04 November 2008

Matius 11:28-30: MARILAH KEPADA-KU-2

Ringkasan Khotbah: 20 Agustus 2006

Marilah Kepada-Ku (2)
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 11:28-30


Kita telah memahami sebelumnya bahwa selama orang hidup di bawah kuasa penaklukkan dosa, orang akan mengalami kelelahan atau fatigue. Hanya kembali pada Tuhan barulah orang dapat terlepas dari kondisi fatigue; Tuhan akan memberi kelegaan. Ketika orang berjalan keluar dari rencana Tuhan, sesaat ia merasa nikmat dan nyaman sampailah orang sampai pada kegagalan, orang sudah fatigue barulah orang sadar kalau selama ini ia telah jauh melangkah, ia telah melakukan hal yang sia-sia. Marilah kepada-Ku yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu (Mat. 11:28). Hari ini kita merenungkan arti dari berbeban berat atau over burden. Kata berbeban berat berasal dari kata fortizo artinya beban lebih yang dikenakan pada sesuatu benda atau makhluk hidup. Dalam bahasa Indonesia, kata “fortizo“ ini sangat mirip dengan kata “forsir.“ Seperti seekor keledai yang membawa beban berat yang melebihi kekuatannya karena begitu beratnya sampai akhirnya ia terjatuh dan mati.
Setelah kejatuhan, dunia mulai mengeluarkan semak duri, onak dan permusuhan, manusia harus berpeluh dan bekerja untuk mencari nafkah, itulah sebabnya orang tidak pernah lepas dari burden. Namun orang tidak mau bersusah payah, manusia yang licik mengembangkan prinsip passive income, orang lain yang disuruh bekerja untuk mendatangkan keuntungan baginya, ia harus menanggung beban, yaitu menafkahi dua orang sekaligus. Alkitab menegaskan barangsiapa yang tidak mau bekerja maka ia tidak boleh makan. Ada dua macam burden yang ditanggung manusia: 1) burden yang harus ditanggung oleh setiap orang Kristen karena ia menjalankan rencana dan kehendak Tuhan. Kuk yang kita tanggung tersebut adalah kuk yang Tuhan pasang akan tetapi kuk itu enak dan beban pun menjadi ringan, 2) burden milik kita sendiri dan celakanya, terkadang tanpa kita sadari, kita menanggung beban orang lain. Dan yang lebih celaka lagi, kita telah bersusah payah dan berjerih lelah mengerjakan dan menanggung beban itu tapi ternyata, tidak mendapatkan pahala yang ada justru kecelakaan dan kebinasaan. Beda halnya, kalau kuk yang kita pikul itu kuk Tuhan, selain terasa ringan, kita akan mendapatkan pahala. Hati-hati, secara pelan namun pasti dunia global berproses masuk dalam kondisi over burden dan kalau kita tidak kembali pada Tuhan, kita akan hancur.
Beberapa aspek yang menjadikan kita sangat berbeban berat, over burden antara lain:
1. Iri hati
Jiwa iri muncul karena orang tidak sadar, tidak dapat mengukur sampai batas mana kemampuannya tapi ia ingin menjadi seperti orang lain. Maka dapatlah dibayangkan akibatnya, ia pasti akan sangat berbeban berat. Ketika kita melihat kemampuan orang lain dan kita dapat melakukannya itu berarti kita memang mempunyai talenta di bidang itu tapi kalau kita sudah berusaha sekuat tenaga tetapi ternyata kita tidak dapat melakukannya maka kita tidak perlu iri hati, itu berarti Tuhan tidak memberikan talenta di bidang itu. Celakanya, kita tidak sadar diri tapi malah menjadi marah dan memandang orang lain sebagai ancaman. Kuk orang lain kita pasangkan ke diri kita, kita menanggung burden orang lain dan setelah berlelah-lelah ternyata, kita tidak mendapatkan pahala karena apa yang kita kerjakan itu semata-mata hanya dorongan ambisi dan iri hati.
Pada setiap orang, Tuhan memberikan talenta, ada orang yang mendapat 1 talenta, 2 talenta, ada yang 5 talenta. Tugas kita adalah mengembangkan talenta yang Tuhan berikan itu secara maksimum, kita kerjakan untuk Tuhan pasti kita tidak akan merasa terbeban dan yang lebih indah kita mendapat pahala. Menjadi murid Kristus, bukan berarti kita tidak ada beban. Tidak! Beban itu tetap ada hanya bedanya, beban yang Tuhan berikan itu pas dan sesuai dengan kekuatan kita dengan demikian kita tidak merasa berbeban berat. Dunia modern sengaja memacu kita dengan semangat kompetisi, kita dipacu untuk menjadi seperti orang lain; jiwa manipulatif juga selalu diajarkan oleh dunia maka tidaklah heran kalau hidup kita selalu over burden. Biarlah kita mengevaluasi diri, apakah jiwa iri hati itu ada dalam diri kita? Buanglah rasa iri hati itu secepatnya, jangan biarkan kita menjadi over burden.
2. Sombong
Adalah natur manusia berdosa yang tidak mau hidupnya diatur oleh Tuhan. Manusia lebih suka jalan menurut aturannya sendiri padahal aturan manusia itu sifatnya uji coba atau trial and error. Kalau orang mau taat, berjalan menurut apa yang menjadi jalan Tuhan maka semua akan berjalan indah, kita tidak perlu buang tenaga, waktu dan pikiran untuk hal-hal yang tidak perlu. Inilah sikap manusia berdosa yang tak ubahnya seperti anak kecil yang sok tahu dan sok pintar ingin mencoba segala sesuatunya sendiri, tidak mau menuruti perkataan orang tua sampai suatu titik dimana ia mengalami kesulitan barulah ia sadar kalau dirinya bukanlah siapa-siapa. Jangan biarkan hidupmu menjadi trial and error, jangan biarkan keluarga kita menjadi trial and error. Mengerjakan segala sesuatu dengan uji coba akan membuat kita menanggung beban yang seharusnya tidak perlu kita tanggung, over burden; banyak hal yang harus kita korbankan padahal seharusnya kita tidak perlu berkorban untuk hal itu. Setelah hancur lebur barulah orang sadar dan mau kembali pada Tuhan. Sungguh sangatlah indah hidup manusia kalau berada dalam pimpinan Tuhan. Kalau kita mau berandai-andai, seandainya hari itu, Hawa taat pada Tuhan maka hari ini kita tidak akan mengalami penderitaan. Hawa mencoba melakukan trial and error dan ternyata Hawa salah.
Hidup taat dan membiarkan diri dipasang kuk oleh Tuhan akan menjadikan hidup kita terasa nyaman dan indah karena Tuhan tahu sampai dimana batas kemampuan kita mengangkat beban; Allah yang berdaulat tidak menjadikan kita sebagai ajang uji coba. Biarlah dengan rendah hati kita datang kepada Kristus sebab hanya dengan mengenal Anaklah kita dapat mengenal Bapa di Sorga. Sayangnya, manusia tidak mau mengenal Anak dan Bapa, manusia ingin berjalan sendiri. Dalam kesombongan dan keegoisan manusia berusaha dan berjuang sendiri, manusia ingin menunjukkan bahwa ia bisa melakukan segala sesuatunya sendiri. Sadarlah kita mempunyai keahlian tertentu, kita pandai maka semua itu adalah karunia dari Tuhan dan ingat, di atas kita masih ada orang lain yang lebih hebat dari kita, jadi janganlah engkau sombong. Kita hanyalah manusia terbatas, kita tidak tahu apa yang terjadi di depan kita maka hal inilah seringkali menjadikan kita salah. Memikul kuk Tuhan tidak akan menjadikan kita over burden. Hendaklah kita senantiasa mau belajar dan diajar oleh Tuhan.
3. Hidup Tidak Seimbang
Keseimbangan dapatlah digambarkan seperti orang yang memikul beban dengan menggunakan sebatang kayu maka supaya beban itu terasa ringan, ia harus tahu titik seimbang yang tepat. Dapatlah dibayangkan apa jadinya kalau kita memikul beban tapi tidak pada titik yang tepat tentunya beban yang kita bawa akan terasa berat. Demikian juga halnya dengan hidup manusia kalau kita overloaded di satu bidang maka kita akan kehilangan yang lain, itu justru menjadikan keseimbangan hidup kita pincang. Itulah mulainya muncul masalah. Perhatikan, pengertian seimbang disini bukan sama rata atau membagi sama antara jam di pekerjaan, keluarga maupun gereja. Tidak! Tapi tergantung beban yang ada, waktu harus diatur sedemikian rupa untuk mencapai titik keseimbangan. Tiga aspek yang perlu kita perhatikan supaya mencapai suatu titik keseimbangan dalam hidup, yakni: 1) spiritualitas, kehidupan pelayanan, 2) keluarga, 3) dunia profesi. Jika salah satu bagian lebih berat dari yang lain maka hal itu akan menimbulkan masalah dan akhirnya kita menjadi over burden.
Manusia sangat terbatas; manusia tidak tahu dimana titik keseimbangannya. Hanya Tuhan tahu sampai dimana titik keseimbangan kita karena itu, hendaklah kita menyerahkan hidup kita sepenuhnya untuk diatur Tuhan. Namun manusia tidak mau taat, manusia merasa diri bijak untuk mengatur hidupnya sendiri akibatnya terjadi over burden. Janganlah kita merasa puas diri ketika segala sesuatu berjalan baik justru itu waktunya bagi kita untuk mengevaluasi diri, benarkah semua itu sudah berjalan seimbang atau jangan-jangan itu hanya kita sendiri yang menganggapnya demikian. Orang baru tersadar ketika beban itu sudah mencapai titik kulminasi dan meledak, ternyata titik keseimbangan itu tidak tercapai. Apalah artinya kita sukses di dunia profesi kalau keluarga kita hancur. Pertanyaannya adalah bagaimana kita mencapai keseimbangan hidup? Hanya dengan berserah pada pimpinan Tuhan yang berdaulatlah barulah tercapai titik keseimbangan itu, hidup menjadi indah. Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat , Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang... dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak (Mat. 11:28-30).
4. Hidup Tidak Harmoni
Hidup yang harmonis ini sangatlah indah, bagaikan sebuah simfoni yang merdu. Menata sebuah orkestra untuk membentuk sebuah simfoni ini tidaklah mudah. Bayangkan, kalau dalam suatu orkestra hanya ada sebuah alat musik saja tentulah alunan musik yang terdengar kurang indah demikian juga halnya kalau banyak alat musik tetapi semua memainkan nada-nada yang berlainan, yang terdengar justru suara disharmoni yang kacau balau. Kalau disuruh memilih antara satu alat musik atau banyak alat musik tapi disharmoni pastilah orang lebih memilih mendengarkan sebuah alat musik. Ironisnya, hari ini manusia suka sesuatu yang disharmoni, chaos karena chaos merupakan ekspresi jiwa manusia berdosa. Sebagai contoh, orang lebih suka mendengarkan musik aliran keras daripada musik klasik, orang lebih suka membaca buku-buku filsafat Nietzsche daripada membaca Alkitab. Hal ini menunjukkan betapa rusaknya dunia ini. Kristen sejati seharusnya memancarkan keindahan, hidup menjadi suatu pujian, salmos di hadapan Tuhan.
Hidup di dunia penuh dengan warna dan kompleksitas dan Tuhan menginginkan supaya masalah yang kompleks ini menjadi suatu harmoni yang indah dengan demikian kita tidak menjadi over burden. Keharmonisan hidup akan kita dapatkan kalau kita mau kembali pada Firman Tuhan. Namun sangatlah disayangkan, dunia tidak menyadari hal ini dan orang tidak mau kembali pada Firman karena menganggap diri lebih pandai dan bijak dari Tuhan. Orang tidak sadar bahwa apa yang mereka teorikan tidak dapat dijalankan dalam kehidupan sehari-hari atau dengan kata lain telah terjadi disharmoni. Biarlah kita kembali pada Firman, kita mau dibentuk oleh Firman maka hidup kita akan bahagia. Merupakan suatu kesalahan paling fatal kalau kita menjadikan kebahagiaan sebagai tujuan hidup.Kekristenan bukan melihat kebahagiaan di titik akhir tetapi bahagia itu sekarang. Hidup Kekristenan bukan mengejar bahagia, tujuan hidup bukanlah kebahagiaan sebab ketika kita mengejar bahagia justru pada saat itu kita merasa tidak bahagia. Tujuan hidup kita adalah memuliakan Tuhan disana barulah kita merasakan kebahagiaan. Jadikanlah seluruh aspek hidup kita terarah kepada Tuhan, hidup akan sangat bahagia; bagaikan sebuah orkestra yang dipimpin seorang konduktor maka akan menghasilkan simfoni indah. Satu-satunya konduktor yang terbaik adalah Tuhan Allah sendiri.
5. Serakah
Manusia cenderung ingin sesuatu yang lebih tapi tidak mau mengukur diri. Orang tidak sadar bahwa segala sesuatu yang berlebihan itu justru mendatangkan celaka. Satu hal yang perlu kita ingat, janganlah kekurangan yang ada itu menjadikan kita ingin memiliki sesuatu yang bukan seharusnya menjadi milik kita sebab itu malah menjadikan kita over burden. Kalau Tuhan memberikan pada kita 2 talenta maka kita harus mengembangkannya menjadi 2 talenta lagi tapi manusia serakah, tidak puas dengan 2 talenta. Inilah sifat manusia berdosa yang selalu tidak pernah puas. Keserakahan disini bukan hanya secara materi saja tetapi serakah disegala bidang seperti: jabatan, emosi termasuk dalam spiritualitas. Pertanyaannya kenapa manusia serakah? Kenapa manusia ingin mendapatkan segala sesuatu yang lebih dan lebih? Di tengah dunia tidak ada satu pun manusia yang dapat menentukan sampai sebatas mana porsi setiap manusia. Cobalah mulai hari ini kita belajar menyangkal diri dengan menekan segala keinginan kita sekaligus belajar untuk tidak menjadi serakah. Manusia tidak pernah puas dengan apa yang ada pada dirinya hari ini.
Biarlah kita meneladani Paulus yang mencukupkan diri dalam segala keadaan dengan demikian kita tidak akan mudah digoyahkan oleh situasi dunia yang semain kacau. Tuhan ingin supaya kita mengerjakan segala sesuatu yang menjadi kehendak Tuhan bukan menurut keinginan kita dengan demikian kita tidak akan over burden. Keserakahan akan terbatas kalau seluruh standar dikembalikan pada Tuhan. Tuhanlah yang tahu sampai batas mana standar kita, sampai batas mana kita merasa cukup dan sampai batas mana kita merasa kurang. Biarlah kita mengevaluasi diri kita apakah saat ini kita merasa berbeban berat, over burden? Biarlah seluruh hidup kita hanya untuk menggenapkan rencana Tuhan maka kita akan mencapai titik maksimum dan kita tidak merasa berbeban berat. Kembalilah pada Tuhan, Tuhan telah menyediakan kuk yang pas untuk setiap kita. Amin

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

Roma 11:19-24: "ISRAEL" SEJATI ATAU PALSU-18: Kedahsyatan Pikiran Allah-3 dan Anugerah-2

Seri Eksposisi Surat Roma :
Doktrin Predestinasi-16


“Israel” Sejati atau Palsu-18 (Penutup) :
Kedahsyatan Pikiran Allah-3 dan Anugerah-2


oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 11:19-24



Untuk menjelaskan bahwa Allah tidak bermaksud agar umat pilihan-Nya sendiri binasa, maka Paulus telah memberi penjelasan singkat di ayat 13 s/d 18 tentang dimasukkannya orang non-Israel ke dalam umat pilihan. Lalu, ia mulai menguraikannya dari ayat 19 s/d 24 apa yang harus dilakukan oleh orang non-Israel yang sudah dicangkokkan tersebut.

Di ayat 18, Paulus sudah mengatakan bahwa orang non-Yahudi hendaklah tidak bermegah ketika ia dicangkokkan ke dalam akar tanaman, karena akar tanaman itulah yang menopang mereka, bukan sebaliknya. Lalu, Paulus membaca pikiran mereka lalu mengatakan di ayat 19, “Mungkin kamu akan berkata: ada cabang-cabang yang dipatahkan, supaya aku dicangkokkan di antaranya sebagai tunas.” Paulus mengerti apa yang ada di dalam pikiran orang non-Yahudi yaitu usaha menonjolkan diri, merasa diri lebih berharga daripada banyak orang Yahudi yang sudah dibuang Allah. Hal ini pun juga terjadi pada banyak orang Kristen. Banyak orang Kristen sudah merasa diri selamat, lalu bertindak seenaknya sendiri, persis seperti orang non-Yahudi ini. Terhadap pemikiran seperti ini, di ayat 20, Paulus melanjutkan, “Baiklah! Mereka dipatahkan karena ketidakpercayaan mereka, dan kamu tegak tercacak karena iman. Janganlah kamu sombong, tetapi takutlah!” Paulus tidak membantah apa yang dipercayai oleh orang non-Yahudi, yaitu banyak orang Yahudi tidak diselamatkan, tetapi justru orang non-Yahudi diselamatkan. Konsep ini tidak salah, tetapi ia menjelaskan bahwa banyak orang Yahudi tidak diselamatkan karena mereka tidak percaya. Kata “ketidakpercayaan” ini bisa diterjemahkan ketidaktaatan (disobedience). Ketika kita mencoba menengok kembali Perjanjian Lama, kita mendapati kebenaran apa yang disampaikan Paulus. Bangsa Israel adalah bangsa pilihan Allah, bukan secara bangsa, tetapi lebih kepada individu. Karena konsep ini tidak dimengerti, sehingga mereka berpikir bahwa kalau mereka lahir dari keluarga Israel, belajar Taurat dari kecil, menjalankan Taurat, maka mereka pasti termasuk umat pilihan dan diselamatkan. Konsep iman dan ketaatan bukan lagi diukur dari hati, tetapi dari kelakuan dan pikiran yang tampak baik di luar. Konsep ini diluluhlantakkan oleh Tuhan Yesus di Matius 23 dengan menyebut mereka munafik. Mereka mengenal Allah hanya di tataran logika, menghafal Taurat, menjalankan syariat Taurat, tetapi tidak mengerti esensi di dalamnya. Allah sendiri di dalam Perjanjian Lama hampir sering menyebut Israel sebagai bangsa yang tegar tengkuk, bebal, dll. Ini dibukakan Paulus kembali di Surat Roma, bahwa Israel yang mengklaim diri sebagai umat pilihan-Nya (secara bangsa) ternyata banyak yang dibuang, karena ketidakpercayaan mereka. Di sini, Paulus menajamkan satu konsep tentang keselamatan, yaitu iman. Keselamatan bukan borongan atau turunan dari keluarga, tetapi keselamatan adalah individual dan berdasarkan iman pada anugerah Allah. Orang yang tidak beriman pada Kristus, betapa pun salehnya orang itu berbuat baik, perbuatan baik itu tidak berarti apa-apa di mata Allah, mengapa? Karena tindakan penebusan Kristus telah dihina dan direndahkan. Sebaliknya, bagi umat pilihan-Nya, mereka diselamatkan, bukan karena mereka berespon kepada Allah melalui iman, tetapi Allah lah yang berinisiatif memberikan anugerah iman kepada mereka, sehingga mereka bisa beriman. Tidak heran, Paulus mengingatkan, “dan kamu tegak tercacak karena iman. Janganlah kamu sombong, tetapi takutlah!” “Tegak tercacak” di dalam terjemahan KJV berarti berdiri (stand). Artinya, orang non-Yahudi bisa berdiri karena iman (atau diterjemahkan, beriman) bukan karena kehebatan mereka, tetapi karena anugerah Allah. Oleh karena itulah, Paulus mengatakan bahwa mereka tidak boleh sombong, tetapi harus takut. Teguran Paulus ini menjadi teguran juga buat banyak orang Kristen. Banyak dari kita menganggap karena kita sudah selamat, lalu kita bertindak seenaknya sendiri. Dengan kata lain, kita menganggap keselamatan kita barang murahan yang tak bernilai. Sekali lagi, Allah melalui Paulus menegur kita bahwa ketika kita diselamatkan melalui iman di dalam penebusan Kristus, itu adalah mutlak anugerah Allah, tidak ada jasa baik manusia yang diperhitungkan. Sehingga, tidak ada yang perlu disombongkan ketika kita diselamatkan. Ketika kita sombong akan keselamatan kita, itu berarti kita tidak mengerti betapa berharga dan pentingnya keselamatan itu yang merupakan anugerah Allah.


Bukan hanya, tidak boleh sombong, Paulus juga menegur orang non-Israel untuk takut. Takut kepada siapa? Mengapa harus takut? Orang non-Israel harus takut kepada Allah yang memberikan anugerah keselamatan itu, “Sebab kalau Allah tidak menyayangkan cabang-cabang asli, Ia juga tidak akan menyayangkan kamu.” (ay. 21) “Tidak menyenangkan” dalam banyak terjemahan Alkitab Inggris berarti tidak menaruh belas kasihan. Contemporary English Version (CEV) menerjemahkannya “memotong”. Dengan kata lain, mereka harus takut kepada keadilan Allah, di samping kasih-Nya. Takut kepada keadilan Allah menuntut orang non-Yahudi untuk tidak sembarangan menjalani hidup. Hidup mereka harus berubah dan berbeda total dari cara hidup dunia. Sedangkan, bagi mereka yang tidak mau bertobat, mereka pasti dibuang seperti orang Yahudi. Jangan sekali-kali memakai ayat ini lalu mengajar bahwa keselamatan umat pilihan bisa hilang. Itu tafsiran berbahaya dan ajaran hilangnya keselamatan umat pilihan ini bisa diruntuhkan dengan ayat-ayat Alkitab lainnya. Kembali, ayat ini bukan sedang membicarakan kehilangan keselamatan umat pilihan, tetapi sedang berbicara tentang teguran Paulus kepada orang non-Yahudi agar bertobat. Kalau mereka bertobat, berarti orang non-Yahudi itu adalah umat pilihan Allah sejati. Jika mereka tidak bertobat, berarti mereka jelas bukan umat pilihan-Nya, meskipun mereka menganggap diri “umat pilihan”. Bagaimana dengan kita? Dari teguran Paulus ini, kita belajar akan pentingnya pertobatan. Setelah Allah menyelamatkan kita melalui penebusan Kristus yang diefektifkan oleh Roh Kudus, kita tidak lagi berada di dalam kuasa dosa, iblis, dan maut. Selanjutnya, kita tidak boleh enak-enakan saja, tetapi kita melanjutkan karya keselamatan itu melalui pertobatan dan perbuatan baik untuk memuliakan Tuhan. Kedua hal ini pun terjadi melalui anugerah Allah. Pertobatan Kristen secara status terjadi satu kali, tetapi secara realita terjadi berkali-kali. Pertobatan berkali-kali ini menandakan bahwa di dalam setiap waktu kita membutuhkan pertobatan dari segala konsep kita yang keliru. Kita bisa bertobat setahap demi setahap melalui pencerahan Roh Kudus ketika membaca Alkitab atau ketika ada hamba Tuhan yang menyadarkan kita melalui perenungan Firman/khotbah. Di saat itulah, kita semakin dimurnikan oleh Roh Kudus melalui Firman.


Lalu, pertobatan sejati memerlukan satu dasar pijak, yaitu kebenaran Allah. Hal ini dijabarkan Paulus di ayat 22, “Sebab itu perhatikanlah kemurahan Allah dan juga kekerasan-Nya, yaitu kekerasan atas orang-orang yang telah jatuh, tetapi atas kamu kemurahan-Nya, yaitu jika kamu tetap dalam kemurahan-Nya; jika tidak, kamupun akan dipotong juga.” Orang non-Israel diingatkan Paulus untuk bertobat dengan berdasar pada kemurahan sekaligus kekerasan-Nya. Apa arti penggabungan dua atribut Allah ini menurut Paulus? Ia menjelaskan bahwa kekerasan Allah berlaku bagi mereka yang sudah jatuh/bersalah, sedangkan kemurahan-Nya bagi orang non-Israel ketika mereka tetap di dalam kemurahan-Nya. Jika mereka tidak tetap di dalam kemurahan-Nya, mereka akan dipotong. Apakah ini berarti keselamatan umat pilihan bisa hilang karena mereka tidak bertobat dan berbuat baik? TIDAK. Sekali lagi, ini tidak berbicara mengenai umat pilihan, tetapi teguran Paulus atas kesombongan orang non-Yahudi yang diselamatkan. Konteksnya jelas. Kembali, melalui pemisahan dua atribut Allah pada dua objek yang berbeda menjelaskan bahwa kepada orang-orang tertentu yang sudah dipilih, Allah menunjukkan pemeliharaan dan kemurahan-Nya secara khusus di dalam hal keselamatan dan perbuatan baik, tetapi kepada sisanya, yaitu orang-orang yang tidak dipilih, Allah menunjukkan kekerasan-Nya atau Tuhan mengeraskan hati mereka untuk tidak percaya. Teguran ini mengingatkan orang non-Yahudi kembali bahwa kepada mereka, Allah menunjukkan kemurahan-Nya, sehingga mereka harus hidup di dalam kemurahan-Nya saja, jika tidak, Allah tidak segan-segan memotong mereka. Kalau Allah sampai memotong mereka, itu jelas merupakan tanda bahwa mereka bukan umat pilihan, mengapa? Karena dua alasan. Pertama, umat pilihan tidak mungkin binasa, karena Allah yang memulaikan keselamatan, Ia pula yang akan menyelesaikannya sampai akhir (Ia adalah Alfa dan Omega). Kedua, karena Allah yang memelihara keselamatan umat pilihan-Nya sehingga tidak binasa atau tidak hilang, maka Ia pula lah yang memimpin mereka untuk bisa bersaksi bagi-Nya, meskipun itu tidak menghalangi tanggung jawab manusia. Kembali, kita belajar bahwa kemurahan Allah tidak berarti Allah bisa diinjak-injak, tetapi kemurahan Allah membawa/mendorong kita kepada pertobatan (Rm. 2:4). Ketika Allah bermurah hati kepada kita, kita harus senantiasa waspada karena pada saat itu lah, seharusnya kita sadar bahwa itu berarti Allah mengasihi kita dan menghendaki kita segera bertobat. Allah yang bermurah hati bukan lah Allah yang membiarkan dosa, tetapi menghendaki kita sadar dosa dan bertobat. Kadangkala untuk menyadarkan kita dari dosa dan menuntut kita bertobat, kemurahan hati-Nya ditunjukkan dengan cara menegur dan menghajar kita (Why. 3:19). Ketika kita dihajar-Nya, itu lah bukti kemurahan hati-Nya. Sebaliknya, jika Allah diam saja ketika kita berbuat dosa, hati-hatilah, itu tanda bahwa Ia tidak lagi memerdulikan kita, sekaligus itu juga bukti kekerasan-Nya atau Allah mengeraskan hati kita. Mari kita mengintrospeksi diri, masihkah kita mau menerima teguran dan bahkan hajaran yang keras dari Tuhan demi pertobatan kita? Ataukah kita menekan suara Roh Kudus di dalam hati kita?


Lalu, Paulus melanjutkan pokok permasalahan berikutnya di ayat 23, “Tetapi merekapun akan dicangkokkan kembali, jika mereka tidak tetap dalam ketidakpercayaan mereka, sebab Allah berkuasa untuk mencangkokkan mereka kembali.” Untuk mengingatkan bahwa Allah menunjukkan kemurahan-Nya di ayat 22, maka Paulus mengajar bahwa Allah yang murah hati adalah Allah yang memanggil beberapa umat pilihan-Nya dari orang Yahudi yang bertobat. Artinya, umat pilihan-Nya yang ada di dalam beberapa orang Yahudi yang bertobat (karena pencerahan Roh Kudus) diterima-Nya kembali. Penerimaan-Nya ini didasarkan pada kuasa-Nya sekaligus kemurahan hati-Nya. Hal yang sama terjadi pada kita. Kita sering mendapati bahwa banyak orang Kristen yang untuk suatu saat murtad dan menolak Kristus meskipun sejak kecil dididik di sekolah minggu, tetapi jika orang itu termasuk umat pilihan, Roh Kudus akan “memukul” mereka kembali kepada Kristus, sehingga mereka yang tadinya murtad, akhirnya berbalik dan menerima Kristus. Itu adalah bukti kemurahan-Nya bagi umat-Nya yang mungkin pada suatu waktu tersesat dan murtad. Roh Kudus yang sama juga bisa memelihara hidup kita yang mungkin sedang mengalami depresi atau keputusasaan yang sangat berat. Ketika hidup kerohanian kita merasa kering dan bahkan menurun, Roh Kudus membakar kembali semangat itu sehingga kita makin mencintai Tuhan dan firman-Nya. Adalah suatu keanehan jika “Roh Kudus” yang digembar-gemborkan saat ini bukan mencerahkan dan membakar semangat kita untuk mencintai Allah dan firman-Nya, tetapi untuk melampiaskan emosi yang tak terkendali, seperti tertawa tidak sadarkan diri, berguling-guling di lantai, dll.


Ketika orang Israel dicangkokkan kembali apa pohon zaitun asli, baik orang Yahudi dan non-Yahudi sama-sama mendapatkan berkat, meskipun demikian, orang Israel mendapatkan berkat yang lebih, karena mereka lah yang pertama kali menerima kovenan keselamatan itu. Hal ini dijelaskan Paulus di ayat 24, “Sebab jika kamu telah dipotong sebagai cabang dari pohon zaitun liar, dan bertentangan dengan keadaanmu itu kamu telah dicangkokkan pada pohon zaitun sejati, terlebih lagi mereka ini, yang menurut asal mereka akan dicangkokkan pada pohon zaitun mereka sendiri.” Paulus mengajar ini, sekali lagi, BUKAN karena ia lebih mencintai orang Israel, tetapi justru melalui ayat ini, Paulus menegur dan mengingatkan baik orang Yahudi maupun non-Yahudi bahwa mereka diselamatkan bukan karena kehebatan mereka, tetapi karena kasih karunia. Melalui anugerah Allah, orang non-Yahudi yang dulunya merupakan cabang dari pohon zaitun liar bisa dicangkokkan ke dalam pohon zaitun sejati. Begitu juga dengan orang Israel yang bertobat, mereka akan lebih menikmati anugerah Allah ini. Prinsipnya jelas, yaitu anugerah Allah menjadi sumber. Aplikasinya di dalam zaman ini, Roh Kudus bisa memanggil banyak orang non-Kristen untuk menjadi umat pilihan-Nya di dalam Kristus melalui pertobatan mereka yang sungguh-sungguh. Ketika itu terjadi, itu adalah anugerah Allah. Begitu juga sebaliknya, banyak orang Kristen yang merupakan umat pilihan-Nya untuk suatu saat tersesat, lalu ketika mereka bisa bertobat dan kembali kepada Kristus, itu juga anugerah, tetapi mereka lebih merasakan dahsyat dan besarnya anugerah Allah daripada orang-orang yang non-Kristen, mengapa? Karena orang-orang yang sudah Kristen, lalu murtad, dan akhirnya kembali kepada Kristus, mereka lebih mengerti anugerah Allah dan finalitas Kristus di antara semua agama lainnya. Di saat itu pula, mereka bisa lebih berani memberitakan Injil. Adakah kita termasuk di dalamnya? Biarlah kita mengintrospeksi diri. Biarlah anugerah Allah memotivasi dan mendorong kita untuk hidup bersaksi dan memuliakan-Nya saja.

Melalui perenungan 6 ayat ini, kita disadarkan akan finalitas Kristus dan anugerah Allah sebagai sumber keselamatan kita. Sudahkah kita bersyukur karenanya dengan bersaksi bagi-Nya? Amin. Soli Deo Gloria.