27 January 2011

Resensi Buku-111: MENGENAL DAN DIKENAL ALLAH (Pdt. Eddy Fances, D.Min.)

...Dapatkan segera...
Buku
MENGENAL DAN DIKENAL ALLAH

oleh: Pdt. Eddy Fances, D.Min.

Penerbit: Yayasan Sinar Nusantara (YASINTA), Jakarta, 2008





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Alkitab diwahyukan oleh Allah kepada umat pilihan-Nya agar mereka boleh mengenal Allah dan kehendak-Nya. Mengenal Allah adalah sebuah proses berkesinambungan di dalam proses pengudusan yang dipimpin Roh Kudus dalam hidup umat-Nya. Semakin kita mengenal Allah, semakin kita ingin menjalankan kehendak-Nya. Namun, di dalam Kekristenan, mengenal Allah saja tidak cukup. Kita mengenal Allah, tetapi apakah Allah mengenal kita? Dengan kata lain, apakah kita dikenal Allah sebagai umat-Nya atau kita terlalu yakin dengan status umat pilihan kita? Banyak orang Kristen yang rajin mengenal Allah, belajar doktrin, namun sayang tidak dikenal Allah? Mengapa? Karena mereka hanya mengisi pikiran mereka dengan doktrin Allah, namun tidak pernah memiliki hubungan intim dengan-Nya. Pdt. Eddy Fances, D.Min. di dalam bukunya Mengenal dan Dikenal Allah membawa kita untuk mengerti bagaimana mengenal Allah dan sekaligus dikenal oleh Allah, sehingga kehidupan iman dan kerohanian kita makin lama makin bertumbuh dewasa. Untuk mempertumbuhkan iman dan kerohanian kita, di dalam bukunya ini, Pdt. Eddy Fances memaparkan lebih dari 40 tema singkat yang merangkum doktrin iman Kristen dari doktrin Allah, Alkitab, kejatuhan manusia ke dalam dosa, penebusan, Kristus, mengikut Kristus, Roh Kudus, dll dengan bahasa yang sangat sederhana dan cerita-cerita yang menarik yang membuat kita makin mengerti doktrin iman Kristen. Buku ini sangat cocok bagi orang Kristen awam yang baru bertobat untuk mengerti doktrin iman Kristen secara bertanggungjawab, mudah dicerna, dan aplikatif.





Profil Pdt. Dr. Eddy Fances:
Pdt. Eddy Fances, D.Min. adalah gembala sidang Indonesian Good News Church of Los Angeles, U.S.A. Beliau adalah alumni Institut Alkitab Tiranus (IAT) Bandung dan menyelesaikan studi Doctor of Ministry (D.Min.) di Reformed Theological Seminary, Jackson, Mississippi, U.S.A.

MUTLAK DAN RELATIF: Sebuah Perspektif Iman Kristen (Denny Teguh Sutandio)

MUTLAK DAN RELATIF:
Sebuah Perspektif Iman Kristen


oleh: Denny Teguh Sutandio



PENDAHULUAN
Di dunia ini, sebagai manusia, kita tentu mengetahui dan mengenal bahwa ada sesuatu bersifat mutlak dan ada juga yang bersifat relatif. Apa itu mutlak dan relatif? Bagaimana dunia memandang kedua hal itu? Bagaimana iman Kristen yang benar menyoroti dan memandang dua hal ini secara bijaksana dan cermat?




DEFINISI MUTLAK DAN RELATIF
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), mutlak didefinisikan: “3. Tidak boleh tidak; harus ada” (hlm. 603), sedangkan relatif didefinisikan: “tidak mutlak; nisbi” (hlm. 738). Oxford Advanced Learner’s Dictionary (2005) mendefinisikan mutlak (absolute): “adj.: … 3. Definite and without any doubt or confusion; noun: an idea or a principle that is believed to be true or valid in any circumstances:” (hlm. 5) (= kata sifat: … 3. Pasti dan tanpa keraguan atau kebingungan apa pun; kata benda: sebuah ide/prinsip yang dipercaya benar atau sah dalam keadaan apa pun), sedangkan relatif didefinisikan sebagai hal yang berkaitan dengan perbandingan dengan sesuatu. (hlm. 1277)

Dari definisi ini, maka absolut/mutlak berarti:
Pertama, suatu kepastian dan keharusan. Artinya suatu kemutlakan pasti dan harus ada. Jika tidak ada, maka itu bukan kemutlakan.
Kedua, melampaui ruang dan waktu. Menurut definisi dari Oxford Advanced Learner’s Dictionary, kemutlakan adalah sebuah ide yang dipercaya benar dalam keadaan apa pun. Berarti, di dalam kemutlakan, ada kepercayaan yang dianggap benar yang tidak dibatasi oleh keadaan/situasi apa pun.

Sedangkan kerelatifan adalah lawan dari kemutlakan di mana di dalam kerelatifan, tidak perlu ada suatu kepastian dan keharusan serta tidak perlu melampaui ruang dan waktu. Artinya, di dalam kerelatifan, suatu kepercayaan dianggap benar jika itu menurut A, sedangkan menurut B dan C itu salah.

Dari definisi yang saya buat di atas, saya bisa menyimpulkan dengan satu kata bahwa: absolut/mutlak itu bersifat objektif, sedangkan relatif itu bersifat subjektif.




STANDAR DAN PERSPEKTIF (DUNIA) TERHADAP KEMUTLAKAN DAN KERELATIFAN
Setelah mengerti definisi mutlak dan relatif, pertanyaan selanjutnya, apa yang menentukan bahwa sesuatu itu mutlak atau relatif? Dunia kita memandang sesuatu yang mutlak dan relatif itu dari perspektif etika umum, tradisi dan kebudayaan, atau/dan lingkungan sekitar. Dari perspektif ini, maka di dunia kita terdapat 2 perspektif berkaitan dengan kemutlakan dan kerelatifan:
1. Perspektif Orang Cuek: Merelatifkan hal yang mutlak dan relatif (segala sesuatu itu relatif, tidak ada yang mutlak)
Orang pertama yang akan kita soroti adalah orang cuek. Biasanya (tidak selalu) orang cuek diwakili oleh banyak generasi muda zaman ini yang benar-benar masa bodoh dengan hal-hal yang penting, sehingga tidak heran, di dalam hidupnya, segala sesuatu itu dipandang sebagai sesuatu yang relatif. Sesuatu yang mutlak seperti iman dan etika dianggap sesuatu yang kuno, usang, dan tidak sesuai dengan selera zaman, sehingga tidak heran, ketika mencari pasangan hidup, banyak anak muda zaman sekarang lebih mementingkan fisik dan materi ketimbang unsur iman. Mereka masa bodoh dengan perbedaan iman dengan pasangan hidupnya, karena yang terpenting adalah pasangan hidupnya itu seorang yang mapan (=pengusaha kaya) dan “cocok” dengan dia (cocok karakter, tetapi tidak cocok iman—sebuah keanehan). Yang lebih celaka, gejala ini terjadi pada banyak anak muda “Kristen” (Protestan atau Katolik).

Selain itu, gejala ini juga bisa terjadi pada orang yang berusia dewasa dan tua “Kristen” di mana banyak dari mereka cuek terhadap hal-hal yang bersifat doktrinal/theologi, sehingga ketika mereka diberi tahu ajaran yang benar sesuai dengan Alkitab, mereka langsung melontarkan slogan mereka yang terkenal, “Jangan menghakimi.” Di balik slogan ini, terkandung “iman” mereka yang cuek yang memandang bahwa semua ajaran Kristen dari semua aliran itu benar (relativisme doktrin). Tidak heran, lagu “Kristen” yang terkenal hari ini berbunyi, “Ku tak pandang dari gereja mana, asalkan ku bertumbuh dalam firman-Nya.” Dalam beberapa hal, perkataan ini ada benarnya, karena yang penting firman Tuhan, bukan merk/nama gereja, tetapi dalam hal lain, saya melihat gejala penyamarataan semua gereja dengan dalih “rohani”, yaitu: bertumbuh di dalam firman. Mungkinkah dari gereja X yang mengajarkan bahwa ikut Tuhan itu kaya, sukses vs dari gereja Y yang mengajarkan bahwa ikut Tuhan harus menderita sama-sama menghasilkan jemaat yang bertumbuh di dalam firman Tuhan? TIDAK mungkin. Jemaat yang dari gereja X mengakibatkan jemaat itu seolah-olah senang (dihibur) sesaat, namun akhirnya ketika penderitaan datang, jemaat tersebut langsung down imannya, sedangkan jemaat dari gereja Y mempersiapkan jemaatnya untuk siap dan kuat dalam menghadapi penderitaan, sehingga meskipun ada penderitaan, atas anugerah-Nya, jemaat ini dapat kuat menghadapi penderitaan. Lebih tajam lagi, bagi mereka yang menyanyikan lagu ini, coba ajak mereka ke gereja Protestan, apa reaksi mereka? Kalau mereka menolak, itu membuktikan bahwa mereka menyanyikan lagu tersebut hanya cocok untuk gereja kontemporer yang pop di tempat di mana lagu itu dinyanyikan dengan bersemangat.

Kalau mau dipertajam, konsep ini jelas tidak masuk akal. Mereka berteriak (secara implisit) bahwa segala sesuatu itu relatif, namun mereka meneriakkan perkataan ini dengan semangat kemutlakan. Artinya, barangsiapa yang tidak menyetujui konsep mereka ini, mereka akan marah. Aneh, bukan? Logikanya kalau mereka benar-benar seorang relativis, mereka seharusnya tidak boleh marah kalau ada orang lain yang tidak menyetujui pandangannya. Ya, itulah namanya manusia berdosa, selalu penuh dengan kontradiksi yang memalukan.


2. Perspektif Orang Kaku, Kolot, dan Otoriter: Memutlakkan Hal yang Mutlak dan Relatif (segala sesuatu itu mutlak, tidak ada yang relatif)
Jika di poin 1, ada tipe orang yang merelatifkan segala sesuatu, maka di poin ini, ada juga tipe orang yang memutlakkan segala sesuatu. Saya menyebutnya sebagai orang yang: kaku, kolot, dan otoriter. Biasanya orang yang menganut pola pikir ini adalah mayoritas (tidak semua) orang yang berusia tua, meskipun tentu tidak menutup kemungkinan ada juga orang muda yang menganut paham ini. Bagi orang ini, segala sesuatu entah itu yang terpenting, penting, bahkan tidak terlalu penting dianggap sangat penting dan mutlak. Misalnya, bagi penganut paham ini, perbedaan konsep tentang memilih tempat parkir, memilih jalan menuju suatu tujuan, atau bahkan selera makanan dengan orang lain bisa menjadi pemicu konflik yang berakibat pada pertengkaran bahkan perkelahian. Kalau bagi cewek, hal ini bisa berakibat pada sikap ngambek (bahasa gaulnya: bete).

Perbedaan komunikasi antara generasi tua dengan generasi muda juga termasuk di dalam aplikasi konsep ini. Karena terlalu berpegang ketat pada tradisi dan kebudayaan kuno dari nenek moyang, banyak generasi tua terlalu menjunjung tinggi etika sampai hal-hal yang sangat detail dan sepele. Saya TIDAK mengatakan bahwa kita tidak perlu memerhatikan etika. Yang saya soroti adalah etika jika diperhatikan sampai hal-hal yang sangat amat detail bisa menjadi sesuatu yang ekstrem, berbahaya, dan tidak bijaksana. Contoh, ada generasi tua yang mati-matian ngotot mengajarkan bahwa mengatakan “aku” itu tidak sopan dan harus diganti dengan kata “saya” atau menyebut nama sendiri. Bagi saya, menerima pernyataan ini sih tidak menjadi masalah, karena ini hal sepele, namun ketika ada orang yang memutlakkannya, lalu dengan mudahnya mencap orang lain sebagai orang yang tidak sopan hanya gara-gara mengatakan, “aku”, saya kira itu tidak bijaksana. Dia (X) bisa mencap/menghakimi orang lain itu tidak sopan hanya gara-gara mengatakan “aku”, namun kalau mau konsisten, si X juga tidak sopan karena sudah menghakimi orang lain!

Di dalam dunia Kekristenan, tipe orang ini bukan tidak mungkin dijumpai. Di dalam sejarah gereja, kita melihat bahwa gereja Barat dan Timur pecah pada tahun 1054 (dikenal dengan Great Schism) hanya gara-gara urusan sepele, beberapa di antaranya: perbedaan doktrin filioque (gereja Barat percaya bahwa Roh Kudus keluar dari Bapa dan Anak, sedangkan gereja Timur percaya bahwa Roh Kudus hanya keluar dari Bapa), perbedaan konsep selibat (gereja Barat mengharuskan selibat/larangan menikah pada semua rohaniwan tanpa kecuali, sedangkan gereja Timur mengizinkan kaum rohaniwan di bawah jenjang bishop untuk menikah), penggunaan jenggot (para imam di Barat boleh mencukur jenggot, sedangkan semua rohaniwan di Timur harus memelihara jenggot), dll.[1] Tidak berhenti di situ, setelah Dr. Martin Luther mengadakan reformasi gereja pada tahun 1517 dan pengaruh reformasi meluas, lalu bermunculanlah para reformator lain, seperti Ulrich Zwingli, John Calvin, John Knox, dll, maka Luther bertengkar dengan Zwingli hanya gara-gara berbeda konsep dalam Perjamuan Kudus. Bahkan yang lebih mengenaskan, di dalam kubu gereja Reformed, perpecahan terjadi hanya gara-gara perbedaan doktrin akhir zaman. Prof. Allen MacRae yang dahulu bersama-sama dengan Dr. J. Gresham Machen mendirikan Westminster Theological Seminary, kemudian meninggalkan Westminster Seminary dan mendirikan Faith Theological Seminary dengan kontroversinya meliputi: dispensasionalisme, “kemerdekaan Kristen” (legitimasi bagi orang Kristen untuk mempergunakan minuman beralkohol), dll.[2] Di dunia sekarang, beberapa orang Kristen khususnya hamba Tuhan dari aliran theologi X tidak mau mengundang hamba Tuhan sesama aliran theologi hanya gara-gara perbedaan konsep yang sangat sepele. Saya jadi heran, mengapa ya hamba Tuhan yang seharusnya bijaksana dalam bersikap, malah berubah menjadi kekanak-kanakan seperti ini?




IMAN KRISTEN MENYOROTI KEMUTLAKAN DAN KERELATIFAN
Jika dunia kita selalu tidak seimbang dalam menekankan kemutlakan dan kerelatifan, maka iman Kristen yang benar-benar kembali kepada Alkitab harus memiliki perspektif tersendiri mengenai kemutlakan dan kerelatifan. Iman Kristen yang Alkitabiah mengajarkan bahwa mutlakkanlah apa yang patut dimutlakkan dan relatifkanlah apa yang memang patut direlatifkan. Dengan kata lain, seperti yang dikatakan Pdt. Dr. Stephen Tong, “apa yang mutlak jangan direlatifkan, sedangkan apa yang relatif jangan dimutlakkan.” Ini berarti menempatkan kemutlakan dan kerelatifan di tempat yang seharusnya. Lalu, apa standar kita sebagai orang Kristen menempatkan kemutlakan dan kerelatifan? Jelas, firman Tuhan. Bukankah Alkitab tidak secara eksplisit mengajarkan hal ini? Ya, memang benar, tetapi dari penyelidikan implisit dari Alkitab dan mengikuti theologi orthodoks dari para rasul dan gereja mula-mula, kita dapat memilah dan memilih mana yang mutlak dan relatif entah itu dalam hal doktrin maupun aspek praktika/kehidupan sehari-hari.

Dari konsep ini, maka iman Kristen memandang kemutlakan sebagai hal-hal yang bersifat mutlak yang berpusat pada Allah dan firman-Nya, sedangkan kerelatifan sebagai hal-hal yang bersifat relatif/tidak mutlak yang bergantung pada penafsiran manusia terhadap Allah dan firman-Nya.

Dari presuposisi ini, maka kita harus membedakan mana yang mutlak dan relatif:
1. Dalam Hal Doktrin dan Theologi
Iman Kristen sejati adalah iman yang berpusat pada Allah yang berdaulat dan firman-Nya yang tak mungkin bersalah. Dari Alkitab, kita belajar poin-poin penting tentang iman Kristen yang orthodoks yang diwariskan dari para rasul: manusia itu adalah ciptaan Allah yang segambar dan serupa dengan-Nya (Kej. 1:26-27), manusia telah jatuh ke dalam dosa (Rm. 3:23), dosa manusia hanya dapat diselesaikan melalui anugerah Allah di dalam penebusan darah Anak Domba Allah, yaitu Tuhan Yesus Kristus (Yoh. 3:16; Rm. 3:24), Kristus bernatur Ilahi dan manusia (Rm. 1:3-4), Roh Kudus diutus oleh Bapa dan Anak untuk menjadi Penghibur bagi umat pilihan-Nya (Yoh. 15:26), Allah sejati adalah Allah Trinitas yaitu 3 pribadi Allah di dalam 1 esensi (kata kita di dalam Kej. 1:26; Mat. 28:19), dan Kristus akan datang kembali kedua kalinya untuk menghakimi orang yang hidup dan mati (Mat. 24:1-25:46). Ketujuh poin doktrin Kristen yang utama ini adalah doktrin pokok iman Kristen yang diwariskan dari para rasul yang harus kita pegang kuat-kuat. Karena termasuk doktrin pokok, maka doktrin ini juga dapat disebut sebagai doktrin MUTLAK dalam iman Kristen. Menyangkal ketujuh doktrin ini identik dengan penganut bidat (ajaran sesat). Namun bagi mereka yang menerima ketujuh doktrin ini, namun memiliki perbedaan doktrin akhir zaman (premillenialisme, amillenialisme, postmillenialisme, atau dispensasionalisme) atau perbedaan konsep predestinasi (predestinasi tunggal atau predestinasi ganda) atau perbedaan konsep baptisan anak (setuju atau tidak setuju), dll, itu semua merupakan doktrin-doktrin sekunder atau relatif yang TIDAK perlu diperdebatkan, lalu bermusuhan. Untuk doktrin-doktrin sekunder, belajarlah menghargai iman orang Kristen dari aliran lain, meskipun TIDAK berarti kita ikut-ikutan menyetujui iman tersebut.


2. Dalam Hal Praktika
Setelah kita berbijaksana dalam memilah dan memilih mana yang mutlak dan relatif dalam hal doktrin dan theologi, maka kita perlu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam wilayah praktika, saya membaginya (TANPA bermaksud memisahkannya) menjadi dua: praktika dalam lingkup gerejawi (ibadah, musik, dll) dan praktika dalam lingkup kehidupan sehari-hari (etika, pendidikan, dll). Karena kita sudah berbijaksana dalam memilah dan memilih mana yang mutlak dan relatif dalam hal doktrin, maka kita pun harus berbijaksana dalam memilah dan memilih mana yang mutlak dan relatif dalam hal praktika dalam gerejawi, misalnya dalam memandang ibadah. Saya melihat 2 gejala ekstrem pada gereja ketika memandang masalah ibadah: di satu sisi, ada gereja yang terlalu liar yang tidak menggunakan liturgi apa pun, semuanya berjalan semaunya sendiri (dengan dalih “Roh Kudus” bekerja dengan bebas), namun di sisi lain, ada gereja yang terlalu amat kaku dengan liturginya yang tidak dapat diganggu gugat sedikit pun. Di gereja yang kaku ini, bertepuk tangan pun sangat amat jarang, bahkan mungkin sekali suatu saat akan muncul fatwa yang menyeramkan yang menganggap bahwa bertepuk tangan dan mengangkat tangan selama memuji Tuhan itu sesat. Dalam hal musik dan lagu, ada gereja yang sangat menekankan pujian kontemporer dan menggudangkan pujian dari gereja yang lama (sebelum abad XX), sedangkan di sisi lain ada gereja yang sangat mengagungkan lagu pujian lama dan sangat sedikit sekali memasukkan lagu pujian kontemporer dengan dalih lagu pujian yang lama lebih tahan uji. Saya pribadi berpendapat bahwa memang banyak lagu pujian yang lama yang digubah sebelum abad XX memiliki isi lagu yang luar biasa agung dan berdasarkan Alkitab, namun hal ini TIDAK berarti kita sangat mengagungkan lagu pujian yang lama dan menghina lagu pujian kontemporer. Memang harus diakui banyak lagu pujian kontemporer kurang bermutu isinya dan bahkan ada yang tidak Alkitabiah, namun ini TIDAK berarti semua lagu pujian kontemporer dianggap salah semua. Saran saya: seleksilah semua lagu pujian entah itu yang lama atau kontemporer dengan standar Alkitab dan penafsirannya yang ketat.

Bagaimana dengan praktika dalam ruang lingkup sehari-hari? Bagaimana kita memandang etika dan pendidikan? Orang Kristen tentu adalah orang yang menghargai etika, karena Alkitab mengajarnya. Berkenaan dengan sopan santun, tentu orang Kristen harus sopan, artinya jangan berkata kotor, memberi salam kepada orang yang lebih tua, berterima kasih setelah diberi sesuatu oleh orang lain, berani meminta maaf kalau bersalah, dll. Hal-hal yang saya sebutkan di atas merupakan sesuatu yang mutlak, namun ada juga wilayah etika yang kurang mutlak alias relatif. Misalnya, menyebut “aku” ketika berbicara kepada orang yang lebih tua. Jika ada orang muda yang mengatakan “aku” kepada orang yang lebih tua, kita memang harus menegurnya untuk mengubah kebiasaannya ini, namun teguran tersebut hendaklah BUKAN teguran yang memaksa dan mengancam, karena konsep etika/sopan santun ini bukanlah hal yang mutlak. Kalau pun orang muda yang ditegur ini tidak mau menerima teguran ini, ya, bagi saya, biarkan saja. Apakah hanya gara-gara tidak mau mengubah kebiasaannya ini, kita langsung mengancam akan memecat dia kalau misalnya dia bekerja di perusahaan kita atau mengusir dia keluar ketika dia bertamu di rumah kita? Tentu jika kita melakukan hal-hal demikian, kita pun sebenarnya tidak sopan dengan orang tersebut (kontradiksi yang melawan dirinya sendiri). Hal yang sama juga berlaku pada dunia pendidikan. Pendidikan Kristen yang sehat dan bijaksana adalah pendidikan yang mendidik dan mengajar anak didik Kristiani dengan iman Kristen yang sehat dan bijaksana etika yang seimbang dan penting dengan cara mengarahkan para anak didik untuk terus memusatkan hidupnya hanya pada Kristus dan Alkitab sambil tetap belajar etika yang telah diuji oleh Alkitab, bukan mengajar mereka dengan tradisi dan kebudayaan serta etika yang terlalu mendetail dan ekstrem, bahkan yang melawan Alkitab. Anak dari kecil yang tidak dididik mana yang mutlak dan relatif akan mengakibatkan mereka tumbuh menjadi orang yang ekstrem: merelatifkan segala sesuatu atau mungkin memutlakan segala sesuatu (karena telah diindoktrinasi oleh orangtua mereka).




KESIMPULAN DAN TANTANGAN
Bagaimana dengan kita sebagai orang Kristen? Sudahkah kita dari dalam diri kita dengan bijaksana memilah dan memilih mana yang mutlak dan relatif dalam hal iman Kristen maupun praktika? Sudahkah kita menempatkan Alkitab sebagai penguji utama ketika membedakan mana yang mutlak dan relatif? Sudahkah kita berkomitmen untuk lebih menaati apa yang mutlak yang Alkitab ajarkan ketimbang apa yang dunia ajarkan (meskipun hal ini TIDAK berarti semua ajaran dunia itu salah)? Biarlah Roh Kudus makin membimbing kita untuk makin bijaksana dalam bersikap terhadap segala sesuatu, sehingga kita bukan menjadi seorang yang ekstrem, kaku, kolot, dan paranoid. Amin. Soli Deo Gloria.



Catatan Kaki:
[1] Yakub Tri Handoko, Sejarah Gereja Umum (Diktat Kuliah) (Surabaya: Sekolah Theologi Awam Reformed, 2010), hlm. 55-56.
[2] John M. Frame, Cornelius Van Til: Suatu Analisis Terhadap Pemikirannya, terj. Irwan Tjulianto (Surabaya: Momentum, 2002), hlm. 26.

25 January 2011

BAHASA ROH/LIDAH: Masih Adakah? (Denny Teguh Sutandio)

BAHASA ROH/LIDAH: Masih Adakah?

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: 1 Korintus 12-14



I. PENDAHULUAN
Semenjak bidat (ajaran sesat) Montanisme yang muncul di periode gereja mula-mula dilanjutkan dengan munculnya gerakan Azusa Street pada tahun 1906, gejala Toronto Blessing pada akhir abad XX, dan merebak hingga sekarang, salah satu gejala yang begitu merajalela di dalam dunia Kekristenan adalah maraknya bahasa roh/lidah. Bahasa roh/lidah menjadi fenomena yang menarik banyak pihak karena bahasa roh ini dianggap berasal dari “Roh Kudus”. Apa itu bahasa roh/lidah? Bagaimana sikap orang Kristen terhadap fenomena ini? Bagaimana pandangan Alkitab terhadap fenomena ini?




II. SIKAP ORANG KRISTEN TERHADAP BAHASA ROH
Karena fenomena bahasa roh/lidah merupakan fenomena yang merajalela di kalangan Kekristenan hari-hari ini, maka tidak heran, banyak orang Kristen memberikan tanggapan terhadap gejala ini:
A. Menerima Mentah-mentah
Karena kita hidup di zaman yang menggandrungi hal-hal spiritual (sebenarnya: mistik), maka tidak heran banyak orang Kristen yang menggandrungi fenomena bahasa roh. Mereka menganggap bahasa roh adalah tanda supranatural yang hebat yang diklaim berasal dari “Roh Kudus.” Beberapa (atau banyak?) pemimpin gereja khususnya dari gereja kontemporer yang pop mengajarkan bahwa tanda orang yang dipenuhi Roh Kudus adalah HARUS berbahasa roh/lidah. Ajaran ini dimasukkan di dalam salah satu poin dalam pengakuan iman beberapa gereja yang menggandrungi fenomena ini. Bahkan beberapa pemimpin gereja tersebut memberikan les bahasa roh kepada orang Kristen yang rindu berbahasa roh. Yang lebih ekstrem, seorang pemimpin gereja pernah mengatakan bahwa orang Kristen yang tidak bisa berbahasa roh tidak bisa masuk Sorga.

Tidak heran, karena diindoktrinasi oleh ajaran semacam demikian, banyak orang Kristen meng“amin”i dan mempraktikannya tanpa pernah mengkritisinya. Di dalam kebaktian dari banyak gereja kontemporer yang pop yang menggandrungi fenomena ini, hampir semua jemaatnya berbahasa roh pada waktu sesi penyembahan (worship). Jika ada orang Kristen atau pemimpin gereja yang mengkritik fenomena ini, mereka yang menggandrungi fenomena ini langsung mengeluarkan beberapa kritikan balik, “Jangan menghakimi” (sambil berkata “Jangan menghakimi”, orang ini TIDAK sadar bahwa ia pun sedang menghakimi orang lain untuk tidak menghakimi—logika yang melawan dirinya sendiri, hehehe) atau/dan “Jangan menghujat Roh Kudus” atau/dan kata-kata lain yang seolah-olah “rohani.”

Karena tidak berjiwa kritis, banyak dari mereka tertipu dengan banyak bahasa roh yang palsu dan aliran-aliran kebatinan lain yang juga memiliki daya tarik bahasa-bahasa asing demikian.


B. Menolak Mentah-mentah
Sebaliknya, ada beberapa orang Kristen yang keberatan bahkan menolak mentah-mentah fenomena bahasa roh ini dengan alasan bahwa hal-hal supranatural (mukjizat kesembuhan, bahasa roh, dll) telah berhenti setelah Alkitab selesai ditulis. Mereka yang menolak hal-hal spiritual ini disebut kaum cessationist. Mereka yang berpaham ini tidak tentu harus berasal dari kalangan “Kristen” liberal yang anti hal-hal supranatural, namun juga ada dari kalangan Injili bahkan Reformed. Mungkin sekali, paham ini disebabkan oleh ajaran Demitologisasi-nya Rudolf Bultmann yang mengajarkan bahwa beberapa bagian dalam Alkitab yang mengandung unsur-unsur mitos (misalnya mukjizat, dll) harus dibuang.

Paham ini jelas memiliki kelemahan:
Pertama, penganut paham ini tidak benar-benar percaya pada Allah yang Mahakuasa. Penganut paham ini mungkin percaya dan menyembah Allah, namun sayangnya Allah yang dipercaya dan disembah oleh mereka bukanlah Allah sejati, karena Allah mereka adalah Allah yang terbatas yang tidak bisa berbuat sesuatu yang melebihi hukum alam yang dibuat-Nya. Adalah konyol berkata bahwa mereka percaya pada Allah yang Mahakuasa, namun TIDAK mempercayai bahwa Allah yang Mahakuasa sanggup mengadakan hal-hal yang di luar pikiran manusia. Mereka lebih cocok disebut sebagai penyembah “Allah” yang terbatas, tak berpribadi, dan bisa diatur manusia. Jika “Allah” itu terbatas dan bisa diatur manusia, apa gunanya percaya Allah? Lagi-lagi, logika yang benar-benar aneh…

Kedua, menguji konsistensi. Jika penganut paham ini tidak percaya pada karunia bahasa roh dan kesembuhan ilahi dengan alasan bahwa itu semua sudah berhenti setelah Alkitab selesai ditulis, berarti mereka juga HARUS percaya bahwa karunia untuk berkata-kata dengan hikmat (1Kor. 12:8), karunia iman (1Kor. 12:9), dll adalah karunia-karunia yang berhenti setelah Alkitab selesai ditulis. Mengapa demikian? Karena karunia-karunia Roh Kudus tidak hanya bahasa roh atau/dan mengadakan mukjizat, tetapi juga beragam: berkata-kata dengan hikmat, berkata-kata dengan pengetahuan, iman, dll (1Kor. 12:8-10). Jika mereka mengatakan bahwa karunia iman dan berkata-kata dengan hikmat itu masih ada, sedangkan karunia bahasa roh dan mengadakan mukjizat itu sudah berhenti, apakah dasar Alkitab yang jelas mengenai hal ini?


C. Wait and See
Karena tidak mau terlibat dalam banyak diskusi dan perdebatan seputar bahasa roh itu Alkitabiah atau tidak, maka beberapa orang Kristen yang skeptis mengambil jalan “tengah” yaitu menunggu dan melihat. Artinya, mereka seolah-olah tidak gegabah mengambil sikap, namun sebenarnya mereka tidak mau menjawab karena mereka enggan berkanjang di dalam perdebatan demikian. Dengan tidak mau menjawab seperti demikian, mereka berprinsip bahwa mereka menjaga “kedamaian” dan “persatuan” dalam Kekristenan. Namun sayangnya, makin mereka tidak menjawab masalah ini menandakan bahwa mereka TIDAK pernah mengerti Alkitab dengan bertanggung jawab dan melarikan diri dari memberitakan Kebenaran yang harus dilakukan oleh setiap orang yang berani menyebut diri pengikut Kristus apalagi pemimpin gereja! Dengan kata lain, sikap wait and see adalah sikap seorang pengecut yang tidak memiliki nyali untuk memberitakan firman, persis seperti sikap Petrus yang menyangkal Kristus sampai 3x.




III. SIKAP ORANG KRISTEN YANG BENAR TERHADAP BAHASA ROH (PANDANGAN ALKITABIAH)
Ketiga sikap di atas bukanlah sikap orang Kristen yang bertanggung jawab. Lalu, bagaimana sikap orang Kristen yang benar terhadap bahasa roh? Orang Kristen yang benar adalah orang Kristen yang percaya mutlak bahwa Allah itu adalah Allah yang berdaulat, Mahakuasa, dll yang sanggup mengadakan hal-hal supranatural di luar pikiran manusia. Orang Kristen yang mempercayai bahwa Allah itu berdaulat dan Mahakuasa juga percaya bahwa Alkitab itu diwahyukan oleh Allah sebagai satu-satunya standar kebenaran yang paling mutlak bagi iman dan praktik hidup Kristen. Dengan kata lain, orang Kristen sejati bukan percaya pada kebenaran dari perkataan pemimpin gereja atau buku ajaran gereja, namun harus kembali kepada Alkitab, karena Alkitab adalah firman Allah yang menuntun kita mengerti kebenaran Allah secara komprehensif, konsisten, dan tuntas. Mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan Alkitab mengakibatkan iman dan praktik hidup orang Kristen makin menyeleweng dari kebenaran dan maksud Allah.

Karena percaya bahwa Alkitab itu firman Allah dan merupakan satu-satunya standar objektif dan mutlak akan kebenaran iman dan praktik hidup Kristen, maka adalah suatu sikap yang bijaksana ketika orang Kristen yang benar mengizinkan Alkitab menjelaskan dan mengajarkan sendiri tentang bahasa roh. Kemudian, setelah Alkitab mengajarkannya, adalah suatu sikap yang bijaksana dan rendah hati, ketika orang Kristen yang benar taat mutlak akan apa yang Tuhan firmankan kepada kita di dalam Alkitab. Berbicara tentang karunia-karunia Roh Kudus secara umum dan karunia bahasa roh secara khusus, maka kita harus kembali kepada Alkitab di dalam 1 Korintus 12-14.

A. Berbahasa Lidah: Karunia
Fakta pertama dari Alkitab yang harus kita pelajari tentang bahasa roh adalah bahasa roh termasuk karunia. Apa itu bahasa roh? Apa itu karunia? Kata “bahasa roh” dalam 1 Korintus 12:10 sebenarnya bukan bahasa roh, tetapi bahasa lidah, karena kata Yunani yang dipakai di ayat ini adalah glōssa yang berarti lidah. Bahasa lidah yang dimaksud di sini adalah bahasa yang dipakai oleh seseorang tanpa seseorang itu pernah mempelajarinya. Meskipun tak pernah mempelajarinya, namun bahasa lidah tersebut adalah bahasa yang bisa dimengerti oleh orang lain. Mari kita lihat gejala ini di dalam Kisah Para Rasul 2. Waktu Roh Kudus dicurahkan pada hari Pentakosta, Alkitab mencatat bahwa para rasul berkata-kata dengan bahasa lidah/asing yang dimengerti oleh orang-orang yang ada di sekitarnya (Kis. 2:4; kata Yunani yang dipakai dalam ayat ini juga: glōssa). Dan Alkitab juga mencatat bahwa orang-orang di sekitarnya mengenal para rasul sebagai orang Galilea yang tentu saja TIDAK pernah mengetahui dan mempelajari bahasa-bahasa lain (Kis. 2:7). Siapa saja orang-orang yang ada di sekitar mereka waktu itu? Alkitab mencatat, “orang Partia, Media, Elam, penduduk Mesopotamia, Yudea dan Kapadokia, Pontus dan Asia, Frigia dan Pamfilia, Mesir dan daerah-daerah Libia yang berdekatan dengan Kirene, pendatang-pendatang dari Roma, baik orang Yahudi maupun penganut agama Yahudi, orang Kreta dan orang Arab” (Kis. 2:9-11) Berarti semua rasul berbicara dalam lebih dari 10 bahasa yang dipakai oleh orang-orang di sekitar mereka dan faktanya, semua orang tersebut MENGERTI apa yang para rasul katakan (Kis. 2:11b). Dengan kata lain, mengutip perkataan Pdt. Dr. Stephen Tong, bahasa lidah sejati adalah bahasa yang membuat orang yang tidak mengerti menjadi mengerti.

Lalu, menurut Alkitab, bahasa lidah termasuk karunia. Apa itu karunia? Matthew Henry dalam tafsirannya Matthew Henry’s Commentary on the Whole Bible membedakan karunia (gift) dengan anugerah (grace). Bagi Henry, kedua kata ini sama-sama diberikan oleh Allah secara gratis, namun perbedaannya: anugerah (grace) diberikan bagi keselamatan masing-masing orang, sedangkan karunia (gift) diberikan bagi keselamatan orang lain. Dengan kata lain, bahasa roh yang termasuk karunia itu:
1. Diberikan oleh Allah.
Dokter Lukas mencatat hal ini di dalam Kisah Para Rasul 2:4, “Maka penuhlah mereka dengan Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya.” Di ayat ini, Alkitab dengan jelas mengajar kita bahwa bahasa lidah itu diberikan oleh Roh Kudus. Karena diberikan oleh Roh Kudus, maka Roh Kudus sendiri yang menentukan siapa saja yang perlu diberikan karunia bahasa lidah tersebut. Oleh karena itu, bahasa lidah bukan suatu keharusan bagi orang Kristen!

2. Diberikan bagi keselamatan orang lain.
Karena karunia juga diberikan bagi keselamatan orang lain, maka karunia bahasa lidah pun diberikan oleh Tuhan bagi keselamatan orang lain. Artinya, karunia bahasa lidah dipergunakan bukan untuk dikonsumsi sendiri, tetapi dipergunakan untuk memberitakan Injil. Hal ini bisa dilihat faktanya dari penggunaan bahasa lidah oleh para rasul pada waktu Pentakosta, di mana banyak orang di sekitar mereka yang mengerti bahasa lidah yang mereka ucapkan mendengarkan khotbah Petrus dan hasilnya, 3000 jiwa dimenangkan bagi Kristus (Kis. 2:41).


B. Karunia Berbahasa Lidah: Salah Satu Karunia Roh Kudus (1Kor. 12:8-10)
Karena bahasa roh adalah karunia, maka Alkitab mengajarkan bahwa karunia bahasa roh termasuk salah satu (bukan satu-satunya) karunia Roh Kudus. Di dalam 1 Korintus 12:8-10, Paulus mendaftarkan 9 macam karunia Roh Kudus: berkata-kata dengan hikmat, berkata-kata dengan pengetahuan, iman, menyembuhkan, mengadakan mukjizat, bernubuat, membedakan bermacam-macam roh, berkata-kata dengan bahasa roh, dan menafsirkan bahasa roh. Dan menariknya, dari 9 macam karunia Roh Kudus tersebut, karunia bahasa roh diletakkan pada bagian agak terakhir (karunia kedelapan dan kesembilan). Jika karunia bahasa roh termasuk salah satu karunia Roh Kudus, maka berarti:
1. Karunia bahasa roh/lidah SEJATI berasal dari Roh Kudus.
Sebagaimana semua karunia Roh Kudus diberikan oleh Roh Kudus (1Kor. 12:11a), maka karunia bahasa roh yang asli juga diberikan oleh Roh Kudus. Karena diberikan oleh Roh Kudus, maka tentu ada maksud khusus yang Roh Kudus inginkan dengan memberi karunia bahasa roh tersebut (ay. 11c). Apa maksudnya? Hal ini akan dibahas tuntas di 1 Korintus 14.

2. Karunia bahasa roh/lidah tidak dimiliki oleh semua orang Kristen.
Selain dari Roh Kudus, karunia bahasa roh TIDAK dimiliki oleh semua orang. Artinya, tidak semua orang Kristen memiliki karunia bahasa roh. Di dalam 1 Korintus 12:11, Paulus mengajar kita dengan jelas tentang hal ini, “Tetapi semuanya ini dikerjakan oleh Roh yang satu dan yang sama, yang memberikan karunia kepada tiap-tiap orang secara khusus, seperti yang dikehendaki-Nya.” Dengan kata lain, ada orang Kristen yang dikaruniai iman, bernubuat, berkata-kata dengan hikmat, berbahasa roh, dll. Bahkan di 1 Korintus 12:27-30, Paulus mengajarkan prinsip tentang kesatuan tubuh Kristus, di mana masing-masing anggota tubuh Kristus yang diberikan karunia-karunia yang berlainan dari Allah hendaklah mempergunakan masing-masing karunia tersebut untuk membangun tubuh Kristus. Dengan menggunakan kalimat retoris yang tentunya perlu dijawab TIDAK, Paulus bertanya, “Adakah mereka semua mendapat karunia untuk mengadakan mujizat, atau untuk menyembuhkan, atau untuk berkata-kata dalam bahasa roh, atau untuk menafsirkan bahasa roh?” (1Kor. 12:29b-30) Berarti tidak ada pemutlakan bahwa semua orang Kristen harus berbahasa roh. Memutlakkan apa yang TIDAK dimutlakkan oleh Alkitab mengakibatkan ajaran yang justru melawan Alkitab dan itu sangat berbahaya. Waspadalah!

3. Karunia bahasa roh/lidah harus dibarengi dengan karunia menafsirkan bahasa roh/lidah.
Dari 1 Korintus 12:10, kita mendapatkan pengajaran menarik dari Alkitab yaitu karunia bahasa lidah dibarengi dengan karunia menafsirkan bahasa lidah (karunia kedelapan dan kesembilan). Mengapa? Karena bahasa lidah supaya dapat dimengerti oleh orang lain harus diterjemahkan (hal ini akan dibahas nanti di poin E). Pertanyaan lain yang muncul, mengapa di dalam Kisah Para Rasul 2 tidak diperlukan karunia untuk menafsirkan/menerjemahkan? Jawabannya mudah, karena konteksnya waktu itu, para rasul berbicara kepada orang-orang yang berkumpul di Yerusalem dengan menggunakan bahasa yang dimengerti oleh orang-orang yang berkumpul tersebut (bahasa itu asing bagi para rasul karena mereka tidak pernah mempelajarinya, namun bahasa itu TIDAK asing bagi orang-orang di situ, karena mereka memang berasal dari daerah tersebut).


C. Karunia Berbahasa Lidah Vs Kasih (1Kor. 13)
Setelah menjelaskan beragam karunia Roh di pasal 12 ayat 1-11, maka mulai ayat 12 s/d 30, Paulus menjelaskan bahwa semua karunia Roh di dalam masing-masing anggota tubuh Kristus itu dipergunakan untuk membangun tubuh Kristus. Dengan kata lain, semua karunia Roh tersebut sama pentingnya, namun di ayat 31, ada karunia yang terpenting yang Paulus mau jelaskan. Apa itu? Itulah kasih yang akan dijelaskannya di pasal 13. Prof. William L. Hendricks, Ph.D. dalam artikelnya Spiritual Gifts di dalam buku Holman Bible Handbook (1992) membedakan 3 macam karunia rohani: karunia rohani esensial yang harus dimiliki oleh semua orang Kristen (iman, pengharapan, dan kasih—1Kor. 13:13), karunia rohani yang dinamis (karunia iman, menyembuhkan, mengadakan mukjizat, membedakan bermacam-macam roh, berbahasa lidah, menerjemahkan bahasa lidah—1Kor. 12:9-10), dan karunia rohani fungsional (penting bagi struktur dan pelayanan gerejawi, misalnya: rasul, nabi, penginjil, pendeta/gembala, guru-guru, pelayanan kepada orang lain, menegur, menunjukkan belas kasihan, kata-kata bijaksana, kata-kata pengetahuan, karunia mengatur, karunia menolong, dll) (hlm. 692-693) Di 1 Korintus 13, ia menguraikan tuntas tentang kasih sebagai karunia terpenting dari segala karunia Roh Kudus yang lain. Di ayat 1, Paulus mengatakan, “Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing.” Di ayat 8, Paulus lebih mempertajam pengajarannya, “Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap.” Dari dua ayat ini, kita mendapatkan penjelasan Paulus bahwa kasih lebih penting dari karunia bahasa lidah, karena:
1. Kasih itu tidak memegahkan diri vs bahasa lidah itu memegahkan diri (ay. 4)
Di dalam 1 Korintus 13:4b, Paulus mengemukakan beberapa ciri kasih, “Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong.” “Memegahkan diri” bisa diterjemahkan membanggakan diri artinya menganggap diri hebat dan berarti. Karena sifatnya sabar dan murah hati, maka otomatis kasih itu tentu tidak pernah membanggakan diri sebagai sesuatu yang paling berarti. Dengan kata lain, seorang yang memiliki kasih adalah seorang yang terus-menerus rendah hati, bukan malahan menganggap diri lebih hebat, pandai, dll dari orang lain. Hal ini sangat berbeda dengan bahasa lidah. Karunia bahasa lidah memang sejatinya dipergunakan untuk memberitakan Injil, namun hari-hari ini bahasa lidah telah diselewengkan artinya, sehingga orang Kristen yang mengaku sudah bisa berbahasa lidah menjadi sombong rohani. Hari-hari ini, banyak orang yang berbahasa lidah menjadi seorang yang sombong rohaninya karena menganggap sudah bisa bercakap-cakap langsung dengan “Allah.”

2. Kasih itu tidak berkesudahan vs bahasa lidah akan berhenti (ay. 8)
Di dalam 1 Korintus 13:8, Paulus sudah mengajarkan realitas bahwa bahasa roh/lidah itu akan berhenti, sedangkan kasih itu tidak berkesudahan. Mengapa? Karena kasih itu kekal adanya, karena menyangkut Pribadi Allah sendiri yang adalah Kasih itu (1Yoh. 4:16b). Karena Allah itu Kekal dan tidak mungkin mengalami perubahan, maka Kasih (sejati) yang ada di dalam Pribadi Allah juga bersifat kekal. Karena tidak mungkin berubah, maka setiap orang Kristen secara individual harus memiliki kasih yang bersumber dari Allah ini. Sedangkan apa pun yang tidak berdasarkan kasih Allah pasti berubah, termasuk salah satunya bahasa lidah. Mengapa? Karena bahasa lidah termasuk karunia Allah yang diberikan hanya kepada beberapa orang untuk memberitakan Injil. Jika tugas si pemberita Injil itu sudah selesai di dunia ini, maka karunia itu akan dicabut dan tidak akan berlaku di Sorga nanti.


D. Karunia Berbahasa Lidah dan Karunia Bernubuat (1Kor. 14:1-5, 22)
Pentingnya kasih diulang kembali oleh Paulus di dalam 1 Korintus 14:1, namun pengulangan ini disertai dengan perintah agar jemaat Korintus merindukan karunia rohani, khususnya karunia bernubuat/menyampaikan pesan Allah. Perhatikan keseluruhan ayat 1 ini, “Kejarlah kasih itu dan usahakanlah dirimu memperoleh karunia-karunia Roh, terutama karunia untuk bernubuat.” Kata “usahakanlah” dalam teks Yunaninya: ‎zēloúte lebih tepat diterjemahkan: rindukanlah (banyak Alkitab terjemahan Inggris menerjemahkannya: desire yang berarti rindukanlah/inginkanlah). Kata kerja ini dalam struktur bahasa aslinya menggunakan bentuk present, aktif, dan imperatif. Berarti, Paulus memerintahkan jemaat Korintus dan kita untuk secara aktif merindukan karunia-karunia rohani/Roh. Karunia Roh apa yang penting setelah kasih? Paulus mengkhususkannya: karunia bernubuat. Dalam teks Yunaninya, kata ini adalah: prophēteúēte yang berasal dari kata Yunani prophētēs yang berarti nabi atau kitab nabi. Kalau kita membaca Perjanjian Lama, apa fungsi nabi? Nabi diutus oleh Allah untuk menyampaikan pesan Allah kepada umat-Nya. Dengan kata lain, bernubuat identik dengan berfungsi sebagai nabi yaitu menyampaikan/memberitakan pesan Allah. Di sini, kita lebih mengerti bahwa di bawah kasih, karunia Roh yang penting yang harus dikejar oleh orang Kristen adalah karunia untuk bernubuat atau menyampaikan pesan Allah dan bukannya karunia untuk berbahasa lidah. Mengapa? Apa perbedaannya? Di ayat-ayat selanjutnya mulai ay. 2 s/d 5, Paulus mengemukakan perbedaannya:
1. Karunia berbahasa lidah: berkata-kata kepada Allah, sedangkan karunia bernubuat: berkata-kata kepada manusia (ay. 2-3)
Seorang yang berkata-kata dengan bahasa lidah itu sedang berkata-kata kepada Allah dan tidak ada seorang pun yang mengerti bahasanya. Sedangkan ketika seorang menyampaikan pesan Allah (yang disebut karunia bernubuat), tentu orang lain mengerti apa yang diucapkannya, karena apa yang diucapkannya itu menggunakan bahasa yang dapat dimengerti. Pesan Allah yang dapat dimengerti ini isinya: “membangun, menasihati dan menghibur.” (ay. 3) Berarti pesan Allah yang harus disampaikan kepada jemaat Tuhan harus mengandung 3 unsur ini: membangun, menasihati, dan menghibur. Membangun (dan menguatkan) di kala orang Kristen lemah, menasihati di kala orang Kristen berbuat salah, dan menghibur di kala orang Kristen putus asa. Khotbah yang benar-benar mengandung pesan Allah seharusnya berisi tiga hal di atas dan bukannya berat sebelah.

2. Karunia berbahasa lidah: membangun diri sendiri, sedangkan karunia bernubuat: membangun Jemaat (ay. 4-5)
Karena berkata-kata kepada Allah dan tidak ada seorang pun yang mengerti, maka berkata-kata dengan bahasa lidah tentu membangun diri sendiri, karena hanya diri sendiri yang mengerti perkataan rahasia tersebut. Sedangkan ketika seseorang bernubuat, ia membangun Jemaat melalui pesan Allah tersebut. Dengan kata lain, berbahasa lidah adalah suatu keegoisan (demi kepentingan diri), sedangkan bernubuat itu demi kepentingan orang banyak.

3. Karunia berbahasa lidah tidak dilarang oleh Paulus, namun karunia bernubuat lebih penting daripada karunia berbahasa lidah (ay. 5)
Dari ayat 2 s/d 4, seolah-olah kita mendapatkan pengertian bahwa Paulus tidak menghargai bahasa lidah dan mengagungkan karunia bernubuat, benarkah? TIDAK. Di ayat 5, ia memberikan kesimpulan yang cukup jelas, “Aku suka, supaya kamu semua berkata-kata dengan bahasa roh, tetapi lebih dari pada itu, supaya kamu bernubuat. Sebab orang yang bernubuat lebih berharga dari pada orang yang berkata-kata dengan bahasa roh, kecuali kalau orang itu juga menafsirkannya, sehingga Jemaat dapat dibangun.” Paulus TIDAK pernah melarang seseorang berbahasa lidah, bahkan ia menyukai orang yang berbahasa lidah, namun ia lebih menyukai seseorang itu bernubuat, karena yang dipentingkan Paulus adalah pembangunan tubuh Kristus (bdk. 1Kor. 12-13). Dan karena yang dipentingkan Paulus adalah pembangunan tubuh Kristus atau kesatuan dalam Kristus, maka karunia-karunia Allah harus dipergunakan untuk kepentingan bersama di dalam tubuh Kristus, sehingga bernubuat lebih penting daripada berbahasa lidah yang TIDAK diterjemahkan.


E. Penggunaan Bahasa Lidah Menurut Alkitab (1Kor. 14:5-40)
Jika demikian, bagaimana pandangan Alkitab mengenai berkata-kata dalam bahasa lidah? Alkitab TIDAK pernah melarang karunia berbahasa lidah, namun Alkitab memberikan batasan-batasan yang jelas tentang karunia berbahasa lidah dengan tujuan agar bahasa lidah ini TIDAK disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Alkitab memberikan 7 konsep tentang bahasa lidah:
1. Bahasa lidah harus diterjemahkan/ditafsirkan supaya jemaat dapat dibangun (ay. 5-19, 27c)
Konsep pertama tentang bahasa lidah adalah bahasa lidah HARUS ditafsirkan atau diterjemahkan supaya jemaat dapat dibangun. Konsep ini sudah dijelaskan Paulus di ayat 5. Untuk menajamkannya, mulai ayat 6 s/d 9, Paulus memberikan ilustrasi dirinya dan alat musik. Di ayat 6, Paulus mengilustrasikan, jika ia datang kepada jemaat Korintus dan berbahasa lidah, apakah itu berguna bagi jemaat Korintus? Tentu jawabannya TIDAK. Lalu, ia mencoba membandingkannya, bagi jemaat Korintus, mana yang lebih berguna: Paulus berkata-kata dalam bahasa lidah ataukah ia menyampaikan “penyataan Allah atau pengetahuan atau nubuat atau pengajaran”? Tentu jawabannya: lebih berguna jika Paulus menyampaikan pesan Allah yang jelas ketimbang berbahasa lidah yang tidak dapat dimengerti itu. Dari ilustrasi tentang diri, Paulus beralih ke ilustrasi tentang musik. Di ayat 7, Paulus memberi 2 contoh alat musik: seruling dan kecapi. Jika ada dua orang yang memainkan lagu dengan menggunakan dua alat musik ini, maka pasti ada dua suara lagu yang berbeda yang dihasilkan dari 2 jenis alat musik ini. Orang yang memainkan lagu dengan menggunakan seruling tentu suaranya berbeda dengan orang yang menggunakan kecapi. Orang yang sering mendengarkan 2 jenis alat musik ini tentu bisa membedakan mana lagu yang dihasilkan dari seruling vs kecapi. Itu sebabnya, jika bahasa lidah diucapkan tetapi tidak memiliki arti, bagaimana orang lain bisa mengerti artinya? Di ayat 8, Paulus kembali memberi contoh ketiga, yaitu tentang nafiri. Alat musik nafiri dipergunakan sebagai simbol untuk berperang. Ketika nafiri dibunyikan, itu berarti tanda siap perang. Nah, Paulus bertanya, jika nafiri TIDAK mengeluarkan bunyi yang terang, lalu siapa yang menyiapkan diri untuk berperang? Hal yang sama terjadi dengan penggunaan bahasa lidah: jika bahasa lidah tidak mengeluarkan ucapan yang dapat dimengerti, lalu apa faedahnya? Kesimpulan Paulus di ayat 9b, “Kata-katamu sia-sia saja kamu ucapkan di udara!”

Di ayat 10 s/d 12, Paulus menjelaskan tentang pentingnya bahasa. Dia menjelaskan bahwa semua bahasa di dunia seberapa pun banyaknya pasti memiliki bunyi yang berarti. Jika Paulus tidak mengetahui bahasa tertentu (misalnya X), maka dia menjadi orang asing bagi orang yang berbahasa X dan sebaliknya orang yang berbahasa X itu juga menjadi orang asing bagi Paulus, sehingga tidak terjalin komunikasi antara Paulus dan orang yang berbahasa X. Dengan kata lain, tidak ada gunanya orang yang berbahasa X berkata kepada Paulus dengan bahasa X, karena Paulus tidak akan mengerti bahasa tersebut. Oleh karena itu, supaya antar saudara seiman tidak menjadi asing satu sama lain, maka bahasa lidah perlu diterjemahkan.

Di ayat 13, ia menjelaskan bahwa orang yang berbahasa lidah harus berdoa, supaya ia juga diberi karunia untuk menafsirkannya. Berarti orang yang sama yang berbahasa lidah juga bertanggung jawab untuk menafsirkannya. Mengapa? Alasannya dijelaskan di ayat 14 s/d 17: karena ketika kita berdoa dan menyanyi, kita harus melakukannya dengan roh dan akal budi (bukan hanya dengan roh saja), sehingga para pendengar di dalam kebaktian tersebut dapat mengerti dan mengatakan, “amin” atas pengucapan syukur yang kita lakukan.

Di ayat 18, Paulus mengatakan sesuatu yang seolah-olah mengejutkan kita, “Aku mengucap syukur kepada Allah, bahwa aku berkata-kata dengan bahasa roh lebih dari pada kamu semua.” Mengapa Paulus mengatakan hal ini? Karena Paulus ingin agar jemaat Korintus tidak salah sangka, lalu mengira Paulus iri dengan karunia bahasa lidah yang ada di jemaat Korintus. Di ayat ini, ia mengajar kita bahwa Paulus pun juga memiliki karunia berkata-kata dalam bahasa lidah, namun di ayat selanjutnya, di ayat 19, ia mengatakan, “Tetapi dalam pertemuan Jemaat aku lebih suka mengucapkan lima kata yang dapat dimengerti untuk mengajar orang lain juga, dari pada beribu-ribu kata dengan bahasa roh.” Berarti, ketika berdoa sendirian, Paulus mendapat karunia berbahasa lidah, namun ketika dalam pertemuan Jemaat atau kebaktian, ia lebih suka mengucapkan 5 kata yang dapat dimengerti untuk mengajar orang lain daripada berpuluh ribu kata dengan bahasa yang tak dapat dimengerti. “Beribu-ribu” dalam teks Yunaninya muríous berarti sepuluh ribu/berpuluh ribu (angka terbesar dalam bahasa Yunani). Kata ini menandakan sebuah angka yang tak terhitung.

2. Karunia bahasa lidah: tanda untuk orang yang TIDAK beriman (ay. 20-25)
Agar jemaat Korintus TIDAK terlalu membangga-banggakan bahasa lidah, Paulus mengingatkan mereka bahwa bahasa lidah selain termasuk salah satu karunia Roh Kudus juga termasuk tanda untuk orang yang TIDAK beriman (ay. 22). Mengapa Paulus berkata demikian? Karena di ayat 21, Paulus mengemukakan bahwa bahasa asing dipergunakan oleh Allah untuk menghukum bangsa Israel, “Oleh orang-orang yang mempunyai bahasa lain dan oleh mulut orang-orang asing Aku akan berbicara kepada bangsa ini, namun demikian mereka tidak akan mendengarkan Aku, firman Tuhan.” Ayat ini dikutip Paulus dari Yesaya 28:11-12. Ayat ini mengacu kepada tanda penghakiman di mana Allah memakai bangsa Asyur dengan bahasanya yang tidak dimengerti oleh Israel untuk menghukum Israel (bdk. Yes. 33:19; Kel. 28:49) (InterVarsity Press Bible Background: New Testament). Dengan kata lain, kepada bangsa Israel yang tidak mau bertobat (dan tentu tidak beriman), Allah menggunakan bahasa asing yang tak dimengerti oleh orang Israel. Mengutip Prof. S. Lewis Johnson, Th.D. dalam tafsiran 1 Korintus dalam The Wycliffe Bible Commentary (Tafsiran Alkitab Wycliffe) mengatakan, “Sang rasul memasukkan sebuah kutipan bebas dari hukum Taurat (maksudnya, Perjanjian Lama) untuk menunjukkan bahwa bahasa roh dimaksudkan sebagai tanda kehadiran Allah bersama orang-orang bukan Yahudi.” (hlm. 648) Di sisi lain, menurut The Teacher’s Commentary, di dalam kebudayaan Yunani, perkataan yang bergairah/ekstatik merupakan sebuah tanda kehadiran ilahi, sehingga Paulus mengingatkan jemaat Korintus bahwa bahasa lidah itu tanda bagi orang yang tak beriman dan bukan tanda kerohanian sejati.

Oleh karena itu, di ayat 23-25, Paulus kembali mengulang penjelasannya bahwa bernubuat lebih penting daripada berbahasa lidah. Jika seseorang berbahasa lidah di dalam suatu kebaktian, kemudian ada orang asing masuk ke dalam kebaktian tersebut, tentu orang asing itu menyangka jemaat yang berbahasa lidah itu gila, karena orang asing itu tidak mengerti artinya. Sedangkan jika jemaat bernubuat, lalu masuk orang asing/baru, maka orang asing/baru itu akan diyakinkan oleh pesan Allah dan kemudian menyembah-Nya dengan mengaku, “Sungguh, Allah ada di tengah-tengah kamu.” (ay. 25)

3. Bahasa lidah HARUS diucapkan oleh minimal 2 orang dan maksimal 3 orang (ay. 27a, 29)
Setelah menjelaskan tentang karunia bernubuat lebih penting daripada karunia berbahasa lidah, maka apakah hanya karunia bernubuat yang diperbolehkan? TIDAK. Di ayat 26, Paulus memberikan kebebasan di dalam mengembangkan karunia Roh Kudus di dalam diri setiap anak Tuhan, “Bilamana kamu berkumpul, hendaklah tiap-tiap orang mempersembahkan sesuatu: yang seorang mazmur, yang lain pengajaran, atau penyataan Allah, atau karunia bahasa roh, atau karunia untuk menafsirkan bahasa roh, tetapi semuanya itu harus dipergunakan untuk membangun.” Namun kebebasan dalam mengembangkan karunia Roh Kudus harus tetap dibatasi, karena jika tidak, akan menimbulkan kekacauan. Supaya tidak kacau, berkaitan dengan bahasa lidah, maka Paulus mengajar bahwa bahasa lidah HARUS diucapkan oleh minimal 2 orang dan maksimal 3 orang. Perhatikan ayat 27a berikut, “Jika ada yang berkata-kata dengan bahasa roh, biarlah dua atau sebanyak-banyaknya tiga orang,” Mengapa harus maksimal 3 orang? Di ayat 29, Paulus memberikan alasannya, “Tentang nabi-nabi--baiklah dua atau tiga orang di antaranya berkata-kata dan yang lain menanggapi apa yang mereka katakan.” Alasannya adalah supaya orang lain yang hadir di situ dapat menanggapi apa yang mereka katakan. Kata “menanggapi” dalam ayat 29 ini kurang tepat terjemahannya, karena kata Yunani yang dipakai adalah diakrinétōsan yang berarti mempertimbangkan atau membedakan. Dengan kata lain, orang lain yang hadir di situ dapat membedakan/mempertimbangkan (atau menguji) apakah yang dikatakan oleh maksimal 3 orang itu benar-benar dari Roh Kudus atau bukan. Bible Knowledge Commentary mengaitkan kata Yunani yang dipakai di ayat ini dengan kata Yunani untuk “membedakan bermacam-macam roh” di 1 Korintus 12:10. Bandingkan ajaran Alkitab ini dengan fakta banyak orang Kristen hari-hari ini yang ribut dan kacau di mana hampir semua jemaat gereja berbahasa lidah, padahal Alkitab membatasi hanya maksimal 3 orang saja. Inilah bentuk penyimpangan dari ajaran Alkitab.

4. Bahasa lidah HARUS diucapkan bergiliran (ay. 27b)
Selain harus maksimal 3 orang, bahasa lidah pun harus diucapkan secara bergiliran. Di ayat 27b, Paulus mengajar, “…seorang demi seorang” Frase “seorang demi seorang” dalam teks Yunani berarti menurut giliran (Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia, hlm. 940). Berarti, maksimal 3 orang yang mengucapkan bahasa lidah itu pun harus silih berganti, BUKAN serentak/bersamaan. Mengapa harus bergiliran? Hal ini penting untuk memberi kesempatan kepada jemaat lain yang diberikan karunia oleh Tuhan untuk menafsirkannya (ay. 27c). Jika 3 orang secara serentak berbahasa lidah, lalu, bagaimana orang bisa menafsirkan apa yang dikatakannya? Bandingkan kembali ajaran Alkitab dengan fenomena yang kita lihat di banyak orang Kristen yang hari ini menggandrungi bahasa lidah di mana hampir semua orang secara bersamaan/serentak berbahasa lidah, sehingga membuat orang luar yang datang ke kebaktian ini menjadi bingung.

5. Jika TIDAK ada yang menafsirkan bahasa lidah, orang yang berbahasa lidah itu HARUS berdiam diri (ay. 28)
Jika tidak ada orang yang menafsirkan bahasa lidah, maka Paulus dengan keras berkata di ayat 28, “hendaklah mereka berdiam diri dalam pertemuan Jemaat dan hanya boleh berkata-kata kepada dirinya sendiri dan kepada Allah.” Mengapa Paulus menyuruh mereka berdiam? Karena jika tidak ada orang yang menafsirkan bahasa lidah itu, maka bahasa lidah itu menjadi suatu kesia-siaan karena tidak ada orang yang dapat mengerti artinya. Bukankah melalui hal ini, Jemaat tidak bisa dibangun imannya? Setelah menyuruh berdiam, Paulus melanjutkan bahwa mereka yang berbahasa lidah silahkan melakukannya secara pribadi antara Allah dengan diri mereka sendiri. Dengan kata lain, Paulus kembali menekankan bahwa karunia bahasa lidah HANYA untuk kepentingan pribadi dengan Allah, bukan untuk dipergunakan di dalam pertemuan Jemaat.

6. Orang yang berbahasa lidah HARUS taat kepada firman Tuhan (ay. 37-38)
Meskipun Paulus menghargai kebebasan dalam mempergunakan karunia Roh, namun ia juga membatasinya demi ketertiban jemaat, karena “Allah tidak menghendaki kekacauan, tetapi damai sejahtera.” (ay. 33) Demi menjaga ketertiban, maka sekali lagi dengan tegas Paulus mengatakan, “Jika seorang menganggap dirinya nabi atau orang yang mendapat karunia rohani, ia harus sadar, bahwa apa yang kukatakan kepadamu adalah perintah Tuhan.” (ay. 37) Kata “kukatakan” dalam ayat ini TIDAK tepat terjemahannya, karena kata Yunani yang dipakai adalah gráphō yang menunjuk pada tulisan (beberapa terjemahan Inggris juga menggunakan kata write). Dengan kata lain, Paulus hendak mengatakan bahwa mereka yang mengatakan memiliki karunia rohani HARUS mengetahui dengan jelas (Yunani: epiginōskétō) bahwa yang dituliskan Paulus ini adalah perintah dari Tuhan dan itu HARUS ditaati. Bahkan di ayat selanjutnya, yaitu di ayat 38, ia berkata dengan tegas, “Tetapi jika ia tidak mengindahkannya, janganlah kamu mengindahkan dia.” Dengan kata lain, barangsiapa yang tidak memperhatikan peringatan Paulus tentang hal ini, maka orang tersebut TIDAK perlu diperhatikan juga pengajarannya. Berarti, karunia Roh Kudus TIDAK bisa dilepaskan dari pentingnya firman Tuhan. Karunia Roh Kudus diberikan untuk meneguhkan berita firman Tuhan demi pertumbuhan iman bagi sesama tubuh Kristus, bukan membuat orang makin menghina firman Tuhan dengan menciptakan ajaran baru yang justru melawan Alkitab. Mereka yang mengkritik berbagai penyimpangan bahasa roh selalu dicap tidak ada “roh kudus”, menghujat “roh kudus”, bahkan sesat/“menghakimi”, padahal Allah melalui Paulus mengajarkan bahwa justru yang tidak menaati pengajaran Paulus lah yang seharusnya tidak perlu didengarkan ajarannya. Sungguh suatu ironi yang memalukan.

7. Pemakaian bahasa lidah harus berlangsung sopan dan teratur (ay. 40)
Setelah menjelaskan panjang lebar tentang karunia bahasa lidah dan penjelasan bahwa ia tidak melarang bahasa lidah (ay. 39), maka di ayat 40, mengulang ayat 33, Paulus mengatakan, “segala sesuatu harus berlangsung dengan sopan dan teratur.” Kata “sopan” seharusnya diterjemahkan semestinya/seharusnya. Dengan kata lain, penggunaan bahasa lidah harus dilakukan dengan seharusnya sesuai dengan perintah Allah dan juga dengan suatu urutan/keteraturan yang jelas. Berarti, Tuhan mengizinkan kebebasan dalam mengembangkan karunia yang Roh Kudus berikan, namun Ia TIDAK mengizinkan kebebasan itu dipakai sewenang-wenang tanpa batasan/aturan, karena “Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban.” (2Tim. 1:7) Jika Allah menginginkan kebebasan disertai dengan ketertiban, bagaimana sikap orang Kristen seharusnya?




IV. KESIMPULAN DAN TANTANGAN
Setelah Paulus menjelaskan panjang lebar tentang pemakaian bahasa lidah di 1 Korintus 14, apa yang menjadi reaksi kita? Marah, lalu menuduh Paulus tidak ada “roh kudus”? Speechless (tidak bisa berkata apa-apa) karena kita belum mengerti? Ataukah kita dengan rendah hati taat akan firman Tuhan? Biarlah Roh Kudus memimpin hati dan pikiran kita untuk menaati apa yang telah Tuhan firmankan kepada kita melalui Alkitab, sehingga kita tidak mudah ditipu oleh berbagai angin pengajaran yang menyesatkan namun dibungkus dengan kulit luar yang begitu indah dan “rohani.” Amin. Soli Deo Gloria.

14 January 2011

Bagian 3: Prospek Atheisme di Indonesia: Refleksi Bagi Orang Kristen (Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div.)

PROSPEK ATHEISME DI INDONESIA:
Refleksi Bagi Orang Kristen

oleh: Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div.



Setiap semester saya mendapatkan kesempatan untuk menguji seberapa kuat orang Kristen mengakar dalam imannya. Saya mulai bercerita dan bermain peran sebagai ateis tanpa memberitahu murid-murid di kelas yang saya asuh. Dalam waktu kira-kira satu jam saya menggunakan intisari dari pemikiran para ateis klasik seperti Feuerbach, Karl Marx dan Sigmund Freud tentang agama dan Allah.

“Tuhan adalah hasil imajinasi manusia.” “Bukan Tuhan yang menciptakan manusia sesuai gambar-Nya tetapi manusia yang menciptakan Tuhan sesuai aspirasi manusia itu sendiri” (bdk. konsep Feuerbach). “Agama hanyalah produk budaya dan Allah produk akal manusia.” “Allah ada secara sukbyetif dalam pikiran/imajinasi manusia tetapi bukan dalam realita obyektif.” Begitulah kira-kira cara saya memulai pelajaran filsafat agama.

Saya segera menambahkan bahwa kebutuhan akan Tuhan sebenarnya muncul karena ada kesenjangan ekonomi antara kaya dan miskin. Secara khusus, orang yang miskin membutuhkan agama sebagai hiburan. Lagu-lagu tentang sorga diberikan oleh agama untuk menghibur mereka yang miskin di dunia. Dengan demikian, agama dan konsep Allah serta sorga menjadi obat pelipur lara bagi kaum proletar, golongan miskin. Sementara itu bagi orang kaya, agama menjadi ideologi yang memungkinkan mereka untuk mengingatkan si miskin bahwa apa yang terjadi memang harus terjadi. Tuhan telah mentakdirkan nasib miskin dan kaya. Jadi agama memiliki fungsinya masing-masing bagi orang miskin dan kaya.

Secara khusus, bagi orang miskin agama menjadi semacam candu, opium yang memberikan kenikmatan sementara. Coba perhatikan kotbah-kotbah di gereja yang laris…isinya seringkali penghiburan dan penguatan. Orang tidak senang mendengarkan kotbah yang menegur karena pada dasarnya orang ke gereja karena mereka ingin dihibur atau mencari pembenaran. Begitu kurang lebihnya konsep Karl Marx yang saya paparkan dengan kombinasi pengamatan modern.

Selanjutnya, saya menambahkan satu poin lagi tentang proses kelahiran “Bapa Sorgawi.” Saya katakan bahwa ketika kita masih kecil kita suka berlindung pada “papa”. Ketika seorang anak kecil diganggu oleh temannya, ia suka berkata “papa tolongin aku.” Kebenarannya adalah, ketika kita sudah dewasa, kita masih memiliki sifat kanak-kanak itu dalam diri kita. Tetapi tentu papa biologis kita sudah tidak selalu ada bersama kita dan sudah tidak pantas rasanya meminta tolong terus pada papa. Namun demikian, dorongan meminta tolong pada papa itu sebenarnya terus eksis karena di tengah usi kita yang dewasa, sifat kekanak-kanakan dalam diri kita masih terus menetap. Oleh karena itu kita-manusia, dari dulu kala, mulai menciptakan “papa sorgawi” yang kemudian kepadanya kita berseru “bapa sorgawi berilah aku makanan hari ini.”

Itulah sebabnya salah satu tema yang laris di gereja adalah tentang kebaikan Bapa, pertolongan Bapa dan Kasih Bapa. “Bapa Sorgawi ajarku mengerti betapa dalamnya kasihMu...” Juga “Abba, Kupanggil Engkau ya Bapa” dan tentunya “Bapa sentuh hatiku...” Ini semua adalah akibat dari kekanak-kanakan dalam diri kita yang menemukan jalan keluarnya dalam “bapa sorgawi” hasil imajinasi kita sendiri. Bapa sorgawi tidak lain adalah ciptaan manusia dewasa yang masih memiliki sifat kekanak-kanakan dan menginginkan “bapa” terus hadir dalam hidupnya.

“Nah, karena kalian sudah dewasa maka kalian harus siap membuang sifat kekanak-kanakan itu dan sebagai implikasinya harus siap membuang Bapa Sorgawi dalam hidupmu.” ”Siapkah Anda?” Begitulah kira-kira pernyataan dan pertanyaan saya kepada para mahasiswa yang saya ajar. Setelah itu saya biasanya melanjutkan, “berapa banyak di antara Anda yang setuju dengan pemikiran saya?”

Survei membuktikan...sebagian dari 50 mahasiswa yang hadir di kelas mulai mengangkat tangan tanda setuju. Saya ingat suatu kali di sebuah kelas terdapat kira-kira 10 mahasiswa yang mengangkat tangan tanda setuju. Sebagian lagi mulai berpikir saya sesat tetapi tidak ada suara protes. Mereka gelisah namun banyak yang tidak siap berbeda pendapat. Jadi, saya mulai menambah panas suasana dengan berkata, “yang tidak setuju boleh angkat tangan dan memberikan alasannya.”

Biasanya, dari satu kelas yang berisi kira-kira 50 mahasiswa (semuanya mengaku beragama dalam KTP-nya) hanya ada 0-5 orang yang berani angkat tangan dan memberikan kritik terhadap pandangan ateisme yang saya paparkan. Metode seperti ini sudah saya terapkan kepada sedikitnya 15 kelas dengan rata-rata mahasiswa 50/kelas dalam kurun waktu 5 tahun di sebuah universitas yang mahasiswanya kira-kira 90% beragama Kristen dan Katolik dan berasal dari berbagai denominasi gereja dari seluruh indonesia.

Setelah itu, saya bertanya kepada semua yang hadir, “Apakah menurut kalian teori saya tadi menarik?” Hampir selalu semua mahasiswa sepakat “ya.” Bahkan mereka yang tidak setuju pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Pada saat itulah saya tidak heran bahwa Marxisme pernah menjadi ideologi yang menarik kira-kira sepertiga dari penduduk dunia. Di kalangan Kristen pun itu masih menarik sampai saat ini, jika diajarkan. Ateisme klasik saja sudah cukup menarik, apalagi jika dikombinasikan dengan ateisme baru ala Richard Dawkins, Sam Harris dan Daniel Dennet, pasti akan lebih memikat. Terbukti ketika saya memaparkan teori God of the gap dari para ateis baru, makin banyak yang terpikat.

Tentu saja setelah itu, saya segera mengaku bahwa saya hanya berpura-pura menganut paham itu dan sebenarnya saya punya banyak kritik terhadap ateisme. Masih teringat di benak saya kelegaan dari banyak mahasiswa Kristen setelah mengetahui bahwa saya hanya berpura-pura. Terkadang mereka begitu ramai berbicara karena lega dan membahas shock yang mereka alami. Setelah itu, biasanya saya bertanya “Jika Karl Marx mengajar kalian selama satu semester, seberapa besarkah kemungkinan kalian akan mengikuti pandangannya?” Bisanya, lebih dari separuh diantara mahasiswa yang hadir mengangkat tangan dan mengakui bahwa sangat mungkin mereka akan menganut Marxisme!

Mereka baru sadar bahwa mereka tidak siap berinteraksi dengan ide-ide semacam itu. Kekristenan yang menekankan heart perlu diimbangi dengan head. Belajar teologi dan apologetika sangat penting. Jika tidak, tinggal tunggu waktunya mereka bertemu dengan ideologi lain dan kemudian mereka akan terguncang. Jikalaupun mereka tidak terguncang itu bukan karena ideologi lain tidak menarik melainkan karena mereka tidak mau berpikir. Pemalas memang tidak akan terguncang karena mereka lebih sering tertidur:)

Tetapi bagi orang Kristen yang suka berpikir, guncangan akibat benturan wawasan dunia (worldview) Kristen dan ateisme bisa sangat keras, beberapa bahkan telah menyerah. Oleh karena itu, penulis tidak heran ketika menemukan seorang yang sangat aktif pelayanan tetapi setelah studi lanjut di luar negeri (Eropa, Australia, Singapore), pulang kembali ke Indonesia dan menjadi agnostic atau ateis. We can be good without God, demikianlah moto baru yang mereka “beli” dengan bangga dari luar negeri.

Kesimpulan akhir: ateisme adalah ancaman nyata di Indonesia. Tugas gereja, para teolog bahkan semua orang Kristen yang serius terhadap imannya adalah mempelajari argumen-argumen terbaik mereka serta menyiapkan apologetika yang memadai untuk menghadapinya.

Sayangnya, banyak gereja di kota besar (yang lebih berpotensi terkena virus ateisme) terkadang tidak mampu melihat jauh ke depan dan masih berpikir bahwa “ateisme adalah problem di Barat namun bukan di Indonesia”. Pemikiran seperti ini jelas salah dengan mengingat bahwa Eropa pun dahulu didominasi oleh Kekristenan namun saat ini tengah menyaksikan kemerosotan dominasinya secara drastis. Anti supranaturalisme sepertinya belum banyak di Indonesia. Benar sekali! Tetapi jelaslah bahwa ateisme sedang menggerogoti anggota gereja dan masyarakat Indonesia dan celakanya tidak banyak yang melihatnya.

Terakhir, ijinkan saya memberikan rekomendasi bagi orang Kristen. Pertama, bacalah buku-buku apologetika Kristen tentang ateisme. Salah satu yang terbaik adalah karya Norman L.Geisler dan Frank Turek berjudul, “I don't have Enough Faith to be an Atheist” Buku ini adalah salah satu buku populer (bukan akademik) terbaik untuk menghadapi ateisme. Atau, anda dapat pula mengakses debat terbuka antara William Lane Craig dengan para ateis top dunia di http://www.reasonablefaith.org/ atau ketik saja namanya di Youtube.

Gereja perlu memberikan pembinaan apologetika kepada jemaatnya. Mereka yang berpikir bahwa jemaat tidak akan tertarik mungkin sedang terkena delusi (meminjam istilah Dawkins). Khususnya di kota besar, penulis menyaksikan ketertarikan jemaat terhadap apologetika berkembang pesat dan itu berarti pelayanan apologetika semakin dibutuhkan.

Sebagai penutup, ijinkan kutipan-kutipan di bawah ini menggelitik pemikiran kita dan mengetahui apa yang menjadi keprihatinan para ateis:

“Who says I am not under the special protection of God?”
Adolf Hitler

“Nazism, indeed, was very much at home in a long tradition of Christian Anti-Judaism”
Hector Avalos

“The philosopher has never killed any priests, whereas the priest has killed a great many philosophers.”
Denis Diderot

“The sacred truth of science is that there are no sacred truths.”
Carl Sagan

“I was born an Atheist. All humans are born Atheists. No baby born into the world arrives with specific religious beliefs or knowledged...I have thus been an Atheist all my life. I am a natural Atheist.”
David Eller

“I am against religion because it teaches us to be satisfied with not understanding the world”
Richard Dawkins

“The universe we observe has precisely the properties we should expect if there is, at bottom, no design, no purpose, no evil and no good, nothing but blind pitiless indifference.”
Richard Dawkins

Catatan: Buku Richard Dawkins, River Out of Eden: A Darwinian View of Life (1995) sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.





Sumber: note penulis di FB.



Profil Penulis:
Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div. adalah Kepala Pusat Kerohanian (Pusroh) dan dosen Filsafat Agama dan Christian Worldview di Universitas Kristen Petra, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Ekonomi (S.E.) di UK Petra, Surabaya dan Master of Divinity (M.Div.) di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang. Beliau mendapat sertifikat dari Ravi Zacharias International Ministry, Academy of Apologetics, India. Saat ini beliau sedang menyelesaikan studi Master of Theology (M.Th.) bidang Theologi Sistematika di Talbot School of Theology, Biola University, U.S.A.



Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio

Bagian 1: Kekristenan dan Atheisme di Indonesia (Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div.)

KEKRISTENAN DAN ATHEISME DI INDONESIA

oleh: Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div.



Suatu kali penulis terlibat diskusi mengenai signifikansi dari pencantuman nama agama dalam KTP di Indonesia. Apakah nama agama masih perlu dicantumkan dalam KTP? Apa sebenarnya signifikansinya? Diskusi tersebut berlangsung dalam sebuah pertemuan kelompok di antara para undangan acara Konferensi Gereja dan Masyarakat VIII yang diselenggarakan oleh PGI di Cipayung, Jawa Barat, pada tahun 2008. Dalam acara tersebut, penulis bertanya pula “bagaimana dengan saudara-saudara kita yang ateis?" Sudah bukan rahasia lagi bahwa para ateis di Indonesia seringkali “harus” mencantumkan nama “Buddha” atau "Kristen" atau agama lain untuk menutupi identitas asli mereka.

Bagi penulis sendiri, tidaklah sulit untuk mengingat contoh-contoh kasus ateis yang ber-KTP Kristen atau Buddha karena beberapa dari keluarga besar penulis sendiri termasuk di dalamnya. Ini dikuatkan lagi dengan para mahasiswa yang penulis layani. Sebagian diantara para mahasiswa tersebut bersedia mengaku diri sebagai ateis dalam paper yang mereka kumpulkan kepada penulis namun biasanya masih memiliki KTP yang memuat nama agama tertentu. Jadi, di tengah masyarakat yang katanya "religius" seperti Indonesia, tidak ada keraguan sedikitpun bahwa membahas tentang ateisme itu relevan. Mengapa karena mereka eksis. Berapa banyak? Kita sama-sama tidak tahu!

Nah sampai disini mungkin ada yang berpikir, jika para ateis memang ada di sekitar kita, “Mengapa banyak orang Kristen dan pendeta tidak pernah bertemu dengan orang-orang itu di Indonesia?” Tentu saja ada banyak alasan yang dapat menjelaskan hal ini.

Pertama, mungkin karena banyak orang Kristen tidak suka “keluar” dari rumah gereja mereka dan bertemu dengan para “free thinker” yang di luar sana. Kata “keluar” bisa berarti mengunjungi website-website ateis yang tinggal Anda ketik di google search maupun secara literal berarti keluar dari gereja dan bertemu dengan seorang ateis secara fisik. Banyak orang Kristen menjadikan gereja sebagi club "dari, oleh dan untuk kita" sehingga tidak bersentuhan dengan orang tak percaya.

Kedua, untuk para pelayan Tuhan yang konteks pelayanannya di sekitar gereja dan jarang penginjilan, ya tentu saja mereka akan semakin jarang bertemu dengan ateis. Bagaimana tidak, hampir seluruh waktu sudah tersedot untuk acara-acara gerejawi. Jadi tentu wajar jika tidak pernah berjumpa dengan ateis. Untuk alasan yang kedua ini sebenarnya masih belum mutlak pula. Mengapa? Sebenarnya tidak satu dua kali penulis bertemu dengan orang yang ke gereja tetapi pemikirannnya condong atau memang ateis. Herannya mereka masih ke gereja karena banyak alasan seperti mencari maupun menemani pacar atau sekedar ikut teman dan orang tua.

Nah mengapa banyak pelayan Tuhan di gereja yang tidak mengetahuinya? Tampaknya para ateis ini, masih malu-malu atau malas untuk membuka dirinya. Malu-malu karena ketahuan sebagai seorang ateis di Indonesia masih belum keren (lain ceritanya dengan di Eropa). Kedua, malas karena mereka juga tahu bahwa mayoritas pelayan Tuhan paling-paling cuma bisa beretorika tentang "dosa, pengampunan dan kasih Tuhan". Di mata para ateis, terlalu banyak pelayan Tuhan yang tidak cukup mampu dan mau berdiskusi tentang isu-isu yang menjadi hambatan intelektual kaum ateis. Sedikit saja yang siap berdiskusi dengan mereka. Malas deh diskusi sama kamu...begitu kata sebagian ateis dalam hati.

Oleh karena itu jika anda bertemu dengan ateis yang sudah lama rindu berdiskusi dengan orang Kristen yang siap "diajak bicara" maka diskusinya bisa memakan waktu yang lama, lebih lama daripada pertandingan sepak bola. Mereka seperti orang yang sudah sekian lama membutuhkan konseling karena problem-problem yang mereka hadapi namun kebanyakan orang di gereja hanya bisa mendoakan mereka. Seketika mereka menemukan konselor yang matang, mereka langsung mencurahkan semua pergulatan emosional mereka, "tumplek blek" begitu kata orang Jawa. Begitu pula dengan ateis, mereka biasanya langsung mengeluarkan semua "unek-unek" mereka tentang kekristenan ketika menemukan partner diskusi yang pas dan siap diajak berdiskusi tentang topik-topik yang "agak tabu" dalam Kekristenan.

Unek-unek tentang kekristenan yang digumulkan para ateis itu bisa sangat variatif dari A sampai Z. Mulai dari Alkitab yang dianggap mencerminkan budaya pro pria (patriarkal) dan diskriminatif terhadap kaum wanita, kisah penciptaan Alkitab khususnya young earth creationism yang dianggap tidak cocok dengan perkembangan astronomi dan arkeologi, arogansi klaim Yesus bahwa Dialah satu-satunya jalan kepada Bapa, budaya barbar dari orang Yahudi ketika membinasakan suku-suku lain di sekitar Kanaan, inkonsistensi antara praktek poligami di PL dan penekanan monogami di PB, sifat tidak ilmiah dari Alkitab ketika berbicara tentang adanya terang di penciptaan hari pertama sedangkan matahari baru tercipta di hari ke-empat, kebodohan ide bahwa matahari bisa berhenti, dan tidak tersedianya bukti masa kini bahwa orang Kristen yang minum racun tidak akan mati seperti dalam Markus 16:17-18, dll.

Menuliskan hal ini mengingatkan penulis pada Dan Barker (1949- ), seorang mantan pengkotbah Injili yang berubah menjadi ateis ketika menyindir orang Kristen dengan kalimat: "kamu percaya kepada sebuah buku yang mengajarkan binatang-binatang yang bisa berbicara, penyihir-penyihir pria, penyihir-penyihir wanita, setan-setan, tongkat-tongkat yang berubah menjadi ular-ular, makanan yang turun dari langit, orang yang berjalan di atas air, dan semua jenis cerita-cerita magis yang sia-sia dan primitif, dan kamu berkata bahwa kami adalah orang-orang yang perlu bantuan? Bagi Dan Barker, terlalu banyak yang tidak rasional dari Alkitab dan kekristenan. Ateis tidak butuh bantuan orang Kristen, sebaliknyalah yang benar.

Tuduhan lain dari para ateis adalah bahwa, orang-orang beragama, termasuk Kristen tentunya, tidak suka diajak berdiskusi atau debat tentang isu-isu ini. Celakanya lagi sebagian orang Kristen memiliki mentalitas "dogmatis" yang tidak suka diskusi apapun. Ya, mungkin karena takut kalah dan goncang kali...begitu gumam para ateis. Karena itu kutipan di bawah ini adalah contoh bagaimana para ateis menyindir orang beragama dan orang Kristen khususnya.

Kutipan dari Anonymous yang telah menulis di T-Shirt dan slogan-slogan sticker
“filsafat adalah pertanyaan-pertanyaan yang mungkin tidak pernah terjawab. Agama adalah jawaban-jawaban yang tidak boleh dipertanyakan”
“Moralitas adalah melakukan sesuatu yang benar terlepas dari semua yang telah diajarkan kepada Anda. Agama adalah melakukan apa yang telah diajarkan kepada Anda terlepas dari pada yang benar.”
“Kristen: ‘Aku akan berdoa untukmu' Ateis: ‘Jika begitu, aku akan berpikir untuk kita berdua.’”

Benarkah sindiran-sindiran ateis di atas? Kita semua harus menjawabnya...atau mendoakan dan mengasihinya saja?



Sumber: note penulis di FB.



Profil Penulis:
Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div. adalah Kepala Pusat Kerohanian (Pusroh) dan dosen Filsafat Agama dan Christian Worldview di Universitas Kristen Petra, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Ekonomi (S.E.) di UK Petra, Surabaya dan Master of Divinity (M.Div.) di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang. Beliau mendapat sertifikat dari Ravi Zacharias International Ministry, Academy of Apologetics, India. Saat ini beliau sedang menyelesaikan studi Master of Theology (M.Th.) bidang Theologi Historika di Biola University, U.S.A.



Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio

APA ITU BAIK?: Iman Kristen dan Konsep Kebaikan Sejati (Denny Teguh Sutandio)

APA ITU BAIK?
(Iman Kristen dan Konsep Kebaikan Sejati)


oleh: Denny Teguh Sutandio



“Allah melihat bahwa semuanya itu baik... ...Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik.”
(Kej. 1:25, 31a)

“Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminyapun memakannya.”
(Kej. 3:6)

“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”
(Rm. 12:2)




Seorang cewek mengatakan kepada temannya tentang cowoknya, “Dia itu baik lho.” Semua manusia pasti mendengar dan mengetahui kata baik dan bahkan menggunakannya. Namun benarkah manusia yang mengucapkan kata baik benar-benar mengerti makna aslinya? Fakta membuktikan bahwa TIDAK semua manusia mengerti apa itu baik. Oleh karena itu, mari kita menelusuri apa itu baik dari Alkitab. Kita akan membaginya menjadi 3 bagian: definisi asli baik dari Allah, kemudian definisi manusia berdosa tentang apa itu baik, dan penebusan Kristus membuat kita mengerti makna asli baik sesuai Alkitab.

Pada awal penciptaan, Allah sudah mengeluarkan kata BAIK. Perhatikan. Di dalam Kejadian 1, setelah menciptakan alam semesta (sebelum manusia diciptakan), Allah melihat dan mengatakan bahwa apa yang telah diciptakan-Nya itu baik (Ibrani: ‎tob; baca: tov), lalu setelah manusia dicipta, Ia mengatakan: “sungguh amat baik.” Dari sini, kita mendapatkan pengertian bahwa kebaikan sejati bersumber dari Allah yang mengatakan itu BAIK. Kebaikan di luar Allah bukanlah kebaikan sejati. Bahkan dalam Kejadian 2:18, Tuhan sendiri berfirman bahwa tidak baik (kata baik di sini dalam bahasa Ibraninya juga sama dengan di Kej. 1:25, 31a) kalau manusia itu sendirian, maka Ia menciptakan Hawa. Di dalam doanya, Daud berkata, “Sebab Engkau, ya Tuhan, baik dan suka mengampuni dan berlimpah kasih setia bagi semua orang yang berseru kepada-Mu.” (Mzm. 86:5; bdk. 106:1; 107:1; 118:1, 29) Di sini, Daud mengaitkan kebaikan Allah dengan pengampunan dan kasih setia-Nya. Selain itu kebaikan Tuhan juga dikaitkan dengan kesetiaan-Nya yang tak pernah habis (Mzm. 100:5) Bahkan di dalam Mazmur 119:68, pemazmur berkata, “Engkau baik dan berbuat baik; ajarkanlah ketetapan-ketetapan-Mu kepadaku.” Di ayat ini, pemazmur langsung mengaitkan pribadi Allah yang baik dengan perbuatan-Nya yang baik. Berarti pribadi dan tindakan Allah TIDAK bisa dipisahkan. Pribadi dan tindakan-Nya yang baik mengakibatkan dengan rendah hati pemazmur ingin agar Tuhan mengajar ketetapan-ketetapan-Nya kepada si pemazmur. Orang yang cinta Tuhan ditandai bukan karena ia tahu dan menyanyi bahwa Allah itu baik, tetapi ditandai dengan suatu sikap yang rendah hati menginginkan agar perintah-perintah-Nya mengajarnya sehingga ia makin hidup baik sesuai standar Allah yang adalah Kebaikan sejati. Bahkan dengan berani, di beberapa ayat selanjutnya, pemazmur berkata, “Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu.” (ay. 71) Penderitaan bagi pemazmur bukan sesuatu yang buruk, namun sesuatu yang baik. Mengapa? Karena di dalam penindasan tersebut, pemazmur belajar ketetapan-ketetapan Allah. Penderitaan yang diizinkan Tuhan membuat umat-Nya sadar bahwa diri mereka terbatas sambil mengoreksi kerohanian mereka seberapa dekat dan bergantungnya mereka kepada Allah. Penderitaan mengingatkan si pemazmur bahwa, “Taurat yang Kausampaikan adalah baik bagiku, lebih dari pada ribuan keping emas dan perak.” (ay. 72)

Semua kata baik dalam semua ayat dalam Perjanjian Lama yang saya kutip di atas bahasa Ibrani yang dipakai semuanya sama, yaitu tob (baca: tov; b dibaca v) yang artinya baik. Dari survei singkat dari Perjanjian Lama, kita diingatkan bahwa kebaikan sejati bersumber dari Allah dan firman-Nya. Sehingga ketika kita ingin mengerti dan mengatakan baik, referensikan kebaikan itu berdasarkan standar Allah dan firman-Nya.

Namun, bagaimana dengan reaksi manusia yang sudah diajar tentang kebaikan sejati dari Allah? Manusia berdosa jelas tidak menginginkan Allah yang baik itu mengajar mereka. Manusia justru menyukai apa yang tidak Allah sukai dengan menciptakan sendiri pengertian-pengertian yang berbeda total dari pengertian dari Allah. Kebaikan yang seharusnya direferensikan kepada Allah dan firman-Nya diganti, diubah, dan dibuat versi sendiri. Kecenderungan berdosa ini sudah dimulai dari nenek moyang mereka, yaitu Hawa, “Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian.” (Kej. 3:6) Bahasa Ibrani untuk kata “baik” yang dipakai di ayat ini juga sama dengan yang dipakai dalam Kejadian 1:25, 31a, dll. Ini membuktikan bahwa baik sejati sudah dipelintir artinya oleh manusia, lalu diganti artinya menjadi sesuatu yang menyenangkan dan menguntungkan diri: enak, sedap, dan menarik karena memberi pengertian. Karena nenek moyang manusia berdosa sudah memiliki konsep baik yang identik dengan memuaskan nafsu sendiri, maka tidak heran keturunannya juga memiliki konsep baik yang sama parahnya.

Tidak heran, di zaman sekarang, kita mendapati kata baik sangat banyak digunakan, namun artinya begitu rendah karena berorientasi pada kepentingan diri sendiri. Dari agama, kebudayaan, sampai dunia anak muda, kata baik dipakai menunjuk pada apa yang menyenangkan diri. Di bidang agama (di luar Kristen), manusia diajar untuk berbuat “baik”. Apa tujuannya? Supaya masuk sorga/nirvana. Motivasi dan tujuan dasar berbuat baik sudah salah, yaitu untuk kepentingan diri. Seorang filsuf Yunani berkata bahwa kebajikan sejati adalah kebajikan yang dilakukan demi kebajikan itu sendiri (sommum bonnum). Sekarang pertanyaannya, jika ternyata ia tidak masuk sorga/nirvana, apakah ia akan berbuat baik? Jika ia tetap berbuat baik, itu bagus, namun jika ia enggan berbuat baik, berarti dia berbuat baik demi iming-iming kesenangan diri. Lebih tajam lagi, apa yang disebut berbuat baik supaya masuk sorga/nirvana? Apa standar perbuatan baik? Apakah baik menurut suku A sama dengan suku B? Jika sama, apa yang menyatukannya? Jika berbeda, mengapa berbeda, lalu standar kebaikan itu apa? Bagi penganut atheis dan relativis, moralitas itu netral dan relatif, tidak ada standar kebaikan dan kejahatan. Kalau mereka berkata demikian, coba perlakukan mereka secara tidak baik misalnya dengan memberi nilai F pada waktu ujian atau memecat mereka dengan tidak hormat, kira-kira apa reaksi mereka? Biasanya mereka marah. Mengapa? Karena mereka merasa mereka tidak mendapat perlakuan yang baik. Dengan kata lain, mereka melawan diri dan konsep mereka sendiri. Kalau mau konsisten, para penganut atheis dan relativis moral tidak boleh mengomel kalau mereka diperlakukan tidak adil, karena bagi mereka, moralitas dan kebaikan itu relatif dan tidak ada standarnya. Ya, namanya manusia berdosa apalagi yang melawan Allah dan firman-Nya pasti berkontradiksi dengan dirinya sendiri, namun sambil tetap membanggakan diri hebat.

Dalam kebudayaan pun, konsep kebaikan dikaitkan dengan kepentingan manusia. Tanyalah kepada kebudayaan Tionghoa, siapa orang baik itu? Mereka kebanyakan mengaitkannya dengan orang yang taat pada atasan (orangtua, guru/dosen, dll). Tentu itu tidak salah, namun pengertiannya masih sederhana dan kurang tajam. Mengapa? Karena kebudayaan Tionghoa tidak mengenal Allah yang berpribadi. Mereka hanya percaya pada langit (dian), sedangkan yang lain percaya pada hukum alam yang mati. Konsep langit (dian) merupakan konsep samar-samar yang tak berpribadi sehingga tidak bisa dijadikan standar kebaikan. Selain Tionghoa, kebaikan dalam berbagai suku itu berbeda. Bagi suku A, membunuh itu berdosa, namun bagi suku B membunuh itu legal dan bahkan dianggap berjasa. Variasi standar kebaikan ini membuktikan bahwa dosa mengakibatkan kebaikan sejati mengalami penyimpangan.

Bagaimana dengan dunia anak muda? SAMA. Di zaman postmodern ini, banyak anak muda terlalu mudah menilai seseorang itu baik hanya dari penampilan luar. Biasanya (TIDAK selalu) yang paling cepat menilai seseorang itu baik adalah keturunan Hawa (bdk. Kej. 3:6). Banyak cewek hari ini dengan sigap/bangga mengatakan bahwa teman atau cowoknya itu baik, alasannya karena teman atau cowoknya itu mengantarkan dan menjemput dia atau membeli dan memberikan dia permen atau makanan. Atau mungkin cewek menilai cowok itu baik karena si cowok selalu memenuhi keinginan si cewek. Namun ketika si cowok tidak memenuhi kemauan si cewek apalagi menegur kesalahan si cewek, si cowok langsung dicap tidak baik alias jahat.

Dosa mengakibatkan manusia buta akan kebaikan sejati. Tetapi puji Tuhan, Allah yang mencipta kita dan mengizinkan adanya dosa TIDAK membiarkan umat-Nya putus asa. Dengan kasih, Ia mengutus Putra-Nya yang Tunggal, Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dosa-dosa umat-Nya. Allah menyatakan kembali arti kebaikan sejati melalui pribadi dan karya Kristus. Perhatikanlah bagaimana Perjanjian Baru mengajar kita tentang kebaikan sejati yang lebih diperjelas dan dipertajam oleh Kristus dan para rasul-Nya.

Ketika seorang muda datang kepada Kristus dan bertanya perbuatan baik apa yang harus dilakukannya untuk memperoleh hidup yang kekal, Ia menjawab, “Apakah sebabnya engkau bertanya kepada-Ku tentang apa yang baik? Hanya Satu yang baik. Tetapi jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah.” (Mat. 19:17) Terjemahan Indonesia tepat. Beberapa terjemahan Alkitab bahasa Inggris kurang tepat, seperti King James Version menerjemahkannya, “Why callest thou me good? there is none good but one, that is, God: but if thou wilt enter into life, keep the commandments.” (=Mengapa kamu memanggil Aku baik? Tidak ada yang baik kecuali Satu, yaitu Allah; tetapi jika kamu ingin masuk ke dalam hidup, peliharalah perintah Allah.) New International Version (NIV) lebih tepat menerjemahkannya, “"Why do you ask me about what is good?" Jesus replied. "There is only One who is good. If you want to enter life, obey the commandments.” (= “Mengapa kamu menanyakan kepada-Ku tentang apa itu baik?” Yesus menjawab. “Hanya ada Satu yang baik. Jika kamu ingin masuk ke dalam hidup, taatilah perintah-perintah Allah.””) Jawaban Kristus di Matius ini agak sedikit berbeda dengan teks di Lukas dan Markus. Di Markus 10:18 dan Lukas 18:19, Kristus menjawab, “Mengapa kaukatakan Aku baik? Tak seorangpun yang baik selain dari pada Allah saja.” Dalam teks Yunaninya, kata “baik” pada kalimat kedua (“Tak seorangpun yang baik selain daripada Allah saja.”) sama antara Matius, Markus, dan Lukas yaitu agathos yang merupakan kata sifat dan nominatif (berfungsi sebagai subjek kalimat). Sedangkan pada kalimat pertama, kata Yunaninya berbeda antara Matius 19:17 dan Lukas 18:19 (= Markus 10:18). Di Matius 19:17, kata “baik” dalam teks Yunaninya agathou berbentuk kata sifat dan genitif (berfungsi sebagai kepemilikan), sedangkan dalam Markus 10:18 (= Lukas 18:19), kata Yunaninya adalah agathon berbentuk kata sifat dan akusatif (berfungsi sebagai objek langsung). Meskipun berbeda, namun intinya tetap sama, yaitu melalui cerita ini, Tuhan Yesus mau mengajar pemuda ini bahwa hanya Allah yang baik, taatilah perintah-perintah-Nya (Dia mengkhususkan titah keenam s/d kesembilan: Mat. 19:18b-19; Luk. 19:20), dan perintah-perintah-Nya itu sebenarnya mengarahkan orang untuk mengikut Kristus (Mat. 19:21; Luk. 19:22). Dengan kata lain, Ia mengidentikkan diri-Nya sebagai Allah di mana firman Kristus harus ditaati. Lebih dipertajam lagi, bagi Kristus, kebaikan sejati bersumber dari Dia sendiri dan firman-Nya.

Ia juga mengklaim diri-Nya sendiri baik, lebih tepatnya gembala yang baik. Di dalam Yohanes 10:11, “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya;” Kata Yunani untuk baik di dalam ayat ini adalah kalos yang berarti baik dalam pengertian moral, kualitas, dll (Hasan Sutanto, Konkordansi Perjanjian Baru, hlm. 424) Kebaikan Kristus sebagai seorang Gembala ditunjukkan dengan memberikan nyawa bagi domba-dombanya. Sedangkan seorang upahan membiarkan domba-domba yang digembalakannya itu tercerai berai (ay. 12). Pengorbanan yang Kristus wujudkan merupakan Kebaikan sejati yang tidak bisa ditiru oleh dunia dan ini juga menjadi teladan bagi kita sebagai umat-Nya agar meneladani-Nya dengan hidup setiap hari menyangkal diri dan memikul salib demi mengasihi-Nya.

Setelah menunjukkan bahwa Kristus adalah Kebaikan sejati, maka apa yang harus orang Kristen lakukan?
Pertama, mencari kehendak dari Kebaikan sejati. Karena telah mengenal Kristus adalah Kebaikan sejati, maka umat Tuhan harus belajar dari-Nya dan mencari kehendak-Nya. Kehendak Allah selain baik, juga menyenangkan Allah (berkenan kepada Allah) dan sempurna (Rm. 12:2) Di sini, kita melihat kaitan erat antara baik, menyenangkan Allah, dan sempurna. Kekristenan yang sehat BUKAN hanya terus menekankan kehendak Allah yang selalu baik, namun juga menekankan pentingnya kehendak Allah yang menyenangkan-Nya dan terutama sempurna. Penekanan yang menyeluruh tentang kehendak Allah ini mengakibatkan kita makin bersukacita di dalam mencari kehendak-Nya seraya takut dan gentar.

Kedua, rela menderita demi kehendak dari Kebaikan sejati. Seorang yang terus-menerus rindu mencari kehendak-Nya pasti juga seorang yang siap menerima resiko apa pun demi mencari dan menggenapkan kehendak-Nya. Ia akan siap menderita demi kehendak-Nya. Rasul Petrus mengingatkan kita, “Sebab lebih baik menderita karena berbuat baik, jika hal itu dikehendaki Allah, dari pada menderita karena berbuat jahat.” (1Ptr. 3:17) Konteksnya jelas, Petrus ingin menghibur mereka yang sedang menderita karena imannya kepada Kristus. Mengapa harus ada harga yang harus dibayar? Karena kita mencari dan menggenapkan kehendak Allah yang agung yang BERBEDA dari apa yang dunia kehendaki. Kehendak Allah selalu agung, mulia, kudus, benar, baik, dan sempurna sedangkan kehendak dunia selalu sampah, berdosa, jorok, jahat, salah, dan menjijikkan.

Ketiga, berbuah baik. Ketika kita menderita demi kehendak Allah, apakah berarti kita pasif? TIDAK. Kita juga dituntut aktif untuk mencari dan juga menggenapkan kehendak Allah. Caranya? Dengan BERBUAH. Kristus menjelaskan bahwa kebaikan itu juga harus berbuah. Di dalam Matius 7:17, Ia berfirman, “Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, …” Dalam teks Yunaninya, kedua kata baik di ayat ini menggunakan kata yang berbeda. Kata “baik” pertama (yang dikenakan pada pohon) dalam teks Yunaninya adalah agathon yang berarti baik, sedangkan kata “baik” kedua (yang dikenakan pada buah) dalam teks Yunaninya adalah kalous yang berasal dari kata kalos yang berarti baik dalam pengertian moral, kualitas, dll (ibid., hlm. 424). Konteks ayat ini berbicara tentang penghakiman. Sehingga menurut konteksnya, pohon di sini menunjuk kepada hubungan orang Kristen dengan Tuhan. Pohon yang baik berarti orang Kristen sejati yang mengenal Tuhan dengan benar dan intim, sehingga ia akan menghasilkan buah yang baik, sedangkan pohon yang tidak baik adalah orang “Kristen” yang seolah-olah mengenal Tuhan, sebenarnya TIDAK, akibatnya buah yang dihasilkannya pun jelas tidak baik. Pohon inilah yang dikatakan Kristus akan ditebang dan dibuang ke dalam api (ay. 19) Dengan kata lain, orang Kristen sejati yang benar-benar mengenal kebaikan yang daripada Tuhan akan menghasilkan buah yang baik, yaitu: hati, pikiran, dan tingkah laku yang baik yang bersumber dari Tuhan. Sedangkan mereka yang pura-pura mengenal Tuhan, namun sejatinya tidak, akan menghasilkan buah yang tidak baik. Tentu buah yang dihasilkan oleh pohon yang baik ini tidak langsung dan instan, tetapi dalam sebuah proses. Untuk itulah diperlukan pimpinan Roh Kudus secara terus-menerus untuk menguduskan orang Kristen sejati supaya dapat menghasilkan buah yang baik yang memuliakan Tuhan.

Lebih tajam lagi, Rasul Paulus mengajar Titus, “…mereka yang sudah percaya kepada Allah sungguh-sungguh berusaha melakukan pekerjaan yang baik. Itulah yang baik dan berguna bagi manusia.” (Tit. 3:8) Kata Yunani untuk kata baik yang pertama dalam teks ini adalah kalon. Di sini, Paulus ingin menajamkan lagi, bahwa orang yang sungguh-sungguh SUDAH percaya kepada Allah tentu sungguh-sungguh berusaha melakukan pekerjaan yang baik. Berarti, iman kepada Allah mengakibatkan suatu perbuatan yang memuliakan Allah. Biarlah ini menjadi teori yang ada di kepala kita, tetapi berusaha kita aplikasikan dengan pertolongan Roh Kudus.

Keempat, siap ditegur oleh Kebaikan sejati. Di dalam kita berproses untuk menghasilkan buah, tentu ada hal-hal yang salah yang kita lakukan. Nah, saat itulah, Kebaikan sejati, yaitu Allah datang untuk menegur kita ketika kita bersalah. Allah yang adalah Kebaikan sejati dan Kasih juga adalah Allah yang menginginkan kita bertobat. Kristus sendiri berkata di dalam pewahyuan-Nya kepada Rasul Yohanes di Wahyu 3:19, “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!” Di sini berarti Allah juga dengan kasih menegur dan mendisiplin kita dengan menghajar kita supaya kita mengetahui apa yang salah dan segera bertobat. Jika Allah tidak mendisiplin kita dengan menghajar kita, maka itu berarti Allah tidak menganggap kita sebagai anak-anak-Nya (Ibr. 12:7). Oleh karena itu, sikap kita seharusnya adalah: bersyukur, merelakan hati kita, dan segera bertobat ketika Allah masih memukul kita ketika kita bersalah, karena itu bukti kasih-Nya kepada kita. Di sini, kita belajar poin tentang kebaikan, yaitu baik bukan apa yang menyenangkan/memuaskan/memanjakan kita, tetapi juga apa yang seolah-olah tidak menyenangkan kita, yaitu menegur dan mendisiplin kita, tetapi percayalah, meskipun seolah-olah tidak menyenangkan, hasil akhirnya pasti berfaedah bagi kita. Kedewasaan seseorang diukur dari seberapa dia rendah hati mau ditegur dan diajar oleh Tuhan dan firman-Nya. Oleh karena itu, bersyukurlah jika Tuhan memakai saudara seiman kita untuk menegur kita, itu bukan tanda bahwa saudara seiman kita dan Tuhan itu jahat, namun itu merupakan sikap baik yang harus kita syukuri.

Bagaimana dengan kita? Tatkala dunia kita dengan sembarangan mengajar dan mengatakan “baik”, bagaimana sikap orang Kristen seharusnya? Meniru dunia? TIDAK. Orang Kristen sejati harus kembali kepada apa yang Alkitab ajarkan tentang apa itu baik yang dikaitkan dengan kehendak Allah yang Mahakudus dan Mahaadil. Biarlah Kebaikan sejati di dalam Kristus Yesus boleh kita kenal dengan sungguh-sungguh dan kita pun dipakai-Nya untuk menyalurkan Kebaikan sejati itu kepada banyak orang melalui Kabar Baik (Injil). Amin. Soli Deo Gloria.

12 January 2011

Resensi Buku-110: MEMERANGI KETIDAKPERCAYAAN (Rev. John Stephen Piper, D.Theol.)

...Dapatkan segera...
Buku
BATTLING UNBELIEF (MEMERANGI KETIDAKPERCAYAAN):
Mengalahkan Dosa Dengan Kuasa Anugerah


oleh: Rev. John Stephen Piper, D.Theol.

Penerbit: Pionir Jaya, 2010

Penerjemah: Grace P. Christian.





Deskripsi dari Denny Teguh Sutandio:
Iman Kristen adalah iman yang berpusat kepada Kristus. Namun perjalanan iman Kristen bukanlah perjalanan yang mudah, tetapi perjalanan iman Kristen adalah sebuah proses yang panjang. Hal ini yang disebut proses pengudusan yang terus-menerus (progressive sanctification). Di dalam proses inilah, Rev. Dr. John S. Piper di dalam bukunya Memerangi Ketidakpercayaan mengajarkan bahwa kita perlu untuk memiliki iman yang mempercayai anugerah di masa depan. Artinya kita beriman pada karya Allah di masa dahulu yang telah memilih dan menebus kita melalui Kristus dan juga kita beriman pada janji-janji Allah yang menguatkan kita. Iman inilah yang membuat kita bisa memerangi segala ketidakpercayaan kepada Allah. Ketidakpercayaan kepada Allah itu dapat berbentuk: kekhawatiran, kecongkakan, rasa malu, ketidaksabaran, mengingini, kepahitan, kegalauan, dan hawa nafsu. Semua itu membuat kita makin tidak percaya kepada Allah. Nah, di dalam proses pengudusan terus-menerus inilah, kita dituntut untuk memerangi semua bentuk ketidakpercayaan itu dengan senjata iman yang mempercayai anugerah di masa depan.





Profil Rev. Dr. John S. Piper:
Rev. John Stephen Piper, B.A., B.D., D.Theol. adalah Pendeta Senior di Bethlehem Baptist Church dan seorang penulis yang sangat produktif dari perspektif Calvinis. Beliau menyelesaikan gelar Bachelor of Arts (B.A.) di Wheaton College, U.S.A.; Bachelor of Divinity (B.D.) di Fuller Theological Seminary di Pasadena, California pada tahun 1968-1971. John menyelesaikan studi doktoralnya (D.Theol.) di dalam bidang Perjanjian Baru di University of Munich, Munich, Jerman Barat pada tahun 1971-1974). Disertasinya, Love Your Enemies, diterbitkan oleh Cambridge University Press dan Baker Book House.