22 September 2010

EKSPOSISI 1 KORINTUS 8:8-13 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 8:8-13

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 8:8-13



Bagian ini masih berkaitan erat dengan “pengetahuan” yang dibanggakan oleh jemaat Korintus (8:1-2). Apa yang mereka sebut “pengetahuan” ternyata bukan hanya “ketidakadaan berhala” (8:4-7), tetapi juga “ketidakadaan hubungan antara makanan dan kerohanian” (8:8). Berangkat dari pemahaman bahwa makanan tidak membuat seseorang lebih jauh maupun lebih dekat kepada Allah, jemaat Korintus menganggap makan di kuil sebagai tindakan yang tidak akan berpengaruh pada kerohanian mereka.

Alur berpikir Paulus dalam bagian ini dapat diterangkan sebagai berikut. Ia memulai bagian ini dengan mengutip pandangan jemaat Korintus yang mereka pakai untuk membenarkan tindakan makan di kuil berhala (8:8). Ia selanjutnya memberikan respons terhadap hal ini. Ia tidak membenarkan maupun menyalahkan pandangan jemaat Korintus. Sebaliknya, ia memilih untuk menyoroti kesalahan dalam penerapan pandangan tersebut. Kebebasan Kristiani tidak berarti “bebas melakukan apa pun yang dianggap benar”. Kebebasan Kristiani harus mempedulikan orang lain supaya jangan menjadi batu sandungan (8:9). Bukti konkrit dari menjadi batu sandungan adalah mendorong orang-orang yang hati nurani lemah untuk makan di kuil sebagai tindakan penyembahan berhala (8:10). Pengaruh negatif ini membawa konsekuensi yang sangat serius: orang yang terpengaruh akan binasa dan mereka yang menjadi batu sandungan telah berdosa terhadap gereja dan Kristus (8:11-12). Sebagai konklusi, Paulus mengajarkan prinsip hidupnya sendiri berkaitan dengan makanan, yaitu tidak mau makan sesuatu jika hal itu menyebabkan orang lain tersandung (8:13).


Pandangan Jemaat Korintus (ay. 8)
Penerjemah LAI:TB memberikan tanda petik dua untuk keseluruhan ayat 8 sebagai petunjuk bahwa ayat ini merupakan sebuah kutipan. Penerjemah maupun penafsir yang lain belum mencapai kesepakatan tentang hal ini. Mereka mengusulkan tanda petik hanya untuk frase “makanan tidak membawa kita lebih dekat kepada Allah” (NRSV).

Alasan berikut ini tampaknya lebih mendukung pandangan pertama: (1) kata sambung “tetapi” di awal ayat 9 menegaskan kontras antara keseluruhan ayat 8 dengan apa yang ingin disampaikan Paulus mulai ayat 9; (2) Paulus menyebut sikap di ayat 8 sebagai “kebebasanmu”; dengan demikian ia tidak sepenuhnya setuju dengan apa yang diutarakan di ayat 8; (3) keseluruhan ayat 8 sesuai dengan sikap jemaat Korintus yang memang cenderung mementingkan kebebasan (bdk. 6:12; 10:23). Dari ayat 8 terlihat bahwa jemaat Korintus menggunakan sebuah pandangan umum tentang makanan, lalu mengaplikasikan hal itu dalam konteks makan di kuil berhala. Hal ini tersirat dari penggunaan kata “makanan” (brōma) yang lebih umum. Kata ini berbeda dengan eidōlothutōn (8:1) maupun brōseōs tōn eidōlothutōn (8:4).

Mereka berpendapat bahwa makanan tidak membawa (parastesei) seseorang kepada Allah. Kata parastēsei bisa bermakna positif (“membawa lebih dekat”) maupun negatif (“menyeret ke pengadilan ilahi”). Hampir semua terjemahan berpihak pada pilihan ke-1, walaupun kata parastēsei dalam beberapa kasus dipakai sebagai istilah teknis di bidang hukum. Terlepas dari pilihan mana pun yang kita ambil, makna ayat ini tetap jelas: makanan tidak mempengaruhi relasi kita dengan Allah. Makna ini bahkan dipertegas di bagian terakhir ayat 8. Makan atau tidak makan ternyata tidak membawa pengaruh apa pun bagi relasi kita dengan Allah.

Bagaimana jemaat Korintus bisa memiliki konsep seperti ini? Para penafsir meyakini bahwa konsep ini dibangun dari ajaran Paulus seputar makanan. Orang Kristen tidak terikat dengan berbagai macam aturan tentang makanan, karena semua makanan adalah baik (1Tim. 4:4). Peraturan tentang makanan hanyalah peraturan manusia yang tidak bernilai kekal (Kol. 2:20-22). Makanan tidak akan mempengaruhi posisi seseorang di hadapan Allah (Rm. 14:2-3, 6). Beberapa penafsir juga menduga jemaat Korintus mendapatkan konsep seperti di atas berdasarkan analogi dari sunat. Dalam ajaran Paulus sunat dapat dianggap sebagai hal yang netral maupun negatif. Di satu sisi Paulus meminta Timotius untuk menyunatkan dirinya supaya ia bisa diterima orang-orang Yahudi dengan lebih baik (Kis. 16:3). Di sisi lain ia melarang sunat jika hal itu dianggap sebagai alat pembenaran di hadapan Allah (Gal. 5:2).

Pendeknya, bagi Paulus sunat sama sekali tidak memiliki nilai tambah bagi relasi seseorang dengan Allah (1Kor. 7:19; Gal. 5:6; 6:15). Prinsip seperti inilah yang mungkin diterapkan jemaat Korintus dalam hal makanan.


Respons Paulus (ay. 9-13)
Apa yang dipegang oleh jemaat Korintus sebenarnya tidak salah, karena itu Paulus pun tidak memberikan kritikan tentang hal ini. Yang salah adalah aplikasi dari pandangan itu. Ada perbedaan esensial antara makan makanan biasa dan makan makanan persembahan berhala di kuil. Poin ini nanti akan disinggung secara implisit di pasal 8. Di pasal 10 Paulus secara terus-terang akan menjelaskan bahwa makan di kuil berhala sama saja dengan menyembah berhala (10:19-21). Di 8:9-13 Paulus lebih memilih untuk menyoroti kesalahan aplikasi ini dari sisi akibat yang ditimbulkan bagi orang lain maupun orang yang melakukan.

Kebebasan Kristiani tidak boleh menjadi batu sandungan bagi orang lain (ay. 9)
Ayat ini dimulai dengan nasehat untuk berjaga (blepete, LAI:TB “jagalah”). Bentuk present tense yang dipakai menunjukkan tindakan ini perlu terus-menerus dilakukan. Kata dasar blepō sendiri secara hurufiah berarti “melihat”, tetapi sering kali dipakai dalam arti “berhatihati” (NIV) atau “memperhatikan” (KJV/NASB/RSV/ESV). Paulus secara hati-hati menyebut sikap jemaat sebagai “kebebasanmu itu”. Ia tidak mau menyebut ini sebagai kebebasan Kristiani yang sejati. Ini adalah kebebasan versi mereka, yaitu kebebasan yang didasarkan pada pengetahuan semata-mata (bdk. 8:1).

Kata Yunani di balik kata “kebebasan” adalah exousia. Kata ini mengandung makna “otoritas”, “wewenang” atau “hak”. Kata ini merupakan salah satu kata favorit jemaat Korintus (6:12; 10:23; LAI:TB menerjemahkan exousia di dua teks ini dengan “diperbolehkan”). Dari penggunaan kata ini terlihat bahwa isu yang dibahas bukan hanya bebas melakukan sesuatu, tetapi berhak melakukan. Justru hak atau otoritas inilah yang dijadikan dasar bagi kebebasan. Bagi mereka selama suatu tindakan mendapat pembenaran secara intelektual, maka itulah hak yang boleh dipegang atau dituntut.

Paulus menyebut tindakan mereka sebagai batu sandungan (proskomma). Di 8:13 ia memakai kata skandalizō dengan arti yang sama. Melalui kata ini tersirat bahwa apa yang dilakukan bukan hanya menimbulkan syak atau ketidaknyamanan secara emosi. Tindakan ini menyebabkan orang lain jatuh ke dalam dosa penyembahan berhala.

Contoh konkrit menjadi batu sandungan (ay. 10)
Istilah “duduk makan di dalam kuil berhala” (en eidōleiō katakeimenon) yang dipakai di ayat ini merupakan istilah teknis yang merujuk pada bagian dari ibadah di kuil. Berbeda dengan pemahaman modern tentang ibadah dan makan bersama, pada jaman dahulu makan bersama dianggap sebagai bagian integral yang tidak terpisahkan dari ibadah. Mereka yang makan di kuil berarti turut dalam penyembahan tersebut (poin ini akan dibahas secara detil di 10:19-21).

Yang menarik perhatian dalam ayat ini adalah bagaimana orang-orang yang lemah hati nurani dapat melihat orang-orang yang berpengetahuan sedang makan di dalam kuil. Mereka bukan hanya menemukan atau mendengar, namun melihat. Situasi ini hanya dimungkinkan apabila orang-orang yang lemah diajak oleh orang-orang yang berpengetahuan untuk pergi ke kuil. Orang yang berpengetahuan bahkan bukan sekadar mengajak namun mendorong orang-orang yang lemah untuk melakukan hal yang sama. Mereka sangat mungkin ingin memaksakan “pengetahuan” yang mereka miliki kepada mereka yang lemah. Dalam hal ini mereka bermaksud “membangun” orang lain. Ironisnya, orang-orang yang lemah justru dikuatkan (oikodomeō) untuk jatuh dalam penyembahan berhala, padahal mereka seharusnya membangun (oikodomeō) orang lain dalam kasih (8:1).

Akibat serius yang ditimbulkan (ay. 11-12)
Keputusan Paulus untuk memilih kata “batu sandungan” merupakan pilihan yang tepat. Akibat yang ditimbulkan memang bukan hanya perasaan orang lain terusik atau orang lain merasa syak. Akibat yang muncul jauh lebih serius daripada sekadar masalah emosi.

Pertama, akibat untuk orang lain (ay. 11). Peletakan kata “binasa” (apollutai) di awal kalimat menyiratkan penekanan bahwa orang itu sungguh-sungguh binasa. Sebagian orang merasa terganggu dengan peringatan seperti ini, karena dianggap berkontradiksi dengan doktrin jaminan keselamatan di dalam Kristus yang tidak bisa hilang. Sebagai solusi mereka mengusulkan agar kata apollumi di sini tidak dipahami sebagai kebinasaan kekal secara rohani. Jika kita konsisten dengan penggunaan kata ini dalam tulisan Paulus secara umum maupun surat 1 Korintus secara khusus (1:18; 10:9-10; 15:18), maka kita sebaiknya tetap mengambil kata apollumi dalam arti “binasa secara kekal”.

Pandangan ini sebenarnya tidak bertentangan dengan jaminan keselamatan. Apa yang dilakukan oleh jemaat Korintus yang makan di kuil adalah penyembahan kepada roh-roh jahat (10:19-21). Jika ini terus berlangsung, maka keselamatan seseorang jelas berada dalam bahaya yang sangat besar. Di tengah bahaya besar yang mengancam seperti ini kita tidak bisa mengharapkan Paulus mengajarkan kepastian keselamatan. Hal itu akan berpotensi menguatkan jemaat tetap dalam dosa. Kita juga perlu menyadari bahwa doktrin jaminan keselamatan tidak berarti kebebasan untuk berbuat dosa terus-menerus. Allah menjamin keseamatan seseorang dengan cara memampukan orang itu untuk menaati Dia. Jadi, peringatan Paulus di sini sama sekali tidak bertentangan dengan kepastian keselamatan. Paulus hanya meletakkan suatu kebenaran ada porsi yang sesuai. Seandainya orang yang lemah benar-benar binasa, maka yang menjadi penyebab adalah “pengetahuan” dari orang-orang yang merasa diri pandai (ay. 11“karena pengetahuanmu itu”). Melalui ungkapan ini Paulus ingin menegaskan betapa seriusnya akibat yang ditimbulkan oleh gaya hidup Kristiani yang hanya didasarkan pada pengetahuan belaka.

Memiliki pengetahuan memang tidak salah, namun pengetahuan itu harus benar-benar teruji kebenarannya dan diaplikasikan secara tepat. Dalam ayat ini Paulus sengaja menyebut orang-orang yang lemah hati nuraninya sebagai saudara dan objek penebusan Kristus (“saudaramu, yang untuknya Kristus telah mati”). Keterangan ini dimaksudkan untuk mengontraskan pengetahuan dan kasih (bdk. 8:1-3). Tindakan jemaat yang didasarkan pada pengetahuan merupakan tindakan yang tidak mencerminkan kasih kepada orang lain yang sebenarnya adalah saudara di dalam Kristus. Lebih jauh, tindakan ini sangat kontras dengan sikap Kristus yang mau mati bagi orang berdosa. Kristus rela mengorbankan kemuliaan-Nya demi kepentingan orang lain, sedangkan jemaat yang “berpengetahuan” tidak mau mengorbankan kebebasan yang mereka yakini.

Kedua, akibat untuk diri sendiri (ay. 12). Paulus tidak mau memandang enteng kesalahan yang dilakukan jemaat. Ia tidak hanya menyebut tindakan ini “kurang etis”, “tidak bijaksana” atau “tidak peka terhadap orang lain”. Ia dengan tegas memandang hal ini sebagai dosa. Dosa ini ditujukan pada dua pihak: saudara-saudaramu dan Kristus. Penggunaan bentuk jamak “saudara-saudara” di ayat ini berbeda dengan bentuk tunggal di ayat 11 maupun 13. Para penafsir biasanya memahami bentuk jamak ini sebagai rujukan pada gereja secara keseluruhan. Tindakan makan di kuil yang dilakukan oleh orang-orang yang berpengetahuan memberikan citra buruk tentang orang Kristen. Orang-orang di luar akan memandang orang-orang Kristen sebagai penganut sinkretisme. Keunikan kekristenan, terutama monoteisme Kristiani (8:4-6), akan menjadi kabur.

Lebih parah lagi, tindakan di atas juga berdosa kepada Kristus. Ada dua alasan bagi pernyataan ini: (1) Apa pun yang kita lakukan terhadap saudara seiman sama dengan kita lakukan kepada Kristus, baik yang positif maupun negatif (Mat. 25:45). Hal ini sangat dipahami Paulus, karena waktu ia menganiaya orang-orang Kristen Yesus Kristus menganggap ia menganiaya Kristus sendiri (Kis. 9:4-5); (2) orang yang berbalik dari Kristus sama dengan menghina Dia di depan umum (Ibr 6:6). Dua hal ini jelas layak disebut sebagai dosa terhadap Kristus sendiri.


Prinsip Hidup Paulus (ay. 13)
Di ayat ini Paulus kembali pada prinsip umum tentang makanan. Ia tidak membahas makanan berhala secara khusus. Hal ini tampak dari penggunaan kata brōma (LAI:TB “makanan”) dan krea (LAI:TB “daging”) yang merujuk pada makanan secara umum atau daging ikan. Penggunaan kata ganti orang ke-1 tunggal (“aku”) di ayat ini menunjukkan bahwa Paulus sedang menerapkan prinsip yang dia ajarkan pada dirinya sendiri. Dia tidak hanya bisa mengajar apa yang harus dilakukan, tetapi ia hanya mengajarkan apa yang telah ia lakukan.

Selain itu, penggunaan kata ganti orang “aku” berfungsi sebagai transisi ke pasal 9 yang memberi contoh lebih jelas dan konkrit tentang bagaimana Paulus rela kehilangan hak bagi orang lain. Prinsip hidup ini dinyatakan secara tegas dalam bentuk penekanan ou mē. Penggunaan kata “tidak” sebanyak dua kali ini dalam bahasa Yunani memang memberikan makna negasi yang sangat kuat. Terjemahan yang paling pas mungkin “sekali-kali tidak” atau “tidak...sama sekali”. Paulus bahkan menambahkan “untuk selama-lamanya” (ton aiōna) untuk mempertegas hal ini. Prinsip ini bukan hanya bersifat situasional, tetapi gaya hidup yang konsisten. Paulus tidak mau menggunakan kebebasan apa pun yang dia miliki jika kebebasan itu akan menjadi batu sandungan bagi saudara-saudara seiman.

Pernyataan Paulus di ayat 13 sangat berbeda dengan sikap jemaat Korintus, walaupun dua pihak sama-sama setuju bahwa makanan (bukan makanan berhala di kuil) tidak terlalu penting. Karena tidak terlalu penting, jemaat Korintus memilih untuk tetap makan, tanpa mempedulikan keberatan orang lain. Sebaliknya, Paulus memilih untuk tidak makan demi orang lain. Jika memang makanan tidak penting, mengapa kita sering kali tidak mau melepaskan hak itu? Mengapa kita sering kali memaksa orang lain untuk mengikuti kita dalam hal-hal yang sebenarnya kita tahu tidak seberapa penting? Mengapa kita tidak lebih suka mengalah demi orang lain? #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 22 November 2009
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2008%20ayat%2008-13.pdf