17 May 2012
Bagian 3: Alkitab: Cukup dan Jelas (Denny Teguh Sutandio)
APAKAH ALKITAB ITU?
Bagian 3: Alkitab: Cukup dan Jelas
oleh:
Denny Teguh Sutandio
Karena
Alkitab diwahyukan Allah dan berotoritas, maka secara otomatis, sebagai orang
Kristen yang sungguh-sungguh, maka Alkitab itu sudah cukup dan jelas sebagai
standar iman dan praktik hidup Kristen. Di sini, kita belajar sifat Alkitab
ketiga, yaitu kecukupan dan kejelasan Alkitab.
A.
Alkitab: Cukup
Karena
Alkitab diwahyukan Allah dan berotoritas, maka sifat Alkitab yang perlu kita
perhatikan adalah Alkitab itu cukup menjadi sumber kebenaran. Kecukupan Alkitab
ini berarti:
1.
Hanya Alkitab
Salah satu
semboyan dari reformator, Dr. Martin Luther adalah: Sola Scriptura (hanya Alkitab). Artinya, Alkitab sajalah yang harus
menjadi pedoman dan sumber kebenaran iman Kristen. Ketika kita ingin membangun
doktrin Kristen, kembalilah kepada Alkitab, jangan kepada filsafat, psikologi,
dll. Ketika kita ingin membangun etika Kristen yang sehat, kembalilah kepada
Alkitab. Biarlah Alkitab sebagai sumber sekaligus penghakim bagi iman, praktik,
dan seluruh aspek kehidupan orang Kristen.
2.
Tidak Perlu Sumber-sumber Lain
“Hanya
Alkitab” mengarahkan kita untuk mengambil langkah kedua yaitu tidak perlu
sumber-sumber lain untuk melengkapi iman Kristen. Jangan salah mengerti bagian
ini. Saya tidak mengatakan bahwa kita tidak boleh belajar banyak hal. Kita
tentu saja boleh belajar banyak hal, tetapi hal-hal yang kita pelajari
hendaklah TIDAK boleh melengkapi iman Kristen yang dibangun di atas dasar
Alkitab. Misalnya, apakah kita boleh mempelajari kitab-kitab Kong Hu Cu? Tentu
saja boleh. Saya mengoleksi kumpulan kitab filsafat baik dari Kong Hu Cu maupun
Lao Tze. Saya sendiri membeli 2 buku dalam bahasa Inggris dan Indonesia yang
membahas agama Budha. Saya adalah seorang yang senang belajar agama-agama lain
di luar Kekristenan, namun hal-hal tersebut tetap menjadi wacana studi saja,
jangan sampai hal-hal tersebut menjadi pelengkap iman Kristen atau bahkan
perombak iman Kristen.
3.
Alkitab Di Atas Tradisi, Pengalaman, Dogma, Ilmu, Agama,
Filsafat, dll
Kita boleh
mempelajari filsafat, agama, tradisi, ilmu, bahkan dogma gereja di mana kita
berbakti, namun hendaklah hal-hal tersebut tidak mengikat kita atau
menggantikan otoritas Alkitab dalam iman Kristen. Di sini, kita menyimpulkan
bahwa otoritas Alkitab harus berada di atas semua hal yang kita pelajari.
Artinya, Alkitab menjadi pemimpin sekaligus penghakimi hal-hal yang kita
pelajari. Jika hal-hal yang kita pelajari melawan prinsip Alkitab, kita harus
berani membuangnya, meskipun hal tersebut laris di dunia ini,[1] namun jika
hal-hal yang kita pelajari sesuai dengan prinsip Alkitab, kita harus
mempelajarinya.
Di sinilah
perbedaan antara paham Sola Scriptura
dengan Solo Scriptura. Orang Kristen
yang berpaham Sola Scriptura adalah
mereka yang menjadikan Alkitab sebagai satu-satunya sumber kebenaran yang
melebihi semua tradisi, ilmu, pengalaman, agama, filsafat, dogma, dll. Ini
berarti mereka bukan anti tradisi, pengalaman, dogma, ilmu, filsafat, agama,
dll, tetapi mereka menempatkan Alkitab di atas semua hal tersebut. Hal ini bisa
kita perhatikan dari para reformator mulai dari Dr. Martin Luther dan Dr. John
Calvin. Sebagai penerus Luther, Dr. John Calvin mengutip pendapat-pendapat dari
para bapa gereja seperti Augustinus, dll di dalam bukunya yang terkenal: Institutes of the Christian Religion.
Tidak ada salahnya kita mengikrarkan Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman
Nicea-Konstantinopel, Pengakuan Iman Chalcedon; berpegang pada: Pengakuan Iman
Westminster, Katekismus Heidelberg, dll, namun semuanya itu harus berada di bawah
Alkitab. Alangkah lucunya jika ada orang Kristen yang hafal Pengakuan Iman
Westminster, namun tidak mengerti isi dari Yohanes 14:6.
Sedangkan
orang Kristen yang berpandangan Solo
Scriptura memiliki pandangan ekstrem bahwa karena hanya Alkitab saja menjadi
sumber kebenaran, lalu mereka tidak mau belajar pengakuan iman, sejarah gereja,
buku-buku theologi, buku-buku sekuler, dll, sehingga mereka terjebak ke dalam
fundamentalisme naif.
B.
Alkitab: Jelas
Mengapa
kita percaya bahwa Alkitab sudah cukup menjadi standar kebenaran? Karena kita
percaya bahwa Alkitab itu jelas isinya menyatakan karya sekaligus kehendak
Allah bagi umat-Nya. Apa artinya?
1.
Kejelasan Alkitab Mengakibatkan Orang-orang Kristen Biasa
Mampu Menangkap Apa yang Alkitab Katakan
Karena
Alkitab jelas mengajar karya dan kehendak Allah bagi umat-Nya, maka siapa pun
akan mengerti firman Allah di dalam Kejadian 1:1 berikut ini, “Pada mulanya
Allah menciptakan langit dan bumi.” Tidak perlu
eksegesis PL dan bahasa Ibrani yang rumit untuk mendapatkan pengertian Kejadian
1:1 ini, karena terjemahan LAI saja sudah jelas mengajar orang-orang Kristen
awam yang tak berpendidikan tinggi bahwa alam semesta ini diciptakan oleh
Allah. Demikian juga firman Kristus di Yohanes 3:16 ini, “Karena begitu
besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang
tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan
beroleh hidup yang kekal.” Kedua nats PL dan PB ini sudah jelas mengatakan karya dan
kehendak Allah bagi kita.
Karena
kejelasan Alkitab ini mengakibatkan orang awam pun bisa memahaminya, maka tidak
heran, Alkitab PL dan PB mengatakan agar umat-Nya mengajarkan firman-Nya kepada
anak-anak mereka.[2]
Di PL, Allah sendiri berfirman,
4Dengarlah, hai
orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!
5Kasihilah TUHAN,
Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap
kekuatanmu.
6Apa yang
kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan,
7haruslah engkau mengajarkannya
berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di
rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan
apabila engkau bangun.
Dari empat
ayat di atas, kita belajar bahwa orang Israel dan kita juga harus memiliki pengakuan
iman yang beres (ay. 4) yang disusul dengan aplikasi praktisnya yaitu mengasihi
Allah dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi (ay. 5). Pengakuan iman dan
aplikasi praktis ini harus diperhatikan dan diajarkan oleh orangtua Israel
kepada anak-anak mereka secara berulang-ulang. Caranya? Dengan membicarakannya
ketika anak-anak mereka sedang duduk di rumah, dalam perjalanan, berbaring, dan
bangun (ay. 7).
Perintah
ini diulangi lagi oleh Rasul Paulus di dalam Efesus 6:4, “Dan kamu,
bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi
didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.”
Selain
untuk dimengerti dan diajarkan kepada anak-anak, firman Tuhan juga perlu
direnungkan siang dan malam. Pemazmur mengajar kita,
1Berbahagialah
orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di
jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh,
2tetapi yang kesukaannya ialah Taurat
TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam.
Karena
firman Tuhan jelas dimengerti, di dalam PB pun, Kristus berulang kali mengutip
kitab-kitab PL, misalnya, “Kata Yesus kepada mereka: "Belum pernahkah
kamu baca dalam Kitab Suci: Batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan telah
menjadi batu penjuru: hal itu terjadi dari pihak Tuhan, suatu perbuatan ajaib
di mata kita.” (Mat. 21:42) Dokter Lukas mencatat firman Kristus lainnya,
“Sebab Aku berkata
kepada kamu, bahwa nas Kitab Suci ini harus digenapi pada-Ku: Ia akan terhitung
di antara pemberontak-pemberontak. Sebab apa yang tertulis tentang Aku sedang
digenapi."” (Luk. 22:37)
2.
Kejelasan Alkitab Tidak Berarti Semuanya Pasti Jelas
Meskipun
Alkitab itu jelas isinya dan semua orang bahkan orang non-Kristen pun dapat
membacanya, namun perlu diperhatikan bahwa kejelasan Alkitab tidak berarti
semuanya pasti jelas. Artinya, Alkitab itu jelas dimengerti dengan bahasa
manusia oleh semua manusia, namun Alkitab jelas dimengerti dan kemudian diimani
hanya oleh umat pilihan-Nya. Di sini, kita belajar bahwa meskipun Alkitab jelas
dimengerti oleh semua orang tanpa kecuali, namun hanya umat pilihan-Nya yang
sanggup mengerti dan mengimani isi Alkitab yang jelas tersebut. Pertanyaan
selanjutnya, mengapa? Apakah karena umat pilihan-Nya lebih pandai dari mereka
yang bukan termasuk umat pilihan? Tidak. Mengerti dan mengimani kejelasan
Alkitab bukan sekadar masalah intelektualitas, tetapi masalah kerohanian. Rasul
Paulus mengatakan hal ini di dalam 1 Korintus 2:14-15,
14Tetapi manusia duniawi tidak menerima apa
yang berasal dari Roh Allah, karena hal itu baginya adalah suatu kebodohan; dan
ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani.
15Tetapi manusia rohani menilai segala
sesuatu, tetapi ia sendiri tidak dinilai oleh orang lain.
Dengan
kata lain, mereka yang bukan termasuk umat pilihan atau istilah Paulus:
“manusia duniawi” hanya mampu memahami isi Alkitab dengan pengertian manusia
yang berdosa, sehingga jangan heran, mereka menghina salib Kristus. Mengapa?
Paulus menjawabnya, “Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah
kebodohan bagi mereka yang akan binasa, …” (1Kor. 1:18) Dari prinsip ini, kita
belajar bahwa kejeniusan seseorang tidak menjamin bahwa ia dapat memahami
kejelasan Alkitab secara menyeluruh, karena orang yang jenius mungkin saja
jenius dalam hal-hal duniawi, namun tidak dalam hal-hal rohani. Jangan heran,
ketika orang-orang non-Kristen mencaci maki Alkitab dengan menuduh Alkitab,
khususnya Injil, itu palsu, dll melalui berbagai argumentasi yang terlihat
“logis” dengan mengutip ayat-ayat Alkitab, sebenarnya mereka tidak pernah
mengerti Alkitab secara tuntas, karena mereka hanya mengerti Alkitab hanya
sebatas tulisan.
Selain
masalah kerohanian, banyak orang non-Kristen tidak mampu menangkap isi Alkitab
yang jelas ini disebabkan karena mereka sebenarnya tidak mau mengerti Alkitab
dengan perspektif Alkitab. Artinya, orang-orang non-Kristen hanya mau mengerti
Alkitab melalui perspektif mereka yang non-Kristen, sehingga jangan heran,
mereka mengajukan kembali pertanyaan-pertanyaan “klise” yang sudah ditanyakan
berpuluh-puluh tahun dan sudah dijawab, misalnya, “Di Alkitab, ayat mana yang
mengatakan bahwa Yesus adalah Tuhan?”, “naskah Injil di dalam Alkitab itu
palsu”, dll. Di dalam pola pikir mereka, Alkitab harus dipahami dalam
perspektif agama mereka. Namun fakta mengatakan bahwa ketika mereka mendekati
Alkitab dengan pola pikir agama mereka (yang tentunya di luar konteks Alkitab),
tafsiran mereka benar-benar aneh. Mereka mencomot satu ayat dari Alkitab entah
itu PL maupun PB, lalu menafsirkannya sesuai dengan perspektif agama mereka,
tanpa memperhatikan konteks aslinya.
Hal ini
mirip seperti orang Indonesia yang tinggal di Amerika Serikat. Karena baru
beberapa hari tinggal di Amerika, orang Indonesia ini tidak terlalu menguasai
hukum atau peraturan lalu lintas di Amerika, sehingga ketika ia melanggar lalu
lintas misalnya dengan melawan arus jalan (jalan yang harus dilalui satu arah,
tetapi si pengendara mengendarainya dari arah berlawanan) dan ia ditilang oleh
polisi setempat, maka ia akan memberontak dan melawan polisi, seolah-olah
polisi Amerika disamakan dengan polisi di Indonesia. Makin ia marah-marah
dengan polisi Amerika, ia makin diperkarakan di meja hijau. Persis seperti
itulah orang non-Kristen yang memperlakukan Alkitab. Mereka tidak mengerti
bagaimana cara menafsirkan Alkitab, tetapi sok tahu menafsirkan Alkitab dengan
perspektif agama non-Kristen. Bukankah ini suatu keanehan cara berpikir?
3.
Kejelasan Alkitab dan Pentingnya Penafsiran Alkitab
Dari poin
2 di atas, maka kita menyimpulkan bahwa alasan beberapa orang non-Kristen tidak
mengerti isi Alkitab yang jelas adalah alasan rohani sekaligus alasan
presuposisi. Jika karena alasan rohani, saya bisa memaklumi alasan orang
non-Kristen tidak mengerti Alkitab, namun jika karena alasan presuposisi yang
terlalu dipaksakan, bagi saya, orang seperti itu bukan tidak mengerti, tetapi
TIDAK MAU mengerti, karena modal “logika” yang dipunyainya adalah “pokoknya.”
Orang model ini tidak ada bedanya dengan anak kecil yang ketika jatuh
tersandung meja, di mana tentu saja meja yang disalahkan si anak ini. Meja di
mana tetap meja, kebenaran Alkitab tetap kebenaran Alkitab, manusia yang salah,
ya logika sehatnya adalah manusia yang disalahkan, tetapi yang terjadi: Alkitab
yang disalahkan karena tidak sesuai dengan manusia. Suatu kelucuan dan keanehan
cara berpikir dari orang yang mengaku diri “pandai” dan “memiliki rasio.”
Dari
prinsip di atas, kita belajar bahwa meskipun isi Alkitab jelas, namun Alkitab
juga bisa disalah tafsirkan. Oleh karena itu, kita perlu mengerti bagaimana
menafsirkan Alkitab yang tepat, sehingga kita sebagai orang Kristen tidak
ikut-ikutan konyol seperti orang non-Kristen di atas. Kita perlu belajar cara
menafsirkan Alkitab bukan supaya kita terlihat lebih pandai, tetapi agar kita
makin mengerti kehendak Allah bagi iman dan hidup kita sehari-hari.
[1] Jangan salah mengerti bagian ini.
Ketika saya mengatakan bahwa kita harus membuang bagian yang melawan Alkitab,
hal ini TIDAK berarti kita tidak perlu belajar hal-hal yang tidak beres. Maksud
saya adalah kita perlu belajar hal-hal yang tidak beres, namun kita jangan
mengimaninya atau menjadikannya dasar bagi iman Kristen. Dengan kita belajar
hal-hal yang tidak beres, kita mengetahui lubang dari ketidak beresan hal-hal
tersebut, agar nantinya kita bisa mengkritisinya dari perspektif Alkitab.
[2] Wayne Grudem, Systematic Theology, 105-106.
Subscribe to:
Posts (Atom)