22 July 2008

Matius 10:26-27: CHRISTIANITY & PERSECUTION: The Proclamation

Ringkasan Khotbah : 05 Maret 2006
Christianity & Persecution: The Proclamation
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 10:26-27



Pendahuluan
Kristus Yesus merupakan satu-satunya teladan sempurna yang ada di dunia. Hal ini membuktikan bahwa apa yang selama ini dipandang manusia tidak mungkin ternyata dapat dilakukan oleh Kristus. Dia datang untuk menjadi teladan bagi manusia. Kristus Sang Kebenaran sejati itu datang ke dunia membukakan suatu realita kebenaran pada setiap orang yang mau menjadi murid-Nya. Gambaran murid Kristus itu seperti domba di tengah-tengah serigala. Seperti layaknya seekor domba, binatang yang lemah maka kita akan menghadapi banyak tantangan dan penganiayaan. Di dunia kita melihat banyak orang tak terkecuali orang yang bukan Kristen sekalipun juga mengalami penganiayaan. Adalah wajar kalau orang dianiaya sebagai akibat dari perbuatan dosa yang ia lakukan. Hukuman yang diterima oleh orang berdosa merupakan tindakan keadilan. Orang harus membayar harga sebagai akibat dari perbuatan dosa yang ia lakukan. Namun ada hal yang membedakan antara penganiayaan yang dialami oleh orang Kristen dan dunia. Orang dunia selain dianiaya di dunia, ia juga mengalami penganiayaan dalam kekekalan. Berbeda halnya dengan anak Tuhan, di dunia ia dianiaya namun aniaya itu tidak berlangsung selamanya karena ia mendapatkan sukacita kekal di sorga bersama Kristus.
Gambaran kebinasaan kekal ini sangatlah mengerikan. Ada orang yang menggambarkan sebagai tempat dengan api panas yang menyala-nyala dan ada pula yang menggambarkan sebagai tempat gelap yang penuh dengan ratap dan gertak gigi dan masih banyak gambaran lain yang sangat mengerikan. Namun ada satu hal yang perlu kita perhatikan, kematian kekal itu bukan sekedar api menyala dan tempat gelap saja. Tidak! Ada hal lain yang lebih mengerikan ketika manusia masuk dalam kematian kekal karena orang telah kehilangan esensi hidupnya. Itulah sebabnya orang menjadi sangat ketakutan di kala kematian itu sudah mendekat. Sebelum kematian itu datang menjelang, orang berani bermain-main dengan dosa, orang bernikmat dalam dunia dan melupakan Tuhan namun ketika hari dimana kematian kekal itu tiba maka orang mulai mulai sadar namun sungguh amatlah disayangkan kesadaran itu datangnya selalu terlambat sebab tidak ada seorangpun di dunia yang dapat menolongnya.
I. Kebenaran Harus Dinyatakan
Dunia semakin menuju pada kehancuran dan kegelapan maka orang yang sudah berada dalam kegelapan merasa dirinya aman karena keberdosaannya tidak nampak nyata; seperti halnya orang berbuat kotor di dalam tempat gelap selama tempat itu masih gelap ia akan selalu merasa dirinya bersih. Di tengah dunia berdosa, orang dianiaya bukan karena kebenaran tetapi lebih tepatnya karena dosa. Orang Kristen juga mengalami aniaya dan penderitaan tapi ingat, aniaya yang dialami bukan karena dosa, tidak, tapi karena ia hidup dalam kebenaran. Ketika terang itu datang menerangi kegelapan maka seluruh kekotoran itu akan nampak jelas itulah sebabnya dunia sangat tidak suka dengan anak-anak Tuhan yang membawa terang sehingga dengan segala cara ia akan mencoba menyingkirkannya. Akibatnya orang lebih memilih menyembunyikan terangnya di bawah gantang dari pada ia dianiaya dan menderita. Manusia cenderung menyembunyikan ketakutannya lalu orang menggunakan segala macam cara yang seolah-olah menyatakan diri sebagai orang yang “bijaksana.“ Tindakan-tindakan berikut ini dianggap “bijaksana,“ yaitu: tidak menyatakan kebenaran di tengah dunia berdosa, tidak berani melawan kejahatan, tidak berani mengambil resiko dianiaya. Benarkah tindakan tersebut dianggap sebagai tindakan yang bijaksana? Ironis, di tengah dunia ini orang lebih berani menyatakan dosa daripada menyatakan kebenaran Tuhan. Kebenaran semakin lama semakin meredupkan dirinya.

Tuhan memberikan hati nurani dalam diri setiap manusia di dunia siapapun dia maka ketika orang melakukan perbuatan dosa pasti timbul rasa takut. Inilah natural reaction.
Sebagai contoh, orang yang baru pertama kali menyontek pasti akan merasa gemetar dan takut. Dosa mengakibatkan kematian dan hukuman dan hal ini seharusnya menjadi peringatan bagi kita tapi perasaan takut dan gemetar ini kalau tidak direspon dengan positif maka manusia akan berubah menjadi garang. Ketika hati nurani kita pertama kali ditegur akan dosa oleh Tuhan dan kita berespon positif maka hal itu akan meredupkan sifat dosa dan membuat kita kembali pada kebenaran. Sebaliknya ketika hati nurani itu menegur dan kita bereaksi negatif maka itu menjadi titik awal kehancuran kita. Orang akan menjadi sangat marah ketika ditegur dosanya dan ironisnya, orang mencoba menghancurkan kebenaran dan orang yang membawa kebenaran itu. Hal itu menunjukkan dosa itu telah mencengkeram hidupnya – kebenaran telah ditaklukkan oleh kuasa kegelapan. Ketika kebenaran itu semakin diredupkan maka tanpa sadar orang mulai berkompromi dengan dosa. Tuhan Yesus menegaskan bahwa setiap anak Tuhan harus menyatakan kebenaran di tengah dunia.

Dunia sangat membutuhkan kebenaran. Cobalah bayangkan apa jadinya dunia ini kalau orang Kristen yang seharusnya mewartakan kebenaran tapi malah menaruh terangnya di bawah gantang? Tentu saja, dunia yang gelap akan semakin gelap dan akhirnya binasa. Adalah tugas kita sebagai anak Tuhan untuk mewartakan kebenaran Firman dengan demikian orang beroleh pengharapan sejati. Kebenaran itu harus kita nyatakan di tengah dunia. Janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka (Mat. 10:28).

II. Resiko Proklamasi Kebenaran
Saat kebenaran itu dinyatakan ke tengah-tengah dunia maka ada resiko – kita akan menghadapi banyak musuh yang datang dari luar maupun dari dalam Kekristenan sendiri. Secara hati, mungkin kita akan dapat menerima kalau musuh yang kita hadapi itu berasal dari luar tapi bagaimana halnya kalau orang yang memusuhi kita justru orang terdekat kita yang diam-diam menikam dari belakang. Tentulah hal ini sangat menyakitkan, bukan? Hari ini banyak orang yang memakai label Kekristenan padahal sesungguhnya seluruh kegiatan yang dilakukan bersifat sekuler belaka. Banyak orang yang mengaku Kristen namun beriman palsu, kebenaran yang diberitakan bukan kebenaran Firman tapi kebenaran palsu. Memproklamirkan kebenaran di tengah dunia berdosa ini tidaklah mudah, ada resiko yang harus kita tanggung diantaranya banyak musuh yang harus kita hadapi. Dibutuhkan suatu keberanian dalam memproklamasikan suatu kebenaran. Tanpa proklamasi kebenaran maka dunia ini akan semakin gelap maka resiko proklamasi, the risk of proclamation itu harus kita ambil.

Orang tidak rela kalau harus menanggung resiko yang sedemikian besar – dianiaya dan disiksa demi untuk kebenaran. Ironis, orang justru lebih rela menderita sebagai akibat dari perbuatan dosa yang ia lakukan. Orang menganggap wajar kalau ia dihukum karena mendapati dirinya mencuri tapi tidak demikian halnya kalau ia harus menderita karena memproklamasikan kebenaran. Inilah realita dunia berdosa yang membalikkan kebenaran sejati. Orang berdosa tidak sadar kalau hari ini ia mendapat hukuman di dunia atau mungkin ia dapat lolos dari hukuman di dunia akan tetapi tidak demikian halnya pada hari penghakiman; orang berdosa tidak akan lolos dari hukuman Tuhan. Berbeda halnya dengan anak Tuhan, mungkin hari ini kita menderita aniaya namun suatu hari nanti kita akan beroleh kemenangan dan kemuliaan akan diberikan pada kita. Iblis tahu bahwa anak Tuhan nantinya akan beroleh kemenangan itu sehingga dengan segala cara iblis mencoba menghancurkan kebenaran. Seorang anak Tuhan yang sejati harusnya mempunyai jiwa yang rela berkorban demi untuk menyatakan kebenaran – anak Tuhan harus memancarkan terang ke tengah dunia yang gelap.

III. Dalam Kebenaran terkandung Nilai yang Mulia
Dalam kebenaran itu terkandung nilai tertinggi yang seharusnya diberitakan namun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah kenapa hari ini sedikit sekali orang yang mau memberitakan kebenaran itu? Orang tidak menyadari ada suatu nilai tertinggi di dunia yang harus kita kejar, yaitu keselamatan yang Tuhan berikan pada manusia. Sebab dibandingkan dengan keselamatan kekal maka seluruh harta di dunia ini tidak ada artinya. Apalah artinya kita mendapatkan seluruh dunia tetapi kita kehilangan nyawa, apa yang bisa diberikan ganti sebuah nyawa? Nilai secara instrinsik di dalam diri nilai maupun nilai secara ekstrinsik dari luar nilai harus dikembalikan pada nilai tertinggi,yaitu keselamatan. Betapa bodohnya manusia menukar nilai tertinggi, yaitu keselamatan dengan harta dunia yang tidak bernilai. Janganlah kita melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan Esau yang menukar hak kesulungan dengan semangkok kacang merah. Manusia gagal mengerti apa yang menjadi nilai tertinggi yang sepatutnya kita perjuangkan dan menukarnya dengan harta dunia yang tidak bernilai. Sadarlah keselamatan hidup yang kita peroleh itu harganya sangat mahal – seluruh harta di dunia tidak akan dapat membeli keselamatan yang bernilai kekal. Itulah sebabnya kita menjumpai ada orang-orang yang rela menderita aniaya dan siksa demi untuk memberitakan kebenaran; orang tahu apa yang menjadi nilai tertinggi yang ada di dunia. Demi untuk menyelamatkan nyawa manusia berdosa, Kristus harus membayar dengan harga yang mahal – Kristus Anak Allah sendiri datang ke dunia menebus manusia dengan nyawa–Nya sendiri. Berapa harga yang harus kita bayar demi untuk menggantikan nyawa kita? Sadarlah betapa mahalnya diri kita karena darah Kristus telah menebus dosa dan menyelamatkan kita. Ironis demi untuk sebuah makanan kita berani berkata-kata tetapi kenapa demi untuk sebuah nilai terbesar – keselamatan mulut kita terkunci? Berita Injil harus diteriakkan ke seluruh dunia sehingga seluruh dunia mendengar kabar sukacita ini.

IV. Dalam Kebenaran terkandung Tujuan yang Mulia
Tujuan hidup yang paling tinggi haruslah kita kembalikan untuk kemuliaan Tuhan. Bayangkan apa jadinya hidup seorang atheis yang percaya bahwa hidup manusia itu terjadi secara kebetulan. Bagaimana ia menjalani hari-hari dalam hidupnya? Tujuan hidup bukan kita yang tetapkan karena kalau kita yang menetapkan maka apa yang menjadi standar ukuran kita sukses atau tidak? Dimana legitimasinya? Tuhan telah menetapkan suatu tujuan hidup pada manusia sebab kalau Tuhan tidak mempunyai tujuan untuk apa Ia datang ke dalam dunia dan menyelamatkan manusia? Siapakah kita manusia sehingga Tuhan mau datang menyelamatkan kita? Karya keselamtan yang Tuhan kerjakan itu tidak dikerjakan secara sembarangan. Tidak! Anak Allah sendiri datang berinkarnasi untuk menyelamatkan manusia berdosa dan semua ini dikerjakan karena Tuhan mempunyai satu tujuan mulia. Kita adalah buatan Allah diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik yang dipersiapkan Allah sebelumnya dan Ia mau supaya kita hidup di dalam-Nya (Ef. 2:8). Proklamasi kemerdekaan bukan sekedar sebuah kemerdekaan tapi harus disertai dengan sasaran yang jelas. Tuhan mempunyai tujuan yang jelas pada setiap kita, Tuhan mempunyai rencana yang indah pada setiap kita dan tujuan itu tidak berakhir di dalam kesementaraan tapi tujuan yang Tuhan tetapkan itu berakhir di kekekalan. Bayangkan bagaimana hidup kita kalau kita tidak mempunyai tujuan hidup yang jelas, kita akan melangkah tanpa tujuan dan akhirnya tersesat.

Tuhan Yesus ke dunia dan Dia telah menjadi teladan sempurna bagi kita. Tuhan Yesus tahu untuk apa Dia datang ke dunia dan Dia menggenapkan semua itu sampai tuntas dan menang. Dunia ini telah kehilangan jalur itulah sebabnya Tuhan ingin kita memproklamasikan kebenaran sehingga membawa dunia kembali kepada jalan yang benar. Maukah kita dipakai oleh Tuhan untuk mewartakan kebenaran yang sejati itu dan memancarkan terang bagi dunia? Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

Roma 9:19-21: "ISRAEL" SEJATI ATAU PALSU-4: Problematika Predestinasi dan Kedaulatan Allah-1

Seri Eksposisi Surat Roma:
Doktrin Predestinasi-4


“Israel” Sejati atau Palsu-4:
Problematika Predestinasi dan Kedaulatan Allah-1


oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 9:19-21


Setelah mempelajari tentang proses pemilihan/predestinasi-Nya yang meliputi tiga tahap di ayat 9 s/d 18, kita akan merenungkan lebih dalam lagi tentang problematika predestinasi di ayat 19 s/d 29. Pada bagian ini, kita hanya akan merenungkan tiga ayat yang menjadi pendahuluan dari problematika predestinasi ini.

Banyak orang “protes” dan marah-marah terhadap orang Kristen Reformed yang mengajarkan predestinasi dengan argumentasi bahwa dengan mengajarkan predestinasi, maka orang-orang Kristen Reformed sedang menyombongkan diri dan Allah versi Reformed pilih kasih, karena Ia hanya memilih beberapa orang (dan tidak semua orang—sesuai paham Universalisme di dalam “theologia” religionum terselubung). Di sisi lain, serangan terhadap Reformed di dalam predestinasi juga muncul dengan argumentasi bahwa kalau beberapa orang sudah ditetapkan untuk binasa/ditolak Allah, maka otomatis orang tersebut bisa hidup seenaknya sendiri dan Allah tidak boleh mempersalahkan mereka. Benarkah demikian ? Di ayat 19, Paulus mengatakan, “Sekarang kamu akan berkata kepadaku: "Jika demikian, apa lagi yang masih disalahkan-Nya? Sebab siapa yang menentang kehendak-Nya?"” Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkannya, “Nah, Saudara akan berkata kepada saya, "Kalau begitu mengapa Allah masih mau menyalahkan manusia? Bukankah tidak seorang pun dapat mencegah keinginan Allah?"” English Standard Version (ESV) menerjemahkannya, “You will say to me then, "Why does he still find fault? For who can resist his will?"” Terjemahan Baru (TB) LAI kurang tepat menerjemahkan “...apa lagi yang masih disalahkan-Nya ?...”, seharusnya terjemahan yang lebih tepat, “Mengapa Dia masih menyalahkan kita ?” Di sini, Tuhan mengetahui akal licik manusia berdosa, sehingga Ia mewahyukan Paulus untuk membukakan hal ini. Hal licik apakah itu ? Manusia berdosa pasti berpikir bahwa kalau Allah telah menetapkan beberapa orang untuk diselamatkan dan menolak sisa-Nya, maka orang-orang yang termasuk kaum reprobat (tidak dipilih Allah) bebas hidup seenaknya sendiri dan jika demikian, mereka tidak boleh dipersalahkan oleh Allah, karena bagi mereka, “Allah” lah yang membuat mereka ditolak. Dan lagi, bukankah tidak ada seorangpun yang dapat mencegah keinginan Allah ? Bagi mereka, sangat “kebetulan” sekali, mereka bisa hidup semaunya sendiri di luar Allah, karena mereka sudah ditetapkan untuk binasa. Inilah cara pikir manusia berdosa yang licik dan hal ini sudah diketahui oleh Tuhan Allah, sehingga melalui Paulus, Ia mewahyukan hal ini untuk membukakan mata hati dan pikiran kita. Esensi pernyataan licik manusia berdosa ini sebenarnya adalah dosa. Dosa berarti pemberontakan terhadap Allah dan sengaja melarikan tanggung jawab terhadap Allah. Manusia sejati adalah manusia yang hidup mencerminkan naturnya sebagai peta dan teladan Allah, yaitu menjalankan keadilan, kejujuran, kebenaran, kasih, dll, tetapi dosa mengakibatkan manusia melarikan diri dari tanggung jawab tersebut, bahkan melawan tanggung jawab dari Allah tersebut. Sehingga tidak heran, di dunia postmodern, makin lama kita semakin melihat manusia yang tidak ada bedanya seperti binatang yang liarnya bukan main. Habis perkosa satu gadis, cukup ? TIDAK. Mau perkosa dua, tiga, empat, bahkan sekelompok gadis. Ini bejatnya manusia berdosa. Mereka menginginkan hak asasi mereka terpenuhi dan meniadakan tanggung jawab mereka, sebaliknya anehnya mereka TIDAK pernah mau memperdulikan hak asasi manusia lainnya. Ambil contoh, banyak pekerja di Indonesia sedang ramai-ramainya menuntut Upah Minimum Regional (UMR), atau sejenisnya dengan argumentasi bahwa dengan UMR yang “layak”, mereka bisa hidup “layak”. Benarkah mereka bisa hidup “layak” dengan UMR yang “layak” ? TIDAK ! Mereka sebenarnya bukan ingin hidup “layak”, tetapi hidup kaya/nyaman. Kedua, mereka menginginkan gaji yang besar, tetapi kualitas kerja mereka tak pernah besar. Contoh sederhana, kita bisa memperhatikan pekerjaan para tukang. Para tukang biasanya bekerja bukan dengan giat, tetapi dengan santai. Hal ini didasari oleh filosofi kerja orang Jawa (mayoritas Islam): alon-alon asal kelakon (pelan-pelan, yang penting terlaksana). Tidak heran, pekerjaan yang sebenarnya bisa diselesaikan mungkin dalam waktu 1-2 hari, ternyata dikerjakan oleh orang-orang Indonesia bisa sampai seminggu, dengan alasan: capek, gaji terlalu kecil, dll. Terhadap tindakan manusia yang licik ini, Tuhan tetap menuntut tanggung jawab, meskipun beberapa orang yang tidak dipilih-Nya pasti akan binasa. Di sini, ada kaitan erat antara kedaulatan Allah dengan tanggung jawab manusia. Dosa memang diizinkan oleh Allah, tetapi dosa tetaplah tanggung jawab manusia di hadapan Allah.

Terhadap pertanyaan di ayat 19, Paulus tidak menjawab “Ya” atau “Tidak”, tetapi ia membukakan hati dan pikiran para pembaca suratnya (dan juga kita) tentang kedaulatan Allah dengan satu prinsip di ayat 20 dan diikuti oleh ilustrasi di ayat 21.
Di ayat 20, Paulus mengatakan, “Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya: "Mengapakah engkau membentuk aku demikian?"” Inti theologia Paulus di dalam setiap suratnya adalah kedaulatan Allah. Di dalam ayat ini, ia mengajarkan tentang kedaulatan Allah dengan cara ia menyadarkan manusia siapakah mereka sesungguhnya di hadapan Allah, Sang Pencipta. Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) memberikan arti lebih jelas, “Tetapi, Saudara! Saudara hanya manusia saja. Dan Saudara tidak boleh berani menyahut kepada Allah! Bolehkah pot kembang bertanya kepada orang yang membuatnya, "Mengapa engkau membuat saya begini?"” Di dalam terjemahan BIS ini, Paulus menyatakan bahwa manusia tetap adalah manusia sebagai ciptaan Allah yang tidak boleh membantah/menyahut Allah. Manusia harus taat mutlak kepada Allah dan pimpinan-Nya yang kekal dan suci adanya. Konsep ini diambil dari dua bagian di Kitab Yesaya, yaitu Yesaya 29:16 dan 45:9. Yesaya 29:16 ditulis di dalam konteks ketika Allah menyingkapkan kebutaan dan kemunafikan bangsa Israel yang kelihatan beribadah, tetapi hatinya jauh dari Allah (Yes. 29:13-14). Mereka berlaku munafik karena mereka berpikir bahwa Allah bisa disenangkan melalui ibadah mereka. Dengan kata lain, mereka mau mmperalat Allah. Inilah yang disebut Yesaya sebagai tindakan memutarbalikkan segala sesuatu (ayat 16a). Artinya, mereka sebagai ciptaan Allah lah yang seharusnya tunduk kepada Allah, tetapi karena kemunafikan mereka, mereka memperalat Allah, sehingga Ia harus tunduk kepada permintaan mereka. Yang lebih parah lagi, Israel tidak mengakui Allah yang kepada-Nya mereka harus tunduk. Di ayat 16, Allah melalui Yesaya mengajar kondisi bangsa Israel seperti apa yang dibuat (Israel) tidak mengenal siapa yang membuatnya (Allah) bahkan yang membentuknya (Allah) tidak mengerti apa-apa tentang yang dibentuknya (Israel). Kemunafikan Israel berwujud ganda. Di satu sisi, Israel ingin Allah agar tunduk kepada permintaan mereka. Inilah tindakan orang “Kristen” kanak-kanak (childish “Christian”). Mereka TIDAK pernah mau taat kepada Allah, tetapi sebaliknya mereka memperalat Allah untuk memenuhi ambisinya yang berdosa (baik secara langsung maupun tidak langsung). Di sisi lain, wujud kemunafikan Israel adalah tidak diakuinya Allah sebagai Pencipta, Pemelihara dan Penyelamat Israel. Dengan kata lain, mereka “cuek” terhadap Allah, bagi mereka, yang penting, mereka sudah beribadah rutin, berpuasa dua hari (Senin dan Kamis), mempersembahkan korban, berdoa, membaca Taurat, dll. Di dalam Yesaya 45:9, sekali lagi Tuhan mengajar Israel secara langsung tentang status mereka yang seharusnya di hadapan Allah, “Celakalah orang yang berbantah dengan Pembentuknya; dia tidak lain dari beling periuk saja! Adakah tanah liat berkata kepada pembentuknya: "Apakah yang kaubuat?" atau yang telah dibuatnya: "Engkau tidak punya tangan!"” Di sini, Roma 9:20 dijelaskan oleh Yesaya 45:9 dengan langsung menyatakan bahwa mereka yang membantah Allah adalah mereka yang celaka. Mengapa ? Karena manusia adalah seperti beling periuk dari tanah liat yang tidak bisa menjadi periuk jika tidak dibentuk oleh si Pembentuk. Dengan kata lain, sebagai manusia ciptaan-Nya, kita harus taat mutlak dan tidak membantah Allah bahkan terhadap kehendak-Nya yang misterius/belum kita pahami. Tuhan meminta kita DIAM terhadap kehendak-Nya yang belum diketahui, karena itu berada di dalam kehendak-Nya yang kekal yang nanti kelak akan dibukakan-Nya kepada kita sebagai umat pilihan-Nya di dalam kekekalan. Baik di dalam Roma 9:20 maupun di dalam Yesaya 45:9, kita diibaratkan seperti barang yang mati yang sedang dibentuk oleh Pribadi yang hidup, sehingga barang yang mati menjadi barang yang berharga. Itulah sebenarnya kita, tanpa Allah yang menghembuskan nafas hidup ke dalam hidung kita, kita tak mungkin akan hidup, kita hanya seonggok tanah liat yang tidak bisa apa-apa. Di sini, kita belajar bahwa yang mati harus bergantung dan taat mutlak kepada yang hidup. Sudahkah kita bergantung dan taat mutlak kepada-Nya ? Itulah tindakan iman. Iman bukan sarana kita meminta apapun kepada Allah. Itu bukan iman, tetapi kepercayaan diri (self-confidence) ! Iman berarti bersandar mutlak kepada Allah. Ketika kita bersandar kepada-Nya, pada saat yang sama, kita harus taat dan setia kepada-Nya. Jangan hanya bersandar kepada-Nya tetapi tidak mau taat dan setia kepada-Nya, itu berarti kita egois, kita mau Dia ikut campur di dalam hidup kita, tetapi kita tidak mau taat dan setia. Tuhan menuntut kita untuk berserah total kepada-Nya. Apa artinya ? Amsal 3:5-7 mengajarkan kita tentang hal ini, “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu. Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan;” Berserah total kepada-Nya mengandung empat pengertian di dalam tiga ayat ini, yaitu:
Pertama, percaya di dalam TUHAN dengan seluruh hati. King James Version (KJV) menerjemahkan “Percayalah kepada TUHAN” dengan “Trust in the LORD” (=Percayalah di dalam TUHAN). Di dalam penyerahan total kita kepada-Nya, di saat itu pula kita sedang percaya di dalam-Nya. Ada dua pengertian yang terkandung di dalamnya. Pertama, percaya di dalam. Kata depan “di dalam” menunjuk adanya suatu tempat di mana kita harus mempercayakan diri, yaitu Allah sendiri. Kita bukan mempercayakan diri di dalam harta, orang lain, teman, atau bahkan diri kita, tetapi kita harus mempercayakan diri di dalam Allah. Kedua, TUHAN (the LORD). Terjemahan Inggris begitu tepat dengan menambahkan kata the yang menunjukkan kekhususan. Alkitab tidak berkata bahwa kita percaya di dalam TUHAN saja, tetapi kita harus percaya di dalam satu-satunya TUHAN. Kata the menunjukkan bahwa hanya TUHAN saja yang harus kita percayai. TUHAN itu tidak lain adalah TUHAN Allah, Yahweh, bukan “tuhan” materialisme, humanisme atheis, hedonisme, skeptisisme, dll. Dengan kata lain, the menunjuk kepada TUHAN yang adalah Pribadi, bukan konsep/ide seperti yang diajarkan oleh filsafat Yunani dan agama-agama dunia. Ketika kita percaya di dalam TUHAN, kita percaya BUKAN dengan setengah hati, tetapi dengan SEPENUH hati. “Sepenuh hati” menunjuk kepada totalitas hati kita yang taat dan setia hanya kepada TUHAN. Itulah yang dimaksud dengan ibadah sejati di dalam Roma 12:1. TUHAN tidak menginginkan ritualitas tertentu di dalam ibadah, tetapi Ia menginginkan hati kita yang taat mutlak. Tidak berarti, liturgi kebaktian tidak penting hanya gara-gara masalah hati, karena liturgi tetap diperlukan untuk membawa para jemaat beribadah kepada-Nya dengan tertib, karena Roh Kudus adalah Roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban (2 Timotius 1:7). Di atas semuanya, Tuhan lebih memperhatikan hati kita ketika kita beribadah dan menyembah-Nya di dalam kebaktian dan/atau di dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, jangan bersandar kepada pengertianmu sendiri. Ketika kita percaya di dalam TUHAN, secara otomatis pada saat yang sama, kita dituntut untuk TIDAK lagi bersandar kepada pengertian kita sendiri. Mengapa ? Karena pengertian kita adalah pengertian yang terbatas, sudah berdosa, dan sementara sifatnya, sehingga pengertian kita pasti mudah berubah. Kalau pengertian kita mudah berubah, bagaimana kita bisa mengarahkan hidup kita ? Hidup yang tidak berarah disebabkan hidup yang tidak dimengerti dengan benar (atau hidup yang tak bermakna). Dari mana kita bisa mendapatkan pengertian ? Dari TUHAN saja ! Oleh karena itu, ketika kita percaya di dalam TUHAN, pada saat yang sama, Ia akan memberikan pengertian kepada kita untuk menjalani hidup yang berkemenangan di dalam TUHAN, Raja dan Pemilik hidup kita.
Ketiga, akuilah Dia dalam segala jalan kita. Percaya di dalam TUHAN menuntut kita untuk mengakui-Nya di dalam segala jalan kita. Apa artinya mengakui-Nya ? Apakah cukup mengakui-Nya di mulut kita ? TIDAK ! Mengakui-Nya berarti mengundang-Nya masuk dan memerintah di dalam setiap jalan hidup kita, sehingga yang kita katakan, pikirkan, kerjakan adalah sesuatu yang dari Allah, oleh Allah dan untuk kemuliaan-Nya (Roma 11:36). Ketika kita sudah mengundang-Nya menjadi TUHAN dan Raja dalam setiap jalan hidup kita, maka Ia berjanji akan meluruskan jalan kita (atau lebih tepatnya, Ia akan memimpin setiap langkah hidup kita). Dengan kata lain, ketaatan menghasilkan keberhasilan di mata Allah, bukan di mata manusia. Kunci sukses di hadapan Allah bukan seperti yang diinginkan manusia, tetapi kunci sukses di mata Allah adalah kita taat dan setia kepada perintah-Nya yang berlawanan dengan perintah/keinginan manusia berdosa.
Keempat, jangan menganggap diri sendiri bijak, tetapi takutlah akan TUHAN dan menjauhi kejahatan. Di dalam percaya di dalam TUHAN, ada unsur ketaatan plus ketakutan di dalam-Nya. Orang yang katanya percaya di dalam TUHAN tetapi tidak pernah taat, itu kebohongan terbesar ! Orang yang percaya di dalam TUHAN sungguh-sungguh pasti tidak boleh sombong, tetapi takut dan taat hanya di dalam TUHAN. Mengapa ? Karena dia sudah memmpercayakan diri di dalam TUHAN, dan pada saat yang sama, dia pasti mengundang-Nya menjadi Raja dan TUHAN yang memerintah dan memimpin setiap langkah hidupnya (baca poin ketiga). Ketika seseorang takut dan taat di dalam TUHAN, pada saat yang sama juga, dia akan menjauhi kejahatan/membenci dosa. Orang yang mengaku percaya di dalam TUHAN tetapi masih mencintai dosa, orang itu patut dipertanyakan, “Tuhan” seperti apa yang mereka percayai ? Mengapa mereka bisa membenci dosa ? Karena mereka lebih mencintai apa yang dicintai oleh Tuhan dan membenci apa yang dibenci oleh Tuhan. Itulah yang disebut Pdt. Dr. Stephen Tong sebagai menyangkal diri dan fungsi hati nurani yang dipimpin oleh Roh Kudus.

Paulus memberikan ilustrasi di ayat 21 untuk menjelaskan ayat 20. Di ayat 21, ia menjelaskan, “Apakah tukang periuk tidak mempunyai hak atas tanah liatnya, untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang mulia dan suatu benda lain untuk dipakai guna tujuan yang biasa?” Allah diibaratkan seperti tukang periuk yang berhak/berdaulat penuh atas tanah liat (ibarat manusia), untuk membuat dari gumpalan tanah liat: sebuah benda yang bagus/dihargai (terjemahan Inggris: honor) atau benda yang tidak dihargai/tidak bagus (terjemahan Inggris: dishonor). Terjemahan Baru (TB) LAI kurang tepat mengontraskan dua hal ini, karena di dalam TB LAI mengontraskan antara “tujuan yang mulia” dengan “tujuan yang biasa”. Kedua pernyataan ini bukanlah suatu kontras yang bertolak belakang, karena “tujuan yang biasa” tidak sama dengan “tujuan yang tidak mulia”. Terjemahan yang lebih tepat yaitu adanya kontras antara “barang-barang yang dihargai” dengan “barang-barang yang TIDAK dihargai”. Si tukang periuk berhak membentuk gumpalan tanah liat menjadi periuk yang bagus dan mulia, atau menjadi sesuatu yang tidak bagus. Ini adalah kedaulatan mutlak si tukang periuk. Anak si tukang periuk tidak berhak menasehati ayahnya, atau bahkan tanah liat sendiri tidak boleh “demo” terhadap si tukang periuk, karena ia dijadikan untuk barang yang tidak bagus. Itulah kedaulatan Allah. Allah yang berdaulat adalah Allah yang berhak menciptakan manusia untuk tujuan mulia (dipilih-Nya untuk diselamatkan di dalam Kristus), dan berhak juga menciptakan manusia lainnya untuk tujuan yang tidak mulia (ditetapkan untuk dibinasakan). Fakta kedua dari ilustrasi tanah liat ini adalah TIDAK ada tanah liat yang mengkilap, lalu dipakai oleh si tukang periuk untuk membentuk barang yang anggun, melainkan semua tanah liat pasti kotor, sehingga si tukang periuk berhak menjadikan barang yang anggun dari tanah liat yang semuanya kotor. Demikian juga halnya dengan predestinasi dan reprobasi di dalam pemilihan Allah TIDAK bergantung pada jasa baik manusia (baca lagi Roma 9:16). Ia berdaulat dan berkuasa memilih dan menentukan beberapa manusia yang berdosa untuk menjadi anak-anak-Nya yang mengerjakan panggilan Tuhan dengan taat kepada-Nya. Inilah kuasa-Nya yang hebat. Kita seringkali mengerti kuasa Allah melalui mukjizat, hal-hal supranatural, dll. Itu tidak salah, tetapi kurang lengkap. Kuasa Allah yang lebih hebat adalah membuat kita yang dahulu berdosa, cinta diri, cinta uang, dll (self-centered life) menjadi pribadi umat pilihan-Nya yang semakin membenci dosa, dan lebih mencintai Tuhan dan kehendak-Nya (God-centered life) melalui kuasa Roh Kudus di dalam hati mereka.

Melalui perenungan ketiga ayat ini, kita kembali disadarkan bahwa kita semua itu berdosa dan rusak total, tidak ada yang baik di dalam diri kita (Roma 3:10-18,23), tetapi puji Tuhan, beberapa dari orang berdosa ini dipilih-Nya dari kekekalan untuk menjadi anak-anak-Nya di dalam Kristus. Doktrin predestinasi seharusnya membuat kita yang sudah menjadi anak-anak-Nya secara sungguh-sungguh bersyukur atas anugerah-Nya yang begitu besar dan dahsyat. Ingatlah, kita semua seperti tanah liat yang kotor, lemah, tetapi Ia seperti si tukang periuk berdaulat dan berkuasa menjadikan kita yang kotor dan lemah ini menjadi “barang” yang berharga di mata-Nya. Puji Tuhan. Biarlah sebagai umat pilihan-Nya di dalam Kristus, kita semakin mempercayakan hidup kita di dalam-Nya sepanjang hari sebagai Raja, TUHAN, dan Pemilik hidup kita. Jadikanlah Kristus sebagai Raja di dalam hidup Anda, maka Anda akan melihat sesuatu yang dahsyat terjadi di dalam kehidupan Anda sesuai dengan kehendak-Nya. Amin. Soli Deo Gloria.