15 September 2010

EKSPOSISI 1 KORINTUS 8:7 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 8:7

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 8:7



Bagian ini merupakan respons yang lain dari Paulus terhadap persoalan makan makanan persembahan berhala di kuil (8:1a, 4a, 10). Di beberapa bagian sebelumnya Paulus sudah memberikan respons bahwa dasar tingkah laku Kristiani terutama adalah kasih, bukan pengetahuan (8:1b-3). Ia juga sudah menjelaskan bahwa para berhala tidak eksis dalam arti sebagai allah, karena hanya ada satu Allah dan Tuhan yang benar (8:4-6). Jika Bapa dan Yesus adalah sumber segala sesuatu, maka doktrin ini sudah sepantasnya diresponi dengan sikap hidup yang terfokus pada Allah, bukan kenyamanan diri sendiri seperti yang dilakukan oleh jemaat Korintus.

Di 8:7 Paulus memberikan respons dengan dua tujuan. Pertama, mengoreksi pandangan jemaat Korintus di 8:1a. Mereka meyakini bahwa semua orang memiliki pengetahuan, sekarang Paulus menunjukkan bahwa tidak semua memiliki pengetahuan seperti itu. Kedua, menerangkan dampak negatif bagi orang lain akibat pengetahuan semacam itu. Kalau di 8:1b Paulus sudah menyinggung dampak negatif bagi orang yang berpengetahuan (ia menjadi sombong), sekarang ia memfokuskan dampak itu pada orang lain.

Alur pemikiran Paulus di 1 Korintus 8:7 dapat diterangkan sebagai berikut: ia mula-mula menegaskan bahwa tidak semua orang memiliki pengetahuan (7:a). Orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan ini adalah mereka yang masih terikat dengan berhala-berhala (7b), sehingga ketika mereka makan di kuil mereka makan sebagai persembahan berhala (7c). Mereka yang tidak memiliki pengetahuan ini juga adalah mereka yang hati nuraninya lemah (7d), sehingga hati nurani itu dinodai oleh tindakan orang-orang yang berpengetahuan (7e).


Tidak Semua Memiliki Pengetahuan (ay. 7a)
Seperti sudah disebutkan di awal, bagian ini merupakan koreksi terhadap pandangan jemaat di 8:1a. Ternyata tidak semua orang memiliki pengetahuan theologis yang sama. Siapakah mereka yang tidak berpengetahuan ini? Paulus tidak menyebut mereka sebagai orang bodoh. Paulus lebih memilih untuk memakai sebutan “orang yang [hati nurani]nya lemah”. Sebutan ini selanjutnya dipakai secara konsisten di pasal 8 (ay. 7, 9, 10, 11, 12).

Apakah orang ini adalah orang Kristen atau tidak? Jika mereka memang orang percaya, mengapa mereka tidak memahami pengetahuan mendasar tentang keesaan Allah (8:4)? Terlepas dari persoalan yang mungkin ditimbulkan, konteks memberi petunjuk yang sangat jelas bahwa mereka memang orang Kristen. Paulus menyebut mereka sebagai saudara [seiman] dan sudah menerima karya penebusan Kristus (8:11-12). Penjelasan di atas membawa kesulitan tersendiri bagi para penafsir, karena orang Kristen seharusnya sudah mengerti tentang keesaan Allah. Doktrin dasar ini pasti mendapat penekanan serius dalam khotbah para rasul, karena orang-orang non-Yahudi memang sangat lekat dengan politeisme. Kalau begitu, bagaimana bisa mereka tidak mengetahui hal ini? Sebagian penafsir mencoba memahami ungkapan “pengetahuan itu” di ayat ini sebagai pengetahuan secara afektif (hati). Maksudnya, secara kognitif (intelek) semua jemaat Korintus memang sudah tahu tentang keesaan Allah, tetapi sebagian dari mereka secara emosional masih belum bisa mengaplikasikan hal itu sepenuhnya. Mereka masih belum mampu membebaskan diri sepenuhnya dari perasaan-perasaan tertentu tentang para dewa (sama seperti sebagian besar orang Kristen Indonesia yang pengetahuan theologisnya belum matang masih merasakan nuansa mistis tertentu jika dekat dengan pohon beringin atau kuburan, walaupun secara kognitif mereka meyakini perlindungan khusus dari Allah bagi mereka).

Pandangan di atas memang menarik dan menjadi pandangan mayoritas penafsir. Bagaimanapun, pengamatan teliti akan menunjukkan kelemahan pandangan ini. Yang sedang dipersoalkan adalah “pengetahuan itu” (8:7a). Konteks memberi dukungan yang cukup untuk memahami pengetahuan ini secara kognitif. Pengetahuan yang diklaim oleh sebagian jemaat Korintus (8:1a) memang sebatas pengetahuan intelektual, bahkan mereka pun tidak menyadari implikasi praktis dari pengetahuan itu bagi hidup mereka (bdk. 8:6). Ungkapan “pengetahuan itu” jelas merujuk pada pengetahuan intelektual semacam ini.

Argumen lain untuk pengetahuan secara intelektual di sini adalah bahaya yang bisa ditimbulkan pada mereka yang lemah. Paulus tidak hanya membicarakan tentang ketidaknyamanan secara emosional yang akan dialami oleh mereka yang lemah, namun ia sungguh-sungguh serius memberi peringatan tentang kebinasaan mereka (8:7c, 10, 11; bdk. 10:19-21). Peringatan serius ini menyiratkan kekuatiran Paulus bahwa konsep theologis orang-orang yang lemah ini bisa berubah. Mereka mungkin akan kembali pada konsep lama mereka sebagai penyembah berhala.


Masih Terikat Pada Berhala-berhala (ay. 7b)
Pada bagian ini Paulus memberi informasi bahwa orang-orang yang lemah masih terikat dengan berhala-berhala. Beberapa orang menganggap hal ini tidak mungkin terjadi jika mereka sudah menjadi orang Kristen (8:11-12). Tidak heran mereka mencoba memahami ayat 7b dengan cara yang berbeda. Menurut mereka keterikatan ni terjadinya dahulu waktu belum menjadi Kristen. Terjemahan ESV “through former association with idols” tampaknya menyiratkan pandangan seperti ini.

Pandangan seperti ini tidak tepat. Dalam teks Yunani ada frase “sampai sekarang” (heōs arti), sehingga menunjukkan bahwa keterikatan ini masih terjadi (NASB/NRSV/KJV). Bagian lain bahkan menunjukkan bahwa jemaat yang berpengetahuan pun masih pergi ke kuil (8:10). Hal ini sesuai dengan kultur Korintus yang dipenuhi dengan berbagai macam kuil dan penerimaan penduduk Korintus yang relatif “positif” terhadap orang-orang Kristen (orang percaya tidak dianiaya). Sebagian jemaat mencoba menjalin relasi dengan orang-orang kafir dengan cara bergaul dengan mereka (bdk. 15:12, 33), termasuk ikut pergi ke kuil (8:10). Praktik seperti inilah yang disebut Paulus “terikat dengan berhala”. Dalam teks Yunani secara hurufiah berarti “dalam kebiasaan berhala”. Sejauh mana mereka terlibat di dalam penyembahan berhala tergantung pada tingkat pengetahuan theologis mereka. Di bagian selanjutnya Paulus akan menerangkan perbedaan signifikan antara orang yang berpengetahuan dan yang hati nuraninya lemah, walaupun mereka sama-sama makan di kuil (8:7c-e). Yang tahu bahwa berhala tidak eksis akan makan daging persembahan berhala sebagai makanan biasa, sedangkan bagi yang lemah nuraninya menganggap makanan itu memiliki nilai lebih daripada sekadar makanan.


Makan Sebagai Makanan Berhala (ay. 7c)
Mereka yang tidak tahu dengan benar bahwa berhala-berhala itu tidak eksis (bdk. 8:4) akan berpikir bahwa berhala-berhala itu mungkin ada, bahkan dalam acara makan di kuil. Hal ini sangat mungkin terjadi karena bagi orang kuno makan bersama di suatu tempat ibadah merupakan bagian penting dalam ibadah tersebut. Jemaat Korintus yang berpengetahuan hanya berpikir bahwa mereka makan biasa seperti di tempat lain, karena mereka tahu bahwa para berhala tidak eksis. Jemaat yang hati nuraninya lemah memperlakukan acara makan makanan di kuil ini sebagai bagian penting dalam ritual. Bagi mereka tindakan ini memiliki nilai sakral tertentu.

Hal ini mungkin dapat diterangkan seperti orang Kristen KTP yang hanya sekali-kali pergi ke gereja. Walaupun mereka tidak sungguh-sungguh percaya, namun bagi mereka acara di gereja tetap mengandung makna sakral tertentu, terutama elemen-elemen ibadah tertentu yang mereka anggap memiliki nilai lebih, misalnya sakramen perjamuan kudus. Bagi orang- orang seperti ini ibadah tetap bernuansa sakral, sekalipun secara intelektual mereka tidak percaya pada kehadiran Allah di tempat itu.

Apakah bagian ini memberi ijin bagi orang-orang Kristen untuk makan di kuil sejauh hal itu disertai dengan pemikiran bahwa berhala tidak eksis? Tetap tidak boleh! Paulus nanti akan menunjukkan kesalahan dari tindakan ini. Tindakan ini berpotensi menodai hati nurani orang lain (8:7e). Orang lain akan tersandung, terpengaruh dan bahkan binasa jika mereka terus seperti itu (8:8-13). Di pasal 10 nanti Paulus juga menegaskan bahwa tindakan tersebut sama saja dengan penyembahan berhala, karena makan bersama di kuil adalah bagian penting dalam ibadah itu.


Hati Nurani Lemah (ay. 7d)
Paulus tidak hanya menyebut mereka yang tidak berpengetahuan sebagai “terikat pada [dalam kebiasaan] berhala” (ay. 7b), tetapi mereka juga memiliki hati nurani (syneidēsis) yang lemah. Apa yang dimaksud dengan syneidēsis? Kata ini sangat penting dalam pembahasan di 1 Korintus 8-10, karena dari 20x pemunculan kata ini di seluruh tulisan Paulus, 8 di antaranya ada di pasal 8-10. Kata syneidēsis merujuk pada pertimbangan moral dalam diri setiap manusia (Rm. 2:14-15). Sebagian theolog menyamakan ini dengan hukum moral dalam hati manusia, sedangkan yang lain menganggap syneidēsis sebagai patokan untuk mengikuti hukum moral itu. Apapun yang benar, maksud Paulus sudah cukup jelas. Syneidēsis merujuk pada kemampuan untuk menilai benar atau tidaknya satu tindakan. Walaupun Allah pada mulanya memberikan syneidēsis yang sangat baik, namun dosa membuat semuanya berubah. Alkitab mengajarkan hal ini dengan jelas. Ungkapan “hati nurani yang murni” (Kis 23:1; 24:16) menyiratkan ada hati nurani yang sudah tidak murni lagi. Hati nurani orang Kristen perlu disucikan oleh darah Kristus (Ibr. 9:14). Ungkapan “hati nurani lemah” yang dipakai berulang-ulang di 1 Korintus 8 (ay. 7, 9, 10, 11, 12) juga memberi dukungan bahwa hati nurani manusia tidak lagi baik.

Ada banyak hal yang bisa mempengaruhi hati nurani: konsep seseorang, didikan keluarga, norma masyarakat, dsb. Salah satu yang dibahas oleh Paulus di sini adalah kebiasaan. Dalam teks Yunani terdapat permainan kata antara “kebiasaan” (synētheia, ay. 7b) dengan “hati nurani” (syneidēsis, ay. 7d). Jika kita terus-menerus melakukan suatu hal yang salah, maka hati nurani kita lama-lama akan kebal dengan hal tersebut. Kita tidak lagi merasa bersalah ketika melakukan hal itu.

Apa maksud “lemah” di ayat ini? Beberapa penafsir memahami lemah di sini secara ekonomi (orang miskin dahulu cenderung dianggap orang yang lemah). Menurut pandangan ini orang-orang miskin sangat sulit mendapatkan daging karena harganya yang mahal. Cara termudah dan termurah untuk makan daging adalah pergi ke kuil dan makan di sana. Walaupun sangat menarik, pendapat ini sebaiknya ditolak karena konteks tidak memberi petunjuk apapun tentang ekonomi.

Sebagian penafsir yang lain melihat orang yang lemah ini sebagai orang-orang Yahudi yang masih terpengaruh dengan konsep makanan haram-najis. Argumen yang diajukan adalah Roma 14:1-23 yang sama-sama membahas tentang makanan. Beberapa kata kunci di 1 Korintus 8 juga muncul di teks itu, misalnya “lemah” (14:2), “hidup untuk Tuhan” (14:8), “hidup berdasarkan kasih” (14:15). Pendapat ini juga sebaiknya ditolak. Isu yang dibahas di dua teks tersebut sangat berbeda. Paulus pun tidak memakai kata “lemah hati nurani” di sana, melainkan “lemah iman” (14:2).

“Lemah hati nurani” sebaiknya dimengerti sebagai ketidakmampuan moral untuk menilai suatu tindakan. Untuk orang yang tidak memiliki pengetahuan theologis yang memadai, kelemahan hati nurani memang lebih sering terjadi, karena hati nurani dipengaruhi oleh konsep seseorang tentang kebenaran. Mereka yang belum tahu dengan benar atau lengkap bahwa berhala-berhala sebenarnya tidak ada pasti mengalami kesulitan untuk membuat penilaian yang benar.


Hati Nurani Dinoda (ay. 7e)
Orang yang hati nuraninya lemah sangat rentan terhadap pengaruh dari luar. Hati nurani mereka dapat dinodai (molynō). Kata ini hanya muncul 3x dalam PB dan selalu mengandung makna negatif, yaitu mencemarkan (Why 3:4; 14:4). Penggunaan kata ini di 1 Korintus 8:7 menunjukkan bahwa pengaruh yang diterima juga negatif. Tindakan makan di kuil yang dlakukan oleh orang-orang yang mengaku berpengetahuan pasti sangat berpengaruh pada mereka yang hati nuraninya lemah. Kalau yang tahu theologi saja melakukan hal tersebut, maka orang-orang lain akan dikuatkan untuk melakukan kesalahan yang sama (8:10). Celakanya, sebagai orang yang tidak memiliki pengetahuan theologis, mereka makan dengan konsep yang berbeda dengan mereka yang tahu. Jika ini terus dilakukan maka hati nurani mereka bukan hanya lemah (tidak bisa membedakan, ayat 7d) tetapi sudah menjadi cemar (ay. 7e). Mereka tidak lagi menganggap hal itu sebagai sebuah kesalahan. Situasi ini jika terus berlanjut pasti akan membawa kebinasaan (8:11).

Hati nurani yang ternoda bisa diumpakan seperti sebuah kompas. Kompas selalu merujuk pada arah utara. Jika daya magnet di kompas itu dihilangkan, maka jarum kompas tidak akan mampu menunjuk arah utara dengan tepat. Begitu pula yang akan terjadi jika kompas itu didekatkan dengan sebuah medan magnet yang jauh lebih kuat. Kompas akan kehilangan fungsinya sebagai penunjuk arah. Itulah gambaran dari hatu nurani yang lemah dan dipengaruhi oleh kekuatan lain yang buruk dan lebih kuat.

Berdasarkan penjelasan ini kita diingatkan untuk terus-menerus menjaga hati nurani kita yang sudah disucikan oleh darah Kristus (Ibr. 9:14). Kita memang hidup di dunia yang kotor dan sangat kuat mempengaruhi arah moralitas kita. Kita seringkali sulit menilai sesuatu dengan benar. Kita bahkan tidak jarang menjadikan kekotoran sistem yang ada sebagai pembenaran untuk tindakan kompromi yang kita lakukan. Jika ini terjadi, maka hati nurani kita bukan hanya lemah, tetapi sudah kotor. Marilah kita tekun membaca Alkitab sebagai patokan kebenaran. Kita juga perlu segera memohon ampun dengan sungguh-sungguh atas setiap kesalahan kita, walaupun kesalahan itu tidak terhindarkan dalam sebuah dunia yang sudah sedemikian kotor. Dengan jalan demikian hati nurani kita akan terus terjaga. Soli Deo Gloria. #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 10 November 2009
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2008%20ayat%2007.pdf