11 June 2010

Eksposisi 1 Korintus 7:1-2 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 7:1-2

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 7:1-2




Bagian ini membahas suatu topik yang baru. Hal ini ditunjukkan melalui penggunaan frase “sekarang tentang...” (7:1) yang selanjutnya akan dipakai berkali-kali untuk memperkenalkan suatu topik yang baru (7:25; 8:1, 4; 12:1; 16:1). Walaupun bagian ini membahas topik yang baru, tetapi bukan berarti tidak memiliki kaitan apa pun dengan bagian sebelumnya (6:12-20). Dua bagian ini sama-sama berbicara tentang bahaya percabulan (6:15-16, 18; 7:2). Keduanya juga menyinggung tentang kesatuan daging antara laki-laki dan perempuan (6:16; 7:4).

Jika memang pasal 7:1-24 membahas tentang topik yang baru, permasalahan apakah yang ditangani Paulus di bagian ini? Jawaban terhadap pertanyaan ini tergantung pada cara kita menafsirkan ayat 1b “adalah bagi laki-laki jika ia tidak kawin.” Apakah bagian ini merupakan kalimat Paulus atau dia sekadar mengutip pernyataan jemaat Korintus? Saya sendiri memilih alternatif yang terakhir (lihat pembahasan detail di ayat 1b). Jika ini diterima, maka kita dapat menyimpulkan bahwa persoalan yang sedang dibicarakan adalah konsep jemaat Korintus yang anti terhadap hubungan seksual atau perkawinan. Mereka melarang suami-istri untuk melakukan hubungan seksual (7:2-5), memaksa orang untuk tidak menikah (7:6-9, 36-40), memerintahkan orang Kristen untuk menceraikan pasangannya yang tidak beriman (7:10-16).

Menghadapi masalah di ayat 1b, Paulus menjelaskan bahwa jika mereka sudah menikah maka mereka tidak boleh saling menjauhkan diri (ay. 2-5). Jika mereka belum menikah, maka mereka bisa menjalani hidup selibat (tidak menikah) jika Tuhan memberi karunia itu (ay. 6-8) atau mereka tidak dapat menguasai nafsu (ay. 9). Jika mereka sudah menikah dan pasangannya belum mengenal Tuhan, maka pihak orang Kristen tidak boleh menceraikan pasangannya (ay. 10-16). Sebagai konklusi, semua orang sebaiknya bertahan dalam keadaannya sekarang, bahkan untuk hal-hal yang di luar konteks perkawinan (ay. 17-24). Mereka tidak perlu mengubah status sosial mereka, apabila dengan motivasi yang salah.


Persoalan: Konsep yang Salah tentang Seksualitas (ay. 1)
Paulus menyebut hal-hal yang akan dia bahas mulai pasal 7:1 sebagai hal-hal yang jemaat Korintus tuliskan kepadanya. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa isu-isu yang dibahas sebelumnya (pasal 1-6) merupakan hal-hal yang didengar oleh Paulus (bdk. 1:11; 5:1). Walaupun kita tidak boleh secara mutlak menganggap semua isu setelah pasal 7 sebagai
berita tertulis (bdk. 11:18 “aku mendengar...”), namun sebagian besar di antaranya memang seperti itu (bdk. bentuk jamak “hal-hal yang kamu tuliskan...”; bdk. 7:25; 8:1, 4; 12:1; 16:1). Semua ini menunjukkan bahwa Paulus tetap dianggap sebagai bapa rohani mereka (bdk. 4:15), sekalipun sebagian dari mereka tidak menyukai Paulus (1:12; 4:1-5; 9:3). Hal ini sekaligus membuktikan kepedulian Paulus terhadap keadaan jemaat, walaupun ia sudah berpisah dari mereka (5:3) dan tidak didukung secara layak pada saat ia melayani mereka (9:12-18; 2Kor 11:7-9).

Para penafsir berbeda pendapat tentang ayat 1b. Sebagian meyakini bahwa bagian tersebut merupakan kalimat Paulus sendiri, sedangkan yang lain menganggap bagian itu sebagai dua pilihan ini, yang terakhir tampaknya lebih bisa diterima. Ada banyak argumen yang mendukung pendapat ini: (1) dalam surat 1 Korintus Paulus sering mengutip kalimat jemaat lalu memberikan tanggapannya terhadap hal itu (bdk. 6:12-13; 8:1, 4; 10:23); (2) Paulus memiliki konsep yang positif terhadap seksualitas (7:2-5) maupun pernikahan (7:36, 38; bdk. Ef 5:22-33), sehingga sangat janggal jika dia memiliki konsep seperti di ayat 1b; (3) bagi Paulus kehidupan selibat (tidak menikah) tidak boleh dipaksakan pada semua orang, karena hal itu adalah karunia dari Allah (7:7); (4) dalam tradisi Yahudi diajarkan keagungan pernikahan (bdk. Kej. 2:18), walaupun ada sebagian tokoh memilih selibasi. Sulit dipahami jika Paulus berani berkontradiksi dengan ajaran Alkitab yang mengajarkan “tidak baik laki-laki eorang diri saja”; (5) secara umum Paulus sangat menetang gaya hidup asketisisme, yaitu gaya hidup menjauhkan diri secara ekstrem dari semua hal yang berkaitan dengan tubuh supaya memperoleh kehidupan rohani yang lebih tinggi (Kol. 2:20-22; 1Tim. 4:3).

Di 1 Korintus 7 Paulus memang memberi indikasi bahwa tidak menikah itu lebih baik (7:6, 38), tetapi ia tidak pernah menganggap bahwa perkawinan sebagai sesuatu yang tidak baik. Jika ayat 1b berasal dari Paulus, maka ia kemungkinan besar akan menambahkan kata “lebih”, sehingga peredaksiannya menjadi “adalah lebih baik bagi laki-laki kalau ia tidak kawin.” Karena ayat 1b menyiratkan sikap yang negatif terhadap perkawinan, maka dapat dipastikan bahwa hal itu bukan berasal dari Paulus.

Mengapa jemaat Korintus bisa memiliki sikap yang negatif terhadap seks atau perkawinan? Sebagian besar penafsir meyakini bahwa mereka telah terjebak pada konsep spiritualitas yang salah. Sebagai jemaat yang dipenuhi dengan berbagai karunia Roh (1:5) – bahkan hal ini menjadi sumber peselisihan di antara mereka (pasal 12-14) – jemaat Korintus merasa diri sudah berada pada tingkat kerohanian yang sangat tinggi. Mereka meyakini bahwa pada tahap seperti ini semua keinginan jasmani atau material tidak memiliki pengaruh apa pun bagi mereka, baik pengaruh positif maupun negatif. Kalau di 6:12-20 mereka berzinah dengan pemahaman bahwa hal itu tidak akan membawa pengaruh negatif bagi kerohanian mereka, di 7:1-24 mereka justru menjauhi semua bentuk keinginan tubuh (seks). Orang yang mampu menjauhkan diri dari semua hal ini dianggap memiliki tingkat kerohanian yang tinggi. Berdasarkan kesalahan konsep ini, Paulus di akhir pembahasannya menegaskan bahwa ia pun memiliki Roh Allah (7:40). Penegasan seperti ini tentu saja tidak diperlukan apabila persoalan jemaat Korintus tidak berkaitan dengan topik seputar Roh Kudus atau kerohanian yang sifatnya mistis.

Jika ayat 1b merupakan slogan dari jemaat Korintus, maka kata “baik” (kalos) di ayat itu harus dipahami menurut perspektif mereka. “Baik” di sini lebih dipandang secara moral atau spiritual. Paulus di bagian selanjutnya nanti akan mengoreksi konsep “baik” tersebut. Bagi Paulus, tidak menikah memang baik, tetapi kebaikan itu berkaitan dengan efektivitas pelayanan. Mereka yang diberi karunia selibat (7:7) bisa memfokuskan diri pada urusan Tuhan (7:32-34). Pada dirinya sendiri selibasi tidak lebih baik daripada menikah. Orang yang selibat tidak lebih rohani atau bermoral daripada yang menikah.

Sebutan “laki-laki” (LAI:TB) di ayat 1b didasarkan pada jenis kelamin maskulin dari kata Yunani anthrōpos yang dipakai. Secara hurufiah kata anthrōpos sebenarnya memiliki arti yang umum (“manusia”), bisa merujuk pada laki-laki maupun perempuan. Kata yang lebih spesifik untuk laki-laki adalah anhr (7:2, 3, 4, 10, 11, 13, 14, 16, 34, 39). Penggunaan kata anthrōpos mungkin menyiratkan bahwa jemaat Korintus mengaplikasikan prinsip di ayat 1b kepada semua orang, bukan hanya terbatas pada laki-laki. Tidak heran, Paulus pun meresponi persoalan ini dari dua sisi: laki-laki maupun perempuan (7:2-3, 25).

Kita perlu membahas tentang ungkapan “kawin” di bagian akhir ayat 1b. Dalam kalimat Yunani, ungkapan yang dipakai adalah “tidak menyentuh wanita” (haptō gunaikos). Mayoritas versi memilih untuk mempertahankan terjemahan hurufiah ini (ASV/KJV/RSV/NASB), sedangkan yang lain berusaha memperjelas artinya dengan kata “menikah” (NIV). Baik jemaat Korintus maupun Paulus pasti tidak memaksudkan ungkapan ini secara hurufiah. Ungkapan “menyentuh wanita” dalam literatur kuno – baik Alkitab maupun di luar Alkitab – muncul sebanyak 9 kali dengan arti “bersetubuh dengan wanita” (bdk. Kej. 20:6(LXX); Ams. 6:29(LXX)). Dalam hal ini Amsal 6:29 lebih jelas karena “menghampiri (wanita)” disejajarkan dengan “menyentuh (wanita).” Makna seperti ini juga didukung oleh konteks 1 Korintus 7. Isu yang dibahas bukan hanya sekadar tentang pernikahan, tetapi juga hubungan seksual (7:3-5). Di samping itu, jika yang dimaksud oleh jemaat Korintus adalah “menikah”, maka mereka pasti akan memakai kata gamew (7:9, 28, 36, 39), bukan haptō.


Jawaban Paulus: Setiap Orang Hendaknya Memiliki Pasangannya Sendiri (ay. 2)
Kata sambung “tetapi” di awal ayat 2 mengindikasikan kontras antara pandangan jemaat Korintus (ay. 1b) dan Paulus. Di ayat ini Paulus lebih menyoroti tentang bahaya percabulan (ay. 2a). Di ayat 3-5 nanti dia akan lebih banyak memberikan alasan theologis bagi nasehatnya di ayat 2b. Jadi, nasihat Paulus di ayat 2b didasarkan pada dua pertimbangan: bahaya percabulan (ay. 2a) dan kesatuan suami-istri (ay. 3-5).

Peringatan ini harus dilihat dari dua sisi: situasi kota Korintus dan kelemahan jemaat Korintus. Kota Korintus memang terkenal sebagai kota percabulan, bahkan kata korinqiazw sering kali dipakai dalam arti “berbuat zinah.” Percabulan yang sudah dibahas di 5:1-13 dan 6:12-20 cukup sebagai bukti betapa berbahayanya situasi di Korintus. Bentuk jamak “percabulan” (tas porneias) yang dipakai di 7:2a menyiratkan berbagai kemungkinan yang berpotensi menjatuhkan jemaat Korintus.

Di sisi lain kita juga tidak boleh melupakan faktor internal manusia. Kita lemah dalam hal godaan seksual. Paulus pun beberapa kali mengingatkan jemaat Korintus tentang hal ini dengan kalimat “kamu tidak tahan bertarak” (7:5) atau “tidak dapat menguasai diri” (7:9). Kisah kejatuhan Yehuda (Kej. 38), Simson (Hak. 14-16) dan Daud (2Sam. 11-12) sudah cukup sebagai peringatan bagaimana berbahayanya godaan seksual.

Berdasarkan pertimbangan di atas, Paulus memberikan nasihat agar setiap laki-laki mempunyai istrinya sendiri, begitu pula dengan setiap perempuan (ay. 2b). Sekilas nasihat ini tampak mengajarkan sebuah pandangan yang rendah terhadap lembaga pernikahan. Pernikahan hanya dilihat sebagai solusi bagi godaan seksual yang berbahaya. Kesan ini memang tidak terelakkan, karena ungkapan “mempunyai suami/istri” memberi kesan “menikah.” Tidak heran sebagian orang memandang ayat 2b sebagai nasihat kepada mereka yang belum menikah agar segera menikah daripada jatuh ke dalam percabulan. Dengan demikian Paulus terkesan kurang menempatkan keagungan pernikahan pada tempatnya.

Jika kita menyelidiki ayat ini secara lebih teliti, maka kita akan menemukan bahwa nasihat tersebut ditujukan pada mereka yang sudah menikah dan nasihat ini lebih mengarah pada hubungan seks, bukan pernikahan secara status. Pertama, ungkapan “mempunyai suami atau istri” (echō gunaika/andra). Ungkapan ini tidak dapat diartikan “menikah.” Jika Paulus memaksudkan “menikah”, maka ia mungkin akan menggunakan ungkapan “lambanō gunaika/andra (Tobit 4:12), bukan echō gunaika/andra. Ia juga bisa memakai kata yang lebih jelas yang nanti akan dia pakai di bagian selanjutnya, yaitu gameō (terutama 7:9 “biarlah ia kawin”). Berdasarkan pemunculan ungkapan echō gunaika dalam LXX, kita dapat mengetahui bahwa ungkapan ini memiliki arti “berhubungan seksual” (Kel. 2:1; Ul. 28:30; Yes. 13:16).

Kedua, konteks 1 Korintus 7:2-5. Bagian ini secara eksplisit membicarakan tentang hubungan seksual dalam sebuah pernikahan. Di samping itu, ungkapan “menyentuh wanita” di ayat 1b yang mengarah pada makna “hubungan seksual” juga turut menguatkan ide bahwa Paulus memang sedang membicarakan hubungan seksual. Jadi, Paulus tidak sedang membicarakan tentang pria dan wanita yang belum menikah.

Ketiga, kata “sendiri” (heautou/idion) Penambahan kata “sendiri” setelah kata “istri/suami” merupakan indikasi yang penting. Jika “mempunyai istri/suami” dipahami dalam arti “menikah”, maka kalimat di ayat 2b menjadi tidak masuk akal. Mengapa Paulus perlu menasehati orang untuk menikahi (mempunyai) istri/suaminya sendiri? Penambahan kata “sendiri”di sini akan menjadi lebih bermakna apabila “mempunyai istri/suami” ditafsirkan sebagai “berhubungan seksual.” Jadi, di bagian ini Paulus memberikan nasihat agar jemaat Korintus berhubungan seks dengan pasangannya masing-masing. Jika mereka melupakan hal ini, maka bahaya percabulan siap menghadang mereka. Menjauhkan diri dari pasangan (bdk. 7:5) bukanlah ide yang bijaksana jiak dilihat dari potensi kejatuhan yang akan terjadi.

Terakhir, kata “setiap” (hekastos/hekastē). Jika “mempunyai istri/suami” di ayat 2b dipahami dalam arti “menikah”, maka nasihat di ayat 2b “hendaklah setiap laki-laki/wanita menikah” akan berkontradiksi dengan ayat lain. Tidak setiap orang harus menikah, karena beberapa orang diberi karunia untuk selibat (7:6-8). Bagi mereka yang belum menikah pun Paulus menganjurkan agar tidak menikah supaya bisa konsentrasi kepada pelayanan (7:28, 32-34). Bagaimanapun, Paulus tetap memberi kebebasan kepada setiap orang untuk menikah atau selibat (7:6, 35).

Semua penjelasan di atas sudah cukup untuk meyakinkan kita bahwa nasihat di ayat 2b bukan ditujukan pada mereka yang belum menikah. Jika ini diterima, maka kesan sekilas bahwa Paulus menganggap rendah lembaga pernikahan akan segera sirna. Walaupun di ayat 9 Paulus tetap memikirkan pernikahan sebagai salah satu solusi bagi godaan seksual, namun kita perlu menggarisbawahi bahwa hal ini bukanlah pilihan yang ideal. Pilihan ini hanya bagi mereka yang tidak memiliki penguasaan diri. Bagi yang dewasa da kuat di dalam Tuhan, pernikahan bukanlah sekadar jalan keluar dari godaan seksual.


Refleksi
Kesalahan yang dilakukan oleh jemaat Korintus di atas ternyata terulang kembali sepanjang sejarah gereja, sekalipun dengan bentuk dan motivasi yang agak berbeda. Pada masa awal tradisi kebiaraan, banyak orang Kristen sengaja menyiksa diri dengan cara membuat diri mereka lapar, haus, menderita, menyendiri dari semua orang, dsb. Hidup selibat menjadi pilihan dan dianggap sebagai salah satu bukti kerohanian.

Di zaman modern ini kita masih bisa melihat sisa-sisa pemikiran yang sama, walaupun bentuknya tidak seekstrim dulu. Keengganan orang Kristen membicarakan seks secara detail sesuai dengan firman Tuhan menyiratkan bahwa seks masih dipandang sebagai sesuatu yang tabu atau – paling tidak – sesuatu yang tidak bersentuhan dengan kerohanian. Khotbah-khotbah di mimbar sangat jarang membahas topik tentang seks. #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 8 Februari 2009
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2007%20ayat%2001-02.pdf

MASA PDKT (Denny Teguh Sutandio)


MASA PDKT

oleh: Denny Teguh Sutandio





Pendahuluan
Masa pendekatan atau dalam bahasa gaul anak muda: PDKT (pedekate) adalah sebuah masa antara dari tahap persahabatan biasa menuju ke tahap yang lebih serius yaitu berpacaran. Rev. Joshua Eugene Harris di dalam bukunya I Kissed Dating Goodbye (pada waktu menulis buku ini, beliau berusia 21 tahun) menyebut masa ini sebagai “Persahabatan yang lebih mendalam.”[1] Rev. Joshua E. Harris di dalam buku yang lain, yaitu Boy Meets Girl (Saat Cowok Ketemu Cewek): Menjalin Hubungan Lawan Jenis (buku yang beliau tulis sesudah I Kissed Dating Goodbye) menyebutnya, “Lebih dari Teman Biasa, Tapi Belum Jadi Kekasih.”[2] Ev. Djohan Kusnadi, M.Div. di dalam bukunya Berpacaran yang Sehat menyebutnya sebagai “Tahap Teman Dekat.”[3] Dengan kata lain, masa PDKT ini adalah masa sesudah kita telah berteman dengan sebanyak mungkin lawan jenis, namun masa ini belum bisa disebut sebagai masa/tahap berpacaran, karena belum ada komitmen jelas. Oleh sebab itu, saya menyebutnya sebagai masa antara dari persahabatan menuju ke berpacaran. Masa ini juga merupakan masa di mana masing-masing lawan jenis mengenal masing-masing pribadi (iman, karakter, perkataan, sikap, tingkah laku, dll) dan lingkungan sekitarnya baik dari sisi keluarga, teman, saudara, dll.


PDKT: Komitmen?
Di dalam masa PDKT, pertanyaan pertamanya, apakah kita sedang memasuki pra-komitmen sebelum berpacaran? Menurut Rev. Joshua E. Harris di dalam bukunya I Kissed Dating Goodbye, “keintiman adalah upah dari komitmen.”[4] Namun di dalam halaman189-194, Rev. Joshua E. Harris menjabarkan bahwa di dalam persahabatan yang lebih mendalam pun, kita hendaknya tidak terlalu melibatkan emosi kita. Dari dua hal ini, saya menggabungkan prinsip bahwa tahap PDKT bukanlah tahap yang disertai komitmen, maka di dalam tahap ini:
Pertama, hindarilah keintiman sebagai puncaknya. Jangan mengejar keintiman sebelum waktunya, karena keintiman hanya milik orang yang sudah jadian dan paling puncak yaitu pada saat menikah. Tuhan menginginkan kesucian kita di dalam masa PDKT, bukan hanya secara fisik, namun secara motivasi, begitulah saran implisit yang saya tangkap dari Rev. Joshua E. Harris di dalam bukunya I Kissed Dating Goodbye. Istilah praktisnya, jangan memberikan seluruh hatimu tatkala kita sedang PDKT dengan lawan jenis, karena lawan jenis tersebut belum tentu menjadi pasangan hidup kita.

Kedua, hindarilah sikap saling “memiliki”. Memang ada beberapa cowok/cewek yang merasa “memiliki” lawan jenisnya tatkala masih dalam tahap PDKT. Sebenarnya hal itu kurang bagus, karena tahap PDKT masih tahap penjajagan sebelum akhirnya jadian. Nah, celakanya, ada cewek akan marah jika dia merasa “dimiliki” oleh seorang cowok, namun herannya cewek tersebut merasa telah “memiliki” si cowok, sehingga ada cewek yang curiganya amit-amit sampai-sampai menanyakan teman cowok dari cowok yang lagi deket sama dia. Bagi saya inilah sikap egois.

Ketiga, hindarilah sikap pengorbanan yang berlebihan. Cinta memang harus berkorban dan menurut Rev. Bill Hybels, D.D. di dalam bukunya Who You Are When No One’s Looking, ada 3 komoditi yang perlu dikorbankan di dalam kasih yaitu: waktu, energi, dan uang.[5] Namun, sekali lagi, karena tahap PDKT merupakan tahap yang belum dilandasi oleh suatu komitmen tertentu, maka hendaknya jangan terlalu banyak berkorban. Saya memiliki sebuah prinsip yang sudah, sedang, dan akan terus saya aplikasikan: when there is no commitment, there is no sacrifice (ketika tidak ada komitmen, tidak ada pengorbanan). Hal ini tidak berarti kita sebagai cowok tidak perlu berkorban terhadap lawan jenis kita, namun yang saya tekankan jangan terlalu banyak berkorban! Berkorban itu sah-sah saja dan itu menunjukkan kita “ada hati” atau perhatian ama cewek yang kita taksir, namun batasilah pengorbanan itu, jangan sampai kita para cowok diperbudak oleh para cewek, sehingga kita hanya dijadikan pembantu/sopirnya si cewek. Saya terus terang harus jujur di sini, banyak cewek postmodern hari-hari ini ahli “memelas” demi memanfaatkan cowok (apalagi cowok yang lagi PDKT ama cewek itu). Si cowok yang lagi PDKT dengan si cewek diperalat untuk dijadikan sopir gratis untuk mengantarkan si cewek ke mana saja si cewek mau, kemudian kalau si cewek bosen, si cewek akan menendang keluar si cowok dan beralih ke cowok lain yang lebih tajir dan bisa disuruh-suruh. Rev. Joshua E. Harris mengeluarkan suatu pernyataan yang mewakili apa yang saya bicarakan barusan, “Jika godaan terbesar bagi seorang pria adalah menjadi pasif, godaan terbesar bagi wanita adalah mengatur.”[6] Berkenaan dengan hal ini, Ev. Chang Khui Fa, M.Div. di dalam bukunya Garam dan Terang for Youth: Road to Transformation di dalam menjelaskan tentang pacaran berujar,
“Pacaran adalah persiapan untuk menemukan siapa sesungguhnya diriku dan diri pasangan. Pacaran merupakan sarana untuk mengenali pasangan menuju pernikahan.
Pacaran bukan kesempatan makan gratis, nonton hemat, free transportation karena ada tukang ojek atau supir taxi yang setia menunggu.
Hi gadis-gadis yang budiman, saat pacaran jangan memperalat kaum Adam.

Hi para pria! Andapun jangan mau dibodohi, apalagi diperalat kaum Hawa.”[7]

Terlepas dari tipe cewek yang suka memanfaatkan cowok atau tidak, hendaknya sebagai cowok, jangan terlalu berkorban terlalu banyak. Ambil contoh, ketika ingin membelikan hadiah bagi cewek yang kita taksir pada saat ultahnya, berpikirlah dua kali tentang harga dari hadiah itu. Jika barang yang akan kita belikan dan berikan kepada cewek itu sebagai hadiah harganya Rp 100.000, 00 bahkan lebih, hendaklah kita berpikir dua kali untuk itu. Ingat, cewek itu belum sah menjadi pacar kita! Kalau pun kita hendak membelikan dan memberikan sesuatu yang spesial bagi lawan jenis kita, pertimbangkan harganya terlebih dahulu, belilah barang-barang yang harganya di bawah Rp 100.000, 00 atau bahkan di bawah Rp 50.000, 00. Konsep ini bukan saya paparkan secara teori, namun sudah saya jalankan! Ingatlah, hidup kita tidak hanya difokuskan pada si cewek itu, si cewek itu hanya nomer kedua, setelah Tuhan. Jangan mau dibodohi dan dirayu oleh cewek yang kita taksir untuk membelikan barang-barang yang mahal bahkan sampai Rp 1.000.000, 00, trus setelah si cewek mendapatkan barang yang diinginkan, kita sebagai cowok ditendang keluar. Hal ini mirip seperti banyak orang “Kristen” kontemporer hari-hari ini yang hanya mau berkat Tuhan, namun tidak mau Pribadi Tuhan itu sendiri, akibatnya kalau dia bangkrut, imannya pun ikut bangkrut dan mulai mengutuki Tuhan seperti istri Ayub.


Tiga Macam Masa PDKT
Sebagai masa perkenalan, saya membagi masa PDKT ini menjadi 3 masa, yaitu: masa awal, masa tengah, dan masa akhir.

Pertama, masa awal PDKT dimulai ketika seorang cowok memutuskan untuk menaksir seorang cewek untuk nantinya menuju ke tahap yang lebih serius yaitu berpacaran dan akhirnya menikah. Di masa awal ini, adalah bijaksana jika seorang cowok bertanya kepada cewek yang ditaksirnya apakah si cewek sudah punya gebetan atau pacar. Jika memang belum, si cowok baru melancarkan serangan PDKT. Kalau si cewek sudah memiliki gebetan, itu terserah si cowok. Dulu saya pernah memiliki pengalaman hendak melancarkan PDKT kepada seorang cewek. Belum sampai 1 bulan, si cewek sudah jujur bahwa dia sudah punya calon pacar. Saya curhat ama teman Kristen (cewek) dari GKRI Exodus, Surabaya dan teman saya ini menasihati saya bahwa jika cewek yang saya taksir ini benar-benar layak diperjuangkan/dikejar, ya kejar saja, jika tidak layak, ya gak usah dikejar. Dari situ, seolah-olah Tuhan membuka pikiran saya dan kemudian saya akhirnya mengurungkan niat mendekati cewek itu. Dan puji Tuhan, setelah mengetahui sifat asli si cewek itu, saya tidak henti-hentinya bersyukur kepada Tuhan karena tidak mendekati (dan jadian dengan) si cewek yang gak layak dikejar. Mengapa saya mengatakan bahwa cowok lebih baik bertanya tentang status si cewek? Hal tersebut penting, agar kita tidak membuang-buang waktu, biaya, tenaga percuma untuk mendekati cewek yang sudah punya gebetan ataupun pacar. Sebelum masa PDKT inipun, seharusnya seorang cowok harus menggumulkan cewek yang dia taksir apakah itu sesuai dengan kehendak-Nya atau bukan. Masa ini terjadi maksimal 1 bulan. Di masa ini, biasanya seorang cowok dan cewek yang sedang membina sebuah hubungan lawan jenis hanya akan menampilkan sisi positifnya saja (terutama banyak cewek yang ahli bermuka dua dengan “alasan” agar tidak melukai orang lain), sehingga adalah bijaksana jika seorang cowok tidak perlu terlalu cepat “menembak” cewek yang ditaksirnya. Di masa awal ini, seorang cowok dan cewek pun diwajibkan berdoa untuk menggumulkan benarkah mereka dikehendaki Tuhan untuk bersatu selamanya. Selain doa, cowok dan cewek harus berkonsultasi dengan orangtua dan beberapa saudara seiman mereka yang cukup dewasa rohani untuk meminta nasihat (namun, keputusan terakhir tetap harus diambil oleh cowok dan cewek yang membina hubungan tersebut!).[8] Orangtua dan saudara seiman ini diharapkan memberikan nasihat yang bermutu, dewasa, dan bertanggungjawab.

Kedua, masa tengah PDKT. Masa tengah ini biasanya terjadi antara 1-3 bulan. Di dalam masa ini, biasanya antara cowok dan cewek yang lagi berhubungan agak sedikit terbuka dan mulai dech hal-hal negatif masing-masing kelihatan. Di dalam masa ini, cowok dan cewek diharapkan kembali bergumul di hadapan Tuhan, benarkah mereka layak bersatu di dalam Tuhan? Pada masa ini juga, biasanya si cewek akan memberikan “sinyal” apakah dia menerima cinta si cowok atau tidak. Jika si cewek memang menerima cinta si cowok, maka cowok dan cewek ini harus berusaha saling melengkapi satu sama lain (dengan catatan: cowok dan cewek ini bukan orang yang keras kepala yang sok tahu dan mau menang sendiri). Selain saling melengkapi, mereka harus saling mengerti. Jika ada perkataan si cowok yang kurang bisa dimengerti, si cewek harus bertanya apa maksud perkataan si cowok itu (dengan catatan: perkataan cowok ini memang kurang jelas atau ambigu). Begitu juga sebaliknya. Jangan asal main tafsir semaunya sendiri, apalagi memfitnah tanpa bukti yang valid. Kalau dari sisi ini saja, si cewek/cowok main tafsir semaunya sendiri akan apa yang dimaksud oleh lawan jenisnya, ya, bergumullah, apakah lawan jenisnya ini benar-benar pasangan hidup yang cocok? Mengapa? Karena dari sisi komunikasi saja, mereka tidak nyambung (bahasa kerennya: lemot alias lola {loading lambat}).

Ketiga, masa akhir PDKT. Masa akhir ini biasanya terjadi lebih dari 3 bulan. Di dalam masa ini, biasanya cowok dan cewek lebih terbuka dari masa tengah PDKT itu, karena masing-masing bukan hanya saling mengerti sisi positif dan negatif, namun bisa saling mengerti dan melengkapi.


Komunikasi dalam PDKT
Di dalam PDKT, yang penting untuk diperhatikan adalah komunikasi. Perbanyaklah komunikasi dengan lawan jenis Anda baik melalui sms, telepon, maupun bertemu langsung. Saran saya adalah perbanyaklah komunikasi langsung (bertatap muka). Dengan berkomunikasi langsung dengan lawan jenis, kita akan mengerti prinsip, iman, karakter, sikap, perkataan, dan tingkah lakunya. Dari prinsip, iman, karakter, dll, kita bisa mempertimbangkan apakah lawan jenis kita layak kita jadikan pacar dan bahkan suatu hari kelak istri/suami kita. Lalu, apa yang perlu dibicarakan di dalam komunikasi tersebut?

Pertama, rohani. Hal-hal rohani dan tentang iman harus dibicarakan di dalam komunikasi pada saat PDKT. Orang Kristen hari-hari ini kalau PDKT dengan lawan jenisnya selalu menghindari hal-hal rohani dari pembicaraan dan menggantikannya dengan hal-hal remeh, padahal hal rohani adalah hal yang terpenting yang harus dibicarakan, karena ini akan menentukan tahap kita selanjutnya di dalam berpacaran dan akhirnya menikah. Namun, jangan lebay plis. Saya mengatakan hal-hal rohani harus dibicarakan, namun TIDAK berarti saya mengatakan hal-hal rohani selalu menjadi topik pembicaraan setiap kali ketemu dengan lawan jenis. Hal-hal rohani tetap penting dibicarakan, namun intensitasnya jangan terlalu sering, karena hidup kita bukan hidup yang hanya dikelilingi oleh kerohanian saja, namun juga ada hal-hal lain yang perlu dibicarakan di dalam komunikasi saat PDKT tersebut, misalnya prinsip hidup, karakter, cara berpikir, dan tentunya hal-hal yang fun (misalnya: hobi, makanan favorit, kebiasaan sehari-hari, dll – jangan terlalu membicarakan hal-hal serius, kita perlu juga membicarakan hal-hal yang fun, supaya lawan jenis kita tidak stres), dll.

Kedua, prinsip dan gaya hidup. Selain hal-hal rohani, pertimbangkan unsur prinsip dan gaya hidup untuk kita bicarakan dalam komunikasi kita. Apakah lawan jenis kita termasuk orang yang pelit atau bahkan menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak penting atau paradoks/seimbang, yaitu bisa mengatur keuangan dengan bijaksana. Pertimbangkan juga pengaruh keluarga terhadap lawan jenis kita. Apakah orangtua terlalu ikut mencampuri anaknya sehingga prinsip orangtua harus ditaati mutlak oleh anaknya tanpa diskusi logis lebih lanjut ataukah orangtua masih rendah hati berdiskusi dengan anaknya? Mengapa saya memasukkan pengaruh keluarga ini? Karena pengaruh keluarga pasti mempengaruhi prinsip dan gaya hidup lawan jenis kita. Jika orangtua terlalu mencampuri (prinsip) anaknya, maka biasanya (tidak semua sih) si anak akan taat mutlak (tanpa berpikir panjang) untuk menyerahkan prinsip hidupnya untuk dikendalikan oleh orangtuanya. Yang lebih celaka, jika hal ini terus dibawa sampai ke jenjang pernikahan, maka si cowok/cewek harus menanggung akibatnya karena lawan jenisnya akan terus taat mutlak kepada orangtuanya dan bukan pada suaminya. Saya mendengar cerita dari saudara sepupu saya (cewek) yang menikah dengan seorang cowok. Karena mama cewek ini terlalu ikut campur dan matre, maka si mama langsung menyetujui anaknya menikah dengan seorang cowok yang katanya memiliki toko di luar kota. Namun, ketika sepupu saya dan tentunya mamanya yang matre ini melihat sendiri bahwa toko yang dipunyai si cowok ini adalah toko kecil, maka si mama berubah pikiran. Sepupu saya ini diracuni supaya bercerai dari si cowok ini (padahal pernikahan ini berjalan belum 1 tahun). Kemudian si cowok ini bertanya kepada sepupu saya, “Jika aq dan mamamu bertengkar, siapa yang kamu bela?” Anda akan kaget mendengar jawaban sepupu saya, “Ya, tentu mamaku lha ko, soale aq deket ama mamaku sudah lebih dari 20 tahun, sedangkan ama kamu belum 1 tahun.” Kalau masih nempel dengan mamanya, pertanyaan saya, ngapain menikah? Cape dech, heheheJ

Ketiga, cara berpikir dan mengambil keputusan. Hal selanjutnya yang perlu kita perhatikan dalam komunikasi yaitu cara lawan jenis kita berpikir dan mengambil keputusan. Ketika ada masalah/hal tertentu yang menuntut pengambilan keputusan, perhatikanlah cara pikir lawan jenis kita dan tentunya gimana sikapnya dalam mengambil keputusan. Cara berpikir menyangkut daya nalar lawan jenis kita. Apakah dia seorang yang bijaksana (bukan hanya sekadar pandai dan akademis) dan berpikir panjang? Ataukah dia seorang yang pikirannya sempit? Selain cara berpikir, perhatikanlah sikap lawan jenis kita dalam mengambil keputusan. Apakah dia gegabah dalam mengambil keputusan atau bertanya terlebih dahulu kepada kita (dan orangtua dan saudara seiman lain yang dewasa rohani dan bijaksana) untuk nantinya dicarikan solusinya bersama ataukah dia hanya bertanya kepada kita untuk mendapat persetujuan dari kita saja (sedangkan kalau kita tidak setuju, dia tetap menuruti kemauannya sendiri)? Kalau lawan jenis kita hanya memanfaatkan kita melalui pertanyaan yang dia ajukan, hendaklah kita berhati-hati untuk mempertimbangkan lawan jenis kita untuk menjadi pasangan hidup kita, karena jelas sekali orang itu berbahaya dan bukan tidak mungkin setelah kita pacaran dan menikah dengan orang model demikian, kita sebagai cowok dengan mudah dimanfaatkan oleh lawan jenis kita dalam segala hal. Waspadalah… Waspadalah…

Keempat, hal-hal yang fun. Terakhir, kita juga perlu lho membicarakan hal-hal yang fun. Saya terus terang “takut” dengan beberapa pemuda Kristen apalagi yang gemar membaca buku-buku theologi yang berat sekelas Dr. Louis Berkhof, Dr. Cornelius Van Til, Dr. Ronald H. Nash, Dr. Carl F. H. Henry, Dr. John M. Frame, dll dan juga buku-buku filsafat sekelas Rene Descartes, Immanuel Kant, F. Nietzsche, dll. Mengapa? Karena orang-orang ini terlalu banyak membaca buku-buku theologi dan filsafat, akibatnya di dalam PDKT pun, yang dibicarakan berkutat hal-hal seputar theologi dan filsafat. Misalnya, si cewek curhat ama si cowok kutu buku ini bahwa dia sedang ragu dalam mengambil keputusan, nah, biasanya si cowok kutu buku ini langsung menjawab, “Kamu ini diracuni oleh skeptisisme, itu bahaya. Skeptisisme itu salah dan melawan Alkitab.” Bla bla bla… Yang dibutuhkan si cewek bukan jawaban filsafat yang njelimetisasi seperti itu, yang cewek butuhkan hanya telinga yang mau mendengar (boleh saja sih kalau kita sebagai cowok memberi sedikit masukan). Jika Anda termasuk salah satu cowok seperti ini, segera bertobatlah, sebelum Anda mendapati fakta bahwa diri Anda gagal terus mendekati seorang cewek, heheheJ Kembali, selain tentang hal-hal rohani, prinsip hidup, cara berpikir dan mengambil keputusan, kita tetap perlu membicarakan hal-hal yang “remeh”, seperti makanan favorit, hobi, lagu favorit, genre film favorit, hobi, dan kebiasaan sehari-hari lawan jenis kita. Dengan membicarakan hal-hal tersebut, kita bisa mengetahui apa yang lawan jenis kita sukai dan kita bisa belikan dan berikan pada saat dia ulang tahun atau pada saat acara khusus, misalnya Natal, Imlek, Tahun Baru, dll.


PDKT dan Waktu yang Tepat untuk “Menembak” Lawan Jenis
Lalu, pertanyaan terakhir, kapankah seorang cowok harus “menembak” cewek yang ditaksirnya? Tidak ada aturan baku untuk itu, yang jelas jangan terlalu cepat dan jangan terlalu lama. Jika hanya dalam waktu beberapa minggu, si cowok langsung “menembak” cewek yang ditaksirnya, maka itu berakibat kurang bagus. Jika memang cewek yang di“tembak”nya itu bener-bener baik dan rohani ya puji Tuhan, namun kalau si cewek yang di“tembak”nya keras kepala, parah, matre, dll, ya apesnya si cowok. Jika sudah hampir setahun, si cowok baru “menembak” cewek yang ditaksirnya, biasanya si cewek akan menganggap si cowok ini hanya mau berteman dengan dia saja, sehingga pupus sudah harapan si cowok. Meskipun hasilnya gagal, dahulu, jangka waktu terlama yang saya butuhkan untuk “menembak” seorang cewek 3-4 bulan. Jangka waktu ini juga merupakan waktu Tuhan membentuk dan memproses kita di dalam menjalin hubungan lawan jenis.


Kesimpulan
Akhir kata, masa PDKT adalah masa antara yang perlu kita pertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Tatkala lawan jenis yang kita dekati itu bertanggungjawab, lanjutkanlah hubungan kita dengannya, namun jika tidak beres, segera tinggalkan dia, sebelum hubungan kita dengannya terlalu jauh. Biarlah Tuhan memimpin kita (dan tentunya saya) untuk menemukan pasangan hidup yang tepat yang cinta Tuhan, takut akan Tuhan, jujur, rendah hati, mencintai kita, dan mencintai keluarga kita. Amin. Soli Deo Gloria.






Catatan Kaki:
[1] Joshua Harris, I Kissed Dating Goodbye, terj. Claudia Kristanti (Jakarta: Immanuel, 2010), hlm. 187
[2] Joshua Harris, Boy Meets Girl (Saat Cowok Ketemu Cewek): Menjalin Hubungan Lawan Jenis, terj. Samuel E. Tandei (Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 2007), hlm. 81-97.
[3] Djohan Kusnadi, Berpacaran yang Sehat (Jakarta: Metanoia, 2006), hlm. 50.
[4] Joshua Harris, I Kissed Dating Goodbye, …, hlm. 22.
[5] Bill Hybels, Who You Are When No One’s Looking: Memilih Ketetapan Hati, Menolak Kompromi, terj. Dwi Maria Handayani (Jakarta: Metanoia, 2008), hlm. 95
[6] Joshua Harris, Boy Meets Girl, …, hlm. 132.
[7] Chang Khui Fa, Garam dan Terang for Youth: Road to Transformation (Bandung: Pionir Jaya, 2010), hlm. 81.
[8] Sebuah saran bijak dikemukakan oleh Rev. Joshua Eugene Harris di dalam bukunya Boy Meets Girl, “Masa menjalin hubungan jangan sampai terlepas dari keterlibatan orang lain, tapi jangan sampai ditentukan atau dimanipulasi orang lain pula. Sikap yang alkitabiah adalah sikap yang dengan rendah hati, rela meminta pertolongan orang lain. Tapi ini bukan berarti kita harus bergantung kepada orang lain dalam mengambil keputusan tentang siapa dan kapan kita menikah. Oleh sebab itu, tidak ada satu orang pun – apakah itu orangtua, pendeta, teman – yang dapat mengambilkan keputusan bagi kita. Nasihat mereka perlu menjadi masukan, namun kitalah yang harus mendengarkan Tuhan dan beriman dalam mengambil keputusan menikah.” (hlm. 159)