05 January 2011

EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:26-27 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:26-27

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 9:26-27


Kata sambung “sebab itu” (toinyn) di awal 9:26 menyiratkan bahwa bagian ini merupakan aplikasi atau konsekuensi dari bagian sebelumnya (9:24-25). Dalam kalimat Yunani kata “aku” (egō) muncul dengan penekanan. Kata ini muncul di bagian paling depan. Dari posisi seperti ini terlihat jelas bahwa Paulus sedang menampilkan dirinya sendiri sebagai sebuah contoh. Ia bukan hanya bisa mengajarkan nasehat (9:24-25), tetapi ia juga mampu melakukan apa yang ia nasehatkan. Inilah yang beberapa kali ditandaskan Paulus di pasal 8-10 (8:13; 9:7-18, 19-23; 11:1 “jadilah pengikutku”).

Dengan menampilkan dirinya sebagai teladan Paulus ingin mencapai dua tujuan sekaligus. Sebuah teladan sering kali lebih efektif daripada pesan verbal (lewat kata-kata). Di samping itu, Paulus ingin memberikan pembelaan atas tuduhan jemaat Korintus (9:3). Ketidakmauan Paulus untuk menerima tunjangan dari jemaat (9:7-18) maupun sikap hidup akomodatif yang ia praktekkan (9:19-23) dilakukannya untuk suatu tujuan yang rohani, bukan karena ia tidak layak menerima atau karena ia ingin menyenangkan manusia. Bertolak dari kepentingan inilah, ia sengaja menampilkan dirinya sebagai contoh konkrit tentang sikap hidup yang berfokus pada Injil dan diwarnai oleh penguasaan diri.


Paulus bukan tanpa tujuan (ay. 26)
Di 9:24b Paulus memberikan nasehat “karena itu larilah begitu rupa”. Sekarang ia sendiri mengatakan, “aku berlari sedemikian rupa” (egō houtōs trechō, NASB “therefore I run in such a way”). Ia bukan hanya berlari (9:25a “semua peserta turut berlari”), tetapi berlari begitu rupa, seperti yang ia sudah nasehatkan. Paulus bukan orang yang suka bersantai dalam hal kerohanian dan pelayanan. Hanya saja, ia menambahkan bahwa “bukan tanpa tujuan” (ouk adēlōs, 9:26a). Kata keterangan adēlōs yang hanya muncul sekali dalam Alkitab ini (bentuk kata sifat muncul di 14:8) dipahami secara berbeda oleh penerjemah. Beberapa memilih “tanpa kepastian” (KJV/NKJV/ASV/NET), sementara yang lain memilih “tanpa tujuan” (NASB/RSV/NRSV/NIV/NLT). Terjemahan pertama lebih merujuk pada ketidakadaan keyakinan dalam diri pelari, sedangkan yang kedua mengarah pada ketidakadaan tujuan yang jelas.

Dari dua alternatif ini, yang terakhir tampaknya lebih sesuai dengan konteks. Paulus tidak sedang membicarakan tentang pentingnya kepercayaan diri bagi seorang atlet. Sebaliknya, ia sedang menekankan pentingnya hadiah sebagai tujuan. Kesejajaran dengan metafora selanjutnya tentang petinju yang tidak sembarangan memukul (9:26b) turut mempertegas hal ini. Paulus tidak menyinggung sama sekali tentang kepercayaan diri atau kepastian kemenangan dari seorang petinju.

Untuk mempertegas poin di atas, Paulus sekarang berpindah ke metafora tinju (9:26b). Dua cabang olah raga ini memang cukup populer pada waktu itu. Beberapa penulis kuno juga kadangkala memakainya untuk ilustrasi. Demikian pula dengan Paulus. Paulus bukanlah seorang petinju yang “sembarangan saja memukul” (ouk aera derōn, LAI:TB). Mayoritas versi menerjemahkan frase ini dengan “memukul udara” (KJV/ASV/NASB/NIV/RSV/NRSV/NET). NLT memahami frase ini sebagai rujukan pada “bertinju melawan bayangan” (“shadow-boxing”) yang biasa dilakukan seorang petinju sebelum ia naik ke atas ring. Dua kemunginan ini juga dapat ditemukan dalam tafsiran bapa-bapa gereja awal. Berdasarkan konteks yang menekankan nilai penting “tujuan” dalam berlomba, Paulus sangat mungkin memikirkan yang pertama. Shadow-boxing bukanlah aktivitas yang tanpa tujuan. Ini dilakukan sebagai bagian dari latihan yang harus dijalani oleh petinju. Sebaliknya, seorang petinju di atas ring yang memukul tanpa tujuan yang jelas bukanlah petinju yang baik. Ia hanya menghabiskan waktu dan tenaga untuk sesuatu yang tidak membawa hasil apa pun.

Apa yang disampaikan Paulus di 9:26 mungkin tampak agak mubazir. Semua pelari tentu saja memiliki tujuan atau arah. Paling tidak mereka ingin sampai di garis terakhir. Begitu pula dengan petinju. Mereka pasti mengarahkan pukulan pada titik tertentu di tubuh atau wajah lawan. Tidak mungkin ada pelari atau petinju yang tidak memiliki tujuan! Justru absurditas metafora inilah yang menjadi poin dalam hal ini. Maksudnya, seorang Kristen pasti memiliki tujuan rohani (mahkota kekal, 9:25); jika ada orang yang tidak memiliki hal itu, maka ini merupakan sesuatu yang tidak wajar atau hampir mustahil. Tindakan jemaat Korintus yang tidak mau mengorbankan kebebasannya demi tujuan yang lebih kekal dan mulia jelas merupakan sikap yang sulit diterima oleh akal sehat.


Paulus Menguasai Tubuhnya (9:27)
Bagian ini melanjutkan metafora tinju di 9:26b sekaligus menyinggung ulang topik tentang penguasaan diri di 9:25. Paulus mengatakan bahwa ia melatih (hypōpiazō) tubuhnya. Beberapa penerjemah mencoba menerjemahkan dengan “mendisiplin” (NKJV/ESV). Yang lain memilih “menaklukkan” (NET). Beberapa bahkan melangkah terlalu jauh dengan memilih terjemahan “menghukum” (NJB/NRSV “punish”, YLT “chastise”). Secara hurufiah kata hypōpiazō berarti “memukul” (NIV “beat”, ASV/NASB “buffet”). Dalam konteks bertinju, kata ini secara khusus merujuk pada pukulan yang diarahkan di bawah mata (bdk. kata “hypopion” = bagian di bawah mata”).

Yang mengagetkan, obyek pukulan yang dimaksud Paulus bukanlah tubuh lawan, namun tubuhnya sendiri. Apakah maksud “memukul tubuh” di sini? Apakah Paulus sedang mengajarkan asketisisme, yaitu pola hidup menyiksa tubuh dengan cara menjauhi semua keinginannya (puasa, selibat, kemiskinan, dsb)? Sama sekali tidak! Paulus sebelumnya sudah menunjukkan sikap yang positif terhadap tubuh. Tubuh adalah anggota Kristus (6:15) dan bait Roh Kudus (6:19), sehingga seharusnya dipakai untuk memuliakan Allah (6:20). Frase “memukul tubuh” dipakai Paulus hanya untuk menyiratkan tindakan yang sungguh-sungguh dan usaha yang keras, sama seperti seorang janda yang berjuang keras mencari keadilan dari hakim yang tidak benar (bdk. Luk. 18:5 kata “menyerang” di ayat ini memakai hypōpiazō). Penggunaan frase tersebut pada bagian ini mungkin merujuk pada segala macam kesulitan fisik yang harus ditanggung oleh Paulus dalam pelayanan (4:11-13; 2Kor. 11:23-28), terutama masalah kelaparan (2Kor. 6:5; 11:27).

Tujuan dari ketahanan di atas adalah supaya Paulus dapat “menguasai seluruhnya” (LAI:TB). Penerjemah LAI:TB menambahkan kata “seluruhnya” untuk mengekspresikan ketegasan makna dalam kata doulagōgeō (lit. “memperbudak”, NRSV/NIV/NET). Jadi, kita dituntut untuk menguasai tubuh (9:25) dalam arti menjadikannya sebagai budak (9:27a). Bukan kita yang mengikuti kemauan tubuh, tetapi tubuhlah yang harus mengikuti kemauan kita, termasuk masalah makanan. Kita tidak seharusnya mengumbar kebebasan dan nafsu makan kita sehingga melukai hati nurani orang lain (8:7b, 9, 11-12). Selama kita belum bisa memperbudak tubuh kita sendiri, kita tidak mungkin mampu menjadi hamba bagi semua orang (9:19, 23). Tujuan final dari memukul dan memperbudak tubuh adalah supaya Paulus tidak ditolak setelah ia memberitakan Injil (9:27b). Ada beberapa penekanan dalam ungkapan ini. Kata “tidak” (mē) sengaja diletakkan di depan untuk penekanan. Penggunaan kata autos, yang oleh sebagian besar versi secara tepat diterjemahkan “sendiri”, juga memberikan tambahan penekanan. Kata kēryssō (LAI:TB “memberitakan Injil”) memiliki beragam pemakaian. Kata ini bisa menyiratkan tindakan mengumumkan berita penting dari penguasa, memberitakan kabar baik, atau mewartakan sesuatu. Kēryssō juga bisa menunjuk pada tindakan mengumumkan nama-nama peserta lomba dan peraturan-peraturan dalam perlombaan itu, sehingga sebagian penafsir meyakini bahwa dalam bagian ini Paulus masih melanjutkan metafora seputar dunia olah raga. Walaupun pandangan ini cukup menarik, tetapi sebaiknya ditolak. Kata kēryssō merupakan kata yang biasa dipakai Paulus untuk “memberitakan Injil” (1:23; 15:1, 12). Konteks pasal 9 secara keseluruhan terfokus pada pelayanan pemberitaan Injil yang dilakukan Paulus (9:14, 16, 18, 23). Selain itu, dalam metafora olah raga di 9:24-26b Paulus menekankan pada aspek hadiah dan apa yang harus dilakukan seorang atlet. Ketika mengalikasikan metafora tersebut Paulus pun memposisikan diri sebagai atlet. Ia tidak sedang membahas tentang petugas pengumuman perlombaan. Jadi, kita sebaiknya memandang 9:27b sebagai aplikasi dalam konteks pemberitaan Injil Paulus.

Seandainya Paulus memang sedang menyinggung pemberitaan Injil yang ia lakukan, maka ungkapan di 9:27b pasti menimbulkan kesulitan theologis bagi sebagian orang. Walaupun kita semua mengetahui bahwa tindakan pemberitaan Injil tidak menjamin keselamatan rohani dari pemberitanya, namun “kehilangan keselamatan” yang disiratkan dalam ungkapan Paulus tersebut sulit dipahami. Bagian ini terkesan berkontradiksi dengan doktrin kepastian keselamatan. Terjemahan Alkitab Geneva yang sangat diwarnai oleh theologi Reformed mencoba menghindari kesulitan ini dengan memilih terjemahan “jangan aku sendiri ditegur/dimarahi”. Beberapa theolog Reformed lain cenderung menolak kesan adanya kemungkinan bagi hilangnya keselamatan Paulus.

Untuk menghindari kesulitan di atas, beberapa penafsir mencoba memahami kegagalan yang dikuatirkan Paulus hanya dalam konteks kerasulan atau tugas pemberitaan Injil, bukan keselamatan. Dengan kata lain, Paulus takut bahwa suatu ketika kelak ia didapati tidak cocok atau layak untuk tugas pemberitaan Injil atau ia gagal mendapatkan upah dari usaha pekabaran Injil yang ia lakukan atau ia gagal memenuhi standar yang ia buat sendiri. Argumen yang dipakai biasanya ada tiga: (1) pasal 9 berbicara tentang sikap Paulus dalam memberitakan Injil, bukan kehidupan rohani Paulus; (2) mahkota yang dimaksud dalam metafora di 9:25 bukan kehidupan kekal, tetapi upah di sorga; (3) Paulus sebelumnya pernah mengajarkan kepastian keselamatan pekerja sekalipun ia menderita kerugian dalam pekerjaan tersebut (3:15). Kehilangan seperti apa yang sedang dipikirkan Paulus? Beberapa versi memilih terjemahan yang lebih tegas, misalnya “ditolak” (ASV “be rejected”), “dibuang” (KJV “be a castaway”) atau “didiskualifikasi” (RSV/NRSV/NKJV/ NET/NLT/NJB), tanpa memberi tambahan didskualifikasi dalam hal apa. Kata “ditolak” (adokimos) sendiri memiliki arti umum “tidak memenuhi tuntutan ujian” ini (2Kor. 13:5-7; 2Tim. 3:8), tetapi ujian seperti apa yang dimaksud tetap harus ditentukan dari konteks yang ada. Penerjemah NIV mencoba memperjelas hal ini dengan menambahkan “for the prize” setelah kata “didiskualifikasi”. Tambahan ini menunjukkan bahwa penerjemah NIV tidak memikirkan kemungkinan hilangnya keselamatan.

Jika diselidiki secara cermat, Paulus memang tampaknya sedang membicarakan tentang keselamatan dirinya. Peringatan yang keras kepada jemaat Korintus tentang kebinasaan saudara seiman mereka (8:11) maupun diri mereka sendiri (10:5-11) cukup jelas menunjang keseriusan pernyataan Paulus di 9:27. Di tempat lain Paulus bahkan tidak segan-segan untuk memperingatkan Timotius agar menjaga diri dan ajarannya sehingga ia menyelamatkan dirinya sendiri dan orang lain (1Tim. 4:16). Apakah hal ini berarti bahwa Tuhan tidak berkuasa untuk menjamin keselamatan kita? Sama sekali tidak! Allah tidak akan mencobai melampaui kekuatan kita dan Ia selalu memberikan jalan keluar dalam setiap pencobaan (10:13). Allah pasti menjaga kita. Bagaimanapun, kita harus mengingat bahwa cara Tuhan memastikan keselamatan kita adalah melalui ketaatan kita.

Nah, salah satu cara untuk menghasilkan ketaatan adalah melalui peringatan keras. Nasehat ini diberikan supaya kita tidak menganggap diri kuat, sehingga kita justru akan terjatuh (10:12). Dengan kata lain, Alkitab selalu membicarakan kepastian keselamatan dalam kaitan dengan peringatan keras (5:1-6, 7-8; 6:1-10, 11; 10:1-12, 13). Dua hal ini tidak boleh dipandang sebagai dua musuh bebuyutan. Sebaliknya, keduanya adalah sahabat karib. Maksudnya, salah satu cara Allah menjamin keselamatan kita adalah melalui peringatan yang keras. Peringatan di atas terutama sangat perlu disampaikan kepada jemaat Korintus yang merasa diri sombong karena memiliki hikmat (8:1). Mereka juga memiliki konsep tentang kebebasan Kristiani dan kepastian keselamatan yang keliru, sehingga menganggap apa pun yang mereka lakukan terhadap tubuh mereka tidak akan mempengaruhi kerohanian mereka (6:12-13; 10:23). Orang-orang seperti ini sudah selayaknya diperingatkan dengan keras. Jangan sampai mereka menjadi pemberita kebenaran tetapi hidup mereka justru berkontradiksi dengan ajaran mereka, sama seperti bangsa Yahudi yang menjadi pengajar Taurat tetapi mereka sendiri menjadi pelanggarnya (bdk. Rm. 2:17-24). #


Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 12 September 2010
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/SER-1Korintus%2009%20ayat%2026-27.pdf