14 July 2010

Ujilah Segala Sesuatu!-5: MENGUJI SEGALA SESUATU DAN APLIKASI MENGHAKIMI

UJILAH SEGALA SESUATU!-5:
MENGUJI SEGALA SESUATU DAN APLIKASI MENGHAKIMI


oleh: Denny Teguh Sutandio



“Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.”
(1Tes. 5:21)

“Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia. Demikianlah kita mengenal Roh Allah: setiap roh yang mengaku, bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia, berasal dari Allah, dan setiap roh, yang tidak mengaku Yesus, tidak berasal dari Allah. Roh itu adalah roh antikristus dan tentang dia telah kamu dengar, bahwa ia akan datang dan sekarang ini ia sudah ada di dalam dunia. Kamu berasal dari Allah, anak-anakku, dan kamu telah mengalahkan nabi-nabi palsu itu; sebab Roh yang ada di dalam kamu, lebih besar dari pada roh yang ada di dalam dunia. Mereka berasal dari dunia; sebab itu mereka berbicara tentang hal-hal duniawi dan dunia mendengarkan mereka. Kami berasal dari Allah: barangsiapa mengenal Allah, ia mendengarkan kami; barangsiapa tidak berasal dari Allah, ia tidak mendengarkan kami. Itulah tandanya Roh kebenaran dan roh yang menyesatkan.”
(1Yoh. 4:1-6)



Setelah kita merenungkan tentang menghakimi dengan adil, maka di bagian terakhir tema Ujilah Segala Sesuatu!, saya akan membahas mengenai aplikasi menghakimi dengan adil tersebut. Bagaimana seharusnya kita menghakimi dengan adil? Standar apa yang dapat kita gunakan untuk menghakimi dengan adil? Mari kita merenungkannya.




I. LANGKAH-LANGKAH MENGHAKIMI
Adapun langkah-langkah yang harus kita lakukan untuk dapat menghakimi dengan adil, yaitu:
A. Selidiki Secara Tuntas Hal-hal yang Akan Kita Hakimi
Prinsip pertama yang perlu kita lakukan untuk menghakimi sesuatu, entah itu agama, filsafat, ajaran, kebudayaan, sains, dll, adalah selidikilah hal-hal tersebut dengan teliti dan tuntas. Artinya, selidikilah hal-hal tersebut dari sumber pertama/primer (primary sources) entah dari buku, percakapan pribadi, diskusi, dll. Jangan menyelidiki sesuatu itu dari para penganutnya, karena banyak penganut dari suatu ajaran/agama/filsafat kadang (atau bahkan sering) tidak mencerminkan ajaran yang dianutnya, jadi itu tidak valid. Bagaimana jika sumber primer yang kita selidiki melalui buku kurang lengkap? Artinya, ketika kita menyelidiki ajaran X dari pendirinya melalui buku yang dia tulis itu kurang lengkap (mungkin si pendiri hanya menulis buku sangat sedikit atau bukan pendiri ajaran yang menulis, namun murid atau sekretaris atau editornya), bagaimana sikap kita? Ya, kita bisa menyelidikinya dari buku-buku lain yang ditulis yang membahas ajaran X tersebut, namun buku-buku lain itu pun harus kita selidiki, apakah si penulis buku lain itu menguraikan ajaran X secara memadai atau hanya mencomot satu perkataan dari si pendiri ajaran X kemudian ditafsirkan sendiri?




B. Selidiki Seluk-Beluk Hal-hal yang Akan Kita Hakimi
Setelah sesuatu yang akan kita hakimi telah diselidiki, maka langkah selanjutnya selidikilah seluk-beluk hal-hal tersebut, misalnya: ajaran-ajaran pendiri dan para penerusnya, kehidupan pribadi dan tindakan para pendiri dan penerusnya terhadap Tuhan, diri sendiri, keluarga, masyarakat, dll (apakah si pendiri termasuk orang yang saleh ataukah orang yang memiliki banyak istri, lalu berdalih bahwa itu atas instruksi “Tuhan”; apakah si pendiri mencintai kedamaian ataukah perang bagi siapa yang menolak ajaran si pendiri), konteks/latar belakang masyarakat di mana pendiri dan para penerusnya hidup dan bersosialisasi (apakah si pendiri lahir di abad postmodern ataukah di abad barbar/premodern ataukah di zaman modern), dan dampak yang dihasilkan oleh ajaran tersebut (apakah para penganutnya lebih memengaruhi masyarakat ataukah malah merusak). Ini akan membentuk paradigma kita dalam menghakimi sesuatu dengan adil secara komprehensif, bukan secara parsial (sebagian) atau yang paling parah, hanya mendengar dari kata orang, hehehe.




C. Hakimilah Sesuai Dengan Standar yang Benar: Alkitab
Jika telah menyelidiki seluruh hal yang kita perlukan untuk kita hakimi dengan adil dengan data yang memadai, maka kita melakukan tindakan selanjutnya, yaitu menghakimi ajaran tersebut dengan standar yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan, yaitu Alkitab. Mengapa harus Alkitab? Saya sudah menjelaskannya di bagian 2 tema Ujilah Segala Sesuatu! ini dan saya tidak akan membahasnya lagi. Standar Alkitab apa yang dapat kita pergunakan untuk menghakimi sesuatu dengan adil?
1. Doktrin Allah
Berkenaan dengan doktrin Allah, ada empat poin yang harus kita perhatikan untuk menghakimi suatu ajaran:
Pertama, percaya kepada Allah atau tidak? Hakimilah suatu ajaran pertama-tama berdasarkan kepercayaan dasarnya: apakah ajaran tersebut percaya kepada Allah atau tidak? Apa arti percaya kepada Allah? Percaya kepada Allah berarti memercayai Allah sebagai satu-satunya Tuhan dalam hidup manusia yang harus dipuji dan disembah selama-lamanya. Jika ajaran tersebut percaya kepada Allah, maka ajaran tersebut masih bisa dianggap sebagai ajaran yang baik (meskipun belum tentu benar), namun jika ajaran tersebut di titik pertama sudah menolak iman kepada Allah, maka ajaran tersebut pasti tidak beres. Pertanyaan selanjutnya, bukankah mayoritas ajaran mengklaim percaya kepada Allah? Bagaimana kita tahu bahwa mereka percaya kepada Allah? Biasanya mereka berargumen bahwa di dalam buku dan ibadat/persekutuan mereka, nama Allah selalu disebut. Apakah hanya dengan menyebut nama Allah, maka otomatis suatu ajaran dapat dikatakan percaya kepada Allah? Jangan lupa, iblis dapat menyamar sebagai malaikat terang (2Kor. 11:14) dan iblis pun juga percaya kepada Allah (Yak. 2:19). Jika ada orang yang berargumen bahwa suatu ajaran yang telah menyebut nama Allah dapat dikatakan beriman kepada Allah, bagaimana halnya dengan iblis? Apakah iblis percaya kepada Allah dan dapat dikatakan iblis itu benar? Bagaimana dengan beberapa pelatihan motivasi yang dipimpin oleh seorang “Kristen” yang beberapa bukunya mengutip ayat-ayat Alkitab? Apakah ini berarti gejala ini bisa dikatakan benar dan dari Allah? Ingat, sekali lagi, iblis dapat menyamar sebagai malaikat terang dan bahkan ketika mencobai Tuhan Yesus pun, iblis mengutip ayat-ayat Perjanjian Lama (Mat. 4:6; bdk. Mzm. 91:11-12). Namun, iblis mengutip ayat Alkitab bukan untuk mengajar kebenaran, namun untuk menyerang kebenaran dan memelintirnya demi keuntungan pribadi. Jadi, silahkan pikirkan sendiri, benarkah orang yang suka mengutip ayat Alkitab identik dengan percaya kepada Allah?

Kedua, Allah: berpribadi/personal atau tidak berpribadi/impersonal? Percaya kepada Allah saja tidak cukup, pertanyaan selanjutnya yang harus dipikirkan, siapa yang disembah di dalam suatu ajaran tersebut? Benarkah Allah yang disembah itu berpribadi atau tidak berpribadi? Apa bedanya? Allah yang berpribadi adalah Allah yang memiliki kepribadian, sedangkan “Allah” yang tak berpribadi adalah “Allah” yang hanya bersifat roh. Memang Allah itu roh adanya, namun Ia juga Allah yang berpribadi, sehingga Ia bisa menciptakan manusia sebagai satu pribadi. Jika Allah tak berpribadi, adalah suatu kemustahilan jika Ia bisa menciptakan manusia sebagai satu pribadi. Kepribadian manusia bersumber dari kepribadian Allah. Kepribadian Allah juga mengajar kita tentang konsistensi diri-Nya dengan sifat-sifat-Nya. Misalnya, jika Allah dikatakan Mahakasih, maka harus ada suatu bukti bahwa Ia memang mengasihi. Tolong tanya, jika Allah tidak berpribadi, bagaimana membuktikan bahwa Ia mengasihi? Menolak Allah yang berpribadi berarti identik dengan ajaran palsu!

Ketiga, Allah sebagai Pencipta dan Pemelihara. Prinsip kedua, apakah Allah yang dipercaya oleh suatu ajaran tersebut adalah Allah yang mencipta sekaligus memelihara apa yang telah diciptakan-Nya? Ataukah ajaran tersebut memercayai Allah hanya sebagai Pencipta kemudian menyerahkan ciptaan-Nya itu kepada hukum alam seperti ajaran Deisme? Di dalam Kekristenan, apakah suatu ajaran/theologi Kristen tertentu mengimani bahwa Allah yang memulai keselamatan akan menyempurnakan keselamatan itu (hanya Allah yang berpartisipasi di dalam keselamatan) ataukah theologi tersebut mengimani bahwa Allah dan manusia sama-sama berpartisipasi di dalam keselamatan manusia, sehingga jika manusia murtad, maka ia akan kehilangan keselamatan (dan Allah tak sanggup memelihara keselamatan tersebut, karena manusia sendiri tidak mampu memeliharanya)? Ajaran yang menolak Allah sebagai Pencipta dan Pemelihara dapat dikatakan palsu!

Keempat, Allah: Trinitas vs tunggal (atau bahkan banyak). Prinsip ketiga adalah apakah Allah yang dipercaya itu Trinitas (tiga pribadi Allah di dalam satu Allah—three in unity) ataukah satu pribadi (oneness) Allah? Apakah pengaruhnya jika suatu ajaran memercayai Allah Trinitas vs ketunggalan Allah? Jelas ada pengaruhnya dan itu berkaitan dengan prinsip pertama di atas, yaitu Allah yang personal vs impersonal. Jika Allah itu berpribadi, maka Ia tentu bukan hanya satu tunggal. Mengapa? Karena jika Allah itu hanya satu tunggal, maka bagaimana membuktikan bahwa Ia itu Mahakasih (karena Ia tak pernah menunjukkan sifat kasih-Nya itu)? Lho, bukankah bisa dibuktikan bahwa Allah mengasihi manusia? Itu memang benar, namun jika buktinya Allah mengasihi manusia, itu susah berada di dalam wilayah perbedaan kualitatif: Allah (Mahakudus dan Mahakasih, dll) mengasihi manusia yang berdosa. Manusia bisa saling mengasihi tatkala mereka meneladani kasih Allah (kasih antar pribadi Allah sebagai model/teladan bagi kasih mereka kepada sesama mereka). Lain halnya dengan kejamakan pribadi “Allah” yang dipercayai oleh ajaran tertentu, ini tambah lebih kacau, karena masing-masing ilah yang dipercayai saling bertengkar, alasannya kenapa? Sederhana, yaitu karena berebut cewek. Aneh bukan? Hehehe.


2. Doktrin Wahyu
Dari mana kita bisa mengetahui adanya Allah? Ada yang mengatakan dari alam. Ada juga yang mengatakan melalui hati nurani. Yang lain mengatakan melalui kebudayaan. Semuanya itu merupakan penyataan diri Allah secara umum kepada semua orang. Semua orang tanpa kecuali tidak bisa berdalih bahwa Allah itu ada, karena Allah telah menyatakan diri-Nya melalui hal-hal yang bisa dilihat manusia (Rm. 1:19-20). Wahyu umum Allah ini diresponi oleh manusia berdosa melalui: agama, kebudayaan, dan sains. Namun Allah juga menyatakan diri-Nya secara khusus kepada umat pilihan-Nya. Pertanyaan selanjutnya, jika ada wahyu Allah secara khusus, kriteria apakah yang bisa dijadikan standar mengukur wahyu Allah secara khusus tersebut?
Pertama, berasal dari Allah yang Benar dan Tak Berubah. Wahyu Allah sejati pasti berasal dari Allah yang adalah Kebenaran (Truth) dan Kekal. Allah yang adalah Kebenaran berarti Dia satu-satunya Sumber Kebenaran yang daripadanya segala kebenaran sejati berasal. Karena Dia adalah Kebenaran, maka tentunya Dia juga Kekal berarti tidak ada perubahan dalam diri-Nya. Adalah suatu keanehan jika ada orang yang mengklaim menerima “wahyu Allah” pada suatu waktu tertentu, kemudian beberapa tahun kemudian, orang yang sama menerima “wahyu Allah” yang berbeda dari “wahyu Allah” yang sebelumnya. Jika demikian, bukankah “Allah” seperti ini plin-plan? Kasihan sekali “Allah” seperti ini, selalu berubah tergantung mood. Ketika “Allah”nya lagi enjoy, “Ia” memerintahkan sang nabi untuk hidup bersamai, namun ketika “Allah”nya lagi bete dan stres, maka “Ia” memerintahkan sang nabi untuk membantai semua yang melawan sang nabi. Yang paling mengasihankan dan membingungkan bukan hanya sang nabi yang menerima “wahyu Allah”, namun juga para pengikut si nabi yang mengerti benar seluk-beluk ajarannya. Bandingkan hal ini dengan Alkitab. Alkitab adalah satu-satunya wahyu Allah yang mutlak tanpa salah. Mengapa? Apakah ini arogansi iman yang tak berdasar? TIDAK! Alkitab adalah wahyu Allah karena Alkitab menceritakan dengan jelas dan teliti tentang siapakah Allah, kehendak-Nya, dll. Karena Alkitab diwahyukan Allah yang adalah Kebenaran dan Kekal, maka Alkitab tidak mungkin bersalah (dalam teks aslinya). Diri-Nya Kebenaran menyatakan kebenaran melalui Alkitab, mungkinkah yang diwahyukan-Nya itu salah? Jika ada orang yang mengatakan bahwa Alkitab bisa salah, sebenarnya ia sedang menuding bahwa Allah itu juga bisa salah. Jika demikian, maka posisinya terbalik: manusia yang menjadi “allah” dan Allah sejati menjadi budaknya manusia yang bisa dihakimi. Inilah keterbalikan urutan setelah manusia jatuh ke dalam dosa.

Kedua, tidak hanya diterima oleh satu orang. Wahyu khusus Allah meskipun bersifat khusus, namun TIDAK pernah hanya diterima oleh satu orang. Mengapa? Karena jika wahyu khusus Allah diterima oleh satu orang, bagaimana kita bisa mengetahui bahwa satu orang tersebut benar-benar menerima wahyu Allah? Bukankah tidak ada saksi jelas? Kedua, jika semua orang masing-masing mengklaim menerima “wahyu Allah” khusus, standar penerima wahyu yang mana yang dapat kita jadikan pedoman kebenaran? Sekarang mari kita pikirkan sejenak melalui ilustrasi berikut. Pada suatu hari, X mengaku mendengar suara “Allah” dan memberi tahu temannya bahwa “Ia” mengatakan kepada X bahwa Y itu pasangan hidupnya. Kemudian, beberapa hari kemudian, Y juga mengaku mendengar suara “Allah” dan memberi tahu temannya bahwa “Ia” mengatakan kepada Y bahwa Z itu pasangan hidupnya (dan bukan X). Dari contoh ini, jika “wahyu Allah” khusus hanya diterima oleh satu orang, “wahyu Allah” mana yang benar? Bandingkan hal ini dengan Alkitab. Alkitab adalah wahyu Allah secara khusus kepada umat pilihan-Nya melalui penulisan dari para nabi dan rasul di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Sedikitnya ada 40 orang penulis Alkitab yang dipakai Tuhan untuk menuliskan wahyu-Nya dan yang paling unik, di antara 40 penulis itu semuanya TIDAK hidup di dalam zaman dan kebudayaan yang sama, namun mereka semuanya dapat menuliskan wahyu-Nya dengan inti yang sama bahkan saling berkaitan. Saya menantang Anda, jika Anda mengatakan bahwa Alkitab itu bukan firman Allah sejati, maka carikan satu kitab di dunia ini selain Alkitab yang ditulis oleh lebih dari 40 orang dari berbagai zaman, latar belakang budaya, bahasa, dll namun memiliki satu inti yang sama yang saling berkaitan bahkan tak ada kontradiksi.


3. Doktrin Alkitab (Bibliologi) dan Penafsirannya yang Bertanggungjawab
Kita dapat mengetahui Allah karena Ia telah menyatakan diri-Nya. Dan Ia menyatakan diri-Nya secara khusus kepada umat pilihan-Nya melalui Alkitab. Dari Alkitab ini, kita dapat menguji apakah suatu ajaran (khususnya Kristen) itu berasal dari Allah atau bukan. Lho, bukankah semua gereja mengklaim mendasarkan pengajarannya pada Alkitab? Bukankah semua pendeta mengkhotbahkan Alkitab (lebih tepatnya mengutip ayat Alkitab)? Apakah itu menjamin bahwa mereka sungguh-sungguh mendasarkan imannya pada Alkitab? Kembali ke poin 1 tadi, iblis pun selain percaya kepada Allah, juga menggunakan ayat Perjanjian Lama untuk mencobai Tuhan Yesus. Apakah karena iblis menggunakan ayat Perjanjian Lama itu berarti iblis mendasarkan imannya pada Alkitab? Salah besar!

Lalu, bagaimana menghakimi ajaran Kristen sesuai dengan Alkitab?
Pertama, perhatikan otoritas yang dipegang oleh ajaran Kristen tertentu: Alkitab atau Alkitab + …? Karena kita percaya bahwa Alkitab adalah wahyu khusus Allah yang tak bersalah dalam teks aslinya, maka secara akal sehat, kita harus beriman bahwa hanya Alkitab menjadi satu-satunya dasar iman dan kehidupan Kristen sehari-hari. Jika suatu ajaran Kristen memegang teguh bahwa Alkitab itu firman Allah ditambah tradisi gereja juga adalah firman Allah, maka ajaran tersebut sudah tidak bertanggungjawab. Jika suatu ajaran Kristen memegang teguh bahwa Alkitab itu firman Allah yang tak mungkin bersalah, namun menambahinya dengan perkataan sang pendeta juga tidak mungkin salah karena mendapat “wahyu langsung” dari “Allah” bahkan sudah pernah minum kopi dan main sepakbola bersama “Tuhan Yesus”, ya, jelaslah bahwa ajaran ini SESAT!

Kedua, perhatikan pengutipan ayat Alkitab. Kalau kita memperhatikan cara iblis mengutip ayat Perjanjian Lama untuk mencobai Tuhan Yesus, yaitu di dalam Mazmur 91:11-12, kita akan mengetahui cara kutipan ayat versi iblis selalu di luar konteks! Kedua ayat di dalam Mazmur 91 ada di dalam konteks bahwa jika anak-anak Tuhan hidup di dalam perlindungan Allah, maka Ia akan melindungi kita (baca ay. 1-2, 9). Ayat ini tidak sedang mengajarkan bahwa kita bisa hidup semaunya sendiri, lalu ketika ada masalah, Tuhan langsung datang menolong. Nah, model kutip ayat di luar konteks ala iblis pun hari-hari ini terus-menerus banyak ditiru oleh banyak petinggi gereja yang sayangnya tidak mengerti Alkitab dengan tuntas. Biasanya, mereka gemar mengutip ayat Alkitab yang menyenangkan telinga jemaatnya. Ayat yang sering mereka kutip, khususnya tentang memberi persembahan, “Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga.” (2Kor. 9:6) Motivasi mengutip ayat ini adalah agar jemaatnya mempersembahkan banyak uang untuk si pendeta. Dengan kata lain, mengutip perkataan ayah saya, jemaat diajar untuk investasi di gereja: jemaat memberi Rp 10.000, 00, nanti dikembalikan Tuhan Rp 1.000.000, 00. Biasanya banyak jemaat yang buta pengertian Alkitab dengan mudahnya mengamini perkataan si pendeta. Kalau kita teliti membaca Alkitab, ayat 6 bukanlah berhenti di ayat 6, namun dilanjutkan dengan ayat 7 yang mengajar, “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.” Wah, kalau ayat 7 disebutkan, maka banyak jemaat enggan memberi, maka gereja tidak untung dong, terus pendetanya makan apa? Ya, di mana-mana mantan pebisnis menjadi “pendeta” ya begini ini, yang dipikirkan: untung, untung, dan untung. Yang lebih celaka, jemaat masih doyan beribadah di gereja yang digembalakan oleh pebisnis ini. Repot, repot.
Lalu, bagaimana cara mengutip ayat Alkitab dengan tepat? Kalau mau diuraikan satu per satu, konsep ini bisa menjadi satu artikel berseri, namun secara ringkas, saya akan memberikan prinsipnya: Pertama, perhatikan konteks dekat, yaitu ayat sebelum dan sesudahnya (jangan suka memotong ayat). Kedua, perhatikan konteks jauhnya, yaitu keseluruhan pasal di dalam kitab yang diselidiki, juga kitab-kitab lain dengan penulis yang sama, dan seluruh kitab baik PL dan PB di dalam Alkitab. Ketiga, perhatikan konteks dan latar belakang kitab tersebut. Keempat, perhatikan jenis literatur kitab tersebut: apakah termasuk kitab puisi, sejarah, surat, dll. Kelima, bandingkan ayat tersebut dalam Alkitab LAI dengan teks aslinya (Ibrani atau Yunani) dan Alkitab dalam bahasa lain (Inggris, Mandarin, dll). Keenam, beli dan bacalah buku-buku tafsiran Alkitab yang dapat dipertanggungjawab untuk mencoba mempelajari apa yang dikatakan para penafsir tersebut tentang ayat yang dikutip.

Ketiga, perhatikan penekanan pengutipan ayat Alkitab. Ayat Alkitab yang dikutip dengan tidak bertanggungjawab karena dilatarbelakangi oleh motivasi terselubung selalu menghasilkan penekanan pengutipan ayat Alkitab tersebut. Si pendeta yang gemar mengutip 2 Korintus 9:6 tersebut dengan motivasi agar gerejanya dan dia sendiri kaya, maka ia akan terus-menerus menekankan tentang persepuluhan dan berkat di dalam hampir setiap khotbahnya. Mengapa? Karena jika si pendeta tidak terus-menerus menekankan berita tentang persepuluhan dan “diberkati”, maka jemaat akan lupa memberi persepuluhan dan gerejanya bisa rugi besar. Ajaran yang terlalu menekankan suatu ajaran Alkitab yang sebenarnya TIDAK ditekankan oleh Alkitab sebenarnya merupakan ajaran yang tidak bertanggungjawab. Misalnya, Alkitab berulang kali menekankan pentingnya Kristus yang tersalib, bangkit, dan naik ke Sorga, kemudian datang kembali kedua kalinya, namun beberapa gereja lebih menekankan kedatangan Kristus kedua kalinya ketimbang finalitas Kristus yang mati dan bangkit. Ajaran yang berat sebelah ini jelas tidak bertanggungjawab (TIDAK bisa dikategorikan sebagai SESAT). Nah yang lebih ekstrem, ada ajaran yang mengajarkan bahwa Kristus datang kedua kalinya pada tanggal sekian, bulan sekian, dan tahun sekian, nah, kalau ini, kita langsung menyebutnya SESAT, karena Tuhan Yesus sendiri berfirman bahwa kapan Ia datang kedua kalinya, Ia pun tidak tahu (Mat. 24:36). Jika ada orang yang berani me“nubuat”kan waktu kedatangan Kristus kedua kali secara detail, meskipun itu mengaku “diwahyukan” langsung dari “Allah”, orang itu pasti BIDAT, karena ia dengan berani melampaui Kristus yang dalam inkarnasi-Nya saja, Dia tidak mengetahuinya.


4. Doktrin Manusia dan Dosa (Christian Antropology)
Standar keempat dalam menghakimi sesuai Alkitab adalah berkenaan dengan ajaran tentang manusia dan dosa. Ada beberapa poin di dalamnya:
Pertama, siapakah manusia? Menghakimi suatu ajaran berdasarkan konsep manusia harus dilihat dari bagaimana pandangan ajaran tersebut berkenaan dengan manusia. Siapakah manusia? Ciptaan Allah atau hasil evolusi atau mungkin gabungan keduanya (Theistic Evolution)? Jika manusia adalah hasil evolusi dari monyet, maka kita termasuk keturunan monyet. Nah, masalahnya, menurut Pdt. Dr. Stephen Tong, mengapa kita yang katanya keturunan monyet bisa minum susunya sapi dan bukan susunya monyet? Apakah kita yang minum susu sapi, maka otomatis kita menjadi anaknya sapi? Tidak bukan? Logika kedua, jika manusia berasal dari monyet, tolong tanya, monyet jenis apa? Kemudian monyet jenis tersebut berasal dari tahun berapa atau zaman apa? Bagaimana si evolusionis bisa tahu monyet jenis tersebut berasal dari tahun/zaman yang telah dia sebutkan? Apakah dia sendiri hidup di zaman tersebut (maksudnya hidup bersama dengan “saudara”nya itu)? Hahaha. Jika demikian, mana yang benar? Alkitab dengan jelas mengajar kita bahwa Allah menciptakan langit dan bumi dan juga manusia. Dengan kata lain, manusia adalah gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26).

Kedua, kedudukan manusia. Selain siapa manusia, kita perlu menghakimi dengan konsep kedudukan manusia. Artinya, kedudukan manusia di antara Allah dan alam. Apakah manusia di atas Allah dan alam? Ataukah manusia di atas Allah dan di bawah alam? Ataukah manusia di bawah Allah dan di atas alam? Konsep pertama (manusia di atas Allah dan alam) adalah konsep humanisme atheis dari manusia yang menganggap manusia itu superman (Übermensch ala F. Nietzsche). Konsep ini bisa diimpor oleh zaman kita melalui gerakan-gerakan pelatihan motivasi yang mengajarkan bahwa ada kekuatan besar di dalam diri manusia yang sedang tidur. Coba simak kata-kata motivasi demikian, “Success is My Right” (Sukses adalah Hak Saya), “Poor is Sin” (Miskin adalah Dosa), “Dahsyat”, dll. Konsep pelatihan motivasi ini diimpor dari Gerakan Zaman Baru (GZB) yang bernuansakan Monisme (segala sesuatu adalah satu) dan Pantheisme (segala sesuatu adalah allah). Semua pelatihan motivasi dapat dikatakan bernafaskan GZB, meskipun beberapa dari mereka menolak disebut GZB. Konsep kedua (manusia di atas Allah dan di bawah alam) adalah konsep yang memberhalakan alam sebagai “Allah” dan merendahkan Allah sejati. Konsep ini bisa dilihat di zaman kita melalui gerakan yang menyerukan untuk kembali ke alam (bukan kembali ke Allah). Konsep ketiga merupakan konsep Kristen karena menempatkan Allah di tempat yang seharusnya dan menempatkan manusia dan alam juga di tempat yang semestinya. Let God be God, let man be man, let nature be nature (biarlah Allah tetap Allah, biarlah manusia tetap manusia, biarlah alam tetap alam). Dunia yang mencoba membalikkan urutan/ordo yang Tuhan telah tetapkan mengakibatkan dunia ini makin kacau.

Ketiga, manusia dan dosa. Manusia yang seharusnya berada di bawah Allah dan di atas alam ini jatuh ke dalam dosa, karena berusaha membalikkan urutan ini. Maka, realitas dosa merupakan realitas sesungguhnya tentang natur manusia. Realitas dosa ini nantinya mengakibatkan timbulnya sakit-penyakit, bencana alam, kelaparan, dan kemiskinan, karena rusaknya hubungan Allah dengan manusia mengakibatkan rusaknya hubungan antar manusia dan juga antara manusia dengan alam. Melepaskan manusia dari realitas dosa merupakan suatu kebahayaan. Di sepanjang sejarah, baik sejarah gereja maupun sejarah umum, kita menjumpai ada orang-orang yang berusaha memisahkan realitas dosa dari diri manusia atau bahkan membuang realitas dosa sama sekali. Banyak penganut aliran berpikir positif dan kemakmuran baik di dalam dunia umum maupun di dalam gereja selalu menekankan bahwa manusia itu ditetapkan untuk menjadi sehat, kaya, berkelimpahan, dll. Mereka juga menekankan bahwa penyakit itu dari setan, miskin itu dosa, karena penyakit dan miskin tidak berasal dari Allah. Ada juga ajaran yang mengajarkan bahwa penyakit, dosa, dan miskin itu ilusi (tidak nyata). Oleh karena itu, mereka mengajar bahwa kita tidak perlu memikirkan tentang penyakit, dosa, dan kemiskinan, karena ketika kita memikirkannya, maka itu yang akan terjadi, karena: apa yang kamu katakan, itu yang terjadi. Ada juga yang mengajar bahwa dosa itu tidak dipandang sebagai melawan Allah, namun hanya sebagai penyimpangan moral saja yang tidak terlalu serius atau suatu ketidaktahuan saja. Ada juga yang mengajarkan bahwa dosa itu memang menyebar di dalam setiap diri manusia, namun tidak meracuni pikiran/akal budi manusia, sehingga dengan akal budinya (yang tanpa dosa), manusia bisa mencari Allah.
Mari kita perhatikan cara berpikir mereka. Jika penyakit, dosa, miskin itu ilusi, maka bagaimana mereka menjawab realitas kemiskinan di dunia? Apakah orang yang hidup di dalam kemiskinan itu adalah orang yang hidup di dalam ilusi? Lalu, jika penyakit itu ilusi, maka Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div. pernah mengatakan bahwa kita coba menampar pipi orang yang berkata bahwa penyakit itu ilusi dan lihatlah bagaimana reaksinya? Jika orang ini berkata bahwa ia sakit, maka kita perlu mengatakan sesuai dengan “pengakuan iman”nya bahwa penyakit itu ilusi. Jika miskin itu dosa, maka Tuhan Yesus yang harus disebut pertama kali sebagai orang berdosa, karena Ia waktu berinkarnasi ke dalam dunia adalah Pribadi yang miskin!
Lalu, bagaimana pengajaran Alkitab tentang dosa? Rasul Paulus di dalam Roma 3:9 mengajarkan, “Jadi bagaimana? Adakah kita mempunyai kelebihan dari pada orang lain? Sama sekali tidak. Sebab di atas telah kita tuduh baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, bahwa mereka semua ada di bawah kuasa dosa,” Ya, semua manusia tanpa kecuali ada di bawah kuasa dosa. Untuk memperjelasnya, maka Paulus menguraikan satu per satu aspek kehidupan manusia yang telah berada di bawah kuasa dosa, yaitu: akal budi (ay. 11), perbuatan (ay. 12), perkataan (ay. 13-14), dan tindakan (ay. 15-18). Bukankah penjabaran Paulus ini sudah cukup jelas mengajar kita bahwa semua manusia tanpa kecuali di dalam setiap aspeknya telah diracuni oleh dosa?


5. Doktrin Keselamatan (Soteriologi) dan Kristus (Kristologi)
Lalu, bisakah dosa manusia diselesaikan? YA dan TIDAK. TIDAK, jika dosa manusia tersebut diselesaikan dengan cara manusia berdosa. YA, jika dosa manusia diselesaikan dengan cara Allah. Allah menyelesaikan dosa manusia bukan dengan memerintahkan manusia untuk berbuat baik, namun dengan mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dosa manusia. Saya pernah membaca sebuah tanggapan dari orang non-Kristen di mana ia mengatakan, “Mengapa Tuhan repot-repot menjadi manusia untuk dapat menyelamatkan manusia, bukankah Ia cukup mengajar manusia tentang apa yang benar?” Mungkin logika ini cukup baik, namun sangat disayangkan, logika ini tetap lemah. Mengapa? Jika Allah cukup mengajar manusia dengan kebenaran, apakah menjamin manusia bisa menerima pengajaran Allah ini? Jangankan Allah yang mengajar kebenaran kepada manusia, teman/rekan atau orangtua kita saja yang mengajarkan sesuatu yang baik kepada kita saja, kita sering kali tidak mendengarkan bahkan menaatinya. Inilah bentuk kesombongan manusia yang seolah-olah mampu menerima pengajaran kebenaran dari Allah, padahal sebenarnya TIDAK. Tuhan Yesus diutus untuk menebus dosa umat pilihan-Nya, sehingga umat-Nya dapat terbebas dari dosa dan hukumannya dan juga mereka memperoleh hidup kekal karena karya Kristus yang mati dan bangkit. Penebusan Kristus saja yang membuat kita diselamatkan. Dengan kata lain, keselamatan terjadi HANYA melalui anugerah Allah di dalam Kristus dan juga HANYA melalui iman SAJA kepada karya pengorbanan Kristus. Jika ada ajaran yang mengajarkan bahwa keselamatan karena iman dan perbuatan baik, maka ada beberapa kelemahan dari ajaran ini, yaitu:
Pertama, pengorbanan Kristus di kayu salib tidak cukup. Jika iman harus ditambah perbuatan baik, manusia baru diselamatkan, maka pengorbanan Kristus akan menjadi suatu hal yang sia-sia, karena iman kepada Kristus harus ditambah perbuatan baik manusia. Seolah-olah tanpa perbuatan baik, iman kepada karya pengorbanan Kristus itu tidak cukup untuk menyelamatkan.

Kedua, perbuatan baik yang menentukan. Jika ada ajaran yang menekankan bahwa iman dan perbuatan baik sebagai syarat diselamatkan, bagi saya, tetap saja perbuatan baik yang lebih menentukan. Meskipun ajaran ini menekankan bahwa manusia dibenarkan melalui iman kepada Kristus, namun bagi penganut ajaran ini, iman yang tidak ditambah perbuatan baik tidak akan menghasilkan keselamatan. Jika demikian, bukankah perbuatan baik lebih berkhasiat untuk keselamatan? Coba tanyakan kepada penganut ajaran ini, jika seorang yang sudah percaya Kristus pada detik-detik menjelang maut (tentu belum bisa berbuat baik), apakah orang ini diselamatkan dan masuk Sorga atau belum diselamatkan? Jika si penganut ajaran ini menjawab belum diselamatkan hanya karena orang yang percaya Kristus ini belum berbuat baik, bukankah bagi ajaran ini, inti seseorang diselamatkan adalah perbuatan baik?

Membahas mengenai ajaran keselamatan (soteriologi) tidak bisa dilepaskan dari ajaran tentang Kristus (Kristologi), karena kita diselamatkan melalui karya pengorbanan Kristus di salib dan kebangkitan-Nya. Oleh karena itu, mari kita mengerti siapakah Kristus? Alkitab memberitakan bahwa Kristus adalah Putra Tunggal Allah yang diutus untuk menebus dosa manusia (Yoh. 3:16) dan Ia sendiri berani mengaku bahwa Ia adalah satu-satunya jalan dan kebenaran dan hidup, tidak ada seorang pun yang dapat datang kepada Bapa jika tanpa melalui-Nya (Yoh. 14:6). Kristus sebagai Putra Tunggal Allah ini bernatur Allah dan manusia. Menurut Pengakuan Iman Chalcedon tentang dwi natur Kristus, natur Allah dan manusia di dalam pribadi Kristus tidak tercampur, tidak terbagi, tidak terpisah, melainkan menjadi satu. Namun sejarah gereja mencatat timbulnya banyak ajaran sesat di dalam Kekristenan berkenaan dengan doktrin Kristus, misalnya ada yang menekankan Kristus sebagai Allah dan menolak kemanusiaan-Nya, sehingga Rasul Yohanes menyebut bahwa roh yang tidak mengaku kemanusiaan Kristus itu jelas bukan dari Roh Allah (1 Yoh. 4:2-3). Ada juga yang tidak mengaku keilahian Kristus dan hanya mengaku kemanusiaan Kristus. Ada juga yang mengajarkan bahwa natur ilahi dan manusia dalam diri Kristus ini terpecah. Ada juga yang mengajarkan bahwa dua natur Kristus ini melebur menjadi satu. Bidat-bidat Kristologi ini telah dikutuk oleh gereja mula-mula dan untuk merumuskan Kristologi yang sehat berdasarkan Alkitab, maka disusunlah Pengakuan Iman Chalcedon yang diterima oleh gereja Katolik dan Protestan.


6. Doktrin Roh Kudus (Pneumatologi)
Konsep keenam dalam menghakimi adalah berkenaan dengan Roh Kudus. Siapakah Roh Kudus? Alkitab mencatat bahwa Roh Kudus adalah Pribadi ketiga dari Allah Trinitas yang disebut juga Penolong dan Roh Kebenaran yang menginsyafkan manusia akan dosa, kebenaran, dan penghakiman, serta mengingatkan para murid tentang perkataan Kristus (Yoh. 14:16-18; 15:26; 16:7-8). Bukti Roh Kudus adalah Pribadi dapat dilihat dari ciri-ciri-Nya, yaitu: Roh Kudus bisa dihujat, didustai, didukakan, dll (Mrk. 3:29; Kis. 5:3; Ef. 4:30). Jika Roh Kudus bukan suatu Pribadi, maka tak mungkin Dia bisa dihujat, didustai, didukakan, dll. Namun, anehnya, kembali sejarah umum dan Kekristenan menghina sosok Roh Kudus. Di dalam sejarah umum, kita menjumpai sebuah ajaran yang mengajarkan bahwa Penolong yang lain yang Tuhan Yesus maksudkan di Yohanes 14:16 adalah bukan Roh Kudus, namun seorang “nabi” di dalam ajaran tersebut, karena bahasa Arabnya mirip dengan nama “nabi” tersebut. Sebuah argumentasi yang tidak bertanggungjawab. Herannya, jika sang “nabi” itu yang dimaksud Kristus di Yohanes 14:16, ciri-cirinya pasti TIDAK bisa dipenuhi oleh sang “nabi” tersebut: “Dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. Tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu.” (ay. 17) Sang “nabi” tersebut bisa dilihat, padahal Roh Kudus TIDAK bisa dilihat secara kasat mata. Sang “nabi” tersebut akhirnya meninggal dan TIDAK mungkin bisa menyertai manusia apalagi diam di dalam manusia, sedangkan Roh Kudus menyertai manusia dan diam di dalam manusia. Di dalam sejarah Kekristenan, kita mendengar sebuah ajaran yang mengatakan bahwa Roh Kudus bukanlah Pribadi, namun hanya sebagai daya aktif/kuasa yang bisa disalurkan. Tidak heran, belakangan ini, muncul gejala yang aneh-aneh, misalnya: impartasi kuasa, dll. Apa yang diimpartasikan? Kuasa siapa yang diimpartasikan? Jika dia menjawab, kuasa Roh Kudus, tolong tanya, Roh Kudus itu Pribadi atau daya aktif/kuasa saja? Jika Roh Kudus bukan pribadi, maka orang tersebut sudah mengajarkan ajaran sesat!


7. Doktrin Akhir Zaman (Eskatologi)
Konsep terakhir tentang menghakimi berkenaan dengan akhir zaman. Semua ajaran agama mengakui adanya kiamat, namun ajarannya berbeda-beda. Ada yang mengajarkan bahwa kiamat itu berhentinya semua kehidupan. Ada yang mengajarkan bahwa kiamat itu berarti semua manusia akan musnah (anihilasi). Ada juga yang mengajarkan bahwa kiamat berarti orang Kristen dilepaskan dari penderitaan besar dengan cara diangkat tiba-tiba sebelum terjadi penganiayaan besar-besaran. Mana yang benar? Jika kiamat berarti anihilasi manusia, pertanyaannya, untuk apa Tuhan menciptakan manusia? Apakah hanya untuk dimusnahkan kelak pada waktu kiamat? Jika hanya untuk dimusnahkan, lalu apa arti nilai hidup manusia? Agama ini tidak bisa menjawab. Jika kiamat berarti orang Kristen diangkat tiba-tiba supaya tidak mengalami penderitaan besar-besaran, bagaimana dengan perkataan Tuhan Yesus di dalam Matius 10:38 dan 16:24 yang mengajarkan bahwa orang yang mau mengikut Kristus harus menyangkal diri dan memikul salib?

Lalu, apa kata Alkitab tentang akhir zaman? Sebelumnya kita harus membedakan dua istilah: zaman akhir vs akhir zaman. Zaman akhir adalah zaman antara kedatangan Kristus pertama dan kedua, sedangkan akhir zaman adalah zaman kedatangan Kristus yang kedua kalinya. Ketika akhir zaman tiba, saat itulah Kristus datang untuk kedua kalinya. Pada saat itu, Kristus datang bukan lagi sebagai Penebus, namun sebagai Raja dan Hakim yang akan menghakimi semua manusia yang hidup dan mati. Pada saat itu, semua raja harus bertekuk lutut di hadapan Sang Raja. Rasul Yohanes memperlihatkan kepada kita tentang penglihatan yang didapatnya dari Allah di dalam Wahyu 6:15-16, “Dan raja-raja di bumi dan pembesar-pembesar serta perwira-perwira, dan orang-orang kaya serta orang-orang berkuasa, dan semua budak serta orang merdeka bersembunyi ke dalam gua-gua dan celah-celah batu karang di gunung. Dan mereka berkata kepada gunung-gunung dan kepada batu-batu karang itu: “Runtuhlah menimpa kami dan sembunyikanlah kami terhadap Dia, yang duduk di atas takhta dan terhadap murka Anak Domba itu.””

Alkitab dengan jelas membukakan tanda-tanda (menjelang) akhir zaman yang begitu menyedihkan:
Pertama, terjadi penderitaan hebat (Mat. 24:6-8, 21). Penderitaan hebat bisa meliputi banyak hal, seperti: penganiayaan kepada orang-orang Kristen, deru perang, bencana alam, kelaparan, gempa bumi, dll. Hal-hal ini telah, sedang, dan akan terus kita alami karena kita hidup di dalam zaman akhir yaitu suatu zaman menjelang akhir zaman.

Kedua, munculnya Mesias-mesias dan nabi-nabi palsu (Mat. 24:24). Mesias dan nabi palsu itu juga melakukan tanda-tanda mukjizat, sehingga hal tersebut tidak bisa dibedakan dari nabi asli dari Allah. Di dalam Perjanjian Lama, kita menjumpai fakta bahwa para nabi palsu dari Firaun pun juga bisa mengadakan tanda-tanda mukjizat, yaitu mengubah tongkat menjadi ular (Kel. 7:11-12), meskipun akhirnya tongkat Harun menelan tongkat-tongkat mereka. Dari sini, kita belajar satu hal: jangan mengilahkan mukjizat sebagai tanda kehadiran Allah, karena iblis pun bisa membuat mukjizat.

Ketiga, manusia enggan mendengarkan kebenaran dan kemudian membuka telinganya yang gatal untuk mendengarkan ajaran-ajaran yang menyenangkan telinga mereka. Kepada Timotius, Rasul Paulus di dalam 2 Timotius 4:3-4 memperingatkan, “Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng.” Pdt. Aiter, M.Div. pernah mengatakan bahwa ilah zaman ini adalah telinga. Jika telinganya mendengar ajaran yang susah-susah namun benar, maka orang itu akan memberontak, karena telinganya telah diatur hanya untuk mendengar apa yang mau didengar!

Keempat, cinta diri dan cinta uang. Kepada Timotius, Paulus juga memperingatkan, “Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang.” (2Tim. 3:2a) Beberapa Alkitab terjemahan Inggris menerjemahkannya: cinta diri dan cinta uang. Manusia makin self-centered dan money-centered, di mana segala sesuatu dinilai dari keuntungan diri. Bahkan mendirikan gereja pun dihitung berdasarkan untung ruginya. Bagaimana mendirikan gereja supaya untung? Mudah, undang pengkhotbah terkenal, kalau perlu undang para pengkhotbah terkenal tersebut setiap bulan, maka persembahan jemaat pasti banyak, karena jemaat yang hadir juga banyak. Keuntungan besar diperoleh tatkala permintaan dipenuhi. Selain itu, ada yang mengajar melalui pelatihan motivasi, “Jangan katakan tidak bisa. Katakan BISA, BISA, BISA, YES, YES, YES, maka kamu pasti BISA.” Mengapa pelatihan ini mengajarkan bahwa kita tidak boleh mengatakan bahwa kita tidak bisa? Konsep dasarnya adalah karena apa yang kita katakan pasti terjadi. Yang lebih celaka konsep pelatihan motivasi ini diimpor ke dalam gereja dan rusaklah Kekristenan. Jika apa yang kita katakan pasti terjadi, di manakah kedaulatan Allah? Apakah Allah yang berdaulat diatur oleh perkataan kita, sehingga mengakibatkan segala sesuatu terjadi? Jika konsep pelatihan motivasi ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, maka ada beberapa permasalahan:
Pertama, mengutip Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div., mengapa orang yang diracuni dengan konsep “Katakan BISA, BISA, BISA, KAYA, KAYA, KAYA” pada kenyataannya banyak yang tidak kaya? Yang lebih memprihatinkan para motivator itu yang tambah kaya, sedangkan para pesertanya banyak yang tidak kaya. Ini namanya pintar atau bodoh? Silahkan jawab sendiri.
Kedua, jika para peserta telah mengatakan, “BISA, BISA, BISA, KAYA, KAYA, KAYA”, kemudian fakta sebagian besar pesertanya justru tidak kaya, apa reaksi sang motivator tersebut? Apakah ia akan berbalik kepada “pengakuan iman”nya bahwa segala sesuatu terjadi menurut perkataan manusia?

Kelima, hidup munafik (2Tim. 3:2b-5). Ciri ketiga manusia akhir zaman adalah munafik. Berlaku saleh di dalam tempat ibadah, namun kehidupan sehari-harinya seperti orang yang tidak mengenal Allah. Mereka bisa aktif di dalam pelayanan di gereja, namun tanpa mengerti iman Kristen yang beres, bahkan bisa mendukung pelatihan motivasi yang ngaco itu ditambah perkataan dan sikapnya tidak sesuai Alkitab: berdusta, menipu, dll.






II. MENGHAKIMI DAN SIKAP KITA SELANJUTNYA
Setelah mengetahui banyak hal mengenai bagaimana menghakimi segala sesuatu dengan adil, lalu, apa yang menjadi sikap kita selanjutnya? Membencinya? Atau cuek? Atau justru mengasihi mereka? Tuhan menuntut kita kritis dan tegas terhadap segala sesuatu, namun juga mengasihi. Yang kita kasihi adalah orang-orangnya bukan ajaran-ajarannya. Sehingga adalah bijaksana ketika kita menemui orang yang berpaham yang berbeda dengan kita, hendaklah kita mengasihi mereka dan berusahalah bangun persahabatan dengan mereka serta jangan lupa untuk memberitakan Injil Kristus yang murni kepada mereka.






Biarlah melalui sikap kita sehari-hari sebagai pengikut Kristus, nama Tuhan dipermuliakan bukan malah dicemooh. Banyak doktrin di kepala kita seharusnya tidak membuat kita menghina orang lain, namun justru mengasihi mereka. Amin. Soli Deo Gloria.

Eksposisi 1 Korintus 7:17-19 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 7:17-19

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 7:17-19



Sekilas bagian ini tampaknya tidak berkaitan dengan bagian sebelumnya. Bagian sebelumnya membahas tentang berbagai hal seputar perkawinan – misalnya perkawinan (ay. 1-5), selibasi (ay. 6-9) dan perceraian (ay. 10-16) – tetapi bagian ini membahas tentang etnis dan perbudakan. Beberapa penafsir bahkan menganggap bagian ini sebagai sisipan yang diletakkan secara tidak tepat oleh seorang redaktur. Pandangan di atas tidak dapat dibenarkan. Bagian ini bukan hanya berkaitan, tetapi justru menjadi inti dari seluruh pembahasan di pasal 7. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, problem utama yang dihadapi jemaat Korintus adalah konsep spiritualitas yang salah. Mereka berpikir bahwa hubungan seksualitas antara suami-istri dapat merusak spiritualitas (ay. 1b), karena itu mereka berusaha saling menjauhi (ay. 2-5), bahkan mengupayakan perceraian (ay. 10-16). Dengan kata lain mereka berusaha mengadakan perubahan status sosial untuk kepentingan spiritual. Mereka menganggap bahwa perubahan status sosial akan berdampak pada keadaan spiritual mereka.

Untuk meresponi kesalahpahaman ini Paulus di ayat 17-24 menegaskan bahwa mereka tidak perlu mengupayakan perubahan status. Tiga kali dalam bagian ini ia menasehati agar mereka tetap berada dalam keadaan seperti pada waktu mereka dipanggil (ay. 17, 20, 24). Ia bahkan secara eksplisit menerapkan prinsip ini dalam konteks perkawinan (ay. 26-27). Pengulangan ini sekaligus menjadi inti, bukan hanya untuk ayat 17-24, tetapi seluruh pasal 7. Jemaat Korintus tidak perlu mengupayakan perubahan status dengan harapan bahwa perubahan itu akan mempengaruhi spiritual mereka. Relasi horizontal dengan orang lain (status sosial) tidak akan membawa pengaruh bagi relasi vertikal dengan Tuhan (status spiritual).

Nasehat ini tidak berarti bahwa Paulus melarang semua bentuk perubahan status sosial. Sebelumnya di ayat 9 ia tidak melarang para duda dan janda untuk kawin lagi. Di ayat 21 ia mengizinkan para budak yang mendapat kesempatan menjadi orang bebas untuk menggunakan kesempatan itu. Di ayat 28 ia mengizinkan perkawinan, walaupun ia tetap menganggap hal itu bukan pilihan yang terbaik. Yang dilarang Paulus bukanlah perubahan status sosial itu sendiri (per se), tetapi motivasi di baliknya yang didasarkan pada konsep spiritualitas yang salah.

Struktur ayat 17-19 dapat diketahui dengan mudah dan mirip dengan struktur di ayat 20-23. Paulus mula-mula menyatakan prinsip yang ia pegang, yaitu tetap dalam keadaan seperti ketika dipanggil Tuhan (ay. 17). Selanjutnya ia mengambil contoh status sosial yang berkaitan dengan etnis. Orang Yahudi tidak perlu mengubah keadaan dirinya yang bersunat, begitu pula orang non-Yahudi tidak perlu menyunatkan diri mereka (ay. 18). Nasehat ini didasarkan pada alasan theologis bahwa sunat atau tidak bersunat tidak memiliki arti apa-apa (ay. 19).


Prinsip: Tetap Dalam Keadaan Seperti Ketika Dipanggil (ay. 17)
Kata sambung ei mē (lit. “jika tidak”) telah diterjemahkan secara berbeda oleh para penafsir. Sebagian mengikuti pemakaian umum dari konstruksi seperti ini (misalnya “bagaimanapun” atau “kecuali”), sedangkan yang lain menganggap ungkapan ini memiliki arti yang sama dengan kata sambung “tetapi”. Dalam hal ini terjemahan “bagaimanapun” tampaknya lebih tepat karena didukung oleh pemakaian umum dan konteks. Kata sambung ini berkaitan dengan ayat 15a. Walaupun perceraian dengan orang yang tidak beriman diperbolehkan asalkan inisiatif bukan dari pihak orang percaya (ay. 15a), namun hal itu bukanlah sebuah peraturan baku atau standar yang ideal. Allah tetap menghendaki orang Kristen hidup dalam damai (ay. 15b). Di samping itu, prinsip umum yang harus dipegang adalah “tidak mengupayakan perubahan status sosial” (ay. 17).

Bagian selanjutnya dari ayat 17 dimulai dengan kata “sebagaimana kepada tiap-tiap orang Tuhan sudah menentukan” (LAI:TB memilih untuk meletakkan kata perintah “hendaklah tiap-tiap orang hidup” di bagian depan). Peletakan ungkapan “kepada tiap-tiap orang” (ēkastō) di bagian awal kalimat menyiratkan penekanan. Paulus ingin menegaskan bahwa setiap individu adalah unik di mata Tuhan, terlepas dari apa pun status sosial mereka.

Keunikan tersebut dihubungkan dengan fakta bahwa Tuhan telah menentukan (emerisen) kepada tiap-tiap orang. Apa yang ditentukan? Paulus tidak menyebutkan secara eksplisit. Kata dasar merizō secara hurufiah hanya menunjukkan tindakan memberikan atau membagi sesuatu, namun objek dari tindakan ini sangat variatif. Berdasarkan pemunculan kata merizō (“menentukan”) di Roma 12:3 dan dalam konteks pemberian berbagai karunia rohani (Rm. 12:4-8), beberapa penafsir berpendapat bahwa yang ditentkan oleh Tuhan di 1 Korintus 7:17 adalah karunia rohani.

Pendapat tersebut tidak diikuti oleh banyak penafsir lainnya. Pasal 7 tidak berbicara tentang karunia dalam konteks pelayanan gerejawi seperti yang dibahas di Roma 12:3-8. Secara khusus ayat 17-24 bahkan menyinggung tentang etnis (ay. 17-19) dan status budak (ay. 20-23) yang tidak berkaitan sama sekali dengan karunia-karunia rohani seperti itu. Sebagai tambahan, jika Paulus memaksudkan karunia rohani seperti itu, maka ia kemungkinan besar tidak akan memakai kata merizō. Ia akan memakai kata didōmi (“memberikan”), yang dalam surat 1 Korintus secara konsisten dia pakai ketika membicarakan tentang karunia pelayanan (3:5; 12:4-11).

Penggunaan kata kerja merizō di 7:17 mungkin dimaksudkan sebagai rujukan untuk karunia lain di luar daftar karunia pelayanan gerejawi. Hal ini didukung oleh konteks pasal 7. Di bagian sebelumnya Paulus sudah menjelaskan bahwa perkawinan maupun selibasi sama-sama karunia Allah (ay. 7), walaupun bentuknya berbeda. Di ayat 17-24 ia membahas tentang status sosial seseorang, entah dari sisi etnis (Yahudi/Yunani) maupun pekerjaan (budak/orang merdeka). Dengan kata lain Paulus ingin mengajarkan bahwa status sosial apa pun yang disandang oleh seseorang, hal itu merupakan ketentuan dari Tuhan. Jemaat tidak hanya didorong untuk menerima status itu, tetapi mereka juga harus menggunakan itu untuk kemuliaan Allah, karena itu adalah pemberian (karunia). Konsep pelayanan yang sangat holistik ini sesuai dengan nasehat Paulus di bagian lain bahwa apa pun yang kita lakukan, termasuk yang tampak sepele sekalipun, kita melakukan itu untuk Tuhan (10:31).

Bagian selanjutnya dari 1 Korintus 7:17 adalah “dalam keadaan seperti pada waktu ia dipanggil Allah” (LAI:TB). Dalam kalimat Yunani kesejajaran frase ini dengan frase sebelumnya lebih kentara. Secara hurufiah frase ini berbunyi “sebagaimana tiap-tiap orang Allah telah panggil”. Apakah yang dimaksud Paulus melalui frase ini? Dalam pemakaian sehari-hari kita memahami panggilan Allah dalam beberapa arti: dipanggil untuk bertobat, dipanggil menjadi hamba Tuhan, dipanggil pada pekerjaan/panggilan hidup yang khusus, dan dipanggil pulang ke rumah Bapa di surga. Di antara empat arti ini, tiga kemungkinan pertama sama-sama memiliki dukungan. Paulus kadangkala memakai frase “Allah memanggil” dalam arti yang pertama (1:9, 24, 26), kedua (1:1; 15:9) maupun ketiga (7:15b).

Bagaimanapun, sebagian penafsir cenderung memilih arti yang pertama. Arti kedua tidak didukung oleh konteks pasal 7 (pasal ini tidak membahas tentang status hamba Tuhan sama sekali). Arti terakhir membuat frase ini memiliki arti yang sama persis dengan frase sebelumnya, sehingga kita bertanya-tanya mengapa Paulus perlu memakai dua frase yang berbeda jika ia memaksudkan hal yang sama? Di sisi lain, makna pertama lebih sesuai dengan penggunaan frase ini dalam tulisan Paulus (Rm. 11:29; Ef. 1:18; 4:1, 4; Flp. 3:14; 2Tes. 1:11; 2Tim. 1:9). Di Surat 1 Korintus sendiri Paulus sebelumnya pernah menyinggung kaitan antara panggilan Allah dan status sosial jemaat. Allah tetap berkenan memanggil mereka ke dalam pertobatan, terlepas dari etnis mereka (1:24) maupun derajad sosial mereka (1:26). Makna seperti inilah yang ada dalam pikiran Paulus ketika ia menggunakan frase “Allah memanggil” di pasal 7. Melalui frase ini ia ingin mengingatkan jemaat untuk tetap hidup seperti pada waktu mereka dipanggil dalam pertobatan oleh Allah. Panggilan itu menunjukkan bahwa relasi dengan Allah tidak dibatasi oleh status sosial apa pun.

Sebagaimana sikap mereka yang mengagungkan hikmat dunia tidak sesuai dengan status mereka dahulu (1:26-28), demikian pula keinginan mereka untuk mengubah status sosial mereka dalam konteks perkawinan (7:2-5, 10-16), etnis (7:17-19) maupun pekerjaan (7:20-23) tidak sesuai dengan makna pertobatan. Kalau dulu Allah berkenan memanggil mereka dalam keadaan sosial apa pun, maka itu berarti bahwa status itu pasti tidak bisa menghalangi relasi mereka selanjutnya dengan Allah. Mereka tidak perlu mengubah status itu agar lebih diterima oleh Allah. Yang paling menentukan bukanlah status sosial, tetapi anugerah Allah.

Penggunaan tense perfect untuk kata “memanggil” (keklēsen) dalam konteks ini menyiratkan bahwa tindakan tersebut dilakukan di masa lampau tetapi akibatnya masih ada sampai sekarang. Pertobatan harus membawa perubahan tertentu (6:11) yang permanen, tetapi perubahan itu tidak mencakup perubahan status sosial. Karakter kitalah yang perlu diubah supaya lebih berkenan di hadapan Tuhan, bukan status sosial kita.

Setelah menjelaskan dua frase di ayat 17 Paulus baru menuliskan induk kalimat dalam ayat ini. Induk kalimat yang dimaksud adalah frase “demikian hendaknya ia hidup” (ēoutōs peripateitō). Dari cara penulisan seperti ini terlihat bahwa yang dipentingkan bukan sekadar “hidup” tetapi “hidup seperti apa”. Bentuk present tense yang dipakai untuk kata “hidup” mengindikasikan tindakan yang terus-menerus (tidak berhenti atau berubah). Kata “hidup” (peripateō) secara hurufiah berarti “berjalan”. Penggunaan ungkapan ini merupakan tipikal orang Yahudi. Mereka memandang hidup sebagai sebuah dinamika (tidak statis) dan memerlukan sebuah jalan tertentu, entah jalan yang dilalui adalah benar atau salah (Rm. 6:4; 8:4; 13:13; 14:15; 1Kor. 3:3; 2Kor. 4:2; 5:7; 10:2–3; 12:18; Gal. 5:16; Ef. 2:2, 10; 4:1, 17; 5:2, 8, 15; Kol 1:10; 2:6; 3:7; 4:5; 1Tes. 2:12; 4:1, 12; 2Tes. 3:6, 11). Orang Kristen pun seharusnya melihat kehidupan rohani mereka dengan cara yang sama. Hidup adalah sebuah proses dan harus dijalani dengan pedoman tertentu. Dalam konteks 1 Korintus 7 pedoman yang dimaksud adalah status sosial yang sudah ditentukan Allah dan yang sesuai dengan keadaan waktu kita dipertobatkan Allah.

Prinsip di atas merupakan ketentuan yang diberikan Paulus di semua jemaat. Bentuk present tense dari kata kerja diatassomai (“aku menentukan”) menyiratkan bahwa ini merupakan kebiasaan Paulus di segala tempat. Penjelasan tambahan bahwa nasehat Paulus ini juga disampaikan di seluruh jemaat telah menarik perhatian para penafsir. Paulus berkali-kali dalam surat ini menegaskan hal tersebut (4:17; 11:16; 14:33). Ada beberapa hal yang ingin disampaikan melalui penjelasan ini: (1) wibawa rasuli Paulus yang diakui oleh jemaat-jemaat lain. Hal ini perlu ditegaskan Paulus karena jemaat Korintus sering bersikap negatif terhadap dirinya (1:12; 4:3; 9:3); (2) ajaran ini bukan hal yang baru. Berbeda dengan jemaat Korintus yang suka mengandalkan ‘pewahyuan baru’ dari Roh Kudus, Paulus menegaskan bahwa ajarannya tidak seperti itu, walaupun ia tetap memiliki Roh Kudus dalam dirinya (7:40); (3) ajaran ini bukanlah situasional. Prinsip yang diajarkan Pauus bukanlah sikap subjektif Paulus yang ditujukan secara khusus untuk menentang jemaat Korintus; (4) sikap jemaat Korintus merupakan penyelewengan terhadap tradisi gereja mula-mula. Kecenderungan jemaat Korintus yang gemar terhadap hal-hal baru adalah tindakan yang tidak bijaksana.


Contoh Aplikasi: Bersunat atau Tidak Bersunat (ay. 18)
Di ayat ini Paulus memberikan contoh praktis dari prinsip yang sudah ia ajarkan di ayat 17. Ia mengambil contoh tentang sunat. Topik ini memang seringkali menjadi isu yang sensitif dan kontroversial waktu itu. Dari cara Paulus menyinggung topik sunat dalam bagian ini, para penafsir yakin bahwa isu ini bukanlah isu utama dalam jemaat Korintus. Ia tidak membahas hal ini dengan penuh semangat dan emosional seperti ketika ia menghadapi penganut Yudaisme yang merongrong jemaat di Filipi (3:1-8) atau Galatia (1:6-9; 3:1-5). Bagian lain dari Surat 1 Korintus juga tidak membahas tentang permasalahan seputar sunat. Pendeknya, Paulus hanya meyinggung sunat sebagai salah satu contoh aplikasi saja.

Ungkapan “sunat” dan “tidak bersunat” tidak hanya menunjukkan perbedaan etnis, sekalipun orang Yahudi memang terbiasa membagi manusia menjadi dua” yang bersunat (Yahudi) dan tidak bersunat (non-Yahudi). Jika “sunat” di sini hanya sinonim dari “Yahudi” (Kis. 11:2; Ef. 2:11), begitu pula sebaliknya, maka aplikasi Paulus menjadi tidak berarti. Orang Yahudi jelas tidak mungkin menjadi non-Yahudi! Paulus memandang sunat di bagian ini bukan hanya sekadar nama lain dari “Yahudi”, tetapi ia memang memaksudkan sunat secara hurufiah sebagai tanda perjanjian menurut orang Yahudi.

Apakah ada kemungkinan bahwa orang Yahudi yang bergitu bangga dengan bangsanya sendiri justru ingin tidak bersunat? Tentu saja! Pada waktu itu orang-orang non-Yahudi memandang sunat sebagai tindakan yang tidak beradab (barbar). Tindakan ini dipandang sebagai bukti status sosial yang rendah dari para pelakunya. Ada kemungkinan sebagian orang Yahudi ingin lebih dihargai secara sosial/kultural dengan cara mengoperasi kembali kulit khatan mereka. Catatan historis pun mendukung bahwa tindakan ini sangat dimungkinkan untuk terjadi. Waktu penganiayaan kejam di bawah Antiokhus Epifanes, sebagian orang Yahudi rela melakukan operasi agar mereka bisa terlibat dalam kegiatan/perlombaan olah raga di stadion (1Mak. 1:14-15; Ant. 12.241). Mereka ingin diterima (dan diperlakukan sama) oleh orang-orang non-Yahudi. Motivasi seperti ini sangat mungkin ada dalam diri sebagian orang Yahudi, walaupun mereka tidak menghadapi penganiayaan lagi. Keinginan untuk mendapatkan pengakuan sosial yang “lebih tinggi” ini sesuai dengan sikap jemaat Korintus yang mengupayakan perubahan status sosial.

Di sisi lain, orang-orang non-Yahudi juga mungkin ingin menyunatkan diri mereka, walaupun hal itu secara sosial/kultural membuat mereka dipandang rendah. Praktik proselit (orang non-Yahudi yang memeluk agama Yudaisme dan rela disunat, bdk. Mat. 23:15) menjadi bukti bahwa hal tersebut cukup umum ditemui waktu itu. Dalam konteks kekristenan, orang-orang non-Yahudi yang sudah percaya kepada Kristus bisa jadi mendapat tekanan/pengaruh dari pihak Yahudi (Kis. 15:1; Gal. 5:1-3, 12). Mereka juga mungkin secara sukarela ingin mencari keabsahan sebagai keturunan spiritual dari Abraham (Rm. 4:9-12; Gal. 3:7-8).


Alasan: Sunat atau Tidak Bersunat Tidak Memiliki Arti Apa pun (ay. 19)
Bagi orang Yahudi sunat merupakan salah satu elemen keagamaan dan kebangsaan yang sangat penting. Sunat merupakan salah satu tanda perjanjian (Kej. 17:9-14) selain Taurat. Sunat bahkan dianggap lebih tinggi daripada Sabat (bdk. Yoh. 7:22). Tidak demikian halnya bagi Paulus. Dengan lantang ia menyatakan bahwa sunat tidak penting (1Kor. 7:19a; lihat juga Gal. 5:6; 6:15; Rm. 2:25–26).

Ketika Paulus mengatakan “sunat tidak penting” (ay. 19a), kita perlu memahami bahwa pernyataan ini tidak berarti bahwa sunat tidak memiliki arti sama sekali. Menjadi orang Yahudi jelas menyiratkan berbagai kelebihan secara historis (Rm. 3:1-2; 9:4-6; bdk. Flp. 3:5a). Maksud Paulus di sini adalah dalam konteks relasi dengan Allah (secara theologis). Baik orang bersunat maupun tidak bersunat adalah sama-sama orang berdosa (Rm. 3:9-20) dan diselamatkan dengan cara yang sama (Rm. 3:21-23). Jika Allah berkenan memanggil orang Yahudi dan Yunani, maka hal itu berarti bahwa sunat atau tidak bersunat bukanlah hal yang menentukan dalam kerohanian. Bahkan kebanggaan etnis justru seringkali menghalangi penerimaan injil. Orang Yahudi menghendaki tanda sehingga melihat salib sebagai batu sandungan, sedangkan orang non-Yahudi menuntut hikmat sehingga memandang salib sebagai kebodohan (1Kor. 1:22-23). Bagi mereka yang dipanggil Allah, baik Yahudi maupun non-Yahudi, salib adalah kuasa dan hikmat Allah (1Kor. 1:24).

Paulus sebenarnya tidak anti terhadap sunat. Ia pernah menyuruh Timotius untuk bersunat sebelum menyertainya dalam perjalanan misi (Kis. 16:2). Tindakan ini sesuai dengan prinsip pelayanan “menjadi semua orang bagi semua orang supaya injil diterima” (1Kor. 9:19-23). Dalam konteks relasi horizontal di lingkungan orang Yahudi, sunat jelas memegang peranan penting, tetapi dalam relasi vertikal hal itu sama sekali tidak berarti apa-apa. Demikian pula tidak bersunat juga tidak akan mengurangi atau menambah kualitas relasi vertikal yang ada. Yang paling penting adalah menaati hukum-hukum Allah (ay. 19b). Kata jamak entolh di bagian ini seharusnya diterjemahkan “perintah-perintah”, bukan “hukum-hukum” (kontra LAI). Hukum adalah kumpulan perintah. Pernyataan Paulus pada bagian ini cukup mengagetkan. Sesudah menyatakan bahwa sunat tidak berarti apa-apa, sebagian orang mungkin akan berharap ia melanjutkan “begitu pula dengan hukum/perintah Allah”. Ternyata ia mengatakan sebaliknya!

Apakah ungkapan “perintah-perintah Allah” di sini merujuk pada Hukum Taurat? Tentu saja tidak. Kata yang biasa dipakai untuk “Hukum Taurat” adalah nomos (9:8, 20, 21; 15:56), bukan entolh. Ungkapan ini juga tidak bisa ditafsirkan aspek hukum moral dalam Taurat. Pembedaan Taurat menjadi hukum moral, sipil dan seremonial tidak sesuai dengan Alkitab (Musa tidak pernah membeda-bedakan) dan tidak konsisten (beberapa perintah mencakup dua aspek atau lebih). Kita sebaiknya memahami “perintah-perintah Allah” di sini secara luas, yaitu semua kehendak Allah yang harus dilakukan oleh orang percaya. Kumpulan perintah Allah ini bukanlah Hukum Taurat, tetapi hukum yang sempurna (Yak. 1:25) dan memerdekakan (Yak. 2:12).

Ketika Paulus menegaskan bahwa ketaatan pada perintah Allah merupakan sesuatu yang penting, ia sebenarnya sedang menyindir jemaat Korintus yang mengukur kerohanian berdasarkan pengalaman mistis tertentu bersama Roh Kudus atau kepemilikan karunia rohani tertentu. Dua hal ini kadangkala menyeret seseorang jauh dari kebenaran firman Tuhan. Bagi Paulus, kriteria kerohanian yang sejati adalah ketaatan, bukan pengetahuan, pengalaman maupun karunia rohani (bdk. 1Kor. 13). #





Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 14 Juni 2009
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2007%20ayat%2017-19.pdf