18 May 2007

BAGAIMANA MEMILIH SEKOLAH ?
Pemikiran Signifikansi Pendidikan


oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.


Memilih sekolah bagi anak-anak, ataupun memilih sekolah bagi diri kita untuk berbagian di dalamnya, entah sebagai pendidik, sebagai pendukung, dll, bukanlah hal yang sepele.
Namun sebelumnya, kita perlu bertanya kepada diri kita sendiri, seberapa jauh kita melihat kepentingan ini ? Bukankah banyak orang yang berpikir, bahwa menyekolahkan anak di mana saja sama saja ?
Tetapi sebagian orang lagi, begitu serius berjuang agar anaknya bisa diterima di sekolah tertentu, sehingga menimbulkan penggolongan sekolah favorit dan non-favorit. Apakah sekolah favorit langsung dapat dikatakan sebagai sekolah yang tepat dan benar ?

A. Mengapa Perlu Memilih Sekolah ?
Sungguh tidak realistik apabila kita mengatakan bahwa semua sekolah sama. Setiap sekolah memiliki karakteristik dan kualitasnya masing-masing. Ada banyak variabel yang menentukan karakteristik dan kualitas sekolah itu. Mulai dari kualitas guru-gurunya, kekuatan kurikulumnya (sekalipun sepintas kelihatan kurikulumnya sama dengan sekolah lain), fasilitas sekolah, dan penerapan disiplin sekolah. Semua itu akan menentukan sekolah itu akan menjadi sekolah yang bagaimana.

Dengan adanya perbedaan variabel yang ada dalam sekolah, maka kualitas maupun kekuatan sekolah itu menjadi unik. Ada sekolah yang memiliki kekuatan di bidang eksakta, karena memiliki guru-guru yang yang sangat baik untuk mata pelajaran tersebut. Ada juga yang kuat di bidang seni dan olah raga, karena memiliki guru yang baik dan juga fasilitas yang memadai untuk itu.

Kita perlu memilih sekolah, karena sekolah yang berkualitas rendah akan menghambat proses belajar mengajar anak-anak kita. Demikian juga sekolah yang kurang baik, akan membentuk karakter anak kita juga menjadi kurang baik. Biasanya itu ditandai dengan pergaulan yang kurang baik, kehidupan sosial sekolah yang tidak disiplin, masuknya berbagai hal buruk ke dalam sekolah, seperti narkoba, film porno, dll. Lebih tajam lagi, kita perlu memilih sekolah dengan lebih teliti, karena sebagai orang percaya, kita melihat pembentukan iman akan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan kedewasaan anak-anak kita kelak di dalam menghadapi berbagai godaan dunia.

B. Bagaimana Memilih Sekolah ?
Ada banyak artikel bertema sama. Dan artikel ini bukan bertujuan memberikan satu tambahan yang memperbanyak koleksi, namun ingin memberikan satu terobosan untuk memikirkan hal yang perlu diperhatikan secara serius.
1. Apa Tujuan Pendidikan ?
Setiap sekolah memiliki filosofinya sendiri di dalam memikirkan dan menggarap pendidikan. Ada pemikiran bahwa pendidikan adalah upaya menjadikan anak itu seperti yang ia inginkan (Alexander S. Neill). Maka pendidikan akan menekankan kebebasan murni kepada anak. Ada pendidikan menekankan kreativitas (Jean Piaget). Di sini kemampuan kreativitas dan pendalaman pengetahuan menjadi tekanan penting. Dan masih banyak tujuan pendidikan lainnya, seperti untuk memenuhi kebutuhan dunia usaha, menjadi alat politik pemerintah, atau bahkan untuk menjadi alat agama. Namun, pendidikan sejati adalah membawa anak menadi seorang rohani. Menjadi rohani bukan berarti menjadi rohaniawan, pendeta, penginjil, atau sejenisnya (meskipun itu tentu termasuk), tetapi menjadi orang yang tahu apa yang Tuhan inginkan dari dirinya dengan mengembangkan semua yang Tuhan berikan kepadanya sebaik mungkin melalui studi yang dilewatinya. Anak-anak diharap belajar untuk bisa memuliakan Allah dan menjadi berkat bagi sesama manusia, bagi bangsa dan negaranya. Sekolah seperti ini sangat langka pada zaman seperti sekarang ini. Jika tidak, pendidikan justru akan menjadikan manusia-manusia yang hanya memikirkan dirinya, kepentingannya, kesuksesannya, dan akhirnya hidup moralnya rusak, merugikan orang lain, merusak dan menghancurkan masyarakat, bangsa dan negara.

2. Apa Sifat Pendidikan ?
Pendidikan banyak yang hanya menekankan aspek-aspek intelektuallitas, karena variabel kesuksesan pendidikan modern kebanyakan diarahkan pada kesuksesan material. Orang sukses jika setelah sekolah ia nanti menjadi kaya, menjadi trilyuner dan dengan demikian akan terpandang di masyarakat. Inilah nilai-nilai masyarakat yang akan membangun sifat atau karakteristik pendidikan. Seluruh pendidikan diarahkan ke arah orientasi bisnis. Maka banyak sekali pendidikan sekarang yang juga di titik awal berorientasi kepada uang.

Seorang pakar pendidikan dan pendiri seminari terkenal di Amerika Serikat, Prof. Cornelius Van Til, Ph.D., menekankan bahwa sekolah yang baik harus mengerti dengan tepat siapa manusia, karakteristiknya, dan tujuan keberadaannya. Manusia bukan budak materi dan bukan alat kerja seperti seekor binatang. Manusia adalah makhluk unik yang dicipta menurut gambar dan rupa Allah, tetapi telah jatuh ke dalam dosa. Itu berarti pendidikan mengacu pada pembentukan manusia secara utuh, agar ia bisa kembali menggenapkan apa yang Allah maksudkan. Namun, pendidikan menurut beberapa pakar saat ini dipersempit hanya sebagai sekolah, yaitu lembaga yang memberikan informasi, memberi pengetahuan, agar anak memiliki kemampuan intelektual dan sosial agar bisa hidup di masyarakat. Aspek spiritual, aspek mental, aspek moral, tidak mendapatkan porsi yang cukup dibandingkan dengan porsi intelektual, keterampilan dan sosial.

Seorang filsuf dan guru besar terkenal, Dr. Nicholas Wolterstorff, menekankan bahwa pendidikan adalah untuk membentuk hidup dalam arti yang sesungguhnya, baik segi natur manusianya, pertumbuhannya, perannya, dan juga penggenapannya. Itu terlihat jelas dari judul bukunya, Educating for Life. Teriakan ini berusaha mengajak banyak orang tua dan pakar pendidikan mengevaluasi kembali seluruh pendidikan yang ada, dan sekaligus memilih pendidikan atau sekolah yang tepat untuk membentuk anak-anak, calon-calon pemimpin masa depan. Kita perlu memilih sekolah yang paling bisa membawa anak kita kembali menjadi manusia sejati, karena di situlah pusat pendidikan. Pendidikan bukan untuk uang atau dunia, tetapi menjadikan manusia kembali menjadi manusia sejati seperti yang Allah kehendaki. Kita perlu memilih sekolah yang paling bisa membentuk anak-anak kita kembali menjadi manusia yang sejati, karena di situlah pusat pendidikan !

3. Apa Peran Pendidikan ?
Seorang manusia dicipta oleh Tuhan dengan rencana yang unik dan khusus. Ia diberi talenta dan perlengkapan khusus, kelebihan dan kekurangan yang unik, semua itu demi untuk menggenapkan apa yang Allah ingin kerjakan di dalam dan melalui dirinya. Bagaimana sekolah tertentu yang tepat bisa mendidik dan mengembangkan apa yang Allah berikan, yang nantinya bisa dikembalikan untuk kemuliaan Allah. Saat ini begitu banyak sekolah yang membawa anak menjadi alat manipulasi, sebagai pemuas obsesi, dari sekolah, dan orangtua, dari negara, dari kebutuhan industri, dll, sehingga pendidikan kehilangan peran aslinya, tetapi menjadi, tetapi menjadi alat pelengkap dunia materi dan sarana pemuas nafsu manusia. Seorang pakar pendidikan Indonesia menyatakan bahwa pendidikan mempersiapkan anak agar bisa memainkan peranannya secara tepat dalam tugas hidupnya, baik untuk melaksanakan tugasnya sebagai pekerja, maupun tugas hidup sebagai manusia. Di sini kita melihat, sekalipun terlihat baik, tetapi akhirnya manusia hanya mempersiapkan diri melalui sekolah menjadi pekerja bagi kebutuhan dunia. Dari situ, pendidikan merekayasa beberapa model pendidikan.

Peran sekolah yang baik adalah menyadarkan dan memperlengkapi anak agar anak itu sadar panggilannya di hadapan Allah dan berjuang seumur hidup untuk menggenapkan panggilan itu. Sekolah yang sedemikian akan membawa anak pada suatu kualitas hidup dan kerja yang bukan berstandar diri atau masyarakat, tetapi berstandar kebenaran dan sifat Allah sendiri. Di sini peranan pendidikan tidak sesederhana yang biasa dipikirkan manusia. Itu sebab, manusia cenderung menurunkan standard ini, dan mengalihkan perhatian pada insan pendidikan, para intelektual pendidikan dan orang tua untuk kembali memikirkan pendidikan yang baik bagi anak-anak. Kini kita terpanggil untuk bersama-sama saling bahu-membahu menggarap pendidikan yang baik. Kita juga terpanggil untuk tidak sembarangan menyekolahkan anak kita.

Memang sekolah bukan hal yang murah, tetapi bukan berarti jika sekolah itu penuh dengan segala fasilitas, dengan biaya yang mahal, akan menjamin pendidikan yang baik dan benar. Pendidikan yang baik dan benar akan terlihat dari beberapa hal praktis, yang merupakan implikasi dari beberapa elemen di atas :
· Guru dan Civitas Akademika yang bukan hanya berintelektualitas, berketerampilan baik, tetapi juga memiliki teladan hidup yang baik, yang bisa menjadi contoh hidup bagi anak-anak, dan memiliki kerohanian yang baik. Guru bukan hanya memberikan ilmu, tetapi memberikan hidup. Maka hidup yang rusak akan menjadi teladan yang buruk.
· Kurikulum yang bukan hanya menekankan satu atau dua aspek intelektualitas, tetapi mengarahkan manusia menjadi manusia yang utuh. Memberikan integritas (keutuhan) dan kelengkapan dari aspek spiritual, aspek moral, aspek sosial, aspek intelektual dan aspek emosional. Penilaian pertumbuhan dilihat secara utuh dari kehidupan itu sendiri.
· Kemurnian Motivasi di dalam penyelenggaraan pendidikan. Sekalipun tidak murah, pendidikan bukan tempat untuk bisnis dan bukan suatu anjang cari uang. Pendidikan adalah pembentukan manusia, sehingga tidak boleh dikomersialkan. Yang justru seharusnya ada adalah pengorbanan dan cinta kasih dalam membentuk manusia. Jika anak didik adalah obyek keuntungan, komoditi yang diperdagangkan, betapa mengerikannya pendidikan !
· Koordinatif di dalam penyelenggaraan pendidikan, di mana sekolah melibatkan orang tua dan juga gereja, sehingga anak tidak mendapatkan opini berbeda dari tiga otoritas berbeda. Perpecahan otoritas akan mengakibatkan kerusakan perkembangan epistemologis dan aksiologis anak. Anak akan bingung apa yang benar dan yang salah, bingung apa yang baik dan tidak baik, dan akhirnya anak akan mengembangkan sifat pluralistik yang tidak peduli pada otoritas manapun.

Kiranya terobosan pemikiran ini bisa membukakan wawasan para pendidik dan juga orang tua untuk memikirkan ulang bagaimana memilih dan membentuk suatu pendidikan yang diambil, baik bagi anaknya, bagi dirinya, maupun bagi kepentingan seluruh umat manusia, bangsa dan negara tercinta ini. Soli Deo Gloria.


Sumber :
Artikel utama pada brosur pendidikan LOGOS yang dicetak untuk pameran pendidikan KIDO tanggal 24 s/d 28 Januari 2007 di Plaza Tunjungan 3, Convention Hall, Lantai 6, Surabaya.



Profil Pdt. Sutjipto Subeno :
Pdt. Sutjipto Subeno, S.Th., M.Div. dilahirkan di Jakarta pada tahun 1959. Beliau menyerahkan diri untuk menjadi hamba Tuhan ketika sedang kuliah di Fakultas Teknik Elektro Universitas Trisakti Jakarta. Menyelesaikan studi Sarjana Theologia (S.Th.)-nya di Sekolah Tinggi Theologia Reformed Injili Indonesia (STTRII) di Jakarta tahun 1995 dan tahun 1996 menyeleselaikan gelar Master of Divinity (M.Div.)-nya di sekolah yang sama.

Setelah pelayanan di Malang dan Madura, sejak tahun 1990 beliau bergabung dengan Kantor Nasional Lembaga Reformed Injili Indonesia (LRII) di Jakarta. Beliau melayani di bidang literatur yang meliputi penerjemahan dan penerbitan buku-buku teologi. Selain itu beliau juga mengelola Literatur Kristen Momentum di Jl. Tanah Abang III/1 (sejak tahun 1993) dan di Jl. Cideng Timur 5A-5B (sejak tahun 1995).

Beliau ditahbiskan sebagai pendeta pada Mei 1996 dan mulai Juni 1996 menjadi gembala sidang GRII Surabaya. Selain sebagai gembala sidang, saat ini beliau juga sebagai direktur operasional dari penerbitan dan jaringan toko buku Momentum dan direktur International Reformed Evangelical Correspondence Study (IRECS), sebuah sekolah teologi korespondensi untuk awam berbahasa Indonesia dengan jangkauan secara internasional. Selain itu beliau adalah dosen terbang di Sekolah Theologia Reformed Injili (STRI) Jakarta dan Institut Reformed di Jakarta.

Beliau juga banyak melayani khotbah dan seminar di berbagai gereja, persekutuan kampus dan persekutuan kantor, baik di dalam negeri maupun di luar negeri; seperti Yogyakarta, Palembang, Batam, Singapura, Australia dan Eropa (Jerman dan Belanda).

Beliau menikah dengan Ev. Susiana Jacob Subeno, B.Th. dan dikaruniai dua orang anak bernama Samantha Subeno (1994) dan Sebastian Subeno (1998). Pada tahun 2000, beliau bersama anak-anak Tuhan yang menempuh pendidikan theologia di Sekolah Theologia Reformed Injili Surabaya (STRIS) Andhika bergumul masalah pendidikan dan pada tahun 2006, beliau akhirnya mendirikan Pendidikan Reformed Injili LOGOS (LOGOS Reformed Evangelical Education) untuk Playgroup, Kindergarten dan Elementary.

Matius 1:7-17 : THE GENEOLOGY-5

Ringkasan Khotbah Mimbar di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Andhika, Surabaya tanggal 22 Februari 2004

The Geneology (5)

oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat 1: 7-17



Hari ini kita kembali merenungkan bagian ketiga, yaitu bagian terakhir dari silsilah Yesus Kristus yang setiap bagiannya ada 14 keturunan (3 bagian x 14 keturunan). Alkitab tidak pernah menuliskan hal-hal yang tidak penting tidak terkecuali silsilah. Orang selalu menganggap bahwa silsilah tidak terlalu penting dan membosankan. Salah! Karena silsilahpun memang Tuhan wahyukan demi untuk kebaikan manusia; ada arti atau makna yang dalam di balik nama-nama tersebut. Jadi, semua yang tertulis dalam Alkitab adalah kebenaran mutlak dan Alkitab tidak mungkin bersalah maka kalau sampai terjadi kesalahan dalam menafsirkan Alkitab, kesalahan ada pada diri kita bukan pada Firman Tuhan. Dunia modern membuat orang Kristen selalu berpikir pragmatis; orang tidak mau berkorban harta dan waktu demi untuk memperoleh kebenaran sejati yang terdapat dalam Alkitab. Orang hanya menginginkan segala sesuatu secara instant. Setiap orang Kristen hendaklah mempunyai hati yang selalu ingin belajar sehingga kita dapat saling membangun dan gereja dapat bertumbuh.

Bukan suatu kebetulan atau tanpa tujuan Matius membagi silsilah Yesus Kristus menjadi tiga segmen di dalam seluruh sejarah perencanaan Allah (Mat. 1:17). Segmen pertama, Tuhan memakai orang-orang patriakh untuk menegakkan umatNya; segmen kedua, Tuhan memakai orang-orang dari keturunan kerajaan; dan segmen ketiga, Tuhan memakai orang-orang yang beriman dan masih setia di tengah-tengah reruntuhan umat Israel setelah pembuangan di Babel. Sejak masa pembuangan, bangsa Israel mengalami masa-masa sulit; mereka dijajah terus menerus sehingga iman mereka terombang ambing dan pada saat yang sama Tuhan berhenti berfirman kurang lebih 400 tahun lamanya. Puji Tuhan, ternyata Allah tidak diam; Ia tetap menjaga sejarah KerajaanNya. Tuhan memilih 14 keturunan yang beriman kokoh dan setia untuk meneruskan garis benang merah sejarah kerajaanNya diantara mereka yang sudah mulai melupakan Allah.

Ayat 17 merupakan titik penghubung antara ayat 16, yang berbicara tentang kehadiran Kristus dengan ayat 18 yang berbicara tentang bagaimana kelahiran Kristus. Beberapa penafsir berpendapat bahwa Matius sepertinya “memaksakan“ angka 14 karena di setiap bagian sebenarnya ada lebih dari 14 nama. Catatan sejarah dalam Alkitab berbeda dengan catatan sejarah manusia. Alkitab hanya mencantumkan nama-nama yang mengandung makna dan mempunyai signifikansi; mereka yang tidak mempunyai nilai akan dihilangkan dari catatan sejarah. Pada hakekatnya, manusia tidak suka bila ditiadakan atau dianggap tidak ada, keberadaannya tidak berpengaruh apapun. Celakanya, kalau keberadaan seseorang tersebut sangat menganggu lingkungan sekitar dan ketika dia tidak ada justru menjadi kelegaan bagi orang di sekitar. Manusia dicipta dengan tuntutan makna karena itu jadikanlah hidupmu penuh makna sehingga nama kita ada dalam catatan sejarah Kerajaan Allah.

Matius ingin menyampaikan berita kebenaran, yaitu perjanjian (covenant) Allah dengan Abraham tetap berlangsung dan digenapi dalam Kristus Yesus. Jadi, Kristus merupakan titik pusat dari covenant karena itu Matius meletakkannya di tengah (ay. 16). Untuk lebih jelasnya, kita harus kembali pada teks Alkitab yang asli yang hanya berisi tulisan, tanpa pasal, ayat ataupun judul maka kita akan melihat ayat 16 berada tepat di tengah antara ay. 1-ay. 25. Adanya pasal, ayat dan judul dalam Alkitab dapat menguntungkan sekaligus merugikan, yaitu memudahkan bagi kita dalam membaca tapi juga dapat memotong pemikiran dalam Alkitab yang sebenarnya mengalir.

Beberapa penafsir berpendapat, angka 14 hanyalah simbol. Dalam beberapa aspek ini bukan sekedar simbol, Matius memang sengaja meletakkan 14 nama di setiap bagiannya. Empat belas keturunan di bagian ketiga dianggap yang paling sulit karena mereka harus mempertahankan imannya di tengah dunia yang sudah mulai kehilangan iman. Pada jaman itu banyak tekanan, ancaman, penjajahan dan konsep-konsep dunia yang mulai menyimpang dari Firman maka tidaklah heran kalau muncul golongan Parisi, golongan Saduki, golongan Herodian, dan lain-lain. Signifikansi Matius mencantum 3 x 14 pada silsilah Yesus Kristus :
1. Gambaran Kesempurnaan (The Perfectness) Pekerjaan Allah.
Di satu aspek manusia mengaku beriman dengan sungguh namun pada saat yang sama manusia seringkali meragukan Tuhan karena pertolongan Tuhan yang datang tepat waktu justru dirasakan sebagai keterlambatan. Pada saat kita tidak bersandar mutlak pada Tuhan maka pada saat itu juga keyakinan, confidence kita mulai goyah sehingga dengan mudah iblis akan menguasai kita. Hati-hati, janganlah engkau merasa yakin bahwa engkau mempunyai iman yang kuat karena pada saat itulah justru menampakkan bahwa imanmu sudah mulai goyah. Iman dan keyakinan merupakan dua hal berbeda. Kalau kita menggabungkan iman dan keyakinan maka kita masuk dalam empirisme dimana pengalaman dianggap sebagai iman. Sesungguhnya, iman menghasilkan pengalaman dan iman menghasilkan keyakinan bukan sebaliknya. Kesalahan yang fatal, kalau kita menggabungkan keduanya seperti yang dilakukan oleh aliran karismatik dan positive thinkers. Orang tidak mengerti definisi iman dan keyakinan dengan tepat maka wajarlah kalau mereka menjadi sesat.

Melalui tulisannya Matius ingin agar para pembacanya mempunyai kebenaran iman sejati yang berobyek pada Kristus yang adalah sempurna. Jangan pernah berpikir bahwa kerajaan Tuhan bisa digagalkan di tengah dunia ini. Tuhan sudah mengatur sejarah kerajaanNya sedemikian rupa dengan sempurna. Allah berfirman bahwa akan datang seorang Juruselamat, yaitu Kristus Tuhan maka hal itu pasti terjadi. Tidak ada satu manusiapun yang dapat menggagalkan rencana Allah. Dia adalah Allah sang pemilik sejarah; Dialah yang memulai dan yang sekaligus mengakhiri sejarah dunia ini. Janganlah mudah tergoda dengan berbagai macam iman yang ditawarkan dunia. Iman yang ditawarkan dunia tidak akan membawa kita pada kesempurnaan.

Sebagai contoh, Kant mengemukakan bahwa tidak ada satupun obyektifitas iman di dunia yang perlu untuk manusia percayai. Salah! Masih ada obyektifitas iman yang dapat kita percayai, yaitu Firman yang mengajarkan kesempurnaan iman. Matius menawarkan kerajaan surga yang sempurna yang dihadirkan dalam diri Kristus yang adalah sempurna. Kerajaan surga yang Allah janjikan berbeda dengan kerajaan dunia. Sepintas lalu, manusia melihat kesuksesan raja-raja dunia, seperti Saul, Daud dan Salomo. Ternyata masa kejayaan Raja Salomo tidak berlangsung selamanya; kerajaan Israel mulai hancur, terpecah belah dan saling bermusuhan sampai akhirnya nama Yekhonya (bukan raja) yang tertulis dan berakhir di pembuangan. Inikah kerajaan dunia yang dibanggakan oleh manusia? 3 x 14 menggambarkan kesempurnaan total kerajaan Surga; Kristus Juruselamat yang dijanjikan itu lahir.


2. Gambaran Kesempurnaan Total Rencana Allah, Total Planning of God.
Angka 7 mempunyai arti yang sangat istimewa bagi orang Yahudi, 3x14=3x2x7. Angka 7 merupakan gambaran sempurna maka tidaklah heran orang Yahudi sangat suka dengan kelipatan 7. Tuhan mencipta 7 hari lamanya dan Tuhan menguduskan pada hari ke-7. Bahkan sampai hari ini kelipatan 7 menjadi angka sempurna, bukankah dalam kalender ada 7 hari yang dimulai dari Minggu dan berakhir di hari Sabtu? Petrus memulai khotbah penginjilan yang pertama, yaitu berita tentang Kristus Juruselamat pada hari Minggu dan di hari yang sama itu 3000 orang bertobat. Tapi sayang, hari ini justru banyak orang Kristen tidak berani secara terang-terangan memberitakan kebenaran bahwa kita adalah manusia berdosa dan hanya melalui Yesus Kristuslah kita diselamatkan. Orang Kristen ketika memberitakan injil justru menghilangkan inti berita dan mereka justru menawarkan hal-hal duniawi seperti kesembuhan, kemakmuran, dan lain-lain. Iman Kristen yang kehilangan esensi Kristus bukanlah iman sejati.

Angka 6 menggambarkan manusia yang dicipta pada hari ke-6; angka 7 menggambarkan kerajaan Allah; angka 3 menggambarkan Allah Tritunggal. Itulah sebabnya Matius memakai angka 3x2x7. Matius mengkontraskan antara angka manusia dengan angka Allah. Angka 666 (enam ratus enam puluh enam) yang tertulis dalam Wahyu melambangkan kesempurnaan manusia. Matius membukakan pikiran para pembacanya agar mempunyai cara pandang yang berbeda, yaitu dari memikirkan hal yang bersifat manusia ke hal yang bersifat Allah. Sejak awal Matius telah memberitakan tentang hal Kerajaan meski kata “Kerajaan“ baru muncul di pasal 3. Tuhan ketika berencana, Dia pasti merencanakan secara totalitas. 3 x 14 menunjukkan tatanan yang simultan yang menggabungkan seluruh aspek dan mencakup semua unsur. Ini merupakan total planning dimana Tuhan merencanakan kerajaanNya.

Manusia yang tidak mau taat pada rencana Allah maka dia akan terbuang dari sejarah. Pembentukkan Kerajaan Allah harus melewati sejarah yang bersifat totalitas. Cara Tuhan membentuk hidup anak-anakNya sangatlah unik; terkadang Tuhan mengijinkan manusia untuk mengalami kesusahan dan penderitaan terlebih dahulu sebelum ia mengalami kesuksesan. Tuhan membentuk Musa, Daud, Yusuf dan masih banyak lagi melalui penderitaan dan tantangan berat sebelum akhirnya mereka menjadi berhasil dan mempunyai hidup yang bernilai. Hal ini sangat disadari Socrates bahwa hidup yang tidak teruji tidak layak untuk dihidupi, unexamined live unworth living.

Seseorang dapatlah dikatakan “sukses” bila: pertama, dapat melewati setiap ujian dalam hidupnya. Hal ini tidaklah mudah hanya kekuatan Tuhan saja yang dapat memampukan kita. Tetaplah bertahan dalam iman kepada Yesus Kristus meski kita berada dalam keadaan yang paling sulit sekalipun. Jangan pernah berkompromi dengan iblis. Ingat, saat kita mengalami ujian dalam hidup, Tuhan tahu seberapa kekuatan kita (I Kor. 10:13). Tuhan memberikan batasan pada iblis ketika Ayub hendak dicobai. Kita tidak akan pernah tahu seberapa kekuatan iman kita kecuali kalau kita melewati kesulitan tersebut. Kedua, tidak menjadi lupa diri ketika ia berada di kesuksesan. Setiap orang pasti ingin sukses akan tetapi kesuksesan tanpa disertai iman yang kuat akan membuat kita mudah jatuh dalam dosa. Pada umumnya, orang akan beriman dengan sungguh ketika ia berada dalam kesusahan tapi ia akan melupakan Tuhan ketika berada dalam kesuksesan. Jangan pernah berpikir bahwa kekayaan menjadikan hidup kita nikmat. Tuhan akan memberikan kekayaan ketika Dia merasa kita sudah cukup kuat menanggungnya dan Tuhan tahu sampai dimana kekuatan kita. Fakta menunjukkan kekayaan tidak membuat hidup menjadi nikmat tetapi justru mematikan iman, merusak hubungan antar manusia, dan membunuh diri kita sendiri. Karena itu, benarlah kalau Tuhan Yesus mengajarkan berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya supaya kita tidak mencuri dan mencemarkan nama Tuhan atau kita tidak menyangkali Tuhan ketika kita kenyang (Ams. 30:8-9).

Sejarah adalah ceritanya Tuhan, history is His story. Sejarah selalu mempunyai 2 unsur, yaitu sejarah utama dan sejarah figuran. Kita berada di posisi yang mana? Kalau kita ingin menjadi pemeran utama dalam sejarah Kerajaan Allah maka taatlah dan bersandarlah hanya kepadaNya; Ia akan membentuk hidup kita secara total. Sayangnya, hari ini banyak orang tidak suka untuk dibentuk; kita mulai melarikan diri dari Tuhan. Ingat, setiap penderitaan yang kita alami memang Tuhan maksudkan untuk membentuk kita supaya semakin serupa Kristus. Iman Kristen bukanlah iman yang fanatisme akan tetapi kita tahu dengan pasti kenapa kita hanya beriman pada Kristus, the King of kings yang diturunkan dari 3x14. Karena itu jangan pernah sekalipun imanmu goyah dan meninggalkan Tuhan supaya penuh sukacitamu. Kristus adalah Raja di atas segala raja maka Dia pasti memperhatikan dan memelihara setiap umatNya. Dan hanya Kristus satu-satunya kekuatan dan Juruselamat yang kepadaNya kita dapat berharap. Amin. ?

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)


Sumber :
http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2004/20040222.htm

Roma 1:21-23 : KEBEBALAN MANUSIA

Seri Eksposisi Surat Roma :
Realita Murka Allah-3


Kebebalan Manusia

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 1:21-23


Setelah kita membahas tentang realita murka Allah atas segala kefasikan dan kelaliman manusia yang menindas kebenaran dengan kelaliman di ayat 18, dengan cara mengabaikan hati nurani dan alam semesta yang merupakan wujud dari wahyu umum Allah, maka saat ini melalui ayat 21-23, Alkitab hendak menjelaskan kepada kita tentang realita kebebalan manusia yang meskipun sudah mengenal Allah, tetapi tidak mau menyembah-Nya.
Pada ayat 21, Alkitab menyatakan, “Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap.” Atau terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkan, “Manusia mengenal Allah, tetapi manusia tidak menghormati Dia sebagai Allah dan tidak juga berterima kasih kepada-Nya. Sebaliknya manusia memikirkan yang bukan-bukan; hati mereka sudah menjadi gelap.” Melalui apa yang telah Allah wahyukan kepada semua manusia yaitu melalui hati nurani dan alam semesta, manusia bukan tidak mengenal Allah, tetapi mereka mengenal-Nya. Ini yang Alkitab ajarkan. Kata “mengenal” dalam bahasa aslinya (Yunani) yaitu ginōskō yang berarti mengetahui atau mengerti (understand), tetapi Alkitab terjemahan King James Version (KJV) menerjemahkan kata “mengenal” ini sama dengan kata “ketahui” di ayat 19 dengan satu kata know, tetapi Alkitab Terjemahan Baru (TB) membuat perbedaan kata, di mana ayat 19 menggunakan kata “mengetahui”, sedangkan di ayat 21 memakai kata “mengenal”. Mengapa Alkitab TB membuat perbedaan semacam ini ? Jika kita menyelidiki, di ayat 19, Alkitab berkata bahwa manusia sudah mengetahui tentang keberadaan Allah, karena Ia telah menyatakan diri-Nya secara umum yaitu melalui hati nurani dan alam semesta. Tetapi apakah mereka hanya sebatas tahu ? TIDAK. Di ayat 21, Paulus memaparkan fakta bahwa mereka pun juga sudah mengenal Allah (satu tahap lebih dalam ketimbang mengetahui), tetapi meskipun demikian, mereka tidak memuliakan-Nya. Kata “memuliakan” dalam bahasa Yunaninya adalah doxazō berarti menghormati (honor) atau memuliakan (magnify) atau memberikan kemuliaan. Di dalam KJV dan International Standard Version (ISV), kata “memuliakan” diterjemahkan glorify, di dalam terjemahan English Standard Version (ESV) memakai kata honor. Yang lebih menarik, Alkitab menambahkan bahwa mereka bukan hanya tidak memuliakan-Nya tetapi juga tidak memuliakan-Nya sebagai Allah. Ketika Allah tidak dipermuliakan sebagai Allah, hanya ada satu “saingan” yaitu manusia yang dipermuliakan sebagai “Allah”. Itu adalah ide dari atheisme dan humanisme yang berlaku dari zaman modernisme hingga postmodern yang semakin menggila.
Di dalam titah pertama dari kesepuluh Titah yang Allah berikan melalui Musa, Allah bersabda, “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku.” (Keluaran 20:3 ; TB) atau terjemahan BIS lebih jelas mengartikannya, “Jangan menyembah ilah-ilah lain. Sembahlah Aku saja.” Perintah ini sudah sangat jelas, tetapi kembali, di dalam sejarah bangsa Israel, mereka yang dari dulu sudah mengikat perjanjian dengan Allah bahwa mereka akan berbakti selama-lamanya kepada-Nya, akhirnya mereka melanggar perjanjian tersebut dengan bersungut-sungut (tidak bersyukur kepada-Nya), dll. Itulah realita yang Alkitab ajarkan mengenai kebebalan manusia. Apakah ini juga tidak terjadi di zaman postmodern ? TIDAK. Hal ini bukan saja tidak terjadi di zaman postmodern yang gila ini, tetapi sudah menjadi life style bagi manusia berdosa, khususnya banyak orang “Kristen” yang dengan bangganya menyebut diri Kristen apalagi “melayani Tuhan” di gereja. Kalau mereka ditanya apakah mereka sudah mengenal Tuhan Yesus, mereka pasti menjawab dengan lantang, “Sudah !”, tetapi sebaliknya jika mereka ditanya pertanyaan lebih dalam lagi, “Apakah Anda sudah memuliakan-Nya dengan membawa berita Injil di dalam kehidupan Anda dan bersyukur kepada-Nya ?”, mereka yang menjawab semakin berkurang kuantitasnya. Mengapa ? Karena meskipun mereka sudah mengenal Tuhan Yesus bahkan sejak dari kecil di sekolah minggu sampai dewasa bahkan ikut terlibat aktif di dalam pelayanan gereja, mereka pada dasarnya masih childish, mau mengenakkan diri tetapi tidak mau menyangkal diri. Itulah realita keKristenan di abad postmodern ini. Mereka menganggap Allah bukan sebagai Allah lagi, tetapi sebagai “pembantu”nya yang selalu mengabulkan apapun yang mereka perlukan di dalam doa, lalu mereka terus mengklaim mereka sedang “melayani Tuhan”. Yang lebih parah lagi, banyak orang “Kristen” yang mengaku “melayani Tuhan”, ketika dirinya diberikan penyakit yang ganas, mereka langsung marah-marah kepada Tuhan, dan bertanya mengapa Tuhan memberikan penyakit kepadanya, padahal mereka sudah melayani-Nya. Mereka mengira Tuhan membutuhkan mereka untuk melayani-Nya. Ini adalah akibat kesalahan fatal dari konsep “theologia” sukses dan “theologia” Arminian yang menekankan kehendak bebas manusia dan menghilangkan kedaulatan Allah (termasuk di dalamnya pengaruh dari buku Rick Warren, “The Purpose Driven Life”). Allah hanya dianggap sebagai pemuas kebutuhan jasmaniah (yang dibungkus dengan hal-hal “rohani”, misalnya, “Dengan ‘iman’, maka minta apa saja, pasti dikabulkan.”, dll), tidak beda dengan pekerjaan seorang pelacur (maaf). Itu bukan Allah Alkitab ! Itu setan ! Jangan mengira setiap orang “Kristen” beriman di dalam-Nya, kebanyakan mereka beriman di dalam diri mereka sendiri, yang lebih celaka lagi beriman di dalam setan, meskipun setiap Minggu pergi ke gereja. Apakah dengan cara demikian, mereka boleh dikatakan mereka pintar ? TIDAK. Alkitab jelas mengajarkan di dalam ayat 21 ini bahwa pikiran mereka sebenarnya sia-sia atau tidak berharga (worthless) dan hati mereka itu bodoh dan menjadi gelap. Di sini menurut pengamatan saya, kebebalan manusia yang tidak mau memuliakan Allah berdampak kepada seluruh kehidupannya, yaitu pikiran dan hati mereka menjadi rusak/cemar. John Calvin mengatakan bahwa manusia itu sudah rusak total, artinya seluruh keberadaannya sudah rusak, tidak peduli, apakah itu otak, hati, perkataan, dll. Tidak usah heran, mengapa di ayat 21, Paulus menjabarkan dua bagian di dalam pribadi manusia yang merupakan efek langsung dari kebebalan manusia, yaitu otak/pikiran dan hati. Ketika manusia bebal, pikiran mereka ikut bebal juga. Pikiran ini diungkapkan Paulus sebagai pikiran yang tidak berharga/sia-sia. Pikiran manusia yang sudah diciptakan oleh Allah dengan tujuan untuk memuliakan-Nya, tetapi faktanya, akibat dosa, pikiran itu dicemari oleh dosa, dan akhirnya dipergunakan untuk memuliakan diri manusia sendiri. Selain itu, hati mereka juga dikatakan bodoh dan gelap. Kata “bodoh” diterjemahkan foolish oleh terjemahan KJV dan dalam bahasa aslinya asunetos berarti without understanding (tanpa pengertian). Lalu, kata “gelap” dalam bahasa aslinya skotizō berarti obscure (=samar-samar, kabur, tidak jelas, dll). Albert Barnes dalam Albert Barnes’ Notes on the Bible mengaitkan heart dengan afeksi. Ini berarti ketika manusia berdosa, hati/afeksinya sudah dicemari dosa, sehingga mereka tidak lagi peduli dengan orang lain yang menderita, tetapi sangat sedih jika dirinya yang menderita. Ambil contoh, manusia berdosa akan sangat kegirangan (secara implisit, bahkan eksplisit) bila orang lain yang ditipu, tetapi akan sangat sedih bila dirinya yang ditipu (atau orang lain menipu dia). Inilah realita efek dosa di dalam diri manusia, yaitu pikiran mereka itu sebenarnya sia-sia/tidak berharga dan hati mereka itu tidak disertai pengertian yang beres dan kabur.

Kemudian, apakah pikiran ini mereka akui sebagai pikiran yang sia-sia ? TIDAK. Di ayat 22, Paulus membuka fakta lebih dalam lagi, “Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh.” Atau terjemahan BIS mengartikannya, “Mereka merasa diri bijaksana, padahal mereka bodoh.” Kalau kita melihat kembali konteks surat Roma ini, di Roma, banyak filsuf Yunani yang merasa diri hebat, bijaksana, pintar, dll, lalu pikiran dan hati mereka tertutup oleh apa yang mereka anggap sebagai bijaksana dan pandai. Kalau Plato menegaskan filsafat dualisme yang sengaja memisahkan hal-hal yang jasmaniah (natural) dengan hal-hal rohaniah (supranatural), di mana filsafat gila ini digandrungi oleh hampir semua manusia (termasuk banyak orang “Kristen” yang tidak bertanggungjawab) di dalam abad postmodern, maka Max Horkheimer menegakkan filsafat Dialectical Positivism yang berusaha menggabungkan hal-hal yang bertentangan satu sama lain. Tidak heran, di dunia Timur, muncul istilah Yin Yang, di mana kebaikan pasti bersatu dengan kejahatan (di dalam hitam ada putih dan di dalam putih ada hitam). Mereka menganggap bahwa mereka itu berbijaksana dan pintar karena bisa mengeluarkan suatu teori yang diakui oleh seluruh dunia (bahkan yang paling celaka, juga diakui oleh banyak orang “Kristen”). Apakah teori mereka benar ? Mari kita uji. Teori Plato jelas salah karena telah memisahkan kedua bagian manusia yang saling bersatu, yaitu antara tubuh dan jiwa/roh. Jika kita memisahkan tubuh dan roh/jiwa, maka kita pasti mati. Sebaliknya, teori Horkheimer pun juga salah, karena menggabungkan hal-hal yang bertentangan menjadi satu, lalu teori ini juga ada di dunia Timur dengan konsep Yin Yang. Benarkah konsep Yin Yang dari kacamata Kristen ? Setelah mendapat penjelasan singkat dari Pdt. Sutjipto Subeno, saya setuju dengan pendapat beliau bahwa Yin Yang itu tidak sesuai dengan Alkitab. Perhatikan. Kalau di dalam hitam ada putih dan di dalam putih ada hitam, pertanyaannya bukankah yang hitam dan putih sama-sama menjadi kabur dan tidak jelas (persis yang Paulus ungkapkan di dalam ayat 21 tadi dengan mengatakan bahwa pikiran mereka itu sia-sia dan hati mereka menjadi kabur/gelap). Lalu, apakah kita berani mengajarkan kepada anak-anak kita akan konsep Yin Yang ini lalu berkata bahwa kita jangan selalu berbuat baik saja, tetapi kita juga perlu berbuat jahat sesuai dengan ajaran Yin Yang bahwa putih dan hitam selalu bersatu ? TIDAK. Pdt. Sutjipto Subeno mengatakan bahwa hitam itu bukan sebuah warna yang bertentangan dengan putih, tetapi hitam adalah ketidakadaan putih, demikian pula, gelap bukan suatu entity, tetapi gelap adalah suatu ketidakadaan terang. Kalau terang ada, maka gelap pasti tidak ada. Itu yang Alkitab ajarkan sejak Allah menciptakan dunia (Kejadian 1:1-3). Di dalam penciptaan, ketika Allah melihat dunia ini gelap, maka Ia berkata, “Jadilah terang.” (Kejadian 1:3), maka terang itu mengalahkan kegelapan dan kegelapan tidak ada lagi di dalam dunia ini. Dengan kata lain, teori Horkheimer salah. Lalu, manakah yang benar ? Jelas, iman Kristen yang berpusat di dalam Kristus. Di dalam 1 Korintus 1:18, Paulus mengajarkan satu prinsip penting, “Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah.” Di dalam pasal yang sama, di ayat 22-25, Paulus mengajarkan pula, “Orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah. Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia.” Orang-orang dunia selalu merasa diri pemikiran mereka hebat, tetapi benarkah demikian ? Bagi Allah, pemikiran orang-orang dunia yang paling pintar sekalipun lebih kecil dari kebodohan Allah. Lho, kok bisa ? Kebodohan Allah, yang artinya Allah yang dianggap “bodoh” oleh orang-orang dunia yang berdosa, tetap lebih pandai daripada hikmat manusia yang selalu membanggakan diri mereka pandai dan berbijaksana. Inilah pemikiran paradoks di dalam iman Kristen. Kebodohan Allah itulah salib, yang sebenarnya melambangkan kemenangan dan kebijaksanaan Allah yang terbesar yang tak mungkin bisa dicapai dan dimengerti oleh manusia yang selalu menganggap diri bijaksana dan pandai, padahal mereka sesungguhnya bodoh dan berdosa. Zaman postmodern adalah zaman yang lebih celaka daripada zaman modern, karena di zaman yang gila ini, banyak orang bahkan boleh dibilang dosen-dosen sekuler menimba ilmu di luar negeri bahkan sampai Doctor of Philosophy (Ph.D.), tetapi apakah itu menunjukkan diri mereka pandai ? TIDAK. Sori, saya harus mengatakan satu hal, banyak dosen saya di kampus Petra yang bergelar Master dan Doctor, pemikirannya masih dangkal sekali apalagi tentang iman Kristen. Jangan mengira orang yang sudah studi Master dan Doctor pasti lebih pintar ! Ada seorang dosen saya yang baru bergelar Master sudah sok tahunya bahkan menghina saya yang selalu bersaksi tentang Tuhan. Dia kira dia hebat, TIDAK, saya boleh mengatakan bahwa dia lebih bodoh dari siapapun, karena TELAH MENGHINA ALLAH. Celakalah kamu jika menganggap diri pintar, lalu tidak membutuhkan Allah. Anda tahu cerita dari F. Nietzsche yang mencetuskan God’s Death “Theology” (“Theologia” Allah Mati) ? Nietzsche yang adalah seorang anak pendeta dan katanya pernah sekolah theologia akhirnya mengatakan bahwa ia telah membunuh mati Allah bukan dengan pistol, tetapi dengan pikirannya, lalu apakah dengan demikian, “Allah” yang telah Nietzsche bunuh mati lalu benar-benar mati ? TIDAK. Sejarah membuktikan bahwa Nietzsche pada akhirnya harus mati, tetapi, puji Tuhan, Allah kita tetap hidup untuk selama-lamanya. Ini membuktikan suatu kebodohan orang-orang yang menganggap diri pintar. Dengan mengutip Yesaya 29:14, di dalam 1 Korintus 1:19, Tuhan berkata melalui Paulus, “Aku akan membinasakan hikmat orang-orang berhikmat dan kearifan orang-orang bijak akan Kulenyapkan.” Kalau sejenak kita membaca Yesaya 29:14, ayat ini sebenarnya ingin mengajarkan bahwa hikmat para orang berhikmat di dalam bangsa Israel yaitu mereka yang menghafal dan mengajarkan Taurat secara harafiah (ayat 10-13) akan hilang dan kearifannya pun akan bersembunyi.

Apakah wujud kebebalan manusia hanya sekedar merasa diri pintar ? TIDAK. Pada ayat 23, Paulus melanjutkan penjelasannya, “Mereka menggantikan kemuliaan Allah yang tidak fana dengan gambaran yang mirip dengan manusia yang fana, burung-burung, binatang-binatang yang berkaki empat atau binatang-binatang yang menjalar.” (TB) atau terjemahan BIS mengartikannya, “Bukannya Allah yang abadi yang mereka sembah, melainkan patung-patung yang menyerupai makhluk yang bisa mati; yaitu manusia, burung, binatang yang berkaki empat, dan binatang yang melata.” Melalui ayat 23 ini versi Terjemahan Baru (TB) maupun Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), kita mendapatkan suatu kesimpulan bahwa kebebalan manusia bukan hanya sekedar merasa diri pintar, tetapi juga ketidakmampuan mereka membedakan antara esensi dengan fenomena, antara hal yang bersifat kekal dan tidak kekal. Di zaman postmodern ini pun, realita ini juga sering dan banyak terjadi. Mereka tidak melihat esensi dan hal-hal yang bernilai kekekalan, tetapi selalu berkutat pada hal-hal fenomenal dan bersifat kesemantaraan, lalu anehnya, mereka terhibur jika sudah melihat hal-hal fenomenal tersebut. Sungguh celaka mereka. Apakah wujud hal-hal fenomenal tersebut ? Alkitab menjelaskan bahwa wujudnya adalah menyembah patung-patung yang dapat dilihat sebagai ilah lain yang menggantikan Allah. Kata “patung-patung” menunjukkan sebuah sesembahan lain (ilah lain) di luar Allah yang sejati yang disembah oleh manusia yang berdosa. Manusia di dunia ini merasa bahwa dengan menyembah patung-patung tersebut identik dengan menyembah “Allah”, yang lebih parah lagi, mereka berdalih bahwa bukan patung yang mereka sembah, tetapi “Allah”, lalu patung hanya mereka jadikan sebagai sarana/cara. Apakah ini dapat dibenarkan ? Di dalam titah kedua dan ketiga di dalam Dasa Titah, Allah bersabda, “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku, tetapi Aku menunjukkan kasih setia kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi Aku dan yang berpegang pada perintah-perintah-Ku.” (Keluaran 20:4-6) Titah kedua ini mengajarkan kepada kita untuk tidak membuat patung. Tindakan membuat patung adalah suatu tindakan kedua setelah tindakan menganggap sesuatu sebagai ilah lain selain Allah (pelanggaran dari titah pertama). Jadi, urutannya adalah jika seorang di dalam ide dan “iman”nya sudah menganggap diri atau sesuatu yang lain sebagai ilah lain di luar Allah, maka otomatis orang ini akan berusaha untuk merealisasikannya dengan membuat patung sebagai obyek realisasinya. Jangan mempercayai orang yang berkata bahwa patung hanya sebagai cara/sarana untuk menyembah “Allah”. Allah tidak ingin kita membuat patung dalam bentuk apapun. Lalu, titah ketiga juga mengajar kepada kita bukan hanya untuk tidak boleh membuat patung, tetapi kita pun tidak boleh menyembah patung yang dibuat tersebut, karena Allah adalah Allah yang cemburu yang tidak segan-segan menghukum mereka yang tidak setia kepada-Nya. Inilah realita murka Allah yang jarang disampaikan di dalam banyak khotbah mimbar di dalam banyak gereja-gereja kontemporer yang pop. Setelah Allah selesai menuliskan kesepuluh titah-Nya kepada bangsa Israel melalui Musa, apa yang terjadi dengan bangsa Israel sambil menunggu Musa di atas gunung Sinai ? Keluaran 32:1-6 memberitahu kita tentang peristiwa yang mengerikan ini, “Ketika bangsa itu melihat, bahwa Musa mengundur-undurkan turun dari gunung itu, maka berkumpullah mereka mengerumuni Harun dan berkata kepadanya: "Mari, buatlah untuk kami allah, yang akan berjalan di depan kami sebab Musa ini, orang yang telah memimpin kami keluar dari tanah Mesir--kami tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dia." Lalu berkatalah Harun kepada mereka: "Tanggalkanlah anting-anting emas yang ada pada telinga isterimu, anakmu laki-laki dan perempuan, dan bawalah semuanya kepadaku." Lalu seluruh bangsa itu menanggalkan anting-anting emas yang ada pada telinga mereka dan membawanya kepada Harun. Diterimanyalah itu dari tangan mereka, dibentuknya dengan pahat, dan dibuatnyalah dari padanya anak lembu tuangan. Kemudian berkatalah mereka: "Hai Israel, inilah Allahmu, yang telah menuntun engkau keluar dari tanah Mesir!" Ketika Harun melihat itu, didirikannyalah mezbah di depan anak lembu itu. Berserulah Harun, katanya: "Besok hari raya bagi TUHAN!" Dan keesokan harinya pagi-pagi maka mereka mempersembahkan korban bakaran dan korban keselamatan, sesudah itu duduklah bangsa itu untuk makan dan minum; kemudian bangunlah mereka dan bersukaria.” Hal ini sangat berkontradiksi dengan puji-pujian yang mereka nyanyikan sendiri di dalam Keluaran 15 tentang kebesaran dan keagungan Allah Israel. Harun yang sebenarnya harus menuntun Israel untuk tidak berbuat dosa selama Musa berada di atas gunung Sinai, ternyata malahan membuat bangsa Israel tambah berdosa dengan menuruti permintaan bangsa Israel untuk membuat patung dan ditambah dengan perkataan bahwa patung itulah Allah yang telah menuntun Israel keluar dari Mesir. Dosa yang diperbuat Harun itu berlapis dua, yaitu menuruti kemauan berdosa dari Israel ditambah dengan pernyataan Harun yang mengatakan bahwa patung itu adalah Allah yang menuntun mereka keluar dari Israel. Itulah agama yang diciptakan manusia yang menyimpang dari kebenaran Allah di dalam Alkitab. Israel kalau boleh diimplikasikan ke dalam zaman sekarang adalah para penganut agama-agama non-Kristen yang melawan Kristus yang menggantikan Allah dengan ilah-ilah lain yang bisa dilihat secara kasat mata, dan Harun boleh diimplikasikan sebagai para pemimpin agama yang juga ikut berdosa dengan menuruti kemauan umatnya yang memberontak terhadap Allah. Bagaimana respon Allah dan Musa setelah mengakui kebiadaban Israel tersebut ? Apakah mereka bisa mentolerir kesalahan mereka lalu mengatakan bahwa jangan menghakimi, itu tergantung pada pribadi masing-masing, patung hanya sebagai sarana untuk menyembah “Allah” ? TIDAK. Allah murka kepada mereka dan Alkitab mencatatnya, “Siapa yang berdosa kepada-Ku, nama orang itulah yang akan Kuhapuskan dari dalam kitab-Ku…Demikianlah TUHAN menulahi bangsa itu, karena mereka telah menyuruh membuat anak lembu buatan Harun itu.” (Keluaran 32:33, 35). Musa pun marah sesuai dengan kemarahan Allah. Hal ini dapat dibaca pada Keluaran 32:19-20, “Dan ketika ia dekat ke perkemahan itu dan melihat anak lembu dan melihat orang menari-nari, maka bangkitlah amarah Musa; dilemparkannyalah kedua loh itu dari tangannya dan dipecahkannya pada kaki gunung itu. Sesudah itu diambilnyalah anak lembu yang dibuat mereka itu, dibakarnya dengan api dan digilingnya sampai halus, kemudian ditaburkannya ke atas air dan disuruhnya diminum oleh orang Israel.” Para hamba Allah sejati memiliki emosi dan afeksi yang dikuduskan sehingga emosi mereka sinkron dengan emosi Allah, lalu ketika Allah murka, mereka pun marah sesuai dengan kemarahan-Nya. Belajarlah dari Musa. Allah tidak pernah mentolerir setiap dosa penyembahan berhala, karena Ia adalah Allah yang Mahakudus dan Tidak Terbatas yang tidak dapat dipersamakan dengan hal-hal yang tidak kudus atau terbatas. Kalau di zaman penulisan kitab Roma, banyak manusia pada waktu itu menyembah patung, maka di zaman postmodern, ilah lain bukan lagi berwujud patung, tetapi rasio dan feeling. Di zaman postmodern, meskipun remah-remah penekanan rasio pada zaman modern masih ada, tetapi feelinglah yang sangat diutamakan bahkan disembah oleh mereka sebagai ilah di dalam hidup mereka, meskipun mereka tidak pernah mau mengakuinya. Tidak usah heran, di dalam zaman yang gila ini, ada seorang dosen “Kristen” yang adalah seorang pemuja relativisme mengatakan bahwa kita tidak boleh menghakimi, masing-masing memiliki standar yang berbeda-beda, itu tergantung masing-masing orang. Itukah orang Kristen ? TIDAK. Mereka boleh dengan bangga menyebut diri “Kristen”, tetapi sori, saya lebih menyebut mereka sebagai seorang atheis yang berjubah “Kristen”. Jangan mengira orang Kristen cukup ditandai dengan KTP mereka yang menyebut agama mereka Kristen. Banyak orang “Kristen” (bahkan para “pemimpin gereja) yang sebenarnya bukan termasuk umat pilihan Allah sedang meracuni gereja dan keKristenan perlahan-lahan. Ingatlah akan perkataan Tuhan melalui Paulus di dalam Galatia 6:7-8, “Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya. Sebab barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu.” Ketika Anda lebih mengilahkan relativisme di dalam hidup kita, terimalah akibatnya bahwa suatu saat Anda akan dihajar oleh murka Allah karena Anda telah menggantikan kemuliaan Allah yang suci dan kekal dengan sesuatu yang najis dan fana. Ingatlah, Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan, “Sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan.” (Ibrani 12:29).
Kalau Allah kita adalah api yang menghanguskan, maukah kita hari ini tidak lagi mempermainkan iman kita dan Allah yang kita sembah ? Maukah Anda hari ini bertobat dari dosa dan kebiasaan kita yang menghina Allah baik secara eksplisit maupun implicit ? Amin.

Resensi Buku-6 : THE FIVE POINTS OF CALVINISM (LIMA POKOK CALVINISME) oleh : Rev. Prof. Edwin H. Palmer, Th.D., D.D.

...Dapatkan Segera...
Buku
THE FIVE POINTS OF CALVINISM (Lima Pokok Calvinisme)

oleh : Rev. Prof. EDWIN H. PALMER, Th.D., D.D. (HC)

Penerbit : Momentum Christian Literature (Fine Book Selection) 2005

Penerjemah : Elsye.







TULIP sudah begitu terkenal sebagai akronim untuk lima pokok ajaran Calvinisme berkenaan dengan keselamatan manusia, ajaran yang masih mengundang perdebatan dari pihak-pihak yang tidak memiliki pemahaman yang komprehensif akan kebenaran ajaran Alkitab tentang kedaulatan anugerah Allah dalam keselamatan manusia.

Dalam buku ini, Dr. Palmer menguraikan dengan bahasa yang mudah dimengerti, tetapi sama sekali tidak mengurangi keagungan dari kebenaran yang Alkitabiah tentang :
Total Depravity (Kerusakan Total)
Unconditional Election (Pemilihan Tanpa Syarat)
Limited Atonement (Penebusan Terbatas)
Irresistible Grace (Anugerah yang Tidak Dapat Ditolak)
Perseverance of the Saints (Ketekunan Orang-orang Kudus)

Membangun di atas uraian Firman Allah, Palmer kembali menunjukkan keunggulan doktrin Reformed serta menjawab serangan-serangan yang dengan mengatasnamakan Alkitab ditujukan kepada doktrin Reformed ; melalui analisis yang tajam dia menunjukkan bahwa semua serangan itu justru berlawanan dengan ajaran Alkitab.

Buku ini menyajikan kebenaran yang membuatkan setiap orang percaya menjadi rendah hati dan mendorongnya untuk bersyukur kepada Allah atas kehendak-Nya yang tak terukur, dan memuliakan nama-Nya. Lima Pokok Calvinisme adalah salah satu batu pijakan dalam langkah iman menuju kematangan. Dengan bagian pendalaman di akhir masing-masing bab, setiap pembaca dituntun untuk menemukan dan mengalami sendiri kedalaman kebenaran Firman dan keajaiban anugerah Allah.







Profil Dr. Edwin H. Palmer :
Rev. Prof. Edwin H. Palmer, Th.D., D.D. (HC) yang lahir pada tanggal 29 Juni 1922 dan bersekolah di Quincy, Massachusetts, adalah Direktur Pelaksana untuk penerjemahan Alkitab New International Version (NIV) dan Editor Umum untuk NIV Study Bible yang merupakan penuntun studi Alkitab terbaik dan terlaris. Beliau melayani sebagai Gembala di Christian Reformed Churches di Spring Lake, Ann Arbor, dan Grand Rapids serta menjabat sebagai pengajar dalam bidang Theologia Sistematika di Westminster Theological Seminary.
Beliau lulus dengan gelar Bachelor of Arts (A.B.) dari Harvard College pada tahun 1940, lalu meraih gelar Bachelor of Theology (Th.B.) dari Westminster Theological Seminary pada tahun 1949 dan Doctor of Theology (Th.D.) dari The Free University of Amsterdam pada tahun 1953. Pada tahun 1977, beliau mendapatkan gelar kehormatan Doctor of Divinity (D.D.) dari Houghton College. Beliau meninggal pada tahun 1980.