05 December 2007

Matius 8:1-4 : THE KINGDOM AND THE ACTION-1

Ringkasan Khotbah : 21 November 2004

The Kingdom & the Action (1)
oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 8:1-4


Kita sudah memahami bahwa Injil Matius bukan ditulis secara kronologi tetapi secara tematik, yaitu Kristus Sang Raja dari Kerajaan Sorga itu datang untuk menggenapkan kerajaan-Nya di tengah dunia dan Kerajaan Sorga itu dimulai dari biji sesawi dan kemudian bertumbuh menjadi pohon yang besar sehingga burung dapat bersarang di dalamnya, King and the Kingdom. Untuk menggenapkan Kerajaan Sorga di dunia, Sang Raja itu tidak bekerja seorang diri saja. Sang Raja itu mulai merekrut orang-orang untuk dijadikan-Nya sebagai pekerja di dalam Kerajaan Sorga, the Kingdom and the Workers. Cara Kristus merekrut orang berbeda bahkan berlawanan dengan konsep manusia berdosa namun kita melihat bahwa orang-orang yang Tuhan pilih justru “jadi“ dalam arti mereka berhasil padahal latar belakang sangatlah dihinakan orang. Umumnya sebuah Kerajaan maka Kerajaan Sorga pun mempunyai hukum atau undang-undang yang disebut sebagai hukum Kerajaan Allah yang dipaparkan oleh Sang Raja dalam beberapa khotbah-Nya di atas bukit, the Law of the Kingdom. Sebagai warga Kerajaan Sorga maka kita harus taat pada undang-undang Kerajaan Sorga, orang yang tidak mau taat berarti pemberontak dan konsekuensinya ia harus dikeluarkan dari statusnya sebagai warga Kerajaan Sorga. Sama seperti halnya malaikat yang tidak mau taat, ia memberontak maka ia dibuang dalam penghukuman kekal dan menjadi iblis. Ini merupakan sistem dan prinsip dari hukum Kerajaan Allah. Karena itu Matius pasal 5–7 dimaksudkan untuk menata wawasan berpikir supaya ketika kita melihat dan menilai segala sesuatu dari sudut pandang hukum Kerajaan Allah.
Setelah kita mengerti prinsip hukum Kerajaan Allah maka kini kita masuk dalam bagian implikasi, yaitu bagaimana menjalankan prinsip hukum tersebut dalam kehidupan praktis dengan demikian prinsip tersebut tidak sekedar menjadi pengetahuan kognitif belaka. Bukanlah hal yang mudah bagi kita untuk menjalankan hukum Kerajaan Allah meskipun secara garis besar, isi dari hukum tersebut telah kita mengerti sehingga ada kesenjangan antara teori dan praktek. Namun Alkitab mencatat Kristus Sang Raja itu tidak hanya sekedar berteori tetapi Ia sendiri memberikan teladan pada kita bagaimana menerapkan hukum tersebut dalam kehidupan praktis sehari-hari. Matius mencatat setelah Yesus turun dari bukit, orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia (Mat. 8:1), banyak teolog yang menafsirkan bahwa orang banyak yang berbondong-bondong itu adalah orang yang sama yang mendengar khotbah Yesus di atas bukit yang mengajarkan prinsip-prinsip Kerajaan Sorga, yakni karena orang banyak itu mengerti prinsip Kerajaan Sorga yang berkualitas dan berbeda dengan yang diajarkan oleh ahli Taurat. Pendidikan Kerajaan Sorga bukan hanya sebatas teori saja tapi harus diimplikasikan dan implikasi ini menuntut kualitas yang tinggi.
Dunia tidak akan pernah membangun prinsip yang dia sendiri tidak mungkin dapat melakukannya maka satu-satunya cara supaya dapat menjalankan prinsip yang dunia ajarkan adalah dengan membangun prinsip sedemikian rupa yang sekiranya sesuai dan dapat dunia lakukan. Salah! Hal itu justru semakin merendahkan prinsip kualitas kerja kita. Yang benar dan yang seharusnya kita lakukan adalah justru membangun konsep berdasarkan prinsip Kerajaan Sorga yang tinggi lalu hidup kita yang ditata sedemikian rupa supaya dapat memenuhi tuntutan kualitas tersebut. Jadi, kualitas hidup kita naik bukannya menurun; kita dituntut untuk bertumbuh dan membuang semua konsep kita yang salah untuk kembali pada kebenaran Firman. Implikasi iman ini disusun oleh Matius dengan sangat indah (Mat. 8:1– 9:34). Dalam hal ini kurang jelas siapa yang menyusun Injil Matius apakah Matius ataukah Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) hingga setiap pasal dapat tersusun sedemikian rupa dengan indahnya namun saya yakin semua ini tidak lepas dari campur tangan Tuhan. Seperti kita ketahui tulisan asli Alkitab berupa tulisan murni seperti layaknya sebuah surat, tidak ada judul maupun angka-angka yang menandai adanya ayat atau pasal. Kalau kita perhatikan maka bukan suatu kebetulan kalau Matius pasal 8 dan pasal 9 sama-sama terdiri dari 34 ayat dan sama-sama terdiri dari dua tema.
Tema Matius pasal 8, yaitu: 1) Lordship, yaitu Kristus sebagai pusat yang diungkapkan dalam tiga mujizat (ayat 1–17), 2) Disciplership bagaimana menjadi pengikut Kristus, (ayat 18–34). Tema Matius pasal 9, yaitu: 1) Comitmen, bagaimana kita memilih dan berkomitmen dengan benar di antara banyaknya pilihan yang ditawarkan (ayat 1–17), 2) Faith, bagaimana beriman sejati di dalam keseluruhan totalitas (ayat 18–34). Dan bukan suatu kebetulan juga kalau setiap satu tema ada tiga contoh kejadian dimana setiap kejadian tersebut bukanlah kejadian yang terjadi secara berurutan. Semuanya itu pasti karena Tuhan yang turut campur tangan dan juga tidak lepas dari latar belakang kehidupan Matius sebelumnya sebagai seorang pemungut cukai yang selalu berpikir sistematis sehingga Injil Matius dapat terstruktur dengan indah dengan demikian si pembaca dituntun dengan tepat bagaimana seharusnya mengerti mujizat dalam konsep Kristologi, yaitu mujizat merupakan implikasi dari hukum Kerajaan Sorga yang turun ke dunia dan bagaimana sikap manusia yang benar terhadap Sang Raja. Berbeda dengan dunia hanya mengerti mujizat secara antropologi humanis yang berdosa.
Si pembaca juga jadi mengerti bagaimana seharusnya menjalankan kehidupan beriman dengan demikian orang jadi mengerti bahwa ajaran Kristus bukan hanya sekedar teori yang sulit dijalankan. Tidak! Hukum Kerajaan Sorga ternyata dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan itu membutuhkan pendobrakan total karena konsep kita yang salah selama ini kita menganggapnya sebagai konsep Kristen padahal sesungguhnya adalah konsep antropologis humanistik. Pada sub tema yang pertama dari Injil Matius ini kita akan membahas secara lebih mendalam karena di dalamnya mengandung prinsip penting yang perlu kita perhatikan itulah sebabnya Matius meletakkan ayat ini di bagian pertama. Perhatikan, pada ayat pertama dan kedua sangatlah kontras. Setelah Yesus turun dari bukit, orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia; orang banyak di situ pastilah juga ada orang Yahudi. Matius tidak menyebut mereka sebagai murid karena nantinya terbukti kalau ternyata mereka bukan murid sejati tetapi hanya sekedar pendukung Yesus sebab mereka tahu Yesus dapat membuat mujizat. Mujizat seharusnya menjadikan kita memahami bahwa:
1. Yesus adalah Raja yang Berotoritas
Matius ingin menunjukkan kalau Kristus adalah Raja dengan banyaknya pengikut di belakang Dia yang mengiringi kedatangan-Nya. Dan Matius memang sengaja mengontraskan hal tersebut dengan kedatangan seorang sakit kusta yang datang di depan-Nya. Pada jaman itu, sakit kusta sama dengan vonis mati karena tidak ada satu obat pun yang dapat menyembuhkan penyakit kusta dan orang juga menganggap kalau sakit kusta merupakan kutukan dari Tuhan sebagai akibat banyaknya dosa yang telah ia perbuat. Dan orang yang sakit kusta harus diasingkan dan dijauhkan dari keluarga. Seorang Raja turun bukit dan di belakangnya diikuti dengan ribuan pendukung namun didepannya ada seorang yang sakit kusta dimana ribuan orang tersebut sangat membenci orang yang sakit kusta tersebut. Bayangkan, andai kita yang menjadi Rajanya saat itu, apa yang akan kita lakukan? Memilih ribuan orang yang menjadi pendukung kita ataukah memilih orang yang sakit kusta dengan konsekuensi ditinggalkan oleh ribuan pendukung? Disini Kristus dihadapkan dengan ajaran-Nya sendiri yang mengajarkan hukum cinta kasih. Posisi ini sangat krusial sekali, Matius ingin membukakan pada kita siapa Kristus? Kejadian yang hampir sama ini pernah juga dialami oleh Petrus di Galatia dimana Petrus sangat baik bersekutu dengan orang non Yahudi seperti orang-orang Yunani dan lain-lain namun setelah orang Yahudi datang maka Petrus mulai menjauhi mereka dan bersekutu dengan orang Yahudi sehingga Paulus menegur Petrus dengan keras.
Alkitab mencatat Tuhan Yesus memilih orang sakit kusta itu, Ia menghampiri dan menjamahnya. Injil Matius membukakan satu hal pada kita bahwa ternyata semua hal yang tidak disuka oleh orang Yahudi justru disanalah Tuhan Yesus melakukan mujizat. Dari doanya orang Yahudi, kita tahu bahwa orang Yahudi sangatlah rasialis dan melecehkan posisi wanita, genderisasi karena itu Matius mengangkat kisah seorang berdosa seperti orang sakit kusta, kisah seorang kafir seperti hamba seorang perwira di Kapernaum dan kisah seorang perempuan, yaitu ibu mertua Petrus untuk dituliskan dengan demikian dapat mengubah konsep mereka yang salah. Ingat, Yesus melakukan mujizat bukan demi supaya orang banyak mengikut Dia. Tidak! Kristus adalah Raja maka Dia berkuasa melakukan apapun sesuai keinginan-Nya termasuk menyembuhkan orang sakit kusta itu dan tindakan Kristus sangatlah tepat. Jadi, mujizat seharusnya menyadarkan kita akan siapa sesungguhnya Kristus, yaitu Dia adalah Raja di atas segala raja maka Dia berhak melakukan apapun. Tuhan tahu apa yang ada di pikiran orang banyak itu dan apa yang menjadi keinginan mereka karena itu Tuhan tidak langsung suka ketika orang banyak berkata, “Guru, aku mau mengikut Engkau.“ Tuhan pasti menanyakan apa motivasi mereka mengikut sebab serigala punya liang, burung di udara ada sarangnya tapi Anak Manusia tidak punya tempat untuk meletakkan kepala-Nya. Itu artinya Tuhan tidak memberikan sesuatu seperti yang manusia harapkan. Masih banyak lagi pernyataan Tuhan Yesus ketika ada orang yang mau mengikut Dia tapi ia mau menguburkan orang tuanya dulu barulah kemudian ia mengikut. Tuhan langsung menegur dengan keras. Kristus menegaskan bahwa barangsiapa mau mengikut Dia maka ia harus menyangkal diri dan memikul salibnya. Sebagai warga Kerajaan Sorga maka kita harus taat mutlak pada otoritas Sang Raja.
2. Yesus adalah Tuhan Pemberi Mujizat
Mujizat merupakan intervensi dari luar yang bersifat supranatural dan sukar dimengerti logika manusia. Bayangkan, hanya dijamah saja oleh Tuhan Yesus, borok yang ada di sekujur tubuhnya menjadi sembuh dan ia menjadi tahir. Berbeda kalau pengobatan itu dilakukan secara natural, yaitu dengan obat-obatan maka orang yang sakit dapat disembuhkan. Itu berarti supranatural tingkatnya lebih tinggi dari yang natural. Tapi manusia berdosa lebih suka kalau yang supranatural itu menguasai yang natural sebaliknya ia tidak suka pada pribadi si supranatural itu sendiri. Orang lebih suka kalau yang supranatural ini turut campur tangan ketika orang dalam kesusahan berbeda halnya kalau orang dalam keadaan sehat dan kaya maka orang benci kalau disuruh tunduk pada yang supranatural tersebut, orang ingin mengatur Tuhan supaya menuruti semua yang menjadi keinginannya. Dengan alasan beriman, orang yang memaksa Tuhan supaya melakukan mujizat. Siapa yang sesungguhnya berhak melakukan mujizat? Tuhan ataukah manusia?
Seorang manusia berdosa pasti tidak akan dapat melakukan perbuatan seperti yang dilakukan oleh orang sakit kusta yang datang sujud menyembah Dia. Sebab menyembah manusia sama dengan menyembah berhala dan bangsa Israel sudah merasakan akibat dari penyembahan berhala, yaitu mereka berada dalam masa pembuangan selama kurang lebih 80 tahun. Bukankah Tuhan Yesus mati karena Ia dituduh mengaku sebagai anak Allah? Hal ini menunjukkan kalau orang kusta ini tahu bahwa Yesus adalah anak Allah. Jiwa seperti inilah yang seharusnya dimiliki oleh seorang anak Tuhan sejati. Matius mengangkat cerita ini dan ditaruh di bagian pertama supaya menjadi refleksi bagi kita, apakah benar kita seorang anak Tuhan sejati ataukah hanya memanipulasi Kekristenan demi untuk keuntungan diri sendiri dengan menaruh Tuhan di posisi bawah. Bukan hal yang biasa bagi orang Yahudi menyembah hingga kepala menyentuh ke tanah maka dapatlah dibayangkan bagaimana reaksi orang banyak itu ketika melihat kejadian ini. Orang kusta ini tahu bahwa Yesus adalah Allah dan kini, Sang Raja menunjukkan siapa diri-Nya karena itu Ia tidak menolak ketika orang kusta itu menyembah diri-Nya.
Orang kusta ini juga mempunyai konsep teologis yang benar, hal ini terbukti dari perkataannya, “Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku“. Orang kusta ini tahu pasti bahwa Tuhan Yesus mempunyai kuasa untuk menyembuhkan namun ia berbeda, ia tidak memanipulasi kuasa itu sebaliknya ia tunduk di bawah kuasa Kristus. Hati-hati dengan akal licik si iblis yang selalu memutarbalikkan fakta seperti halnya ketika ia mencobai Yesus di padang gurun: Jika Engkau Anak Allah... Kalau Yesus menuruti perkataan iblis maka itu berarti posisi iblis lebih tinggi dari Yesus padahal iblis yang seharusnya tunduk di bawah Yesus, Raja di atas segala raja. Berbeda dengan orang kusta ini, ia tidak meragukan sedikitpun posisi Kristus sebagai Tuhan. Orang yang beriman sejati tahu siapa yang menjadi Tuan dalam hidupnya. Konsep ini sudah ada sejak Perjanjian Lama, sebagai contoh teman-teman Daniel tidak takut meski mereka dihadapkan pada hukuman kematian kalau tidak mau menyembah pada raja yang berkuasa pada jaman itu. Hari ini justru terbalik, orang baru mau mengikut Yesus kalau ia diuntungkan. Melalui mujizat Matius membukakan pada kita bahwa Yesus adalah Tuhan dan manusia yang harus tunduk di bawah kuasa Yesus.
Yesus telah memberikan teladan indah pada kita bahwa hukum Kerajaan Allah itu bukan hanya sekedar teori tapi dapat kita jalankan. Kiranya hal ini boleh menguatkan iman kita dan memberikan keberanian pada kita sehingga iman kita tidak menjadi goyah ketika menghadapi berbagai tantangan dari dunia. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber :

Roma 4:9-12 : IMAN, KEBENARAN DAN PERJANJIAN ALLAH

Seri Eksposisi Surat Roma :
Fokus Iman-3


Iman, Kebenaran dan Perjanjian Allah

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 4:9-12.

Setelah Paulus memaparkan tentang theologia dibenarkan melalui iman di dalam Perjanjian Lama, ia menjelaskan lebih lanjut bahwa iman itu berfokus/bersumber pada perjanjian Allah.

Pada ayat 9, Paulus mengatakan, “Adakah ucapan bahagia ini hanya berlaku bagi orang bersunat saja atau juga bagi orang tak bersunat? Sebab telah kami katakan, bahwa kepada Abraham iman diperhitungkan sebagai kebenaran.” Melanjutkan ayat 7-8, di ayat 9, Paulus bertanya apakah ucapan bahagia/yang diberkati ini (KJV : blessedness) ini hanya berlaku bagi orang bersunat saja atau lebih luas lagi yaitu juga bagi orang yang tidak bersunat? Pertanyaan ini muncul mengingat surat ini ditulis juga kepada orang-orang Yahudi yang tinggal di Roma yang memiliki konsep bahwa hanya umat Israel yang mendapat berkat Tuhan, sedangkan bangsa lain dianggap kafir. Paulus membongkar konsep umat Israel yang “fanatik” ini dengan pengajaran bahwa selain bangsa Israel, Tuhan juga menyediakan jalan keselamatan. Mengapa ? Karena semua manusia yang beriman seperti iman Abraham diperhitungkan Allah sebagai kebenaran. Para “theolog” religionum/social “gospel” yang notabene liberal terselubung (salah satunya Jusufroni) mungkin menafsirkan ayat ini dengan mengatakan bahwa yang penting beriman di dalam iman Abrahamik (Yahudi, Kristen dan Islam), maka manusia diselamatkan. Tafsiran ini sesat ! Semua manusia tanpa memandang dari suku, ras atau bangsa manapun yang memiliki iman seperti iman Abraham berarti mereka beriman di dalam Kristus, barulah iman mereka diperhitungkan sebagai kebenaran. Mengapa iman Abraham identik dengan iman di dalam Kristus ? Inilah iman Perjanjian Lama yang mengarah dan menuju kepada finalitas Kristus yang diutus Bapa. Mengapa ? Karena Allah yang menyatakan diri kepada Abraham adalah Allah yang sama yang juga menyatakan diri kepada umat pilihan-Nya di dalam Pribadi Kristus. Lalu, kata “iman” sendiri di dalam ayat ini dalam bahasa Yunani pistis bisa berarti secara khusus reliance upon Christ for salvation (bergantung pada Kristus untuk keselamatan). Jadi, iman sejati seperti iman yang dimiliki Abraham adalah iman hanya di dalam Pribadi Tuhan Yesus Kristus. Dengan iman seperti inilah, umat pilihan-Nya diimputasikan kebenaran Allah. Kata “kebenaran” di dalam ayat ini dalam bahasa Yunaninya dikaiosunē berarti righteousness (kebenaran keadilan atau kebenaran dalam proses). Kalimat terakhir pada ayat ini menurut terjemahan King James Version (KJV) adalah, “for we say that faith was reckoned to Abraham for righteousness.” Terjemahan literalnya adalah “karena kita mengatakan bahwa iman diperhitungkan kepada Abraham bagi kebenaran.” Kata “for” kedua pada kalimat ini dalam bahasa Yunani eis berarti to, into (pada, ke dalam). Sehingga kalimat ini dapat diterjemahkan, “karena kita mengatakan bahwa iman diperhitungkan kepada Abraham ke dalam kebenaran.” Jadi, iman di dalam Kristus diperhitungkan Allah dan dimasukkan ke dalam kebenaran. Bagaimana dengan kita ? Kita yang sudah beriman di dalam Kristus pun diperhitungkan Allah dan iman kita dimasukkan ke dalam kebenaran (proses) menuju kebenaran kekal (Yunani : aletheia) di Surga kelak. Dengan kata lain, iman memimpin kita kepada kebenaran. Apakah ini berarti tanpa iman, kebenaran tidak bisa berbuat apa-apa ? Tidak. Yang saya maksudkan adalah iman dan kebenaran saling mengisi. Hal ini mirip dengan pendapat dari Bapa Gereja Augustinus, credo ut intelligam yaitu aku percaya/beriman supaya aku dapat mengerti. Demikian juga dengan hubungan antara iman dan kebenaran. Iman memimpin kita mengenal kebenaran di dalam Allah (Yunani : dikaiosunē) dan kebenaran ini terus memimpin iman kita menuju kepada kebenaran kekal di dalam Kristus (Yohanes 14:6). Saya menyebut hal ini dengan istilah the relationship between progressive faith and progressive knowledge of God in righteousness and truth (=hubungan antara iman yang progresif/berkelanjutan dengan pengetahuan Allah yang progresif di dalam proses kebenaran keadilan dan kebenaran mutlak).

Lalu, Paulus melanjutkan pernyataannya dengan pertanyaan sekaligus jawaban di ayat 10, “Dalam keadaan manakah hal itu diperhitungkan? Sebelum atau sesudah ia disunat? Bukan sesudah disunat, tetapi sebelumnya.” Ayat ini merupakan kelanjutan pernyataan dari ayat 9 dengan mempertajam fokus masalah yaitu ketika iman Abraham diperhitungkan Allah sebagai (atau ke dalam) kebenaran, maka kapankah itu terjadi, apakah sesudah Abraham disunat atau sebelum ? Kata “sunat” sengaja dimunculkan oleh Paulus untuk mengubah pola pikir orang Yahudi. Orang Yahudi menganggap bahwa sunat sebagai perjanjian Allah adalah syarat mutlak bagi seseorang yang ingin diselamatkan/dibenarkan oleh Allah. Padahal konsep ini tidak diajarkan baik di dalam Taurat maupun Perjanjian Lama lainnya. Sehingga Paulus menyadarkan orang Yahudi bahwa Abraham dibenarkan melalui iman bukan setelah ia disunat, tetapi sebelum ia disunat. Perbandingan antara sebelum dan sesudah disunat di dalam terjemahan KJV diartikan circumcision (penyunatan) dan uncircumcision (keadaan tidak disunat), di dalam terjemahan International Standard Version (ISV) dan New American Standard Bible (NASB) juga diartikan circumcised (yang disunat) dan uncircumcised (yang tidak disunat), sedangkan dalam terjemahan English Standard Version (ESV) dan New Revised Standard Version (NRSV) mengartikan sebelum dan setelah disunat sama seperti terjemahan LAI. Kedua terjemahan ini memang hampir mirip artinya, tetapi saya pribadi lebih memilih arti “disunat” dan “tidak disunat”. Mengapa ? Karena arti ini lebih dekat dengan pengertian seluruh perikop yaitu Abraham dibenarkan melalui iman. Kalau kita menggunakan arti “sebelum disunat” dan “setelah disunat”, maka pengertiannya berubah dan berfokus pada pentingnya disunat, padahal hal ini ditentang di dalam perikop ini dan dalam pengajaran Alkitab lainnya secara menyeluruh. Kembali, Abraham diimputasikan kebenaran dari Allah sehingga ia dapat beriman justru terjadi di dalam kondisi Abraham tidak disunat. Kalau kita meneliti kitab Kejadian khususnya mengenai Abraham, maka Allah lah yang mengambil inisiatif aktif untuk memanggil Abraham keluar dari negerinya Urkasdim untuk menuju negeri yang dijanjikan Allah. Setelah itu, barulah Abraham dapat meresponi panggilan Allah ini dengan beriman dan taat. Apa signifikansi pengajaran ini ? Geneva Bible Translation Notes mengatakan, “...Abraham was justified in uncircumcision, therefore this justification belongs also to the uncircumcised…” (=Abraham dibenarkan di dalam kondisi tidak bersunat, oleh karena itu pembenaran ini juga menjadi milik mereka yang tidak bersunat.) Jadi, fokusnya tetap iman yang meresponi panggilan Allah. Sehingga, theologia Reformed yang mendekati pengertian Alkitab mengajarkan bahwa anugerah dan panggilan/pilihan Allah mendahului iman umat pilihan-Nya. Sungguh suatu anugerah Allah yang begitu agung ketika kita sebagai umat pilihan-Nya dikaruniai iman di dalam Kristus, sehingga ketika kita beriman, sudah seharusnya kita bersyukur kepada-Nya dan memuliakan Dia atas apa yang Dia telah kerjakan (bukan atas apa yang kita dengan kemampuan sendiri lakukan). Jadi, “theologia” Arminian yang berfokus pada kehendak bebas manusia adalah salah dan melawan Alkitab, karena “theologia” ini menjunjung tinggi humanisme yang melawan Allah. Bagaimana dengan kita ? Kita yang sudah beriman Kristen sekalipun seringkali memiliki paradigma bahwa kita lah yang beriman (berusaha), seolah-olah tanpa kita, Allah “kewalahan” menawarkan anugerah penebusan Kristus. Konsep ini jelas salah (dipengaruhi oleh “theologia” Arminian) dan melawan Alkitab. Alkitab mengajarkan bahwa iman itu anugerah Allah (Efesus 2:8-9) dan iman itu membawa kita mengenal kebenaran Allah (baik righteousness maupun truth).

Kalau sunat bukan menjadi fokus pembenaran umat pilihan, maka apakah berarti sunat tidak perlu ? TIDAK. Di ayat 11, Paulus mengungkapkan, “Dan tanda sunat itu diterimanya sebagai meterai kebenaran berdasarkan iman yang ditunjukkannya, sebelum ia bersunat. Demikianlah ia dapat menjadi bapa semua orang percaya yang tak bersunat, supaya kebenaran diperhitungkan kepada mereka,” Tanda sunat di dalam Perjanjian Lama tetap berguna bukan sebagai fokus/syarat dibenarkan, tetapi akibat dari pembenaran yaitu janji atau meterai kebenaran berdasarkan iman Abraham. Kata “meterai” sama dengan kata “perjanjian” yang Paulus kutip dari Kejadian 17:10, “Inilah perjanjian-Ku, yang harus kamu pegang, perjanjian antara Aku dan kamu serta keturunanmu, yaitu setiap laki-laki di antara kamu harus disunat;” Kata “perjanjian” di dalam Kejadian 17:10 dalam terjemahan KJV dan ISV adalah covenant. Iman yang berfokus pada perjanjian Allah inilah yang menjadi dasar iman (bapa) bagi semua orang percaya yang tak bersunat, sehingga mereka yang belum mengenal Allah dapat mengenal Allah melalui iman Abraham. Orang yang beriman sejati yang berfokus pada kebenaran dan janji Allah juga melakukan apa yang diimani dengan menaati apa yang difirmankan Allah. Dalam konteks Perjanjian Lama, tindakan menaati firman Allah yaitu dengan melakukan sunat dan segala syariat di dalam Hukum Taurat. Di dalam era Perjanjian Baru, beberapa tafsiran menerjemahkan sunat dengan sunat rohani yaitu sakramen baptisan sebagai tanda pembersihan. Seorang penafsir Matthew Henry menyatakan bahwa sunat itu sebagai tanda pembersihan dengan pemotongan, demikian juga baptisan merupakan tanda pembersihan untuk masuk ke dalam anggota tubuh Kristus di dalam gereja yang kelihatan (visible church). Demikian juga dengan umat pilihan-Nya yang berasal dari agama lain yang masuk ke dalam anggota tubuh Kristus harus menerima sakramen baptisan sebagai tanda pembersihan (tidak ada hubungannya dengan tanda masuk Surga). Selain itu, di dalam ayat ini, kata “tidak disunat” (uncircumcised) dalam bahasa Yunani akrobustia secara figuratif berarti unregenerate (tidak dilahirbarukan). Maka, secara otomatis, sunat identik dengan lahir baru. Dengan demikian, selain sakramen baptisan, sunat bisa berarti pembaharuan. Tetapi jangan langsung menyalahartikan konsep ini lalu mengajarkan bahwa kelahiran baru terjadi sesudah beriman. Kelahiran baru terjadi sebelum umat pilihan-Nya beriman. Lalu, apa arti sebenarnya ? Kelahiran baru di dalam konsep ini adalah proses pengudusan (progressive sanctification) yang dialami oleh semua umat pilihan-Nya setelah mereka beriman di dalam Kristus. Anak Tuhan sejati bukan hanya berhenti di titik beriman di dalam Kristus, tetapi mereka juga tetap berusaha menaati firman Allah dengan bersedia hidup kudus, setia dan taat mutlak sebagai respon dari iman mereka.

Lalu, bagaimana dengan orang percaya yang bersunat ? Di dalam ayat 12, Paulus mengatakan, “dan juga menjadi bapa orang-orang bersunat, yaitu mereka yang bukan hanya bersunat, tetapi juga mengikuti jejak iman Abraham, bapa leluhur kita, pada masa ia belum disunat.” Bagi mereka yang sudah disunat, dalam konteks Perjanjian Lama adalah orang Yahudi, mereka bukan memfokuskan sunat sebagai syarat dibenarkan, tetapi harus pada iman seperti iman Abraham dalam kondisi tidak bersunat sebagai fokus pembenaran. Untuk lebih jelasnya, silahkan membaca Kejadian 15:6 (baca seluruh pasal) sebagai tanda iman Abraham sebelum dia menerima perjanjian sunat dari Allah (Kejadian 17). Ini berarti iman mereka harus melampaui fenomena (sunat dan tanda-tanda lahiriah lainnya). Iman sejati bukan iman yang berfokus pada fenomena, tetapi iman yang melampaui fenomena dan berfokus pada esensi sejati. Itulah iman Kristen yang beres. Sayangnya, di dalam era postmodern, banyak orang “Kristen” selalu memfokuskan iman mereka pada hal-hal fenomenal, sehingga ketika mereka digoyahkan dengan isu-isu seperti penemuan kubur Yesus, Yesus menikah dengan Maria Magdalena, dll, banyak dari mereka yang tergoyahkan dan hampir menjadi ateis. Inilah akibat dari fokus iman pada hal-hal fenomenal. Oleh karena itu, iman sejati di dalam keKristenan harus dibereskan yaitu hanya berfokus kepada Allah dan Alkitab, di luar itu, termasuk mukjizat-mukjizat harus ditundukkan di bawah prinsip Firman Allah (Alkitab).

Sudahkah iman kita berfokus pada kebenaran Allah di dalam Alkitab ? Jika belum, mulai sekarang, bertobatlah dan kembalilah kepada Kristus dan Alkitab. Soli Deo Gloria. Amin.

Resensi Buku-33 : MENDAMBAKAN MAKNA DIRI (Rev. DR. R. C. SPROUL, L.H.D.)

...Dapatkan segera...
Buku
THE HUNGER FOR SIGNIFICANCE
(MENDAMBAKAN MAKNA DIRI)


oleh : Rev. DR. ROBERT CHARLES (R. C.) SPROUL, L.H.D.

Penerbit : Momentum Christian Literature (Fine Book Selection), 2005

Penerjemah : Lana Asali Sidharta.





“Manusia menurut naturnya adalah pemburu,” tulis Dr. R. C. Sproul dalam Pendahuluan buku ini. Sejarah kehidupan manusia diwarnai dengan perburuan dan pencarian, mulai dari pencarian yang eksotis akan ramuan ajaib, pencarian visioner alam dunia baru, sampai perburuan teroris modern. Namun Sproul memberikan argumentasi yang solid bahwa pencarian yang paling mendasar adalah pencarian kembali akan martabat manusia, apalagi pada zaman sekarang di mana institusi impersonal berkuasa, teknologi memegang peranan besar, dan manusia hanyalah menjadi alat.

Dr. Sproul membawa kita untuk melihat dalam berbagai bidang kehidupan kita : keluarga, sekolah, tempat kerja, rumah sakit, penjara, kancah politik, dan bahkan gereja, di mana martabat manusia telah semakin dilucuti, baik melalui perkataan sehari-hari maupun melalui tindakan yang sistematis ; dan tidak berhenti di sana, Dr. Sproul juga menawarkan solusi-solusi yang kuat dari Firman Allah untuk mengembalikan manusia kepada martabatnya, nilai diri yang sesungguhnya sebagai penyandang gambar dan rupa Allah.





Profil Rev. Dr. R. C. Sproul :
Rev. Robert Charles (R. C.) Sproul, Litt.D., L.H.D. adalah Profesor tamu dalam bidang Theologia Sistematika di Westminster Theological Seminary, California, USA sejak tahun 1996. Beliau meraih gelar Bachelor of Arts (B.A.) dari Westminster College, Bachelor of Divinity (B.D.) dari Pittsburgh Theological Seminary, Doktorandus (Drs.) dari Free University of Amsterdam, Doctor of Letters (Litt.D.) dari Geneva College, dan L.H.D. dari Grove City College.
Dr. Sproul adalah seorang pendeta di Presbyterian Church in America dan beliau dikenal secara internasional sebagai seorang pengajar, penulis, dan pengkhotbah yang memanggil gereja kepada ketakutan yang rendah hati akan kekudusan Allah dan kebenaran Injil yang diringkaskan dalam prinsip Sola dari Reformasi. Beliau telah mengajar di Gordon-Conwell Theological Seminary, Reformed Theological Seminary, dan Knox Theological Seminary. Sejak tahun 1971, beliau telah menjadi pendiri dan presiden dari Ligonier Ministries, dan kontributor bulanan pada majalah Ligonier’s TableTalk. Beliau telah melatih kepemimpinan di International Council on Biblical Inerrancy dan the New Geneva Study Bible (editor umum). Beberapa buku yang ditulis oleh beliau : Knowing Scripture, Classical Apologetics, The Holiness of God, Chosen by God, Lifeviews, One Holy Passion, Surprised by Suffering, The Hunger for Significance, Essential Truths of the Christian Faith, The Soul’s Quest for God, Faith Alone, The Invisible Hand, and Grace Unknown. Beliau dan istri, Vesta tinggal di Florida, USA.