25 March 2010

Renungan Memperingati Jumat Agung 2010: SUDAH SELESAI! (Denny Teguh Sutandio)

Renungan Jumat Agung 2010



SUDAH SELESAI!

oleh: Denny Teguh Sutandio



“Sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah Ia: "Sudah selesai." Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya.”
(Yoh. 19:30)




Apakah signifikansi dari kematian seseorang? Biasanya jika seorang yang berpengaruh di masyarakat atau negara (entah itu filsuf, ilmuwan, presiden, pejabat, para pendiri agama, nabi, dll), maka kematiannya memiliki signifikansi tertentu, yaitu pada saat pemakamannya, banyak orang yang melayat sebagai tanda ikut berbela sungkawa. Atau mungkin juga kematiannya memberikan dampak langsung kepada masyarakat di sekitarnya melalui teori-teori yang diajarkannya ketika dia masih hidup. Tetapi semua signifikansi tersebut bersifat sementara saja, karena berorientasi pada hal-hal duniawi. Namun, ada kematian yang memberikan signifikansi luar biasa dahsyat yang bukan hanya berorientasi di dunia ini saja, tetapi juga di dunia akan datang. Kematian siapakah itu? Jelas, kematian ini bukan kematian seorang pendiri agama atau nabi, tetapi kematian dari Pribadi Tuhan Yesus Kristus.


Apa signifikansi kematian Kristus ini? Kita bisa mengerti signifikansi penting kematian Kristus melalui satu pernyataan teragung yang tidak akan pernah diucapkan oleh pendiri agama mana pun, yaitu “Sudah selesai.” (Yoh. 19:30) Apa arti “sudah selesai”? Bukankah kedua kata ini bermakna biasa saja di dalam dunia kita? Kedua kata ini telah banyak disalahmengerti. Ada yang menafsirkan bahwa perkataan Kristus ini sebagai sebuah bentuk keputusasaan. Benarkah demikian? Jika kita tidak mengerti kata aslinya, kita akan bisa menyalahtafsirkan kedua kata ini. Apa pentingnya kedua kata ini? Pada momen memperingati Jumat Agung, kita akan merenungkan makna kedua kata ini dan pengaruhnya yang luar biasa dahsyat.


“Sudah selesai” dalam terjemahan King James Version (KJV) maupun English Standard Version (ESV) diterjemahkan, “It is finished.” Dalam teks Yunaninya, kata ini adalah τελέω (teleō) yang bisa berarti telah dipenuhi atau lengkap atau diselesaikan. Dalam struktur katanya, kata ini berbentuk: Verb (kata kerja), third person (orang ketiga), singular (tunggal), perfect, passive (pasif), dan indicative. Di dalam terjemahan Indonesia, “Sudah selesai” tidak bisa dikategorikan apakah bentuk aktif atau pasif, namun dari kata Yunani, kita bisa mengerti bahwa kata ini berbentuk pasif. Dengan kata lain, artinya: sudah diselesaikan atau sudah dibayar. Apa yang diselesaikan atau dibayar oleh Kristus di atas kayu salib?


Pertama, utang dosa. DOSA adalah hal yang semakin langka di tengah dunia postmodern ini. Banyak psikolog non-Kristen TIDAK mau menyebut DOSA secara terus terang, karena bagi mereka, DOSA itu bisa melemahkan semangat dan kemampuan (baca: kehebatan) orang. Oleh karena itu, tidak heran, kata ini berusaha diperhalus dengan istilah-istilah, seperti: kelemahan, ketidakmampuan, dll. Penghalusan kata DOSA ini mengakibatkan manusia berpikir bahwa hal-hal seperti: kelemahan, ketidakmampuan, dll itu hal sepele dan bisa diatasi. Sehingga tidak heran, semakin kata DOSA diperhalus, manusia bukan makin mengerti artinya, tetapi makin berbuat dosa. Inilah ironisnya. Namun, sadar atau tidak sadar, kita harus mengakui satu hal bahwa DOSA itu eksis. Ambil contoh, ketika diberi atau memiliki 2 permen, anak kecil yang tidak diajar oleh siapa pun TIDAK mau membagikan permennya itu kepada temannya. Aneh bukan? Apakah ini yang namanya manusia lahir itu tanpa dosa seperti kertas putih (teori tabula rasa)? Hidup egois, apakah itu tidak berdosa? Mau tidak mau, suka tidak suka, DOSA telah meracuni kita sejak kecil, namun anehnya, kita sering kali tidak sadar (atau sebenarnya pura-pura tidak sadar)! Jika dari kecil kita sudah memiliki bibit dosa, lalu, bagaimana jalan keluarnya? Semua agama, filsafat, etika, kebudayaan, tradisi, ilmu, dll menawarkan beragam solusi. Solusi yang mereka tawarkan adalah solusi yang pragmatis dan berpusat pada manusia, yaitu berbuat baik. Meskipun ada agama yang mengajarkan tentang rahmat Allah, namun sayang, definisi rahmat dan aplikasinya tidak ada pada agama tersebut. Semua agama hanya memberi solusi untuk lepas dari dosa yaitu dengan berbuat baik, misalnya memberikan amal, zakat, menunaikan ibadah tertentu, bertarak (askese), dll. Secara logis, mungkinkah seorang yang berbuat baik bisa terlepas dari dosa? Mari kita berpikir sejenak. Ingatlah, kita dari kecil sudah membawa bibit dosa (dosa asal). Sebagai akibatnya, secara otomatis, apa yang ada pada diri kita, termasuk hati, pikiran, perkataan, tingkah laku, dan tindakan kita telah dicemari oleh dosa. Dosa asal mengakibatkan dosa tindakan. Setiap aspek hidup kita telah dicemari dosa, maka pertanyaan selanjutnya, mampukah kita berbuat baik? Kedua, ketika seseorang menyatakan “perbuatan baik”, tolong tanya, “baik” itu menurut standar apa dan siapa? Banyak orang mendefinisikan baik itu artinya: suka menolong, membantu, memberi, dll. Lalu, bagaimana dengan menegur dosa? Itu dianggap TIDAK BAIK. Mengapa? Karena itu bukan menyenangkan orang lain. Dengan kata lain, BAIK didefinisikan sebagai suatu tindakan yang berpusat kepada diri. Jika definisi BAIK sudah mengalami deviasi ini, maka logiskah seseorang (atau agama) yang mengajar bahwa agar terlepas dari dosa dan masuk “sorga”, manusia berbuat baik, padahal perbuatan baik itu sendiri tidak ada standarnya dan bahkan perbuatan baik itu berpusat kepada manusia? Inilah ketidakkonsistenan paradigma manusia berdosa. Pdt. Sutjipto Subeno memakai istilah: illogical logic (logika yang tidak logis).

Lalu, bagaimana solusinya? DOSA manusia TIDAK bisa diselesaikan dengan cara manusia, karena hal tersebut sia-sia adanya. Makin manusia berusaha berbuat baik, sebenarnya mereka makin tidak baik, karena motivasinya berbuat baik bukan untuk kebaikan itu sendiri. Jika mereka akhirnya tidak masuk “sorga”, apakah mereka masih berbuat baik? Sebuah tanda tanya yang besar… Tetapi puji Tuhan, Allah yang telah mencipta manusia dan menetapkan/mengizinkan dosa masuk ke dalam diri manusia adalah Allah yang juga telah menyediakan solusinya. Itulah dahsyatnya Allah kita. Dari kekekalan, Ia telah mempersiapkan Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dan menyelamatkan umat pilihan-Nya yang berdosa. Pada saat yang telah ditetapkan Bapa, Kristus berinkarnasi dan menjalankan semua tugas yang diemban-Nya dari Sang Bapa. Hal ini TIDAK berarti Kristus bukan Allah seperti yang dituduhkan oleh para Unitarian (“Kristen” yang menolak Allah Tritunggal dan memercayai satu pribadi Allah). Kristus yang menjalankan mandat dari Bapa juga tetap bernatur Allah, karena natur Allah di dalam Pribadi Kristus itu telah ada sebelum inkarnasi. Puncak karya Kristus adalah pada kematian-Nya di kayu salib. Kematian-Nya bukan seperti kematian para pendiri agama. Kematian para pendiri agama adalah kematian sebagai akibat dosa (upah dosa ialah maut—Rm. 6:23). Namun kematian Kristus bukan kematian akibat dosa, tetapi kematian yang mematikan dosa (theolog Dr. John Owen menulis bukunya berjudul, “The Death of Death in the Death of Christ”; diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Momentum dengan judul: “Kematian yang Menghidupkan”). Kematian-Nya juga membayar lunas utang dosa kita kepada Allah Bapa. Sebagai manusia berdosa, kita berutang dosa kepada Allah. Kita yang telah diciptakan-Nya bukannya hidup memuliakan-Nya, malahan justru menghina bahkan membuang-Nya dari hidup kita. Itulah utang dosa kita kepada Allah. Namun, melalui Kristus, utang dosa kita yang harus kita tanggung sendiri di hadapan Allah telah lunas dibayar oleh Kristus melalui kematian-Nya. Ada orang non-Kristen yang berkata bahwa Kekristenan itu tidak adil: mengapa yang berdosa manusia, yang menanggung hukuman dosa itu Yesus? Sepintas dari perspektif dunia berdosa, memang hal ini tidak adil, namun sesungguhnya hal ini adalah hal teragung sepanjang sejarah. Mengapa teragung? Karena di dalam sejarah, Allah, Sang Pencipta dan Pemelihara alam semesta menjelma menjadi manusia (tanpa meninggalkan natur Ilahi-Nya) demi menyelamatkan manusia yang berdosa. Kristus yang tidak berdosa dijadikan berdosa demi kita yang layak dihukum mati akibat dosa. Bukankah ini suatu keagungan yang terbesar sepanjang sejarah?

Jika kita telah dimerdekakan dari utang dan kuasa dosa, maka sudah seharusnya kita sebagai umat-Nya berusaha melawan dosa. Sebagai umat pilihan-Nya, kita masih bisa berdosa, tetapi kita TIDAK lagi dikuasai oleh dosa. Artinya, meskipun masih bisa berdosa, kita bisa juga terus-menerus melawan dosa. Bagaimana caranya? Berfokuslah kepada Kristus dan karya penebusan-Nya bagi kita, maka kita akan dimampukan untuk hidup terus-menerus memuliakan-Nya dengan melawan dosa. Tentu hal ini tidak mudah, tetapi biarlah Roh Kudus memampukan kita melakukannya demi hormat dan kemuliaan-Nya.


Kedua, kuasa iblis. Dosa mau tidak mau berkaitan erat dengan iblis, karena iblis adalah bapa dosa, tetapi tidak berarti kita dapat mengkambinghitamkan iblis sebagai alasan kita berbuat dosa. Kita berbuat dosa karena kita dengan mudahnya ditipu oleh si iblis. Kembali. Pada mulanya, iblis itu adalah Lucifer, malaikat Allah yang melayani Allah. Ia memiliki talenta suara yang merdu. Namun karena memberontak kepada Allah, maka Allah membuang Lucifer dan para pengikutnya menjadi iblis. Dengan kata lain, iblis berarti pemberontak/penantang Allah. Kejadian ini berlangsung sebelum Allah menciptakan manusia. Iblis yang telah dibuang Allah mulai beroperasi di dunia ini. Pertama, ia mencobai Hawa dan kemudian Adam. Pencobaan ini berhasil, sebagai akibatnya, Adam dan Hawa diusir dari Taman Eden. Kemudian, pencobaan itu terus berlanjut kepada anak Adam dan Hawa, yaitu Kain dan kembali, pencobaan itu berhasil, di mana Kain membunuh Habil. Tidak cukup sampai di situ, iblis mencobai manusia terus melalui dosa, hingga Allah benar-benar merasa “menyesal” telah menciptakan manusia (Kej. 6:6), bahkan Ia berjanji akan menghapuskan manusia (Kej. 6:7). Iblis terus mencobai manusia, bahkan para nabi pun tidak luput dari pencobaan tersebut. Sampai Tuhan Yesus pun, iblis pun nekat mencobai-Nya. Mengapa iblis mau mencobai Tuhan Yesus? Karena ia tahu bahwa kedatangan-Nya ke dunia ini untuk meremukkan kuasa iblis. Tetapi ia tidak menyadari bahwa yang dicobainya itu bukan manusia biasa, tetapi Allah. Tidak heran, pencobaan iblis kepada Tuhan Yesus sebanyak 3x ga-tot (gagal total), bahkan pada pencobaan ketiga, Kristus menghardik iblis. Apakah iblis menyerah? TIDAK. Iblis terus melancarkan serangan dahsyatnya kepada Tuhan Yesus, yaitu melalui para ahli Taurat dan orang Farisi yang mencari-cari kesalahan-Nya sampai pemerintah Pontius Pilatus dan Herodes. Yang paling fatal, salah satu murid Yesus, Yudas Iskariot dirasuk iblis (Yoh. 13:2) untuk melakukan tugas penyaliban Yesus. Menjelang kematian Kristus pun, iblis tidak segan-segan mencobai-Nya. Ketika kita melihat film The Passion of the Christ, Mel Gibson dengan tajam menggambarkan pencobaan iblis tersebut, yaitu ketika Kristus berdoa di Taman Getsemani, iblis yang digambarkan sebagai seorang yang berkepala gundul dengan membawa seorang anak mencobai-Nya dengan mengingatkan bahwa yang akan Ia alami itu begitu berat. Iblis juga datang dalam bentuk ular yang mau mematuk Yesus. Apakah Kristus menyerah? TIDAK. Justru Ia menang di titik awal, yaitu dengan meremukkan kepala si ular. Penggambaran Mel Gibson di dalam film ini begitu tajam.

Kemenangan Kristus dengan meremukkan kepala si ular ketika berada di Taman Getsemani dilanjutkan dengan kemenangan-Nya ketika Ia telah menyelesaikan karya penebusan-Nya melalui kematian-Nya di kayu salib. Kembali, dengan tajam, Mel Gibson mengisahkan di dalam film tersebut, bahwa ketika Kristus mati di kayu salib, iblis berteriak, ya, sebuah teriakan kekalahan. Haleluya! Kematian Kristus benar-benar telah meremukkan kuasa iblis, sehingga iblis TIDAK lagi memiliki kuasanya apalagi atas umat Tuhan. Jaminan kematian Kristus ini menguatkan kita tatkala kita harus bersaksi di tengah dunia. Di tengah dunia, iblis terus menggoda kita untuk menjauh dari Allah. Rev. Joshua Eugene Harris di dalam salah satu khotbahnya yang berjudul Resisting Lust mengungkapkan bahwa hawa nafsu membuat kita tidak berfokus pada (atau menjauh dari) Allah. Meskipun iblis berusaha merayu kita untuk menjauh dari-Nya, sebagai umat-Nya, kembalilah kepada-Nya, percayalah bahwa Kristus yang telah mati bagi kita adalah Kristus yang telah meremukkan kuasa iblis, sehingga ia tidak akan mampu menguasai hidup kita. Oleh karena itu, anak Tuhan sejati TIDAK mungkin akan bisa disantet, karena Roh Kudus yang ada di dalam diri mereka lebih besar dari roh dunia (1Yoh. 4:4) dan juga Roh Kudus tersebut yang mengefektifkan karya penebusan Kristus itu ke dalam diri umat pilihan-Nya, sehingga kuasa iblis TIDAK mampu menembus hidup umat pilihan-Nya. Inilah hak istimewa kita sebagai anak-anak-Nya. Jika kita telah mendapatkan jaminan yang luar biasa agung ini, masihkah kita takut dan menyerah kepada rayuan iblis? Iblis dan kuasanya telah diremukkan melalui kematian Kristus, kita sebagai anak-anak-Nya yang telah ditebus-Nya wajib mengusir iblis dengan kuasa Kristus. Mengusir setan bukan karunia, tetapi hak setiap anak Tuhan yang telah ditebus Kristus. Amin?


Ketiga, kuasa maut. Upah dosa ialah maut (Rm. 6:23). Karena semua manusia telah berbuat dosa dan tidak mencukupi kemuliaan Allah (Rm. 3:23; terjemahan Inggris), maka semua manusia pasti menghadapi maut atau kematian. Kematian mengakibatkan rasa takut dalam diri manusia. Kalau kita memperhatikan beberapa (atau bahkan banyak) orang yang dirawat di UGD rumah sakit dan sudah menunggu ajalnya, mereka akan takut sekali, karena mereka merasa selama hidupnya, mereka sering berdosa. Aneh juga manusia itu. Selama hidup, tidak merasa diri berdosa, tetapi mau menjelang ajal, langsung tiba-tiba sadar dosa. Dengan kata lain, kematian menyadarkan kefanaan dan keberdosaan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Mereka menyadari bahwa kematian itu titik kritis manusia. Ketakutan akan kematian juga disebabkan oleh maraknya tema-tema kematian di kalangan media elektronik, seperti film, khususnya film Indonesia. Film-film seperti Suster Ngesot, Suster Keramas, Hantu Jeruk Purut, Jailankung, dll menjadi tema film Indonesia yang banyak beredar. Di TV dan radio pun tidak kalah menariknya. KisMis (Kisah-kisah Misteri) juga beredar. Semua ini membuat manusia makin takut menghadapi kematian.

Lalu, bagaimana jalan keluarnya? Setiap orang termasuk orang Kristen pasti meninggal, namun ada yang membedakan antara anak Tuhan sejati yang meninggal vs orang dunia yang meninggal. Anak Tuhan sejati meninggal bukan dengan ketakutan, tetapi dengan damai sejahtera. Mengapa? Karena mereka telah meninggal di dalam Kristus yang telah mati baginya dan telah mengalahkan kuasa maut. Mereka yang seharusnya menerima hukuman maut akibat dosa telah digantikan oleh kematian Kristus yang membayar lunas utang dan kuasa maut, sehingga anak-anak-Nya meskipun harus mati secara fisik, mereka tidak akan mati kekal, namun menikmati hidup kekal bersama Bapa di Sorga. Sedangkan mereka yang tidak di dalam Kristus akan mengalami kematian dua kali, yaitu: kematian fisik dan kematian kekal (terpisah selama-lamanya dari Allah).


Kematian Kristus telah menyelesaikan utang dosa, mematahkan kuasa iblis, dan mematahkan/membayar kuasa maut kepada Allah Bapa. Kematian-Nya menjamin bahwa kita yang ada di dalam Kristus, tidak akan menerima penghukuman, karena Ia telah menggantikan kita di atas kayu salib. Pengorbanan-Nya membuktikan kasih-Nya kepada kita begitu besar (tak terukur). Bagaimana dengan kita? Ia yang telah berkorban mati di atas kayu salib bagi kita, apakah kita juga rela mati dan berkorban demi Kristus yang telah mati bagi kita? Biarlah Jumat Agung tahun ini menjadi Jumat Agung yang bermakna bagi kita, sehingga kita sebagai anak-anak-Nya dapat hidup terus memuliakan-Nya di mana pun kita ditempatkan Tuhan. Amin. Soli DEO Gloria…

24 March 2010

Eksposisi 1 Korintus 4:10-13 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 4:10-13

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 4:10-13



Dalam bagian sebelumnya (4:8-9) Paulus telah menunjukkan bahwa kesombongan jemaat Korintus merupakan sebuah ironi, karena keadaan mereka sekarang adalah berkat pelayanan dari para rasul yang “hina”. Kini di ayat 10-13 ia menjelaskan secara lebih rinci tentang kehinaan yang dia maksud. Ayat 10 memaparkan kontras antara para rasul dan jemaat Korintus. Ayat 11-12a membahas tentang kehinaan para rasul yang terlihat dari beragam penderitaan yang mereka alami. Penderitaan semacam ini menurut kacamata dunia waktu itu memang dpandang sebagai kelemahan, walaupun di dalam Kristus semua itu justru menunjukkan kekuatan. Ayat 12b-13a kehinaan para rasul kembali dibahas oleh Paulus, tetapi kali ini terlihat dari cara mereka menghadapi penderitaan. Menurut budaya waktu itu sikap lunak yang mereka tunjukkan kepada orang-orang yang menentang mereka dapat dilihat sebagai kelemahan. Pada bagian terakhir, yaitu ayat 13b, Paulus menutup dengan menekankan kembali tentang betapa hinanya posisi para rasul menurut ukuran duniawi waktu itu.


Kontras antara para rasul dan jemaat Korintus (ay. 10)
Sama seperti di ayat 8-9, di ayat 10 Paulus tetap memakai gaya bahasa ironis. Hal-hal positif yang dia kemukakan tentang jemaat Korintus sebenarnya memang benar jika dilihat dari sudut pandang injil. Sayangnya, jemaat Korintus sedang berusaha merendahkan injil dan mencari jati diri melalui hikmat dunia. Mereka berpikir bahwa hikmat itu akan membuat mereka berhikmat, kuat dan mulia, padahal semua ini sebelumnya sudah mereka dapatkan dari injil. Keadaan mereka sekarang justru kebalikan dari semuanya itu.

Di ayat 10a Paulus menyebut para rasul sebagai orang yang bodoh karena Kristus, sedangkan jemaat Korintus adalah arif (lit. “berhikmat”) di dalam Kristus. Pernyataan ini jelas merupakan sebuah ironi. Menurut ukuran waktu itu Paulus bukanlah tipikal orang yang bodoh. Dia menguasai berbagai filsafat Yunani dan belajar Taurat di bawah Rabi Gamaliel yang tersohor. Surat-suratnya yang sangat mendalam menunjukkan betapa pikirannya sangat mendalam (bdk. 2Ptr. 3:16). Bagaimanapun, Paulus tetap mengaku sebagai orang bodoh. Ketika dia menerima “kebodohan injil” (1:18, 21, 23), maka dunia akan menganggap dia bodoh juga, tetapi dia tetap tidak peduli. Di pasal 3:18 dia bahkan menasehati jemaat yang merasa berhikmat menurut ukuran dunia untuk menjadi bodoh.

Kebodohan ini adalah karena Kristus (LAI:TB). Semua versi Inggris memilih “untuk atau demi Kristus”. Terjemahan yang terakhir ini tampaknya lebih tepat, meskipun dari sisi tata bahasa terjemahan LAI:TB juga memungkinkan. Para rasul rela dianggap bodoh oleh dunia demi Kristus. Meminjam istilah Paulus di tempat lain, dia mau menganggap semua kelebihan duniawi sebagai sampah supaya dia memperoleh Kristus (Flp. 3:8).

Di sisi lain Paulus menyindir jemaat Korintus yang menganggap diri berhikmat. Menurut ukuran dunia mereka sebenarnya tidak banyak yang berhikmat (1:26a), tetapi mereka malah merasa berhikmat menurut dunia. Mereka seharusnya menyadari bahwa posisi mereka di dalam Kristus (4:10a) telah membuat mereka menjadi berhikmat, karena injil adalah hikmat Allah (1:24, 27a; 2:6-7). Mereka bahkan dipilih untuk memalukan orang-orang yang berhikmat (1:27a). Ironisnya, mereka justru meninggalkan injil dan mencoba menjadi berhikmat melalui ukuran dunia.

Kontras selanjutnya di ayat 10b adalah “lemah – kuat”. Menurut ukuran dunia waktu itu Paulus dulu adalah orang yang kuat atau berpengaruh (Kis. 8:1-3; 9:1-2; Flp. 3:4-6). Ketika dia memutuskan untuk menerima dan memberitakan injil, maka dia dikategorikan oleh dunia sebagai orang yang lemah. Dia sendiri mengakui kelemahannya dalam memberitakan injil jika diukur dari keahlian retorika waktu itu (2:3). Bagaimanapun, dia tetap menonjolkan kelemahan itu supaya iman jemaat tidak didasarkan pada hikmat manusia tetapi pada kekuatan Allah (2:5). Sama seperti Yesus yang disalibkan karena kelemahan tetapi kemudian dibangkitkan dalam kuasa, demikian pula Paulus meyakini hal yang sama akan terjadi atas dia (2Kor. 13:4). Dengan kata lain, kelemahan Paulus justru semakin menunjukkan kekuatan Kristus (2Kor. 12:9). Ketika dia lemah, dia makin kuat (2Kor. 12:10).

Di sisi lain jemaat Korintus menurut ukuran dunia sebenarnya tidak banyak yang punya pengaruh (1:26b). Sekarang mereka merasa diri kuat karena telah menerima hikmat dunia. Situasi ini tentu saja sangat ironis. Mereka seharusnya memahami bahwa kekuatan yang sesungguhnya terletak pada injil, karena injil adalah kekuatan Allah (1Kor. 1:24; bdk. Rm. 1:16-17).

Kontras terakhir disinggung Paulus di ayat 10c. Para rasul adalah hina, sedangkan jemaat Korintus mulia. Perubahan urutan dari “kami-kamu” (ay. 10a-b) menjadi “kamu-kami” (ay. 10c) mungkin dimaksudkan sebagai persiapan ke ayat 11 yang hanya terfokus pada diri para rasul. Walaupun Paulus secara duniawi adalah orang yang terpandang, namun dia mengakui kehinaannya di dalam Kristus. Sebaliknya jemaat Korintus yang tidak terpandang (1:26c) malah menyombongkan diri. Mereka seharusnya mengetahui bahwa Allah memilih orang-orang yang tidak terpandang menurut dunia ini untuk memalukan orangorang yang mulia (1:28). Mereka juga perlu mengerti bahwa Allah telah menyiapkan kemuliaan bagi mereka yang menerima injil (2:7).


Kehinaan para rasul yang terlihat dari beragam penderitaan yang mereka alami (ay. 11-12a)
Ungkapan “sampai pada saat ini” (ay. 11a) menunjukkan bahwa semua penderitaan yang Paulus alami merupakan pengalaman yang terus-menerus dia miliki. Pemunculan ulang ungkapan ini di ayat 13c turut memberi penekanan tentang ha ini. Penekanan seperti ini perlu ditunjukkan Paulus karena jemaat Korintus sudah merasa diri kaya, kenyang dan menjadi raja (4:8).
Jenis penderitaan yang disebut di ayat 11-12a bukanlah daftar yang lengkap. Jika kita bandingkan dengan 2 Korintus 11:23-28, maka kita akan mengetahui bahwa penderitaan Paulus jauh lebih banyak lagi. Semua penderitaan ini tampak bertolak belakang dengan kehidupan para ahli retorika waktu itu. Mereka adalah orang-orang yang mapan secara materi dan dihormati secara sosial. Apa yang menimpa Paulus di mata jemaat Korintus semakin mempertegas kehinaan Paulus sebagai seorang pengkhotbah. Keengganan mereka untuk menghormati Paulus maupun menyokong pelayanannya secara materi (1Kor. 9:1-3, 15; 2Kor. 11:7-9) sangat mungkin dipicu oleh profil Paulus sebagai pengkhotbah rendahan menurut ukuran waktu itu.

Paulus menceritakan bahwa para rasul lapar dan haus (4:11a). Keadaan ini berbeda dengan keadaan jemaat Korintus yang telah merasa kenyang (4:8). Secara jasmani Paulus memang kerap mengalami kekurangan sampai tidak bisa makan (2Kor. 11:27; Flp. 4:11-12), namun secara rohani dia dikenyangkan oleh injil. Sebaliknya, jemaat Korintus yang merasa kenyang secara jasmani maupun rohani sebenarnya belum seberapa kenyang karena masih tidak dapat mengkonsumsi makanan keras (3:2; 4:8)..

Penderitaan lain yang dialami para rasul adalah ketelanjangan (4:11b). Kata Yunani gumniteuw memiliki arti yang sangat luas, dari telanjang bulat sampai kekurangan pakaian luar. Menurut asal-usul kata (etimologi), kata ini mula-mula dipakai dalam konteks militer untuk mereka yang tidak berpakaian perang dengan lengkap. Dalam perkembangan selanjutnya kata ini dapat dipakai dalam konteks lain di luar kemiliteran. Terlepas dari arti yang spesifik dari kata ini, entah benar-benar tidak memiliki pakaian apa pun atau sekadar kekurangan pakaian luar, kita tetap dapat membayangkan rasa dingin yang dialami oleh para rasul (bdk. Ayb. 24:7).

Kekurangan pakaian waktu itu juga memiliki konotasi sosial yang rendah. Orang-orang yang berasal dari kalangan terhormat dan kaya biasanya memiliki pakaian yang berlapis-lapis, sedangkan mereka yang secara sosial berada di bawah biasanya memakai pakaian dalam jumlah yang sedikit. Tidak heran, Alkitab sering kali memakai gambaran “ketelanjangan” untuk menunjukkan status yang rendah atau dipermalukan (Ul. 28:48; Ayb. 12:17; Yes. 20:3-4; Hos. 2:3).

Para rasul juga mengalami pemukulan (4:11c). Sama seperti kata gumniteuw (ay. 11b), kata dasar kolafizw di bagian ini juga memiliki jangkauan arti yang luas. Kata ini dapat berarti menyerang secara verbal maupun fisik. Berdasarkan pemunculan kata “aniaya” di ayat 12, para penafsir biasanya memahami kata kolafizw dalam konteks ini secara lebih serius, mencakup kekerasan secara fisik. Pemunculan kata kolafizw di Alkitab juga menunjukkan bahwa kekerasan fisik merupapakan arti yang umum dari kata ini (Mat. 26:67; Mrk. 14:65; 1Ptr. 2:20). Paulus memang sering mengalami sesahan, deraan, pukulan maupun pelemparan batu selama dia melayani (2Kor. 11:24-25; bdk. Kis. 16:22-23; 21:32; 22:24-25).

Penderitaan lain yang dialami oleh para rasul adalah hidup mengembara (4:11d). Sebagai seorang pengkhotbah keliling, para rasul tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Sama seperti Yesus yang tidak memiliki tempat untuk meletakkan kepala-Nya (Mat. 8:20//Luk. 9:58), demikian pula para rasul terus mengembara. Bagi mereka kehidupan seperti ini bukanlah suatu masalah karena kewarganegaraan mereka adalah di surga (Flp. 4:20a). Di dunia ini mereka hanyalah seperti orang asing atau pendatang (Ibr. 11:13; 1Ptr. 1:17).

Penderitaan terakhir yang disebut adalah bekerja keras dengan tangan sendiri (4:12a). Paulus telah memutuskan untuk tidak menerima tunjangan apa pun dari jemat Korintus (1Kor. 9:1-18; 2Kor. 11:7-8). Dia bekerja sebagai pembuat tenda untuk memenuhi kebutuhannya maupun orang lain (Kis. 18:3). Pekerjaan semacam ini termasuk pekerjaan rendahan dan sangat menguras tenaga (1Tes 2:9), karena itu di 1 Korintus 4:12a Paulus menambahkan kata kopiaw yang menyiratkan makna kerja dengan keras, berpeluh atau letih (15:10; 16:16; bdk. Mat. 11;28; Luk. 5:5; Yoh. 4:6; Rm. 16:6, 12; Gal. 4:11; Ef. 4:28; Flp. 2:16; Kol. 1:29; 1Tes. 5:12; 1Tim. 4:10; 5:17; 2Tim 2:6; Why. 2:3).


Kehinaan para rasul yang terlihat dari cara mereka meresponi penderitaan yang mereka alami (Ayb.. 12b-13a)
Paulus tidak hanya berhenti pada beragam penderitaan yang menimpa para rasul, namun dia selanjutnya menjelaskan bagaimana para rasul meresponi semua itu. Menurut budaya waktu itu respons para rasul di sini – memberkati, sabar dan menjawab dengan ramah – merupakan sikap yang menunjukkan kelemahan dan ketidakberdayaan. Orang yang kuat adalah mereka yang berani menentang para penentangnya. Lemah-lembut adalah kelemahan, mengalah adalah kekalahan. Di mata Paulus, respons para rasul justru adalah kemenangan, karena sikap inilah yang juga ditunjukkan oleh Kristus (Luk. 6:27-28). Menderita bagi injil merupakan kebahagiaan (Mat. 5:9-12; Luk. 6:20-23), sekaligus kasih karunia bagi orang percaya (Flp. 1:29; 1Ptr. 2:19).

Di ayat 12b Paulus menyebut kata “memberkati” (eulogew). Secara hurufiah kata ini berarti “mengatakan sesuatu yang baik”. Berdasarkan kontras antara eulogew dan kataraomai (“mengutuk”) di Roma 12:14, kita sebaiknya menafsirkan eulogew sebagai “memberkati”. Eulogew berarti mengharapkan hal-hal yang baik terjadi atas orang lain. Contoh yang paling jelas tentang sikap ini adalah doa Yesus di atas salib agar para musuhnya diampuni oleh Bapa karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan (Luk. 23:34).

Respons yang kedua adalah sabar (ay. 12c). Sabar di sini bukanlah sekadar sikap pasrah karena tidak ada kekuatan untuk melawan atau melarikan diri dari tekanan. Sikap “sabar” (anecomai) muncul karena dorongan kasih, bukan dari keterpaksaan. Kata ini beberapa kali dihubungkan dengan kasih atau pengampunan (Ef. 4:2; Kol. 3:13). Kata ini juga tidak bermakna pasif (sekadar menerima). Kata ini menunjukkan kemauan untuk “bertahan” (ASV/NIV/NASB/RSV) atau “menderita” (KJV), walaupun ada peluang untuk melawan atau melarikan diri (bdk. Mat. 17:17//Mrk. 9:19//Luk. 9:41; 2Tes. 1:4).

Respons berikutnya adalah menjawab dengan ramah (ay. 13a). Kata parakalew yang dipakai di bagian ini cukup sulit untuk diterjemahkan, karena kata ini memiliki arti yang beragam. Tidak heran para penerjemah dalam hal ini memberikan usulan yang berbeda, misalnya “memohon dengan sangat” (ASV/YLT), “berbicara dengan manis” (NIV/RSV) atau “mendamaikan” (RSV/NASB). Pemunculan kata di surat 1 Korintus juga tidak terlalu banyak membantu, karena kata ini dipakai dalam arti “menasehati” (1:10; 4:16), “memberi kekuatan/penghiburan” (14:31), “mendesak” (16:12) maupun “memohon” (16:15). Berdasarkan konteks pasal 4, di sini makna parakalew tampaknya lebih mengarah pada usaha Paulus untuk mendamaikan dirinya dengan jemaat Korintus. Dia ingin agar dia dan jemaat memiliki sikap yang sama (4:16). Jadi, parakalew di ayat 13a sebaiknya diterjemahkan “berdamai”.


Konklusi: menurut ukuran dunia, para rasul tidak berharga sama sekali (Ayb.. 13b)
Di bagian ini Paulus menegaskan kembali tentang kerendahan atau kehinaan para rasul. Dia menggambarkan para rasul sebagai sampah dan kotoran. Kata “menjadi” (ginomai) menyiratkan bahwa mereka bukan hanya diperlakukan seperti sampah atau kotoran, tetapi mereka memang menjadi sampah! Tense aorist yang dipakai (egenhqhmen) turut mempertegas ide tentang kesungguhan ini.

Kata “sampah” (perikaqarma) dan “kotoran” (periyhma) memiliki arti yang sangat mirip. Keduanya sama-sama merujuk pada sesuatu yang tidak berharga dan layak dibuang, baik debu dari tanah (perikaqarma) atau kotoran dari tubuh (periyhma). Pemakaian dua kata ini secara bersamaan bertujuan untuk menekankan betapa hinanya para rasul. Walaupun kata Yunani yang dipakai berbeda, namun ide yang disampaikan Paulus di sini sangat mungkin sama dengan Ratapan 3:45 “kami Kaujadikan kotor dan keji di antara bangsa-bangsa”, yaitu kehinaan. Penggunaan kata “dunia” dan “segala sesuatu” turut memperjelas kehinaan para rasul. Mereka benar-benar adalah yang paling hina (bdk. 4:9).

Sebagian penafsir berpendapat bahwa di ayat 13b Paulus tidak hanya memikirkan kotoran atau sampah secara umum. Ia sedang menampilkan para rasul sebagai penjahat yang layak untuk dihukum demi ketentraman suatu kota. Hal ini didasarkan pada penggunaan kata perikaqarma di Amsal 21:18. Dalam budaya kuno memang sering dijumpai sebuah tradisi tentang upaya penduduk desa menghentikan musibah di desa mereka dengan cara mengorbankan seseorang yang dianggap sebagai penyebab masalah. Orang yang dipilih biasanya adalah yang paling jahat. Orang ini selanjutnya dihukum mati di hadapan semua penduduk dan sebelum dia dihukum mati orang itu harus mengucapkan berkat untuk penduduk tersebut. Gambaran seperti ini tampaknya cocok dengan konteks 1 Korintus 4. Para rasul menjadi tontonan semua orang (4:9) dan merek amengucapkan berkat ketika dicaci-maki. Selain itu, semua ini dilakukan oleh para rasul demi kebaikan jemaat Korintus.


Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 14 September 2008

19 March 2010

Eksposisi 1 Korintus 1:10-12 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 1:10-12

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 1:10-12



Surat 1 Korintus membahas berbagai masalah, baik yang didengar Paulus dari keluarga Kloe (1:10-6:20) maupun dari surat-surat mereka (7:1-16:19). Dari sekian banyak problem yang ada, problem perselisihan seputar hikmat dan kultus individu pemimpin (pasal 1-4) merupakan yang paling. Problem ini dibahas lebih dahulu. Problem ini juga dibahas secara panjang lebih (4 pasal).

Jemaat Korintus bukan sekedar mengangungkan para pemimpin lain atas nama hikmat (pasal 1-3), tetapi sebagian mereka juga mempertanyakan kredibilitas Paulus sebagai rasul (pasal 4). Di tengah situasi seperti ini, bagaimana sikap Paulus dalam menghadapinya?


Memberikan Nasehat yang Subyektif (ay. 10)
Walaupun perselisihan yang ada cukup serius dan ditujukan untuk menyerang Paulus, namun dia tetap mampu menyebut semua jemaat Korintus sebagai “saudara-saudara” (ay. 10-11). Sapaan ini bahkan muncul 21 kali dalam seluruh 1 Korintus dan termasuk salah satu surat Paulus yang paling banyak memuat kata “saudara-saudara”. Sapaan ini bukan sekedar kebiasaan atau formalitas. Melalui sapaan ini Paulus ingin mengajarkan bahwa persaudaraan di dalam Kristus tidak akan dapat dibatalkan oleh apapun juga, termasuk oleh perbedaan pendapat yang ada di antara mereka.

Paulus tidak memberikan nasehat untuk sebagian jemaat saja – terutama yang membela dia – namun untuk semua jemaat. Hal ini terlihat dari kata Yunani pantes di ayat 10 (LAI:TB tidak menerjemahkan kata ini). Sesuai teks Yunani yang ada, ayat 10 seharusnya diterjemahkan “...Yesus Kristus, supaya kamu semua...”. Di mata Paulus, siapa pun yang terlibat dalam perpecahan pasti telah melakukan kesalahan (3:3-4), sehingga perlu dinasehati.

Nasehat yang akan diberikan Paulus dilandaskan pada hal yang objektif, yaitu “demi nama Tuhan Yesus Kristus”. Ungkapan seperti ini merupakan salah satu cara yang dipakai Paulus untuk memberi penekanan pada apa yang dia katakan (1Tes. 5:27; 2Tes. 3:6, 12). Bukan hanya untuk penekanan, ungkapan ini juga menyiratkan bahwa apa yang akan dikatakan didasarkan pada karya Kristus Yesus. Dalam 1 Korintus 1:10 Paulus tidak mengarahkan jemaat pada jasa-jasanya selama memulai pelayanan di Korintus. Sebaliknya, dia justru membawa jemaat untuk berpola pikir kristosentris (berpusat pada Kristus). Karya Kristus memberi dasar yang kuat bagi nasehat yang akan dia berikan (bdk. Flp. 2:1-2 “karena di dalam Kristus ada....karena itu...”).

Apa isi nasehat Paulus? Apakah nasehat yang diberikan bersifat memihak atau menguntungkan salah satu pihak? Dia ternyata memberi nasehat yang objektif. Semau nasehat ini berpusat pada kesatuan, sebagaimana tersirat dari pengulangan kata “yang sama” di ayat 10b (terjemahan LAI:TB tidak terlalu jelas).

Pertama, supaya mereka seia-sekata. Menurut teks aslinya, nasehat ini sebaiknya diterjemahkan “supaya kamu semua terus-menerus mengatakan/berkata (legete) yang sama” (ASV/KJV). Versi yang lebih modern memilih “supaya kamu semua setuju [satu dengan yang lain]” (NIV/NASB/RSV). Tense present yang dipakai mengindikasikan bahwa hal ini harus menjadi gaya hidup mereka (terus-menerus).

Kedua, supaya tidak ada perpecahan di antara mereka. Perbedaan pendapat mungkin – bahkan pasti - ada. Jemaat Korintus berasal dari latarbelakang etnis, sosial dan ekonomi yang berbeda. Mungkin mereka masih memiliki perbedaan-perbedaan lain. Semua perbedaan ini sah-sah saja, sejauh hal itu tidak sampai menimbulkan perpecahan.

Ketiga, supaya kamu erat bersatu dan sehati sepikir. Terjemahan yang lebih hurufiah seharusnya “supaya kamu disempurnakan (katertismenoi) dalam pikiran (noi) yang sama dan pandangan/penilaian (gnome) yang sama” (semua versi Inggris). Kata dasar katartizo muncul beberapa kali dalam tulisan Paulus dan memiliki arti “menyempurnakan” (Friberg Lexicon, lih. 2Kor. 13:11; 1Tes. 3:10 – “menambahkan” seharusnya “menyempurnakan”; 2Tim. 3:17). Dari pilihan kata ini terlihat bahwa mereka bukan hanya perlu bersatu (LAI:TB), tetapi persatuan itu harus sempurna (semua versi Inggris).

Mereka perlu disempurnakan dalam cara berpikir yang sama. Kata Yunani yang dipakai adalah nous. Kata ini lebih menyoroti cara berpikir, bukan isi pikiran. Paulus menasehatkan orang percaya agar jangan memiliki cara berpikir (nous) orang-orang non-kafir yang sia-sia (Ef. 4:17). Sebaliknya, orang percaya harus terus-menerus mengalami perubahan nous (Rm. 12:2; Ef. 4:23) dan memiliki nous Kristus (1Kor. 2:16).

Mereka juga perlu disempurnakan dalam pendapat yang sama. Kata Yunani gnome yang dipakai di sini muncul 5 kali dalam tulisan Paulus. Dari 5 pemunculan ini, 4 di antaranya muncul di surat Korintus dan selalu memiliki arti “pendapat” (1Kor. 1:10; 7:25, 40; 2Kor. 8:10).

Dari isi nasehat yang ada, apakah Paulus menganggap bahwa persatuan harus didasarkan pada kesamaan? Bukankah persatuan tetap dapat dipertahankan sekalipun dalam perbedaan (Bhineka Tunggal Ika)? Apakah setiap orang percaya benar-benar harus mengatakan yang sama, disempurnakan dalam cara pikir dan pendapat yang sama?

Pertanyaan seperti di atas dapat dijawab dengan mudah apabila kita menyadari persoalan khusus yang dibahas di 1 Korintus 1:10. Perpecahan ini bukan hanya melibatkan pengultusan pemimpin, tetapi berkaitan dengan isu “hikmat” (kata sophia muncul 14 kali di 1 Korintus 1-3). Sebagian jemaat menganggap diri pandai (menurut ukuran dunia) dan menganggap Injil sebagai sebuah kebodohan. Untuk menghadapi situasi ini, Paulus memerintahkan agar mereka memiliki kesamaan. Hal ini berarti bahwa dalam hal “Injil”, semua harus memiliki pandangan yang sama (bdk. Gal. 1:8-9). Seorang teolog pernah memberi nasehat “dalam hal-hal yang pokok kita harus sama, dalam hal-hal yang tidak pokok boleh berbeda, dalam segala hal adalah kasih”.


Memiliki Sumber Informasi yang Terpercaya (ay. 11-12)
Paulus tidak hanya memberikan nasehat saja. Dia selanjutnya menjelaskan bagaimana dia mengetahui perpecahan yang ada dalam jemaat Korintus. Dia ternyata diberitahukan oleh orang-orang dari keluarga Kloe. Merekalah yang menginformasikan kepada Paulus tentang apa yang sedang terjadi. Paulus tidak mencari tahu, karena tindakan ini dapat menimbulkan lesalahpahaman dan memperkeruh situasi. Dia hanya menerima informasi.

Siapa orang-orang dari keluarga Kloe ini dan siapakah Kloe itu? Dari nama yang ada, Kloe adalah seorang perempuan. Dia sangat mungkin merupakan orang yang kaya dan terpandang. Kata “orang-orang” sebenarnya tidak muncul di teks Yunani, tetapi makna itu memang dapat dibenarkan dari tata bahasa yang ada (lit. “telah diberitahukan oleh [...] Kloe”). “Orang-orang” di sini mungkin adalah para budak Kloe atau rekan-rekan bisnisnya. Ketenaran Kloe dapat dilihat dari fakta bahwa Paulus merasa tidak perlu menjelaskan lagi siapa yang dia maksud sebagai Kloe, sekalipun nama seperti ini mungkin banyak dijumpai waktu itu.

Para sarjana berdebat tentang identitas Kloe. Sebagian menganggap dia adalah salah satu yang diutus jemaat Korintus untuk membawa surat-surat dan menemui Paulus, namun hal ini tampaknya tidak sesuai dengan pasal 16:17-18. Selain itu, seandainya mereka memang dari kalangan jemaat Korintus, bukankah hal itu berpotensi menambah masalah yang ada karena mereka mungkin termasuk pada salah satu pihak yang bertikai (apalagi kalau mereka termasuk golongan Paulus)? Sebagian sarjana lain cenderung melihat Kloe (dan orang-orangnya) sebagai orang yang objektif dan tidak berdomisili di Korintus sehingga tidak terlibat dalam perpecahan yang ada. Kloe mungkin seorang pedagang keliling yang kaya dan para bawahannya pernah mengunjungi jemaat Korintus.

Setelah menyebutkan sumber berita (ay. 11a), Paulus lalu menjelaskan inti berita itu (ay. 11b-12). Jemaat Korintus terlibat perselisihan yang melibatkan nama pemimpin. Penjelasan ini perlu diberikan Paulus karena jemaat Korintus tidak hanya terlibat dalam satu macam perselisihan. Mereka mengalami konflik secara legal (6:1-11), konflik antara yang kuat dan lemah imannya (8:1-13), antara laki-laki dan perempuan (11:1-16), yang kaya dan miskin (11:17-34), konflik seputar karunia roh (pasal 12-14).

Perselisihan yang melibatkan nama pemimpin diungkapkan dalam kalimat “aku dari golongan Petrus, Apolos, Kefas dan Petrus”. Dari teks Yunani yang ada sebenarnya tidak ada kata “dari golongan”. Teks hanya menulis “I am of...”. Terlepas dari apakah “of” di sini berarti “milik” atau “pendukung” (lihat eksposisi selanjutnya), masalahnya sudah cukup jelas. Mereka melibatkan nama para pemimpin, padahal pemimpin-pemimpin itu tidak berhubungan sama sekali dengan perselisihan yang ada. Hal ini terlihat dari pandangan positif Paulus terhadap Apolos (3:6) maupun permintaannya agar Apolos mengunjungi jemaat Korintus (16:12).

Sebagian mendukung Paulus karena dia adalah yang merintis jemaat di Korintus dengan segala kesulitan (Kis. 18:1-18) dan kesederhanaan yang ada (1Kor. 2:1-5). Apolos adalah penerus Paulus (Kis. 19:1; bdk. 1Kor. 3:6 “Paulus menanam, Apolos menyiram”). Dia seorang yang fasih bicara dan menguasai kitab suci (Kis. 18:24-28). Tentang Kefas, tidak ada catatan eksplisit bahwa dia pernah menggembalakan jemaat Korintus. Bagaimanapun, 1 Korintus 9:5 tampaknya menyiratkan hal ini. Di ayat ini Paulus secara khusus menyebut nama Kefas, walaupun Kefas sebenarnya sudah termasuk ke dalam kategori “rasul-rasul lain”.

Bagaimana dengan mereka yang dari golongan Kristus? Apakah mereka orang yang rohani dan tidak terlibat dalam perselisihan yang ada? Dari cara Paulus menyamakan golongan ini dengan yang lain (golongan Kristus adalah golongan keempat) dapat disimpulkan bahwa mereka adalah partai lain dalam perpecahan ini. Para sarjana menduga mereka adalah jemaat yang merasa diri “rohani” padahal sebenarnya tidak. Pertengkaran seputar karunia rohani di pasal 12-14 cukup untuk membuktikan bahwa di antara jemaat ada yang terjebak pada kerohanian yang semu. Mereka ikut dalam perselisihan, tetapi mereka bersembunyi di balik nama Kristus.




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 11 November 2007

ON TRUE LOVE-3: Kasih dan Pertimbangan (Pdt. Joshua Lie, Ph.D.--Cand.)

Bagian-3: Kasih dan Pertimbangan



“Ketika Yesus melihat orang banyak itu, naiklah Ia keatas bukit dan setelah Ia duduk….”
(Mat. 5:43-48)



Khotbah di bukit merupakan pengajaran Tuhan Yesus yang menyentak. Bukan hanya menyentak orang banyak yang mendengarkan-Nya saat itu, namun menyentak sepanjang sejarah umat manusia. Bukan pula sekadar apa yang disampaikan-Nya menyentak umat manusia, namun peristiwanya sama menyentak pendengarnya. Jikalau Musa menyampaikan hukum TUHAN, Yesus menyampaikan penggenapan hukum TUHAN kepada umat manusia.

Salah satu perkataan-Nya yang menyentak adalah tentang kasih. Yesus bukan mengulang-ulang perintah tentang kasih, sebaliknya Ia menyampaikan perintah kasih dalam penggenapannya. Inilah perintah-Nya supaya kita mengasihi seperti Bapa di surga mengasihi. Kita mengasihi bukan untuk mendapatkan balasannya. “Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu apakah upahmu?” Mengasihi bahkan kepada musuh dan orang yang menganiaya kita.

Suara itu berkumandang di bukit. Suara itu berkumandang lagi bagi kita saat ini. Hati kita bertanya, apa dasarnya kita mengasihi seperti yang dinyatakan Tuhan Yesus ini? Inilah dasarnya, “Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik, dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” (5:45).

Hati kita bertanya lagi, apakah kasih tidak perlu ada pertimbangan? Apakah kasih tidak memperhitungkan jahat dan baik, benar dan tidak benar?

Sebagian pemikir Kristen menyatakan bahwa inilah kasih agape. Kasih yang “equal regards,” kasih yang mempertimbangkan semua orang patut diperlakukan sama. Kasih kepada semua orang tanpa memandang muka. Kasih sebagaimana Bapa di sorga, dinyatakan kepada semua orang, baik orang yang jahat dan orang baik, baik orang yang adil (just) maupun orang yang tidak adil (unjust).

Sebagian pemikir Kristen lainnya berpendapat kasih tetap ada pertimbangannya. Kasih kepada orang tua kita sendiri bagaimanapun berbeda dengan kasih kepada semua orang tua lainnya. Demikian pula kasih kepada suami atau istri sendiri, jelas berbeda dengan kasih kepada laki-laki atau perempuan lainnya. Menurut mereka bukankah TUHAN juga membedakan antara domba dan kambing.

Kalau kita mengasihi tanpa pertimbangan, maka kasih kita sebenarnya adalah kasih yang impersonal, tidak bersifat pribadi. Kita menganggap semua orang sama, maka kita tidak memperlakukan mereka sebagai satu pribadi.

Bagaimana kita sepatutnya memahami ayat 45?
1. “Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik, dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.”
Apa artinya kita mengasihi bahkan terhadap musuh? Terhadap orang-orang yang tidak adil dan tidak benar? Kita banyak kali terpaku pada obyek kasih, yaitu orang benar dan tidak benar, orang yang adil dan tidak adil. Kita mengabaikan tindakan Bapa di sorga, yaitu menerbitkan matahari dan menurunkan hujan. Bagi kita, terbitnya matahari setiap pagi dan hujan yang turun pada musimnya, merupakan hal yang biasa. Padahal tidaklah demikian bagi kehidupan kita. Bayangkan kita bangun setelah melewati malam yang gelap, tanpa matahari yang bersinar. Bayangkan pula sepanjang tahun demi tahun tanpa hujan yang turun. Demikianlah yang ditegaskan dalam Perjanjian Lama.

“Jikalau kamu hidup menurut ketetapan-Ku dan tetap berpegang pada perintah-Ku serta melakukannya, maka Aku akan memberi kamu hujan pada masanya, sehingga tanah itu memberi hasilnya dan pohon-pohonan di ladangmu akan memberi buahnya.” (Im. 26:3-4)

Hujan merupakan keniscayaan bagi bangsa Israel sebagai bangsa agraris. Tanpa hujan tidak ada kehidupan. Hujan sekaligus yang terpenting, menyatakan kasih dan kebaikan TUHAN. Hujan tanda berkat dalam ketaatan umat kepada TUHAN. Hujan tanda keberhasilan selanjutnya, karena tanah akan menghasilkan buahnya.

Maka “menurunkan hujan” bukanlah sekadar pekerjaan TUHAN yang biasa saja. “Menurunkan hujan” adalah tanda bahwa TUHANlah pencipta, penguasa dan sekaligus pemelihara dunia buatan tangan-Nya. Bahasa moderen kita menjauhkan kita dari kesadaran ini. Terbitnya matahari dan turunnya hujan dipahami hanya dengan bahasa keilmuan. Kita dibuat lalai mengagumi kasih karunia Pencipta kita.

Maka sekalipun TUHAN menerbitkan matahari dan menurunkan hujan bagi semua orang, tidak berarti tindakannya ini boleh dipahami ala kadarnya saja. Tindakan pemeliharaan TUHAN bagi orang jahat dan orang yang tidak adil tidak hanya membuat mereka menikmati segarnya air hujan dan cerahnya sinar matahari, namun sekaligus merupakan tanda peringatan. Peringatan yang membuat mereka tidak dapat melarikan diri dari tanggung jawab atas ketidak adilan mereka, atas kejahatan mereka di hadapan TUHAN Pencipta langit dan bumi.

Hujan dan matahari diterima semua orang tanpa memandang muka. Namun kenikmatannya tentu berbeda. Anak-anak Bapa di sorga bukan hanya menerima hujan dan matahari namun dengan pengakuan dan pengucapan syukur kepada si Pemberi, mereka menikmati kelimpahan-Nya. Mereka yang “take-it-for-granted” mendapatkan hujan dan matahari namun kehilangan kelimpahan-Nya.


2. “Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik, dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.”
Bagaimana pula kita mengasihi tanpa mengharapkan imbalannya? Mari kita perhatikan kembali apa yang dikatakan Perjanjian Lama tentang tindakan menerbitkan matahari dan menurunkan hujan.

Perjanjian Lama menggambarkan kedua tindakan TUHAN ini: “menerbitkan matahari dan menurunkan hujan” berkaitan dengan gambaran seorang raja yang berkenan kepada TUHAN.

“Kiranya lanjut umurnya selama ada matahari, dan selama ada bulan, turun-temurun! Kiranya ia seperti hujan yang turun ke atas padang rumput, seperti dirus hujan yang menggenangi bumi! Kiranya keadilan berkembang dalam zamannya dan damai sejahtera berlimpah, sampai tidak ada lagi bulan!” (Mzm. 72:5-7)

Mazmur 72 adalah Mazmur Salomo. Mazmur pengangkatan seorang raja yang memulai pemerintahan dengan permohonan kepada TUHAN untuk mengaruniakan kepada raja keadilan dan kebenaran. Jelaslah bahwa bukan raja yang mampu menerbitkan matahari dan menurunkan hujan. Demikian pula matahari dan hujan bukanlah suatu upah bagi kebajikan. Matahari dan hujan merupakan lambang bagi keadilan dan kebenaran yang dijalankan raja sesuai dengan keadilan dan kebenaran TUHAN. Keadilan dan kebenaran bagi seluruh rakyat, tidak memandang muka orang kaya dan orang miskin. Keadilan dan kebenarannya memancar untuk yang tertindas demikian pula untuk yang menindas.

Inilah panggilan kita mengasihi sebagaimana bapa di sorga. Kasih yang digenapi oleh kedatangan Yesus Kristus, adalah kasih yang menyatakan kekuatannya. Bukan kasih yang tersungkur tak berdaya di hadapan orang jahat dan orang yang tidak adil. Bukan kasih yang “lelah” di hadapan orang-orang yang tidak peduli.

Kasih yang digenapi oleh Tuhan Yesus bukan soal pertama-tama soal obyek yang dikasihi, melainkan soal keunikan dan kesejatian kasih itu. Kasih di dalam Yesus Kristus adalah kasih yang sanggup menghadapi orang benar dan tidak benar, orang jahat dan orang yang baik. Berbahagialah kita yang menerima kasih itu dalam keadilan dan kebenaran-Nya, sehingga kita boleh mengalami kelimpahannya dan menyalurkannya kepada segala macam orang di dunia ini. Sebaliknya mereka yang telah beroleh kebaikan Tuhan namun tetap menolaknya dalam kejahatan, mereka tidak dapat mengelak ketika keadilan Tuhan tiba.

Selamat mengasihi dengan kasih yang digenapi oleh Yesus Kristus di kayu salib!



Sumber:
http://www.wkristenonline.org/index.php?option=com_content&view=article&id=28:kasih-dan-pertimbangan&catid=25:on-true-love&Itemid=39

ON TRUE LOVE-2: Kasih dan Perkataan (Pdt. Joshua Lie, Ph.D.--Cand.)

Bagian-2: Kasih dan Perkataan



“But speaking the truth in love, we are to grow up in all aspects into Him who is the head, even Christ,”
(Eph. 4:15)


Kasih dan perkataan tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana kasih tampak dalam sikap dan tindakan, demikian pula kasih tampak ketika kita memperkatakan kebenaran. Kasih tidak akan tega untuk memperkatakan kebenaran tanpanya, dan tidak akan sanggup memperkatakan ketidakbenaran dengannya.

Kasih dan perkataan kebenaran berjalan seiring. Kenyatannya jelas tidak mudah apalagi di dalam dunia yang berdosa, namun itulah panggilan kita sebagai gereja yang bertumbuh kearah Kristus.

Bukankah kita yang sering kita temui adalah kasih justru lebih mudah berlangsung tanpa kebenaran? Bukankah lebih mudah kasih berwujud dengan memberikan kebebasan bagi setiap orang untuk mendapatkan apa yang diinginkan? Kasih bukankah lebih dekat dengan kebebasan untuk berbuat apa yang kita inginkan?

Perkataan kebenaran kesannya lebih kepada aturan, hukum dan komitmen. Bagaimana itu bisa sejalan dengan kasih?

Mari kita tengok satu masa dalam kehidupan bangsa Israel sebagaimana dinyatakan dalam Kitab Hakim-Hakim. Kitab ini ditutup dengan pernyataan “Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri.” (“In those days there was no king in Israel; everyone did what was right in his own eyes,” 21:25)

Kesimpulan ini pertama-tama menjelaskan pasal 21 tentang kelakuan suku Benyamin. Krisis besar menimpa keutuhan bangsa Israel. Kelakuan suku Benyamin mengakibatkan ancaman peperangan di antara mereka, bahkan hampir saja suku ini dibuang dari kesatuan bangsa Israel. Apa kelakuan suku Benyamin yang menimbulkan krisis besar bahkan memberikan kesimpulan pada ayat terakhir kitab ini?

Kelakuan suku Benyamin dinyatakan mulai pasal 19. Peristiwa yang keji dan menyedihkan terjadi di kota Gibea, daerah suku Benyamin (19:14). Penduduk kota itu dikatakan sebagai orang-orang dursila (19:22). Mereka bertindak tidak lagi seperti umat Allah seharusnya. Sebaliknya mereka bersikap dan bertindak seperti orang-orang kota Sodom. Mereka mengepung rumah yang dikunjungi seorang Lewi dengan gundiknya (19:1). Mereka bermaksud untuk merampas dan ‘memakai’ orang asing yang menumpang itu. Si pemilik rumah tidak mengijinkan penduduk kota itu berbuat jahat kepada tamunya. Ia menawarkan anak perempuannya untuk diperlakukan apa saja yang mereka pandang baik (19:24). Penduduk kota Gibea menolak. Akhirnya tamu itu menyerahkan gundiknya. Kemudian mereka memperkosa gundik itu sampai akhirnya mati menjelang pagi (19:28). Selanjutnya peristiwa ini disusul dengan kekejian yang menggetarkan seluruh Israel.

Peristiwa yang mengerikan itu menyisakan suatu gema perkataan, “Perbuatlah apa yang kamu pandang baik.” Inilah yang menghantar kita memahami kesimpulan kitab Hakim-Hakim.

Tuan rumah di Gibea yang dengan baik hati menampung tamunya bahkan rela mengorbankan anak gadisnya demi keselamatan tamu dan gundiknya itu.

Tuan rumah bersedia berkorban demi tamunya. Namun berhadapan dengan orang dursila di kota Gibea di daerah Benyamin, tidak tepat menyuarakan perkataan “perbuatlah apa yang kamu pandang baik.” Bahkan ketika kita mempertegas lagi, apakah ada manusia yang berhak menyuarakan perkataan itu sekalipun alasannya karena kasih?

Perkataan ini menggemakan suara yang sama dengan peristiwa yang mirip, yaitu peristiwa di kota Sodom. Lot, keponakan Abraham yang memilih tinggal di Sodom, kedatangan tamu di rumahnya. Penduduk kota menyerbu dan memaksa Lot untuk menyerahkan tamunya kepada mereka. Lot bersedia mengorbankan anak gadisnya demi keselamatan tamunya. Dan Lot berseru kepada orang-orang itu, “perbuatlah kepada mereka [anak gadisnya] seperti yang kamu pandang baik.” (Kej. 19:8). Suara ini berkumandang, di dengar oleh kedua anak gadisnya, namun dilecehkan oleh penduduk Sodom (Kej. 19:9).

Perkataan itu diucapkan dengan maksud melindungi dan menyelamatkan orang asing. Suatu perbuatan yang mulia. Namun apakah perkataan itu sesuai dengan maksud yang baik?

Dari rumah Lot, perkataan itu bergema. Akibat yang pertama tampak dari keberanian anak gadisnya untuk bersetubuh dengan ayahnya setelah mereka diselamatkan dari kehancuran kota Sodom dan Gomorah (Kej. 19:33).

Dari rumah di Gibea, perkataan itu bergema. Akibat kedua tampak dengan kekejaman penduduk Gibea yang membawa ancaman peperangan antara suku Benyamin dengan suku-suku Israel.

Kasih dan perkataan. Bagaimana perkataan yang sejalan dengan kasih yang sejati? Apakah kasih memperbolehkan kita berbuat apa saja yang kita pandang baik?

Perkataan itu disimpulkan diakhir kitab Hakim-Hakim. Ketika manusia tidak lagi mengindahkan kebenaran TUHAN, tunduk kepada kedaulatan-Nya, manusia berbuat apa saja yang dipandangnya baik, maka kasih menguap.

Puji Tuhan, kisah zaman Hakim-Hakim tidak berakhir disana. “Pada zaman para hakim memerintah ada kelaparan di tanah Israel. Lalu pergilah seorang dari Bethlehem-Yehuda beserta isterinya dan kedua anaknya laki-laki ke daerah Moab untuk menetap di sana sebagi orang asing.” (Rut 1:1)

Pada zaman para hakim, zaman yang menggemakan suara Lot, ada seorang perempuan tua yang kehilangan suami dan kedua anak laki-laki di tanah asing, di tanah Moab. Tanah Israel, tanah kelahirannya sedang dilanda kelaparan. Kekeringan menandai tanah Israel sekaligus menandai kekeringan rohani mereka. Perempuan tua itu adalah Naomi. “Sebutkanlah aku Mara,” katanya ketika ia kembali ke tanahnya di Israel. Mara adalah kepahitan. Kepahitan kehilangan orang-orang yang dikasihinya. Tiada kata lain yang dapat ia ucapkan kecuali Mara.

Kata-kata Naomi mengungkapkan kepahitannya. Kasih seolah-olah lenyap. Ia kembali. Apakah berakhir kisah yang menyedihkan ini sehingga menambah ‘kegelapan’ zaman para hakim? Tidak!

Naomi ketika ia kembali ke Bethlehem, ia tiba “pada permulaan musim menuai jelai.” (1:22). Suatu permulaan yang baik. Masih ada kasih karunia TUHAN baginya. Bukan itu saja, Naomi tidak kembali seorang diri. Salah seorang menantunya, Rut, seorang perempuan keturunan Moab turut bersamanya. Apa kepentingan peristiwa ini?

Rut tidak sekadar menyatakan kesetiaan dengan tindakannya mengikut mertuanya. Namun terlebih lagi ia memulai tindakannya dengan perkataannya,“Tetapi kata Rut: “Janganlah desak aku meninggalkan engkau dan pulang dengan tidak mengikuti engkau; sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku; di mana engkau mati, akupun mati di sana, dan di sanalah aku dikuburkan. Beginilah kiranya TUHAN menghukum aku, bahkan lebih lagi dari pada itu, jikalau sesuatu apapun memisahkan aku dari engkau, selain dari pada maut!” (1:16-17)
Suara Rut seumpama cahaya lilin dalam kegelapan. Suara seorang perempuan Moab, keturunan Lot dan anak perempuannya. Suara yang membalikkan gema suara Lot. Suara yang mengungkapkan kasih yang sejati, kasih di dalam perjanjian (covenant). Kalimat Rut yang diucapkannya kepada Naomi adalah ucapan perjanjian. Ia bersedia bersama (be-with) dengan mertuanya dalam tanah yang dipijaknya, dalam iman kepada Allah yang sejati, dan tetap bersama sampai akhir perjalanan hidupnya. Kasih yang sejati adalah kasih yang dinyatakan dalam kedatangan Yesus Kristus, Imanuel, Allah beserta kita. Ia berkenan beserta dengan kita!

Kasih tidak mudah hanya diukur dengan kata-kata yang manis. Kasih tidak semata-mata sama dengan kata-kata yang memperbolehkan segala sesuatu. Kasih adalah perkataan kebenaran yang bersedia dinyatakan dengan kerelaan bertumbuh bersama dalam kasih Kristus. Kasih yang rela tunduk dalam kebenaran Tuhan.

Nyatakanlah kasih itu dalam kebersamaan baik dalam kehidupan keluarga, gereja maupun di dunia ini.




Sumber:
http://www.wkristenonline.org/index.php?option=com_content&view=article&id=27:kasih-dan-perkataan&catid=25:on-true-love&Itemid=39

ON TRUE LOVE-1: Kasih dan "Utang" (Pdt. Joshua Lie, Ph.D.--Cand.)

ON TRUE LOVE
Bagian-1: Kasih dan “Utang”

oleh: Pdt. Joshua Lie, M.Phil., Ph.D. (Cand.)



Nats: Matius 18:23-35



Kasih merupakan tema sepanjang kehidupan manusia. Kasih tidak akan luntur menjadi kebajikan yang patut dimiliki oleh manusia. Tanpa kasih tidak akan ada perjalanan kehidupan itu sendiri.

Namun tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa “kasih” sering kali membawa malapetaka. Dengan alasan kasih, seorang pemuda merasa layak membawa anak gadis di bawah umur untuk dinikahinya. Dengan alasan kasih, kita membiarkan keteledoran terjadi. Karena kasih kita bahkan membuat sesama kita menderita.

Bagaimana kita sepatutnya memahami dan mengalami kasih itu? Kasih merupakan berita utama Alkitab. Allah adalah kasih, demikian penegasan rasul Yohanes. Kasih sejati tidak akan pudar. Kini panggilan kita sebagai orang percaya, menunjukkan kasih sejati itu dalam kehidupan kita.

Augustinus, Bapa Gereja yang hidup pada abad ke-4 dalam bukunya “Confession” mengungkapkan kalimat pertanyaan tentang kasih kepada Allah “What I do love when I love God?” Kasih kepada Allah bukanlah suatu yang dapat kita pahami tanpa urusan lainnya. Untuk itu dalam ketiga pembahasan tentang kasih, kita merangkaikannya dengan soal lain sebagaimana dinyatakan oleh Alkitab.

Tema pertama dalam seri ini adalah kaitan antara kasih dan “utang” (Love and Debt). Alkitab menyatakan kasih bukan suatu yang berdiri sendiri. Kasih tersebar dalam seluruh pengajaran dan kehidupan Tuhan Yesus. Kasih tidak hanya muncul ketika ia disebut. Kasih hadir dalam bentuk yang nyata. Mari kita memahaminya dalam perumpanaan yang disampaikan Tuhan Yesus dalam Matius 18:23-35.

Perumpamaan ini mengungkapkan kenyataan hidup manusia dalam soal utang. Utang merupakan bagian kehidupan manusia. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang tanpa “utang” sama sekali. Kehidupan tanpa utang hanyalah karena kita melupakan, mengabaikan atau tidak pernah kita memperhitungkannya.

Seorang penulis tentang keindahan alam Kanada, Ernst T. Seton mengalami suatu kejadian mengejutkan saat memperingati ulang tahunnya yang ke-21. Ayahnya memberikan kepadanya suatu bundel berkas kepadanya. Berkas-berkas itu adalah semua pengeluaran ayahnya bagi Ernst sejak masa kecilnya. Di dalamnya tersimpan bon-bon rumah sakit sejak Ernst dilahirkan. Kita mungkin jengkel menyaksikan sikap seorang ayah seperti itu kepada anaknya. Namun peristiwa ini mengingatkan kita tidak ada orang yang lahir dan hidup di dunia ini tanpa utang sama sekali!

Alkitab bahkan menegaskan dalam doa Bapa kami sebagaimana diajarkan oleh Tuhan Yesus soal utang. John Wycliffe menggunakan kata “utang” dalam menerjemahkan doa Bapa kami pada tahun 1381. “Forgive us our debts as we forgive our debtors.” Terjemahan ini mengingatkan kita akan kata Aramik yang sama digunakan untuk utang dan dosa.

Adakah kita yang tidak berhutang? Kita dilahirkan dengan keberadaan dosa sebagai warisan. Kita dibesarkan dalam dunia yang berdosa. Utang dan dosa melekat dalam kehidupan kita.
Inilah kisah utang kita:



BABAK PERTAMA
18:23 “Seorang raja yang hendak mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya”
Utang suatu hari akan diperhitungkan. Entah itu utang pribadi, keluarga maupun masyarakat. Pada sistim yang mengabaikan kejujuran dan keadilan, suatu saat ketika tiba masa krisis, sistim itu akan diperhitungkan utang-hutangnya. Sistim itu akan rusak dan merusak kehidupan. Seorang anak yang tidak mau belajar jalan, ketika ia beranjak remaja ia akan diperhitungkan hutangnya, yaitu kemalasannya belajar berjalan membuatnya lumpuh. Seorang pelajar dalam kemalasannya tidak mempersiapkan diri untuk ujian, akan diperhitungkan hutangnya dalam kegagalannya.
18:24 “Setelah ia mulai mengadakan perhitungan itu, dihadapkanlah kepadanya seorang yang berhutang sepuluh ribu talenta (100 juta dinar).”
Ada utang yang mudah kita bayarkan kalau kita mempunyai pekerjaan yang baik. Ada pula utang lebih sulit dibayarkan kalau itu berkenaan dengan budi. Namun semua kita berada dalam keadaan tidak sanggup membayar utang dosa yang melilit kehidupan kita. Gambaran 100 juta dinar adalah gambaran ketidak berdayaan. Ada kisah seorang mempunyai utang 100 ribu dolar dengan kartu kreditnya padahal ia hanya mempunyai income 55 ribu dolar setahunnya. Ini saja sudah menjadikannya tidak berdaya apalagi dengan nilai 100 juta dinar.18:25 “Tetapi karena orang itu tidak mampu melunaskan hutangnya, raja itu memerintahkan supaya ia dijual beserta anak istrinya dan segala miliknya untuk pembayar hutangnya.”
Maka kisah ini berlangsung kepada konsekuensinya. Utang harus dibayar. Kalau tidak sanggup maka ia akan berserta keluarganya akan menjadi budak selama-lamanya. Bagaimana seharusnya kisah ini berlanjut?

Tamatlah kehidupan hamba itu. Utang membawa maut dan kehancuran. Kisahnya telah berakhir. Namun tidaklah demikian! Mari kita lanjutkan.

18:26 “Maka sujudlah hamba itu menyembah dia, katanya: Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan.”
Hamba itu masih berusaha. Ia menyembah. Ia minta waktu dan kesempatan untuk membayar hutangnya. Ia berusaha mengulur waktu meskipun tanpa harapan. Kalaupun ia diberi kesempatan hidup seratus tahun lagi, ia tetap tidak akan sanggup melunaskan hutangnya.


18:27 “Lalu tergeraklah hati raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya”
Surprise! Mengejutkan! Inilah ciri penting perumpamaan Tuhan Yesus! Amazing! Raja itu tergerak hatinya oleh belas kasihan. Hatinya bergetar oleh kemurahan. Hatinya bergejolak oleh kebaikan. Ia menghapuskan utang hamba itu! Inilah gambaran penting akan kasih Tuhan kita Yesus Kristus! Kasih bukan suatu yang abstrak. Kasih membereskan utang! Kasih tidak memperhitungkan utang sebagai hukuman dan perhambaan, tetapi memperhitungkan utang dengan kelunasannya!

Kasih Tuhan adalah kasih yang membebaskan. Kita menerimanya oleh Roh Kudus yang mencurahkan kasih itu (Rm. 5:5). Kasih tanpa pengampunan akan utang-utang kita, bukanlah kasih sejati. Kasih memperhitungkan utang, namun sekaligus kasih berkuasa melunaskannya.Bagaimana dengan kasih kita kepada sesama?




BABAK KEDUA
18:28a “Hamba itu keluar, ia bertemu dengan seorang hamba lain yang berhutang seratus dinar kepadanya.”
Hamba ini mempunyai kedudukan yang luar biasa. Sebagai penghutang sekaligus pemberi utang. Inilah gambaran hidup kita, manusia berdosa. Kita berhutang kebenaran, keadilan, kesetiaan, kesucian, kebajikan kepada Tuhan. Namun saat yang sama kita merasa orang lain berhutang yang sama kepada kita!

Bagaimana sikap kita kalau sudah dihapuskan utang kita? Bersyukur, bersorak lalu berbagi kasih itu dengan menghapuskan utang sesama kepada kita. Sayangnya tidak demikian! Perumpamaan ini mengagetkan kita dengan kejutan kedua.
18:28b: “Ia menangkap dan mencekik kawannya itu, katanya: Bayar hutangmu!”
Mengejutkan! Dengan geram, ia bertindak kejam kepada kawannya itu. Ia lebih kejam dari raja yang kepadanya ia berhutang 100 juta dinar. Kawannya berhutang kepadanya 100 dinar. Ah, utang tidak lagi peduli besar kecilnya. Kemarahan bisa terjadi hanya karena uang sedikit. Kita tertegun dengan perbuatan hamba yang pertama ini.

Inilah kejutan manusia yang berdosa. Dunia yang berdosa sanggup pula memberikan kejutan (surprise) dalam kehidupan kita. Namun kejutan itu menjatuhkan kita. Kejutan itu mencengkram hidup kita. Menggoncangkan keadilan dan kebenaran. Ia menyukakan kita seketika namun menjerat kehidupan kita.
18:29 “Maka sujudlah kawannya itu dan memohon kepadanya: sabarlah dahulu, hutangku itu akan kulunaskan”
Hamba itu seharusnya ketika mendengar mendengar suara kawannya, mendengar kembali gema suaranya sendiri kepada raja. Ingatan menjadi pendek ketika kasih hambar. Ingatan yang punah membuat telinga kita tertutup akan gema suara kita sendiri.


18:30 “Tetapi ia menolak dan menyerahkan kawannya itu ke dalam penjara sampai dilunaskannya hutangnya”
Inilah kasih kita kepada sesama. Kasih yang tidak menghapuskan utang. Dari utang menjadi kebencian, dan penjara. Dari dosa kepada dosa. Inilah kejutan manusia berdosa.

Bagaimana kasih kita setelah kita menerima kasih ajaib dari Golgota? Adakah kita yang menyerukan kasih, memiliki kasih yang dari Roh Kudus. Kasih yang menghapuskan utang sehingga kita bisa terus bertumbuh dan menghasilkan buah yang berkenan kepada-Nya?



BABAK KETIGA
Matius 18:31-34
Sikap hamba itu tidak dapat diterima oleh kawan-kawannya. Demikian pula ketika raja sekaligus tuan dari hamba itu mendengar kelakuan hamba itu, menjadi marah dan menarik pengampunan dan pelunasan utang hamba itu. Kisah ini berakhir tragis. Pelunasan utang dibatalkan!
Perumpamaan ini diakhir dengan surprise utama, yaitu “Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.” (18:35)
Suatu kejutan yang dahsyat. Bagaimana mungkin Bapa di sorga tidak bermurah hati mengampuni dan melunaskan segala utang kita.

Inilah kasih yang melunaskan! Kasih Bapa adalah kasih yang melunaskan. Kasih yang kita terima di dalam Tuhan Yesus Kristus adalah kasih yang memungkinkan kita juga melunaskan “utang” orang lain kepada kita!
“Owe no one anything except to love one another, for he who loves another has fulfilled the law” (Rm.ns 13:8)




Sumber:
http://www.wkristenonline.org/index.php?option=com_content&view=article&id=26:kasih-dan-hutang&catid=25:on-true-love&Itemid=39

Eksposisi 1 Korintus 4:8-9 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 4:8-9

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 4:8-9



Dalam bagian ini Paulus memberikan respons yang sedikit berbeda dengan di bagian sebelumnya. Di ayat 1-5 dia menjelaskan posisi para rasul sebagai pelayan Tuhan yang akan dihakimi Tuhan di akhir zaman (karena itu jemaat Korintus tidak berhak menghakimi para rasul); di ayat 6-7 dia memaparkan bahwa segala sesuatu yang dimiliki oleh jemaat Korintus adalah anugerah Allah (karena itu jemaat Korintus tidak boleh memegahkan diri seolah-olah tidak pernah menerima itu); di ayat 8-9 dia mengarahkan pembahasan pada kesombongan jemaat Korintus (ay. 8) dan kerendahan para rasul (ay. 9).
Kesombongan jemaat Korintus (ay. 8)
Walaupun para penafsir sudah sepakat bahwa ucapan Paulus di ayat ini adaah sebuah ironi (sindiran), namun mereka masih berdebat tentang penyebab atau jenis kesombongan jemaat Korintus. Sebagian menganggap bahwa kesombongan ini dipicu oleh konsep eskhatologis (akhir zaman) yang salah. Menurut mereka, jemaat Korintus memiliki konsep bahwa akhir zaman sudah terjadi pada zaman mereka dan mereka sudah memerintah dalam kerajaan mesianis, karena itu mereka bertindak seolah-sebagai raja. Sebagian penafsir yang lain meyakini bahwa kesombongan jemaat Korintus tetap berkaitan dengan konsep hikmat duniawi yang salah.

Di antara dua dugaan di atas, yang terakhir tampaknya lebih dapat diterima. Disharmoni antara Paulus dan jemaat Korintus di pasal 4 masih terkait dengan pasal 1-3, sehingga sangat beralasan jika kita menafsirkan kesombongan jemaat Korintus dalam terang pasal 1-3. Dalam konteks sosial waktu itu, ungkapan “kenyang”, “kaya” maupun “raja” sering dipakai untuk menggambarkan kesombongan. Secara khusus dalam konteks filsafat Stoa waktu itu, orang yang berhikmat dianggap sebagai raja. Di samping itu, jawaban Paulus di 4:9-13 yang lebih banyak menjelaskan kerendahan para rasul sebagai konsekuensi dari hidup menurut salib sangat kontras dengan kesombongan jemaat Korintus yang didasarkan pada hikmat. Dengan kata lain, ayat 8 menggambarkan kehidupan berdasarkan hikmat dunia, sedangkan ayat 9-13 berdasarkan hikmat salib.

Ungkapan pertama yang dipakai Paulus adalah “kamu telah menjadi kenyang” (ay. 8a). Dalam teks asli, kata “telah” diletakkan paling depan sebagai bentuk penekanan (ASV/RSV/NRSV/NIV mengikuti susunan kalimat Yunani yang ada dengan cara meletakkan kata “already” di awal kalimat). Kata “kenyang” (korennumi) secara hurufiah berarti “memiliki semua yang diinginkan” (NIV/NRSV “already you have all you want”). Karena yang didinginkan seringkali dalam konteks makanan (bdk. Kis. 27:38), maka ungkapan ini diartikan “kenyang.” Bukan sekadar kenyang, tetapi sangat keyang.

Ketika Paulus mengatakan bahwa jemaat Korintus telah kenyang, dia sebenarnya sedang menegur mereka melalui ironi. Mereka memang dalam arti tertentu telah kenyang, karena mereka telah minum dari Roh yang memberi mereka berbagai karunia (12:13). Di sisi lain mereka sebenarnya tidak benar-benar kenyang! Mereka hanya mengkonsumsi susu, karena mereka belum siap menerima makanan keras (3:2).

Ungkapan kedua adalah “kamu telah menjadi kaya” (ay. 8b). Sama seperti sebelumnya, kata “telah” juga diletakkan di depan sebagai penekanan. Dalam arti tertentu jemaat Korintus memang kaya secara rohani. Mereka memiliki banyak karunia rohani (1:5; ps. 12). Bagaimanapun, mereka sebenarnya tidak kaya, karena semua pemberian itu adalah kasih karunia Allah (1:4) yang diberikan di dalam Yesus (1:5). Hanya di dalam Yesuslah mereka mendapatkan itu, sehingga ketika mereka mulai berpaut pada hikmat dunia tetapi masih merasa diri kaya, hal ini merupakan sebuah ironi.

Ungkapan terakhir adalah “kamu telah menjadi raja” (ay. 8c). Secara hurufiah “menjadi raja” (basileuo) dapat diterjemahkan “telah memerintah” (ASV “ye have come to reign”). Ungkapan “kaya” dengan tepat melukiskan kesombongan jemaat Korintus dalam berbagai sisi. Sama seperti seorang raja yang memiliki kedudukan tertinggi, mereka juga menganggap diri lebih daripada Paulus. Sama seperti seorang raja yang memiliki kebebasan untuk melakukan apapun (Kaisar Caligula, “aku bebas melakkan apapun kepada siapapun”), demikian pula jemaat Korintus memiliki semboyan “segala sesuatu halal bagiku [6:12; 10:23; lit. “aku memiliki kebebasan dalam segala sesuatu”]. Sama seperti orang berhikmat waktu itu yang seringkali disamakan dengan raja, jemaat Korintus pun merasa diri berhikmat dan layak untuk menganggap diri sebagai raja.

Gambaran tentang kesombongan jemaat Korintus di atas ternyata masih belum cukup. Mereka bukan hanya menganggap diri hebat, tetapi mereka juga merasa bahwa “kehebatan” tersebut mereka miliki tanpa bantuan para rasul. Kepada mereka Paulus menyindir “tanpa kami [choris hemon] kamu telah menjadi raja.” Dalam teks asli frase “tanpa kami” diletakkan di depan sebagai penekanan. Walaupun LAI:TB memilih susunan kalimat yang sama, namun penekanan ini tetap tidak terlihat dengan jelas. Sebaliknya, NIV yang meletakkan frase “tanpa kami” di akhir kalimat justru berhasil mengekspresikan penekanan yang ada (“you have become kings --- and that without us!”).

Para penafsir meyakini bahwa frase tersebut bukan sekadar menunjukkan bahwa jemaat Korintus telah melupakan jasa Paulus, tetapi mereka juga tidak mau menyertakan Paulus dalam pemerintahan mereka. Maksudnya, dalam budaya kuno seorang yang menjadi raja biasanya akan memberikan posisi atau jabatan tertentu kepada para pendukungnya, sehingga dengan demikian mereka turut memerintah bersama dia. Jemaat Korintus telah menganggap diri sebagai raja, tetapi mereka tidak mau memberi posisi yang tinggi kepada Paulus yang sudah berjasa dala pertumbuhan rohani mereka. Karena itulah Paulus di bagian akhir ayat 8 menyindir, “ah, alangkah baiknya jika benar demikian....sehingga kamipun turut menjadi raja dengan kamu.”


Kerendahan Para Rasul (ay. 9)
Berbeda dengan sikap jemaat Korintus yang menyombongkan diri (ay. 8), Paulus justru menampilkan kerendahan para rasul (ay. 9). Semua ini dilakukan Paulus mencapai dua tujuan sekaligs. Yang pertama, dia ingin menyindir kesombongan jemaat dan menunjukkan bahwa kesombongan itu adalah sesuatu yang tidak logis. Kalau jemaat Korintus bisa menjadi seperti sekarang karena jasa para rasul dan para rasul sendiri adalah orang-orang yang rendah, maka tidak ada alasan bagi jemaat untuk sombong. “Kehebatan” mereka tidak lain adalah hasil pekerjaan para rasul yang “sangat rendah.” Dengan kata lain, jemaat Korintus telah melupakan darimana, oleh siapa dan bagaimana keadaan mereka dahulu. Jika mereka memahami hal ini tentu mereka tidak akan memegahkan diri.

Tujuan kedua yang ingin dicapai Paulus adalah memberikan teladan tentang hidup yang berdasarkan hikmat salib. Sebelumnya Paulus sudah menjelaskan cara kerja Allah yang sangat kontras dengan dunia, yaitu Allah memakai orang-orang yang rendah menurut dunia ini supaya mereka tidak sombong dan sekaligus supaya orang-orang yang tinggi menurut ukuran dunia ini direndahkan (1:25-29). Dengan menekankan kerendahan dan kelemahan para rasul, Paulus sekai lagi mengingatkan jemaat Korintus bahwa Allah tetap berkenan memakai orang-orang yang rendah menurut dunia ini. Ini adalah hidup berdasarkan salib: salib dianggap kebodohan, tetapi itu justru adalah hikmat Allah; salib dianggap sebagai batu sandungan, tetapi itu justru merupakan kekuatan Allah (1:23-24).

Lebih jauh, keteladan hidup yang ditampilkan Paulus di ayat 9 sesuai dengan teladan yang sudah diberikan Yesus Kristus sendiri. Kristus mau berkorban demi orang lain. Dia yang kaya telah menjadi miskin supaya kita menjadi kaya (2Kor. 8:9). Demikian pula dengan Paulus. Dia mengambarkan para rasul dalam pelayanan “sebagai orang yang miskin namun telah memperkaya banyak orang” (2Kor. 6:10). Semua kerendahan dan penghinaan yang diterima para rasul ini dipakai Allah untuk membuat orang-orang lain dimuliakan di dalam Kristus. Jemaat Korintus seharusnya menyadari hal ini, sehingga tidak memegahkan diri lagi. Sebaliknya, mereka harus belajar merendahkan diri demi kepentingan orang lain.

Sekalipun keadaan para rasul sangat rendah menurut ukuran dunia, namun Paulus tidak mengeluhkan hal itu. Dia bahkan meyakini bahwa Allah yang telah menentukan hal itu bagi mereka (ay. 9). Allah berdaulat secara mutlak untuk mengatur jalan hidup setiap orang, termasuk para rasul. Paulus sendiri dari awal pertobatan dan pelayanannya sudah mengetahui bahwa pelayanannya akan diwarnai dengan penderitaan yang begitu banyak, seperti yang dikatakan Tuhan kepada Ananias yang dipaki untuk menyembuhkan Paulus, “Aku sendiri akan menunjukkan kepadanya, betapa banyak penderitaan yang harus ia tanggung oleh karena nama-Ku” (Kis. 9:16).

Bagaimana cara Paulus menggambarkan kerendahan para rasul? Di ayat 9b para rasul diberi tempat yang paling rendah. Dalam teks asli kata “tempat yang paling rendah” secara hurufiah berarti “yang paling akhir” (ASV/NASB/RSV/NRSV “last of all”; KJV “last”). Jika dilihat dari konteks yang ada, Paulus tampaknya sedang merujuk pada momen kekalahan dalam sebuah peperangan. Ketika suatu bangsa kalah, maka pemimpin dan penduduknya yang masih hidup akan diangkut sebagai tawanan dalam sebuah iring-iringan yang sangat panjang. Di akhir dari rombongan ini biasanya diletakkan para tawanan yang nanti akan dihukum mati dengan cara diadu dengan para algojo atau binatang buas di arena serta menjadi tontonan bagi banyak orang. Gambaran ini cocok dengan beberapa petunjuk yang ada di dalam teks, misalnya “yang paling akhir”, “telah dijatuhi hukuman mati” dan “menjadi tontonan.” Penerjemah NIV dengan tepat mengartikan “yang paling akhir” sebagai “di bagian akhir sebuah prosesi.”

Penyebutan “malaikat-malaikat” sebagai penonton mungkin dimaksudkan Paulus untuk memberi gambaran tentang sebuah peperangan rohani yang bersifat kosmik (berhubungan dengan seluruh ciptaan). Apa yang dialami para rasul adalah dalam konteks peperangan ini. Bagi Paulus, posisi terkahir dalam peperangan bukanlah kekalahan. Dunia mungkin akan memandang seperti itu, tetapi dari perspektif Allah para rasul justru “selalu berada di jalan kemenangan-Nya” (2Kor. 2:14).




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 24 Agustus 2008

Resensi Buku-94: PEMULIHAN CIPTAAN (Prof. Albert M. Wolters, Ph.D.)

...Dapatkan segera...
Buku
PEMULIHAN CIPTAAN
(Creation Regained)


oleh: Prof. Albert M. Wolters, Ph.D.

Penerbit: Momentum Christian Literature, 2009

Penerjemah: Pdt. Dr. Ichwei Gusti Indra





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Secara sadar maupun tidak sadar, setiap manusia memiliki cara pandang terhadap sesuatu hal. Cara pandang itu bisa beraneka ragam. Ada yang berpusat kepada Allah dan ada yang berpusat kepada manusia. Perbedaan di antara keduanya bertolak belakang. Jika cara pandang yang berpusat kepada manusia memusatkan segala sesuatunya pada diri manusia dan kehebatannya, maka cara pandang yang berpusat kepada Allah memusatkan segala sesuatu pada kedaulatan Allah. Lalu, sebagai orang Kristen, mana yang harus kita pilih? Dengan bahasa yang mudah dimengerti dan analisis yang cukup tajam, Prof. Albert M. Wolters, Ph.D. membawa kita ke dalam pengertian menyeluruh tentang cara pandang Kristen yang berpusat pada Allah. Cara pandang ini adalah cara pandang reformasional yang didasarkan pada theologi Reformed yang percaya pada kedaulatan Allah. Pada bab awal dalam buku ini, Dr. Wolters menjelaskan terlebih dahulu apa itu wawasan dunia. Kemudian, 3 bab selanjutnya, beliau membawa kita untuk melihat segala sesuatu pada tiga tingkatan: Penciptaan, Kejatuhan (Dosa), dan Penebusan. Dr. Wolters menyebut tingkatan pertama sebagai struktur ciptaan dan tingkatan kedua dan ketiga sebagai arah ciptaan. Tiga bab penjelasan ini diaplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari yaitu: reformasi/pembaruan sosial. Pembaruan sosial berarti wawasan dunia reformasional ini memperbaharui tatatan sosial yang kacau akibat dosa. Pembaruan pribadi berarti aspek-aspek pribadi diperbarui, misalnya menyangkut: agresi, karunia-karunia Roh, seksualitas, dan tari-tarian. Di dalam buku yang baru dicetak ulang pada tahun 2005 (edisi aslinya), diselipkan catatan tambahan yang berjudul Wawasan Dunia Antara Kisah dan Misi yang ditulis oleh Prof. Michael W. Goheen, Ph.D. dan Dr. Albert M. Wolters sebagai suatu penjelasan bahwa wawasan dunia bukan hanya sekadar segudang teori abstrak, namun juga sebagai panggilan misi untuk memberitakan Firman Tuhan di tengah zaman yang rusak dan kacau ini. Biarlah buku ini menjadi berkat dan mencerahkan hati dan pikiran kita tentang pentingnya memiliki cara pandang Kristen yang berpusat kepada Allah di dalam melihat segala sesuatu, sehingga kita tidak mudah ditipu dan diterpa oleh arus krisis zaman.




Rekomendasi:
“Pernyataan terbaik yang saya ketahui tentang wawasan dunia Kristen ‘reformasional.’ Ditulis dengan jelas, menggunakan berbagai analogi dan ilustrasi yang membantu pemahaman dan dengan nada yang bersahabat.”
Prof. Nicholas Wolterstorff, Ph.D.
(Professor of Church History and the History of Christian Thought dan Direktur dari the Carl F. H. Henry Center for Theological Understanding di Trinity Evangelical Divinity School; Bachelor of Arts—B.A. dalam bidang Sejarah dari Wheaton College, U.S.A.; Master of Arts—M.A. dalam bidang the History of Christian Thought dari Trinity Evangelical Divinity School; Master of Arts in Religion—M.A.R. dan Doctor of Philosophy—Ph.D. dari Vanderbilt University)

“Menerjemahkan pemahaman-pemahaman dan kategori-kategori inti tradisi neo-Calvinis ke dalam bahasa yang segar dan nonteknis, dan menjelaskannya dengan ilustrasi dan gambaran yang membantu…. Sangat direkomendasikan bagi semua orang yang menginginkan pengantar yang renyah pada wawasan dunia Kristen secara umum, atau tradisi neo-Calvinis secara khusus.”
Christian Scholar’s Review

“Istimewa…. Layak mendapatkan pembacaan yang luas bukan hanya dalam konteks akademis di antara pengajar, pengkhotbah, dan mahasiswa, tetapi juga di antara kelompok orang-orang percaya yang lebih luas, yang tertarik dengan isu-isu seputar wawasan dunia, theologi, dan filsafat Kristen.”
Calvin Theological Journal






Profil Dr. Albert M. Wolters:
Prof. Albert M. Wolters, Ph.D. yang lahir di Belanda tahun 1942 adalah Profesor Agama dan Theologi, dan Studi Naskah Kuno di
Redeemer University College, Ancaster, Ontario, Kanada. Beliau menyelesaikan studi Bachelor of Arts (B.A.) di Calvin College, U.S.A. dan Doctor of Philosophy (Ph.D.) di Free University, Amsterdam, Belanda. Beliau pernah menjadi Anggota Senior dalam bidang Sejarah Filsafat di the Institute for Christian Studies, Toronto, Kanada.

Prof. Michael W. Goheen, Ph.D. adalah Profesor dalam bidang Worldview dan Religious Studies di Trinity Western University, U.S.A. Beliau menyelesaikan studi B.A. di Florida Atlantic University, Boca Raton, Florida, U.S.A.; Master of Arts (M.A.) di Westminster Theological Seminary, Philadelphia, U.S.A.; dan Ph.D. di University of Utrecht, Belanda.

11 March 2010

Resensi Buku-93: GERAKAN NAMA SUCI: Nama Allah yang Dipermasalahkan (Ir. Herlianto, M.Th.)

...Dapatkan segera...
Buku:
GERAKAN NAMA SUCI:
Nama ALLAH yang Dipermasalahkan


oleh: Ir. Herlianto, M.Th.

Penerbit: BPK Gunung Mulia, 2009





Penjelasan singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Sensasi adalah salah satu hal yang digemari oleh banyak manusia berdosa. Karena diciptakan oleh Allah dengan kreativitas, maka manusia berdosa cenderung menyalahgunakan kreativitas tersebut untuk tujuan-tujuan tidak beres. Sejarah membuktikan bahwa di setiap zaman, manusia suka mencari dan menimbulkan sensasi. Nah, sensasi yang hangat baru-baru ini adalah sensasi pemuja nama YHWH. YHWH-isme ini menurut Ir. Herlianto, M.Th. berasal dari suatu gerakan di Amerika Serikat pada tahun 1930-an yang bernama Sacred Name Movement (Gerakan Nama Suci) yang dipengaruhi oleh paham Hebraic Roots Movement yang menekankan kembali ke akar Yudaik. Mereka mempermasalahkan bahkan memejahijaukan LAI karena memuat kata Allah. Di Malaysia, hal serupa terjadi, namun dilakukan oleh orang non-Kristen. Mengapa nama Allah dipermasalahkan? Mengapa harus mengganti nama Allah dengan YHWH? Kesemuanya itu dijawab dengan penjelasan yang teliti secara historis dari Ir. Herlianto, M.Th. Biarlah buku ini membuka cakrawala berpikir kita tentang gerakan YHWH-isme dan kelemahannya.





Profil Ir. Herlianto, M.Th.:
Ir. Herlianto, M.Th. adalah Pemimpin Umum Yayasan Bina Awam (YABINA), Bandung (situs: http://www.yabina.org) dan dosen dalam bidang Sosiologi dan Aliran Kontemporer di Sekolah Tinggi Theologi Bandung. Beliau adalah seorang insinyur lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1968 lalu memperdalam ilmu dalam bidang Pembangunan Perkotaan dan memperoleh diploma International Course on Housing, Planning and Building di Boueweentrum International Education, Rotterdam pada tahun 1979 serta mengikuti Urban Studies Course pada Princeton University di USA pada tahun 1982. Beliau belajar theologi di Institut Injil Indonesia, Batu pada tahun 1972, lalu dilanjutkan ke Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang dan pada tahun 1976 memperoleh gelar Bachelor of Theology (Th.B.) Pada tahun 1982, beliau menyelesaikan studi Master of Theology (M.Th.) di Princeton Theological Seminary, USA dengan spesialisasi masalah kemasyarakatan dan perbandingan agama. Beliau dapat dihubungi melalui e-mail: herlianto@yabina.org.

Eksposisi 1 Korintus 4:6-7 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 4:6-7

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 4:6-7



Penerjemah LAI:TB menganggap bagian ini sebagai sebuah perikop yang baru. Pemisahan ini memberi kesan bahwa apa yang disampaikan di 4:1-5 tidak terlalu berkaitan dengan 4:6-21. Jika kita selidiki secara teliti, maka kita akan mendapati bahwa dua bagian tersebut sama-sama membahas tentang perselisihan antara Paulus dan jemaat Korintus. Kalau di 4:1-5 Paulus sekedar menjelaskan bagaimana jemaat Korintus seharusnya memandang para rasul sebagai para pelayan Tuhan yang tidak boleh dihakimi kecuali oleh Tuhan sendiri, di 4:6-21 ia secara lebih terbuka memberikan teguran kepada mereka. Secara khusus di 4:6-7 Paulus menegur kesombongan jemaat Korintus.

Alur berpikir Paulus di 4:6-7 dapat digambarkan sebagai berikut:
Paulus menerapkan apa yang dia ajarkan (ay. 6a)
Tujuan dari teladan ini (ay. 6b-c)
Supaya jemaat belajar untuk tidak melampaui apa yang tertulis (ay. 6b)
Supaya jemaat tidak menyombongkan diri (ay. 6c)
Alasan bagi tujuan: semua karena anugerah Tuhan (ay. 7)


Paulus Menerapkan Apa yang Dia Ajarkan (ay. 6a)
Sapaan “saudara-saudara” (adelphoi) di ayat 6a memberi petunjuk bahwa bagian ini adalah pokok pikiran yang baru (1:10, 26; 2:1; 3:1), sekalipun masih sangat terkait dengan isu utama di pasal 4. Selain itu, kata sambung “sekarang” (de, ASV/NASB/NIV) turut mempertegas petunjuk ini (kontra KJV “dan” maupun RSV/LAI:TB yang tidak menerjemahkan kata ini). Apa yang disampaikan di 4:6-7 juga memperjelas bahwa Paulus sedang memaparkan suatu pokok pikiran yang baru.

Kata Yunani tauta (LAI:TB “kata-kata ini”) secara hurufiah berarti “hal-hal ini”. Mayoritas versi bahasa Inggris menerjemahkan tauta secara hurufiah (“these things, KJV/ASV/NASB/NIV) atau “semua hal ini” (“all this”, RSV). Terjemahan LAI:TB “kata-kata ini” bisa menimbulkan kesan bahwa tauta hanya merujuk pada pernyataan Paulus di 4:1-5. Para penafsir umumnya meyakini bahwa tauta merujuk pada semua gambaran/metafora yang telah diberikan Paulus sebelumnya, mulai pasal 3:5 sampai 4:5. Pandangan ini dapat dibenarkan berdasarkan arti kata “mengenakan” (skematizo, lih. pembahasan selanjutnya) maupun pemunculan nama Paulus dan Apolos (bdk. 3:5-9; 4:1-5 “kami”).

Kata kerja “mengenakan” (metaskematizo) beberapa kali dipakai oleh Paulus dalam arti “mengubah bentuk luar dari sesuatu, tetapi sesuatu itu tetap tidak berubah”. Kata ini dipakai untuk iblis maupun para rasul palsu yang pandai menyamar (2Kor. 11:13-15). Kata ini juga digunakan dalam konteks perubahan tubuh menjadi tubuh kemuliaan (Flp. 3:21). Dari arti umum ini dan sesuai konteks 1 Korintus 3-4 kita dapat mengetahui bahwa arti kata skematizo di 4:6 adalah “mengubah prinsip yang diajarkan dalam metafora menjadi sebuah kehidupan nyata” (ASV/KJV “I have in a figure transferred”; NASB “I have figuratively applied”). Secara sederhana, skematizo dapat dipahami dalam arti “mengaplikasikan” (RSV/NIV).

Paulus mengatakan bahwa aplikasi ini tidak hanya berkaitan dengan dirinya, tetapi juga dengan Apolos. Melalui pernyataan ini Paulus sekali lagi ingin menegaskan bahwa tidak ada masalah antara dirinya dan Apolos (bdk. 3:6; 16:12). Jemaat Korintuslah yang melebih-lebihkan perbedaan antara dua rasul tersebut. Para pemimpin jemaat di Korintus seharusnya dapat meniru kebersamaan dua rasul ini dan bukannya malah menjadikan figur dua rasul tersebut sebagai dasar untuk bertikai satu dengan yang lain.

Pernyataan Paulus di ayat 6a juga menunjukkan bahwa Paulus bukan sekedar seorang hamba Tuhan yang pandai mengajar, tetapi ia juga hebat dalam memberi teladan. Dia menghidupi apa yang dia ajarkan, sehingga di 4:16 dia berani mengatakan “turutilah teladanku”. Sikap yang mirip dengan ini ditunjukkan juga oleh Ezra yang bertekad “untuk meneliti Taurat TUHAN dan melakukannya serta mengajar ketetapan dan peraturan di antara orang Israel” (Ezr. 7:10).

Semua keteladan ini diberikan Paulus untuk kepentingan jemaat. Terjemahan LAI:TB “karena kamu” tidak terlalu tepat menyatakan makna kata Yunani di’ hymas di ayat 6a. Versi Inggris dengan tepat memakai “untuk kepentingan/keuntungan kamu” (NIV/RSV) atau “demi kamu” (ASV/KJV/NASB). Paulus memberi teladan bukan untuk kepentingannya sendiri, misalnya mendapat pujian atau memenangkan hati jemaat. Teladan ini juga bukan dirancang untuk memalukan jemaat Korintus dengan cara membuat mereka tampak lebih buruk karena sangat kontras dengan Paulus (4:14).


Tujuan dari Keteladan (ay. 6b-c)
Di ayat 6a Paulus hanya sekedar menyatakan bahwa teladan yang dia tunjukkan adalah untuk kepentingan jemaat, namun sekarang dia menjelaskan bagaimana keteladan itu membawa keuntungan bagi mereka. Dia ingin agar jemaat dapat belajar dari dia dan Apolos (ay. 6b “supaya dari kami kamu dapat belajar”). Pilihan kata “belajar” (manthano) memberi ide penting bahwa hidup Kristiani adalah sebuah proses peniruan/pemuridan. Kekristenan bukanlah legalisme yang terdiri dari sekumpulan perintah atau hukum. Kekristenan tidak seperti ajaran Farisi dan ahli Taurat yang membuat banyak orang letih. Sebaliknya, seperti yang diucapkan Yesus, “marilah kepada-Ku semua yang letih lesu dan berbeban berat...belajarlah kepada-Ku...”

Apa yang dapat dipelajari dari teladan Paulus dan Apolos? Pertama, supaya jemaat tidak melampaui “apa yang tertulis” (gegraptai, ay. 6b). Para penafsir berdebat tentang apa yang dimaksud Paulus dengan gegraptai. Sebagian menduga Paulus sedang mengutip sebuah peribahasa/ungkapan populer waktu itu. Dugaan ini menarik tetapi sebaliknya ditolak karena bukti historis yang dipaparkan tidak meyakinkan. Sebagian yang lain menganggap gegraptai merujuk ada semua penjelasan Paulus di pasal 1-3. Pandangan yang paling tepat adalah dengan melihat gegraptai sebagai rujukan pada teks-teks PL, karena dari 30 kali pemunculan kata ini selalu merujuk pada PL. Dalam konteks 1 Korintus 4:6, teks PL yang dimaksud adalah beberapa ayat yang sebelumnya sudah dikutip Paulus (1:19; 1:31; 2:9; 3:19-20). Semua teks ini mengajarkan keterbatasan hikmat manusia dan sikap Allah yang konsisten dalam merendahkan orang-orang yang merasa diri berhikmat. Sikap jemaat Korintus yang merasa diri berhikmat dan berusaha mengganti injil dengan hikmat duniawi merupakan tindakan yang melampaui apa yang tertulis. Mereka merasa diri lebih hebat daripada firman Tuhan.

Kedua, supaya jemaat tidak sombong (ay. 6c). Tujuan ini dapat dilihat secara sejajar dengan tujuan yang pertama atau dianggap sebagai penjelasan dari tujuan yang pertama itu. Para penafsir biasanya memegang kemungkinan yang kedua. Kata “menyombongkan diri” (phusioun) yang dipakai dalam bagian ini secara hurufiah berarti “menggelembungkan diri”. Kesan yang diungkapkan adalah usaha untuk melebih-lebihkan diri melampaui apa yang sebenarnya. Gambaran modern yang pas untuk menyatakan ini adalah sebuah balon yang ditiup: walaupun keliatannya besar, tetapi balon itu tidak ada isinya apa-apa selain kumpulan udara.

Pemunculan kata phusioun yang berulang-ulang di surat Korintus (4:6, 18, 19; 5:2; 8:1; 13:4; 2Kor. 12:20) mengindikasikan bahwa jemaat ini memang terkenal dengan kesombongan mereka. Jika pendapat beberapa penafsir tepat, maka penggunaan phusioun di sini cocok dengan kesombongan jemaat Korintus yang merasa diri pneumatikos (“rohani”), suatu kata yang berasal dari kata pneuma yang berarti “roh” atau “angin”. Dalam konteks sosial yang lebih luas, penduduk Korintus memang dikenal sebagai orang yang sombong dan suka berada di awang-awang. Kita tidak pernah bisa memastikan seberapa besar pengaruh mentalitas kota Korintus terhadap kesombongan jemaat, namun paling tidak kita dapat melihat gambaran bahwa bagi jemaat Korintus sikap sombong bukanlah sesuatu yang asing.

Kesombongan jemaat Korintus dapat dilihat dari beberapa hal. Mereka melupakan salah satu rasul – entah Paulus atau Apolos - yang telah dipakai Tuhan untuk mempertobatkan dan menumbuhkan iman mereka, sehingga Paulus sampai menyindir bahwa keadaan mereka sekarang yang hebat (paling tidak menurut mereka sendiri) adalah “tanpa para rasul” (4:8). Mereka juga merendahkan para rasul dan menganggap diri mereka lebih mulia daripada para rasul (4:10). Kesombongan ini sangat mungkin dipicu oleh ketidakadaan Paulus dan Apolos di Korintus sehingga beberapa pemimpin mencoba mengagungkan diri di atas yang lain. Mereka berpikir bahwa Paulus tidak akan datang lagi (4:18), sedangkan Apolos belum mau datang ke Korintus (16:12). Ketika mereka kehilangan figur pemimpin seperti inilah mereka lalu berebut menempatkan diri sebagai pemimpin. Mereka bahkan menganggap diri mereka lebih baik daripada para pendahulunya. Mereka seharusnya menyadari bahwa setiap pelayan mendapat tugas yang khusus dari Tuhan (3:5), sehingga tidak seharusnya memikirkan hal-hal yang lebih tinggi daripada yang mereka patut pikirkan (Rm. 12:3).


Alasan bagi Tujuan (ay. 7)
Kata sambung “sebab” di awal ayat ini menunjukkan bahwa bagian ini adalah penjelasan bagi ayat sebelumnya. Paulus ingin memberitahu alasan mengapa mereka tidak boleh melampaui apa yang tertulis dan tidak boleh sombong. Beberapa pertanyaan retoris yang ada di ayat ini semuanya berfokus pada satu ide: segala sesuatu adalah anugerah dari Tuhan. Jika semua adalah anugerah, maka sikap sombong jelas menjadi sikap yang harus dihindari.

Pertanyaan pertama (ay. 7a) dapat dipahami secara negatif atau positif. Secara negatif berarti “siapakah yang menganggap engkau penting/berbeda?” (LAI:TB/NASB/RSV). Secara positif berarti “siapakah yang membuat engkau menjadi berbeda [dari yang lain]?” (ASV/KJV/NIV/NRSV). Jika pertanyaan ini dipahami secara negatif, maka Paulus sedang menegur jemaat Korintus yang terlalu tinggi menilai diri mereka padahal mereka tidak ada apa-apanya. Jika secara positif, maka Paulus sedang mengingatkan jemaat tentang tangan Tuhan yang telah membuat mereka berbeda dari orang-orang lain. Di antara dua pilihan ini, yang terakhir tampaknya lebih tepat, karena ayat 7b-c berbicara tentang anugerah Allah. Jika ini diterima, maka ayat 7a merupakan usaha Paulus untuk mengingatkan jemaat bahwa keselamatan dan pertumbuhan rohani mereka berhutang pada Allah: Allah yang menyelamatkan (1:18), memilih (1:27-28), menyatakan rahasia (2:10-12) maupun memberikan berbagai karunia rohani (1:4-5; 12:6). Jika memang kekayaan rohani mereka berasal dari Allah, mereka tidak seharusnya menyombongkan diri.

Pertanyaan kedua (ay. 7b) menantang jemaat untuk melihat seluruh hidup mereka dalam kacamata anugerah. Apakah ada yang mereka miliki yang tidak mereka terima [dari Tuhan]? Paulus ingin mengajarkan bahwa apapun yang kita miliki adalah dari Tuhan, karena pada dasarnya segala sesuatu adalah milik Allah (2:23). Allah adalah sumber, agen dan tujuan dari segala sesuatu (Rm. 11:36). Kita bisa hidup (Yak. 4:15; Kis. 17:28a), makan (Mat. 6:11), selamat (Ef. 2:8-9), memiliki karunia rohani tertentu (1Kor. 1:4-5), melayani (1Kor. 3:5b) maupun melihat buah pelayanan (1Kor. 3:6-7) adalah karena Allah yang memberikan semua itu bagi kita. Hal ini dinyatakan dengan jelas oleh Paulus di tempat lain, “karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang” (1Kor. 15:10).

Pertanyaan ketiga (ay. 7c) lebih berupa teguran. Jika segala sesuatu adalah pemberian dari Tuhan, maka segala bentuk kesombongan merupakan penyangkalan terhadap anugerah Allah. Konsep anugerah dan pencapaian diri/usaha tidak dapat disatukan, karena keduanya saling kontradiktif. Roma 11:6 “jika hal itu terjadi karena kasih karunia, maka bukan lagi karena perbuatan, sebab jika tidak demikian, maka kasih karunia itu bukan lagi kasih karunia”. Ketika mereka memegahkan diri (kauchaomai), mereka sedang berlagak seolah-olah segala sesuatu adalah hasil pekerjaan mereka. Mereka lupa bahwa semua karunia tetaplah menjadi milik Allah. Alkitab mengajarkan stewarship (penatalayanan), bukan ownership (kepemilikan). Mereka seharusnya bermegah (kauchaomai) di dalam Tuhan (1:31), bukan di dalam pemberian-pemberian-Nya. Sama seperti orang tua yang memberikan barang-barang kepada anak-anak mereka dengan tujuan supaya mereka memperoleh sukacita dan bukan dijadikan alasan untuk saling membandingkan diri, demikian pula Allah memberi anugerah bukan untuk dibanding-bandingkan.

Dari penjelasan di ayat 7 kita dapat belajar bahwa konsep anugerah membawa pada ucapan syukur, sedangkan konsep pencapaian diri menghantar pada kesombongan. Konsep anugerah memampukan kita melihat kesamaan antara kita dan orang lain, yaitu sama-sama orang yang tidak layak tetapi tetap dipercaya oleh Tuhan. Di sisi lain, konsep pencapaian diri membuat kita menghakimi orang lain. Konsep anugerah membantu kita melihat diri kita sebagaimana adanya, tetapi konsep pencapaian diri membuat kita menilai diri terlalu tinggi. Konsep anugerah membantu kita menerima apapun keadan kita, sedangkan konsep pencapaian diri mendorong kita menginginkan yang lebih dan lebih lagi. Intinya, seberapa jauh kita memahami hidup kita sebagai sebuah anugerah, sejauh itu pula konsep tersebut akan mempengaruhi cara kita hidup.






Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 6 Juli 2008