17 May 2008

PRESUPOSISI (Pdt. Hendra Gustiana Mulia, M.Th.)

Presuposisi

oleh: Pdt. Hendra Gustiana Mulia, M.Th.



1. Setiap orang punya presuposisi
Sebenarnya ada keselarasan antara penyelidikan ilmu pengetahuan dengan penyelidikan Alkitab. Jadi bagaimana orang menyelidiki Alkitab itu secara tidak sadar dipengaruhi oleh cara penyelidikan ilmiah, baik itu Filsafat, Fisika dan lain-lainnya. Yang ingin saya bahas adalah perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri sehingga kita tahu apa yang mempengaruhi kita untuk menyelidiki Alkitab itu. Di dalam penyelidikan Ilmu Pengetahuan itu dikenal suatu istilah yang dinamakan Metode Ilmiah. Semua penyelidikan yang memakai seluruh prosedur yang ditetapkan di dalam metoda ilmiah ini bisa disebutkan dan diterima sebagai suatu ilmu yang Ilmiah. Diluar itu berarti ilmunya tidak ilmiah. Ilmu-ilmu yang ilmiah dapat dibuktikan secara ilmiah. Contoh: Besi dipanaskan akan memuai.

Seorang yang bernama Francis Bacon pertama kali memulai metode ilmiah ini. Pada abad 17 metode yang dipakai adalah metode Aristoteles sejak abad 12. Metode ini di bawa oleh para sarjana Arab. Kemudian sejak itu ajaran Aristoteles ini menyebar ke seluruh Eropa. Bayangkan bahwa setelah berabad-abad filsuf Yunani ini mati, pikirannya itu bisa menyebar dan menjajah seluruh Eropa.

Seluruh ajaran Aristoteles itu menyebar, termasuk cara bagaimana mereka mengerjakan Ilmu Pengetahuan. Aristoteles mengemukakan tentang logika Deduksi. Yaitu, dimulai dari satu kebenaran yang umum, sampai kepada kebenaran yang particular, atau khusus.

Misalnya begini. “Semua ayam berkaki dua.” Kemudian kita katakan, “Si Kuning berkaki dua.” Kesimpulannya apa? “Si Kuning adalah ayam.” Logika deduksi dimulai dengan satu kebenaran umum lalu sampai kepada kebenaran yang particular atau kebenaran yang khusus. Lalu misalnya syarat-syarat di dalam deduksi ini terpenuhi, kesimpulan yang diberikan itu merupakan suatu hasil yang pasti benar. Jadi misalnya segala persyaratan yang dikendaki dalam logika deduksi ini terpenuhi, kesimpulan yang didapat dari sini merupakan suatu pengetahuan yang ilmiah.

Kalau contoh itu kita ubah, seperti ini, “Semua ayam berkaki dua. Si Kuning adalah ayam,” sehingga kesimpulannya adalah, “Si Kuning berkaki dua.” Ini suatu kesimpulan yang pasti benar. Tidak akan menyalahi peraturan apa-apa. Jadi sepanjang itu mengikuti peraturan-peraturan yang ditetapkan di dalam logika deduksi, dan selama premis yang diberikan itu merupakan suatu premis yang benar, yang dihasilkan adalah sesuatu yang pasti.

Nah hal inilah yang mereka kerjakan berdasarkan apa yang mereka ungkapkan. Dan mereka sebenarnya dikuasai oleh suatu pemikiran seperti ini. Kemudian ada satu pertanyaan, bagaimana mereka menetapkan suatu premis seperti ini? Nah, pada waktu itu ada yang berlaku yang namanya ‘otoritas’. Mereka mengatakan seperti ini, segala sesuatu yang dikemukakan oleh Aristoteles atau filsuf-filsuf lainnya, ini diakui sebagai sesuatu yang merupakan kebenaran. Misalnya, bagaimana Aristoteles tahu tentang kosmologi? Dan ini yang dipakai sebagai premis mayornya. Dan setelah itu, penyelidikan-penyelidikan didasarkan pada semua kebenaran yang pernah diungkapkan oleh ilmuwan sebelumnya. Dan mereka hanya melanjutkan penyelidikan yang sudah dilakukan atau dimulai oleh para filsuf tadi.

Akhirnya, lahirlah para ilmuwan yang hidup sebagai pembelot. Yang pertama-tama memang muncul dari si Francis Bacon tadi. Misalnya ketika mengadakan penyelidikan tentang ayam tadi. Misalkan kita akan menyelidiki tentang pertanyaan, “Ayam itu kakinya sebenarnya berapa sih?" Caranya, bukan dengan pergi ke perpustakaan dan bertanya, “Apa yang dikatakan Aristoteles tentang ‘perayaman’? Atau kira-kira Socrates atau Plato pernah ngomong-ngomong masalah ‘perayaman’ nggak, ya? O iya, katanya ayam itu pasti kakinya dua.” Menurut Francis Bacon, hal itu salah. Seharusnya, kalau memang kita mau menyelidiki masalah ayam ini, kita jangan pergi ke Aristoteles atau ke Plato atau ke Socrates, pergi ke ayam itu sendiri, dong! Yang mau diselidiki, kan ayam!

Contoh penyelidikan :
Ayam 1Þ Kaki : 2 (Gampang kan ngitungnya?)
Ayam 2 Þ Kaki : 2 (Ini semua ayam kita, siapa tau ayam tetangga beda!)
Ayam 3Þ Kaki : 2 (Oh, kita kan tinggalnya di kampung, siapa tau ayam kota beda?)
Ayam 4Þ Kaki : 2..(Oh, ini semua ayam Indonesia, siapa tau ayam Singapura sudah lebih maju!)
Ayam 5Þ Kaki : 2 (Kalau di daerah dingin siapa tau kakinya tambah satu!)
Ayam 6Þ Kaki : 2 (Kemudian ada yang lain dari yang lain, yang ini nih, kakinya cuma satu. Setelah diperiksa-periksa, oh, baru kelindes mobil! Nggak jadi, deh.)

Setelah syarat-syarat seperti ‘Contohnya harus banyak’ terpenuhi harus ada kesimpulan dong! Maka kesimpulan kita adalah, “Ayam berkaki dua.”

Semua ini sebenarnya adalah Metode Ilmiah yang kalian sudah pelajari sendiri. Walaupun mungkin metode yang sekarang sudah ditambah dengan beberapa unsur-unsur yang baru.

Pada waktu mengerjakan metode induksi ini, mereka tuh sebenarnya dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Aristoteles. Jadi pada waktu mereka mengadakan penyelidikan ilmu pengetahuan, misalnya tentang “Bumi ini adalah pusat.” Mengapa bumi ini adalah pusat alam semesta? Mereka mencari jawabannya. Dan dari Aristoteles sendiri diberikan jawaban, “Bumi ini bisa dikatakan sebagai pusat, sebab di dalam dunia ini gerakan hanya terdiri dari dua macam. Ke atas dan ke bawah! Karena itulah, Aristoteles mengatakan,"Bumi ini adalah pusat alam semesta.”

Dan karena selama itu mereka menganggap bahwa apa yang dikatakan Aristoteles itu adalah sesuatu yang benar, mereka percaya. Dan jangan lupa, mereka belum tahu gravitasi kan, baru setelah ada Newton, mereka tau. Begitu ada Francis Bacon, dunia mulai sadar bahwa perlunya Ilmu Pengetahuan itu terbebas dari otoritas. Harus terbebas dari sesuatu yang mempengaruhi jalannya penyelidikan. Sebab kalau dari awal kita sudah menganggap bahwa bumi ini adalah pusat dari alam semesta, seluruh penyelidikan Ilmu Pengetahuan pun akan dipengaruhi oleh Pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. Itu sebabnya di dalam Metode Induksi itu sebenarnya, mereka akan mengerjakannya seperti ini: Pada waktu mereka akan mengadakan penyelidikan, harus terbebas dari segala hal yang bisa mempengaruhi pengertian kita. Segala otoritas, segala pengetahuan, yang mungkin mendikte jalannya penyelidikan pengetahuan itu, merupakan sesuatu yang akan mempengaruhi hasil dari penyelidikan itu. Itu sebabnya mereka melihat perlunya suatu keadaan penyelidikan pengetahuan terbebas dari segala macam prasangka, otoritas, prejudice, bebas dari presuposisi, bebas daripada anggapan atau asumsi sebelumnya, karena mereka harus mengadakan penyelidikan yang obyektif. Tanpa pengaruh, tanpa tekanan yang sangat mungkin mempengaruhi.

Nah, inilah yang sebenarnya terjadi di dalam Ilmu Pengetahuan. Berdasarkan metode dari Ilmu Pengetahuan ini, terjadi perkembangan metode. Sekarang begini, setelah kemudian Francis Bacon, kira-kira hampir sezaman dengan Galileo Galilei pada waktu itu. Nah, Galileo itu sebenarnya adalah seorang scientist yang merupakan tokoh yang mengembangkan sesuatu yang belakangan disebut sebagai metode Induksi ini. Bacon tadi sendiri memang merupakan seseorang yang bekerja menurut apa yang kita sebut sebagai Metode Ilmiah zaman kita sekarang ini.

Galileo juga mengadakan penyelidikan-penyelidikan. Memang pada zaman Galileo, dia ini masih kalah dengan gereja pada waktu itu. Tetapi setelah itu penyelidikan Ilmu Pengetahuan memang benar-benar mengalami revolusi. Seperti yang kita tahu ditemukannya Barometer misalnya, dll. Abad 17 dan 18 merupakan zaman revolusi Ilmu Pengetahuan. Sampai kita bisa mengatakan bahwa Ilmu Pengetahuan itu menjadi ‘jantung’ dari kehidupan kita, sebab seolah-olah, segala segi dari kehidupan kita betul-betul ditunjang oleh Ilmu Pengetahuan. Misalnya, kertas yang kita pakai, harus dipikirkan pembuatannya. Sehingga kita bisa melihat bahwa, ternyata, Metode Ilmu Pengetahuan yang dihasilkan itu memberikan dampak yang luar biasa. Karena Ilmu Pengetahuan itu membuktikan dirinya sebagai sesuatu yang benar-benar berhasil, maka pada waktu itu orang-orang mempunyai pengertian bahwa Metode Ilmu Pengetahuan ini adalah sesuatu yang betul-betul berhasil luar biasa. Kira-kira abad ke 19, ada suatu filsafat yang disebut sebagai positivisme. Logical Positivism ini membentuk suatu kelompok yang disebut Vienna-circle. Kelompok ini terdiri dari ahli matematika, filsuf, dan sebagainya yang berkumpul dan akhirnya mereka inilah yang menetapkan bahwa metode dari Induksi ini adalah metode yang disebut sebagai Metode Ilmiah. Yang mereka ungkapkan pada waktu itu adalah , apa yang mereka kenal selama ini adalah apa yang mereka kenal sebagai the Scientific Method. Perhatikan kata ‘the’ yang menunjukkan bahwa metode ini sudah tertentu. Dengan menyatakan hal ini, mereka menetapkan bahwa metode Ilmu Pengetahuan yang selama ini mereka pakai adalah metode yang pasti benar.

Kemudian di dalam perkembangan lebih lanjut, kita mulai melihat bahwa apa yang dikemukakan di dalam metode Induksi ini, sebenarnya tetap mempunyai kelemahan. Misalnya, angsa warnanya apa? Belum pernah melihat Angsa, lagi?! Ok, jadi kita bikin penyelidikan. Kesimpulannya, "Angsa dan berwarna putih." Dan memang selama sekian abad, ini merupakan pengetahuan yang benar. Tetapi sampai pada suatu saat, ternyata, ada satu bagian di dunia yang angsanya tidak putih! Di salah satu bagian di kota Perth, Australia itu, angsanya berwarna hitam! Satu-satunya di dunia dan satu-satunya di Australia, yang angsanya hitam! Saya sendiri pada waktu ke Perth sana, diajakin, "Ayo, mau lihat angsa hitam?" Sebenarnya apa bagusnya, sih, angsa hitam? Tetapi karena satu-satunya tempat, ya okelah, kita lihat angsa hitam. Kita lihat ternyata dengan hasil penemuan yang semacam ini ternyata perngetahuan yang sebelumnya langsung gugur, bukan?

Sehingga ada seorang yang bernama Sir Carol Topper dianugerahkan gelar ‘Sir’ oleh Inggris mengemukakan seperti, “Sebenarnya, teori Ilmu Pengetahuan ini hanyalah satu hal nyata, bahwa dia hanya menunggu untuk disalahkan saja.”

Tapi kita lihat begini loh, ternyata di dalam perkembangan Ilmu Pengetahuan, banyak hal terbukti menjadi sesuatu yang nantinya bisa saja digugurkan oleh teori baru yang lain, yang muncul kemudian. Jadi, di dalam Induksi ini, kita lihat bahwa sesuatu menjadi tidak kekal. Kalau mau dibilang sebenarnya, bahwa kita dapat mengadakan penyelidikan itu tanpa asumsi, ini merupakan suatu hal yang nonsense. Tidak mungkin dilakukan. Misalnya kita mau mengadakan penyelidikan, tentang AIDS. Kita bertanya, "Mengapa orang bisa kena AIDS?" Tadi dikatakan bahwa tidak boleh ada praduga berupa apapun. Jadi, kita akan mulai menyelidiki dengan teori acak,"Siapa tahu AIDS itu ada karena ketelan lalat." Jadi, dicobain, orang dikasih makan lalat. Oh, ternyata nggak kena, berarti bukan karena lalat. Terus,"Siapa tahu orang kejedug tembok jadi kena AIDS." Selidiki, dong!

Nah, kita tidak mungkin menyelidiki dengan cara demikian, karena kita akan ngawur-ngawuran dong! Segala sesuatu harus diperiksa, diselidiki, tanpa praduga apa pun. Sampai tua mungkin kita nggak temukan apa-apa. Nah, malah pada zaman sekarang ini orang-orang mulai melihat, sebenarnya penyelidikan ini justru harus ada sesuatu yang membimbing penyelidikan tersebut. Begini, loh, kalau kalian mendapat suatu metode ilmiah, di dalam prosedur penelitian itu, yang paling pertama yang harus ada, adalah apa? Harus ada Hipotesa, pasti. Jadi, suatu praduga yang kira-kira akan mempengaruhi jalannya penyelidikan kita. Misalnya ditemukan di Amerika, kenapa nih ada orang yang masuk angin, kok lama-lama mati. Masa masuk angin aja mati? Terus ada lagi orang pilek terus, mati. Kok mati, pilek aja? Begitu diperiksa, oh, kekebalannya nggak ada. Begitu. Nah, dari orang-orang yang matinya konyol-konyol begini, –orang mati tuh mestinya karena kanker kek, ini pilek aja mati– ternyata diketahui mereka ini adalah golongan orang-orang yang homoseksual. Rupanya ada sesuatu di dalam hubungan homoseksual ini yang, bisa menimbulkan AIDS ini. Jadi, selalu ada hipotesa dulu. Tetapi ternyata itu adalah suatu hipotesa yang salah, yang nantinya diperbaiki. Ternyata ini bukan sekedar didapat dari hubungan homoseksual tetapi dari hubungan seksual. Jadi, semua ini dilakukan justru harus ada suatu prejudice, atau prasangka sebelum kita adakan penyelidikan.

Saking orang-orang ini terlalu menganggap bahwa scientific method adalah the Scientific Method dan sesuatu yang ilmiah, maka semua penyelidikan yang bukan dari metode ini, tidak ilmiah. Itu sebabnya, segala ilmu akan berusaha mengikuti apa yang menjadi prosedur dari metode ilmiah ini. Nah, ketika mulai muncul Ilmu-ilmu sosial, mereka juga mencoba mengarahkan ilmu mereka ini ke metode ilmiah tadi supaya Ilmu Sosial ini jangan menjadi suatu Ilmu yang boleh-percaya-boleh-nggak. Nah, mau tidak mau, penyelidikan Alkitab pun harus dipengaruhi oleh hal ini. Apabila kita melakukan penyelidikan Alkitab, dan penyelidikan ini kita lakukan dengan cara maunya kita sendiri, mereka tidak menerima.

Nah, saudara-saudara, persoalan macam demikian ini, merupakan suatu persoalan di mana kita bisa lihat dengan jelas, bagaimana saya dapat mempertanggung jawabkan tafsiran saya dengan metode yang diberikan secara metode yang memang ilmiah. Nah, dengan pengaruh itulah, kelak, kita lihat bahwa penyelidikan Alkitab itupun mengikuti apa yang dikatakan metode penyelidikan ilmiah ini. Tanpa sadar, mereka mengikuti prosedur itu, dengan persyaratan yang diperlukan, sehingga kemudian ditetapkan bahwa, kita itu, kalau mau menafsirkan Alkitab, jangan dipengaruhi oleh apapun.

Saudara kenal, nggak Metode penyelidikan secara Induktif? Saya rasa itu salah satu metode PA yang sedikit banyak dipengaruhi oleh metode ilmiah ini. Bagaimana kita mau menyelidiki Alkitab? Ada satu dosen theologi yang mengatakan begini, mengenai Renungan Harian (sebenarnya ini merupakan terjemahan dari "Our Daily Bread" yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah edisi tahun sebelumnya), "Kalau kita mau bersaat teduh, jangan pakai Renungan Harian, itu sama saja dengan kalau kamu mau makan nasi goreng, mau nggak kamu makan nasi goreng yang sudah dikunyahin sama orang lain? Makanya, kalau mau baca Alkitab, jangan mau pakai begitu-begitu, baca sendiri! Kunyah sendiri!” Sebenarnya pernyataan seperti itu sedikit banyak mencerminkan pengaruh Metode Ilmiah tadi yang mengharapkan bahwa penyelidikan ilmiah itu sebenarnya harus bebas dari presuposisi. Itu sebabnya jangan baca Renungan Harian, karena nanti akan keburu diarahkan oleh Renungan Harian itu. Itulah yang sebenarnya terjadi, sehingga di dalam peyelidikan Alkitab kita punya pengertian seperti ini: pada saat membaca suatu perikop, kita pelajari, jangan baca commentary, jangan dengar orang, jangan apa-apa, sebab apa? Karena itu hasil kunyahan pendeta kamu, misalnya. Iih, mau digigitin! Setelah kita baca perikop, Interpretasi kita kerjakan, setelah itu akhirnya kita dapatkan hasilnya. Katakanlah Eksegesis. Kita sangka demikian, bebas dari prasangka, bebas dari prejudice, bebas dari presuposisi. Kita harus berpikir secara objektif 100 %. Itu yang mereka pikir, meniru apa yang dikatakan oleh Ilmu Pengetahuan. Sampai di sini, ternyata hal ini merupakan sesuatu yang tidak bisa dipertahankan, termasuk di dalam Metode Ilmu Pengetahuan itu sendiri hanya merupakan suatu impian dari para Positivisme yang sebenarnya sudah ditinggalkan sendiri oleh Metode Ilmu Pengetahuan itu.

Kira-kira tahun 60-an, muncul satu buku, “The Structure of Scientific Revolution,” oleh Thomas Kühn. Seharusnya di dalam Universitas diberikan, sebab ini merupakan buku filsafat Ilmu Pengetahuan. Kü hn ini tidak membahas secara filosofis, tetapi dia mengambil kesimpulan dari sejarah Ilmu Pengetahuan. Buku ini sudah diterjemahkan juga menjadi, “Peran Paradigma di dalam Revolusi Sains.” Saya mengajar Sains dan Teknologi, dan buku ini merupakan buku wajib bagi mahasiswa. Tetapi setelah baca, mereka ribut sekali, “Susah, nggak ngerti.” Dulu juga waktu pertama kali baca, dalam bahasa Inggris, memang sulit sekali, nggak ngerti apa-apa, saya frustrasi sekali, kenapa goblok begini? Giliran mahasiswa baca, “Oh, ternyata nggak goblok-goblok amat, dulunya juga sama.” Agak terhibur juga, mereka bilang sulit! Tetapi buku itu memang sangat baik sekali. Pengaruhnya tidak hanya ke dalam Ilmu Pengetahuan tetapi ke dalam segala segi, termasuk di dalam theologi.

Walaupun Thomas Kühn ini sempat sangat extreme, sampai pengikutnya juga extreme, dan saya tidak menyetujui hal itu, Tetapi ada satu segi yang menurut saya benar, yaitu bahwa di dalam melakukan penyelidikan itu justru seseorang akan melakukannya di dalam paradigmanya sendiri. Ia mengatakan bahwa seseorang akan berpikir dan tidak mungkin keluar dari paradigma yang dia punyai, setiap orang akan berpikir di dalam paradigmanya. Misalnya kalau kita lihat di dalam masalah Galileo itu sendiri. Orang-orang yang pada waktu itu melawan Galileo bukannya mempunyai alasan karena hasil penyelidikan dia bertentangan dengan Alkitab atau semacam itu, tetapi yang namanya paradigma adalah segala sesuatu yang mempengaruhi orang di dalam penyelidikan Ilmu Pengetahuan, jadi, cara menyelidiki memang sudah ditentukan oleh Aristoteles seperti itu, dan pengetahuan yang sudah mengatakan bahwa semesta itu geosentris, kenapa mendadak jadi heliosentris? Jadi pada waktu itu mereka memang terikat pada paradigma mereka dan tidak mungkin seseorang akan bisa terlepas dari paradigma itu. Dan memang paradigma itu memang terlepas baru setelah Revolusi itu.

2. Setiap orang akan menerapkan presuposisinya dalam membaca Alkitab
Sehingga, kalau Anda nanti akan membaca Alkitab, Anda tidak akan terlepas dari suatu asumsi, suatu prejudice, suatu paradigma. Pada waktu Anda membaca Alkitab, Anda sudah pasti mempunyai paradigma. Saya akan memisalkan paradigma itu sebagai kacamata. Pada waktu Anda memakai kacamata kuning, Anda melihat sekeliling menjadi semua kuning. Sebenarnya, bagaimana saya melihat dunia ini akan ditentukan oleh kacamata apa yang saya pakai. Paradigma juga hal yang seperti itu. Pengertian hal ini akan kita masukan ke dalam pengertian penafsiran Alkitab ini. Jadi, ternyata prinsip yang dikemukakan di dalam penafsiran Alkitab ini, dengan tanpa membaca buku, jangan denger orang, pikiran kita 100% objektif, dan hasilnya akan menjadi suatu eksegesis yang murni dst. Ini sebenarnya suatu metode yang tidak tepat. Justru pada waktu orang menafsirkannya, bagaimanapun, dia itu sebenarnya memakai kacamata yang menghalangi dia untuk bisa menafsirkan Alkitab itu dengan 100% objektif. Tidak munkin bisa.

Di dalam Sekolah Theologi, waktu itu, misalnya, terbagi dua, ada theologi Calvinis, ada theologi Arminian. Di dalam suatu percakapan, ada pernyataan, seperti, “Saya mah bukan theologi Calvinis ataupun Arminian, saya mah theologi yang Alkitabiah.” Nah, sepertinya, Alkitabiah ini yang paling bagus, dong, betul nggak? Dulu pertama kali saya tidak tahu apa-apa. Memang benar ya, bagus kan Alkitabiah? Memangnya Alkitab itu Calvin? Alkitab itu kan lebih tinggi daripada Calvin! Jangan Calvinis, mesti Alkitabiah dong!

Tetapi sekarang setelah kita mempelajari hal ini, maka kita akan lihat bahwa, Alkitabiah itu justru istilah yang paling jelek. Jadi, kalau kamu dibilangin Alkitabiah, itu justru kamu jelek. Sebab begini, Alkitabiah itu seolah-olah sebagaimana yang Alkitab katakan, betul nggak? Tetapi itu tidak mungkin. Nah, sekarang saya mau tanya begini, Saksi Yehuwa itu Kristen atau non-Kristen? Non-Kristen aja? Nggak takut disembelih, ya? Itu termasuk di dalam apa yang disebut dengan bidat. Ini merupakan ajaran sesat. Kita tidak melihat mereka sebagai orang Kristen. Pertanyaan lain. Saksi Yehuwa punya buku suci lain nggak? Mormon punya. Christian Science punya. Tetapi Saksi Yehuwa punya Alkitab lain nggak? Nggak, aja deh, supaya cepat, karena kamu memang nggak tahu sih ya.

Sekarang saya mau tanya yang lain: Apa yang membedakan saya dengan seorang Saksi Yehuwa? Dia baca Alkitab, saya baca Alkitab. Tetapi apa perbedaannya? Penafsirannya! Betul, nggak? Pengertian Alkitabnya! Jadi yang namanya Alkitabiah, itu maksudnya apa? Orang Saksi Yehuwa itu paling Alkitabiah! Kamu hafal satu ayat aja lama sekali, begitu loh! Mereka tahu ayat ini di sini, ayat itu di situ, dengan detail lagi.

Tapi apa yang membedakan saya dengan Saksi Yehuwa? Satu, theologinya berbeda. Mereka membaca Alkitab dan menyimpulkan bahwa Yesus itu bukan Tuhan, tetapi saya membaca Alkitab dan menyimpulkan bahwa Yesus adalah Tuhan. Jadi itulah sebabnya apakah kamu boleh membaca Alkitab dengan pengertian orang Saksi Yehuwa? Nggak boleh! Sehingga kita bisa melihat bahwa penafsiran tanpa presuposisi adalah non-sense. Misalnya kita melihat begini, “Pada mulanya adalah Firman. Firman itu bersama-sama dengan Allah. Dan Firman itu adalah Allah.” Jadi Firman=Allah, Allah=Allah. Misalnya kita simpulkan, let the Bible speak. Kalau kita membiarkan Alkitab berbicara sendiri, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa ada dua Allah. Nanti kalau ada Roh Kudus, kita bisa mengatakan bahwa Allah itu ada tiga. Let the Bible speak! Alkitabiah! Alkitabiah! Jadi, kita punya Allah berapa? Tiga! Betul, nggak kita punya Allah tiga? Kenapa nggak betul? Karena ada theologi mengenai Allah Tritunggal. Tetapi begini, timbal balik, pada waktu Yohanes menulis hal itu, apakah Yohanes sudah mengerti Allah Tritunggal nggak? Pada waktu itu tidak merupakan suatu pertanyaan sih. Pokoknya mereka mengerti bahwa Yesus itu Allah. Dan persisnya bagaimana hubungan Yesus dengan Allah Bapa itu, mereka tidak selesaikan. Itu baru dipikirkan kemudian. Yesus itu Allah. Bapa itu Allah. Roh Kudus itu Allah. Dan dikatakan juga bahwa Allah itu satu. Jadi bagaimana? Di satu pihak, ada keEsaan. Di pihak lain ada keTigaan. Sehingga itu kemudian diformulasikan menjadi doktrin Tritunggal.

Dan setelah itu, boleh nggak kita melihat bahwa Allah itu tidak Tritunggal? Satu-satunya yang membedakan agama Kristen dengan agama lain apa? Kalau baik, semua agama juga baik. Kalau surga, semua juga ada surganya. Satu-satunya yang membedakan cuma Allah Tritunggal yang disebut dengan Swigeneris, satu-satunya dan tidak terdapat di dalam agama mana pun.

Di sini dapat dilihat tidak mungkin orang bisa menulis suatu penafsiran tanpa presuposisi, tanpa theologi. Di sini, bukan hanya sekedar theologi yang berpengaruh, Tetapi macam-macam. Misalnya gereja saudara, saudara dibesarkan di dalam gereja apa? Saudara dibaptiskan dengan cara apa? Misalnya saudara dibaptiskan dengan percik, maka saudara ketika membaca Yesus dibaptiskan, Anda akan membayangkan Yesus dipercik. Kalau Anda dibaptis dengan cara diselam, memangnya saudara akan membayangkan Tuhan Yesus diselam. Jadi kita melihat Alkitab itu bagaimana? Dengan pengalaman dan pengertian kita sendiri. Nah, yang namanya paradigma, yang namanya kacamata itu jadi begini loh: theologinya kamu itu apa? Kita nggak tahu theologinya apa, mungkin theologi ngawur, atau apa. Tetapi yang jelas saudara sedikit banyak pasti bertheologi. Lalu gerejanya apa? Pengalamannya apa? Dibesarkannya bagaimana? Pernah trauma apa? Kesenangannya apa? Dan itu semua sebenarnya akan sangat mempengaruhi. Nanti kalau kita akan masuk ke dalam aplikasi, mau tidak mau ini akan sangat berpengaruh sekali.

Sampai di sini kita lihat bahwa itu adalah sesuatu yang tidak mungkin sama sekali kalau kita menafsirkan Alkitab itu tanpa presuposisi. Jadi, setiap orang pasti akan menafsirkan Alkitab itu dengan kacamatnya yang dimiliki masing-masing.

3. Siapa yang benar ?
Nah, sekarang muncul satu masalah. Kalau saya menafsirkan Alkitab dengan kacamata saya sendiri, dia menafsirkan Alkitab dengan kacamata dia sendiri. Lalu bagaimana saya menentukan saya punya atau dia punyalah yang benar? Misalnya saya pake merah, dia pake biru. Lalu kita bilang, merah! Merah! Begini aja nggak bisa ngelihat, bodoh! Dia bilang, “Biru, goblok!” Dan seterusnya kita berantem-berantem. Akhirnya ada satu orang datang, “Udah deh, diamlah! Dua orang goblok bertengkar. Kuning, bodoh!” Dan ada orang lain bilang, “Putih! Putih!” Dan warnanya memang putih. Dan saya mau tanya bagaimana kita bisa nentuin bahwa ini putih? Apakah Alkitab ini menjadi seperti ‘bagaimana-kamu-aja’? Akhirnya tidak menjadi sesuatu yang ilmiah?

Syukurlah, kalian sudah bisa melihat beberapa point di mana kita mengatasi subjektifitas di dalam pikiran. Kita bukan sekedar menafsir secara subjektif, Tetapi betul-betul ada keobjektivitasnya supaya itu tidak menjadi sesuatu yang mistik. Jadi, memang pertama-tama seperti yang kalian kemukakan, ada doalah, ada Roh Kuduslah. Cuma kaitannya begini. Pengarang dari Alkitab ini adalah Allah sendiri. Dan misalnya kamu punya film, dan diartikan dan dimengerti oleh orang lain, seperti yang sudah kamu katakan, yang mau kita sampaikan begini, yang diterima adalah lain. Kita tidak mau mreka mempunyai pengertian yang berbeda dari apa yang kita pikirkan, bukan? Kalau kita pun seperti demikian, masa Roh Kudus juga – yang anak-anakNya diberikan Firman Tuhan oleh Dia lalu kita menafsirkan ini lain, itu lain,... semua lain-lain – di situ kita temukan satu penafsiran yang dikerjakan oleh Roh Kudus itu sendiri di dalam diri kita. Ini faktor yang saya sebutkan sebagai faktor subjektif yang objektif. Sebagai salah satu contoh, kita mau mengatakan bahwa saat teduh itu adalah satu pengalaman yang indah. Tetapi persoalannya begini, kalau mau dijelaskan secara ilmiah, saya mau tanya, “Indahnya apa?” Hal itu akan susah diutarakan, karena kita masing-masing mengalami pengalaman pribadi yang belum tentu sama.

Nah, pada waktu seseorang makan sesuatu, dia menikmati apa yang namanya enak juga. Akhirnya begini loh: Enak itu kita nggak bisa ngejelasin bagaimana, tetapi begitu dia merasakannya juga, enak-nya kita dengan enak-nya dia ketemu di dalam keobjektifannya. Walaupun yang satu enaknya karena wangi, dan yang satunya lagi enaknya karena asin, misalnya. Di sini kita bisa melihat bahwa di sini ada unsur kesubjektifan yang bisa menjadi objektif karena masing-masing bisa merasakan itu. Itu sebabnya kalau kita saat teduh, dan punya pengalaman Tuhan berbicara, kita akui. Tetapi itu memang pengalaman subjektif. Itu sebabnya kenapa doa, pada waktu Anda mau PA itu bukan basa-basi. Sebab kita sadari paradigma kita. Sampai kita bisa mengerti betul Alkitab itu, itu hanya bisa dikerjakan oleh Roh Kudus sendiri. Ini faktor subjektif yang objektif. Semua juga punya unsur Roh Kudusnya.

Dan yang kedua: Ada esensi-nya. Dari mana kita bisa dapatkan? Ini yang mau saya bilang, penafsiran itu ad di dalam komunitas, penafsiran itu tidak dilakukan secara sendiri. Kenapa saya mengerti Allah Tritunggal? Karena saya berada di dalam penafsiran Kekristenan. Comunity ini adalah semua Bapak-bapak gereja yang dari dulu sampai sekarang. Dan paling sedikit esensinya yang ada misalnya apa? Pengakuan Iman Rasuli. Ini dirumuskan oleh gereja, untuk membatasi penafsiran. Jadi segala penafsiran harus berada di situ. Perbedaan boleh ada, asal kita berada di dalam lapangan permainan tersebut.

Yang dua lagi adalah caranya, bagaimana kita menafsirkan. Yang pertama, kenali presuposisi kamu. Yang kedua adalah yang disebut akal sehat atau common sense. Semua harus ada argumentasinya.




Profil Pdt. Hendra G. Mulia:
Pdt. Hendra Gustiana Mulia, M.Div., M.Th. adalah gembala sidang Gereja Kristus Yesus (GKY) Green Ville, Jakarta. Beliau menamatkan studi Sarjana Theologi (S.Th.) dari Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang; Master of Divinity (M.Div.) dan Master of Theology (M.Th.) dari Reformed Theological Seminary, U.S.A.



Diedit oleh: Denny Teguh Sutandio.