04 August 2008

Roma 9:30-33: "ISRAEL" SEJATI ATAU PALSU-6: Siapakah Umat Pilihan Allah Sejati?-1

Seri Eksposisi Surat Roma:
Doktrin Predestinasi-6


“Israel” Sejati atau Palsu-6:
Siapakah Umat Pilihan Allah Sejati?-1


oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 9:30-33



Setelah mempelajari tentang problematika predestinasi bagian kedua di ayat 22 s/d 29, kita akan mengerti tentang siapakah umat pilihan Allah sejati di ayat 30 s/d 33.

Setelah menjelaskan bahwa umat pilihan Allah bukanlah semua bangsa Israel, tetapi beberapa orang (sisa) dari bangsa Israel (ayat 27) dan juga ada orang-orang yang dari bangsa bukan Israel/Yahudi yang juga termasuk kaum pilihan Allah, maka Paulus menyimpulkan pengajarannya di ayat 30, “Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Ini: bahwa bangsa-bangsa lain yang tidak mengejar kebenaran, telah beroleh kebenaran, yaitu kebenaran karena iman.” Pernyataan “Jika demikian” menunjukkan adanya akibat dari ayat sebelumnya. King James Version (KJV) menerjemahkannya, “What shall we say then?” (=Apa yang akan kita katakan kemudian ?) Di ayat sebelumnya, kita telah mempelajari bahwa umat pilihan Allah bukanlah seluruh bangsa Israel, tetapi sisa-sisa orang Israel dan beberapa orang dari non-Israel. Konsep ini sebenarnya sudah dibukakan sejak zaman Perjanjian Lama, tetapi sayangnya banyak ahli Taurat dan orang Farisi menutupinya lalu mengajarkan bahwa semua bangsa Israel adalah umat pilihan Allah yang harus memelihara Taurat. Mereka dengan bangganya berdoa di pasar dan tempat ramai dengan kalimat yang menyatakan diri sebagai kaum pilihan Allah (dan bukan orang kafir), dll. Padahal arogansi mereka sebenarnya sia-sia saja, karena fakta menunjukkan bahwa tidak semua orang Israel benar-benar Israel atau kaum pilihan Allah. Ditambah ada beberapa orang dari bangsa lain/non-Yahudi juga termasuk kaum pilihan Allah. Hal ini yang diajarkan Paulus di ayat 30 bahwa bangsa-bangsa lain (bangsa-bangsa non-Yahudi/Gentiles) yang tidak mengejar kebenaran (status yang dibenarkan), telah beroleh status tersebut, yaitu status dibenarkan melalui iman. Ada tiga proposisi yang akan kita renungkan di dalam ayat ini.

Pertama, bangsa-bangsa lain yang tidak mengejar kebenaran. Di dalam Alkitab terjemahan Inggris, bangsa-bangsa lain diterjemahkan Gentiles yang berarti orang kafir/bangsa non-Yahudi. Mengapa ada perbedaan ini? Karena Israel menganggap bahwa bangsa mereka saja yang dipilih Allah, sedangkan sisanya kafir karena tidak dipilih Allah. Akibatnya, status ini tidak membuat mereka bersyukur, malahan menghina bangsa lain yang kafir sebagai bangsa najis yang tidak dipilih Allah. Bangsa-bangsa non-Yahudi ini memang tidak memiliki Taurat seperti Yahudi, sehingga mereka tidak mengejar kebenaran. Kata kebenaran di sini dalam bahasa Yunaninya dikaiosunē yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris: righteousness atau kebenaran keadilan. Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear (2003) menafsirkan “kebenaran” ini sebagai status yang dibenarkan (hlm. 852). Artinya, bangsa-bangsa non-Yahudi tidak mengejar status yang dibenarkan. Ini memang benar di mata orang Yahudi, karena di mata mereka, bangsa non-Yahudi tidak memiliki Taurat, maka mereka tidak bisa mengejar status yang dibenarkan. Di satu sisi, hal ini memang benar, tetapi di sisi lain, tidak. Mengapa? Karena selain Taurat sebagai penyataan khusus Allah kepada Israel, bangsa-bangsa non-Yahudi juga memiliki Taurat yang ditanamkan di dalam hati mereka dan alam semesta ciptaan-Nya sebagai penyataan umum Allah bagi semua orang (Roma 1:19-20). Meskipun demikian, penyataan khusus Allah tetap diperlukan.

Kedua, bangsa-bangsa non-Yahudi telah beroleh status kebenaran. Meskipun mereka tidak mengejar status yang dibenarkan (karena tidak memiliki Taurat), ternyata Allah berdaulat mutlak dan mengasihi mereka, sehingga mereka pun telah beroleh status kebenaran tersebut. Perbedaan waktu di dalam kedua kata kerja antara “mengejar” dan “memperoleh” ini sangat unik. Di dalam struktur waktu, kata “mengejar” menggunakan bentuk present, sedangkan kata “memperoleh” menggunakan bentuk aorist. Beberapa terjemahan Inggris juga membedakan kedua kata kerja ini dengan struktur waktu yang berbeda. English Standard Version (ESV) menerjemahkan, “That Gentiles who did not pursue righteousness have attained it,…” King James Version (KJV) hampir sama menerjemahkan, “That the Gentiles, which followed not after righteousness, have attained to righteousness,…” New King James Version (NKJV) juga menerjemahkan, “That Gentiles, who did not pursue righteousness, have attained to righteousness,” Terjemahan Indonesia pun juga membedakan kedua kata kerja ini dengan keterangan waktu yang berbeda, di mana di dalam Alkitab LAI, ditambahkan kata “telah” pada pernyataan “telah beroleh status kebenaran”. Ini berarti status dibenarkan (justified) oleh Allah didapatkan jauh sebelum mereka mengejar status dibenarkan tersebut. Ini adalah kedaulatan dan anugerah Allah yang jauh melampaui respon manusia. Dengan kata lain, kita dibenarkan melalui anugerah Allah yang mendahului respon manusia. Ketika kita sudah dibenarkan melalui anugerah Allah, sudah seharusnya kita bersyukur atas anugerah-Nya yang begitu agung ini.

Ketiga, bangsa-bangsa non-Yahudi dibenarkan melalui iman. Bukan hanya melalui anugerah Allah, bangsa-bangsa non-Yahudi yang dipilih Allah dibenarkan melalui iman. Kata “karena” di dalam pernyataan “kebenaran karena iman” seharusnya diterjemahkan melalui/oleh iman. International Standard Version (ISV) menerjemahkannya, “Gentiles, who were not pursuing righteousness, have attained righteousness, a righteousness that comes through faith.” English Standard Version (ESV) menerjemahkannya, “That Gentiles who did not pursue righteousness have attained it, that is, a righteousness that is by faith;” Semuanya ini menunjukkan bahwa umat pilihan Allah dibenarkan melalui anugerah Allah yang memberikan iman kepada umat-Nya. Jadi, iman bukan penyebab Allah membenarkan seseorang, tetapi iman adalah sarana/media/cara yang dianugerahkan Allah agar seseorang dibenarkan oleh Allah. Dengan kata lain, adalah SALAH ketika Alkitab terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkan, “...Bangsa-bangsa lain yang bukan Yahudi tidak berusaha supaya hubungan mereka dengan Allah menjadi baik kembali. Tetapi karena mereka percaya, maka Allah membuat hubungan mereka dengan Dia menjadi baik kembali.” Ingatlah, iman tidak mengakibatkan Allah membenarkan seseorang, tetapi iman merupakan akibat atau media/cara di mana Allah membenarkan seseorang. Iman itu sendiri merupakan anugerah Allah. Lalu, mengapa di dalam ayat ini dikatakan bahwa bangsa-bangsa non-Yahudi dibenarkan melalui iman? Dibenarkan melalui iman di dalam ayat ini berarti bangsa-bangsa non-Yahudi dibenarkan melalui iman yang bersandar kepada/di dalam Allah yang telah menyatakan diri-Nya secara khusus kepada mereka. Dengan kata lain, mereka dibenarkan melalui iman bukan dibenarkan melalui iman sebagai sesuatu yang aktif tanpa anugerah Allah, tetapi kita dibenarkan melalui iman yang bersandar mutlak pada anugerah Allah. Anugerah Allah menjadi dasar/sumber kita dapat memiliki iman yang melaluinya kita dapat dibenarkan oleh-Nya. Hal ini juga berlaku bagi kita. Kita adalah orang Indonesia yang tentu adalah orang-orang non-Yahudi. Tetapi puji Tuhan, beberapa dari kita yang bukan orang Yahudi telah dipilih Allah menjadi umat-Nya melalui penyataan diri-Nya secara khusus di dalam Kristus dan Alkitab, sehingga melalui Roh Kudus yang menggenapkan karya keselamatan Kristus di dalam hati kita, kita dibenarkan oleh Allah melalui anugerah Allah di dalam iman kepada Kristus.

Kalau bangsa-bangsa non-Yahudi dibenarkan melalui iman, maka sebaliknya di ayat 31, Paulus menjelaskan, “Tetapi: bahwa Israel, sungguhpun mengejar hukum yang akan mendatangkan kebenaran, tidaklah sampai kepada hukum itu.” Kedua ayat kesimpulan pendek dari Paulus ini memutarbalikkan semua paradigma dari banyak orang Israel pada waktu itu. Dulu, Israel berpikir bahwa merekalah yang termasuk umat pilihan Allah yang dibenarkan Allah karena mereka memiliki Taurat, sedangkan orang-orang di luar Israel adalah bangsa kafir yang tidak mungkin dibenarkan Allah. Tetapi Paulus memutarbalikkan paradigma ini dengan mengatakan bahwa justru beberapa orang dari bangsa-bangsa non-Yahudi yang dianggap “kafir” oleh orang-orang Yahudi sebenarnya telah dibenarkan oleh Allah melalui iman, sebaliknya hanya sisa orang dari seluruh bangsa Israel (bukan semua orang Israel) yang dibenarkan oleh Allah. Justru banyak orang Israel yang merasa sudah memiliki Taurat dan dibenarkan Allah, malahan merekalah yang sesungguhnya tidak sampai kepada hukum yang membenarkan dari Allah. Pernyataan “hukum yang akan mendatangkan kebenaran” berarti hukum kebenaran (KJV: the law of righteousness). Secara spesifik, kata “hukum” di sini dalam bahasa Yunani diterjemahkan sebagai hukum Musa (konteksnya adalah Israel). Lalu, kata “sampai” dalam struktur waktu Yunani memakai bentuk aorist. Dengan kata lain, meskipun di dalam perjalanan hidupnya Israel mengejar hukum kebenaran, sebenarnya dari dulu/kekekalan, beberapa dari mereka telah ditetapkan-Nya untuk tidak sampai/tiba pada hukum tersebut. Bagaimana dengan kita ? Seringkali kita sebagai orang Kristen menghina mereka yang bukan Kristen sebagai orang yang layak binasa. Memang benar bahwa di luar Kristus, mutlak tidak ada jalan keselamatan. Tetapi tidak berarti argumen ini mengakibatkan kita menghina mereka yang belum percaya kepada Kristus. Mungkin sekali beberapa orang non-Kristen saat ini telah dipilih Allah sebelum dunia dijadikan untuk menjadi umat-Nya, dan menunggu waktu-Nya, orang-orang ini lama-kelamaan pasti akan menjadi Kristen. Oleh karena itu, sebagai orang Kristen sejati, kita tidak perlu menghina mereka sebagai orang kafir, dll, tetapi kita harus menjadi pewarta Kabar Baik (Injil). Ingatlah, kita mungkin dipakai-Nya menjadi saluran berkat dan terang bagi beberapa orang dari non-Kristen yang telah dipilih Allah. Kita dipersiapkan-Nya untuk menuntun beberapa umat pilihan Allah yang sementara ini belum Kristen agar mereka nantinya menjadi pengikut Kristus yang taat dan setia. Bersediakah kita dipakai-Nya untuk kemuliaan-Nya ? Sebaliknya, kita yang terus merasa diri sudah mendapatkan wahyu khusus Allah di dalam Alkitab, kita malahan yang tidak sampai pada pengertian total akan Alkitab. Mengapa demikian ? Karena sebenarnya kita bukan umat pilihan Allah, tetapi anak-anak setan yang sementara masih indekos di dalam gereja (mengutip pernyataan Pdt. Dr. Stephen Tong). Memang hampir tipis perbedaan antara orang Kristen sejati (anak-anak Tuhan) dengan orang “Kristen” palsu (anak-anak setan). Secara fenomena, mungkin keduanya juga rajin beribadah, suka belajar theologia, “melayani ‘Tuhan’”, dll, tetapi yang membedakannya adalah motivasi dan hati. Motivasi dan hati seorang Kristen sejati adalah murni untuk melayani Tuhan dan rendah hati, sedangkan motivasi dan hati seorang “Kristen” palsu adalah untuk kepuasan dan kebanggaan diri. Biarlah kita mengintrospeksi diri kita ketika kita sedang melayani Tuhan.

Mengapa Israel tidak sampai kepada hukum yang membenarkan tersebut ? Paulus menjelaskannya di ayat 32, “... Karena Israel mengejarnya bukan karena iman, tetapi karena perbuatan. Mereka tersandung pada batu sandungan,” Ini adalah ayat kunci kita mengerti ayat 31, yaitu Israel (sudah) tidak sampai kepada hukum kebenaran tersebut karena mereka mengejarnya berdasarkan/melalui perbuatan, BUKAN berdasarkan/melalui iman. Kata “karena” dalam bahasa Yunani adalah ek atau ex yang berarti from (dari), dll. Beberapa terjemahan Inggris menerjemahkannya secara berbeda. American Standard Version (ASV), Geneva Bible, King James Version (KJV) dan New King James Version (NKJV) menerjemahkannya dengan kata by (oleh). Di sisi lain, English Standard Version (ESV) menerjemahkan, “Because they did not pursue it by faith, but as if it were based on works.” dan ISV menerjemahkannya, “Because they did not pursue it on the basis of faith, but as if it were based on works.” Dari perbedaan terjemahan ini, kita bisa menyimpulkan bahwa bangsa Israel tidak bisa sampai pada hukum kebenaran karena mereka mengejar kebenaran berdasarkan perbuatan mereka, bukan melalui iman. Kata “perbuatan” ditambahkan oleh Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear (2003) dengan: perbuatan-perbuatan (yang dituntut Taurat) (p. 852) Dengan kata lain, perbuatan-perbuatan itu lah yang mendorong mereka terus mengejar hukum kebenaran. Mengapa demikian ? Karena mereka berpikir bahwa dengan melakukan seluruh hukum Taurat, mereka akan dibenarkan. Dari mana mereka berpikir demikian ? Apakah dari Abraham, dll ? TIDAK. Justru Abraham dipanggil oleh Allah BUKAN karena ia telah berbuat baik, melainkan justru ia dipanggil oleh-Nya di dalam suatu kondisi di mana lingkungan sekitarnya adalah para penyembah berhala. Allah memanggil Abraham murni karena kedaulatan dan anugerah-Nya. Juga kepada Abraham, Allah membenarkannya melalui iman, BUKAN melalui perbuatan baik. Inilah kekonsistenan pengajaran Alkitab dari Perjanjian Lama sampai dengan Perjanjian Baru, dengan satu esensi utama yaitu manusia dibenarkan dan diselamatkan melalui anugerah Allah di dalam iman. Jika ada orang Katolik yang mengajarkan bahwa kita dibenarkan melalui iman + perbuatan baik (dengan dalih mengutip Yakobus 2:14-26 plus “tradisi rasuli”), maka ajaran itu jelas salah. Mengapa? Karena sejak Perjanjian Lama, Alkitab melaporkan kepada kita bahwa Abram pernah berbuat dosa dengan tidak mengakui Sarai sebagai istrinya kepada Firaun (Kejadian 12:10-20). Uniknya dosa ini dilakukan setelah Allah memanggilnya (Kejadian 12:1-9). Kalau benar manusia dibenarkan melalui iman + perbuatan baik, maka Allah tidak jadi memberkati Abram, padahal tidak ada satu pun catatan Alkitab yang mengatakan bahwa setelah Abram berdosa demikian (Kej. 12:10-20), maka Allah mengurungkan niat-Nya untuk memberkati Abram seperti yang telah dijanjikan-Nya (Kejadian 12:2-3). Dosa kedua Abraham yaitu tidak mempercayai janji Allah. Hal ini ditunjukkanya dengan menyodorkan Ismael saja yang menerima berkat perjanjian Allah (Kejadian 17:18), karena pada waktu itu Abraham belum dikaruniai oleh Allah seorang anak dari rahim Sara, padahal Ia telah berjanji sebelumnya bahwa Abraham akan diberkati dengan keturunan yang banyak (Kejadian 17:6-8). Kembali, jika manusia dibenarkan melalui iman + perbuatan baik, maka “seharusnya” Alkitab mencatat bahwa pada saat itu, Allah langsung memutuskan ikatan perjanjian-Nya dengan Abraham “hanya” gara-gara Abraham meragukan janji-Nya dengan menyodorkan Ismael untuk menerima berkat perjanjian. Tetapi, sayangnya Alkitab TIDAK pernah mengajar hal demikian. Sayangnya Katolik sampai hari ini TIDAK bisa membuktikan ajaran mereka (yang diklaim berasal dari “tradisi rasuli”) bahwa manusia dibenarkan melalui iman + perbuatan baik, tetapi mati-matian menekankan ajaran yang katanya dari “tradisi rasuli” tetapi melawan konsep Alkitab dari Perjanjian Lama sampai dengan Perjanjian Baru. Inikah yang disebut “tradisi rasuli”? Apakah para rasul Kristus tidak menyadari pengajaran penting ini seperti mayoritas orang Katolik ? Ataukah sebenarnya mayoritas orang Katolik dengan sengaja memutarbalikkan berita Injil dengan menitikberatkan pembenaran melalui perbuatan baik (dalihnya: iman + perbuatan baik)? Inilah kegagalan presuposisi manusia berdosa yang juga sama-sama menggunakan dalih dan argumentasi “rohani”, yaitu “tradisi rasuli”, tetapi sayangnya sama sekali TIDAK memahami kekonsistenan PL dan PB sebagai satu benang merah yang saling terkait di dalam Alkitab.

Bukan hanya mereka mengejar hukum kebenaran melalui perbuatan saja, mereka pun tersandung pada batu sandungan. Batu sandungan bisa diterjemahkan batu yang membuat mereka jatuh tersandung (Sutanto, 2003, p. 852). King James Version (KJV) menerjemahkannya stumblingstone. Kata ini dalam bahasa Yunani proskommatos. Kata ini berasal dari dua kata Yunani yaitu proskomma yang berarti a stub, that is, (figuratively) occasion of apostasy (sesuatu yang membuat tersandung, yaitu, secara figuratif berarti waktu/alasan pemurtadan) dan lithos yang berarti stone (batu). Dr. John Gill di dalam tafsirannya John Gill’s Exposition of the Entire Bible menafsirkan bahwa batu sandungan ini adalah Perkataan Injil (the word of Gospel) atau lebih tepatnya (salib) Kristus sendiri yang oleh Paulus dikatakan, “untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan” (1 Korintus 1:23). Untuk lebih jelasnya, mari kita perhatikan ayat 33, di mana Paulus mengatakan, “seperti ada tertulis: "Sesungguhnya, Aku meletakkan di Sion sebuah batu sentuhan dan sebuah batu sandungan, dan siapa yang percaya kepada-Nya, tidak akan dipermalukan."” Ayat ini diambil dari Yesaya 28:16 yang berbunyi, “sebab itu beginilah firman Tuhan ALLAH: "Sesungguhnya, Aku meletakkan sebagai dasar di Sion sebuah batu, batu yang teruji, sebuah batu penjuru yang mahal, suatu dasar yang teguh: Siapa yang percaya, tidak akan gelisah!” Ayat ini ditujukan kepada para pemimpin Yerusalem (baca dari ayat 7) yang tidak mau mendengarkan Firman Tuhan. Beberapa penafsir yang saya baca tafsirannya hampir sama menunjuk kedua batu ini sebagai batu pembangun bangunan yang mengarah kepada Kristus. Batu ini ada dua, yaitu batu penguji dan batu penjuru yang mahal. Batu penguji dalam KJV diterjemahkan a tried stone. Batu ini menurut Albert Barnes dalam tafsirannya Albert Barnes’ Notes on the Bible menunjuk kepada suatu bahan logam (metals) yang diuji dengan api untuk menguji kualitasnya. Barnes mengutip hal ini dari: Ayub 23:10 ; Mazmur 66:10; Yeremia 9:6 (LAI: Yer. 9:7); dan Zakharia 13:9. Hal ini penting supaya bangunan yang akan dibangun dari batu tidak hancur di titik dasar. Batu penguji/yang diuji ini, menurut Matthew Henry dalam tafsirannya Matthew Henry’s Commentary on the Whole Bible menunjuk kepada para nabi di PL yang membangun dasar kebenaran. Lalu, batu ini disusul dengan batu penjuru yang mahal. KJV menerjemahkannya a precious corner stone. Kembali, Barnes menafsirkan bahwa batu ini adalah batu yang sangat kuat/kokoh untuk menahan sudut bangunan. Batu ini juga menunjuk kepada Kristus. Di dalam Kisah Para Rasul 4:11, Rasul Petrus yang penuh Roh mengatakan, “Yesus adalah batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan--yaitu kamu sendiri--, namun ia telah menjadi batu penjuru.” “Batu penjuru” di dalam ayat ini berarti kepala dari penjuru/ujung (the head of the corner) yang menunjukkan bahwa Kristus adalah Sumber/Kepala segala sesuatu. Di dalam Efesus 2:19-20, Rasul Paulus mengatakan hal serupa, “Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru.” “Batu penjuru” di dalam ayat ini dalam KJV diterjemahkan the chief corner stone. Dengan kata lain, kedua batu ini menunjuk kepada Kristus sebagai dasar yang telah diuji untuk suatu bangunan sekaligus sebagai dasar bangunan yang kokoh dan tak tergoyahkan. Kedua batu inilah yang mengakibatkan Allah berfirman bahwa barangsiapa yang percaya, tidak akan gelisah. Mengapa Allah berkata bahwa barangsiapa yang percaya kepada kedua batu ini tidak akan gelisah ? Kedua batu ini memiliki makna dan mengarah kepada Kristus (bukan sekedar batu biasa), sehingga barangsiapa yang percaya kepada-Nya tidak akan gelisah (ayat 33: tidak akan dipermalukan ; bandingkan: Roma 10:11; 1 Petrus 2:6). Kristus itulah yang menjadi batu sandungan bagi bangsa Israel yang terus mengagungkan perbuatan sebagai syarat diselamatkan. Dengan kata lain, bangsa Israel tidak sampai kepada hukum Kebenaran, selain karena mereka mengejarnya melalui perbuatan, mereka tidak mengarah kepada Kristus di dalam iman, sehingga mereka kehilangan arah dan makna hidup sejati. Bagaimana dengan kita? Sebagai kaum pilihan Allah, kita seharusnya berfokus kepada iman dan bersumber hanya kepada Kristus yang adalah batu teruji dan batu penjuru yang mahal/berharga. Kristus itulah yang menjadi Sumber Hidup kita yang kepadanya hidup kita terkait mutlak. Ketika kita berfokus kepada iman dan bersumber hanya kepada Kristus, hidup kita pasti akan memiliki makna sejati meskipun harus melewati berbagai pergumulan dan penderitaan. Sudahkah kita menjadikan Kristus sebagai Tuhan dan Raja dalam hidup kita? Sudahkah kita menjadikan Kristus sebagai Batu Teruji dan Batu Penjuru yang Berharga di dalam hidup kita? Itulah tandanya kita adalah umat pilihan Allah sejati.

Melalui perenungan keempat ayat ini, kita seharusnya disadarkan bahwa umat pilihan Allah sejati hidup hanya melalui anugerah Allah di dalam iman kepada Kristus. Iman ini yang mengarahkan dan menuntun hidup kita terus berjalan dan setia kepada-Nya meski harus menderita aniaya. Sudahkah kita hidup oleh iman kepada/di dalam Kristus saja ? Amin. Soli Deo Gloria.

Matius 10:28-31: CHRISTIANITY AND PERSECUTION: The Providence-2

Ringkasan Khotbah: 26 Maret 2006

Christianity & Persecution: The Providence 2
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 10:28-31



Pendahuluan
Sejak awal Tuhan Yesus telah membukakan bahwa setiap orang yang mau menjadi murid-Nya, yaitu ia harus menyangkal diri, memikul salibnya dan mengikut Aku, hal ini berarti banyak tantangan dan penderitaan yang harus dihadapi maka gambaran domba di tengah serigala yang diberikan oleh Kristus itu sangatlah tepat. Adalah wajar kalau dunia membenci anak Tuhan sejati sebab dunia telah terlebih dahulu membenci Kristus, Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya (Yoh. 1:12). Perhatikan, Firman Tuhan tidak pernah mengajarkan kalau anak Tuhan akan selalu hidup nyaman dan bahagia. Tidak! Jadi, jangan tertipu dengan ajaran sesat yang sengaja diajarkan demi untuk suatu tujuan pribadi yang sekular, hedonis, dan humanis materialis. Perhatikan, Tuhan tidak pernah menjanjikan hidup nikmat ataupun kesuksesan, Tuhan janjikan pimpinan dan penyertaan bagi anak Tuhan yang sejati.

Sangatlah mengenaskan, gereja seharusnya menjadi manifestasi Kerajaan Sorga di dunia tapi kini, mulai berkompromi dengan ajaran dunia yang humanis materialis. Ironis, gereja tidak menyenangkan hati Tuhan tetapi gereja justru takut kalau tidak dapat menyenangkan hati manusia. Di tengah situasi dan kondisi yang kacau ini Tuhan menegaskan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka (Mat. 10:28). Betapa indah dan bahagia hidup kita kalau kita mempunyai rasa takut akan Tuhan dalam segala aspek kita selalu ingin menyenangkan hati Tuhan. Takut akan Tuhan menjadi landasan providensia Allah. Providensia Allah adalah Allah yang sejati akan menyertai, memimpin dan menjaga umat-Nya yang sejati. Kalau burung pipit yang harganya sangat murah Tuhan pelihara apalagi manusia yang adalah umat Allah, tentu Tuhan akan menjaga bahkan di tengah tantangan dan bahaya Dia tetap menjaga dan melihara anak-Nya.
I. Allah adalah satu-satunya sandaran absolut.
Perasaan takut yang Tuhan tanamkan dalam diri setiap manusia seharusnya menyadarkan manusia bahwa manusia adalah makhluk relatif. Perasaan takut ini muncul ketika orang merasakan tidak ada keseimbangan. Seorang yang berbadan dan berotot besar tidak akan takut pada anak kecil umur dua tahun yang mencoba menantang dia. Lain halnya kalau ada orang lain yang mempunyai badan lebih besar mencoba menantangnya maka saat itulah rasa takut itu akan muncul. Ketakutan ini merupakan ketakutan yang relatif. Di saat perasaan takut itu muncul, barulah orang menyadari kalau dirinya membutuhkan sesuatu yang dapat disandari. Sandaran itu dapat berupa kekuatan fisik, kekayaan, kedudukan dan lain-lain namun semua sandaran itu sifatnya relatif belaka. Dapatlah dibayangkan bagaimana jadinya hidup manusia yang relatif tapi menyandarkan hidupnya pada sandaran relatif. Setiap orang pasti mempunyai sandaran atau lebih tepatnya ia harus mencari sandaran sebab tanpa sandaran, orang akan terus berada dalam ketakutan.

Manusia sadar kalau sesungguhnya ia butuh sandaran tetapi orang tidak tahu kepada sandaran manakah yang sifatnya absolut yang layak untuk dijadikan sandaran. Jangan pernah berpikir kalau kita menyandarkan hidup kita pada dunia, hidup kita akan bahagia. Tidak! Iblis memang akan mengabulkan semua permintaan kita tapi ingat, semua pemberian itu tidak gratis. Selama kita masih berguna maka iblis akan memberikan apa saja yang kita minta tapi setelah kita tidak berguna lagi maka kita akan dibuang, habis manis sepah dibuang. Hanya bersandar pada Allah yang berdaulat, Allah yang absolut, kita akan mendapatkan sukacita sejati. Allah berdaulat menata seluruh alam semesta mulai dari titik alfa hingga titik omega; tidak ada satu pun rencana Allah dalam alam semesta ini yang dapat digagalkan oleh manusia. Bayangkan, seandainya Allah yang menjadi sandaran itu seperti “allah“ yang ada dalam konsep manusia – “allah“ bereaksi tergantung dari aksi manusia sedangkan keinginan manusia selalu berubah-ubah maka “allah“ pasti akan mengalami kesulitan akibatnya seluruh alam semesta tidak dapat tertata dengan baik. Teologi Reformed menegaskan Allah di dalam kedaulatan-Nya memilih manusia untuk diselamatkan. Manusia tidak suka dengan Allah yang berdaulat, manusia juga ingin berdaulat sehingga muncul konsep bahwa segala sesuatu yang akan terjadi barulah terjadi apabila manusia beriman atau percaya. Jadi, segala sesuatu ditentukan oleh imannya dan kalau yang diimani tersebut ternyata tidak terjadi maka kesalahan ada pada imannya, yaitu kurang beriman. Pertanyaannya sekarang adalah siapakah manusia sehingga berani mengatur Tuhan? Lalu kalau “allah“ dapat diatur manusia masih layakkah “dia“ dijadikan sandaran? Biarlah kita mengevaluasi diri, kepada siapakah kita menyandarkan hidup kita? Iman sejati harus kembali pada Allah sejati. Ingat, Allah sejati tidak dapat dipermainkan manusia dan manusia yang berani bermain-main dengan Allah sejati maka ia sendiri yang akan hancur karena itu, bertobatlah. Anak Tuhan yang sejati tidak boleh takut pada semua oknum yang ada di dunia tetapi takutlah kepada Dia yang dapat membunuh baik tubuh sekaligus jiwa di dalam neraka. Kita telah mempunyai Allah sejati, Allah yang mutlak sehingga kita tidak memerlukan lagi “allah“ lain sebagai cadangan. Celakanya, hari ini masih banyak orang Kristen yang meragukan reliability Tuhan sehingga orang mencari “allah cadangan“ maka itu merupakan suatu pelecehan. Betapa bodohnya manusia kalau masih meragukan reliability Tuhan.

II. Allah adalah satu-satunya jaminan pasti.
Allah adalah Allah yang mutlak karena itu, Dia layak menjadi sandaran. Pertanyaannya sekarang adalah kenapa dan atas dasar apa sehingga Dia mau menjadi sandaran dan membela manusia? Kalau kita datang pada seorang yang kuat untuk dijadikan sebagai backing tentulah kita ingin adanya suatu jaminan kuat yang memastikan kita bahwa dia akan membela ketika kita dalam kesulitan. Pertanyaannya adalah apa yang bisa menjamin si bodyguard dapat tetap setia pada kita? Bagaimana jika suatu saat dia berbalik melawan kita, bukankah tidak ada jaminan yang pasti? Puji Tuhan, kita mempunyai Allah yang sejati, Dia tidak akan meninggalkan kita. Tuhan Allah mencipta kita, Dia pemilik kita maka wajarlah kalau Dia menjaga kita. Namun hal itu bukanlah dasar providensia Allah sebab manusia dapat memberontak.

Allah yang memelihara hidup kita adalah Allah yang kuat, Allah yang berdaulat, Allah yang absolut maka yang menjadi pertanyaan adalah siapakah kita sehingga Allah mau memelihara kita? Melalui Rasul Paulus, rahasia Ilahi itu dibukakan: Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri tetapi menyerahkan-Nya untuk kita maka bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita? Sama halnya kalau si bodyguard tadi mau menyerahkan anaknya pada kita untuk dijadikan sebagai jaminan bahwa dia akan tetap setia dan menjagai kita maka kita pasti tidak akan merasa kuatir kalau-kalau dia akan berkhianat, bukan? Tapi di dunia ini, manusia mana yang mau menyerahkan anaknya untuk dijadikan sebagai jaminan? Dalam segala hal, dunia selalu membutuhkan jaminan untuk memastikan segala sesuatu terjadi, entah jaminan dalam bentuk uang, perkataan, surat perjanjian, dan masih banyak lagi bentuk jaminan lain tetapi di antara semua jaminan itu tidak ada jaminan yang berbentuk nyawa. Kita telah mendapatkan garansi terbesar, yaitu Allah yang sejati itu telah memberikan nyawa Anak-Nya pada kita (Rm. 8:31-32); kasih-Nya yang besar telah dibuktikan dengan menyerahkan anak-Nya.

Seluruh karya Kristus mulai dari inkarnasi sampai kebangkitan-Nya merupakan jaminan bagi kita. Allah menyertai kita mulai dari inkarnasi sampai kebangkitan Kristus. Ketika Tuhan Yesus hendak dilahirkan, malaikat datang memberitahukan kabar sukacita ini pada Maria maka itu menjadi gambaran Allah menyertai dan ketika Tuhan Yesus hendak naik ke Sorga, Ia memberikan perintah terakhir yang menjadi amanat agung bagi kita dan Tuhan tetap beserta kita (Mat. 28:19-20). Allah beserta kita ada dalam konteks Kristus hadir ke tengah dunia from the empty womb to the empty tomb maka ini menjadi jaminan Allah beserta kita. Barangsiapa percaya dalam Kristus maka ia diselamatkan. Allah rela menggunakan segala kedaulatan-Nya untuk memelihara kita karena kita adalah umat pilihan-Nya.

III. Allah memberikan providensia eksklusif pada umat-Nya.
Jika Allah di pihak kita, siapakah lawan kita? (Rm. 8:31), ini berarti Tuhan tidak membela semua manusia, Tuhan hanya berpihak pada umat-Nya. Pertanyaannya sekarang adalah apakah kita ada di pihak Allah? Benarkah Allah di pihak kita? Yang menjadi penentu apakah Allah di pihak kita atau kita di pihak Allah adalah Allah bukan manusia. Kalau kita yang merasa di pihak Allah itu belumlah sah sebab bisa saja itu hanya perasaan relatif. Hanya Allah yang absolutlah yang berhak menentukan bahwa kita berada di pihak-Nya. Semua itu barulah sah ketika Dia berkata, “Engkau ada dipihak-Ku“ maka itu menjadi kekuatan bagi kita. Allah yang sejati memberikan providensia pada umat-Nya yang sejati. Kalau kita adalah umat-Nya maka Allah akan beserta kita dan Tuhan menuntut kita untuk taat bukan mempertahankan hak. Alkitab tidak pernah mengajarkan pada kita untuk kita mempertahankan hak asasi sebaliknya Tuhan mengajarkan pada kita untuk taat dan mengorbankan diri. Yang menjadi pertanyaan adalah ketika manusia tidak mempertahankan hak, apakah itu berarti kita boleh dipermainkan? Tidak! Pembalasan itu menjadi hak Tuhan, Tuhanlah yang akan menjadi pembela kita. Inilah prinsip providensia Allah. Orang yang berada dalam providensia Allah adalah orang yang bersandar pada Allah maka saat itulah Tuhan akan memimpin dan percayalah, pimpinan Tuhan ini tidak akan sia-sia. Kalaupun kita harus berkorban maka pengorbanan itu tidak akan sia-sia karena Tuhan akan turut bekerja dalam setiap langkah kita. Jikalau Tuhan ada di pihak kita maka siapakah yang berani melawan kita?

Alkitab menegaskan bahwa Tuhan akan memelihara dan menjaga setiap anak-anak-Nya yang bersandar pada-Nya. Perhatikan, Tuhan menjaga bukan berarti anak Tuhan tidak akan mengalami kesulitan; kita mungkin akan mengalami penderitaan, aniaya bahkan mati tetapi ingat, dalam semua aspek itu Tuhan tetap menjaga artinya setiap hal yang terjadi berkait dengan rencana Tuhan. Teladan yang terbaik adalah Ayub, dia hidup menderita, Tuhan tahu sampai dimana batas kemampuannya maka pada titik kritis Tuhan mengambil alih. Iblis tidak akan dapat menghancurkan anak Tuhan yang sejati. Iblis tahu akan hal ini sehingga satu-satunya cara untuk menghancurkan Kekristenan adalah menjatuhkan orang Kristen palsu yang notabene adalah anak iblis dimana Kekristenan juga yang terkena dampaknya. Hati-hati, janganlah kita merasa senang kalau kita dibela oleh iblis sebab suatu hari nanti ketika kita tidak diperlukan lagi maka kita akan dikorbankan.

Sesungguhnya, dunia tahu dan dapat membedakan mana Kristen sejati dan mana Kristen palsu. Orang Kristen palsu pasti akan menjadi sasaran iblis. Sedangkan orang kristen sejati, kuasa iblis tidak akan dapat menganggu dan menghancurkannya justru kuasa kegelapan itu berbalik menghantam dan menghancurkan dirinya sendiri. Kuasa iblis tidak akan dapat menghancurkan anak Tuhan sejati karena providensia Allah itu selalu beserta. Namun hati-hati, kalau dengan cara vulgar iblis tidak berhasil maka ia akan terus mencari cara untuk menghancurkan anak Tuhan. Dalam sebuah KKR di sebuah kota di Jatim, seorang dukun dengan kuasa kegelapan mencoba menghancurkan Pdt. Stephen Tong namun kuasa kegelapan justru menghantam dirinya dan ia jatuh terpental dan terluka hingga 3 hari lamanya. Dalam hal ini, bukan Pdt. Stephen Tong yang hebat, bahkan ia sendiri tidak tahu ada orang dengan kuasa kegelapan hendak menghancurkannya namun satu hal yang pasti, Tuhanlah yang menjaganya dengan menjauhkannya dari kuasa-kuasa kegelapan. Sesungguhnya orang yang bermain-main dengan kuasa kegelapan itu tahu bahwa melawan anak Tuhan yang sejati tidak akan dapat berhasil dan justru akan mendatangkan celaka bagi dirinya sendiri.

Setiap penderitaan yang kita alami itu tidak lepas dari rencana Tuhan yang indah. Penderitaan yang kita alami itu bernilai kekekalan. Tuhan ubahkan setiap penderitaan kita menjadi kemuliaan bagi-Nya. Seorang aktor Taiwan tampan baru saja menikah namun belum genap setahun pernikahan mereka ternyata diketahui ia menderita sakit kanker dan penyakit itu menggerogoti ketampanannya. Wajah yang tampan berubah menjadi sangat menyeramkan tetapi dalam penderitaannya, ia tetap beriman dan bersandar pada Tuhan. Iman percayanya membawa orang percaya kepada Kristus, ia menjadi kesaksian yang hidup. Kesaksian iman yang indah ini difilmkan dengan judul “Love Never Fails“ dan menjadi berkat. Banyak kesaksian-kesaksian serupa yang hari ini telah menjadi berkat. Tuhan tidak membiarkan penderitaan yang kita alami itu menjadi sia-sia. Berbeda halnya dengan penderitaan yang dialami oleh dunia, semua tidak bernilai kekekalan. Tuhan ubahkan penderitaan menjadi sesuatu yang bermakna kekekalan dan menjadi berkat bagi banyak orang. Inilah bedanya antara seorang anak Tuhan yang sejati dan anak Tuhan yang palsu. Pertanyaannya sekarang adalah kita berada di pihak mana? Biarlah kita pakai sisa hidup kita untuk hal-hal yang bermakna kekekalan dan segala kemuliaan hanya bagi Dia. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

KASUS STT SETIA, UJIAN TOLERANSI (Pdt. Ir. Victor Mangapul Sagala, D.Th.)

KASUS SETIA, UJIAN TOLERANSI

oleh: Pdt. Ir. Victor Mangapul Sagala, D.Th.




Sekolah Tinggi Theologi Injili Arastamar (SETIA) untuk kesekian kalinya mengalami musibah. Ribuan massa datang menyerang kampus dan asrama mereka. Alasannya sepele, seorang mahasiswa dituduh mencuri sandal. Padahal menurut mahasiswa, yang terjadi adalah mahasiswa melempar seekor tikus dengan sandalnya! Entah bagaimana caranya, peristiwa itu berlanjut dengan hadirnya massa dengan begitu cepat membawa alat-alat tajam, melempari asrama mahasiswa putra mau pun asrama putri.

Untuk mencegah jatuhnya banyak korban akibat amukan massa tersebut, terpaksa aparat keamanan mengevakuasi seluruh mahasiswa dari kampus dan asrama-asrama yang berlokasi di Kampung Pulo, Pinang Ranti, Jakarta Timur. Ratusan mahasiswa putri tinggal di sebuah penampungan, jauh dari kampus. Ratusan lainnya mahasiswa putra terpaksa tinggal dan tidur seadanya di lantai di gedung DPR sambil mengadukan nasib mereka kepada wakil-wakil rakyat yang seharusnya membela mereka dari berbagai macam ketidakadilan. Penulis sangat terharu menyaksikan bagaimana mereka tertidur dan telentang di sebuah ruangan yang sangat pengap. Merasa kepanasan tidur di dalam ruangan, sebagian lagi tertidur di luar di lapangan parkir. Mereka benar-benar menderita, apalagi ketika tadi malam (Kamis) air dimatikan oleh pihak penguasa!

Dalam kondisi yang demikian, Wali Kota Jakarta Timur, Murdani, memberikan pernyataan yang membuat keluarga besar SETIA semakin menderita: “Warga minoritas harus menyadari keberadaannya” . Apa maksudnya ucapan tersebut? Apa maknanya “menyadari keadaannya?” Apakah itu berarti kelompok minoritas (dalam hal ini Kristen) tidak boleh tinggal di daerah dengan penduduk mayoritas (Islam), dan sebaliknya? Wah, bagaikan gaya bahasa orang muda, “Hari gini masih ada pemimpin atau pejabat yang berlaku tidak adil berdasarkan minoritas dan mayoritas?”


Membangun Toleransi Beragama
Apakah pemahaman seperti di atas, sekadar dimiliki oleh oknum tertentu atau telah merasuk banyak rakyat, khususnya para pejabat? Jangan jangan, ada pejabat atau pemerintah yang mengkapling- kapling Republik ini dengan daerah Islam dan daerah Kristen. Jika demikian, kita telah mengalami masalah dan kemunduran besar.

Pernyataan Wali Kota tersebut mengingatkan penulis pada masa lalu, di mana mantan menteri agama (alm) Alamsjah Ratuperwiranegara melarang pembangunan Gereja dengan alasan daerah mayoritas Muslim. Karena itu, mantan KASAD, (alm) T. B.Simatupang memberi reaksi keras. Dengan nada tinggi beliau menegaskan bahwa tidak ada daerah di kawasan RI yang dapat disebut sebagai daerah kelompok tertentu, Muslim atau Kristen. Ketika RI direbut dari tangan penjajah, tidak satu jengkal pun dapat dinyatakan sebagai daerah Kristen atau Islam. Alasannya, karena semua rakyat bersatu tanpa membedakan SARA, bersama-sama berjuang untuk kemerdekaan RI. Setiap wilayah yang disebut dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan milik bersama rakyat Indonesia, tanpa memandang bulu.

Jadi, memunculkan istilah minoritas mayoritas atau daerah Kristen atau Muslim merupakan pengingkaran kepada sejarah perjuangan anak-anak bangsa yang secara bersama telah memproklamirkan: “Bertanah air satu, tanah air Indonesia”. Orang-orang seperti itu harus segera mengubah pola pikir dan sikapnya. Dan jika ada Wali Kota atau pejabat yang masih memiliki pola pikir diskriminatif seperti itu, sungguh sangat bertentangan dengan semangat perjuangan bangsa. Juga bertentangan dengan esensi RI sebagai negara kesatuan.

Itulah sebabnya, sungguh menyejukkan hati ketika membaca pernyataan reaksi dua tokoh Muslim, keduanya mantan Ketua Umum PB HMI, Dr. Anas Urbaningrum dan Hasanuddin yang memprotes pernyataan dan tindakan diskriminatif Wali Kota tersebut di atas. Anas memprotes sikap tidak adil dengan memunculkan isu mayoritas. Dia juga menegaskan bahwa kelompok-kelompok yang berbeda “harus hidup berdampingan secara tulus, damai, harmonis serta jauh dari sikap semena-mena”. Hasanuddin malah memberi usulan keras dan tegas, yaitu agar setiap pejabat yang tidak adil dan memunculkan isu negatif tersebut di atas “sebaiknya berhenti saja jadi pejabat”. (SH, 29.7.08).

Menjadi perenungan dan tantangan buat kita semua, apakah rakyat kita di seluruh wilayah NKRI, khususnya yang tinggal di Kampung Pulo, Jakarta Timur memiliki pandangan dan kerinduan yang sama seperti kedua tokoh tersebut di atas? Jika demikian, maka kehadiran SETIA di wilayah tersebut tidak perlu dipersoalkan. Sebaliknya, disyukuri. Jika ada yang perlu dipermasalahkan, maka hal itu bukan karena keyakinan yang dianut. Tetapi lebih kepada masalah sikap dan perilaku yang tidak benar. Sikap yang demikian, memang perlu dikoreksi, tapi itu pun harus dilakukan dengan semangat persaudaraan.

Dalam hal ini memang sangat diperlukan semangat toleransi dan nasionalisme yang tinggi. Terlebih lagi, dibutuhkan penghayatan agama yang benar. Bukankah, agama tanpa kecuali, mendorong umat-Nya untuk mencintai kehidupan serta memeliharanya? “Kasihilah sesamamu manusia SEPERTI dirimu sendiri”, demikian sabda Tuhan Yesus (Luk.10:27). Nampaknya, seruan itulah yang dicoba dilakukan mahasiswa SETIA sehingga mereka rela dievakuasi tanpa memberi serangan balik. Alangkah nikmatnya hidup di NKRI jika semua orang memiliki pola pikir dan semangat yang demikian, di mana setiap individu benar-benar diakui, diterima dan dikasihi.- Soli Deo Gloria.-


Salam hangat,www.mangapulsagala.com(Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan–Why.2:10)