14 January 2011

Bagian 3: Prospek Atheisme di Indonesia: Refleksi Bagi Orang Kristen (Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div.)

PROSPEK ATHEISME DI INDONESIA:
Refleksi Bagi Orang Kristen

oleh: Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div.



Setiap semester saya mendapatkan kesempatan untuk menguji seberapa kuat orang Kristen mengakar dalam imannya. Saya mulai bercerita dan bermain peran sebagai ateis tanpa memberitahu murid-murid di kelas yang saya asuh. Dalam waktu kira-kira satu jam saya menggunakan intisari dari pemikiran para ateis klasik seperti Feuerbach, Karl Marx dan Sigmund Freud tentang agama dan Allah.

“Tuhan adalah hasil imajinasi manusia.” “Bukan Tuhan yang menciptakan manusia sesuai gambar-Nya tetapi manusia yang menciptakan Tuhan sesuai aspirasi manusia itu sendiri” (bdk. konsep Feuerbach). “Agama hanyalah produk budaya dan Allah produk akal manusia.” “Allah ada secara sukbyetif dalam pikiran/imajinasi manusia tetapi bukan dalam realita obyektif.” Begitulah kira-kira cara saya memulai pelajaran filsafat agama.

Saya segera menambahkan bahwa kebutuhan akan Tuhan sebenarnya muncul karena ada kesenjangan ekonomi antara kaya dan miskin. Secara khusus, orang yang miskin membutuhkan agama sebagai hiburan. Lagu-lagu tentang sorga diberikan oleh agama untuk menghibur mereka yang miskin di dunia. Dengan demikian, agama dan konsep Allah serta sorga menjadi obat pelipur lara bagi kaum proletar, golongan miskin. Sementara itu bagi orang kaya, agama menjadi ideologi yang memungkinkan mereka untuk mengingatkan si miskin bahwa apa yang terjadi memang harus terjadi. Tuhan telah mentakdirkan nasib miskin dan kaya. Jadi agama memiliki fungsinya masing-masing bagi orang miskin dan kaya.

Secara khusus, bagi orang miskin agama menjadi semacam candu, opium yang memberikan kenikmatan sementara. Coba perhatikan kotbah-kotbah di gereja yang laris…isinya seringkali penghiburan dan penguatan. Orang tidak senang mendengarkan kotbah yang menegur karena pada dasarnya orang ke gereja karena mereka ingin dihibur atau mencari pembenaran. Begitu kurang lebihnya konsep Karl Marx yang saya paparkan dengan kombinasi pengamatan modern.

Selanjutnya, saya menambahkan satu poin lagi tentang proses kelahiran “Bapa Sorgawi.” Saya katakan bahwa ketika kita masih kecil kita suka berlindung pada “papa”. Ketika seorang anak kecil diganggu oleh temannya, ia suka berkata “papa tolongin aku.” Kebenarannya adalah, ketika kita sudah dewasa, kita masih memiliki sifat kanak-kanak itu dalam diri kita. Tetapi tentu papa biologis kita sudah tidak selalu ada bersama kita dan sudah tidak pantas rasanya meminta tolong terus pada papa. Namun demikian, dorongan meminta tolong pada papa itu sebenarnya terus eksis karena di tengah usi kita yang dewasa, sifat kekanak-kanakan dalam diri kita masih terus menetap. Oleh karena itu kita-manusia, dari dulu kala, mulai menciptakan “papa sorgawi” yang kemudian kepadanya kita berseru “bapa sorgawi berilah aku makanan hari ini.”

Itulah sebabnya salah satu tema yang laris di gereja adalah tentang kebaikan Bapa, pertolongan Bapa dan Kasih Bapa. “Bapa Sorgawi ajarku mengerti betapa dalamnya kasihMu...” Juga “Abba, Kupanggil Engkau ya Bapa” dan tentunya “Bapa sentuh hatiku...” Ini semua adalah akibat dari kekanak-kanakan dalam diri kita yang menemukan jalan keluarnya dalam “bapa sorgawi” hasil imajinasi kita sendiri. Bapa sorgawi tidak lain adalah ciptaan manusia dewasa yang masih memiliki sifat kekanak-kanakan dan menginginkan “bapa” terus hadir dalam hidupnya.

“Nah, karena kalian sudah dewasa maka kalian harus siap membuang sifat kekanak-kanakan itu dan sebagai implikasinya harus siap membuang Bapa Sorgawi dalam hidupmu.” ”Siapkah Anda?” Begitulah kira-kira pernyataan dan pertanyaan saya kepada para mahasiswa yang saya ajar. Setelah itu saya biasanya melanjutkan, “berapa banyak di antara Anda yang setuju dengan pemikiran saya?”

Survei membuktikan...sebagian dari 50 mahasiswa yang hadir di kelas mulai mengangkat tangan tanda setuju. Saya ingat suatu kali di sebuah kelas terdapat kira-kira 10 mahasiswa yang mengangkat tangan tanda setuju. Sebagian lagi mulai berpikir saya sesat tetapi tidak ada suara protes. Mereka gelisah namun banyak yang tidak siap berbeda pendapat. Jadi, saya mulai menambah panas suasana dengan berkata, “yang tidak setuju boleh angkat tangan dan memberikan alasannya.”

Biasanya, dari satu kelas yang berisi kira-kira 50 mahasiswa (semuanya mengaku beragama dalam KTP-nya) hanya ada 0-5 orang yang berani angkat tangan dan memberikan kritik terhadap pandangan ateisme yang saya paparkan. Metode seperti ini sudah saya terapkan kepada sedikitnya 15 kelas dengan rata-rata mahasiswa 50/kelas dalam kurun waktu 5 tahun di sebuah universitas yang mahasiswanya kira-kira 90% beragama Kristen dan Katolik dan berasal dari berbagai denominasi gereja dari seluruh indonesia.

Setelah itu, saya bertanya kepada semua yang hadir, “Apakah menurut kalian teori saya tadi menarik?” Hampir selalu semua mahasiswa sepakat “ya.” Bahkan mereka yang tidak setuju pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Pada saat itulah saya tidak heran bahwa Marxisme pernah menjadi ideologi yang menarik kira-kira sepertiga dari penduduk dunia. Di kalangan Kristen pun itu masih menarik sampai saat ini, jika diajarkan. Ateisme klasik saja sudah cukup menarik, apalagi jika dikombinasikan dengan ateisme baru ala Richard Dawkins, Sam Harris dan Daniel Dennet, pasti akan lebih memikat. Terbukti ketika saya memaparkan teori God of the gap dari para ateis baru, makin banyak yang terpikat.

Tentu saja setelah itu, saya segera mengaku bahwa saya hanya berpura-pura menganut paham itu dan sebenarnya saya punya banyak kritik terhadap ateisme. Masih teringat di benak saya kelegaan dari banyak mahasiswa Kristen setelah mengetahui bahwa saya hanya berpura-pura. Terkadang mereka begitu ramai berbicara karena lega dan membahas shock yang mereka alami. Setelah itu, biasanya saya bertanya “Jika Karl Marx mengajar kalian selama satu semester, seberapa besarkah kemungkinan kalian akan mengikuti pandangannya?” Bisanya, lebih dari separuh diantara mahasiswa yang hadir mengangkat tangan dan mengakui bahwa sangat mungkin mereka akan menganut Marxisme!

Mereka baru sadar bahwa mereka tidak siap berinteraksi dengan ide-ide semacam itu. Kekristenan yang menekankan heart perlu diimbangi dengan head. Belajar teologi dan apologetika sangat penting. Jika tidak, tinggal tunggu waktunya mereka bertemu dengan ideologi lain dan kemudian mereka akan terguncang. Jikalaupun mereka tidak terguncang itu bukan karena ideologi lain tidak menarik melainkan karena mereka tidak mau berpikir. Pemalas memang tidak akan terguncang karena mereka lebih sering tertidur:)

Tetapi bagi orang Kristen yang suka berpikir, guncangan akibat benturan wawasan dunia (worldview) Kristen dan ateisme bisa sangat keras, beberapa bahkan telah menyerah. Oleh karena itu, penulis tidak heran ketika menemukan seorang yang sangat aktif pelayanan tetapi setelah studi lanjut di luar negeri (Eropa, Australia, Singapore), pulang kembali ke Indonesia dan menjadi agnostic atau ateis. We can be good without God, demikianlah moto baru yang mereka “beli” dengan bangga dari luar negeri.

Kesimpulan akhir: ateisme adalah ancaman nyata di Indonesia. Tugas gereja, para teolog bahkan semua orang Kristen yang serius terhadap imannya adalah mempelajari argumen-argumen terbaik mereka serta menyiapkan apologetika yang memadai untuk menghadapinya.

Sayangnya, banyak gereja di kota besar (yang lebih berpotensi terkena virus ateisme) terkadang tidak mampu melihat jauh ke depan dan masih berpikir bahwa “ateisme adalah problem di Barat namun bukan di Indonesia”. Pemikiran seperti ini jelas salah dengan mengingat bahwa Eropa pun dahulu didominasi oleh Kekristenan namun saat ini tengah menyaksikan kemerosotan dominasinya secara drastis. Anti supranaturalisme sepertinya belum banyak di Indonesia. Benar sekali! Tetapi jelaslah bahwa ateisme sedang menggerogoti anggota gereja dan masyarakat Indonesia dan celakanya tidak banyak yang melihatnya.

Terakhir, ijinkan saya memberikan rekomendasi bagi orang Kristen. Pertama, bacalah buku-buku apologetika Kristen tentang ateisme. Salah satu yang terbaik adalah karya Norman L.Geisler dan Frank Turek berjudul, “I don't have Enough Faith to be an Atheist” Buku ini adalah salah satu buku populer (bukan akademik) terbaik untuk menghadapi ateisme. Atau, anda dapat pula mengakses debat terbuka antara William Lane Craig dengan para ateis top dunia di http://www.reasonablefaith.org/ atau ketik saja namanya di Youtube.

Gereja perlu memberikan pembinaan apologetika kepada jemaatnya. Mereka yang berpikir bahwa jemaat tidak akan tertarik mungkin sedang terkena delusi (meminjam istilah Dawkins). Khususnya di kota besar, penulis menyaksikan ketertarikan jemaat terhadap apologetika berkembang pesat dan itu berarti pelayanan apologetika semakin dibutuhkan.

Sebagai penutup, ijinkan kutipan-kutipan di bawah ini menggelitik pemikiran kita dan mengetahui apa yang menjadi keprihatinan para ateis:

“Who says I am not under the special protection of God?”
Adolf Hitler

“Nazism, indeed, was very much at home in a long tradition of Christian Anti-Judaism”
Hector Avalos

“The philosopher has never killed any priests, whereas the priest has killed a great many philosophers.”
Denis Diderot

“The sacred truth of science is that there are no sacred truths.”
Carl Sagan

“I was born an Atheist. All humans are born Atheists. No baby born into the world arrives with specific religious beliefs or knowledged...I have thus been an Atheist all my life. I am a natural Atheist.”
David Eller

“I am against religion because it teaches us to be satisfied with not understanding the world”
Richard Dawkins

“The universe we observe has precisely the properties we should expect if there is, at bottom, no design, no purpose, no evil and no good, nothing but blind pitiless indifference.”
Richard Dawkins

Catatan: Buku Richard Dawkins, River Out of Eden: A Darwinian View of Life (1995) sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.





Sumber: note penulis di FB.



Profil Penulis:
Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div. adalah Kepala Pusat Kerohanian (Pusroh) dan dosen Filsafat Agama dan Christian Worldview di Universitas Kristen Petra, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Ekonomi (S.E.) di UK Petra, Surabaya dan Master of Divinity (M.Div.) di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang. Beliau mendapat sertifikat dari Ravi Zacharias International Ministry, Academy of Apologetics, India. Saat ini beliau sedang menyelesaikan studi Master of Theology (M.Th.) bidang Theologi Sistematika di Talbot School of Theology, Biola University, U.S.A.



Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio

Bagian 1: Kekristenan dan Atheisme di Indonesia (Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div.)

KEKRISTENAN DAN ATHEISME DI INDONESIA

oleh: Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div.



Suatu kali penulis terlibat diskusi mengenai signifikansi dari pencantuman nama agama dalam KTP di Indonesia. Apakah nama agama masih perlu dicantumkan dalam KTP? Apa sebenarnya signifikansinya? Diskusi tersebut berlangsung dalam sebuah pertemuan kelompok di antara para undangan acara Konferensi Gereja dan Masyarakat VIII yang diselenggarakan oleh PGI di Cipayung, Jawa Barat, pada tahun 2008. Dalam acara tersebut, penulis bertanya pula “bagaimana dengan saudara-saudara kita yang ateis?" Sudah bukan rahasia lagi bahwa para ateis di Indonesia seringkali “harus” mencantumkan nama “Buddha” atau "Kristen" atau agama lain untuk menutupi identitas asli mereka.

Bagi penulis sendiri, tidaklah sulit untuk mengingat contoh-contoh kasus ateis yang ber-KTP Kristen atau Buddha karena beberapa dari keluarga besar penulis sendiri termasuk di dalamnya. Ini dikuatkan lagi dengan para mahasiswa yang penulis layani. Sebagian diantara para mahasiswa tersebut bersedia mengaku diri sebagai ateis dalam paper yang mereka kumpulkan kepada penulis namun biasanya masih memiliki KTP yang memuat nama agama tertentu. Jadi, di tengah masyarakat yang katanya "religius" seperti Indonesia, tidak ada keraguan sedikitpun bahwa membahas tentang ateisme itu relevan. Mengapa karena mereka eksis. Berapa banyak? Kita sama-sama tidak tahu!

Nah sampai disini mungkin ada yang berpikir, jika para ateis memang ada di sekitar kita, “Mengapa banyak orang Kristen dan pendeta tidak pernah bertemu dengan orang-orang itu di Indonesia?” Tentu saja ada banyak alasan yang dapat menjelaskan hal ini.

Pertama, mungkin karena banyak orang Kristen tidak suka “keluar” dari rumah gereja mereka dan bertemu dengan para “free thinker” yang di luar sana. Kata “keluar” bisa berarti mengunjungi website-website ateis yang tinggal Anda ketik di google search maupun secara literal berarti keluar dari gereja dan bertemu dengan seorang ateis secara fisik. Banyak orang Kristen menjadikan gereja sebagi club "dari, oleh dan untuk kita" sehingga tidak bersentuhan dengan orang tak percaya.

Kedua, untuk para pelayan Tuhan yang konteks pelayanannya di sekitar gereja dan jarang penginjilan, ya tentu saja mereka akan semakin jarang bertemu dengan ateis. Bagaimana tidak, hampir seluruh waktu sudah tersedot untuk acara-acara gerejawi. Jadi tentu wajar jika tidak pernah berjumpa dengan ateis. Untuk alasan yang kedua ini sebenarnya masih belum mutlak pula. Mengapa? Sebenarnya tidak satu dua kali penulis bertemu dengan orang yang ke gereja tetapi pemikirannnya condong atau memang ateis. Herannya mereka masih ke gereja karena banyak alasan seperti mencari maupun menemani pacar atau sekedar ikut teman dan orang tua.

Nah mengapa banyak pelayan Tuhan di gereja yang tidak mengetahuinya? Tampaknya para ateis ini, masih malu-malu atau malas untuk membuka dirinya. Malu-malu karena ketahuan sebagai seorang ateis di Indonesia masih belum keren (lain ceritanya dengan di Eropa). Kedua, malas karena mereka juga tahu bahwa mayoritas pelayan Tuhan paling-paling cuma bisa beretorika tentang "dosa, pengampunan dan kasih Tuhan". Di mata para ateis, terlalu banyak pelayan Tuhan yang tidak cukup mampu dan mau berdiskusi tentang isu-isu yang menjadi hambatan intelektual kaum ateis. Sedikit saja yang siap berdiskusi dengan mereka. Malas deh diskusi sama kamu...begitu kata sebagian ateis dalam hati.

Oleh karena itu jika anda bertemu dengan ateis yang sudah lama rindu berdiskusi dengan orang Kristen yang siap "diajak bicara" maka diskusinya bisa memakan waktu yang lama, lebih lama daripada pertandingan sepak bola. Mereka seperti orang yang sudah sekian lama membutuhkan konseling karena problem-problem yang mereka hadapi namun kebanyakan orang di gereja hanya bisa mendoakan mereka. Seketika mereka menemukan konselor yang matang, mereka langsung mencurahkan semua pergulatan emosional mereka, "tumplek blek" begitu kata orang Jawa. Begitu pula dengan ateis, mereka biasanya langsung mengeluarkan semua "unek-unek" mereka tentang kekristenan ketika menemukan partner diskusi yang pas dan siap diajak berdiskusi tentang topik-topik yang "agak tabu" dalam Kekristenan.

Unek-unek tentang kekristenan yang digumulkan para ateis itu bisa sangat variatif dari A sampai Z. Mulai dari Alkitab yang dianggap mencerminkan budaya pro pria (patriarkal) dan diskriminatif terhadap kaum wanita, kisah penciptaan Alkitab khususnya young earth creationism yang dianggap tidak cocok dengan perkembangan astronomi dan arkeologi, arogansi klaim Yesus bahwa Dialah satu-satunya jalan kepada Bapa, budaya barbar dari orang Yahudi ketika membinasakan suku-suku lain di sekitar Kanaan, inkonsistensi antara praktek poligami di PL dan penekanan monogami di PB, sifat tidak ilmiah dari Alkitab ketika berbicara tentang adanya terang di penciptaan hari pertama sedangkan matahari baru tercipta di hari ke-empat, kebodohan ide bahwa matahari bisa berhenti, dan tidak tersedianya bukti masa kini bahwa orang Kristen yang minum racun tidak akan mati seperti dalam Markus 16:17-18, dll.

Menuliskan hal ini mengingatkan penulis pada Dan Barker (1949- ), seorang mantan pengkotbah Injili yang berubah menjadi ateis ketika menyindir orang Kristen dengan kalimat: "kamu percaya kepada sebuah buku yang mengajarkan binatang-binatang yang bisa berbicara, penyihir-penyihir pria, penyihir-penyihir wanita, setan-setan, tongkat-tongkat yang berubah menjadi ular-ular, makanan yang turun dari langit, orang yang berjalan di atas air, dan semua jenis cerita-cerita magis yang sia-sia dan primitif, dan kamu berkata bahwa kami adalah orang-orang yang perlu bantuan? Bagi Dan Barker, terlalu banyak yang tidak rasional dari Alkitab dan kekristenan. Ateis tidak butuh bantuan orang Kristen, sebaliknyalah yang benar.

Tuduhan lain dari para ateis adalah bahwa, orang-orang beragama, termasuk Kristen tentunya, tidak suka diajak berdiskusi atau debat tentang isu-isu ini. Celakanya lagi sebagian orang Kristen memiliki mentalitas "dogmatis" yang tidak suka diskusi apapun. Ya, mungkin karena takut kalah dan goncang kali...begitu gumam para ateis. Karena itu kutipan di bawah ini adalah contoh bagaimana para ateis menyindir orang beragama dan orang Kristen khususnya.

Kutipan dari Anonymous yang telah menulis di T-Shirt dan slogan-slogan sticker
“filsafat adalah pertanyaan-pertanyaan yang mungkin tidak pernah terjawab. Agama adalah jawaban-jawaban yang tidak boleh dipertanyakan”
“Moralitas adalah melakukan sesuatu yang benar terlepas dari semua yang telah diajarkan kepada Anda. Agama adalah melakukan apa yang telah diajarkan kepada Anda terlepas dari pada yang benar.”
“Kristen: ‘Aku akan berdoa untukmu' Ateis: ‘Jika begitu, aku akan berpikir untuk kita berdua.’”

Benarkah sindiran-sindiran ateis di atas? Kita semua harus menjawabnya...atau mendoakan dan mengasihinya saja?



Sumber: note penulis di FB.



Profil Penulis:
Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div. adalah Kepala Pusat Kerohanian (Pusroh) dan dosen Filsafat Agama dan Christian Worldview di Universitas Kristen Petra, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Ekonomi (S.E.) di UK Petra, Surabaya dan Master of Divinity (M.Div.) di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang. Beliau mendapat sertifikat dari Ravi Zacharias International Ministry, Academy of Apologetics, India. Saat ini beliau sedang menyelesaikan studi Master of Theology (M.Th.) bidang Theologi Historika di Biola University, U.S.A.



Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio

APA ITU BAIK?: Iman Kristen dan Konsep Kebaikan Sejati (Denny Teguh Sutandio)

APA ITU BAIK?
(Iman Kristen dan Konsep Kebaikan Sejati)


oleh: Denny Teguh Sutandio



“Allah melihat bahwa semuanya itu baik... ...Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik.”
(Kej. 1:25, 31a)

“Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminyapun memakannya.”
(Kej. 3:6)

“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”
(Rm. 12:2)




Seorang cewek mengatakan kepada temannya tentang cowoknya, “Dia itu baik lho.” Semua manusia pasti mendengar dan mengetahui kata baik dan bahkan menggunakannya. Namun benarkah manusia yang mengucapkan kata baik benar-benar mengerti makna aslinya? Fakta membuktikan bahwa TIDAK semua manusia mengerti apa itu baik. Oleh karena itu, mari kita menelusuri apa itu baik dari Alkitab. Kita akan membaginya menjadi 3 bagian: definisi asli baik dari Allah, kemudian definisi manusia berdosa tentang apa itu baik, dan penebusan Kristus membuat kita mengerti makna asli baik sesuai Alkitab.

Pada awal penciptaan, Allah sudah mengeluarkan kata BAIK. Perhatikan. Di dalam Kejadian 1, setelah menciptakan alam semesta (sebelum manusia diciptakan), Allah melihat dan mengatakan bahwa apa yang telah diciptakan-Nya itu baik (Ibrani: ‎tob; baca: tov), lalu setelah manusia dicipta, Ia mengatakan: “sungguh amat baik.” Dari sini, kita mendapatkan pengertian bahwa kebaikan sejati bersumber dari Allah yang mengatakan itu BAIK. Kebaikan di luar Allah bukanlah kebaikan sejati. Bahkan dalam Kejadian 2:18, Tuhan sendiri berfirman bahwa tidak baik (kata baik di sini dalam bahasa Ibraninya juga sama dengan di Kej. 1:25, 31a) kalau manusia itu sendirian, maka Ia menciptakan Hawa. Di dalam doanya, Daud berkata, “Sebab Engkau, ya Tuhan, baik dan suka mengampuni dan berlimpah kasih setia bagi semua orang yang berseru kepada-Mu.” (Mzm. 86:5; bdk. 106:1; 107:1; 118:1, 29) Di sini, Daud mengaitkan kebaikan Allah dengan pengampunan dan kasih setia-Nya. Selain itu kebaikan Tuhan juga dikaitkan dengan kesetiaan-Nya yang tak pernah habis (Mzm. 100:5) Bahkan di dalam Mazmur 119:68, pemazmur berkata, “Engkau baik dan berbuat baik; ajarkanlah ketetapan-ketetapan-Mu kepadaku.” Di ayat ini, pemazmur langsung mengaitkan pribadi Allah yang baik dengan perbuatan-Nya yang baik. Berarti pribadi dan tindakan Allah TIDAK bisa dipisahkan. Pribadi dan tindakan-Nya yang baik mengakibatkan dengan rendah hati pemazmur ingin agar Tuhan mengajar ketetapan-ketetapan-Nya kepada si pemazmur. Orang yang cinta Tuhan ditandai bukan karena ia tahu dan menyanyi bahwa Allah itu baik, tetapi ditandai dengan suatu sikap yang rendah hati menginginkan agar perintah-perintah-Nya mengajarnya sehingga ia makin hidup baik sesuai standar Allah yang adalah Kebaikan sejati. Bahkan dengan berani, di beberapa ayat selanjutnya, pemazmur berkata, “Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu.” (ay. 71) Penderitaan bagi pemazmur bukan sesuatu yang buruk, namun sesuatu yang baik. Mengapa? Karena di dalam penindasan tersebut, pemazmur belajar ketetapan-ketetapan Allah. Penderitaan yang diizinkan Tuhan membuat umat-Nya sadar bahwa diri mereka terbatas sambil mengoreksi kerohanian mereka seberapa dekat dan bergantungnya mereka kepada Allah. Penderitaan mengingatkan si pemazmur bahwa, “Taurat yang Kausampaikan adalah baik bagiku, lebih dari pada ribuan keping emas dan perak.” (ay. 72)

Semua kata baik dalam semua ayat dalam Perjanjian Lama yang saya kutip di atas bahasa Ibrani yang dipakai semuanya sama, yaitu tob (baca: tov; b dibaca v) yang artinya baik. Dari survei singkat dari Perjanjian Lama, kita diingatkan bahwa kebaikan sejati bersumber dari Allah dan firman-Nya. Sehingga ketika kita ingin mengerti dan mengatakan baik, referensikan kebaikan itu berdasarkan standar Allah dan firman-Nya.

Namun, bagaimana dengan reaksi manusia yang sudah diajar tentang kebaikan sejati dari Allah? Manusia berdosa jelas tidak menginginkan Allah yang baik itu mengajar mereka. Manusia justru menyukai apa yang tidak Allah sukai dengan menciptakan sendiri pengertian-pengertian yang berbeda total dari pengertian dari Allah. Kebaikan yang seharusnya direferensikan kepada Allah dan firman-Nya diganti, diubah, dan dibuat versi sendiri. Kecenderungan berdosa ini sudah dimulai dari nenek moyang mereka, yaitu Hawa, “Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian.” (Kej. 3:6) Bahasa Ibrani untuk kata “baik” yang dipakai di ayat ini juga sama dengan yang dipakai dalam Kejadian 1:25, 31a, dll. Ini membuktikan bahwa baik sejati sudah dipelintir artinya oleh manusia, lalu diganti artinya menjadi sesuatu yang menyenangkan dan menguntungkan diri: enak, sedap, dan menarik karena memberi pengertian. Karena nenek moyang manusia berdosa sudah memiliki konsep baik yang identik dengan memuaskan nafsu sendiri, maka tidak heran keturunannya juga memiliki konsep baik yang sama parahnya.

Tidak heran, di zaman sekarang, kita mendapati kata baik sangat banyak digunakan, namun artinya begitu rendah karena berorientasi pada kepentingan diri sendiri. Dari agama, kebudayaan, sampai dunia anak muda, kata baik dipakai menunjuk pada apa yang menyenangkan diri. Di bidang agama (di luar Kristen), manusia diajar untuk berbuat “baik”. Apa tujuannya? Supaya masuk sorga/nirvana. Motivasi dan tujuan dasar berbuat baik sudah salah, yaitu untuk kepentingan diri. Seorang filsuf Yunani berkata bahwa kebajikan sejati adalah kebajikan yang dilakukan demi kebajikan itu sendiri (sommum bonnum). Sekarang pertanyaannya, jika ternyata ia tidak masuk sorga/nirvana, apakah ia akan berbuat baik? Jika ia tetap berbuat baik, itu bagus, namun jika ia enggan berbuat baik, berarti dia berbuat baik demi iming-iming kesenangan diri. Lebih tajam lagi, apa yang disebut berbuat baik supaya masuk sorga/nirvana? Apa standar perbuatan baik? Apakah baik menurut suku A sama dengan suku B? Jika sama, apa yang menyatukannya? Jika berbeda, mengapa berbeda, lalu standar kebaikan itu apa? Bagi penganut atheis dan relativis, moralitas itu netral dan relatif, tidak ada standar kebaikan dan kejahatan. Kalau mereka berkata demikian, coba perlakukan mereka secara tidak baik misalnya dengan memberi nilai F pada waktu ujian atau memecat mereka dengan tidak hormat, kira-kira apa reaksi mereka? Biasanya mereka marah. Mengapa? Karena mereka merasa mereka tidak mendapat perlakuan yang baik. Dengan kata lain, mereka melawan diri dan konsep mereka sendiri. Kalau mau konsisten, para penganut atheis dan relativis moral tidak boleh mengomel kalau mereka diperlakukan tidak adil, karena bagi mereka, moralitas dan kebaikan itu relatif dan tidak ada standarnya. Ya, namanya manusia berdosa apalagi yang melawan Allah dan firman-Nya pasti berkontradiksi dengan dirinya sendiri, namun sambil tetap membanggakan diri hebat.

Dalam kebudayaan pun, konsep kebaikan dikaitkan dengan kepentingan manusia. Tanyalah kepada kebudayaan Tionghoa, siapa orang baik itu? Mereka kebanyakan mengaitkannya dengan orang yang taat pada atasan (orangtua, guru/dosen, dll). Tentu itu tidak salah, namun pengertiannya masih sederhana dan kurang tajam. Mengapa? Karena kebudayaan Tionghoa tidak mengenal Allah yang berpribadi. Mereka hanya percaya pada langit (dian), sedangkan yang lain percaya pada hukum alam yang mati. Konsep langit (dian) merupakan konsep samar-samar yang tak berpribadi sehingga tidak bisa dijadikan standar kebaikan. Selain Tionghoa, kebaikan dalam berbagai suku itu berbeda. Bagi suku A, membunuh itu berdosa, namun bagi suku B membunuh itu legal dan bahkan dianggap berjasa. Variasi standar kebaikan ini membuktikan bahwa dosa mengakibatkan kebaikan sejati mengalami penyimpangan.

Bagaimana dengan dunia anak muda? SAMA. Di zaman postmodern ini, banyak anak muda terlalu mudah menilai seseorang itu baik hanya dari penampilan luar. Biasanya (TIDAK selalu) yang paling cepat menilai seseorang itu baik adalah keturunan Hawa (bdk. Kej. 3:6). Banyak cewek hari ini dengan sigap/bangga mengatakan bahwa teman atau cowoknya itu baik, alasannya karena teman atau cowoknya itu mengantarkan dan menjemput dia atau membeli dan memberikan dia permen atau makanan. Atau mungkin cewek menilai cowok itu baik karena si cowok selalu memenuhi keinginan si cewek. Namun ketika si cowok tidak memenuhi kemauan si cewek apalagi menegur kesalahan si cewek, si cowok langsung dicap tidak baik alias jahat.

Dosa mengakibatkan manusia buta akan kebaikan sejati. Tetapi puji Tuhan, Allah yang mencipta kita dan mengizinkan adanya dosa TIDAK membiarkan umat-Nya putus asa. Dengan kasih, Ia mengutus Putra-Nya yang Tunggal, Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dosa-dosa umat-Nya. Allah menyatakan kembali arti kebaikan sejati melalui pribadi dan karya Kristus. Perhatikanlah bagaimana Perjanjian Baru mengajar kita tentang kebaikan sejati yang lebih diperjelas dan dipertajam oleh Kristus dan para rasul-Nya.

Ketika seorang muda datang kepada Kristus dan bertanya perbuatan baik apa yang harus dilakukannya untuk memperoleh hidup yang kekal, Ia menjawab, “Apakah sebabnya engkau bertanya kepada-Ku tentang apa yang baik? Hanya Satu yang baik. Tetapi jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah.” (Mat. 19:17) Terjemahan Indonesia tepat. Beberapa terjemahan Alkitab bahasa Inggris kurang tepat, seperti King James Version menerjemahkannya, “Why callest thou me good? there is none good but one, that is, God: but if thou wilt enter into life, keep the commandments.” (=Mengapa kamu memanggil Aku baik? Tidak ada yang baik kecuali Satu, yaitu Allah; tetapi jika kamu ingin masuk ke dalam hidup, peliharalah perintah Allah.) New International Version (NIV) lebih tepat menerjemahkannya, “"Why do you ask me about what is good?" Jesus replied. "There is only One who is good. If you want to enter life, obey the commandments.” (= “Mengapa kamu menanyakan kepada-Ku tentang apa itu baik?” Yesus menjawab. “Hanya ada Satu yang baik. Jika kamu ingin masuk ke dalam hidup, taatilah perintah-perintah Allah.””) Jawaban Kristus di Matius ini agak sedikit berbeda dengan teks di Lukas dan Markus. Di Markus 10:18 dan Lukas 18:19, Kristus menjawab, “Mengapa kaukatakan Aku baik? Tak seorangpun yang baik selain dari pada Allah saja.” Dalam teks Yunaninya, kata “baik” pada kalimat kedua (“Tak seorangpun yang baik selain daripada Allah saja.”) sama antara Matius, Markus, dan Lukas yaitu agathos yang merupakan kata sifat dan nominatif (berfungsi sebagai subjek kalimat). Sedangkan pada kalimat pertama, kata Yunaninya berbeda antara Matius 19:17 dan Lukas 18:19 (= Markus 10:18). Di Matius 19:17, kata “baik” dalam teks Yunaninya agathou berbentuk kata sifat dan genitif (berfungsi sebagai kepemilikan), sedangkan dalam Markus 10:18 (= Lukas 18:19), kata Yunaninya adalah agathon berbentuk kata sifat dan akusatif (berfungsi sebagai objek langsung). Meskipun berbeda, namun intinya tetap sama, yaitu melalui cerita ini, Tuhan Yesus mau mengajar pemuda ini bahwa hanya Allah yang baik, taatilah perintah-perintah-Nya (Dia mengkhususkan titah keenam s/d kesembilan: Mat. 19:18b-19; Luk. 19:20), dan perintah-perintah-Nya itu sebenarnya mengarahkan orang untuk mengikut Kristus (Mat. 19:21; Luk. 19:22). Dengan kata lain, Ia mengidentikkan diri-Nya sebagai Allah di mana firman Kristus harus ditaati. Lebih dipertajam lagi, bagi Kristus, kebaikan sejati bersumber dari Dia sendiri dan firman-Nya.

Ia juga mengklaim diri-Nya sendiri baik, lebih tepatnya gembala yang baik. Di dalam Yohanes 10:11, “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya;” Kata Yunani untuk baik di dalam ayat ini adalah kalos yang berarti baik dalam pengertian moral, kualitas, dll (Hasan Sutanto, Konkordansi Perjanjian Baru, hlm. 424) Kebaikan Kristus sebagai seorang Gembala ditunjukkan dengan memberikan nyawa bagi domba-dombanya. Sedangkan seorang upahan membiarkan domba-domba yang digembalakannya itu tercerai berai (ay. 12). Pengorbanan yang Kristus wujudkan merupakan Kebaikan sejati yang tidak bisa ditiru oleh dunia dan ini juga menjadi teladan bagi kita sebagai umat-Nya agar meneladani-Nya dengan hidup setiap hari menyangkal diri dan memikul salib demi mengasihi-Nya.

Setelah menunjukkan bahwa Kristus adalah Kebaikan sejati, maka apa yang harus orang Kristen lakukan?
Pertama, mencari kehendak dari Kebaikan sejati. Karena telah mengenal Kristus adalah Kebaikan sejati, maka umat Tuhan harus belajar dari-Nya dan mencari kehendak-Nya. Kehendak Allah selain baik, juga menyenangkan Allah (berkenan kepada Allah) dan sempurna (Rm. 12:2) Di sini, kita melihat kaitan erat antara baik, menyenangkan Allah, dan sempurna. Kekristenan yang sehat BUKAN hanya terus menekankan kehendak Allah yang selalu baik, namun juga menekankan pentingnya kehendak Allah yang menyenangkan-Nya dan terutama sempurna. Penekanan yang menyeluruh tentang kehendak Allah ini mengakibatkan kita makin bersukacita di dalam mencari kehendak-Nya seraya takut dan gentar.

Kedua, rela menderita demi kehendak dari Kebaikan sejati. Seorang yang terus-menerus rindu mencari kehendak-Nya pasti juga seorang yang siap menerima resiko apa pun demi mencari dan menggenapkan kehendak-Nya. Ia akan siap menderita demi kehendak-Nya. Rasul Petrus mengingatkan kita, “Sebab lebih baik menderita karena berbuat baik, jika hal itu dikehendaki Allah, dari pada menderita karena berbuat jahat.” (1Ptr. 3:17) Konteksnya jelas, Petrus ingin menghibur mereka yang sedang menderita karena imannya kepada Kristus. Mengapa harus ada harga yang harus dibayar? Karena kita mencari dan menggenapkan kehendak Allah yang agung yang BERBEDA dari apa yang dunia kehendaki. Kehendak Allah selalu agung, mulia, kudus, benar, baik, dan sempurna sedangkan kehendak dunia selalu sampah, berdosa, jorok, jahat, salah, dan menjijikkan.

Ketiga, berbuah baik. Ketika kita menderita demi kehendak Allah, apakah berarti kita pasif? TIDAK. Kita juga dituntut aktif untuk mencari dan juga menggenapkan kehendak Allah. Caranya? Dengan BERBUAH. Kristus menjelaskan bahwa kebaikan itu juga harus berbuah. Di dalam Matius 7:17, Ia berfirman, “Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, …” Dalam teks Yunaninya, kedua kata baik di ayat ini menggunakan kata yang berbeda. Kata “baik” pertama (yang dikenakan pada pohon) dalam teks Yunaninya adalah agathon yang berarti baik, sedangkan kata “baik” kedua (yang dikenakan pada buah) dalam teks Yunaninya adalah kalous yang berasal dari kata kalos yang berarti baik dalam pengertian moral, kualitas, dll (ibid., hlm. 424). Konteks ayat ini berbicara tentang penghakiman. Sehingga menurut konteksnya, pohon di sini menunjuk kepada hubungan orang Kristen dengan Tuhan. Pohon yang baik berarti orang Kristen sejati yang mengenal Tuhan dengan benar dan intim, sehingga ia akan menghasilkan buah yang baik, sedangkan pohon yang tidak baik adalah orang “Kristen” yang seolah-olah mengenal Tuhan, sebenarnya TIDAK, akibatnya buah yang dihasilkannya pun jelas tidak baik. Pohon inilah yang dikatakan Kristus akan ditebang dan dibuang ke dalam api (ay. 19) Dengan kata lain, orang Kristen sejati yang benar-benar mengenal kebaikan yang daripada Tuhan akan menghasilkan buah yang baik, yaitu: hati, pikiran, dan tingkah laku yang baik yang bersumber dari Tuhan. Sedangkan mereka yang pura-pura mengenal Tuhan, namun sejatinya tidak, akan menghasilkan buah yang tidak baik. Tentu buah yang dihasilkan oleh pohon yang baik ini tidak langsung dan instan, tetapi dalam sebuah proses. Untuk itulah diperlukan pimpinan Roh Kudus secara terus-menerus untuk menguduskan orang Kristen sejati supaya dapat menghasilkan buah yang baik yang memuliakan Tuhan.

Lebih tajam lagi, Rasul Paulus mengajar Titus, “…mereka yang sudah percaya kepada Allah sungguh-sungguh berusaha melakukan pekerjaan yang baik. Itulah yang baik dan berguna bagi manusia.” (Tit. 3:8) Kata Yunani untuk kata baik yang pertama dalam teks ini adalah kalon. Di sini, Paulus ingin menajamkan lagi, bahwa orang yang sungguh-sungguh SUDAH percaya kepada Allah tentu sungguh-sungguh berusaha melakukan pekerjaan yang baik. Berarti, iman kepada Allah mengakibatkan suatu perbuatan yang memuliakan Allah. Biarlah ini menjadi teori yang ada di kepala kita, tetapi berusaha kita aplikasikan dengan pertolongan Roh Kudus.

Keempat, siap ditegur oleh Kebaikan sejati. Di dalam kita berproses untuk menghasilkan buah, tentu ada hal-hal yang salah yang kita lakukan. Nah, saat itulah, Kebaikan sejati, yaitu Allah datang untuk menegur kita ketika kita bersalah. Allah yang adalah Kebaikan sejati dan Kasih juga adalah Allah yang menginginkan kita bertobat. Kristus sendiri berkata di dalam pewahyuan-Nya kepada Rasul Yohanes di Wahyu 3:19, “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!” Di sini berarti Allah juga dengan kasih menegur dan mendisiplin kita dengan menghajar kita supaya kita mengetahui apa yang salah dan segera bertobat. Jika Allah tidak mendisiplin kita dengan menghajar kita, maka itu berarti Allah tidak menganggap kita sebagai anak-anak-Nya (Ibr. 12:7). Oleh karena itu, sikap kita seharusnya adalah: bersyukur, merelakan hati kita, dan segera bertobat ketika Allah masih memukul kita ketika kita bersalah, karena itu bukti kasih-Nya kepada kita. Di sini, kita belajar poin tentang kebaikan, yaitu baik bukan apa yang menyenangkan/memuaskan/memanjakan kita, tetapi juga apa yang seolah-olah tidak menyenangkan kita, yaitu menegur dan mendisiplin kita, tetapi percayalah, meskipun seolah-olah tidak menyenangkan, hasil akhirnya pasti berfaedah bagi kita. Kedewasaan seseorang diukur dari seberapa dia rendah hati mau ditegur dan diajar oleh Tuhan dan firman-Nya. Oleh karena itu, bersyukurlah jika Tuhan memakai saudara seiman kita untuk menegur kita, itu bukan tanda bahwa saudara seiman kita dan Tuhan itu jahat, namun itu merupakan sikap baik yang harus kita syukuri.

Bagaimana dengan kita? Tatkala dunia kita dengan sembarangan mengajar dan mengatakan “baik”, bagaimana sikap orang Kristen seharusnya? Meniru dunia? TIDAK. Orang Kristen sejati harus kembali kepada apa yang Alkitab ajarkan tentang apa itu baik yang dikaitkan dengan kehendak Allah yang Mahakudus dan Mahaadil. Biarlah Kebaikan sejati di dalam Kristus Yesus boleh kita kenal dengan sungguh-sungguh dan kita pun dipakai-Nya untuk menyalurkan Kebaikan sejati itu kepada banyak orang melalui Kabar Baik (Injil). Amin. Soli Deo Gloria.