01 September 2007

Matius 4:1-11 : THE WAY OF THE DEVIL

Ringkasan Khotbah : 11 Juli 2004

The Way of the Devil

oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 4:1-11



Orang Kristen hendaklah sadar dan berjaga-jaga karena lawanmu, si iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya (I Ptr. 5:8). Tuhan sudah menyiapkan peralatan yang cukup bagi kita untuk melawan si iblis, yaitu Firman. Namun, sangatlah disayangkan manusia merasa kurang dengan senjata perang yang telah disediakan Tuhan; manusia merasa diri mampu melawan iblis dengan kekuatannya sendiri. Akibatnya manusia jatuh ke dalam jebakan iblis, tanpa kita sadari cara berpikir, sikap hidup dan tindakan kita sehari-hari justru lebih mirip dengan cara iblis, the way of the devil. Calvin menegaskan bahwa kerusakan total, total depravity inilah yang menjadi penyebab rusaknya tatanan dunia dan hal ini ditegaskan kembali oleh para teolog dalam sinode Dort.

Karena perbuatan dosa yang dilakukan Adam, manusia pertama, yang merupakan perwalian (representative) dari seluruh umat manusia di dunia maka kita pun ikut berdosa. Dosa menyebabkan manusia jauh dari Tuhan bahkan segala perbuatan baik tidak dilakukan dengan tulus melainkan hanya demi untuk keuntungan diri sendiri. Dan sifat dosa ini diturunkan pada manusia maka tidaklah heran kalau seorang anak kecil lebih mudah melakukan perbuatan dosa tanpa ada yang mengajarinya. Manusia tidak dapat hidup serupa dengan gambar dan rupa Allah. Puji Tuhan, Kristus datang sebagai Adam kedua yang di dalam-Nya kita beroleh segala berkat sorgawi; di dalam Kristus kita menjadi anak Allah dan beroleh pembenaran hidup, di dalam Kristus pula kita menerima segala janji dan kekayaan karunia. Dan hal ini sangat dipahami iblis, oleh sebab itu, dengan segala cara iblis mencobai Tuhan Yesus supaya jatuh dalam dosa dengan demikian tidak ada satu pun manusia dapat diselamatkan.

Bukan hal yang mudah merombak tatanan dunia yang sudah rusak total. Kita harus bersandar mutlak dan taat pada pimpinan Tuhan, jangan mengandalkan kekuatan sendiri karena cara Tuhan berbeda dengan cara iblis. Hati-hati dengan mereka yang mengaku diri anak Tuhan padahal sesungguhnya anak iblis karena tidak semua orang yang mengaku diri Kristen pasti beriman pada Kristus dan percaya pada Alkitab sebagai prinsip dasar iman. Hendaklah kita mengevaluasi diri kita masing-masing apakah setiap tindakan dan sikap hidup kita telah memancarkan kasih dan keadilan Kristus ataukah kita justru lebih mirip dengan cara iblis. Karena itu kita harus waspada dengan segala tipu muslihat iblis, yaitu:
I. Menggeser Prioritas Hidup
Tuhan Yesus berpuasa 40 hari 40 malam adalah demi untuk menggenapkan misi Kerajaan Allah - membangun spiritualitas dan kualitas pelayanan. Iblis mau mencoba menggeser prioritas utama Tuhan Yesus dari tujuan agung, yaitu melakukan kehendak Bapa ke hal yang bersifat materi, yaitu mengubah batu menjadi roti. Dan sifat humanis materialis ini telah merasuki dunia, orang tidak sadar kalau mereka telah masuk dalam jebakan iblis. Banyak orang tua salah mendidik anaknya, sebagai contoh: orang tua tidak suka kalau anaknya aktif melayani Tuhan karena mereka berpendapat bahwa pelayanan tidak dapat menghasilkan uang padahal di sisi lain mereka menyadari bahwa dekat pada Tuhan justru membuat hidup si anak menjadi lebih baik.
Semakin kaya dan semakin tinggi kedudukan seseorang maka dunia akan menilai orang tersebut sukses. Bukankah hal ini menjadi prioritas utama si iblis. Bagaimana dengan kita? Saat kita sedang beribadah dan melayani apa yang menjadi prioritas utama kita? Untuk Tuhan ataukah sekedar memenuhi kebutuhan “perut“? Kebutuhan akan makanan selalu menjadi prioritas utama manusia, first think first. Hal ini pun ditegaskan oleh Abraham Maslow bahwa kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan makanan. Iblis tahu akan hal ini, itulah sebabnya iblis menantang Yesus supaya mengubah batu menjadi roti, yaitu untuk memenuhi kebutuhan “perut“. Celakalah, kalau prioritas hidup kita hanya untuk “perut“ saja; lalu apa bedanya kita dengan binatang? Bukankah binatang hidup hanya untk makan? Iblis telah menggeser prioritas hidup manusia yang kepadanya
diberikan “nafas hidup“ - makhluk yang paling mulia di antara semua ciptaan menjadi makhluk yang rendah, yakni binatang berkaki dua. Ingat, kenikmatan yang diberikan iblis hanya sementara dan berakhir pada kebinasaan kekal. Ironisnya, manusia tidak sadar kalau telah masuk dalam jebakan iblis. Spiritualitas sejati akan menjaga kita dari kerusakan moral dunia dan menyadarkan kita bahwa hidup bukan hanya dari roti saja tetapi dari setiap Firman yang keluar dari mulut Allah.
Sangatlah disayangkan, kalau manusia justru lebih memilih “roti“ yang bersifat sementara daripada Firman Hidup yang bersifat kekal. Betapa bodohnya manusia, demi untuk kenikmatan sementara justru mengorbankan Tuhan, orang lebih memilih pekerjaan daripada pelayanan. Sebagai anak Tuhan, biarlah Firman yang hidup itu menjadi prioritas hidup kita yang utama; apapun yang kita lakukan adalah demi untuk kemuliaan-Nya. Apakah Firman Tuhan sudah menguasai hidupmu? waspadalah, jangan tertipu oleh godaan iblis yang memang ingin supaya kita jatuh ke dalam dosa dan jauh dari Tuhan.

II. Menggeser Orientasi Hidup
Prioritas kita akan menentukan seluruh orientasi hidup kalau kita ada di dalam Kristus maka seluruh prioritas pasti berorientasi pada Kristus, yaitu untuk menjadi semakin serupa Dia. Kerohanian sejati akan mengontrol semua aspek kejasmanian kita. Hidup Kristus berorientasi pada hal yang spiritual, Ia berpuasa membuktikan bahwa Ia taat pada Bapa-Nya. Tuhan Yesus tidak mengatakan bahwa hidup manusia hanya Firman saja dan tidak perlu roti. Tidak! Manusia hidup bukan hanya dari roti saja tetapi dari setiap Firman yang keluar dari mulut Allah, berarti selain roti manusia juga perlu Firman dan yang terutama adalah Firman. Kalau orientasi hidup kita hanya pada Tuhan bukan berarti kita menjadi sok rohani tetapi justru akan mendatangkan kebaikan - mewarnai semua aspek dalam hidup kita dan kita juga tidak mudah tergoda oleh rayuan iblis.
Jangan pernah berpikir bahwa orang yang mempunyai intelegensi tinggi tidak akan dapat tertipu. Salah! Justru orang yang demikian yang paling mudah masuk dalam jebakan karena cara berpikirnya sama dengan iblis. Orientasi hidup tepat akan mendatangkan sukacita sejati karena seluruh tenaga, pemikiran kita akan terarah dengan tepat. Barang siapa mau hidup dalam Tuhan maka Tuhan pasti akan memimpin dan melindungi kita akan tetapi bukan berarti kita akan luput dari pencobaan. Tidak! Hidup di dunia kita tidak akan luput dari berbagai macam godaan tapi kalau orientasi hidup kita adalah Kristus maka kita menjadi lebih waspada dan peka terhadap segala macam godaan si iblis. Tuhan tidak mengajarkan kepada kita supaya kita lebih mementingkan hal yang rohani sehingga mengabaikan hal yang jasmani. Tidak! Justru Tuhan mengajarkan ora et labora, berdoa dan bekerja. Ketika bekerja biarlah orientasi kita bekerja itu adalah demi untuk kemuliaan nama Tuhan bukan demi egoisme diri kita. Orientasi hidup yang tepat akan mempengaruhi seluruh aspek hidup kita.
III. Menggeser Sikap Hidup
Iblis menempatkan Yesus di bubungan Bait Allah dan menantang Yesus supaya menjatuhkan dirinya sebab iblis tahu bahwa tentang Yesus ada tertulis: Ia akan memerintahkan malaikat-malaikat-Nya dan mereka akan menatang Engkau di atas tangannya, supaya kaki-Mu jangan terantuk kepada batu (Mzm. 91:11-12). Dalam hal ini, iblis sangat “rohani“. Rohani disini hanya sebatas fenomena saja. Ingat, kuasa spiritual yang ditunjukkan seseorang tidak membuktikan kerohaniannya baik; iblis dapat membuat seseorang sepertinya “rohani“ tapi bukan secara esensi tapi hanya gejala rohani belaka. Dengan licik, iblis menggoda manusia supaya jatuh dalam kesombongan rohani.
Tuhan justru mengajarkan agar kita rendah hati dan bersandar pada Allah saja karena tanpa Dia kita bukanlah apa-apa, we are nothing. Tuhan Yesus, Pencipta alam semesta rela mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia (Flp. 2:7); Tuhan Yesus tidak memakai hak ke-Allahan-Nya; Dia taat sampai mati di kayu salib. Itulah kerendahan hati sejati. Dan iblis tidak suka akan hal ini karena itu iblis menawarkan jalan pintas supaya Tuhan Yesus dikenal banyak orang dengan cepat mengenal Dia sebagai Anak Allah, yaitu dengan jalan menjatuhkan diri dari Bait Allah. Puji Tuhan, Yesus tidak masuk dalam jebakan iblis. Cara Tuhan adalah rendah hati taat pada pimpinan Tuhan. Orang yang hanya mengutamakan kesombongan diri maka ia akan sulit menerima pendapat orang lain apalagi untuk ia mau taat pada kehendak Tuhan. Kesombongan diri tersebut haruslah dihancurkan terlebih dahulu barulah orang menyadari keterbatasan dirinya dan merupakan suatu anugerah kalau Tuhan memukul karena itu berarti Tuhan masih berkenan memanggil kita untuk kembali pada-Nya. Terkadang Tuhan memakai penderitaan untuk mendidik anak-Nya untuk semakin bertumbuh. Tuhan Yesus berpuasa menunjukkan bahwa manusia terbatas; puasa bukan sarana untuk memaksakan kehendak diri sendiri pada Allah. Penyangkalan diri menjadi kunci utama taat pimpinan Tuhan.

IV. Menggeser Panggilan hidup
Iblis tidak suka melihat anak Tuhan yang hidup benar sesuai dengan Firman dan menggenapkan rencana-Nya. Dengan berbagai cara, iblis akan berusaha menjauhkan anak Tuhan dari panggilan-Nya dan mengalihkannya pada kehendak diri sendiri. Berhati-hatilah dengan akal licik si iblis yang selalu mengiming-iming kita dengan segala kenikmatan dunia yang semu. Syarat mengikut Tuhan adalah memikul salib dan menyangkal diri; dan iblis tahu bahwa syarat tersebut sangat sulit dijalankan karena itu iblis menawarkan pada manusia untuk jauh dari kehendak Tuhan dan menjalankan kehendak diri sendiri. Adalah anugerah kalau Tuhan berkenan memanggil kita dari dunia yang bergelimang dosa. Diri sendiri tidak dapat memanggil diri sendiri; lebih tepatnya bukan diri sendiri yang memanggil melainkan iblis. Untuk menjadi manusia sejati maka kita harus kembali pada Tuhan sang Pencipta. Kalau kita semakin jauh dari Tuhan maka itu menjadi kesuksesan iblis. Jadi, kesuksesan diri kita sebenarnya merupakan kesuksesan iblis. Kristus sukses menjalankan perintah Bapa-Nya sampai akhir, yaitu mati di kayu salib sehingga ia dapat berkata “Tetelestai", sudah genap. Telah tersedia bagi kita, anak-anakNya yang telah menggenapkan rencana-Nya, yaitu sebuah mahkota kebenaran.

V. Menggeser Nilai Hidup
Iblis menggeser keinginan kita dari mencintai Tuhan kepada keinginan daging yang dikuasai nafsu. Iblis membawa Tuhan Yesus ke atas gunung yang sangat tinggi lalu memperlihatkan seluruh isi dunia dan kemegahan-Nya dan semuanya itu akan diberikan kepada-Nya asal Ia mau tunduk dan menyembah padanya. Iblis memberikan dalam jumlah yang sangat besar dan kemegahan, keagungan yang berkilauan. Kuantitas dan kualitas yang demikian yang seringkali membuat manusia jatuh dalam pencobaan. Manusia kalau sudah tergoda dengan keinginan nafsu maka itu berarti awal kehancuran diri kita. Apalah artinya kita mendapatkan seluruh isi dunia kalau kita kehilangan nyawa kita. Iblis mencoba mengalihkan keinginan manusia tersebut pada hal yang bersifat duniawi, yakni keinginan untuk menjadi kaya, kemegahan dunia. Jangan sia-siakan hidupmu dan menggantinya dengan hal yang tidak layak. Biarlah kita mengarahkan hidup kita pada hal-hal yang bersifat rohani, mengejar kekudusan, dan keinginan untuk lebih mengenal kebenaran dan keadilan. Hendaklah keinginan kita adalah keinginan untuk menjadi serupa Kristus, bersekutu dalam hidup-Nya supaya bersama-sama dalam kebangkitan-Nya; keinginan untuk menggenapkan rencana-Nya di dalam hidup kita dan seluruh hidup kita hanyalah untuk menyenangkan hati Tuhan, yakni memuliakan nama-Nya.

VI. Menggeser Pengabdian
Kelima cara yang dipakai iblis tersebut sebenarnya bertujuan agar manusia menyembah pada iblis. Ibadah artinya kepala yang menunduk hingga menyentuh tanah hal ini menunjukkan pengabdian yang penuh pada obyek pengabdian kita. Kalau kita menyembah pada Tuhan maka kita adalah budak dan Tuhan adalah Tuan kita. Di seluruh alam semesta ini hanya Tuhan saja yang patut kita sembah. Manusia tidak dapat menyembah pada dua tuan. Orang yang menyembah Tuhan tetapi juga menyembah iblis maka ia adalah pezinah. Ibadah kita pada Tuhan tidak dapat dikompromikan karena itu jangan mempermainkan ibadah. Tuhan tidak mau diri-Nya diduakan tetapi sebaliknya iblis justru memperbolehkan kita menyembah pada dua tuan, yaitu iblis dan Tuhan karena iblis tahu bahwa pada akhirnya Tuhanlah yang justru akan membuang manusia. Dengan semakin jauhnya manusia dari Tuhan maka keinginan iblis telah tercapai dan hal ini berarti iblis telah sukses.

Keenam cara iblis ini muncul di sekeliling kita lalu dimanakah posisi kita? Dunia pasti mengikut the way of Satan. Kita sudah tahu akibatnya kalau kita mengikut jalan iblis, yaitu kebinasaan kekal dan memahami bahwa kalau kita mengikut jalan iblis maka seluruh tatanan hidup kita pun pasti akan dipengaruhi olehnya maka itu berarti kita telah berada pada jalur yang salah sehingga mata kita tidak akan pernah dapat melihat kebenaran. Di tengah dunia yang kacau ini biarlah kita tahu bagaimana seharusnya kita menempatkan diri sehingga kita tidak menjadi korban dari setan. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber :

Roma 2:21-24 : HUKUM ALLAH VS HUKUM MANUSIA-2

Seri Eksposisi Surat Roma :
Realita Murka Allah-13


Standar Penghakiman Allah-4 :
Hukum Allah Vs Hukum Manusia-2


oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 2:21-24.


Setelah membahas mengenai standar hukum yang orang-orang Yahudi pakai sebagai tameng untuk mengukur “superioritas” mereka, maka selanjutnya sebaliknya Allah menetapkan hukum yang sebenarnya bagi orang-orang Yahudi melalui pemaparan Paulus. Di dalam keempat ayat ini, Paulus membuka kedok kemunafikan orang-orang Yahudi yang munafik.

Ayat 21, Paulus menggunakan kata penghubung “Jadi” atau terjemahan King James Version : therefore (oleh karena itu), yang berarti ayat ini merupakan kelanjutan dan akibat dari “superioritas” hukum yang ditetapkan oleh orang-orang Yahudi yaitu kemunafikan. Di dalam ayat ini, Paulus mengatakan, “Jadi, bagaimanakah engkau yang mengajar orang lain, tidakkah engkau mengajar dirimu sendiri?” Di sini, Paulus dengan memakai otoritas hukum Allah menghakimi orang-orang Yahudi yang memutarbalikkan hukum Allah seenaknya sendiri dan menggantinya dengan hukum buatan mereka. Di dalam ayat-ayat sebelumnya, Paulus telah memaparkan “superioritas” orang-orang Yahudi yang merasa diri hebat, dapat mengajar orang lain, dll, tetapi sebenarnya mereka adalah orang-orang munafik. Mereka hanya pintar mengerti hukum Allah tanpa mengerti esensinya dan mempraktikannya. Oleh karena itu, di dalam ayat 21a ini, Paulus langsung mengaitkan antara mengajar orang lain dengan mengajar diri. Bagi Paulus, cukup mudah ketika kita mengajar orang lain, tetapi ketika dirinya mengajar dirinya sendiri, itu yang susah. Paulus adalah rasul Kristus yang patut kita teladani. Di dalam buku tentang refleksi atas Surat 1 Korintus (Ajarlah Kami Bertumbuh), Pdt. Billy Kristanto mengajarkan tentang karakter Paulus yang baik di dalam pelayanan, yaitu Paulus bukan hanya pintar berlogika dan mengajar, tetapi ia juga mengajar dirinya sendiri lebih keras. Artinya, Paulus lebih keras mengajar dirinya untuk lebih taat kepada Firman Allah daripada mengajar orang lain. Itulah orang yang berbijaksana. Di dalam pelayanan dan pertumbuhan rohani kita, seberapa berani kah kita mau dan mampu mengajar orang lain dengan terlebih dahulu mengajar diri kita sendiri. Ketika kita sudah mengajar diri kita sendiri untuk taat kepada Firman Allah, itu merupakan bukti kita sudah dewasa rohani. Setelah kita sudah mengajar diri sendiri dengan lebih keras untuk taat kepada Firman Allah, ketika kita berani mengajar orang lain, maka Pdt. Billy Kristanto mengatakan bahwa kita akan memiliki kuasa untuk itu. Ketika kita mengajar orang lain tentang sesuatu hal, marilah kita juga berkomitmen untuk menaati dan mendisiplinkan diri dalam menjalankan apa yang telah kita ajarkan kepada orang lain. Di sini saya memakai istilah progressive teaching (pengajaran yang terus-menerus) berhubungan dengan progressive spiritual growth in Christ (pertumbuhan rohani yang terus-menerus di dalam Kristus). Hal ini berlaku bagi diri kita khususnya dan bagi orang lain yang kita ajar. Rasul Yakobus juga mengingatkan kita bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati (Yakobus 2:26). Iman dan pengertian yang sejati akan Firman menghasilkan suatu tindakan yang memuliakan Allah. Tetapi sayangnya, banyak orang “Kristen” yang “no action, talk only”. Hal ini tidak berarti perbuatan menjadi penentu utama keberimanan seseorang ! Perbuatan bukan menjadi titik utama penentu iman seseorang, tetapi yang menjadi titik utama penentu iman seseorang adalah iman itu sendiri yang tidak berkontradiksi dengan dirinya dan tidak melawan Allah. Selagi Tuhan memberikan kesempatan kepada kita untuk melakukan perintah-Nya, di saat itu pulalah kita harus melakukannya bukan dengan terpaksa, tetapi dengan cinta kasih dan ketulusan hati sebagai anak-anak Tuhan yang telah ditebus oleh Kristus.

Lalu, apa yang menjadi ciri kemunafikan orang-orang Yahudi di mana mereka pandai mengajar orang lain tetapi tidak bisa mengajar diri sendiri ? Dari ayat 21b s/d 23, Paulus memaparkan empat ciri kemunafikan orang-orang Yahudi. Mari kita melihatnya satu per satu.

Kemunafikan pertama, Paulus mengatakan, “Engkau yang mengajar: "Jangan mencuri," mengapa engkau sendiri mencuri?” (ayat 21b) Terjemahan International Standard Version (ISV) dan English Standard Version (ESV) menerjemahkan “mengajar : “Jangan mencuri,”” dengan, “preach against stealing” (“berkhotbah melawan pencurian”). Ini berarti para pemimpin Yudaisme berkhotbah di atas mimbar sinagoge atau pertemuan ibadah lainnya dengan pernyataan-pernyataan yang melawan tindakan pencurian, tetapi herannya mereka sendiri tidak melakukannya alias mereka sendiri mencuri. Apa yang telah dilakukan oleh mereka ? Di dalam khotbah-Nya, Tuhan Yesus menegur dan menjelaskan dosa pencurian yang dilakukan oleh para pemimpin Yahudi, “(Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu menelan rumah janda-janda sedang kamu mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang. Sebab itu kamu pasti akan menerima hukuman yang lebih berat.)” (Matius 23:14). Mereka sebenarnya suka mencuri dengan merampas rumah para janda (terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari) tetapi anehnya agar kejahatan mereka tidak terungkap, mereka menipu dengan doa yang panjang-panjang. Dosa mereka dua kali lebih jahat dari orang-orang yang mereka sebut sebagai kafir. Bagaimana dengan kita ? Apakah kita sebagai orang Kristen juga bertindak tidak jauh berbeda dengan orang-orang Yahudi yang suka menyelimuti kejahatan dengan jubah agama ??!! Di Indonesia, orang-orang non-Kristen sudah membuktikan kemunafikan yang serupa dengan orang-orang Yahudi. Demi uang, para pejabat di Departemen Agama rela berkorupsi dan mencari keuntungan dengan program ibadah haji. Di dalam keKristenan, karena menegakkan “theologia” kemakmuran, banyak pendeta/hamba “Tuhan” gereja Karismatik/Pentakosta yang rela mencuri uang jemaatnya dengan dalih memberikan persembahan untuk Tuhan (padahal untuk memperkaya diri sang pemimpin “gereja” tersebut). Alhasil, yang menjadi kaya adalah “pendeta”/pemimpin “gereja”nya dan si jemaat tetap saja miskin. Saya mendengar cerita dari kakak sepupu saya bahwa ada orang yang berjemaat di gereja Karismatik rela menyerahkan cincinnya untuk “dipersembahkan bagi pekerjaan Tuhan” di dalam gereja tersebut, tetapi beberapa waktu kemudian orang ini melihat istri pendeta gereja tersebut memakai cincin yang telah dipersembahkannya itu. Saat melihat kejadian tersebut, orang ini kecewa. Pdt. Dr. Stephen Tong juga pernah menceritakan bahwa di Amerika, banyak pemuda/i Kristen yang rela ditipu oleh banyak pemimpin gereja Karismatik sehingga banyak dari mereka yang rela menyerahkan semua uangnya bagi gereja, alhasil sesampainya di rumah, mereka bingung dan kaget mengapa semua uangnya habis serta kecewa. Benarkah Tuhan membuat manusia kecewa ? Yang membuat manusia kecewa adalah para “pemimpin gereja” yang mengatasnamakan Tuhan menipu manusia. Hal ini mirip dengan tindakan orang-orang Yahudi. Akibatnya, ketika Tuhan Yesus melayani, banyak orang mengikut-Nya dan bukan orang-orang Yahudi, karena Tuhan Yesus bukan hanya berteori saja, Ia juga mempraktikkannya.

Kemunafikan kedua, Paulus memaparkan, “Engkau yang berkata: "Jangan berzinah," mengapa engkau sendiri berzinah?” (ayat 22a) “Berzinah” ini identik dengan menyeleweng (terjemahan King James Version, English Standard Version dan International Standard Version memakai kata “commit adultery” atau melakukan perzinahan atau penyelewengan). Berzinah ini memang adalah berzinah secara jasmani. Kata larangan “Jangan berzinah” dalam Dasa Titah atau Sepuluh Perintah Allah berkaitan dengan perzinahan di dalam pernikahan. Di dalam Perjanjian Lama, Daud dan Salomo adalah dua orang yang tadinya setia kepada Allah akhirnya berzinah dan hidup tidak kudus, tetapi bedanya, Daud masih mau mengakui dosanya dan dengan rendah hati bertobat, sedangkan Salomo tidak mau bertobat dan terus memperbanyak dosanya sehingga ia dihukum oleh Tuhan di mana kerajaannya akan dibagi-bagi. Perzinahan sebenarnya bukan hanya menyangkut hal-hal jasmaniah, tetapi juga hal-hal rohaniah. Orang-orang Israel juga melakukan tindakan zinah rohani. Para pemimpin mereka mengkhotbahkan agar jangan berzinah, tetapi ketika musuh menyerang mereka, akhirnya mereka rela menyerahkan dan mengkompromikan iman mereka (atau “melacurkan iman mereka” atau berzinah rohani) dengan menyembah ilah-ilah asing. Sehingga banyak nabi-nabi Tuhan dibangkitkan oleh-Nya untuk menegur dosa mereka. Yosua dipanggil untuk menantang orang-orang Yahudi untuk beribadah kepada Allah atau ilah-ilah asing dengan menantang para nabi baal dengan ilah-ilah mereka. Yesaya juga dipanggil oleh Allah untuk menyuarakan berita kebenaran. Begitu pula dengan Yeremia, dan para hakim yang Allah panggil, seperti Deborah, dll, tetapi bagaimana hasilnya ? Mereka bukannya bertobat, malahan makin jahat, yaitu membunuh para nabi Allah. Sehingga tidak heran Tuhan Yesus menghakimi ahli Taurat dengan perkataan yang keras, “Sebab itu, lihatlah, Aku mengutus kepadamu nabi-nabi, orang-orang bijaksana dan ahli-ahli Taurat: separuh di antara mereka akan kamu bunuh dan kamu salibkan, yang lain akan kamu sesah di rumah-rumah ibadatmu dan kamu aniaya dari kota ke kota, supaya kamu menanggung akibat penumpahan darah orang yang tidak bersalah mulai dari Habel, orang benar itu, sampai kepada Zakharia anak Berekhya, yang kamu bunuh di antara tempat kudus dan mezbah.” (Matius 23:34-35). Bagaimana dengan kita sebagai orang Kristen ? Apakah kita juga berzinah secara rohani ? Bukankah orang-orang “Kristen” duniawi selalu “melacurkan” iman mereka dengan mengkompromikan keKristenan dengan ide-ide filsafat atheis (misalnya dualisme, humanisme dan materialisme) ? Itulah bukti perzinahan rohani. Kalau di zaman Perjanjian Lama, orang-orang Israel “melacurkan” iman mereka dengan menyembah ilah-ilah asing, maka di zaman postmodern yang gila ini, orang-orang “Kristen” ditambah banyak pemimpin “gereja” (apalagi dari banyak kaum Karismatik/Pentakosta, Katolik dan Protestan mainline yang memuja “theologia” religionum/social “gospel”) juga “melacurkan” iman mereka dengan memasukkan unsur filsafat duniawi yang atheistik ke dalam keKristenan (misalnya, memasukkan unsur Gerakan Zaman Baru ke dalam keKristenan dengan munculnya ide, “Sebut dan Tuntutlah/Name it and Claim it ! yang mengajarkan bahwa apapun yang kita sebutkan pasti terjadi {kuasa perkataan}. Misalnya, seperti ajaran Yonggi Cho, kalau kita ingin mobil VW kodok, marilah kita membayangkan mobil tersebut dari warnanya, seri, harga, dll, lalu “imani” bahwa kita telah mendapatkannya.). Bukan hanya itu saja, orang-orang “Kristen” ada yang mengaku diri “melayani ‘tuhan’” tetapi herannya di dalam dunia sekuler, ia sangat anti kalau nama Tuhan disebut di dalam dunia sekuler, karena hal itu tidak ada hubungannya (alasannya religion dan science tidak ada hubungannya). Inikah iman Kristen ?! TIDAK ! Ini adalah iman atheistik praktis murni ditambah humanisme dan dualisme sebagai reaksi dari humanisme !

Kemunafikan ketiga, Paulus mengatakan, “Engkau yang jijik akan segala berhala, mengapa engkau sendiri merampok rumah berhala?” (ayat 22b). Dengan kata lain, orang-orang Yahudi yang merasa bersalah ketika berbuat dosa, tetapi herannya bukannya menjauhi, malahan mendekati dan terus-menerus melakukan dosa. Orang-orang “Kristen” di abad ini juga melakukan tindakan serupa. Mereka tahu bahwa menipu, berbohong, malas, dll itu berdosa, tetapi mereka melakukannya, mengapa ? Apakah mereka tidak tahu ? TIDAK. Mereka tahu tetapi apa yang mereka ketahui dengan yang mereka ingin jalankan/patuhi itu berbeda. Mereka hanya ingin mengetahui apa yang berdosa dan apa yang tidak, tanpa mau terlibat menjalankan apa yang mereka telah ketahui. Mereka tahu malas itu berdosa, tetapi herannya mereka tidak mau mengubah sikap malas mereka, malahan terus-menerus malas, entah itu malas membaca Alkitab, malas mempelajari Firman Tuhan, malas berdoa, dll. Mereka mengaku diri orang Kristen, tetapi herannya anti bahkan tidak ingin mempelajari iman mereka. Bukankah ini suatu ironi yang aneh ? Kalau kita memiliki pacar/pasangan, bukankah kita ingin terus-menerus mengetahui dan mengenal pasangan kita lebih dalam ? Tetapi mengapa di dalam dunia rohani, kita enggan melakukan hal yang serupa ? Mengapa kita tidak mau mengenal kebenaran lebih dalam dan melakukannya ? Mengapa kita justru lebih suka apabila keKristenan itu hanya sebagai salah satu pedoman hidup di antara banyak pedoman hidup dari dunia (filsafat dualisme, humanisme dan materialisme) ? Kalau demikian, masih layakkah kita disebut orang “Kristen” apalagi “melayani ‘tuhan’” ?! Renungkanlah hal ini.

Kemunafikan keempat, Paulus menuturkan, “Engkau bermegah atas hukum Taurat, mengapa engkau sendiri menghina Allah dengan melanggar hukum Taurat itu?” (ayat 23). Orang-orang Yahudi bersukacita karena memiliki Taurat, tetapi herannya kesukacitaan mereka bukanlah murni dari hati mereka tetapi kesukacitaan palsu. Mengapa ? Karena buktinya mereka hanya berbangga dengan memiliki Taurat, tetapi mereka tidak berbangga jika mereka ingin menaati apa yang Taurat perintahkan. Apakah kebanggaan sejati itu ? Apakah kebanggaan itu diukur dari memiliki sesuatu yang berharga saja ? TIDAK. Kebanggaan sejati diukur bukan hanya dari memiliki sesuatu yang sangat berharga tetapi juga diukur dari seberapa kita memegang teguh dan mau berkorban bagi sesuatu yang sangat berharga itu. Jika orang Kristen memiliki wahyu khusus Allah yaitu Kristus dan Alkitab, maka itu merupakan kebanggaan. Tetapi kalau orang Kristen hanya berbangga pada waktu itu saja dan tidak mau berkorban dengan memberitakan Injil, mempelajari Firman dan berperang melawan dan menantang zaman, maka kebanggaan itu belumlah sempurna. Justru kebanggaan atau kemegahan sejati diukur dari seberapa besar kita mengerti Alkitab dengan mempelajarinya dan melakukannya misalnya dengan memberitakan Injil dan kehidupan yang memuliakan Tuhan di dalam seluruh aspek hidup kita. Paulus mengajarkan, “Jadi dalam Kristus aku boleh bermegah tentang pelayananku bagi Allah.” (Roma 15:17) Di dalam 1 Korintus 1:31, Paulus juga mengajarkan, “Karena itu seperti ada tertulis: "Barangsiapa yang bermegah, hendaklah ia bermegah di dalam Tuhan."” Kebanggaan sejati didapat hanya di dalam Tuhan, yaitu ketika mengerti dan melakukan Firman Tuhan di dalam hidup kita, bukan di dalam ukuran duniawi yang fana ini.

Sebagai kesimpulan, Paulus menuliskan, “Seperti ada tertulis: "Sebab oleh karena kamulah nama Allah dihujat di antara bangsa-bangsa lain."” Hal ini paralel dengan Yesaya 52:5, di mana bangsa-bangsa lain menghujat Allah. Mengapa ? Apakah karena mereka tidak mengenal Allah ? Itu bisa terjadi, tetapi intinya adalah karena mereka melihat tindakan orang-orang Yahudi yang tidak berbeda dengan bangsa mereka. Mereka melihat orang-orang Yahudi juga ikut-ikutan menyembah ilah-ilah lain dan ketika berperang, bangsa Israel kalah. Pada zaman itu, ketika ada peperangan antar bangsa, Allahnya juga ikut berperang. Ketika suatu bangsa itu kalah, maka “Allah”nya juga ikut-ikutan dicemooh. Nah, pada waktu itu bangsa Israel tertawan di negeri orang, dan Israel mendapat cemoohan dari mereka. Secara otomatis, Allah Yehovah juga dicemooh. Mengapa orang-orang Israel tertawan ? Karena mereka tidak setia kepada Allah. Mereka hanya mau mendengarkan ajaran-ajaran yang menyenangkan telinga mereka ketimbang mendengar kebenaran. Bagaimana dengan kita sebagai orang Kristen ? Apakah kita juga tidak jauh berbeda dengan orang-orang Yahudi yang tidak setia lalu akhirnya dihukum Tuhan dan akhirnya nama Tuhan dipermalukan karena kita ? Kesetiaan atau ketidaksetiaan kita sangatlah berpengaruh. Ketika kita setia kepada Tuhan, orang luar akan melihat kita dan akhirnya jika Roh Kudus menggerakkannya, orang itu akan kembali kepada Kristus, karena orang ini melihat bahwa di tengah ancaman, penderitaan dan godaan yang berat, kita masih tetap setia kepada Tuhan. Tetapi jika kita tidak setia kepada Tuhan, orang luar pun akan melihat kita dan alhasil, orang ini malahan mengutuk Tuhan karena bagi orang ini, tindakan kita tidak jauh berbeda dengan tindakan mereka yang masa bodoh dengan dosa dan bahkan melakukan dosa itu sendiri.Setelah kita merenungkan empat ayat ini, sadarkah kita tentang pembongkaran dari hukum Allah terhadap konsep kita yang selama ini berdosa dan anehnya kita anggap “hebat” dan “pandai” ?! Maukah kita hari ini bertobat dengan merombak total pemikiran kita yang najis ini dan kembali kepada Kristus dengan men-Tuhan-kan Kristus di dalam hidup kita sehingga orang luar dapat melihat apa yang kita imani, pikirkan dan lakukan lalu atas dorongan Roh Kudus, orang itu dapat kembali kepada Kristus ?! Soli Deo Gloria. Amin.

Resensi Buku-19 : KATEKISMUS SINGKAT WESTMINSTER-1 (Rev. G. I. Williamson, B.D.)

...Dapatkan segera...
Buku
KATEKISMUS SINGKAT WESTMINSTER-1
(THE SHORTER CATECHISM-1)

oleh : Rev. G. I. Williamson, B.D.

Penerbit : Momentum Christian Literature (Fine Book Selection), 2006

Penerjemah : The Boen Giok.





Katekismus Singkat Westminster adalah suatu bahan katekisasi yang dipersiapkan oleh sekelompok orang yang tergabung dalam sinode Westminster di kota London (diselesaikan pada tahun 1647). T. F. Torrance menyebut Katekismus Singkat ini sebagai “salah satu dokumen yang agung dan sangat luar biasa dalam sejarah theologi Kristen.” Katekismus ini diterima oleh berbagai kalangan gereja dan menjadi salah satu bahan katekisasi yang paling banyak digunakan oleh gereja-gereja Protestan.

G. I. Williamson telah menguraikan makna pertanyaan dan jawaban dalam Katekismus Singkat Westminster ini dengan sangat jelas. Dalam Katekismus Singkat Westminster-1 ini secara khusus akan dibahas mengenai Allah (natur-Nya, ketetapan-Nya, karya-Nya), manusia dan kejatuhannya dalam dosa, Kristus dan karya penebusan-Nya, serta penerapan penebusan oleh Roh Kudus dalam diri umat pilihan (ordo salutis). Setiap bab dilengkapi dengan sejumlah pertanyaan yang dapat dipakai sebagai bahan analisis maupun diskusi, dan karenanya, manual ini sangat bermanfaat bagi pemahaman Alkitab pribadi maupun kelompok.






Profil Rev. G. I. Williamson :
Rev. G. I. Williamson, B.D. meraih gelar Bachelor of Divinity (B.D.) dari Pittsburgh-Xenia Theological Seminary. Beliau adalah pendeta yang telah melayani di berbagai jemaat Reformed dan Presbiterian di Amerika Utara, dan saat ini melayani di Reformed Churches of New Zealand dan Orthodox Presbyterian Church. Menjelang usia pensiunnya, Williamson tetap menjadi editor untuk Ordained Servant, jurnal yang diterbitkan oleh Orthodox Presbyterian Church untuk para gembala sidang, penatua, dan diaken. Karya lainnya yang diterbitkan oleh Penerbit Momentum adalah Katekismus Singkat Westminster (2 jilid).