar/pasangan, bukankah kita ingin terus-menerus mengetahui dan mengenal pasangan kita lebih dalam ? Tetapi mengapa di dalam dunia rohani, kita enggan melakukan hal yang serupa ? Mengapa kita tidak mau mengenal kebenaran lebih dalam dan melakukannya ? Mengapa kita justru lebih suka apabila keKristenan itu hanya sebagai salah satu pedoman hidup di antara banyak pedoman hidup dari dunia (filsafat dualisme, humanisme dan materialisme) ? Kalau demikian, masih layakkah kita disebut orang “Kristen” apalagi “melayani ‘tuhan’” ?! Renungkanlah hal ini.

Kemunafikan keempat, Paulus menuturkan, “Engkau bermegah atas hukum Taurat, mengapa engkau sendiri menghina Allah dengan melanggar hukum Taurat itu?” (ayat 23). Orang-orang Yahudi bersukacita karena memiliki Taurat, tetapi herannya kesukacitaan mereka bukanlah murni dari hati mereka tetapi kesukacitaan palsu. Mengapa ? Karena buktinya mereka hanya berbangga dengan memiliki Taurat, tetapi mereka tidak berbangga jika mereka ingin menaati apa yang Taurat perintahkan. Apakah kebanggaan sejati itu ? Apakah kebanggaan itu diukur dari memiliki sesuatu yang berharga saja ? TIDAK. Kebanggaan sejati diukur bukan hanya dari memiliki sesuatu yang sangat berharga tetapi juga diukur dari seberapa kita memegang teguh dan mau berkorban bagi sesuatu yang sangat berharga itu. Jika orang Kristen memiliki wahyu khusus Allah yaitu Kristus dan Alkitab, maka itu merupakan kebanggaan. Tetapi kalau orang Kristen hanya berbangga pada waktu itu saja dan tidak mau berkorban dengan memberitakan Injil, mempelajari Firman dan berperang melawan dan menantang zaman, maka kebanggaan itu belumlah sempurna. Justru kebanggaan atau kemegahan sejati diukur dari seberapa besar kita mengerti Alkitab dengan mempelajarinya dan melakukannya misalnya dengan memberitakan Injil dan kehidupan yang memuliakan Tuhan di dalam seluruh aspek hidup kita. Paulus mengajarkan, “Jadi dalam Kristus aku boleh bermegah tentang pelayananku bagi Allah.” (Roma 15:17) Di dalam 1 Korintus 1:31, Paulus juga mengajarkan, “Karena itu seperti ada tertulis: "Barangsiapa yang bermegah, hendaklah ia bermegah di dalam Tuhan."” Kebanggaan sejati didapat hanya di dalam Tuhan, yaitu ketika mengerti dan melakukan Firman Tuhan di dalam hidup kita, bukan di dalam ukuran duniawi yang fana ini.

Sebagai kesimpulan, Paulus menuliskan, “Seperti ada tertulis: "Sebab oleh karena kamulah nama Allah dihujat di antara bangsa-bangsa lain."” Hal ini paralel dengan Yesaya 52:5, di mana bangsa-bangsa lain menghujat Allah. Mengapa ? Apakah karena mereka tidak mengenal Allah ? Itu bisa terjadi, tetapi intinya adalah karena mereka melihat tindakan orang-orang Yahudi yang tidak berbeda dengan bangsa mereka. Mereka melihat orang-orang Yahudi juga ikut-ikutan menyembah ilah-ilah lain dan ketika berperang, bangsa Israel kalah. Pada zaman itu, ketika ada peperangan antar bangsa, Allahnya juga ikut berperang. Ketika suatu bangsa itu kalah, maka “Allah”nya juga ikut-ikutan dicemooh. Nah, pada waktu itu bangsa Israel tertawan di negeri orang, dan Israel mendapat cemoohan dari mereka. Secara otomatis, Allah Yehovah juga dicemooh. Mengapa orang-orang Israel tertawan ? Karena mereka tidak setia kepada Allah. Mereka hanya mau mendengarkan ajaran-ajaran yang menyenangkan telinga mereka ketimbang mendengar kebenaran. Bagaimana dengan kita sebagai orang Kristen ? Apakah kita juga tidak jauh berbeda dengan orang-orang Yahudi yang tidak setia lalu akhirnya dihukum Tuhan dan akhirnya nama Tuhan dipermalukan karena kita ? Kesetiaan atau ketidaksetiaan kita sangatlah berpengaruh. Ketika kita setia kepada Tuhan, orang luar akan melihat kita dan akhirnya jika Roh Kudus menggerakkannya, orang itu akan kembali kepada Kristus, karena orang ini melihat bahwa di tengah ancaman, penderitaan dan godaan yang berat, kita masih tetap setia kepada Tuhan. Tetapi jika kita tidak setia kepada Tuhan, orang luar pun akan melihat kita dan alhasil, orang ini malahan mengutuk Tuhan karena bagi orang ini, tindakan kita tidak jauh berbeda dengan tindakan mereka yang masa bodoh dengan dosa dan bahkan melakukan dosa itu sendiri.

Setelah kita merenungkan empat ayat ini, sadarkah kita tentang pembongkaran dari hukum Allah terhadap konsep kita yang selama ini berdosa dan anehnya kita anggap “hebat” dan “pandai” ?! Maukah kita hari ini bertobat dengan merombak total pemikiran kita yang najis ini dan kembali kepada Kristus dengan men-Tuhan-kan Kristus di dalam hidup kita sehingga orang luar dapat melihat apa yang kita imani, pikirkan dan lakukan lalu atas dorongan Roh Kudus, orang itu dapat kembali kepada Kristus ?! Soli Deo Gloria. Amin.

Resensi Buku-18 : PENGAKUAN IMAN WESTMINSTER (Rev. G. I. Williamson, B.D.)

...Dapatkan segera...
Buku
PENGAKUAN IMAN WESTMINSTER
(WESTMINSTER CONFESSION OF FAITH)

oleh : Rev. G. I. Williamson, B.D.

Penerbit : Momentum Christian Literature (Fine Book Selection), 2006

Penerjemah : Irwan Tjulianto.





Pengakuan Iman Westminster merupakan sebuah perumusan yang setia dan ringkas dari pokok-pokok ajaran Alkitab yang paling penting dan mendasar, yang dianggap sebagai sebuah perumusan ortodoksi Calvinis/Reformed yang paling komprehensif, seimbang dan akurat, yang belum ada tandingannya.

Dalam buku ini Williamson menunjukkan bahwa Pengakuan Iman Westminster merupakan ajaran yang bersumber dari Alkitab. Ia dengan teliti memisahkan kebenaran dari opini-opini yang saling bertentangan. Setiap bagian dilengkapi dengan sejumlah pertanyaan yang dapat dipakai sebagai bahan studi lanjut, dan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut dimuat di bagian akhir buku ini. Dengan demikian, buku ini cukup jelas untuk dipakai secara pribadi, dan cukup menyeluruh untuk digunakan dalam kelas-kelas pembinaan. Selama beberapa dekade, uraian Williamson terhadap isi Pengakuan Iman Westminster ini telah menjadi sebuah manual yang menjadi berkat besar bagi banyak gereja.

Buku ini mendapatkan pujian dari para profesor theologia, a.l. Prof. Dr. Joel R. Boeke (Profesor Theologia Sistematika dan Homiletika di Puritan Reformed Theological Seminary), Prof. Dr. Richard B. Gaffin, Jr. (Profesor Theologia Biblika dan Sistematika di Westminster Theological Seminary) dan Prof. Dr. Cornelis P. Venema (Presiden dan Profesor Studi Doktrinal di Mid-America Reformed Seminary)





Profil Rev. G. I. Williamson :
Rev. G. I. Williamson, B.D. meraih gelar Bachelor of Divinity (B.D.) dari Pittsburgh-Xenia Theological Seminary. Beliau adalah pendeta yang telah melayani di berbagai jemaat Reformed dan Presbiterian di Amerika Utara, dan saat ini melayani di Reformed Churches of New Zealand dan Orthodox Presbyterian Church. Menjelang usia pensiunnya, Williamson tetap menjadi editor untuk Ordained Servant, jurnal yang diterbitkan oleh Orthodox Presbyterian Church untuk para gembala sidang, penatua, dan diaken. Karya lainnya yang diterbitkan oleh Penerbit Momentum adalah Katekismus Singkat Westminster (2 jilid).

19 August 2007

Roma 2:17-20 : STANDAR PENGHAKIMAN ALLAH-3 : Hukum Allah Vs Hukum Manusia-1

Seri Eksposisi Surat Roma :
Realita Murka Allah-13


Standar Penghakiman Allah-3 :
Hukum Allah Vs Hukum Manusia-1


oleh : Denny Teguh Sutandio, S.S.


Nats : Roma 2:17-20.

Setelah membahas mengenai standar penghakiman Allah yang berpusatkan kepada pengadilan Kristus, maka Paulus seolah-olah mengganti topik pembahasan, tetapi sesungguhnya tidak lah demikian. Topik selanjutnya mulai ayat 17 ini, Paulus sedang mengontraskan pengadilan Allah yang berorientasi pada esensi (dan bukan fenomena) dengan pengadilan/penghakiman ala manusia yang berorientasi pada hal-hal fenomenal (lahiriah). Keempat ayat mulai dari ayat 17 sampai dengan 20 ini, Paulus mendeskripsikan ciri-ciri lahiriah yang terus dijadikan tameng orang-orang Yahudi untuk tidak mau bertobat. Ciri-ciri ini ditetapkan oleh para pemimpin agama Yahudi itu sendiri untuk mengadakan pemisahan antara orang-orang Yahudi dengan orang-orang kafir berdasarkan standar Taurat. Karena bangsa-bangsa lain tidak memiliki Taurat, orang-orang Yahudi menghina mereka sebagai orang-orang kafir yang patut dibinasakan, padahal Allah tidak menginginkan tindakan keji seperti itu. Kita pun sebagai orang Kristen tidak ada bedanya dengan orang-orang Yahudi. Merasa diri paling benar dan memiliki wahyu khusus dari Allah, yaitu Alkitab dan Kristus, kita menjadi lupa diri, menghina orang-orang yang beragama lain, bahkan tidak mau memberitakan Injil kepada mereka. Itulah yang seharusnya menjadi refleksi bagi kita. Oleh karena itu, marilah kita menelusuri ciri-ciri “superioritas” penghakiman yang orang-orang Yahudi bangun dan dirikan lalu kita akan mengaplikasikannya.


Pada ayat 17, Paulus mengungkapkan citra diri awal seorang Yahudi, “Tetapi, jika kamu menyebut dirimu orang Yahudi dan bersandar kepada hukum Taurat, bermegah dalam Allah,” Di dalam terjemahan King James Version, ayat 17 ini diawali dengan suatu seruan Behold yang bisa berarti perhatikan dengan seksama. Seruan ini sangat penting karena melalui seruan ini Paulus ingin menegur orang-orang Yahudi tentang hubungan antara status mereka dan tindakan ketaatan manusia yang seharusnya mereka sadari. Di dalam ayat 17-20, kita menemukan ciri-ciri “superioritas” penghakiman ala orang-orang Yahudi, yaitu,


Pertama, status sebagai orang Yahudi itu sendiri. Sebutan ini dalam bahasa Ibrani yehudi ; Aram : yehudai ; Yunani : joudaios ; dan Latin : judaeaus. Menurut Ensiklopedia Masa Kini-2, pada mulanya sebutan ini menunjuk kepada penduduk Yehuda (2 Raja-raja 16:6) dan terus dipakai dalam naskah-naskah Asyur paling tidak sejak abad 8 s.M. Kata ini biasanya dipakai oleh orang-orang non-Yahudi untuk menandakan orang Ibrani keturunan Abraham pada umumnya. Kata itu juga bisa dipakai untuk menunjuk kepada bahasa Semit setempat di Yehuda (2 Raj. 18:26, 28 ; Yes. 36:11, 13 ; Neh. 13:24). Kitab Daniel 5:13 menggunakan kata “Yehuda” dan Lukas 23:5 ; Yohanes 7:1 memakai kata “Yudea”. Menjelang zaman Perjanjian Baru, bentuk jamak “Yahudi” sudah umum untuk orang-orang Israel. (Ensiklopedia Masa Kini-2, 1995, p. 544). Kalau kita menelusuri ulang makna kata Israel, maka Musa mendeskripsikan istilah ini melalui perkataan seorang yang bergulat dengan Yakub, “Namamu tidak akan disebutkan lagi Yakub, tetapi Israel, sebab engkau telah bergumul melawan Allah dan manusia, dan engkau menang.” (Kejadian 32:28). Kata “Israel” sendiri berarti Prince of God (Pejuang atau Pangeran Allah). Kalau orang Yahudi disebut pejuang Allah, maka orang-orang Kristen disebut pengikut Kristus. Istilah Kristen sebenarnya merupakan istilah ejekan dari orang-orang non-Kristen kepada orang-orang Kristen, tetapi istilah ini sebenarnya beresensi lain, yaitu kita dipanggil untuk mengikut Kristus, meneladani dan menTuhankan Kristus di dalam hidup kita. Itulah makna Kristen sejati. Kalau nama Yakub diganti menjadi Israel yang berarti kehidupan lama Yakub diubah dan diganti oleh Allah sehingga Yakub memiliki kehidupan baru melalui nama baru “Israel”, maka kita pun juga diubah status kita oleh Allah dari anak-anak kegelapan menjadi anak-anak terang di dalam Kristus. Status kita seharusnya menyadarkan kita bahwa kita bukan hanya menikmati status kita sebagai pengikut Kristus dan anak-anak Allah, tetapi kita harus keluar menjadi saksi Injil di tengah-tengah masyarakat dunia berdosa.

Kedua, bersandar kepada Hukum Taurat. Seperti yang telah dipaparkan di atas, hanya bangsa Israel yang mendapatkan wahyu khusus dari Allah yaitu kitab Taurat (Kejadian s/d Ulangan) yang ditulis melalui perantaraan Nabi Musa. Dibandingkan orang-orang non-Yahudi yang pada waktu itu tidak memiliki konsep Allah yang sejati, maka orang-orang Yahudi benar-benar mendapatkan anugerah yang besar dari Allah karena hanya merekalah yang diizinkan dapat mengenal Allah yang sejati melalui Taurat. Tetapi bukannya bersyukur, orang-orang Yahudi malahan memperalat Taurat untuk kepentingan mereka sendiri (bandingkan dengan Roma 2:21-24). Para pemimpin mereka menambahi aturan-aturan di dalam sistem Yudaisme, misalnya menetapkan hari Sabat sebagai perhentian kerja bahkan pekerjaan seseorang harus diukur agar tidak melanggar hari Sabat, misalnya tidak boleh berjalan sekian mil, tidak boleh mengangkat barang, dll. Mereka bersandar kepada Taurat tanpa mengerti esensi Taurat. Hal ini akan dibahas pada bagian lain di dalam ayat 21-24 nanti. Bagaimana dengan kita ? Bukankah kita sudah sempurna menerima wahyu Allah melalui Alkitab dan Kristus ? Tetapi herannya kita sebagai orang Kristen bukannya bersaksi memberitakan Injil, malahan menyombongkan diri sebagai pemegang otoritas kebenaran Allah lalu menghina yang lain. Inilah yang harus menjadi refleksi bagi kita.
Ketiga, bermegah dalam Allah. Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkannya, “bangga atas hubungan Saudara dengan Allah.” Orang-orang Yahudi merasa bangga karena hanya mereka sajalah yang dapat berhubungan dengan Allah yang sejati melalui upacara korban. Hubungan ini bukan hanya bersifat satu arah yaitu orang-orang Yahudi kepada Allah, tetapi bersifat dua arah. Allah juga pernah menghampiri nabi-nabi mereka seperti Musa, Yosua, Yesaya, dll untuk menjadi pemimpin dan penuntun hidup dan perilaku mereka. Hal-hal ini lah yang mereka banggakan karena menurut mereka, bangsa-bangsa lain yang menyembah ilah-ilah yang tidak bisa berbicara (alias mati) tidak mendapatkan hak istimewa seperti mereka. Bagaimana dengan kita ? Kita sebagai orang Kristen bukan hanya mendapatkan hak istimewa (privilege) berhubungan dengan Allah, kita dinyatakan sebagai anak-anak Allah di mana Allah menjadi Bapa kita (Roma 8:15). Bukan hanya itu saja, kita tidak lagi memerlukan upacara korban seperti yang diajarkan di dalam Taurat Yudaisme, karena darah penebusan Kristus telah mengalahkan kuasa dosa di dalam pribadi anak-anak Allah, melainkan kita dapat berhubungan langsung dengan Allah di dalam satu-satunya Pengantara yaitu Tuhan Yesus Kristus. Bukankah ini suatu hak istimewa dari Bapa kepada anak-anak-Nya yang mustahil bisa dimiliki oleh orang-orang non-Kristen yang tidak dipilih Allah ? Hak-hak istimewa ini seharusnya menyadarkan kita bahwa kita dipanggil untuk menyaksikan cinta kasih dan keadilan Allah di dalam Injil kepada mereka yang belum mendengarkan Injil. Allah mau kita bukan hanya menikmati hak-hak istimewa ini seorang diri tetapi berkeinginan membagikannya kepada orang lain yang beberapa di antara mereka dipilih oleh-Nya “sejak” kekekalan.

Keempat, tahu akan kehendak-Nya melalui Taurat (ayat 18, “dan tahu akan kehendak-Nya, dan oleh karena diajar dalam hukum Taurat, dapat tahu mana yang baik dan mana yang tidak,”). Orang-orang Yahudi belajar Taurat sejak kecil dan baru pada usia 30 tahun, mereka baru boleh keluar mengajar Taurat. Tentu saja, melalui tradisi ini, kita dapat mengerti bahwa orang-orang Yahudi bukan hanya membaca Taurat, tetapi mengerti dan menghafalnya (meskipun tidak mengerti inti Taurat yang sesungguhnya). Mereka hanya mengerti Taurat sebatas rasio saja. Hal ini dijelaskan oleh Paulus melalui kata “tahu” yang dalam bahasa Yunani ginosko yang bisa berarti mengerti (understand). Bagaimana dengan kita sebagai orang-orang Kristen ? Kita sebagai anak-anak Tuhan seharusnya bukan hanya terus menambah pengetahuan theologia dan Alkitab saja, tetapi juga harus mengaplikasikannya ke dalam kehidupan kita sehari-hari. Untuk itulah, di dalam surat Roma pada pasal 12 ayat 1-2, Paulus mulai mengaplikasikan doktrin-doktrin yang telah diajarkannya sebanyak 11 pasal dengan mendahuluinya dengan pengajaran bahwa anak-anak Tuhan harus mempersembahkan tubuh mereka sebagai persembahan kepada Allah lalu disambung dengan perintah agar mereka berubah oleh pembaharuan akal budi mereka sehingga mereka dapat mengerti kehendak Allah dan membedakannya dengan kehendak manusia dan iblis. Pada Roma 12, mulai ayat 3, Paulus langsung mengaplikasikannya di dalam hal pertanggungjawaban karunia dari Allah oleh manusia untuk memuliakan-Nya. Mari kita belajar dari sosok Paulus, yang bukan hanya pandai berlogika dan berteori, tetapi juga berusaha mengaplikasikan apa yang telah diajarkannya dan diketahuinya di dalam kehidupannya sehari-hari, meskipun terkadang ia juga pernah gagal.

Kelima, penuntun orang buta dan terang bagi mereka yang ada di dalam kegelapan (ayat 19, “dan yakin, bahwa engkau adalah penuntun orang buta dan terang bagi mereka yang di dalam kegelapan,”). Ayat 19 ini berkaitan dengan hal-hal etis/moral. Orang-orang Yahudi juga merasa bangga bahwa melalui Taurat, mereka dapat menuntun orang-orang non-Yahudi maupun Yahudi yang masih buta secara rohani dan menerangi mereka yang hidup di dalam kegelapan. Hal ini dipaparkan oleh Tuhan Yesus di dalam Matius 23:15, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu mengarungi lautan dan menjelajah daratan, untuk mentobatkan satu orang saja menjadi penganut agamamu dan sesudah ia bertobat, kamu menjadikan dia orang neraka, yang dua kali lebih jahat dari pada kamu sendiri.” Orang-orang Yahudi merasa diri sudah menjalankan tindakan pewartaan Taurat kepada mereka yang bukan Yahudi tetapi sebenarnya mereka sedang menjerumuskan orang-orang lain ke dalam kesalahan yang lebih jahat dari mereka sendiri. Mengapa ? Karena mereka mulai tidak mengajarkan Taurat secara esensial, tetapi secara harafiah. Hal ini seharusnya menjadi refleksi bagi kita sebagai orang Kristen. Kita memang diperintahkan oleh Kristus untuk memberitakan Injil (Matius 28:19). Kita bukanlah orang Kristen jika tidak mengabarkan Injil. Tetapi apakah cukup hanya dengan mengabarkan Injil, kita sudah layak disebut Kristen ? Sebelum mengabarkan Injil, kita harus mengerti apa yang kita beritakan, sehingga kita tidak salah di dalam memberitakan Injil. Ketika ada seorang pemimpin gereja atau orang “Kristen” yang memberitakan bahwa yang mengikut “Kristus” pasti kaya, sukses, sehat, dll, apakah itu disebut memberitakan Injil ? TIDAK. Itulah yang disebut Paulus sebagai “injil-injil” palsu yang mirip Injil tetapi sebenarnya bukan Injil (Galatia 1:6b-7). Mari kita belajar dari peringatan Paulus kepada Timotius yang muda, “Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu. Bertekunlah dalam semuanya itu, karena dengan berbuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang mendengar engkau.” (1 Timotius 4:16). Sebelum memberitakan Injil, kita harus mengerti Injil, Kristus, dll, sehingga dengan demikian, kita tidak menjerumuskan orang yang kita injili ke dalam kesalahan-kesalahan melalui berita yang kita sampaikan. Penginjilan tanpa theologia adalah suatu kesia-siaan, sebaliknya theologia tanpa penginjilan adalah mati dan statis.

Keenam, pendidik dan pengajar mereka yang bodoh dan tidak dewasa (ayat 20, “pendidik orang bodoh, dan pengajar orang yang belum dewasa, karena dalam hukum Taurat engkau memiliki kegenapan segala kepandaian dan kebenaran.”). Ayat 20 ini berkaitan dengan aspek pengetahuan. Orang-orang Yahudi menganggap diri pandai karena memiliki Taurat sebagai dasar pengetahuan. Sampai sekarang kita juga mengamati bahwa banyak orang Yahudi (keturunan) selain Jepang dan Tiongkok yang juga memiliki kepandaian yang luar biasa hebat bahkan diangkat menjadi salah satu pejabat pemerintah di negara lain, misalnya Amerika Serikat, dll. Mengapa bisa demikian ? Karena mereka adalah umat pilihan Allah yang mendapatkan wahyu-Nya di dalam Taurat. Mereka akan tersinggung jika mereka dikalahkan di dalam pengetahuan tentang Taurat. Ini terbukti melalui peristiwa penyembuhan orang buta sejak lahir (Yohanes 9). Di dalam peristiwa ini, setelah orang buta ini disembuhkan oleh Kristus, orang-orang Farisi menghakimi orang buta ini dan mengatakan bahwa Kristus itu seorang berdosa karena menyembuhkan di hari Sabat. Terhadap pernyataan orang Farisi ini, orang yang tadinya buta ini menjawab, “Aneh juga bahwa kamu tidak tahu dari mana Ia datang, sedangkan Ia telah memelekkan mataku. Kita tahu, bahwa Allah tidak mendengarkan orang-orang berdosa, melainkan orang-orang yang saleh dan yang melakukan kehendak-Nya. Dari dahulu sampai sekarang tidak pernah terdengar, bahwa ada orang yang memelekkan mata orang yang lahir buta. Jikalau orang itu tidak datang dari Allah, Ia tidak dapat berbuat apa-apa.” (Yohanes 9:30-33). Terhadap jawaban inilah, orang-orang Farisi tersinggung dan berkata, “Engkau ini lahir sama sekali dalam dosa dan engkau hendak mengajar kami?” (Yohanes 9:34), lalu Alkitab mencatat bahwa orang-orang Farisi mengusir orang yang tadinya buta ini. Perkataan sombong dalam Yohanes 9:34 yang keluar dari orang Farisi ini hendak menunjukkan bahwa mereka sebenarnya tidak mengerti esensi Taurat, tetapi berani mengklaim diri sebagai pendidik orang bodoh dan pengajar orang yang belum dewasa. Sebenarnya mereka lah yang belum dewasa karena belum mengerti totalitas esensi Taurat tetapi berani mengangkat diri menjadi pemimpin agama. Bagaimana dengan keKristenan abad ini ? Bukankah gejalanya sama dengan fakta orang-orang Yahudi ini ? Bukankah kita menjumpai bahwa banyak pemimpin “gereja” atau bahkan istri pemimpin “gereja” sudah menganggap diri senior, bergelar tinggi (bahkan Ph.D.) lalu “menghina” mereka yang bodoh atau kurang berpengetahuan lalu menipu mereka dengan khotbah-khotbah atau ajaran-ajaran palsu untuk memuaskan keinginan orang-orang bodoh tersebut ?? Sudah lama, jemaat-jemaat Kristen dianggap “bodoh” oleh para pemimpin gereja mereka. Dan hal ini harus diberantas habis, jemaat-jemaat Kristen sudah saatnya tidak boleh dibodohi oleh banyak pemimpin “gereja”, mereka harus diajarkan Firman Tuhan secara bertanggungjawab. Firman Tuhan ini harus ketat dan benar sesuai dengan Alkitab dan penafsirannya yang mendekati arti asli Alkitab. Alkitab bukanlah monopoli pendeta atau pemimpin gereja, tetapi harus dipelajari oleh semua orang Kristen yang masih menganggap diri Kristen dan beriman Kristen (yang tidak lagi beriman Kristen {beriman kepada materialisme, humanisme dan pluralisme/relativisme}, harus tetap belajar keKristenan agar mereka bertobat dari dosa mereka). Pembelajaran ini bukan sebagai sarana untuk menyombongkan diri, tetapi sebagai sarana kerendahan hati dan ketaatan kita sebagai anak-anak-Nya yang ingin terus-menerus mengenal kehendak Bapanya. Pengetahuan sejati berkaitan erat dengan ketaatan dan kesetiaan. Ketika kita ingin mempelajari Firman Tuhan, sudahkah kita menuntut diri untuk taat mutlak dan setia kepada-Nya setelah mempelajarinya ? Itulah keinginan dan kehendak-Nya bagi kita.

Hari ini, setelah kita merenungkan keenam ciri berdosa dari orang-orang Yahudi di dalam empat ayat ini, maukah kita menyadari bahwa Tuhan tidak menciptakan strata-strata rohani di dalam gereja, tetapi Ia menganggap kita sama dengan karunia yang berbeda ? Jangan sekali-kali menetapkan strata rohani seseorang berdasarkan karunia Allah. Semua karunia Allah diberikan secara berlainan dan bertujuan satu yaitu untuk melayani Allah. Marilah kita mempergunakan semua karunia Allah yang dipercayakan kepada kita untuk melayani dan memuliakan-Nya saja. Amin. Soli Deo Gloria.

Matius 4:4 : THE POWER OF THE WORD

Ringkasan Khotbah : 4 Juli 2004
The Power of the Word

oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 4:4


Dengan memahami berbagai macam tipu muslihat dan akal licik si iblis, manusia seharusnya lebih waspada dan peka dengan demikian kita tidak mudah masuk dalam jebakan si iblis dan juga kita menjadi semakin berhati-hati dalam bertindak dan bertingkah laku, apakah tindakan kita sudah sesuai dengan cara Tuhan atau justru lebih mirip dengan cara hantu? Adalah tujuan utama iblis untuk membuat manusia jatuh dalam dosa karena itu dengan berbagai cara Iblis selalu berusaha menjauhkan manusia dari kebenaran sejati. Puji Tuhan, Yesus telah memberikan teladan supaya kita dapat menang melawan iblis seperti halnya Yesus yang telah menang, yaitu hanya dengan Firman saja, “sebab ada tertulis“.
Dunia modern tidak suka dengan Firman malahan hendak menghancurkan kebenaran sejati. Gejala ini sudah nampak dengan munculnya berbagai macam aliran filsafat, seperti postmodernisme. “Sebab ada tertulis...“ berarti kita harus kembali pada obyektifitas kebenaran yang dituliskan dalam Firman Tuhan bahkan manusia sudah mulai terang-terangan menegaskan bahwa standar kebenaran ada pada diri sendiri oleh karena itu manusia tidak perlu taat pada kebenaran Firman. Inilah sifat humanisme, yaitu manusia menjadi pusat dan standart dari segala sesuatu, manusia tidak perlu tunduk pada siapapun dan apapun. Tidak! Alkitab menegaskan Tuhanlah yang menjadi pusat dari segala sesuatu bukan manusia, “sebab ada tertulis...“ Hati-hati dengan gerakan postmodern yang hendak memutarbalikkan kebenaran dengan mempermainkan bahasa. Gerakan ini muncul pada pertengahan abad 20 dimulai dari pertemuan para filsuf di lingkaran Vienna dan salah satu pelopor filsafat postmodern ini adalah Jacques Derrida yang menulis buku Of Grammatology. Dalam bukunya tersebut ia mempermainkan makna sebuah bahasa dalam hermeneutika modern atau biasa dikenal dengan istilah language game.
Dalam Kekristenan, hermeneutika mempunyai pengertian ilmu menafsir Alkitab dengan tepat tapi kini istilah hermeneutik telah berubah maknanya yakni ilmu menafsirkan bahasa tapi menurut pengertian sendiri. Bayangkan, apa jadinya Alkitab kalau kita menafsir secara sembarangan menurut pengertian kita sendiri tanpa melihat konteks dan latar belakang sejarahnya maka Alkitab tidak lebih hanya sebuah buku dongeng yang dengan mudah dapat dipermainkan. Permainan bahasa ini dikenal dengan istilah plesetan dimana satu kalimat bahasa bisa mempunyai beberapa arti, sebagai contoh kalimat berikut: Hari ini harga-harga perlu disesuaikan. Istilah “disesuaikan“ disini bisa mempunyai beberapa arti terserah penafsiran kita masing-masing, ada yang menafsirkan harga dinaikkan, ada juga yang menafsir harga yang diturunkan, dan lain-lain. Orang lebih suka menggunakan kata-kata yang mengandung banyak arti daripada kata-kata yang mempunyai arti yang akurat seperti “sebab ada tertulis“ karena mereka sebenarnya hendak menghindar dari tuntutan pertanggung jawaban dari sesuatu yang dianggap benar.
Manusia mau menegakkan kebenarannya sendiri tapi tidak berani mengatakannya secara terus terang pada dunia karena sesungguhnya dia sadar bahwa kebenaran menurut diri sendiri tersebut merupakan ekspresi dari keegoisan dirinya jadi bukanlah kebenaran sejati. Orang yang demikian pasti akan mengalami kehancuran dalam hidupnya karena dia telah terbiasa menipu orang lain maka suatu hari nanti ia pasti menjadi korban dari penipuan. Kalau kita bisa menipu diri sendiri tentu kita lebih mudah ditipu oleh orang lain, bukan? Celakalah kalau kebenaran menurut kita masing-masing maka itu berarti kalau ada 100 orang maka berarti ada 100 kebenaran. Kebenaran relatif menjadikan kebenaran subyektif yang pluralistik, banyak kebenaran tetapi tidak ada satupun yang mau bertanggung jawab kalau ternyata kebenaran yang mereka ungkapkan tersebut salah. Ketika kebenaran subyektif bertemu dengan kebenaran obyektif maka dengan sendirinya kebenaran subyektif akan hancur. Itulah sebabnya orang tidak suka dengan “sebab ada tertulis...“ Orang berdosa paling takut jika harus berhadapan dengan kebenaran sejati, yaitu Firman Tuhan karena mereka seakan ditelanjangi akan dosa-dosanya. Ironisnya mereka tidak bertobat dan kembali pada kebenaran Firman tapi mereka justru menjauh dari Firman seperti peribahasa buruk muka cermin dibelah. Di satu sisi manusia sadar bahwa kebenaran subyektif bukanlah kebenaran sejati tapi manusia tidak mau kembali pada kebenaran obyektif, manusia sadar kalau dirinya butuh sandaran sehingga mereka menyandarkan kebenaran dengan logika.
Iblis pun tak ketinggalan juga menggunakan logika ketika ia mencobai Tuhan Yesus di padang gurun begitu juga Tuhan Yesus yang juga menggunakan logika ketika menjawab untuk melawan si iblis. Logika Iblis dan logika Tuhan Yesus berbeda bahkan bertentangan. Karena iman menjadi dasar yang melandasi setiap pemikiran dan keputusan yang kita buat maka hendaklah kita menguji iman kita. Apakah kita mempunyai iman yang sejati, yaitu iman kepada Tuhan Yesus Kristus? Lalu dengan apakah kita menguji iman? Apakah dengan logika? Tidak! Iman tidak dapat diuji dengan logika karena jika demikian berarti logika lebih tinggi dari iman padahal logika hanyalah sebagai sarana iman. Iman hanya dapat diuji dengan:
I. Sola Scriptura
Sejarah mencatat seorang bernama Martin Luther, tokoh reformasi berteriak dengan keras supaya manusia kembali pada Alkitab ketika manusia mulai menyelewengkan Firman Tuhan. Karena pada jaman itu ada kepercayaan bahwa jiwa manusia akan dapat diselamatkan kalau sanak keluarganya membeli surat pengampunan dosa. Setiap uang persembahan yang berdenting dalam kotak persembahan akan membuat satu nyawa melompat dari neraka ke surga. Ide untuk menjual surat pengampunan dosa ini muncul dari seorang arsitek, Johan Tetzel dalam rangka mencari dana untuk membangun gereja St. Peter di Roma. Sejarah mencatat kemegahan gereja St. Peter, Roma dan menjadi kebanggaan manusia di dunia hingga kini. Namun sangatlah disayangkan, keindahan dan kemegahannya tidak diiringi dengan kesaksian yang indah. Melihat lukisan indah Michael Angelo yang berada pada atap dinding, orang akan terkenang dengan hal yang buruk, yaitu si pelukis hanya melakukan sebatas tugas, tidak ada hati yang melayani.
Michael Angelo merasa dipersulit dengan melukis atap gereja yang berbentuk melengkung sedang rekannya yang junior, Raphael hanya melukis di bagian dinding. Andai, ia mengerjakannya dengan kesadaran bahwa semuanya ini ia kerjakan demi untuk kemuliaan Tuhan maka pasti akan menjadi kesaksian yang indah. Ingat, dentingan uang tidak dapat menyelamatkan nyawa kita. Sola Fide, Sola Scriptura, Sola Gracia, yakni hanya kembali pada iman, kembali pada Alkitab dan hanya karena anugerah saja maka manusia diselamatkan. Inilah dasar reformasi yang ditegakkan oleh Martin Luther dalam 95 dalil yang dipakukan di depan gereja Wittenberg. Manusia sangatlah terbatas sehingga manusia tidak berhak menegakkan kebenarannya sendiri. Hanya kembali pada Firman saja barulah kita akan menemukan kebenaran sejati.
Kalimat yang diungkapkan iblis pada Yesus, “Jika Engkau Anak Allah, perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti“ menggunakan logika yang tidak logis. Kenapa?
Pertama, karena tidak pada semua manusia, iblis mengeluarkan kalimat demikian; kalimat ini hanya ditujukan pada Tuhan Yesus saja hal ini berarti iblis sudah tahu bahwa Yesus adalah anak Allah; kata “jika“ iblis sepertinya meragukan bahwa Yesus adalah Anak Allah. Anggaplah iblis ragu bahwa Yesus adalah Anak Allah lalu kenapa ia meminta pada Yesus untuk mengubah batu menjadi roti? Bukankah cara yang sama juga dipakai oleh iblis untuk menggoda Adam dan Hawa supaya jatuh ke dalam pencobaan? Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan? (Kej. 3:1). Dengan licik Iblis menggunakan kalimat sedemikian rupa untuk menjebak manusia supaya jatuh ke dalam pencobaan. Kalimat tersebut bukanlah kalimat pernyataan tapi hanyalah kalimat pertanyaan. Inilah yang dinamakan dengan permainan logika yang tidak logis. Iblis tahu jawabannya tapi ia sengaja menjebak manusia dengan kalimat pertanyaan tersebut.
Kedua, Yesus adalah Anak Allah tentu Ia dapat mencipta roti hanya dengan berfirman seperti ketika Ia menciptakan seluruh alam semesta ini. Tuhan Yesus tidak perlu batu, bahan yang sudah ada untuk membuat sekeping roti. Iblis tidak dapat mencipta seperti Allah; Allah mencipta dari tidak ada menjadi ada. Iblis tahu bahwa Yesus adalah Anak Allah, Sang Pencipta tapi antara pengertian dengan pertanyaan iblis yang memerintahkan Yesus supaya mengubah batu menjadi roti sangatlah tidak logis.
Ketiga, Yesus, Anak Allah maka logisnya seorang Anak Allah tidak membutuhkan makanan atau sesuatu yang lain yang bersifat materi untuk memenuhi kebutuhan jasmani-Nya. Hanya anak manusia saja yang dapat lapar dan membutuhkan makanan. Iblis dengan licik mau mencoba mengadu domba antara ke-Allah-an Yesus dengan kemanusiaan Yesus. Namun Yesus tidak mudah terjebak masuk dalam jebakan iblis sehingga tidak terjadi perdebatan yang sifatnya sekunder. Hal yang esensi adalah manusia hidup bukan hanya dari roti saja tetapi dari setiap Firman yang keluar dari mulut Allah. Ini menjadi dasar bagi kita untuk berapologetik, yaitu ketika kita diminta untuk memberikan pertanggung jawaban mengenai iman kita maka janganlah beragumen di dalam logika lawan tapi justru kita bawa mereka masuk ke dalam logika kebenaran sejati, yaitu logika berdasarkan yang iman pada Tuhan Yesus. Logika Tuhan Yesus dan logika iblis berbeda baik pendekatan, struktur dan caranya, semuanya berbeda. Namun, ada baiknya juga kalau kita juga memahami semua logika iblis dengan demikian kita tidak akan masuk dalam jebakan iblis.
II. Interpretasi Akurat
Tuhan Yesus melawan iblis dengan Firman dan Tuhan Yesus mengajak iblis untuk masuk dalam logika-Nya. Setelah pencobaan pertama tidak berhasil, kali ini iblis pun mencoba menggunakan firman untuk mencobai Yesus lagi. Dengan licik, iblis menggunakan firman untuk mencobai Tuhan Yesus yang kedua kalinya, yaitu: Mzm. 91:11-12. Pada pencobaan yang kedua, Iblis menggunakan sarana rohani, yaitu Bait Allah dan Firman Allah. Kita akan menemukan sesuatu yang unik dalam diri Tuhan Yesus saat melawan iblis, yaitu tiga kali dicobai, Yesus hanya menggunakan satu ayat saja dan ketiga-tiganya berasal dari satu kitab Taurat, yaitu kitab Ulangan 8:3; 6:16; 6:13. Tuhan Yesus menangkal hanya menggunakan satu ayat tapi iblis lebih dari satu ayat.
Jadi, banyaknya ayat yang dipakai oleh seorang hamba Tuhan dalam kotbahnya bukanlah jaminan kalau yang dikotbahkan tersebut pastilah benar. Justru semakin banyak ayat yang digunakan maka peluang seseorang menjadi bidat semakin besar karena ayat-ayat tersebut tidak beda seperti halnya kalau kita bermain puzzle. Ingat, setiap ayat yang ditulis dalam Alkitab berbeda konteks, latar belakang budaya, dan lain-lain karena itu jangan menafsir Alkitab dengan sembarangan. Karena itu kita harus belajar Alkitab lebih sungguh sehingga kita tidak mudah digoyahkan. Kalau pada pencobaan pertama setan menggunakan logika dunia maka pada pencobaan yang kedua, ia menyamakan logikanya seperti Tuhan Yesus, yaitu menggunakan logika Firman. Hati-hati, setan tidak segan-segan menggunakan firman untuk menjatuhkan manusia. Orang Kristen kalau melihat dari sudut pandang Alkitab dengan tepat maka kita tidak akan mudah tertipu, kita harus tulus seperti merpati dan cerdik seperti ular, kedua hal ini harus ada dalam diri kita.
Tuhan Yesus adalah Anak Allah, maka sebenarnya Ia tidak perlu mengatakan, “Sebab ada tertulis...“ karena Dia sendiri adalah Firman yang telah menjadi daging namun Dia menggunakan Firman ketika melawan iblis demi untuk kita, yaitu supaya kita dapat meneladani-Nya. Jadi, setiap anak Tuhan yang sejati pun dapat melawan dan mengalahkan iblis dengan kuasa Firman. Lalu siapakah anak Tuhan yang sejati? Anak Tuhan yang sejati adalah mereka yang melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan-Nya (Yoh. 4:34) sehingga nama Tuhan dipermuliakan. Iblis memakai ayat Alkitab bukan untuk taat pada Tuhan tetapi untuk memanipulasi dan menuntut orang lain; dalam hal ini iblis ingin supaya Tuhan Yesus taat dan tunduk padanya. Inilah cara iblis bekerja bahkan tanpa kita sadari kita sebenarnya telah menggunakan cara yang sama seperti cara iblis namun berapa banyak di antara kita yang sadar, memohon ampun dan bertobat kembali pada Tuhan?
Dunia semakin hari tidak menjadi semakin baik tapi dunia semakin menuju pada titik kehancuran, manusia sudah menjadi serigala terhadap sesamanya, homo homini lupus maka jangan percaya kalau ada orang berpendapat bahwa hari esok akan lebih cerah dari hari ini. Manusia hidup di dunia tidak akan luput dari pencobaan bahkan iblis pun berani mencobai Tuhan Yesus, Anak Allah. Puji Tuhan, Yesus telah memberikan teladan bagi kita sehingg kita pun dapat melawan iblis dan menjadi berkemenangan. Tetaplah setia pada Firman supaya kita tidak mudah digoyahkan oleh segala macam tipu daya iblis. Bacalah keseluruhan isi Alkitab secara berurutan mulai dari Kejadian sampai Wahyu sehingga kita dapat mengerti isi Alkitab sebagai satu kesatuan yang utuh. Percayalah, Firman yang sudah kita baca tidak akan pernah berbalik dengan sia-sia karena Firman tersebut akan menjadi berkat di kala kita mengalami suka dan duka. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber :

Resensi Buku-17 : TIADA TEMPAT BAGI KEBENARAN (Prof. David F. Wells, Ph.D.)

...Dapatkan segera...
Buku
NO PLACE FOR TRUTH (TIADA TEMPAT BAGI KEBENARAN)

oleh : Prof. David F. Wells, Ph.D.

Penerbit : Momentum Christian Literature (Fine Book Selection), 2004

Penerjemah : Peter Suwadi Wong.





Buku ini ditulis untuk mendorong terjadinya kebangunan di dalam teologi Injili. Tiada Tempat Bagi Kebenaran akan mengungkapkan tumpang-tindih yang terjadi di antara iman Kristen dan dunia modern dengan cara yang sepenuhnya baru dan dengan ketegasan yang tidak biasa. Analisis David Wells yang menyeluruh ini mengamati runtuhnya teologi di dalam gereja, dunia pendidikan dan budaya modern, sambil sekaligus mempertanyakan masa depan iman Kristen konservatif.





Profil Dr. David F. Wells :
Prof. David F. Wells, Ph.D. adalah profesor terkenal Andrew Mutch dalam bidang Theologia Sistematika dan Historika di Gordon-Conwell Theological Seminary, South Hamilton, Massachusetts. Beliau juga melayani sebagai Asisten Khusus pada the President for Institutional Planning. Beliau ditahbiskan menjadi pendeta jemaat.
Beliau lahir di Bulawayo, Rhodesia Selatan (sekarang Zimbabwe) dan belajar di University of Cape Town. Pada tahun 1960, beliau mencapai kemampuan profesional di dalam bidang arsitektur dan sesudah itu latihan di Inggris. Ketika di University of Cape Town, Dr. Wells sadar akan imannya dan merasakan panggilan Allah untuk pelayanan Kristen.
Pada tahun 1966, beliau meraih gelar Bachelor of Divinity (B.D.) dari London University, Inggris, pada tahun 1967, Master of Theology (Th.M.) di dalam bidang sejarah gereja dari Trinity Evangelical Divinity School, Deerfield, Illinois, dan pada tahun 1969, Doctor of Philosophy (Ph.D.) dalam bidang theologia dari University of Manchester di Inggris. Beliau dipilih sebagai seorang cendekiawan yang mengadakan penelitian di Yale Divinity School dari tahun 1973 sampai 1974.
Dr. Wells bergabung dengan staf pengajar di Gordon-Conwell secara full-time pada tahun 1979. Dr. Wells dan istrinya, Jane, tinggal di South Hamilton, Massachusetts.
Buku-buku karya Dr. Wells : Bleeding of the Evangelical Church ; God in the Wasteland: The Reality of Truth in a World of Fading Dreams ; Losing our Virtue: Why the Church Must Recover it's Moral Vision ; No Place for Truth or Whatever Happened to Evangelical Theology ; Reformed Theology in America: A History of it's Modern Development ; Christian Faith and Practice in the Modern World: Theology from an Evangelical Point of View Dutch Reformed Theology ; The Evangelicals: What They Believe, Who They Are, Where They Are Changing ; God the Evangelist: How the Holy Spirit Works to Bring Men and Women to Faith ; Gospel in the Modern World a Tribute to John Stott ; The Person of Christ: A Biblical and Historical Analysis of the Incarnation ; The Princeton Theology (Reformed Theology in America) ; The Prophetic Theology of George Tyrell ; Search for Salvation ; Southern Reformed Theology ; Turning to God: Biblical Conversion in the Modern World.

16 August 2007

BISNIS NARKOBA DAN TEORI KIYOSAKI (Augustinus Simanjuntak, S.H., M.H.)

Bisnis Narkoba dan Teori Kiyosaki
oleh : Augustinus Simanjuntak, S.H., M.H.
(dosen Hukum Bisnis di Fakultas Ekonomi, Universitas Kristen Petra, Surabaya ; kandidat doktor ilmu hukum di Universitas Airlangga—UNAIR, Surabaya ; anggota jemaat Gereja Reformed Injili Indonesia—GRII Andhika, Surabaya {digembalakan oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.})


Bisnis narkoba benar-benar bertumbuh pesat di kota Metropolis. Satu per satu pabrik narkoba besar berhasil diungkap oleh kepolisian. Mulai dari kasus Hangky Gunawan di Perumahan Graha Famili (Juni 2006) yang mampu memproduksi 88 ribu butir ekstasi (Nopember 2005 hingga Januari 2006), kasus Handoko di Jalan Nginden Intan Timur dan Manyar Tirtoyoso (Juni 2006) dengan barang bukti 6 kg sabu-sabu, dan kasus Setiawan Budi di Taman Internasional I Perumahan Citra Raya (April 2007) yang mampu memproduksi 60 kg sabu-sabu. Kasus terheboh dan tergolong terbesar yang berhasil diungkap oleh kepolisian di Surabaya ialah kasus pabrik ekstasi Graha Famili jilid II (28 Juli) yang bisa memproduksi 27 ribu butir ekstasi per minggu. Tiga peracik ekstasi berhasil ditangkap dan dijadikan tersangka, yaitu Andi Setiawan, Andreas Hartanto, dan Agus Wigijono. Belum selesai keprihatinan warga Metropolis atas terbongkarnya pabrik-pabrik ekstasi tersebut, kepolisian kembali mengungkap dua pabrik ekstasi sekaligus, yaitu di perumahan Istana Candi Mas Sidoarjo dan di Kisi Gempol Pasuruan. Lima orang tersangka berhasil ditangkap (Gogong Kusnul Yakin, Yoyok Setio Utomo, Gunawan Triatmoko, Tri Rekso Dindarto, Sumardi Hardjito). Barang bukti yang berhasil disita berupa puluhan jenis bahan kimia untuk memproduksi sabu-sabu yang siap diolah (Jawa Pos, 2/8). Kita tentu sangat heran, mengapa bisnis narkoba bertubuh begitu pesat di Surabaya dan sekitarnya? Jawabannya bisa saja beragam. Dari segi hukum, misalnya, maraknya kejahatan narkoba tidak bisa dilepaskan dari ringannya vonis yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya terhadap para pelakunya. Dengan kata lain, penegakan hukum belum bisa memberikan efek jera terhadap para pelaku sekaligus belum bisa membuat rasa takut bagi warga yang berpotensi melakukannya. Menyitir pandangan kriminolog Noach bahwa kejahatan (narkoba) tidak mungkin bisa dihilangkan dari masyarakat. Tindakan yang mungkin bisa dilakukan oleh negara dan masyarakat adalah mengurangi atau membatasinya. Pemikiran Noach tersebut sejalan dengan pandangan kriminolog Frank Tannembaum yang mengatakan: Crime is eternal - as eternal as society (kejahatan adalah abadi, seabadi masyarakat). Kalau begitu, secara ontologis, apa sebenarnya akar pertumbuhan kejahatan narkoba di Metropolis?
Akibat Kurang Uang ?
Robert T. Kiyosaki dalam bukunya berjudul Rich Dad, Poor Dad membuka tulisannya dengan dua pilihan asumsi dasar yang menjadi landasan pemikirannya, terutama dalam menyikapi akar kejahatan. Ia menulis: Aku punya dua ayah. Ayah yang pertama mengatakan "cinta uang adalah akar kejahatan". Sedangkan ayah yang kedua mengatakan "kurang uang adalah akar kejahatan". Selanjutnya, Kiyosaki mengatakan: Aku tidak mungkin mengikuti keduanya sekaligus. Bila aku mengikuti ayah yang satu maka aku melawan ayah yang lainnya. Jadi, aku harus memilih, dan aku memilih ayah yang kedua (kurang uang adalah akar kejahatan). Implikasinya, kejahatan narkoba di Metropolis muncul dan berkembang akibat faktor ekonomi atau kurangnya uang dari para pelakunya. Oleh karena itu, pemberantasan kejahatan narkoba bisa dilakukan dengan perbaikan ekonomi masyarakat.
Menciptakan orang-orang kaya baru merupakan solusi efektif dalam mengatasi kejahatan narkoba. Benarkah demikian? Titik kelemahan pemikiran Kyosaki terletak pada pemaknaan yang tidak jelas antara "cinta uang" dengan "kurang uang". Kalau dipahami dari segi makna cinta, maka cinta uang adalah suatu keinginan atau hasrat yang mendalam untuk memiliki uang, bahkan rela mengorbankan apa saja untuk meraihnya. Sayangnya, objek cinta yang seharusnya ditujukan kepada sesama manusia justru ditujukan kepada benda mati (uang). Objek cinta yang salah merupakan suatu penyimpangan dan bisa menjadi akar perilaku menyimpang. Seperti halnya seseorang yang rela berbuat apa pun demi cinta, demikianlah orang yang cinta uang. Ia rela mempertaruhkan integritas atau harga dirinya demi uang. Ia tidak lagi berpikir bahwa memproduksi dan menjual narkoba bias merusak masyarakat dan bisa membuatnya masuk penjara. Apalagi omset bisnis narkoba bisa mencapai jutaan hingga milyaran rupiah. Dengan demikian, sungguh ironis jika seseorang berani berbuat apa saja, termasuk berbisnis narkoba, hanya karena tergila-gila terhadap uang. Nilai hidupnya seolah sudah melekat pada uang, sehingga bagi dia kemiskinan materi merupakan suatu kehinaan. Disadari atau tidak, produsen narkoba seolah sudah menjadi hamba uang untuk melakukan tindak kriminal. Dalam positioning yang demikian itulah terbukti bahwa cinta uang merupakan akar kejahatan. Pola pikirnya ialah, bagaimana meraih uang banyak dengan cepat tanpa memikirkan bagaimana caranya (cara benar atau tidak). Para penjahat narkoba seolah tidak peduli meskipun ulahnya telah merusak masa depan banyak generasi muda. Dari sisi konsumen, seorang kecanduan narkoba bisa saja karena iseng, diajak teman, atau karena tekanan hidup di perkotaan. Ketika mereka membutuhkan narkoba, di saat itulah mereka menghamburkan uang untuk membelinya. Para pecandu narkoba tidak memandang usia, strata sosial, dan tingkat ekonomi. Tidak sedikit orang berduit justru terlibat dalam penggunaan narkoba. Dengan kata lain, mereka sebenarnya tidak bisa dikategorikan sebagai orang yang kurang uang. Di kota ini banyak orang yang kurang uang tetapi tidak berarti mereka menjadi otomatis sebagai penjahat. Kalau kejahatan timbul karena kurang uang maka sebanyak 37,17 juta penduduk miskin Indonesia (data BPS 2007) akan berubah menjadi penjahat. Namun kenyataannya tidak demikian. Justru, sebaliknya, orang yang tak cukup banyak materi bisa lebih banyak belajar tentang makna hidup ketimbang orang yang kaya materi tanpa melalui usaha keras, apalagi jika kekayaannya itu berasal dari kejahatan narkoba. Manusia tidak seharusnya mau diperbudak oleh uang, akan tetapi uang harus ditempatkan sebagai alat manusia untuk membantu memaknai hidup yang sesungguhnya di dalam kebenaran, keadilan, dan keindahan. Namun demikian, uang juga tidak seharusnya dijadikan sebagai alat untuk menindas orang lain demi tujuan retire young atau pensiun muda (meminjam istilah Kiyosaki).
Alternatif Solusi
Kejahatan narkoba tidak bisa diatasi dengan kecukupan uang yang sifatnya sangat relatif. Justru pola pikir cinta uanglah penyebab banyaknya manusia melakukan kejahatan narkoba, termasuk pula perilaku korupsi di pemerintahan, perampokan, pembunuhan, dan sebagainya. Uang tanpa cinta tidak akan pernah memuaskan rasa 'cinta uang', akan tetapi mencintai dan dicintai sesama manusia bisa membuat orang puas tanpa harus membelinya dengan uang. Oleh karena itu, upaya yang perlu dilakukan adalah mengubah pola pikir warga masyarakat tentang hidup. Perlu ditanamkan sejak dini bahwa hidup berhasil itu perlu proses pembelajaran, kerja keras, dan pengorbanan secara benar. Penanaman pola pikir yang benar akan berperan dalam meluruskan potensi penyalahgunaan narkoba di masyarakat. Selain itu, tekanan psikis di perkotaan acapkali menjadi pemicu banyaknya warga Metropolis yang terjerumus ke dalam penggunaan narkoba. Semakin banyak warga yang stres maka pasar konsumen narkoba di kota ini semakin luas pula. Kondisi inilah yang mendorong lahirnya produsen-produsen narkoba baru di tengah masih lemahnya upaya penegakan hukum. Untuk itu, pemerintah dan pihak swasta perlu menciptakan suasana yang bisa mengurangi tingkat stres warga kota. (augussm@peter.petra.ac.id)

Matius 4:3 : THE DEVIL'S DEEDS

Ringkasan Khotbah : 27 Juni 2004
The Devil's Deeds
oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 4:3


Seseorang dapat menjadi Juruselamat dunia kalau ia telah memenuhi seluruh tuntutan hukum Taurat dan ia haruslah orang yang tidak berdosa. Satu-satunya manusia di dunia yang dapat memenuhi syarat tersebut sehingga ia layak menjadi seorang Juruselamat hanyalah Yesus. Bukanlah hal yang mudah untuk menjadi seorang Juruselamat dunia, banyak proses yang harus dilewati dimana proses tersebut menuntut manusia untuk taat mutlak pada pimpinan Tuhan. Yesus, Allah Anak, pribadi kedua dari Allah Tritunggal harus dibaptiskan oleh seorang Yohanes Pembaptis dan tidak cukup sampai di situ setelah dibaptis Dia harus melewati “padang gurun“ - Yesus dicobai oleh Iblis. Cara Roh Kudus memimpin berbeda dengan konsep manusia. Orang berpendapat kalau Roh Kudus memimpin maka orang menjadi berkuasa sehingga memudahkan manusia untuk menggenapkan misi Kerajaan Allah. Namun Roh Kudus justru memimpin Kristus masuk ke padang gurun untuk dicobai Iblis.

Logika manusia sulit untuk memahami kenapa Tuhan memimpin orang masuk dalam berbagai tantangan setelah dibaptis? Ironisnya, manusia merasa diri lebih pandai dan lebih berbijaksana dari Tuhan sehingga orang seringkali menyalahkan cara Tuhan yang dirasakan tidak sesuai dengan dirinya. Hanya Roh Kudus saja yang dapat menyadarkan dan mengubah paradigma dengan demikian kita dapat membedakan cara Tuhan dan cara Iblis bekerja. Ketika kita sedang memilah dua aspek ini maka kita dapat mengkoreksi diri berada di posisi sebelah manakah kita? Apakah cara bertingkah laku, cara berpikir kita sama serupa Tuhan ataukah serupa hantu? Oleh karena itu kita harus memahami perilaku dan cara Iblis sehingga menjadikan manusia lebih waspada, yaitu:
1. Tindakan yang Cerdik dan Licik
Kata “lalu“ yang tertulis dalam Mat. 4:3 merupakan kata sambung yang menjadi penyambung dari kejadian sebelumnya. Iblis datang untuk mencobai Yesus pada saat yang tepat, yakni pada saat Tuhan Yesus lapar setelah berpuasa empat puluh hari empat puluh malam. Iblis datang di saat manusia berada dalam keadaan yang paling lemah dan berputus asa. Sebagai anak Tuhan, kita pun diajar untuk cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati (Mat. 10:16) dengan demikian setiap tindakan dan keputusan yang kita ambil mempunyai motivasi yang murni. Kecerdikan dan ketulusan ini tidak boleh dipisahkan karena hanya cerdik saja akan menjadikan kita seorang yang licik sebaliknya kalau hanya tulus saja maka tak ayal kita akan menjadi bulan-bulanan orang lain. Hati-hati dengan akal licik si Iblis yang datang ketika manusia sedang lemah dan sangat membutuhkan pertolongan.

Iblis datang seolah-olah memberikan pada kita solusi. Ingat, solusi yang diberikan Iblis hanyalah bersifat sementara malahan akan mencelakakan diri sendiri. Manusia menganggap bahwa dipimpin Roh Kudus berarti kita tidak akan pernah mengalami kesulitan dan semua pelayanan yang berhubungan dengan misi Kerajaan Allah akan berjalan lancar. Alkitab menegaskan iman kita justru diuji di saat kita berada dalam kesulitan. Dalam hal ini iman Ayub telah teruji ketika ia tetap taat meski untuk mempertahankan imannya ia harus menderita. Pada saat kita berada dalam penderitaan, sakit penyakit apakah kita masih bisa memuji Tuhan dan tetap teguh beriman? Hati-hati, ketika kita berada dalam kondisi yang sangat kritis, panik dan tanpa pengharapan maka Iblis akan datang dengan menawarkan berbagai solusi. Dalam hal ini Iblis mengambil kesempatan dalam kesempitan. Iblis tidak mengembalikan manusia pada hakekat dan tujuan awal Tuhan mencipta tetapi Iblis justru semakin menjauhkan kita dari Tuhan. Iblis mengajar manusia supaya lari dari kesulitan dengan cara yang diajarkan olehnya dan biasanya cara Iblis ini sangat cocok dengan konsep manusia berdosa. Maka tidaklah heran kalau di dunia banyak manusia yang jatuh ke dalam dosa karena godaan si Iblis.

Sebelum menjalankan misi-Nya di dunia Kristus harus melewati “padang gurun“ untuk menyatakan komitmen dan kualitas pelayanan, to proclaim His comitment. Dengan demikian barulah kita memahami cara Roh Kudus memimpin setiap anak Tuhan. Di sepanjang sejarah Alkitab, setiap orang yang dipakai Tuhan seperti Abraham, Musa, Daud dan masih banyak lagi pun harus melewati “padang gurun“ terlebih dahulu. Tujuan Roh Kudus membiarkan kita masuk berjalan dalam padang gurun adalah untuk memperkokoh kekuatan iman kita sehingga kita siap dipakai Tuhan untuk mengerjakan pekerjaan-Nya yang besar. Seperti halnya ulat untuk berubah menjadi kupu-kupu dibutuhkan perjuangan yang keras; ia harus memecahkan kepompong yang menyelimuti dirinya terlebih dahulu. Berbeda halnya kalau kita berusaha menolong si ulat keluar dari kepompongnya maka pertolongan itu justru menyebabkan kematian bagi si ulat.

Kalau kita hanya mau segala sesuatunya beres berarti kita telah melewatkan proses yang Tuhan mau kerjakan dalam hidup kita. Hal itu tidak akan membuat kita menjadi seorang yang beriman tetapi akan menjadikan kita lumpuh dan tidak bisa berbuat apa-apa. Tuhan memimpin masuk ke padang gurun adalah demi untuk kebaikan kita, yaitu untuk memperkokoh iman namun logika manusia sulit untuk mengerti pimpinan Tuhan. Manusia seringkali beranggapan bahwa pimpinan Tuhan pastilah indah, lancar dan senang jalannya. Keputusan ada pada kita sekarang mau ikut cara Tuhan ataukah cara iblis?

2. Kebaikan Palsu
Di tengah dunia modern muncul gerakan humanisme dimana manusia ingin menjadi penolong bagi sesamanya bahkan gerakan ini telah menjadi trend. Orang yang demikian sebenarnya dibagi menjadi dua kategori, yakni: 1) orang kaya yang kelebihan uang dan tidak tahu bagaimana cara menghabiskan uangnya, 2) orang yang “gila“ hormat. Dua macam kategori ini jika bersatu mengerjakan segala sesuatu pasti mempunyai beberapa motivasi, yaitu: pertama, berharap mendapatkan imbalan berkat yang lebih besar dengan memberi berkat sedikit. Dalam hal ini berlaku prinsip ekonomi, yaitu dengan modal sekecil-kecilnya mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Akibatnya, jika ia tidak mendapatkan keuntungan seperti yang diharapkan maka orang menjadi marah dan menyalahkan Tuhan karena Dia sebagai sang pemberi berkat tidak melimpahkan berkat. Jadi, perbuatan baik yang mereka lakukan sebenarnya bukanlah perbuatan baik karena mereka hanya ingin mendapatkan keuntungan saja. Kedua, dari perbuatan baik tersebut orang ingin dihormati. Maka tidaklah heran kalau orang ingin melakukan perbuatan baik maka ia akan mencari tempat dimana di sana ia disanjung dan dipuji bak dewa penolong. Ketiga, orang melakukan perbuatan baik untuk menutupi dosa/kesalahan yang telah diperbuatnya sehingga orang tidak melihat hal yang buruk tapi hanya melihat yang baiknya saja. Keempat, perbuatan baik menjadi ajang bisnis, yakni berbuat baik sama dengan iklan.

Alkitab mengajarkan jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu (Mat. 6:3). Hal itu berarti berbuat baik haruslah dilakukan dengan motivasi murni. Manusia tidak berhak mengambil keuntungan dari perbuatan baik yang kita lakukan tersebut, seperti hormat dan pujian atau imbalan, If you do goodness then you do it with pure motivation with clear heart. Setelah kita memahami berbagai motivasi orang melakukan kebaikan maka hendaklah kita waspada dengan akal licik si Iblis. Hati-hati, dengan tipu muslihat si Iblis yang menginginkan relasi antar manusia, relasi suami istri rusak karena uang. Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang (1Tim. 10:10a) oleh sebab itu jangan jadikan uang sebagai yang terutama dalam hidupmu, uang akan mencelakakan diri kita sendiri.

3. Pembalikan Posisi
Kedatangan Iblis sepertinya mau menolong Tuhan Yesus dengan memberikan solusi untuk mengubah batu menjadi roti. Sebenarnya kalau Iblis mau menolong, ia pun dapat mengubahkan batu menjadi roti tapi dalam hal ini ia tidak melakukannya karena ia memang bukan seorang penolong sejati. Cara Iblis sangatlah licik, ia seolah-olah memberikan pernyataan dengan mengatakan,“Jika Engkau Anak Allah...“ padahal itu bukan pernyataan melainkan suatu pertanyaan yang mengandung unsur tantangan dan menuntut pembuktian karena jika memang benar Yesus adalah Anak Allah maka seharusnya Ia bisa mengubah batu menjadi roti. Puji Tuhan, Yesus tidak jatuh dalam godaan iblis, Yesus tahu akal licik iblis yang hendak memutar posisi; Iblis yang harus tunduk pada Yesus bukan sebaliknya karena Yesus adalah Anak Allah. Hati-hati dengan akal licik si Iblis yang selalu berusaha menjatuhkan manusia dengan kata-kata sanjungan dan pujian. Sebagai Anak Tuhan, saat kita memuji hendaklah setiap pujian yang keluar dari mulut kita keluar dari hati dan motivasi yang murni. Hendaklah kita senantiasa mengevaluasi diri kita apakah setiap tindakan yang kita lakukan berkenan di hati Tuhan? Jangan biarkan ambisi pribadi menjadi penyebab dari kehancuran tubuh Kristus. Oleh karena itu hendaklah:

Pertama, menguji terlebih dahulu setiap ide/gagasan apakah ide/gagasan tersebut adalah benar demi untuk kemajuan pekerjaan Tuhan dan merupakan kehendak Tuhan atau sekedar ambisi pribadi? Reformed menjalankan prinsip: orang yang mempunyai ide/gagasan itulah yang terlebih dahulu harus menjalankan gagasannya tersebut. Ingat, jika bukan kehendak Tuhan maka sebaik apapun ide/gagasan kita pasti akan hancur. Biarlah tiap-tiap orang menggumulkannya secara pribadi, apakah Tuhan berkenan/tidak atas semua hal yang kita lakukan?

Kedua, kalau memang sudah menjadi kehendak Tuhan maka tugas kita adalah taat mutlak pada pimpinan Tuhan. Meski kehendak Tuhan tersebut tidaklah sesuai dengan kehendak manusia bahkan bertentangan namun kita harus taat mutlak pada pimpinanNya karena pimpinan-Nya pastilah yang terbaik. Percayalah, Dia tidak akan pernah meninggalkan anak-Nya sendiri dalam menghadapi segala tantangan dan kesulitan karena Tuhan pasti akan menolong dan memberikan kekuatan; kita akan merasakan sukacita sejati ketika berjalan dalam pimpinan Tuhan. Cara Tuhan memimpin berbeda dengan cara iblis. Tuhan memberikan beban pada setiap anak-Nya dan kepada setiap orang yang diberikan beban itulah yang harus mengerjakannya terlebih dahulu. Namun cara iblis berbeda, ia selalu memperbudak dan memanfaatkan orang lain demi untuk mencapai keinginannya.

4. Orientasi pada Kebutuhan Perut
Iblis hanya peduli dengan hal-hal yang bersifat fisik belaka bukan hal yang bersifat esensi. Iblis tidak pernah peduli dengan spiritualitas atau hal-hal yang bersifat rohani. Tidak! Maka tidaklah heran kalau hal pertama yang diperhatikan Iblis adalah kelaparan yang dialami Yesus. Berbeda dengan cara Tuhan yang lebih memperhatikan kehidupan rohani dan pertumbuhan iman kita daripada kebutuhan fisik. Kalau kita hanya memperhatikan kebutuhan fisik saja, yakni kebutuhan akan makanan lebih dari spritualitas kita maka apa bedanya manusia dengan binatang? Bukankah demi untuk memenuhi kebutuhan makanan seekor binatang dapat saling membunuh? Manusia telah menggantikan kemuliaan Allah dengan gambaran yang mirip binatang dan hal ini sudah tertulis dalam Rom 1: 20-24.

Hari ini bahkan orang sudah tidak malu lagi mengakui dirinya sebagai humanimal (human-animal), manusia menyamakan dirinya dengan binatang sehingga segala tindakan manusia selalu disamakan dengan binatang. Maka tidaklah heran kalau hari ini kita menjumpai tingkah laku dan berbagai macam gaya manusia yang mirip dengan binatang. Inilah kekontrasan cara Tuhan dengan cara iblis yang berbeda seratus delapan puluh derajat; iblis membawa manusia pada kehinaan sebaliknya Tuhan membawa manusia pada kemuliaan. Manusia tidak memahami cara Tuhan sehingga cara Tuhan yang tidak sesuai dengan kehendaknya tersebut dianggap sebagai hal yang mencelakakan justru celaka yang terbesar adalah kalau manusia hanya mau menuruti keinginan dagingnya. Manusia hidup bukan hanya dari roti saja tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah (Mat. 4:4). Hanya kembali pada Firman saja maka kita tahu apa arti dan tujuan hidup kita. Biarlah setiap orang Kristen waspada dengan akal licik si iblis dan hendaklah selalu bersandar pada Tuhan dengan demikian kita tidak akan mudah jatuh ke dalam pencobaan. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)


Sumber :
http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2004/20040627.htm

Resensi Buku-16 : PEMUDA DAN KRISIS ZAMAN (Pdt. DR. STEPHEN TONG)

...Dapatkan segera...
Buku
PEMUDA DAN KRISIS ZAMAN

oleh : Pdt. DR. STEPHEN TONG

Penerbit : Stephen Tong Evangelistic Ministries International (STEMI), 1996

Transkrip : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.





Berapa banyak orang yang sadar akan pentingnya masa ini ? Sadarkah mereka akan keberadaan mereka di zaman ini ? Sudah siapkah mereka menghadapi tantangan yang ada di setiap zaman ?

Waktu-waktu dan hidup kita hanya dapat berjalan maju tanpa dapat mundur kembali. Setiap kesempatan yang diberikan oleh Tuhan kepada kita mungkin hanya satu kali saja dan tidak akan terulang lagi. Dapatkah kita berbijaksana dalam memandang zaman ini ?

(buku ini disertai bahan Tanya Jawab oleh Pdt. DR. STEPHEN TONG dan artikel tambahan/apendiks berjudul “Pemuda dan Gerakan Zaman Baru” oleh Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)





Profil Pdt. DR. STEPHEN TONG :
Pdt. DR. STEPHEN TONG melayani Tuhan sejak tahun 1957, baik di dalam bidang penginjilan, teologi, maupun penggembalaan. Pelayanan beliau yang telah terbukti menjadi berkat bagi zaman ini telah menarik perhatian banyak pemimpin gereja, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Perhatian tersebut khususnya ditujukan kepada Reformed Theology yang senantiasa beliau tegaskan. Sejak tahun 1974, beliau mengadakan seminar-seminar di Surabaya. Pada tahun 1984, beliau mulai mengadakan Seminar Pembinaan Iman Kristen (SPIK) di Jakarta, untuk menegakkan doktrin Reformed dan semangat Injili. SPIK dipimpin Tuhan untuk menjadi pendahuluan bagi berdirinya Lembaga Reformed Injili Indonesia (LRII) pada tahun 1986, di mana Pdt. DR. STEPHEN TONG mengajak Pdt. Dr. Yakub Susabda dan Pdt. Dr. Caleb Tong untuk menjadi pendiri bersama.

Selain memimpin SPIK, Pdt. DR. STEPHEN TONG juga mendirikan Sekolah Theologia Reformed Injili (STRI) Surabaya (1986), STRI Jakarta (1987), dan STRI Malang (1990). Beliau juga memperluas seminar-seminar pembinaan iman tersebut ke kota-kota besar lainnya di Indonesia dan kota-kota di luar negeri, yang pelaksanaannya diserahkan kepada Stephen Tong Evangelistic Ministries International (STEMI). Sejak tahun 1991 hingga saat ini (2006), Pdt. DR. STEPHEN TONG menjabat sebagai Rektor Sekolah Tinggi Theologia Reformed Injili Indonesia/STTRII (saat ini Rektor STTRII dipegang oleh Pdt. Yakub B. Susabda, Ph.D.) dan sejak tahun 1998 sebagai Rektor Institut Reformed.

Selain menegakkan doktrin Reformed di Indonesia, beliau juga pernah menjadi dosen tamu pada seminari-seminari di luar negeri, termasuk di China Graduate School of Theology di Hong Kong (1975 dan 1979), China Evangelical Seminary di Taiwan (1976), Trinity College di Singapura (1980, dan memberikan ceramah-ceramah termasuk di Westminster Theological Seminary, Regent College dan lain-lain di Amerika Serikat.

Di samping itu, Pdt. DR. STEPHEN TONG pernah menjabat sebagai dosen teologi dan filsafat di Seminari Alkitab Asia Tenggara (1964-1988), pendiri STEMI (1979), pendiri Jakarta Oratorio Society (1986), pendiri Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) pada tahun 1989, Gembala Sidang GRII Pusat, ketua Sinode GRII, pendiri Institute Reformed for Christianity and the 21st Century (1996) di Indonesia dan Amerika, Christian Drama Society (1999).

Roma 2:14-16 : STANDAR PENGHAKIMAN ALLAH: ESENSI ATAU FENOMENA ?-2

Seri Eksposisi Surat Roma :
Realita Murka Allah-12


Standar Penghakiman Allah : Esensi atau Fenomena ?-2

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 2:14-16.

Setelah kita merenungkan standar penghakiman Allah bagi orang-orang Yahudi dan non-Yahudi berdasarkan Taurat di mana Tuhan tidak tertarik kepada hal-hal fenomenal, tetapi Ia melihat hati manusia yang mau taat menjalankan apa yang Ia perintahkan, maka Paulus menjelaskan ayat 13 dengan lebih gamblang tentang standar penghakiman Allah yang lebih memperhatikan esensi ketimbang fenomena. Di ayat 14, Paulus mengajarkan, “Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri.” atau Bahasa Indonesia Sehari-hari menerjemahkan, “Orang-orang bangsa lain tidak mengenal hukum agama Yahudi. Tetapi kalau mereka atas kemauan sendiri melakukan apa yang diperintahkan oleh hukum itu, hati mereka sendirilah yang menjadi hukum untuk mereka, meskipun mereka tidak mengenal hukum agama Yahudi.” Kalau di ayat 13, Paulus menjabarkan bahwa Allah menghakimi manusia berdasarkan tindakan ketaatan manusia, maka di ayat 14 ini, Paulus menjelaskan tentang ketaatan manusia yang bukan Yahudi kepada Allah Israel. Kata “bangsa-bangsa lain” di dalam terjemahan Inggris berarti Gentiles yang identik dengan orang-orang kafir atau orang-orang non-Yahudi. Bagi orang-orang Yahudi, di luar Yahudi dan Taurat, tidak ada keselamatan. Oleh karena itu, mereka menghina orang-orang non-Yahudi sebagai orang kafir dan orang-orang buangan Allah, lalu mereka menganggap diri hebat, suci, benar, dll, karena mereka sudah memiliki Taurat. Padahal Taurat diwahyukan oleh Allah bukan sebagai bahan atau sesuatu untuk disombongkan. Melalui Taurat, Allah ingin semua bangsa di luar Israel mendengarkan kabar baik, tetapi sayangnya berita Taurat dimonopoli hanya oleh orang-orang Israel saja lalu menghina mereka yang bukan Yahudi (baik secara agama maupun bangsa). Kita pun seringkali melakukan apa yang orang-orang Yahudi lakukan. Sebagai orang Kristen, kita sudah mendapatkan jaminan anugerah keselamatan kekal dari Allah di dalam Kristus, tetapi herannya anugerah ini kita simpan terus-menerus dan tidak pernah kita bagikan dan beritakan kepada mereka yang belum mendengar berita Injil. Banyak dari kita menganggap bahwa kita tidak perlu menginjili, karena orang-orang di luar Kristus itu layak dibinasakan. Memang benar bahwa di luar Kristus tidak ada jalan keselamatan, tetapi prinsip ini jangan disalahmengerti lalu kita tidak mau memberitakan Injil. Kalau kita telah mendapatkan berkat yang terbesar yaitu keselamatan di dalam Kristus, itu seharusnya yang kita beritakan kepada orang lain. Jangan mengulangi kesalahan-kesalahan orang-orang Yahudi yang sombong karena telah memiliki Taurat. Meskipun orang-orang non-Yahudi tidak memiliki Taurat, mereka memiliki kemauan melakukan apa yang dituliskan oleh Taurat. Kemauan ini mutlak bukan atas dorongan mereka sendiri, tetapi digerakkan oleh Tuhan. Di dalam theologia Reformed, ini disebut anugerah umum (common grace), di mana Allah menyatakan anugerah umum-Nya untuk menghentikan sementara dosa dan akibatnya di dalam dunia. Sehingga tidak heran, di dalam dunia, kita dapat melihat orang-orang non-Kristen sekalipun memiliki perbuatan dan pemikiran yang baik dan pintar bahkan lebih daripada orang-orang Kristen. Ini membuktikan adanya anugerah umum Allah yang tetap mengandung bibit dosa. Mengapa mereka bisa melakukan Taurat ini meskipun tidak memiliki Taurat ? Taurat seperti apa yang digambarkan oleh Paulus ini ? Dalam tafsirannya, John Gill mengutip pernyataan Plato yang membagi hukum menjadi dua, yaitu hukum yang tertulis (written law) yang dipakai di negara dan hukum yang tidak tertulis (unwritten law) yang berdasarkan natur atau kebudayaan yang tertanam di dalam pikiran/hati manusia. Taurat secara harafiah dan tertulis tidak dimiliki oleh orang-orang non-Yahudi, tetapi secara tak tertulis, Taurat itu telah ditanamkan oleh Allah di dalam setiap hati manusia. Di dalam theologia Reformed, Allah menyatakan diri-Nya melalui dua sarana, yaitu wahyu umum (general revelation of God) yang meliputi alam dan hati nurani (respon manusia : sains dan agama/kebudayaan) dan wahyu khusus (special revelation of God) yang mencakup Tuhan Yesus dan Alkitab. Melalui prinsip ini, kita tetap harus menghargai bahwa orang-orang di luar Kristen pun boleh dikatakan berbijaksana, karena mengajarkan beberapa hal yang baik, misalnya dari Kong Fu-Tse bahwa segala sesuatu yang kamu tahu itulah pengetahuan atau dari Socrates bahwa segala sesuatu yang tidak kamu ketahui itulah yang disebut “tahu”. Kedua filsafat ini baik, karena mereka berdua meresponi apa yang Allah telah wahyukan secara umum di dalam hati nurani mereka. Meskipun baik, kedua filsafat ini masih kurang sempurna, mengapa ? Karena mereka hanya menerima wahyu umum Allah tanpa wahyu khusus Allah yang bersifat menyelamatkan dan menebus (redemptive revelation).

Selanjutnya, dasar kelakuan mereka dijelaskan oleh Rasul Paulus pada ayat 15, “Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela.” (Bahasa Indonesia Sehari-hari menerjemahkan, “Kelakuan mereka menunjukkan bahwa apa yang diperintahkan oleh hukum itu tertulis di hati mereka. Hati nurani mereka pun membuktikan hal itu, sebab mereka sendiri ada kalanya disalahkan dan ada kalanya dibenarkan oleh pikiran mereka.”). Mereka dapat melakukan apa yang Taurat perintahkan karena adanya hukum Allah tertanam di dalam hati nurani mereka. Di dalam terjemahan BIS, saya menyukai pernyataan yang dipakai, “Kelakuan mereka menunjukkan bahwa apa yang diperintahkan oleh hukum itu tertulis di hati mereka...” Tindakan seseorang mencerminkan apa yang mereka percayai, tetapi tidak berarti tindakan itu satu-satunya batu penguji apakah kepercayaan orang tersebut itu benar atau tidak. Mengapa pernyataan ini diajarkan oleh Paulus ? Apakah Paulus ingin mengajarkan bahwa yang terpenting itu perbuatan baik ? Bukankah di dalam Roma 3:24, 27, Paulus mengajarkan bahwa manusia dibenarkan melalui iman ? Lalu apakah kedua hal ini berkontradiksi ? TIDAK. Ayat 15 diajarkan oleh Paulus untuk mengajar orang-orang Yahudi agar mereka tidak menghina orang-orang non-Yahudi yang tidak memiliki Taurat secara tertulis. Iman sejati mengeluarkan/menghasilkan kelakuan yang baik. Di dalam ayat ini, saya membagi dua macam respon hati nurani manusia, yaitu, pertama, hati nurani manusia yang menghasilkan perbuatan. Hati nurani sebagai wakil Allah di dalam diri manusia memungkinkan dan mendorong manusia untuk berbuat sesuai apa yang Allah perintahkan (meskipun tidak 100% sempurna). Misalnya, ketika dari kecil, anak diajarkan untuk taat kepada orangtua, hati nurani terus bersuara mendorong anak-anak untuk menaati orangtua. Kedua, hati nurani manusia menghakimi. Bukan hanya mendorong seseorang untuk berbuat baik, hati nurani juga bertugas menghakimi manusia yang mencoba bertindak jahat. Mungkin kita memiliki pengalaman ketika kita ingin mencuri dompet orang, lalu tiba-tiba hati kita berdebar-debar dan hati nurani kita mengingatkan kita. Di saat itu, mulailah belajar untuk mematuhi suara hati nurani karena itu suara perwakilan Allah untuk menegur manusia. Meskipun tidak 100% mewakil suara Allah, hati nurani yang sudah terpolusi oleh dosa tetap bisa berfungsi normal, asalkan kita mau peka mendengarkan suaranya.

Apakah berarti hati nurani satu-satunya standar penghakiman Allah ? TIDAK. Di dalam ayat 16, Paulus menjelaskan, “Hal itu akan nampak pada hari, bilamana Allah, sesuai dengan Injil yang kuberitakan, akan menghakimi segala sesuatu yang tersembunyi dalam hati manusia, oleh Kristus Yesus.” (Bahasa Indonesia Sehari-hari, “Demikianlah yang akan terjadi nanti pada hari yang sudah ditentukan itu. Pada hari itu--menurut Kabar Baik yang saya beritakan--Allah melalui Yesus Kristus, akan menghakimi segala rahasia hati dan pikiran semua orang.”). Standar penghakiman Allah melalui ayat 16 ini hanyalah di dalam Tuhan Yesus Kristus. Di dalam theologia Reformed, kita mempercayai wahyu umum memiliki kelemahan dan hanya bisa disempurnakan oleh wahyu khusus yang bersifat menebus di dalam pribadi Kristus. Di dalam Kristus, penghakiman Allah berlangsung adil (Pengkhotbah 12:14 ; 2 Korintus 5:10). Penghakiman-Nya inilah yang menghakimi segala sesuatu yang terselubung di dalam hati dan pikiran manusia. Mungkin selama kita hidup di dalam dunia ini, kita masih membohongi orang-orang sekitar dengan kelakuan-kelakuan kita yang religius, baik, menolong, dll, tetapi ingatlah, suatu saat di dalam takhta pengadilan Kristus, kita tidak bisa berdalih apapun, karena di hadapan-Nya, kita ditelanjangi. Mengapa harus di dalam Kristus ? Karena Kristus adalah Hakim dan Raja yang ditentukan Bapa sebagai wujud pemuliaan atas-Nya dari Bapa karena telah taat dan setia melakukan tugas Bapa-Nya. Kristus juga adalah Penebus dosa kita yang ditentukan Bapa. Ia yang menebus dosa kita harus bernatur 100% Allah dan 100% manusia. Dan apa yang dikerjakan Kristus tak mungkin pernah dilakukan oleh semua pendiri agama dan nabi lainnya, karena Kristus bukan hanya mengajarkan kebenaran tetapi sebagai Sumber Kebenaran (Yohanes 14:6). Selain itu, Kristus juga disebut Hakim, dan kitab Wahyu mendeskripsikan hal ini melalui nyanyian anak-anak Tuhan, “Besar dan ajaib segala pekerjaan-Mu, ya Tuhan, Allah, Yang Mahakuasa! Adil dan benar segala jalan-Mu, ya Raja segala bangsa! Siapakah yang tidak takut, ya Tuhan, dan yang tidak memuliakan nama-Mu? Sebab Engkau saja yang kudus; karena semua bangsa akan datang dan sujud menyembah Engkau, sebab telah nyata kebenaran segala penghakiman-Mu.” (Wahyu 15:3-4). Standar penghakiman Allah yang tidak dapat dikompromikan ini seharusnya menjadi refleksi agar kita sebagai anak-anak-Nya tidak manja dan terus berkanjang di dalam dosa, melainkan harus sadar, bertobat dan kembali kepada Kristus. Pertobatan ini bukan karena keterpaksaan atau supaya tidak dihukum, tetapi sebagai respon positif atas anugerah-Nya yang begitu besar.

Setelah kita merenungkan ketiga ayat ini, sudahkah kita menyadari bahwa apa yang Kristus telah kerjakan di atas kayu salib mampu dan sanggup serta telah membayar utang dosa kita akibat ketidaktaatan kita kepada perintah-Nya di dalam Taurat ? Sudahkah kita selanjutnya menyadari bahwa sesudah kita diselamatkan, kita tetap harus mengerjakan Taurat dengan dasar cinta kasih yang telah kita peroleh dan teladani dari Kristus ?? Maukah kita melakukan apa yang Ia perintahkan bukan dengan bersungut-sungut, tetapi dengan cinta kasih ? Amin. Soli Deo Gloria.