07 December 2008

Roma 12:2: IBADAH SEJATI-2: Mempersembahkan Hidup Bagi Tuhan-2

Seri Eksposisi Surat Roma :
Aplikasi Doktrin-2


Ibadah Sejati-2: Mempersembahkan Hidup Bagi Tuhan-2

oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 12:2.


Kalau di ayat 1, kita dituntut Paulus untuk mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada Allah, lalu bagaimana kita dapat melakukannya? Cara kita mempersembahkan tubuh kita ini kepada Allah dipaparkan Paulus di ayat 2.

Pada ayat 2, Paulus mengajar, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Agar kita dapat mempersembahkan tubuh kita kepada Tuhan sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan yang berkenan kepada Allah, di ayat ini, Paulus memaparkan beberapa cara:
Pertama, cara negasi dan pasif: tidak mau dipengaruhi dunia ini. Jika kita memerhatikan terjemahan LAI ini, sepintas yang ditekankan adalah dunia, lalu kita yang menjadi serupa dengan dunia. Tetapi jika diperhatikan struktur bahasa Yunani, hal itu tidak demikian. Pernyataan “menjadi serupa” di dalam terjemahan Yunani diartikan, “dijadikan serupa,” dan struktur bahasa Yunaninya: kata kerja orang kedua, jamak (plural), waktu sekarang (present), pasif (passive), dan imperatif (imperative) (Hasan Sutanto, 2003, Perjanjian Baru Interlinear, hlm. 862). Dengan kata lain, secara negasi dan pasif, agar dapat mempersembahkan tubuh kita kepada Allah, pertama-tama kita tidak mau dipengaruhi dunia ini. Apa arti dipengaruhi dunia ini? Albert Barnes di dalam tafsirannya Albert Barnes’ Notes on the Bible memaparkan artinya yaitu mengambil bentuk, cara hidup, dll dari dunia ini. Selain itu, Geneva Bible Translation Notes menafsirkannya sebagai tindakan kita yang mengambil pendapat atau perilaku/tindakan orang lain sebagai peraturan hidup kita. Dari dua tafsiran/catatan Alkitab ini, kita belajar bahwa orang yang dipengaruhi dunia ini adalah orang yang memiliki cara hidup, pendapat, perilaku, dll yang murni dipengaruhi dunia. Ketika dunia menampilkan tindakan-tindakan asusila, seperti free-sex, merokok, narkoba, dll, orang tersebut dipengaruhi dan meniru tindakan-tindakan tersebut.
Lalu, mengapa orang-orang tersebut bisa dipengaruhi dunia? Karena mereka berpikir bahwa dunia itu menyenangkan, menguntungkan, dll. Gaya hidup hedonisme, materialisme, dan utilitarianisme telah mengancam dunia kita terutama abad postmodern. Manusia selalu mencari keuntungan dengan cara-cara yang tidak wajar, bahkan makan uang orang lain. Itulah akibat pola pikir dunia yang serba “menguntungkan, menyenangkan, dll.” Mereka tidak mempedulikan makna dan hakikat hidup manusia sejati. Yang mereka pedulikan adalah hal-hal remeh, seperti makan, minum, jalan-jalan, dll. Benarkah itu semua membawa kebahagiaan? Apakah kekayaan, kenikmatan, dll itu nikmat? TIDAK! Realita dan tentunya Alkitab mengajar kita bahwa hal-hal tersebut itu remeh adanya dan bersifat sementara. Pengkhotbah 1:1-11 mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu di bawah matahari (di dunia) ini sia-sia, bahkan mengejar hikmat itu sia-sia (ay. 12-18). Mengapa sia-sia? Karena itu dilakukannya sendirian tanpa Allah. Dengan kata lain, hidup kita di dunia ini tidak akan pernah sia-sia jika kita mengaitkan hidup kesementaraan ini dengan kekekalan Allah. Orang yang mau hidupnya berkait dengan kekekalan Allah adalah orang yang mau mempersembahkan tubuh dan hidupnya bagi kemuliaan Allah. Dan orang yang mau mempersembahkan tubuhnya bagi kemuliaan Allah adalah orang yang tentu tidak mau dipengaruhi dunia ini. Mengapa tidak mau dipengaruhi dunia ini? Karena ia percaya bahwa dunia ini bersifat sementara dan akan lenyap, sedangkan firman Tuhan itu kekal dan tidak akan lenyap. Tuhan Yesus berfirman, “Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu."” (Luk. 21:33) Dengan menaruh iman dan pengharapan kita kepada yang kekal yaitu firman Tuhan, hidup kita akan menemukan suatu pengharapan yang pasti dan kokoh, karena firman Tuhan itu ya dan amin, serta menjamin hidup kita bersama Tuhan akan berkelimpahan (TIDAK secara jasmani—Yoh. 10:10b). Hidup yang berkelimpahan di dalam Tuhan adalah hidup yang terus merasakan cinta kasih Tuhan di dalam setiap hidupnya sambil membagikannya kepada orang lain baik melalui Injil, mandat budaya, maupun menolong sesama. Dengan kata lain, dengan hidup berkait dengan kekekalan, kita tidak lagi mau dipengaruhi dunia ini, tetapi kita justru memengaruhi dunia ini dengan Injil. Pendidikan Kristen yang beres bukan takut dipengaruhi dunia atau menyalahkan dunia/lingkungan yang telah membentuk suatu individu menjadi tidak beres, tetapi pendidikan Kristen harus keluar dari belenggu dunia dan kembali kepada prinsip-prinsip Alkitab, sehingga bukan kita yang dipengaruhi dunia, melainkan kita memengaruhi dunia, khususnya dunia pendidikan. Begitu juga dengan ekonomi, politik, dll, ketika sesama kita menawari cara hidup korupsi, nepotisme, dll, kita tidak boleh ikut arus dan ikut-ikutan dipengaruhi dunia, tetapi kita harus melawan arus dengan memengaruhi dunia melalui Injil yang kita aplikasikan di tempat kita berada.

Kedua, cara positif dan aktif: diubah pola pikir kita. Agar kita dapat memengaruhi dunia kita melalui Injil, kita harus pertama-tama mengubah pola pikir kita. Di ayat 2 ini, Paulus mengajar, “berubahlah oleh pembaharuan budimu” Kata “berubah” di sini di dalam struktur bahasa Yunani menggunakan bentuk yang sama dengan kata “menjadi serupa” di atas, yaitu menggunakan bentuk kata kerja orang kedua, jamak (plural), waktu sekarang (present), pasif (passive), dan imperatif (imperative). Dengan kata lain, artinya adalah sebuah perintah Paulus agar semua jemaat Roma (dan juga kita) saat ini juga diubah oleh pembaharuan budi/akal budi/pikirannya. Bentuk pasif pada kata “berubah” di sini menandakan bahwa kita bisa mengubah pola pikir kita tidak dari diri kita sendiri, tetapi ada yang mengubah pikiran kita. Roh Kudus yang mengubah pikiran kita melalui iman yang telah diberikan Allah sebagai anugerah kepada umat pilihan-Nya. Ketika kita sudah beriman, kita baru bisa mengubah pola pikir kita melalui pertolongan dan pencerahan Roh Kudus di dalam Alkitab. Di sini, kita belajar satu prinsip yaitu iman mendahului pengertian (bdk. Ibr. 11:3). Iman kita memungkinkan kita terus ingin mengerti kebenaran firman Tuhan, sehingga pikiran kita yang dahulu didistorsi oleh dunia berdosa, akhirnya secara berkelanjutan dimurnikan oleh firman melalui Roh Kudus. Adalah suatu absurditas (ketidakmasukakalan) jika ada orang Kristen yang mengaku sudah beriman, tetapi enggan atau lebih parahnya, malas mempelajari firman Tuhan dengan teliti. Itu patut diragukan keimanannya, benarkah ia sungguh-sungguh beriman atau hanya di mulut saja?
Lalu, dengan pencerahan Roh Kudus melalui Alkitab, bagaimana kita bisa diubah pikirannya? Karena Roh Kudus diutus untuk memuliakan Kristus, maka Ia akan memimpin umat-Nya terus-menerus memusatkan pikiran (dan hidup) mereka hanya kepada Kristus sebagai Kakak Sulung dan Tuhan kita. Pikiran Kristen yang sehat adalah pikiran yang berpusat pada Kristus. Sedangkan pikiran “Kristen” yang kacau adalah pikiran yang berpusat pada kehendak manusia berdosa, lalu mengutip Rm. 12:2 dengan menafsirkan bahwa pikiran kita harus “diubah” agar sesuai dengan zaman kita. Ini pikiran licik manusia berdosa dengan topeng “Kristen.” Berhati-hatilah, iblis bisa menyamar sebagai malaikat terang! Kembali, pikiran yang berpusat pada Kristus itulah iman Kristen. Pdt. Dr. Stephen Tong mengajar bahwa iman sejati adalah pengembalian rasio kepada Kebenaran. Berarti, iman Kristen tidak meniadakan rasio, tetapi memakai rasio yang diciptakan Tuhan untuk memuliakan Tuhan. Dengan kata lain, anugerah Tuhan melalui rasio dipergunakan dan dikuduskan oleh firman Tuhan untuk mempermuliakan Tuhan. Intinya, dari Tuhan, oleh Tuhan, dan untuk Tuhan (Soli Deo Gloria).
Mari kita menggumulkan tiga bagian tentang rasio ini. Pertama, rasio adalah anugerah Allah. Tidak ada satu ciptaan Allah selain manusia yang dikaruniai rasio. Rasio diciptakan oleh Allah bagi manusia agar manusia bisa berpikir, menganalisa, dan menemukan sesuatu, terutama alam yang telah diciptakan-Nya sebagai penyataan diri-Nya secara umum. Respon manusia yang telah menganalisa dan mengelola alam ini disebut ilmu pengetahuan (science). Tetapi kita perlu mengingat satu hal yaitu manusia telah berdosa dan rusak total, sehingga ketika manusia meresponi wahyu umum Allah pun pasti mengandung bibit dosa (meskipun tidak semua). Sehingga rasio tidak hanya dimengerti sebagai pemberian Allah (dari Allah), tetapi juga rasio harus dimurnikan oleh firman Allah, inilah poin kedua kita. Bagi Dr. Martin Luther, rasio itu seperti pelacur. Nah, rasio seperti pelacur ini harus dikuduskan melalui firman Allah agar tidak selalu melacur. Mengapa firman Allah harus menundukkan rasio? Karena rasio itu terbatas, sedangkan firman Allah itu dari Allah yang tidak terbatas, sehingga firman Allah lebih tinggi dan melampaui rasio. Lalu, bagaimana firman Allah memurnikan rasio? Caranya adalah pertama-tama kita menaklukkan pikiran kita di bawah terang firman Allah sebagai pedoman, cermin, dan penuntun pikiran kita. Ketika firman Allah berbicara bahwa istri harus tunduk kepada suami dan suami harus mengasihi istri (Ef. 5:22-33), maka rasio Kristen yang sehat dan bertanggungjawab harus ditundukkan, sehingga mereka HANYA menerima kebenaran Alkitab ini dengan mutlak. Tetapi yang terjadi di abad postmodern ini sangat berlawanan. Banyak yang mengaku pemimpin gereja studi di luar negeri, tetapi ketika membaca Ef. 5:22-33, rasionya mulai “menghakimi” dan tidak setuju dengan Alkitab dengan segudang argumentasi “logis.” Itulah pelacur! Pelacur bukan pelacur secara fisik, tetapi ada pelacur rohani, seperti halnya berzinah, ada berzinah rohani. Yang lebih menakutkan bukan pelacur jasmani atau berzinah jasmani, tetapi pelacur rohani dan berzinah rohani, karena pelacur dan berzinah rohani jelas menggunakan “rohani” sebagai dalih, padahal sebenarnya jasmani sifatnya. Itulah kemunafikan banyak pemimpin gereja! Mereka harus bertobat! Kembali, karena rasio itu diberikan oleh Allah, dan rasio itu telah dikuduskan oleh firman Allah, maka rasio itu baru dapat memenuhi poin ketiga, yaitu memuliakan Allah. Jangan pernah mengharapkan rasio bisa memuliakan Allah jika sebelumnya tidak pernah dikuduskan oleh firman Allah, karnea Allah TIDAK mau menerima rasio seperti pelacur, karena itu menjijikkan di hadapan-Nya. Jika hari ini, rasio kita masih melacur dan mengatakan semua filsafat dunia berdosa itu benar, saya menantang hari ini: bertobatlah, Tuhan muak dengan rasio kita yang suka melacur!


Setelah kita secara negasi dan pasif tidak mau dipengaruhi dunia dan kita secara aktif diubah pola pikirnya, maka kita baru, “dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Kata “membedakan” dalam bahasa Yunaninya dokimazō yang bisa berarti menguji (test) atau membuktikan (prove). Di sini, unik, Paulus mengaitkan konsep ibadah sejati dengan konsep membedakan/menguji kehendak Allah. Di abad postmodern ini, banyak orang “Kristen” mengajar atau diajar konsep bahwa kalau beribadah, beribadah saja, tidak perlu menggunakan rasio, alami saja Allah itu, dll. Pengalaman tidaklah salah, tetapi pengalaman yang dilepaskan dari pengenalan akan Allah melalui firman-Nya itu bisa berbahaya, dan bisa menimbulkan munculnya bidat. Berbeda dari konsep postmodern ini yang anti-doktrin dan anti sesuatu yang bernilai tinggi dan kekal, maka Paulus justru mengajar bahwa ibadah sejati adalah ibadah yang mempersembahkan tubuh kita kepada Tuhan dengan menguji kehendak Allah. Sebelum kita bisa mempersembahkan tubuh kepada Tuhan, kita harus menguji dahulu apa itu kehendak Allah. Bagaimana kita bisa mengetahui kehendak Allah jika kita tidak pernah membaca dan mempelajari firman-Nya? Di sini, saya mencoba mengaitkan: mempelajari Alkitab mengakibatkan kita semakin mengetahui kehendak Allah, dan kita bisa menguji kehendak Allah di dalam hidup kita, sehingga kita makin memuliakan Allah. Lalu, apakah yang menjadi kehendak Allah? Paulus menjabarkan hal ini ke dalam tiga bagian:
Pertama, kehendak Allah itu adalah apa yang baik. Luar biasa, di titik pertama, Paulus mengatakan tentang konsep kebaikan yang dikaitkan dengan kehendak Allah. Baik di sini bukan berarti Allah menyenangkan kita, tetapi baik berarti baik menurut standar Allah. Ketika kita mau mencoba mengerti arti hidup, carilah kehendak Allah, karena kehendak Allah itu (adalah apa yang) baik. Kebaikan kehendak Allah (atau sesuatu yang baik di dalam kehendak Allah) adalah kebaikan yang tidak bisa dipisahkan dari atribut-atribut Allah yang lainnya, yaitu Kekal, Mahakudus, Mahaadil, Mahabijak, dan Mahasempurna. Sehingga, ketika kita memahami kehendak Allah yang baik, berarti kita harus memahami keutuhan maknanya, yaitu kehendak Allah yang baik adalah kehendak yang tidak bertentangan dengan natur-Nya yang Mahakudus. Dengan demikian, jangan pernah berharap bahwa Allah yang memiliki kehendak yang baik akan memenuhi semua kebutuhan kita (termasuk yang berdosa). Bukan hanya itu saja, kehendak Allah yang baik berkait dengan Allah yang Kekal dan Mahabijak. Artinya, ketika menjawab doa/pergumulan kita, Allah mengetahui apa yang terbaik bagi kita menurut standar Allah, sehingga ketika Ia tidak mengabulkan doa kita, percayalah Ia memiliki maksud baik di dalam kekekalan dan kebijakan-Nya bagi kita meskipun kita belum mengetahuinya. Selain itu, berkaitan dengan Allah yang Mahaadil, kebaikan kehendak Allah adalah menginginkan keadilan yang benar (righteouness). Jangan pernah mengharapkan Allah yang memiliki kehendak yang baik adalah menerima semua orang berdosa untuk diselamatkan. Kebaikan Allah justru kebaikan yang adil yang justru memilih beberapa manusia untuk diselamatkan. Predestinasi (pemilihan Allah sebelum dunia dijadikan atas beberapa orang) justru menunjukkan di mana kebaikan dan keadilan Allah bertemu.

Kedua, kehendak Allah itu adalah apa yang berkenan kepada Allah. “Berkenan kepada Allah” di dalam bahasa Yunani dapat diterjemahkan sebagai disenangi Allah (Ibid., hlm. 862). Dengan kata lain, apa yang berkenan kepada Allah adalah apa yang disenangi atau merupakan kesenangan Allah. Apa yang membuat Allah senang? Sebelum memikirkan terlalu rumit, mari kita bayangkan jika kita memiliki pasangan kita yang sangat kita cintai. Bagaimana kita bisa menyenangkan pasangan kita sebagai bukti kita mencintainya? Tentu dengan memberikan kepada pasangan kita apa yang dia paling sukai, bukan? Apakah kita mau menyenangkan dia dengan memberikan apa yang kita sukai dan dia tidak sukai? TIDAK! Itu bukan tanda kita menyenangkan dan mencintai dia. Kalau kepada pasangan hidup saja kita bisa menunjukkan kesenangan kita kepadanya dengan memberikan apa yang paling dia sukai, mengapa ini tidak kita terapkan kepada Allah? Anehnya, di abad postmodern ini kita menjumpai berbagai upaya dilakukan orang beragama bahkan orang “Kristen” untuk “menyenangkan” Allah justru dengan memuaskan hawa nafsu manusia itu sendiri. Mereka mengajarkan bahwa ikut Tuhan pasti kaya, sukses, lancar, bahkan tidak pernah digigit nyamuk. Inikah ajaran yang menyenangkan Allah?! Benarkah jika kita mau menyenangkan Allah, kita malahan memberikan kepada diri kita sendiri kesenangan? Mari kita introspeksi diri kita. Menyenangkan Allah, seperti menyenangkan pasangan hidup yang kita cintai, adalah memberikan kepada-Nya apa yang paling Dia sukai. Apa yang paling Dia sukai? Allah menyukai kekudusan hidup, kebenaran, keadilan, kejujuran, pertanggungjawaban, keberanian yang benar, kasih, pengendalian diri, dll. Sudahkah kita menjalankan apa yang paling Dia sukai? Ataukah kita kembali kepada standar kita yang “rohani” untuk menyenangkan Allah? Hari ini, kita bukan hanya berteori banyak tentang apa yang menyenangkan Allah, marilah kita saat ini juga melakukan apa yang menyenangkan hati Allah, karena itu bukti kita mau mempersembahkan hidup bagi Tuhan. Jangan pernah berpikir bahwa kita mau berkorban bagi Tuhan, tetapi untuk hal-hal yang menyenangkan Allah pun kita tidak pernah mau lakukan.

Ketiga, kehendak Allah itu adalah apa yang sempurna. Kata “sempurna” dalam bahasa Yunani teleios berarti penuh (full) atau komplit/lengkap (complete). Berarti, kehendak Allah itu adalah sesuatu yang penuh/ lengkap. Apa itu lengkap/penuh?
Lengkap/penuh menyangkut totalitas. Sempurna/lengkap/penuh tidak pernah parsial, tetapi menyeluruh. Dengan demikian, sempurna mutlak hanya bisa dikenakan kepada Allah dan firman-Nya saja, karena hanya Allah dan firman-Nya yang tidak bersalah dan menyeluruh. Adalah sungguh berbahagia jika sebagai umat-Nya, kita hidup di dalam firman Tuhan. Hidup di dalam firman Tuhan adalah hidup yang totalitas, yang tidak terpecah-pecah. Ketika firman Tuhan mengajar kita tentang ketaatan, marilah itu bukan menjadi bahan theologi yang kita gali, tetapi kita aplikasikan di dalam setiap hidup kita, baik pikiran, sikap hati, sifat, perkataan, dll, sehingga totalitas hidup kita makin memuliakan-Nya. Adalah suatu keanehan jika kita berbicara tentang hidup totalitas, tetapi kita masih memisahkan antara theologi dan spiritualitas serta praktika. Theologi, spiritualitas, dan praktika adalah hal yang saling berkaitan erat. Itulah totalitas hidup dan iman Kristen yang sehat dan bertanggungjawab. Tuhan mau hidup kita menyeluruh dan utuh, sehingga tidak ada bagian di mana iblis bisa menipu dan mengambil kemuliaan Allah di dalam hidup kita. Maukah kita hari ini menyerahkan totalitas hidup kita hanya kepada Tuhan sebagai persembahan hidup yang tulus?
Selain totalitas, lengkap/penuh menyangkut kekonsistenan. Ibadah sejati adalah ibadah yang konsisten dan setia kepada Tuhan. Tuhan tidak hanya menuntut totalitas, tetapi juga kekonsistenan. Percuma saja kita hidup totalitas kepada Tuhan, tetapi itu kita lakukan jarang-jarang, atau hanya dalam jangka waktu tertentu. Tuhan mau kita melakukannya secara konsisten. Konsisten berarti ada suatu proses yang sebenarnya menuju kepada pertumbuhan sampai sempurna. Di dalam hidup dan iman kita, kita dituntut untuk konsisten, makin lama makin bertumbuh dewasa secara rohani, tidak lagi seperti anak-anak yang mudah diombang-ambingkan oleh angin pengajaran yang tidak bertanggungjawab (Ef. 4:13-14). Tanda seorang anak Tuhan yang dewasa rohani adalah ia tidak kaget dengan segala ajaran yang tidak bertanggungjawab yang muncul, karena ia sudah tahu mana yang benar dan mana yang salah dengan standar Alkitab. Ia memiliki tanda awas (alert) di dalam kerohanian dan imannya. Ia juga mau terus mengintrospeksi diri dan segera bertobat jika ia menjumpai kekurangan (dan dosa) yang ada pada dirinya yang tidak berkenan di hati Tuhan. Sedangkan orang-orang yang memiliki kerohanian seperti anak kecil (childish) adalah mereka yang mudah terkejut ketika ada ajaran aneh menyerang, bahkan tidak sedikit dari mereka yang terbujuk oleh rayuan ajaran aneh itu. Mengapa bisa demikian? Karena mereka tidak memiliki fondasi yang membentengi dan mendasari hidup kerohaniannya. Selain itu, orang yang tidak dewasa rohani selalu mengagungkan diri bersumbangsih/berjasa di dalam gereja/pelayanan, dll, dan tidak mau mengintrospeksi diri, apalagi bertobat. Mereka maunya orang lain menaati dia, sedangkan dia tidak mau menaati orang lain yang etikanya lebih agung. Hari ini, marilah kita tinggalkan sifat kekanak-kanakan rohani kita dan kembali menjadi orang Kristen dewasa rohani di dalam tahap pertumbuhan iman dan kerohanian kita. Lalu, bagaimana kita bisa memelihara kekonsistenan hidup dan iman kita tersebut? Kita bisa melakukannya dengan setia, dan kesetiaan kita bisa dimungkinkan ketika Roh Kudus memimpin kita terus-menerus melalui firman Allah, Alkitab. Kita dituntut untuk membaca dan mempelajari firman Allah tersebut sehingga kita makin mengenal kehendak Allah yaitu apa yang sempurna. Di sini, saya mengaitkan: firman Allah melalui pencerahan Roh Kudus memungkinkan kita mengenal kehendak Allah, dan ini memungkinkan kita setia kepada-Nya, dan kesetiaan ini mengakibatkan kita konsisten menguji dan menjalankan kehendak Allah di dalam hidup kita.


Setelah kita merenungkan ayat 2 ini, beranikah kita berkomitmen pada hari ini untuk mau mempersembahkan tubuh dan hidup kita kepada Tuhan sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan menyenangkan Allah dengan tidak mau dipengaruhi dunia, tetapi justru memengaruhi dunia melalui perubahan pola pikir kita, sehingga kita makin mengenal dan menguji kehendak Allah? Kiranya Tuhan menuntun kita di dalam proses pertumbuhan ini. Amin. Soli Deo Gloria.

Matius 12:1-15: IMAN DAN HUKUM-1 (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 01 Oktober 2006

Iman & Hukum-1
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 12:1-15



Pendahuluan
Pada dasarnya manusia di dunia hidupnya pasti diikat atau terikat dengan hukum. Pertanyaannya adalah bagaimana kita seharusnya melihat aspek hukum dalam kehidupan kita? Ada orang berpendapat bahwa hukum adalah salah satu sub bidang dari suatu budaya demikian juga dengan iman. Hari ini kita menjumpai banyak buku-buku sekuler dan pendidikan modern yang mengajarkan salah, yakni meletakkan budaya di posisi paling atas dan iman diletakkan di bawah budaya. Alkitab dengan tegas menyatakan iman haruslah mengontrol budaya dan semua sub bidang yang ada di bawahnya. Konsep ini sangat jelas dimengerti dan diajarkan oleh teologi Reformed yang menyebutnya sebagai cultural mandate. Manusia harus kembali pada Firman, kebenaran yang sejati maka dengan kacamata iman yang benar barulah kita dapat memahami budaya dan semua aspeknya dengan benar.
Hari ini, dunia masuk dalam suatu budaya yang disebut dengan pop culture maka semua aspek yang ada di dunia, seperti musik, arsitektur, bahasa, tradisi, cara berpakaian, dan lain-lain haruslah berdasarkan budaya pop yang sedang berlaku saat itu. Tugas kita sebagai anak Tuhan yang telah dibukakan dan mengerti kebenaran Firman untuk mengkritisi budaya pop yang salah, kita harus berani mengatakan kebenaran di tengah-tengah dunia yang rusak moral. Hal itu tidaklah mudah, banyak tantangan yang harus dihadapi dan kita harus siap dengan segala resikonya. Namun tugas orang Kristen haruslah menjadi mercusuar yang menyinari kegelapan. Kristus sendiri harus banyak mengalami tantangan ketika Dia datang ke dunia untuk menerobos budaya. Hal ini dapat kita baca dalam Injil Matius yang kita renungkan hari ini – Kristus berdebat panjang dengan orang Farisi dan perdebatan itu diakhiri dengan mereka hendak membunuh Yesus dan Tuhan Yesus yang mengetahui maksud mereka lalu menyingkir dari sana (Mat. 12:14-15). Untuk sementara waktu, sepertinya Kristus kalah melawan budaya Yahudi yang sudah established dan keras dan harus diakhiri dengan naiknya Tuhan Yesus ke atas salib. Namun Tuhan kita adalah Tuhan yang hidup, hal ini dibuktikan Ia bangkit pada hari ketiga; Tuhan Yesus keluar sebagai pemenang maka kuasa kebangkitan mengkoreksi seluruh budaya.
Sejarah juga telah membuktikan budaya Kristen pada awal abad pertama meski minoritas telah menenggelamkan seluruh kebudayaan Yunani, kebudayaan Mesir, kebudayaan Timur Tengah tenggelam. Sungguh amatlah disayangkan, Kekristenan gagal mempertahankan hak kesulungan. Pada abad 10, Kekristenan mulai declined, Kekristenan menggeser prinsip otoritas Firman dan berkompromi dengan prinsip dunia maka saat itu mulai terjadi kerusakan kultur dan terjadilah perang salib, orang Kristen memerangi kaum muslim. Itu menjadi sejarah terburuk yang sampai hari ini selalu diingat dunia. Kebudayaan Kristen menjadi merosot. Kebudayaan Yunani yang tadinya dikubur mulai digali kembali, pemikiran filsafat Aristotle dengan konsep humanismenya mulai menguasai dunia. Di Eropa muncul suatu gerakan humanisme yang dikenal dengan gerakan renaissance. Puji Tuhan, Tuhan memunculkan seorang bernama John Calvin yang adalah seorang ahli hukum tapi ia sangat memahami kebenaran Firman menyadarkan orang untuk kembali pada budaya Kristen.
Latar belakang pendidikan Calvin adalah hukum maka dia sangat memahami semua hal tentang hukum dalam seluruh tatanan humanisme. Ketika Calvin berada di Geneva, ia mulai membandingkan konsep hukum Yunani dengan konsep hukum dalam Kekristenan dan dari ia menemukan suatu hal penting, yaitu hukum sudah menjadi tuan maka hukum harus dikembalikan ke tempat yang tepat. Calvin melihat hukum hanyalah suatu aturan yang bersifat diam, the silence magistrate akan tetapi meski bersifat diam, the silence magistrate ini tidak boleh dilepaskan dari the living magistrate, yaitu para pelaku, para pemimpin dan penegak hukum. Merupakan suatu kesalahan fatal kalau hukum dikunci di dalam diri hukum itu sendiri dimana hukum itu seolah-olah mempunyai otoritas besar padahal hukum itu sendiri tumpul karena ia bisu. Konsep ini tidak dipahami oleh dunia akibatnya orang mengalami kesulitan dalam menjalankan hukum tersebut di tengah-tengah budaya. Orang-orang Yahudi sangat menekankan hukum dan mencari kesalahan orang lain melalui hukum. Dengan hukum, mereka mencari-cari kesalahan Tuhan Yesus dan dengan alasan hukum, mereka menjebak Tuhan Yesus.
Perhatikan, perdebatan yang terjadi antara Tuhan Yesus dengan orang Farisi ini bukan sekedar perdebatan biasa yang memperdebatkan tentan masalah Sabat. Tidak! Dari perdebatan ini kita dapat melihat bagaimana orang Yahudi menginterpretasi hukum Sabat, hukum yang sifatnya diam, silence magistrate yang dilepaskan dari the living magistrate. Tuhan Yesus yang adalah the living law, Tuhan atas hukum dan sabat datang ke depan mereka namun mereka tidak mengenal Dia. Hari inipun sadar atau tidak sadar, orang seringkali terjepit dalam kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh orang Farisi dan ahli taurat, yakni terjebak dalam hukum-hukum tertulis dan lupa kalau masih ada hukum lain yang lebih dari sekedar hukum tertulis, yaitu Kristus, the living law.
Orang seingkali memakai setiap ayat yang tercantum dalam aturan hukum tersebut dan kemudian menginterpretasinya lalu orang merasa diri yang paling benar akibatnya dapatlah dibayangkan yang ada hanya kekacauan dan perselisihan; orang mempermainkan hukum untuk kepentingan diri. Perhatikan, silence magistrate tidak boleh dilepaskan dari the living magistrate. Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa orang sulit mengkaitkan antara the silence magistrate dengan the living magitrate?
Pertama, manusia bersifat dualisme antara legalisme dan antinomianisme. Pertama kali Tuhan memberikan hukum Taurat pada manusia maka manusia langsung mau menjebakkan diri masuk dalam aspek legalisme; manusia memegang hukum Taurat tapi melepaskan Allah yang menciptakan hukum Taurat. Hukum Taurat disusun sedemikian rupa menjadi 600 lebih aturan tertulis dan setiap orang Yahudi dituntut untuk hafal dan menjalankannya bahkan jika ada satu hukum yang dilanggar maka orang yang melanggar tersebut akan menerima hukuman. Adalah kesalahan fatal, orang Yahudi merasa dengan menjalankan seluruh hukum Taurat berarti ia sudah beribadah dan bertemu Tuhan. Ingat, hukum bukanlah Tuhan. Hukum yang bersifat silence magistrate diinterpretasi manusia lalu ia ditaruh dibawah manusia maka ini berarti manusia yang lebih tinggi dari hukum namun ironisnya, manusia harus taat pada hukum yang telah diinterpretasi menurut kehendak manusia. Pertanyaannya sekarang adalah kalau ada orang lain menginterpretasi berbeda maka hukum tersebut berubah ataukah tetap? Fakta membuktikan adanya perubahan pemimpim maka hukum yang diam tersebut yang seharusnya tidak berubah akan turut berubah pula. Orang tidak sadar bahwa hidup yang diikat oleh hukum akan mencelakan diri sendiri. Cobalah anda membuat suatu peraturan atau jadual kegiatan anda tiap jam selama satu minggu dan hiduplah sesuai dengan aturan dan jam yang anda buat tersebut dan tidak boleh ada satu detikpun dari yang dilanggar maka setelah satu minggu apa yang dapat anda simpulkan? Hidup manusia tidak ubahnya seperi sebuah mesin berjalan.
Tuhan Yesus menentang keras konsep legalisme (Mat. 12:1-14) dengan mempertanyakan pada orang Yahudi, yaitu jika kamu mempunyai seekor domba dan domba itu terjatuh ke dalam lobang pada hari Sabat, tidakkah kamu akan menangkapnya dan mengeluarkannya? Tuhan Yesus tahu orang Yahudi pasti lebih memilih domba dan melanggar hukum karena sudah menjadi sifat orang Yahudi yang tidak mau dirugikan. Di satu sisi kita melihat, legalisme murni tidak mungkin dijalankan maka muncul suatu kelompok yang menamakan diri sebagai kelompok antinomian menyatakan diri untuk tidak taat pada hukum. Setelah perang dunia kedua, manusia berubah menjadi sangat curiga dan tidak suka dengan hukum dan semua peraturan yang ada. Pada saat yang sama muncul pula tokoh-tokoh liberal yang memaparkan konsep antinomian, mereka juga kembali mengajarkan konsep filsafat hedonisme, yaitu manusia hidup untuk nikmat maka kalau manusia dikunci oleh suatu peraturan yang membuat hidup manusia tidak nikmat maka untuk apa manusia hidup. Muncul juga tokoh yang bernama John S. Mill yang mengajarkan konsep utilitarian- isme - etika atau hukum haruslah sesuai dan menunjang kenikmatan hidup. Dari sini muncul suatu kesimpulan kalau hukum tersebut menyengsarakan manusia maka segala macam bentuk hukum yang mengikat harus dibuang.
Celakanya setiap manusia berdosa mempunyai jiwa dualisme dan tidak mempunyai standar sama. Untuk sesuatu yang dikenakan pada dirinya sendiri, orang lebih suka antinomian tetapi sebaliknya, kalau untuk orang lain, ia ingin supaya orang lain menjalankan legalisme. Sebagai contoh, seorang murid tidak suka dengan aturan sekolah tetapi seorang guru pasti menginginkan muridnya untuk mentaati peraturan sekolah akan tetapi kalau dia mau jujur sesungguhnya, seorang guru juga tidak suka kalau ada peraturan dikenakan atas dirinya. Inilah jiwa manusia yang tidak konsisten. Alkitab justru mengajarkan sebaliknya pada diri sendiri kita harus menuntut diri untuk berdisiplin akan tetapi pada orang lain, janganlah kita menuntut terlalu banyak dan berlebihan.
Ketika manusia hanya mempermainkan hukum-hukum yang tertulis, entah dia itu menjadi seorang yang legalis atau menjadi seorang antinomianis maka ia akan terjepit ke dalam tataran hukum itu sendiri. Seorang yang konsisten dengan legalisme maka ia akan mati dalam legalisme sebab tidak ada satu pun manusia yang dapat hidup dengan legalisme murni. Imanuel Kant, seorang tokoh moralis murni hidup di desa dan ia hidup tidak pernah lebih dari 30 km dari tempat ia tinggal mencoba menjalankan aturan-aturan yang ia buat sendiri, seperti keluar rumah dan berjalan secara tepat sesuai waktu yang ia tetapkan. Konsep legalisme ini menimbulkan gejolak, tanpa sadar manusia telah membuang Tuhan dan kini berbalik, hukum menjadi Tuhan. Sebaliknya, orang yang menganut antinomian hidupnya tidak akan menjadi lebih baik, hidupnya menjadi sangat liar dan justru mencelakakan dirinya sendiri. Dapatlah dibayangkan, apa jadinya orang yang sengaja melawan peraturan lalu lintas, tentu ia akan mendapat celaka. Setiap aturan harus dikembalikan pada Kristus Sang Kebenaran sejati. Tuhanlah yang menjadi dasar kebenaran, Dia menata suatu aturan sedemikian rupa dimana setiap aturan tersebut merupakan manifestasi dari jiwa-Nya yang ingin membawa manusia kembali pada kebenaran. Untuk memahami hukum dengan benar maka manusia harus kembali pada Tuhan, the living magistrate barulah kita dapat menjalankan kehidupan berdasarkan tatanan hukum dengan tepat. Hidup yang sejati harus kembali pada kebenaran Allah.
Kedua, manusia diikat dengan semangat humanime yang mementingkan relativitas di atas kemutlakan. Hukum menuntut semua orang tunduk pada satu kebenaran dasar yang tunggal maka kebenaran dasar harus bersifat mutlak. Celakalah hidup kita kalau kebenaran itu tidak mutlak tapi dimutlakkan. Ketika kita membangun tataran hukum berdasarkan spirit legalisme humanis maka akan terjadi kesulitan yang besar. John Rolls seorang filsuf hukum dan juga seorang pakar konsep keadilan menyatakan kalau hukum ditegakkan untuk memuaskan suatu kelompok atau mayoritas tertentu apalagi hukum itu dibuat dengan semangat utilitarian maka selamanya keadilan tidak akan dapat ditegakkan; keadilan hanyalah bersifat relatif yang menindas kepentingan minoritas. Hukum yang ditegakkan di atas dasar kepentingan manusia akan menimbulkan kekacuan sebab antara satu dengan yang lain tidak mempunyai kepentingan yang sama. Di dunia ini tidak ada satu hukum yang dapat memuaskan seluruh manusia sebab manusia adalah manusia berdosa yang relatif maka manusia relatif harus tunduk pada sesuatu yang mutlak.
Ketika manusia mulai mengadopsi hukum anglo-american law, yakni hukum dibangun berdasarkan konsep humanisme dari Hume, Locks, dan sebagainya maka hari itu, manusia mulai mempermainkan hukum, tidak kembali pada kemutlakan hukum. Kristus adalah Tuhan atas hukum maka hukum harus kembali pada kemutlakan asli. Ketika manusia menolak Kristus Sang Kebenaran, akibatnya adalah kebinasaan. Hari ini, peraturan hukum Indonesia dibangun di atas dasar konsep utilitarianisme. Hukum dibuat untuk memenuhi kepentingan mayoritas; hukum tidak lagi kembali pada kebenaran tetapi hukum ditundukkan di bawah otoritas anarki. Hari ini, banyak hukum yang tidak berjalan karena mayoritas melawan hukum tersebut. Hukum sudah diselewengkan – siapa yang mempunyai kepentingan paling besar maka dialah yang akan dibela oleh hukum. Siapa kuat dialah yang memegang hukum, konsep ini dikenal sebagai survival of the fittest dan dicetuskan oleh Darwin. Michael Foucoult menentang keras konsep Darwin karena ia merasa hukum menjadi permainan otoritas yang selalu bersifat jahat dan menindas, orang yang memegang hukum selalu merasa dirinya adalah kebenaran padahal dia bukan kebenaran namun sekali lagi ia jatuh dalam konsep yang salah. Hukum ketika masuk dalam tataran relativitas maka hukum tidak akan pernah memberikan kenyamanan dan keamanan dalam diri manusia.
Pada dasarnya, manusia ingin hidup sejahtera tetapi perhatikan, tanpa keadilan yang sejati maka tidak ada kesejahteraan dan keadilan sejati tidak mungkin ditegakkan tanpa ada kebenaran sejati. Bagaimana mungkin disebut adil kalau orang hanya mementingkan mayoritas sedang yang minoritas ditindas? Perhatikan, mayoritas tidak pernah menjadi mayoritas. Mayoritas barulah menjadi mayoritas ketika ada suatu kelompok minoritas tertentu yang memakai dan memperalat dia demi untuk kepentingan mereka, yaitu untuk menindas kelompok minoritas yang lain. Orang tidak menyadari kalau sesungguhnya kelompok minoritas ini justru kelompok yang lebih baik dibanding yang mayoritas. Mayoritas biasanya terdiri dari orang-orang yang tidak berpendidikan, ia selalu berada diposisi bawah, grass root position dan biasanya orang-orang seperti ini tidak bisa menalar suatu peristiwa, mereka dibayar untuk menindas yang kelompok minoritas lain. Orang mulai tidak peduli orang lain, orang berbuat anarkis maka ini menjadi kerusakan hukum. Hukum yang ditegakkan dengan semangat humanisme dipelopori oleh mayoritas lalu menggunakan spirit anarkis dan dipakai untuk menekan kelompok yang lain, hal ini menjadi kesalahan fatal hukum di titik pertama. Semangat mayoritas menginginkan Tuhan Yesus disalibkan. Pertanyaannya sekarang adalah dimanakah keadilan? Sejarah membuktikan ketidakadilanlah yang banyak terjadi di dunia. Ketika kita menegakkan hukum apapun maka ingatlah, kita harus kembali pada prinsip dasar utama, yakni Kristus adalah Tuhan atas sabat; Kristus adalah Tuhan atas hukum.
Ketiga, manusia berdosa pada hakekatnya bersifat pemberontak terhadap kebenaran. Manusia tidak suka tentang hal-hal yang benar, manusia lebih suka segala sesuatu yang bersifatnya dosa, segala sesuatu yang memuaskan nafsu dan keinginan daging. Pemberontakan ini ditandai dengan konsep kebebasan, freedom yang diteriakkan oleh manusia pada pada abad 20. Hal yang sama dicetuskan pula oleh suatu kelompok yang menamakan dirinya woodstock live show. Adalah jiwa manusia berdosa ketika berhadapan dengan kebenaran, ia langsung melawan. Ironis, di satu sisi manusia ingin merdeka tapi ketika Tuhan Yesus datang dan Dia ingin memerdekan dengan melepaskan kita dari ikatan belenggu dosa, manusia malah menolak-Nya. Demikian juga halnya dengan orang Yahudi, orang yang katanya “taat hukum“ tetapi ketika dirinya bertemu dengan kebenaran sejati, ia menentang dan melawan dengan keras; mereka hanya mau hukum yang ia suka saja (Yoh. 8). Sangatlah disayangkan, hari ini sedikit sekali orang yang mau mencari dan mengejar kebenaran sejati, truth dan tunduk dan taat dibawah kebenaran sejati tersebut. Biarlah sebagai anak Tuhan sejati, kita mempunyai hati dan jiwa yang selalu ingin dibentuk dibawah kebenaran sejati – Kristus Tuhan. Kristus adalah kebenaran sejati dan kebenaran sejati berada di atas semua aturan hukum yang ada di dunia. Hendaklah dalam setiap aspek hidup kita, kita belajar untuk menekan dan melawan jiwa pemberontakan yang ada dalam diri kita. Kita harus kembali pada Kristus, the living magistrate bukan terjepit dengan the silence magistrate; kita mau taat pada aturan tetapi bukan terkunci oleh aturan. Biarlah kita senantiasa mau belajar rendah hati untuk semakin dibentuk oleh Dia dan menjadi semakin serupa Dia. Amin

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

Resensi Buku-57: FIRMAN ALLAH DAN AKAL BUDI MANUSIA (alm. Prof. Ronald H. Nash, Ph.D.)

...Dapatkan segera...
Buku
THE WORD OF GOD AND THE MIND OF MAN
(Firman Allah dan Akal Budi Manusia)


oleh: (alm.) Prof. Ronald H. Nash, Ph.D.

Penerbit: Momentum Christian Literature (Fine Book Selection), 2008

Penerjemah: Sulyani Wiryo.





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Apakah hubungan akal budi Allah dengan akal budi manusia? Selama kurang lebih tiga abad, Kekristenan diserang oleh beragam filsafat dan theologi yang mengajarkan bahwa akal budi Allah tidak ada hubungannya dengan akal budi manusia. Prof. Ronald H. Nash, Ph.D. menjabarkan bahwa permasalahan ini dimulai dari filsafat David Hume yang mengajarkan iman didasarkan bukan pada rasio atau pengalaman tetapi pada insting, kebiasaan, dll. Lalu, pandangan ini dikemukakan lebih lanjut oleh Immanuel Kant yang menekankan pentingnya hal-hal praktis di dalam iman, Friedrich Schleiermacher yang menekankan agama sebagai perasaan kebergantungan mutlak kepada Allah, dan Albercht Ritschl yang membuang metafisika dari theologi dan menekankan pentingnya etika di dalam iman. Keempat tokoh ini akhirnya memengaruhi tidak sedikit para theolog Injili, seperti Donald Bloesch, G. C. Berkouwer, dll, sehingga mereka tidak lagi memegang teguh pandangan penyataan/wahyu proposisional sebagai penyataan logos Allah kepada logos manusia. Akibatnya, mereka lebih menekankan bahwa logos Allah tidak bisa dimengerti oleh logos manusia. Benarkah pandangan ini? Dengan penguraian yang jelas dan mudah dimengerti, Dr. Nash menjabarkan kelemahan pandangan mereka dengan menunjukkan kekontradiksian pandangan tersebut, lalu menjawabnya dengan prinsip-prinsip kebenaran Alkitab yang bertanggungjawab bahwa logos Allah berhubungan dengan logos manusia. Mengapa bisa berhubungan? Karena manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah, maka mengutip Augustinus, Dr. Nash mengajarkan bahwa logos manusia adalah derivatif (turunan) logos Allah (hlm. 108). Kedua, karena Allah telah menyatakan diri-Nya secara khusus dalam bentuk tertulis yaitu Alkitab, sehingga Alkitab adalah satu-satunya logos manusia bisa mengenal logos Allah. Biarlah buku yang berbobot ini boleh mencerahkan hati dan pikiran kita serta memimpin kita untuk lebih mengenal Pribadi Allah kita yang Mahaagung itu melalui Alkitab.



Komentar dari Prof. Carl F. Howard Henry, Th.D., Ph.D.:
“Karya yang hadir tepat waktu, penting, dan benar-benar tajam. Buku ini memberikan kontribusi yang signifikan di dalam perdebatan yang kontroversial mengenai penyataan ilahi.”





Profil Dr. Ronald H. Nash:
Prof. Ronald H. Nash, Ph.D. adalah seorang Profesor theologi dan filsafat di Reformed Theological Seminary, Orlando, Florida, USA. Beliau meraih gelar Bachelor of Arts (B.A.) dari Barrington College (1958); Master of Arts (M.A.) dari Brown University (1960); dan Doctor of Philosophy (Ph.D.) dari Syracuse University (1964). Beliau menjalani studi post-doctoral di Stanford University pada tahun 1969 atas dukungan/biaya dari National Endowment for the Humanities. Dari sekian banyak buku yang ditulisnya, beberapa di antara telah diterbitkan oleh Penerbit Momentum, antara lain: Iman dan Akal Budi (Faith and Reason), Keselamatan Di Balik Kematian Bayi (When a Baby Dies), dan Konflik Wawasan Dunia (Worldviews in Conflict).