07 December 2008

Roma 12:2: IBADAH SEJATI-2: Mempersembahkan Hidup Bagi Tuhan-2

Seri Eksposisi Surat Roma :
Aplikasi Doktrin-2


Ibadah Sejati-2: Mempersembahkan Hidup Bagi Tuhan-2

oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 12:2.


Kalau di ayat 1, kita dituntut Paulus untuk mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada Allah, lalu bagaimana kita dapat melakukannya? Cara kita mempersembahkan tubuh kita ini kepada Allah dipaparkan Paulus di ayat 2.

Pada ayat 2, Paulus mengajar, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Agar kita dapat mempersembahkan tubuh kita kepada Tuhan sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan yang berkenan kepada Allah, di ayat ini, Paulus memaparkan beberapa cara:
Pertama, cara negasi dan pasif: tidak mau dipengaruhi dunia ini. Jika kita memerhatikan terjemahan LAI ini, sepintas yang ditekankan adalah dunia, lalu kita yang menjadi serupa dengan dunia. Tetapi jika diperhatikan struktur bahasa Yunani, hal itu tidak demikian. Pernyataan “menjadi serupa” di dalam terjemahan Yunani diartikan, “dijadikan serupa,” dan struktur bahasa Yunaninya: kata kerja orang kedua, jamak (plural), waktu sekarang (present), pasif (passive), dan imperatif (imperative) (Hasan Sutanto, 2003, Perjanjian Baru Interlinear, hlm. 862). Dengan kata lain, secara negasi dan pasif, agar dapat mempersembahkan tubuh kita kepada Allah, pertama-tama kita tidak mau dipengaruhi dunia ini. Apa arti dipengaruhi dunia ini? Albert Barnes di dalam tafsirannya Albert Barnes’ Notes on the Bible memaparkan artinya yaitu mengambil bentuk, cara hidup, dll dari dunia ini. Selain itu, Geneva Bible Translation Notes menafsirkannya sebagai tindakan kita yang mengambil pendapat atau perilaku/tindakan orang lain sebagai peraturan hidup kita. Dari dua tafsiran/catatan Alkitab ini, kita belajar bahwa orang yang dipengaruhi dunia ini adalah orang yang memiliki cara hidup, pendapat, perilaku, dll yang murni dipengaruhi dunia. Ketika dunia menampilkan tindakan-tindakan asusila, seperti free-sex, merokok, narkoba, dll, orang tersebut dipengaruhi dan meniru tindakan-tindakan tersebut.
Lalu, mengapa orang-orang tersebut bisa dipengaruhi dunia? Karena mereka berpikir bahwa dunia itu menyenangkan, menguntungkan, dll. Gaya hidup hedonisme, materialisme, dan utilitarianisme telah mengancam dunia kita terutama abad postmodern. Manusia selalu mencari keuntungan dengan cara-cara yang tidak wajar, bahkan makan uang orang lain. Itulah akibat pola pikir dunia yang serba “menguntungkan, menyenangkan, dll.” Mereka tidak mempedulikan makna dan hakikat hidup manusia sejati. Yang mereka pedulikan adalah hal-hal remeh, seperti makan, minum, jalan-jalan, dll. Benarkah itu semua membawa kebahagiaan? Apakah kekayaan, kenikmatan, dll itu nikmat? TIDAK! Realita dan tentunya Alkitab mengajar kita bahwa hal-hal tersebut itu remeh adanya dan bersifat sementara. Pengkhotbah 1:1-11 mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu di bawah matahari (di dunia) ini sia-sia, bahkan mengejar hikmat itu sia-sia (ay. 12-18). Mengapa sia-sia? Karena itu dilakukannya sendirian tanpa Allah. Dengan kata lain, hidup kita di dunia ini tidak akan pernah sia-sia jika kita mengaitkan hidup kesementaraan ini dengan kekekalan Allah. Orang yang mau hidupnya berkait dengan kekekalan Allah adalah orang yang mau mempersembahkan tubuh dan hidupnya bagi kemuliaan Allah. Dan orang yang mau mempersembahkan tubuhnya bagi kemuliaan Allah adalah orang yang tentu tidak mau dipengaruhi dunia ini. Mengapa tidak mau dipengaruhi dunia ini? Karena ia percaya bahwa dunia ini bersifat sementara dan akan lenyap, sedangkan firman Tuhan itu kekal dan tidak akan lenyap. Tuhan Yesus berfirman, “Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu."” (Luk. 21:33) Dengan menaruh iman dan pengharapan kita kepada yang kekal yaitu firman Tuhan, hidup kita akan menemukan suatu pengharapan yang pasti dan kokoh, karena firman Tuhan itu ya dan amin, serta menjamin hidup kita bersama Tuhan akan berkelimpahan (TIDAK secara jasmani—Yoh. 10:10b). Hidup yang berkelimpahan di dalam Tuhan adalah hidup yang terus merasakan cinta kasih Tuhan di dalam setiap hidupnya sambil membagikannya kepada orang lain baik melalui Injil, mandat budaya, maupun menolong sesama. Dengan kata lain, dengan hidup berkait dengan kekekalan, kita tidak lagi mau dipengaruhi dunia ini, tetapi kita justru memengaruhi dunia ini dengan Injil. Pendidikan Kristen yang beres bukan takut dipengaruhi dunia atau menyalahkan dunia/lingkungan yang telah membentuk suatu individu menjadi tidak beres, tetapi pendidikan Kristen harus keluar dari belenggu dunia dan kembali kepada prinsip-prinsip Alkitab, sehingga bukan kita yang dipengaruhi dunia, melainkan kita memengaruhi dunia, khususnya dunia pendidikan. Begitu juga dengan ekonomi, politik, dll, ketika sesama kita menawari cara hidup korupsi, nepotisme, dll, kita tidak boleh ikut arus dan ikut-ikutan dipengaruhi dunia, tetapi kita harus melawan arus dengan memengaruhi dunia melalui Injil yang kita aplikasikan di tempat kita berada.

Kedua, cara positif dan aktif: diubah pola pikir kita. Agar kita dapat memengaruhi dunia kita melalui Injil, kita harus pertama-tama mengubah pola pikir kita. Di ayat 2 ini, Paulus mengajar, “berubahlah oleh pembaharuan budimu” Kata “berubah” di sini di dalam struktur bahasa Yunani menggunakan bentuk yang sama dengan kata “menjadi serupa” di atas, yaitu menggunakan bentuk kata kerja orang kedua, jamak (plural), waktu sekarang (present), pasif (passive), dan imperatif (imperative). Dengan kata lain, artinya adalah sebuah perintah Paulus agar semua jemaat Roma (dan juga kita) saat ini juga diubah oleh pembaharuan budi/akal budi/pikirannya. Bentuk pasif pada kata “berubah” di sini menandakan bahwa kita bisa mengubah pola pikir kita tidak dari diri kita sendiri, tetapi ada yang mengubah pikiran kita. Roh Kudus yang mengubah pikiran kita melalui iman yang telah diberikan Allah sebagai anugerah kepada umat pilihan-Nya. Ketika kita sudah beriman, kita baru bisa mengubah pola pikir kita melalui pertolongan dan pencerahan Roh Kudus di dalam Alkitab. Di sini, kita belajar satu prinsip yaitu iman mendahului pengertian (bdk. Ibr. 11:3). Iman kita memungkinkan kita terus ingin mengerti kebenaran firman Tuhan, sehingga pikiran kita yang dahulu didistorsi oleh dunia berdosa, akhirnya secara berkelanjutan dimurnikan oleh firman melalui Roh Kudus. Adalah suatu absurditas (ketidakmasukakalan) jika ada orang Kristen yang mengaku sudah beriman, tetapi enggan atau lebih parahnya, malas mempelajari firman Tuhan dengan teliti. Itu patut diragukan keimanannya, benarkah ia sungguh-sungguh beriman atau hanya di mulut saja?
Lalu, dengan pencerahan Roh Kudus melalui Alkitab, bagaimana kita bisa diubah pikirannya? Karena Roh Kudus diutus untuk memuliakan Kristus, maka Ia akan memimpin umat-Nya terus-menerus memusatkan pikiran (dan hidup) mereka hanya kepada Kristus sebagai Kakak Sulung dan Tuhan kita. Pikiran Kristen yang sehat adalah pikiran yang berpusat pada Kristus. Sedangkan pikiran “Kristen” yang kacau adalah pikiran yang berpusat pada kehendak manusia berdosa, lalu mengutip Rm. 12:2 dengan menafsirkan bahwa pikiran kita harus “diubah” agar sesuai dengan zaman kita. Ini pikiran licik manusia berdosa dengan topeng “Kristen.” Berhati-hatilah, iblis bisa menyamar sebagai malaikat terang! Kembali, pikiran yang berpusat pada Kristus itulah iman Kristen. Pdt. Dr. Stephen Tong mengajar bahwa iman sejati adalah pengembalian rasio kepada Kebenaran. Berarti, iman Kristen tidak meniadakan rasio, tetapi memakai rasio yang diciptakan Tuhan untuk memuliakan Tuhan. Dengan kata lain, anugerah Tuhan melalui rasio dipergunakan dan dikuduskan oleh firman Tuhan untuk mempermuliakan Tuhan. Intinya, dari Tuhan, oleh Tuhan, dan untuk Tuhan (Soli Deo Gloria).
Mari kita menggumulkan tiga bagian tentang rasio ini. Pertama, rasio adalah anugerah Allah. Tidak ada satu ciptaan Allah selain manusia yang dikaruniai rasio. Rasio diciptakan oleh Allah bagi manusia agar manusia bisa berpikir, menganalisa, dan menemukan sesuatu, terutama alam yang telah diciptakan-Nya sebagai penyataan diri-Nya secara umum. Respon manusia yang telah menganalisa dan mengelola alam ini disebut ilmu pengetahuan (science). Tetapi kita perlu mengingat satu hal yaitu manusia telah berdosa dan rusak total, sehingga ketika manusia meresponi wahyu umum Allah pun pasti mengandung bibit dosa (meskipun tidak semua). Sehingga rasio tidak hanya dimengerti sebagai pemberian Allah (dari Allah), tetapi juga rasio harus dimurnikan oleh firman Allah, inilah poin kedua kita. Bagi Dr. Martin Luther, rasio itu seperti pelacur. Nah, rasio seperti pelacur ini harus dikuduskan melalui firman Allah agar tidak selalu melacur. Mengapa firman Allah harus menundukkan rasio? Karena rasio itu terbatas, sedangkan firman Allah itu dari Allah yang tidak terbatas, sehingga firman Allah lebih tinggi dan melampaui rasio. Lalu, bagaimana firman Allah memurnikan rasio? Caranya adalah pertama-tama kita menaklukkan pikiran kita di bawah terang firman Allah sebagai pedoman, cermin, dan penuntun pikiran kita. Ketika firman Allah berbicara bahwa istri harus tunduk kepada suami dan suami harus mengasihi istri (Ef. 5:22-33), maka rasio Kristen yang sehat dan bertanggungjawab harus ditundukkan, sehingga mereka HANYA menerima kebenaran Alkitab ini dengan mutlak. Tetapi yang terjadi di abad postmodern ini sangat berlawanan. Banyak yang mengaku pemimpin gereja studi di luar negeri, tetapi ketika membaca Ef. 5:22-33, rasionya mulai “menghakimi” dan tidak setuju dengan Alkitab dengan segudang argumentasi “logis.” Itulah pelacur! Pelacur bukan pelacur secara fisik, tetapi ada pelacur rohani, seperti halnya berzinah, ada berzinah rohani. Yang lebih menakutkan bukan pelacur jasmani atau berzinah jasmani, tetapi pelacur rohani dan berzinah rohani, karena pelacur dan berzinah rohani jelas menggunakan “rohani” sebagai dalih, padahal sebenarnya jasmani sifatnya. Itulah kemunafikan banyak pemimpin gereja! Mereka harus bertobat! Kembali, karena rasio itu diberikan oleh Allah, dan rasio itu telah dikuduskan oleh firman Allah, maka rasio itu baru dapat memenuhi poin ketiga, yaitu memuliakan Allah. Jangan pernah mengharapkan rasio bisa memuliakan Allah jika sebelumnya tidak pernah dikuduskan oleh firman Allah, karnea Allah TIDAK mau menerima rasio seperti pelacur, karena itu menjijikkan di hadapan-Nya. Jika hari ini, rasio kita masih melacur dan mengatakan semua filsafat dunia berdosa itu benar, saya menantang hari ini: bertobatlah, Tuhan muak dengan rasio kita yang suka melacur!


Setelah kita secara negasi dan pasif tidak mau dipengaruhi dunia dan kita secara aktif diubah pola pikirnya, maka kita baru, “dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Kata “membedakan” dalam bahasa Yunaninya dokimazō yang bisa berarti menguji (test) atau membuktikan (prove). Di sini, unik, Paulus mengaitkan konsep ibadah sejati dengan konsep membedakan/menguji kehendak Allah. Di abad postmodern ini, banyak orang “Kristen” mengajar atau diajar konsep bahwa kalau beribadah, beribadah saja, tidak perlu menggunakan rasio, alami saja Allah itu, dll. Pengalaman tidaklah salah, tetapi pengalaman yang dilepaskan dari pengenalan akan Allah melalui firman-Nya itu bisa berbahaya, dan bisa menimbulkan munculnya bidat. Berbeda dari konsep postmodern ini yang anti-doktrin dan anti sesuatu yang bernilai tinggi dan kekal, maka Paulus justru mengajar bahwa ibadah sejati adalah ibadah yang mempersembahkan tubuh kita kepada Tuhan dengan menguji kehendak Allah. Sebelum kita bisa mempersembahkan tubuh kepada Tuhan, kita harus menguji dahulu apa itu kehendak Allah. Bagaimana kita bisa mengetahui kehendak Allah jika kita tidak pernah membaca dan mempelajari firman-Nya? Di sini, saya mencoba mengaitkan: mempelajari Alkitab mengakibatkan kita semakin mengetahui kehendak Allah, dan kita bisa menguji kehendak Allah di dalam hidup kita, sehingga kita makin memuliakan Allah. Lalu, apakah yang menjadi kehendak Allah? Paulus menjabarkan hal ini ke dalam tiga bagian:
Pertama, kehendak Allah itu adalah apa yang baik. Luar biasa, di titik pertama, Paulus mengatakan tentang konsep kebaikan yang dikaitkan dengan kehendak Allah. Baik di sini bukan berarti Allah menyenangkan kita, tetapi baik berarti baik menurut standar Allah. Ketika kita mau mencoba mengerti arti hidup, carilah kehendak Allah, karena kehendak Allah itu (adalah apa yang) baik. Kebaikan kehendak Allah (atau sesuatu yang baik di dalam kehendak Allah) adalah kebaikan yang tidak bisa dipisahkan dari atribut-atribut Allah yang lainnya, yaitu Kekal, Mahakudus, Mahaadil, Mahabijak, dan Mahasempurna. Sehingga, ketika kita memahami kehendak Allah yang baik, berarti kita harus memahami keutuhan maknanya, yaitu kehendak Allah yang baik adalah kehendak yang tidak bertentangan dengan natur-Nya yang Mahakudus. Dengan demikian, jangan pernah berharap bahwa Allah yang memiliki kehendak yang baik akan memenuhi semua kebutuhan kita (termasuk yang berdosa). Bukan hanya itu saja, kehendak Allah yang baik berkait dengan Allah yang Kekal dan Mahabijak. Artinya, ketika menjawab doa/pergumulan kita, Allah mengetahui apa yang terbaik bagi kita menurut standar Allah, sehingga ketika Ia tidak mengabulkan doa kita, percayalah Ia memiliki maksud baik di dalam kekekalan dan kebijakan-Nya bagi kita meskipun kita belum mengetahuinya. Selain itu, berkaitan dengan Allah yang Mahaadil, kebaikan kehendak Allah adalah menginginkan keadilan yang benar (righteouness). Jangan pernah mengharapkan Allah yang memiliki kehendak yang baik adalah menerima semua orang berdosa untuk diselamatkan. Kebaikan Allah justru kebaikan yang adil yang justru memilih beberapa manusia untuk diselamatkan. Predestinasi (pemilihan Allah sebelum dunia dijadikan atas beberapa orang) justru menunjukkan di mana kebaikan dan keadilan Allah bertemu.

Kedua, kehendak Allah itu adalah apa yang berkenan kepada Allah. “Berkenan kepada Allah” di dalam bahasa Yunani dapat diterjemahkan sebagai disenangi Allah (Ibid., hlm. 862). Dengan kata lain, apa yang berkenan kepada Allah adalah apa yang disenangi atau merupakan kesenangan Allah. Apa yang membuat Allah senang? Sebelum memikirkan terlalu rumit, mari kita bayangkan jika kita memiliki pasangan kita yang sangat kita cintai. Bagaimana kita bisa menyenangkan pasangan kita sebagai bukti kita mencintainya? Tentu dengan memberikan kepada pasangan kita apa yang dia paling sukai, bukan? Apakah kita mau menyenangkan dia dengan memberikan apa yang kita sukai dan dia tidak sukai? TIDAK! Itu bukan tanda kita menyenangkan dan mencintai dia. Kalau kepada pasangan hidup saja kita bisa menunjukkan kesenangan kita kepadanya dengan memberikan apa yang paling dia sukai, mengapa ini tidak kita terapkan kepada Allah? Anehnya, di abad postmodern ini kita menjumpai berbagai upaya dilakukan orang beragama bahkan orang “Kristen” untuk “menyenangkan” Allah justru dengan memuaskan hawa nafsu manusia itu sendiri. Mereka mengajarkan bahwa ikut Tuhan pasti kaya, sukses, lancar, bahkan tidak pernah digigit nyamuk. Inikah ajaran yang menyenangkan Allah?! Benarkah jika kita mau menyenangkan Allah, kita malahan memberikan kepada diri kita sendiri kesenangan? Mari kita introspeksi diri kita. Menyenangkan Allah, seperti menyenangkan pasangan hidup yang kita cintai, adalah memberikan kepada-Nya apa yang paling Dia sukai. Apa yang paling Dia sukai? Allah menyukai kekudusan hidup, kebenaran, keadilan, kejujuran, pertanggungjawaban, keberanian yang benar, kasih, pengendalian diri, dll. Sudahkah kita menjalankan apa yang paling Dia sukai? Ataukah kita kembali kepada standar kita yang “rohani” untuk menyenangkan Allah? Hari ini, kita bukan hanya berteori banyak tentang apa yang menyenangkan Allah, marilah kita saat ini juga melakukan apa yang menyenangkan hati Allah, karena itu bukti kita mau mempersembahkan hidup bagi Tuhan. Jangan pernah berpikir bahwa kita mau berkorban bagi Tuhan, tetapi untuk hal-hal yang menyenangkan Allah pun kita tidak pernah mau lakukan.

Ketiga, kehendak Allah itu adalah apa yang sempurna. Kata “sempurna” dalam bahasa Yunani teleios berarti penuh (full) atau komplit/lengkap (complete). Berarti, kehendak Allah itu adalah sesuatu yang penuh/ lengkap. Apa itu lengkap/penuh?
Lengkap/penuh menyangkut totalitas. Sempurna/lengkap/penuh tidak pernah parsial, tetapi menyeluruh. Dengan demikian, sempurna mutlak hanya bisa dikenakan kepada Allah dan firman-Nya saja, karena hanya Allah dan firman-Nya yang tidak bersalah dan menyeluruh. Adalah sungguh berbahagia jika sebagai umat-Nya, kita hidup di dalam firman Tuhan. Hidup di dalam firman Tuhan adalah hidup yang totalitas, yang tidak terpecah-pecah. Ketika firman Tuhan mengajar kita tentang ketaatan, marilah itu bukan menjadi bahan theologi yang kita gali, tetapi kita aplikasikan di dalam setiap hidup kita, baik pikiran, sikap hati, sifat, perkataan, dll, sehingga totalitas hidup kita makin memuliakan-Nya. Adalah suatu keanehan jika kita berbicara tentang hidup totalitas, tetapi kita masih memisahkan antara theologi dan spiritualitas serta praktika. Theologi, spiritualitas, dan praktika adalah hal yang saling berkaitan erat. Itulah totalitas hidup dan iman Kristen yang sehat dan bertanggungjawab. Tuhan mau hidup kita menyeluruh dan utuh, sehingga tidak ada bagian di mana iblis bisa menipu dan mengambil kemuliaan Allah di dalam hidup kita. Maukah kita hari ini menyerahkan totalitas hidup kita hanya kepada Tuhan sebagai persembahan hidup yang tulus?
Selain totalitas, lengkap/penuh menyangkut kekonsistenan. Ibadah sejati adalah ibadah yang konsisten dan setia kepada Tuhan. Tuhan tidak hanya menuntut totalitas, tetapi juga kekonsistenan. Percuma saja kita hidup totalitas kepada Tuhan, tetapi itu kita lakukan jarang-jarang, atau hanya dalam jangka waktu tertentu. Tuhan mau kita melakukannya secara konsisten. Konsisten berarti ada suatu proses yang sebenarnya menuju kepada pertumbuhan sampai sempurna. Di dalam hidup dan iman kita, kita dituntut untuk konsisten, makin lama makin bertumbuh dewasa secara rohani, tidak lagi seperti anak-anak yang mudah diombang-ambingkan oleh angin pengajaran yang tidak bertanggungjawab (Ef. 4:13-14). Tanda seorang anak Tuhan yang dewasa rohani adalah ia tidak kaget dengan segala ajaran yang tidak bertanggungjawab yang muncul, karena ia sudah tahu mana yang benar dan mana yang salah dengan standar Alkitab. Ia memiliki tanda awas (alert) di dalam kerohanian dan imannya. Ia juga mau terus mengintrospeksi diri dan segera bertobat jika ia menjumpai kekurangan (dan dosa) yang ada pada dirinya yang tidak berkenan di hati Tuhan. Sedangkan orang-orang yang memiliki kerohanian seperti anak kecil (childish) adalah mereka yang mudah terkejut ketika ada ajaran aneh menyerang, bahkan tidak sedikit dari mereka yang terbujuk oleh rayuan ajaran aneh itu. Mengapa bisa demikian? Karena mereka tidak memiliki fondasi yang membentengi dan mendasari hidup kerohaniannya. Selain itu, orang yang tidak dewasa rohani selalu mengagungkan diri bersumbangsih/berjasa di dalam gereja/pelayanan, dll, dan tidak mau mengintrospeksi diri, apalagi bertobat. Mereka maunya orang lain menaati dia, sedangkan dia tidak mau menaati orang lain yang etikanya lebih agung. Hari ini, marilah kita tinggalkan sifat kekanak-kanakan rohani kita dan kembali menjadi orang Kristen dewasa rohani di dalam tahap pertumbuhan iman dan kerohanian kita. Lalu, bagaimana kita bisa memelihara kekonsistenan hidup dan iman kita tersebut? Kita bisa melakukannya dengan setia, dan kesetiaan kita bisa dimungkinkan ketika Roh Kudus memimpin kita terus-menerus melalui firman Allah, Alkitab. Kita dituntut untuk membaca dan mempelajari firman Allah tersebut sehingga kita makin mengenal kehendak Allah yaitu apa yang sempurna. Di sini, saya mengaitkan: firman Allah melalui pencerahan Roh Kudus memungkinkan kita mengenal kehendak Allah, dan ini memungkinkan kita setia kepada-Nya, dan kesetiaan ini mengakibatkan kita konsisten menguji dan menjalankan kehendak Allah di dalam hidup kita.


Setelah kita merenungkan ayat 2 ini, beranikah kita berkomitmen pada hari ini untuk mau mempersembahkan tubuh dan hidup kita kepada Tuhan sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan menyenangkan Allah dengan tidak mau dipengaruhi dunia, tetapi justru memengaruhi dunia melalui perubahan pola pikir kita, sehingga kita makin mengenal dan menguji kehendak Allah? Kiranya Tuhan menuntun kita di dalam proses pertumbuhan ini. Amin. Soli Deo Gloria.

No comments: