21 June 2009

Matius 16:1-4: THE MESSIAHSHIP OF CHRIST: THE SIGN (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 14 Oktober 2007




Messiahship of Christ: The Sign

oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.




Nats: Matius 16:1-4





Tema utama dari Injil Matius pasal 16 adalah Kemesiasan Yesus Kristus, the Messiahship of Christ. Lembaga Alkitab Indonesia membaginya dalam empat segmen dan hari ini kita akan merenungkan segmen pertama dimana segmen pertama ini berkaitan erat. Tuhan bukanlah Tuhan yang jauh di sana tetapi Ia berinkarnasi datang ke dunia untuk menyelamatkan manusia berdosa. Dengan demikian kita mendapatkan suatu gambaran utuh tentang Kristus Tuhan dan Mesias dalam tugas dan kepribadian-Nya.
Orang Farisi dikenal sangat religius, saleh dan percaya Allah namun ironis, mereka justru melawan Tuhan. Mereka tidak memahami esensi agama sejati tetapi agama tidak lebih humanistik, orang memanipulasi Tuhan demi kepentingan diri. Manusia dicipta oleh Tuhan harusnya kembali pada Sang Pencipta dan taat mutlak pada Sang Pencipta sebagai Allah yang berdaulat. Perhatikan, kedaulatan Allah tidak bersifat diktator, Dia tidak mencipta kita seperti robot dan mengatur setiap langkah dan gerak kita. Tidak! Kedaulatan Allah adalah manusia yang memahami Firman dengan pengertian yang tepat bahwa Tuhan itulah Raja di atas segala raja yang berdaulat lalu dengan kesadaran penuh dan hati yang penuh cinta kasih kita taat dan melakukan semua Firman-Nya. Sebagai anak Tuhan sejati, Firman Tuhan itu harusnya menjadi dasar dan terimplikasi dalam seluruh aspek hidup kita namun hal itu tidaklah mudah, banyak hal bertentangan dengan dunia.
Kembali orang Farisi berusaha mencobai Tuhan Yesus dan kali ini ia bersekongkol dengan orang Saduki. Padahal kedua golongan ini sangat bertentangan tetapi mereka bisa bersepakat dan bersatu ketika menghadapi Tuhan Yesus. Dalam sejarah bangsa Israel terdapat 3 golongan besar, yakni: 1) golongan Farisi, orang yang sangat ekstrim religius dan anti politik. Mereka sangat sengit melawan pemerintahan khususnya pemerintahan Herodes dan Romawi. Orang Farisi berpendapat Israel harusnya diperintah secara theokratis dimana Allah Yahweh sebagai pemegang pemerintahan atas orang-orang Yahudi seperti dalam konsep Perjanjian Lama; 2) golongan Saduki, kelompok Yahudi liberal, mereka mengkompromikan aspek agama dengan politik. Mereka percaya, orang Yahudi seharusnya merdeka tetapi mereka tidak pernah memikirkan pemerintahan Yahudi sebagai pemerintahan yang theokratis. Orang Saduki percaya Allah tetapi mereka tidak percaya kebangkitan pada orang mati. Agama hanya berjalan di dunia sekarang dan setelah mati, kehidupan pun berhenti. Perbedaan yang sangat drastis secara metafisika dengan orang Farisi yang percaya adanya kebangkitan. Kedua golongan ini berdiri secara agama tetapi mempunyai theologi yang berbeda itulah sebabnya mereka selalu bertentangan, 3) golongan Herodian, murni bergerak di politik, tidak berurusan dengan agama bahkan cenderung anti agama, mereka hanya peduli kekuasaan. Ketiga golongan ini tidak pernah saling akur namun ironis, golongan Farisi dan golongan Saduki bersatu untuk menghadapi Tuhan Yesus. Bagi orang Farisi, Tuhan Yesus dianggap terlalu liberal karena melanggar semua peraturan atau adat istiadat yang telah ditetapkan dan bagi orang Saduki, Tuhan Yesus dianggap terlalu religius karena Ia percaya akan kebangkitan orang mati.
Maka celakalah kita kalau mau menyenangkan semua orang, kita lebih mirip seperti bunglon dan akhirnya, kita akan menjadi musuh semua orang. Karenanya, kita harus kembali pada kebenaran sejati maka kita tidak akan mudah tergoyahkan meski diserang dari segala arah. mendapatkan hidup sejati. Manusia hidup bukan ditentukan oleh orang lain tetapi hidup manusia ditentukan oleh kebenaran Allah. Celaka kalau hidup kita ditentukan oleh sesuatu yang relatif, kita akan diombang-ambing berbagai permainan palsu yang licik dan menyesatkan kemudia berakhir dengan kebinasaan. Kristuslah satu-satunya kebenaran; Ia telah memproklamasikan kebenaran, menghidupkan kebenaran, membuktikan kebenaran dan menyatakan kebenaran di tengah dunia.
Sebelumnya orang Farisi menyerang Tuhan Yesus karena Ia dianggap telah melanggar Taurat maka sekarang kembali mereka menyerang Kemesiasan Kristus. Mereka meminta tanda yang menyatakan bahwa benar Ia adalah Mesias. Istilah tanda, hari ini banyak digunakan oleh orang Kristen; dalam hal apapun selalu meminta tanda dari Tuhan. Ingat, Christianity not build by experience. Dunia ingin mendapatkan kebenaran dan sesuatu itu dianggap benar dilihat dari 4 aspek, yakni: 1) rasionalisme, segala sesuatu dianggap benar kalau cocok dengan logika. Pertanyaannya adalah seberapa besarkah rasio kita? Apakah semua yang rasional menurut kita itu pasti benar? Tidak! Sebab banyak aspek sifatnya supra rasional. Rasio hanyalah sarana untuk melihat kebenaran. Rasio lebih kecil dan lebih rendah dari kebenaran maka ia tidak berhak menentukan kebenaran. Dunia sangat terjebak dengan konsep ini, akibatnya dunia sulit menerima hal kebangkitan Tuhan Yesus atau Tuhan Yesus berjalan di atas air – agama dikunci di aspek logika, 2) empirisme, kebenaran tergantung dari pengalaman. Pertanyaannya adalah apakah setiap orang mempunyai pengalaman yang sama? Tidak! Lalu bagaimana mungkin kebenaran ditentukan oleh pengalaman? Pengalaman siapakah yang berhak sebagai penentu kebenaran? Pengalaman hanyalah sarana sebab banyak pengalaman yang bersifat negatif. Apakah kita perlu mencoba mengalami terlebih dahulu kalau jatuh dari lantai 20 pasti akan mati? Tidak, bukan? Kalau semua aspek harus kita alami celakalah hidup kita. Truth is not according to the experience, knowledge is not according to the experience but knowledge is back to the Truth in Words, 3) subyektifisme, 4) otorianisme. Untuk dua aspek terakhir ini tidak akan dijelaskan lebih detail.
Sesungguhnya, Tuhan Yesus telah memberikan banyak tanda mulai dari kelahiran-Nya, ketika Ia dibaptis, khotbah di atas bukit, orang buta dicelikkan, orang lumpuh berjalan, dan masih banyak lagi tanda yang semuanya sangat jelas tetapi mereka tidak pernah melihat semua tanda itu sebab mereka menetapkan diri sebagai subyek penentu kebenaran. Manusia ingin menjadi tuan atas kebenaran. Inilah kegagalan iman di titik pertama. Jelaslah, kalau orang sudah tidak mau percaya pada Kristus maka ia tidak akan pernah mengerti kebenaran sejati selama hidupnya, hal ini sangat dipahami oleh Agustinus dan ditajamkan oleh Anselmus lalu ditegaskan kembali oleh Calvin. Hanya kembali pada Allah dan kebenaran-Nya sajah kita akan memahami tentang kebenaran dan semua akan ditambahkan padamu. Agustinus menegaskan iman adalah yang utama dan rasio seperti “pembantu“ dimana iman itulah “tuan.“ Pernyataan yang tajam diungkapkan oleh Anselmus, credo ut intelligum, i believe than i understand. Sebaliknya, dunia menyatakan mengerti dulu baru mau percaya maka tidaklah heran kalau orang tidak pernah memahami kebenaran sejati. Inilah kebebalan manusia.
Percaya itu menjadi kunci utama maka seluruh kepercayaan itu akan membangun seluruh pengertian yang sejati. Pengertian yang sejati hanya ada dalam Firman Tuhan saja. Iman menentukan semua hal. Seorang rasionalis yang percaya pada rasio maka ia akan mendapatkan semua pengertian yang berbasiskan rasionalis. Untuk hal-hal yang sifatnya irasional maka selamanya, ia tidak akan pernah mengerti. Maka percuma semua tanda kalau orang tidak mau percaya pada Kristus Tuhan, sebanyak apapun tanda tidak akan membuat mereka percaya. Orang hanya mau tanda yang cocok dengan pemikirannya. Ketika orang Farisi dan Saduki menuntut jawaban dari Tuhan Yesus maka Tuhan Yesus menyindir dengan satu kalimat tajam tentang tanda pada alam (Mat. 16:2-3). Tuhan Yesus tidak merasa perlu memberikan tanda pada orang bebal. Hanya satu hal yang Tuhan Yesus tegaskan yakni tanda Yunus lalu Tuhan Yesus pun meninggalkan mereka pergi.
Orang Palestina umumnya hidup dari pertanian, peternakan dan perikanan sehingga mereka sangat bergantung pada alam dan cuaca karena itu menentukan nasib mereka. Demi kepentingan diri, orang mau belajar namun untuk kepentingan orang lain, orang tidak peduli. Inilah sifat manusia berdosa, hanya mementingkan diri dan tidak pernah peduli orang lain. Hal yang sama diperlakukan pada Tuhan Yesus, mereka meminta tanda yang sesuai dengan keinginan dan kepentingan diri. Tuhan Yesus tidak memberikan tanda itu sebab sesungguhnya, mereka tidak pernah mau mengerti tanda. Pertanyaannya bagaimana respon kita? Kita mau mengikut iblis atau Tuhan? Iblis pasti akan memberikan tanda itu yang seperti yang kita minta. Hari ini tanpa sadar, Kekristenan telah masuk dalam format iblis, mereka menyeleweng dari Firman Tuhan; orang hanya berpikir humanistik. Orang tidak berpikir seperti Kristus berpikir, tidak mempunyai perasaan seperti perasaan Kristus – orang hanya mempunyai perasaan senasib sebagai sesama orang berdosa. Ironisnya, ketika orang berdosa dibukakan akan realita bahwa kita adalah orang berdosa, orang menjadi marah. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah iman yang sejati? Apakah yang dimaksud dengan tanda sejati?
Tanda apapun tidak akan membuat orang percaya sebab titik permasalahan adalah iman percaya. Apakah kita mau merombak seluruh pemikiran kita untuk percaya mutlak pada Kristus? Inilah iman sejati. Tuhan Yesus sedang mengajak kita untuk merombak cara berpikir dengan demikian kita tidak hanya mengerti Kristus sebagai Tuhan tetapi kita juga mengerti konsep Mesianik secara total. Mesias berarti Juruselamat, Dia yang diurapi datang untuk menyelamatkan manusia. Mesias sangat dinantikan oleh bangsa Israel namun mereka tetap tidak dapat mengerti kalau Mesias itu telah datang di depan mata bahkan telah menuntaskan tugas Kemesiasan-Nya dan kembali ke sorga, mereka tetap tidak mengerti Kristus adalah Mesias bahkan sampai hari ini mereka masih menantikan Mesias sebab Mesias yang datang tidak sesuai dengan harapan mereka.
Matius 16:1-4 mengajarkan pada kita satu hal, yakni credo ut intelligum, believe than understand. Orang harus percaya mutlak pada Firman, back to the Bible. Ketaatan berarti kembali pada kebenaran sejati dan apapun yang tidak kita suka tetap harus taat dan hal ini sangat sulit bagi orang Kristen sebab pada dasarnya, manusia adalah manusia berdosa dan pemberontak Allah. Sebagai Kristen sejati, kita harus taat mutlak pada Allah Sang Pencipta karena Ia adalah Tuhan di atas segala tuhan. Iman kepercayaan pada Kristus itulah dasar dan pondasi yang menentukan seluruh cara berpikir kita yang selama ini diisi oleh konsep berdosa.
Mengapa Kristus sebagai satu-satunya yang sah? Ada tiga aspek, yakni:
1. Kristus adalah Kebenaran absolut
Kalau orang mau melawan Kristus maka dengan mudah orang bisa mengatakan Kristus bukanlah kebenaran absolut dan tidak percaya pada-Nya maka percuma semua tanda atau pembuktian apapun diberikan sebab di titik awal orang sudah tidak percaya. Tanda apapun dan bagaimanapun akan dilawan maka orang tidak pernah mendapatkan jawaban. Kunci utama dan terpenting adalah percaya mutlak. Namun orang tidak mau percaya dan ingin menjadi penentu kebenaran, segala sesuatu dianggap benar kalau menurut dia benar. Itu bukan kebenaran sejati.
3. Kristus adalah verifikator
Kristus adalah Tuhan atas alam semesta, Dia adalah kebajikan tertinggi, summum bonum maka Dia berhak dan layak menjadi penentu absolut apapun yang ada di dunia, menentukan baik/tidak baik, benar/tidak benar, suci/tidak suci, mulia/tidak mulia – semua value system, epistemologi dan axiologi di tangan-Nya. Kristus adalah pemegang otoritas tertinggi maka kalau kita beriman pada-Nya maka itu menjadi suatu kekuatan dalam hidup kita.
2. Kristus adalah otoritas final
Semua otoritas di bawah boleh berpendapat benar tapi kalau Sang otoritas tertinggi berkata “salah” maka semua yang benar tadi adalah salah. Sebagai contoh, pada suatu perusahaan, kepala staf, kepala departemen, manajer bersepakat dan setuju namun kalau komisaris tertinggi sebagai penentu tertinggi, tidak setuju maka semua otoritas di bawahnya gugur dengan sendirinya. Itu hanya contoh kecil dari suatu perusahaan sebab Kristus adalah pemegang otoritas tertinggi dari semua otoritas di dunia. Penentuan terakhir berada di tangan Kristus, tidak peduli apakah kita suka atau tidak suka, Dia yang menentukan semua. Dia adalah penuntun dan pemimpin langkah hidup kita maka kalau kita kembali pada Dia, alangkah indah hidup kita, hidup kita menjadi jelas ketika kita melangkah karena kita berpaut pada kebenaran sejati. Celakalah kalau kita mentautkan hidup kita pada iblis, kita akan binasa. Orang yang hidup berpaut pada Kristus akan takut untuk berbuat dosa, orang akan berusaha keras untuk hidup dalam kebenaran; ketika ia melakukan hal yang salah maka ia akan merasa risih. Firman selalu mengingatkan kita, seperti rem yang mengerem kita. Berbeda halnya kalau orang berpaut pada iblis, bapa segala penipu maka segala sesuatu yang ia kerjakan yang sifatnya berdosa, orang tidak merasa bersalah atau berdosa. Dunia tidak takut pada esensi dosa, dunia hanya takut pada akibat dosa, seperti hukuman-hukuman yang akan diterima, dan lain-lain. Selama orang hanya takut pada akibat dosa dan tidak kembali pada penentu Allah yang final maka seluruh perbuatan dosa dapat dianulir, seluruh perbuatan jahat bisa diabaikan dan hal itu akan menjadikan kita berdosa.
Tanda Yunus menjadi tanda unik, refleksi Kemesiasan Kristus – Kristus akan mati, disalib dan tiga hari, Ia akan tinggal dalam perut bumi dan bangkit pada hari ketiga. Inilah pertama kali, Kristus membuka misi Mesias. Mesias yang hadir berbeda dengan konsep Mesias yang dimengerti oleh orang berdosa. Dalam konsep bangsa Israel, Mesias yang hadir akan menjadi Raja, keturunan Daud yang bertahta dan menguasai Kerajaan sampai menguasai seluruh wilayah Salomo bahkan lebih daripada itu, yakni kerajaan itu haruslah sebesar Kerajaan Romawi Raya. Ternyata, Mesias yang hadir berbeda total dari konsep mereka; Mesias lahir di kandang, menderita sengsara dan hina, bermahkota duri, naik ke kayu salib, mati dan bangkit. Tuhan sedang membukakan suatu status yang sangat unik tentang kehadiran-Nya, Dia datang bukan untuk dilayani melainkan melayani dan menjadi tebusan bagi banyak orang. Inilah misi Mesianik.
Sungguh merupakan suatu anugerah kalau kita dapat percaya dan beriman pada Kristus, kita dibukakan dan mengerti akan kebenaran sejati bahwa Kristus adalah Mesias. Pertanyaannya sekarang adalah apakah kita seorang Kristen sejati? Seorang Kristen sejati akan beriman sejati – taat mutlak pada Kristus sebagai kebenaran mutlak, otoritas final dan penentu yang sah. Hendaklah kita mengevaluasi diri kita seberapa jauhkan kita mengerti ”tanda”? Sudahkah hidup kita bertaut pada Kristus Sang Kebenaran sejati? Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)





Sumber:
http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2007/20071014.htm

Roma 15:25-29: PELAYANAN SOSIAL YANG MEMULIAKAN ALLAH

Seri Eksposisi Surat Roma:
Penutup-5


Pelayanan Sosial yang Memuliakan Allah

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 15:25-29



Sebelum ke Spanyol, Paulus mampir dahulu ke Yerusalem. Apa tujuannya? Di ayat 25-26, ia menjelaskan, “Tetapi sekarang aku sedang dalam perjalanan ke Yerusalem untuk mengantarkan bantuan kepada orang-orang kudus. Sebab Makedonia dan Akhaya telah mengambil keputusan untuk menyumbangkan sesuatu kepada orang-orang miskin di antara orang-orang kudus di Yerusalem.” Dari dua ayat ini, kita belajar bahwa Paulus mampir ke Yerusalem untuk mengantarkan bantuan dari orang-orang Kristen di Makedonia dan Akhaya untuk orang Kristen di Yerusalem. Mengapa orang-orang Kristen di Makedonia dan Akhaya memberi bantuan kepada orang Kristen di Yerusalem? Ada dua alasan. Alasan pertama ada di dua ayat ini dan alasan kedua ada di ayat selanjutnya. Alasan pertama adalah masalah kuantitas. New International Version (NIV) Spirit of The Reformation Study Bible memberikan keterangan bahwa orang Kristen di Yerusalem menderita karena mereka tergolong kaum minoritas, karena kaum mayoritas di sana adalah penganut Yudaisme/Yahudi. Dengan alasan ini, jemaat Tuhan di Makedonia dan Akhaya memutuskan untuk membantu jemaat Tuhan di Yerusalem. Luar biasa, semangat saling menolong sesama jemaat Tuhan ini. Bagaimana dengan kita? Kita sebagai orang Kristen yang hidup di Indonesia masih tergolong enak. Jika kita memperhatikan kondisi orang-orang Kristen di luar negeri, khususnya di negara-negara komunis, seperti RRT dan negara-negara yang agama mayoritasnya non-Kristen, seperti: Pakistan (Islam), India (Hindu), Thailand (Buddha), dll, kita akan mendapati kondisi mereka memprihatinkan. Buletin Kasih Dalam Perbuatan (KDP) yang diterbitkan oleh Voice of the Martyrs menceritakan kondisi malang mereka yang hidup di negara-negara demikian. Mereka disiksa, difitnah, gereja dihancurkan/dihalangi dengan segudang argumentasi yang tidak masuk akal (persis seperti di Indonesia), pendeta dibunuh, dll. Bagaimana reaksi kita? Kita sebagai orang Kristen di Indonesia kebanyakan cuek dengan kondisi mereka. Kita terlalu serakah memperkaya diri dan gereja kita sebagai pertanda “berkat Tuhan.” Sebagaimana yang dilakukan oleh jemaat di Makedonia dan Akhaya, marilah kita juga membantu sesama umat Tuhan yang hidup di negara-negara yang menyiksa mereka. Kita bisa membantu melalui dukungan dana, tenaga, doa, dll. Sudahkah kita melakukannya?


Alasan kedua mereka membantu jemaat di Yerusalem dipaparkan oleh Rasul Paulus sendiri di ayat 27, “Keputusan itu memang telah mereka ambil, tetapi itu adalah kewajiban mereka. Sebab, jika bangsa-bangsa lain telah beroleh bagian dalam harta rohani orang Yahudi, maka wajiblah juga bangsa-bangsa lain itu melayani orang Yahudi dengan harta duniawi mereka.” Di dalam ayat ini, Paulus mengatakan bahwa keputusan memberikan berkat jasmani kepada orang-orang Kristen di Yerusalem merupakan keputusan jemaat Tuhan di Makedonia dan Akhaya sendiri, tanpa ada unsur paksaan. Mengapa mereka bisa berbuat demikian? Alasan kedua adalah karena bangsa-bangsa lain telah mendapat harta rohani dari orang-orang Yahudi (bdk. Rm. 11:11-12), maka mereka pun harus memberikan harta duniawi kepada orang-orang Yahudi. Apa signifikansinya bagi kita? NIV Spirit of the Reformation Study Bible memberikan prinsip umum bagi ayat ini, yaitu ayat ini hendak mengajarkan kepada kita bahwa kita yang telah mendapat berkat rohani harus membagikan berkat jasmani mereka untuk orang lain. Apakah ada unsur timbal balik di dalamnya? Seolah-olah ya, tetapi sebenarnya tidak. Mengapa? Karena orang Kristen yang beres setelah menerima berkat rohani dari Allah dengan rela hati dan penuh syukur akan membagikan berkat jasmani kepada orang lain dan demi pelebaran Kerajaan-Nya di bumi ini. Dengan kata lain, intinya adalah kerelaan hati dan penuh syukur, bukan karena rasa bersalah atau timbal balik. Seorang yang merasa berutang budi atas kebaikan seseorang, lalu memberi balik sesuatu kepada orang lain, maka pemberian itu belum bisa dikategorikan tulus. Utang budi bukan tulus. Suatu pemberian bisa dikatakan tulus apabila pemberian itu dilakukan terlebih dahulu sebelum orang lain memberi sesuatu kepada kita dan pemberian itu tentunya bukan berdasarkan apa yang kita suka, tetapi apa yang orang lain suka. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita memberi dengan ketulusan dan penuh rasa syukur kepada Allah?


Setelah menyerahkan hasil usaha dari para jemaat Tuhan di Makedonia dan Akhaya, Paulus mengatakan bahwa ia akan pergi ke Spanyol melalui Roma (ay. 28). Ketika ia pergi ke sana, ia mengatakan, “Dan aku tahu, bahwa jika aku datang mengunjungi kamu, aku akan melakukannya dengan penuh berkat Kristus.” (ay. 29) King James Version (KJV) menerjemahkannya, “And I am sure that, when I come unto you, I shall come in the fulness of the blessing of the gospel of Christ.” (=Dan aku yakin bahwa, ketika aku datang kepadamu, aku akan datang dengan kepenuhan berkat dari Injil Kristus.) New International Version (NIV) menerjemahkannya, “I know that when I come to you, I will come in the full measure of the blessing of Christ.” (=Aku tahu bahwa ketika aku datang kepadamu, aku akan datang dengan kepenuhan berkat Kristus.) Analytical-Literal Translation (ALT) menerjemahkannya, “But I know that coming to you*, I will come in [the] fullness of [the] blessing of the Gospel of Christ.” (=Tetapi aku tahu bahwa waktu aku datang kepadamu, aku akan datang dengan kepenuhan berkat dari Injil Kristus.) Ada beberapa hal yang bisa kita pelajari dari ayat ini:
Pertama, “aku tahu.” Di ayat ini, Paulus mengatakan, “Dan aku tahu.” Albert Barnes di dalam tafsirannya Albert Barnes’ Notes on the Bible menyatakan bahwa pernyataan ini menunjukkan keyakinan Paulus yang kuat akan kesuksesan pelayanannya di mana saja. Berarti ada kepuasan tersendiri ketika Paulus telah selesai menunaikan pelayanannya. Bagaimana dengan kita? Kepada kita, Allah telah mempercayakan pelayanan yang beragam. Bagaimana kita melakukan pelayanan itu? Dengan sukacita atau bersungut-sungut? Setelah itu, apakah kita cukup puas dan bersukacita setelah kita menunaikan tugas pelayanan kita? Di satu sisi, memang, kita tidak boleh cepat puas dengan apa yang kita capai khususnya di dalam pelayanan, tetapi di sisi lain, kita dituntut puas dan bersukacita karena kehendak-Nya sudah kita jalankan dengan bertanggungjawab. Kepuasan dan sukacita kita ini merupakan wujud rasa syukur kita kepada-Nya yang telah memanggil kita melayani-Nya dan menguatkan kita di dalam pelayanan tersebut.

Kedua, “aku melakukannya dengan penuh berkat Kristus.” Setelah puas akan sesuatu yang telah ia capai, biasanya manusia (tidak terkecuali beberapa atau mungkin banyak orang Kristen dan pemimpin gereja) akan merasa sombong. Mereka berpikir bahwa pencapaian mereka itu adalah akibat kerja keras mereka. Apakah ini juga terjadi pada Paulus? TIDAK! Puji Tuhan, Paulus bukan tipe orang yang sombong setelah ia berhasil melayani Tuhan di mana-mana, namun ia adalah rasul Kristus yang rendah hati. Ia tetap mengakui bahwa pencapaiannya terjadi karena ada berkat Kristus. Ada sedikit perbedaan terjemahan tentang pernyataan ini. Seperti yang sudah saya kutip di atas: dua terjemahan (KJV dan ALT) menerjemahkannya sebagai berkat dari Injil Kristus, sedangkan terjemahan NIV memakai kata berkat Kristus. Terjemahan Indonesia dari teks Yunaninya adalah berkat Kristus. (Hasan Sutanto, 2003, hlm. 877) Vincent’s Word Studies memberikan keterangan bahwa kata “Injil” di dalam “berkat Injil Kristus” dihilangkan, sehingga menjadi: berkat Kristus. Adam Clarke di dalam Adam Clarke’s Commentary on the Bible memaparkan bahwa kepenuhan berkat Kristus lebih besar dari kepenuhan berkat Injil Kristus. Oleh karena itu, menurut Clarke, Paulus datang ke Roma bukan hanya dengan berkat Injil, namun juga dengan karunia dan anugerah dari Tuhan Yesus yang telah memanggilnya menjadi rasul-Nya. Di sini, kita melihat tafsiran Clarke cukup bertanggungjawab, karena yang menjadi inti pelayanan Paulus bukan apa yang diberitakannya, tetapi siapa yang diberitakannya, yaitu Kristus sendiri! Injil Kristus tidak akan berarti apa-apa tanpa Kristus yang beraksi. Begitu juga dengan pelayanan Paulus. Pelayanan Paulus tidak akan berarti apa-apa jika tanpa anugerah Kristus yang terus menguatkan dan menopangnya, sehingga meskipun harus menderita, Paulus tetap setia melayani-Nya. Bagaimana dengan kita? Pelayanan yang kita kerjakan sungguhkah berpusat kepada Kristus dan memuliakan-Nya saja? Biarlah kita mengintrospeksi diri kita.


Setelah merenungkan lima ayat di atas, bagaimana respons kita? Ketika kita melayani Tuhan, sungguhkah pelayanan itu berpusat kepada Allah, melayani orang lain, dan memuliakan Allah? Jangan pernah menomersatukan diri dan kehendak diri ketika kita melayani-Nya! Utamakan Allah dan kehendak-Nya terlebih dahulu, baru orang lain. Amin. Soli Deo Gloria.