25 December 2009

Eksposisi 1 Korintus 1:18-25 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 1:18-25

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 1:18-25



Kata sambung “sebab” (gar) di awal ayat 18 mengindikasikan bahwa ayat 18-25 memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan bagian sebelumnya. Bagian ini merupakan penjelasan terhadap apa yang sudah disinggung di ayat 10-17. Secara khusus, bagian ini menjelaskan ayat 17b “itupun bukan dengan hikmat perkataan supaya salib Kristus tidak dikosongkan kuasanya”. Hal ini terlihat dari kata “perkataan” (logos) yang muncul di ayat 17b (“hikmat perkataan”) dan dan ayat 18a (“perkataan salib”;LAI::TB “pemberitaan salib”).

Keterkaitan dua bagian di atas, terletak pada ide tentang “hikmat” (sophia). Hampir semua penafsir setuju bahwa perpecahan jemaat Korintus di pasal 1-3 berhubungan dengan hikmat. Hal ini didukung oleh pemunculan kata “hikmat” sebanyak 14 kali di pasal 1:18-2:16. Dukungan lain terdapat pada penutup pembahasan Paulus di pasal 1-3 di pasal 3:19 (“karena hikmat dunia ini adalah kebodohan bagi Allah”).

Sebagian jemaat Korintus bersentuhan dengan berbagai filsafat dunia yang ada pada waktu itu. Mereka lalu menganggap diri berhikmat. Ketika mereka melihat kebenaran Injil dari perspektif hikmat duniawi ini, mereka memandang rendah berita Injil yang dulu mereka terima. Mereka juga mulai mengultuskan pemimpin rohani yang menurut mereka sesuai dengan konsep mereka.

Bagaimana respons Paulus terhadap mereka yang menganggap diri berhikmat dan melihat kebenaran Injil sebagai suatu kebodohan? Paulus memberikan beragam respons dari pasal 1:18-2:16. Kali ini kita hanya menyelidiki pasal 1:18-25. Ada beberapa penjelasan yang diberikan untuk meresponi kesombongan intelektual di atas.


Injil Memang Kebodohan Bagi yang Binasa (ay. 18)
Dalam ayat ini Paulus menjelaskan bahwa pemberitaan tentang salib adalah kebodohan bagi yang mereka binasa (tois appolumenois). LAI:TB menerjemahkan kata Yunani ini dengan “mereka yang akan binasa”, seolah-olah kebinasaan mereka bersifat futuris. Terjemahan ini kurang sesuai dengan tense present yang dipakai. Beberapa versi Inggris dengan tepat memilih terjemahan “those who are perishing” (NIV/NASB/RSV). Orang-orang ini sedang mengalami kebinasaan. 2Korintus 4:3 “jika Injil yang kami beritakan masih tertutup juga, maka ia tertutup untuk mereka yang akan (lit. “sedang”) binasa”.

Setelah menjelaskan hal tersebut, Paulus menyatakan keyakinannya tentang keselamatan jemaat Korintus. Hal ini tersirat dari kata ganti “kita” di ayat 18b. Paulus tidak mengatakan “bagi mereka yang diselamatkan” (bdk. ayat 18a), tetapi “bagi kita yang diselamatkan”. Bentuk tense present yang dipakai di ayat ini menunjukkan bahwa keselamatan orang percaya merupakan sesuatu yang sudah terjadi. Orang percaya sudah diselamatkan di dalam Kristus Yesus. Di ayat-ayat selanjutnya Paulus menerangkan bagaimana keselamatan ini bisa terjadi, yaitu melalui perkenanan (ay. 21) dan panggilan Allah (ay. 24).

Bagi yang sedang diselamatkan, Injil adalah kekuatan Allah. Karena Injil sudah memiliki kekuatan ilahi, maka Paulus tidak mau memberitakan Injil dengan hikmat perkataan (1:17b; 2:1-5). Hikmat manusia tidak akan menambah kekuatan apa pun pada Injil. Ungkapan “Injil adalah kekuatan Allah” harus dilihat dalam konteks keselamatan (Rm. 1:16 “Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya”). Paulus juga mungkin memikirkan kekuatan Allah dalam hal merendahkan hikmat dunia (1Kor. 1:19-21).


Allah Telah Merendahkan Orang-orang Dunia yang Berhikmat (ay. 19)
Keyakinan Paulus di ayat 18 didasarkan pada firman Tuhan (bdk. kata sambung “karena” di awal ayat 19). Seperti biasanya, Paulus memulai kutipan firman Allah dengan kata “ada tertulis” (gegraptai). Kata muncul gegraptai muncul 63 kali dalam seluruh tulisan Paulus. Melalui pengutipan ini Paulus menegaskan bahwa firman Tuhan sebagai argumen yang cukup kuat. Dia tidak perlu berbantah-bantah atau memberi bukti-bukti lain di luar Alkitab. Allah telah berfirman, semua telah diputuskan.

Kutipan yang diambil dari Yesaya 29:14 ini sangat relevan dengan situasi yang dihadapi jemaat Korintus. Pada zaman Yesaya, ketika bangsa Yehuda menghadapi ancaman dari bangsa Babel, mereka tidak mau bersandar pada kekuatan Tuhan walaupun Tuhan sudah mengatakan bahwa dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatan mereka (Yes 30:15). Mereka justru memilih untuk mengikuti pemikiran mereka sendiri dengan cara mengikuti dewa-dewa kafir dan meminta bantuan dari bangsa Mesir. Allah sudah menegur tindakan ini dengan menyatakan bahwa hikmat-Nya tidak terbatas dan jauh melampaui siapapun (Yes 40:12-14, 25). Allah menyatakan bahwa para pembesar Zoan dan penasehat Mesir adalah orang yang bodoh semata-mata. Perkataan Allah ini kemudian menjadi kenyataan. Bangsa Yehuda tetap kalah dan dibuang selama 70 tahun.

Melalui pengutipan ini Paulus ingin mengajarkan bahwa Allah selalu merendahkan orang-orang yang menganggap dirinya berhikmat (bdk. 1Kor. 1:29). Sebaliknya, Allah justru sering kali memakai orang-orang yang dianggap bodoh atau lemah oleh dunia (1Kor. 1:27-28). Jemaat Korintus seharusnya tidak sombong karena mereka juga akan diendahkan oleh Allah.


Allah Membuat Hikmat Dunia Ini Menjadi Kebodohan (ay. 20-21)
Kalau di ayat 19 Paulus lebih menyoroti apa yang terjadi atas orang-orang yang menganggap diri berhikmat, di ayat 20-21 dia memfokuskan pada hikmat itu sendiri. Hal ini tersirat dari pertanyaan retoris terakhir di ayat 20b dan penjelasan terhadap pertanyaan ini di ayat 20. Ia memang masih menyinggung tentang orang-orang yang “berhikmat” (ay. 20a), tetapi yang dia tekankan bukan itu.

Pertanyaan retoris di ayat 20a tidak boleh dianggap sebagai tantangan Paulus kepada jemaat Korintus. Dia menyadari bahwa sebagian besar jemaat adalah orang-orang yang lemah dan bodoh menurut dunia (ay. 26). Dia hanya menyadarkan jemaat Korintus bahwa semua orang yang dianggap berhikmat menurut ukuran dunia ternyata tidak mampu bertahan.

Para penafsir berbeda pendapat tentang identitas tiga golongan yang disebut di ayat 20a: orang-orang berhikmat (sophos), ahli Taurat (grammateus) dan para pembantah (suzetetes). Grammateus jelas merujuk pada ahli Taurat (kontra NIV “scholar”), karena hampir semua pemunculan kata ini di PB menunjuk pada salah satu golongan pemimpin agama Yahudi, walaupun kata ini juga dipakai untuk pejabat pemerintahan (Kis. 19:35). Perdebatan di kalangan penafsir biasanya berkaitan dengan golongan pertama dan terakhir. Mayoritas penafsir memahami sophos sebagai para pemikir (filsuf) Yunani, sedangkan suzetetes merupakan rujukan umum untuk semua orang yang suka berdebat. NIV menerjemahkan suzetetes dengan filsuf, mungkin dengan pertimbangan bahwa perdebatan biasa terjadi dalam lingkungan para filsuf.

Paulus selanjutnya menutup rentetan pertanyaan retoris di ayat 20 dengan pertanyaan inti: “bukankah Allah telah membuat hikmat dunia ini menjadi kebodohan?”. Penggunaan ungkapan “hikmat dunia” (sophia kosmou) di ayat ini bukan hanya menunjukkan jenis hikmat yang duniawi, tetapi juga kesementaraan dari hikmat ini. Hal ini tersirat dari ungkapan “para pembantah dunia ini” di ayat 20a. Kata “dunia” di bagian ini memakai kata aion yang secara hurufiah berarti “zaman”. Dengan demikian Paulus ingin menegaskan bahwa hikmat zaman ini bersifat sementara (bdk. 7:31). Kenyataannya, Allah telah membuat hikmat seperti ini menjadi kebodohan.

Di ayat 21 Paulus memberikan alasan mengapa hikmat dunia menjadi kebodohan. Hikmat dunia ini tidak dapat menolong orang untuk mengenal Allah (ay. 21a). Seberapa pun kepandaian manusia, hal itu tidak menjamin bahwa dia mengenal Allah, karena pengenalan terhadap Allah hanya dimungkinkan oleh karya Roh Kudus (2:6-16). Di bagian suratnya yang lain Paulus memberi contoh tentang hal ini. Walaupun manusia sebenarnya dapat mengenal Allah melalui ciptaan-Nya (Rm. 1:19-20), tetapi mereka justru menindas kebenaran tersebut (Rm. 1:18). Mereka terjebak pada berbagai kebodohan, yaitu penyembahan berhala dan dosa-dosa (Rm. 1:21-31).

Alasan lain mengapa hikmat dunia telah dijadikan kebodohan adalah keselamatan dari orang-orang yang percaya pada kebodohan Injil (ay. 21b). Identitas orang-orang yang diselamatkan ini memang tidak dijelaskan Paulus di ayat ini, tetapi ayat-ayat selanjutnya menunjukkan bahwa orang-orang ini adalah mereka yang dianggap bodoh dan lemah oleh dunia (ay. 25-27). Bagaimana mungkin orang yang berhikmat malah tidak mengenal Allah sedangkan yang bodoh justru percaya kepada Dia? Kuncinya terletak pada kata “Allah berkenan menyelamatkan”. Di ayat 24 dijelaskan lebih lanjut bahwa perkenanan Allah ini berhubungan dengan panggilan-Nya untuk orang-orang pilihan (bdk. Rm. 8:29-30; Ef. 1:4; 2Tim. 2:9).

Konsep iman di ayat 21b bukanlah sekadar persetujuan intelektual belaka. Jika hanya sekadar keputusan rasio, maka tidak ada orang yang mau percaya pada kebodohan pemberitaan Injil. Iman di sini berarti penyerahan hidup. Jemaat Korintus yang terjebak pada hikmat duniawi dan mulai berani menghakimi Injil sebenarnya telah melupakan satu fakta yang penting: mereka dulu diselamatkan melalui iman, bukan terutama pergumulan rasio atau kepuasan intelektual.


Allah Tidak Mau Diatur Oleh Tuntutan Manusia (ay. 22-25)
Paulus menyadari bahwa konsep keselamatan melalui salib merupakan hal yang sulit diterima oleh orangorang pada jamannya, baik orang Yahudi maupun Yunani. Bagi orang Yahudi yang selalu menuntut tanda ajaib (Mat. 11:38-39; Mrk. 8:11; Luk. 11:16; Yoh. 6:30), konsep tentang Mesias yang disalib merupakan batu sandungan (lit. “skandal”). Mereka mengharapkan mesias yang perkasa dan mampu menyelamatkan mereka dari tangan bangsa Romawi (bdk. Kis. 1:6). Menurut mereka, kematian Yesus di kayu salib menunjukkan bahwa Dia tidak mampu menyelamatkan diri-Nya sendiri, apalagi mau menyelamatkan bangsa Yahudi. Lebih jauh, kematian di atas kayu salib merupakan bukti bahwa orang itu terkutuk di hadapan Allah dan manusia (Ul. 21:23; Gal. 3:13).

Di sisi lain, orang-orang Yunani yang menyukai “hikmat” (bdk. Kis. 17:21) melihat berita salib sebagai kebodohan. Sebagian dari mereka mungkin mempercayai konsep seorang dewa yang menjadi manusia (walaupun sebagian dari mereka – terutama di kalangan filsuf – menganggap hal ini sebagai mitos), namun konsep yang mereka pegang berbeda dengan inkarnasi Yesus. Dewa yang menjadi manusia tidak mungkin mengalami kematian. Di samping itu, kematian di atas kayu salib hanya dikhususkan bagi para penjahat yang biadab. Bagaimana bisa Allah menjadi manusia, mati dan dengan cara disalib? Semua ini jelas sulit diterima oleh orang Yunani.

Walaupun manusia pada zaman Paulus menuntut tanda dan hikmat, Allah tidak mau kompromi. Jalan keselamatan tetap harus melalui salib. Inilah yang diberitakan oleh Paulus. Apakah itu berarti bahwa pemberitaan Injil adalah perkataan kosong dan hanyalah konsep yang tidak rasional? Sama sekali tidak! Di ayat 24 Paulus menegaskan bahwa Injil adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah. Bagaimana bisa? Ya, Injil adalah kekuatan dan hikmat Allah bagi yang dipanggil oleh Allah, baik bagi orang-orang Yahudi maupun non-Yahudi. terlepas dari paradigma berpikir dari dua golongan manusia ini, kalau Allah memang memanggil seseorang, maka orang ini pasti akan mempercayai Injil. Dengan demikian, bagi orang seperti ini Injil adalah kekuatan dan hikmat Allah.

Di ayat 25 Paulus menutup penjelasannya dengan menyatakan kebenaran teologis yang penting: Allah jauh lebih berhikmat dan kuat daripada manusia. Terjemahan hurufiah dari ayat ini adalah “sebab kebodohan Allah adalah lebih ebrhikmat daripada manusia dan kelemahan Allah adalah lebih kuat daripada manusia”. Jangankan membandingkan hikmat Allah dan hikmat manusia, kebodohan Allah pun juga lebih hebat daripada semua kepandaian manusia. Jangankan membandingkan kekuatan Allah dengan manusia, kelemahan Allah pun sudah jauh melebihi semua kekuatan manusia. Salib merupakan bukti betapa kekuatan dan hikmat manusia telah dipermalukan oleh Allah. Keselamatan melalu salib hanya dimungkinkan oleh hikmat dan kuasa Allah.




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 9 Desember 2007