28 January 2010

Roma 16:21-24: SALAM KEPADA SAUDARA SEIMAN-8

Seri Eksposisi Surat Roma:
Penutup-17


SALAM KEPADA SAUDARA SEIMAN-8

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 16:21-24



Jika di ayat 3 s/d 15, Paulus memberikan salam pribadinya kepada jemaat-jemaat di Roma, maka di ayat 21 s/d 23, ia menyampaikan salam dari teman-teman pelayanannya untuk jemaat-jemaat di Roma.

Di ayat 21, Paulus menyebut dua orang teman: teman sekerja dan teman sebangsa. Teman sekerjanya adalah Timotius. Siapa Timotius? Timotius adalah anak rohaninya (bdk. 1Tim. 1:2). Profil Timotius dapat dilihat dari Kisah Para Rasul 16:1, “ibunya adalah seorang Yahudi dan telah menjadi percaya, sedangkan ayahnya seorang Yunani.” Kepada jemaat di Korintus, Paulus juga menyebut tentang Timotius, “Jika Timotius datang kepadamu, usahakanlah supaya ia berada di tengah-tengah kamu tanpa takut, sebab ia mengerjakan pekerjaan Tuhan, sama seperti aku.” (1Kor. 16:10) NIV Spirit of the Reformation Study Bible menjelaskan bahwa Timotius disebutkan 10x di dalam surat-surat Paulus.

Teman sebangsa Paulus yang disebutkan adalah Lukius, Yason, dan Sosipater.
Lukius adalah seorang yang berasal dari Kirene (Kis. 13:1).
Yason adalah tuan rumah Paulus ketika berada di Tesalonika (Kis. 17:5-9) Dr. John Gill di dalam tafsirannya John Gill’s Exposition of the Entire Bible memberi keterangan bahwa Yason adalah seorang Yahudi. Namanya berasal dari bahasa Yahudi “Jeshua” atau “Jesus”. Dia adalah saudara laki-laki dari Onias, Imam Besar Yahudi.
Sosipater tidak lain adalah Sopater, anak Pirus dari Berea yang menemani Paulus ke Asia (Kis. 20:4). Menurut Dr. John Gill, Sopater juga seorang Yahudi dan kapten dari Yudas Makabeus.


Bukan hanya dari teman sepelayanan dan sebangsanya, Paulus juga menyampaikan salam dari sekretarisnya, Tertius (ay. 22). Tertius sebagai sekretaris yang bertugas menulis apa yang didiktekan oleh Paulus kepadanya.


Di ayat 23, Paulus menyampaikan salam dari:
Pertama, Gayus. Paulus menyebut Gayus sebagai orang yang memberi tumpangan kepadanya dan kepada seluruh jemaat. Ada yang menafsirkan bahwa Gayus ini adalah orang Makedonia yang bersama dengan Paulus di Efesus (Kis. 19:29). Yang lain menafsirkan bahwa Gayus ini adalah orang Derbe yang menemani Paulus ke Asia (Kis. 20:4). Ada juga yang menafsirkan bahwa Gayus ini adalah orang yang dibaptis Paulus di Korintus (1Kor. 1:14). Matthew Henry di dalam tafsirannya Matthew Henry’s Commentary on the Whole Bible juga menyebutkan hal serupa. Namun baik Dr. John Gill maupun Matthew Henry merujuk kepada orang yang sama yaitu Gayus yang kepadanya Rasul Yohanes menulis suratnya ketiga (3Yoh. 1:1). Mengapa bisa demikian? Karena baik Dr. John Gill maupun Matthew Henry menyatakan bahwa Gayus di ayat ini dengan Gayus di 3 Yohanes 1:1 memiliki karakteristik yang sama yaitu sama-sama memiliki keramahtamahan.

Kedua, Erastus. Erastus dikatakan sebagai bendahara negeri. Matthew Henry menjelaskan bahwa Erastus ini bukan hanya sebagai bendahara negeri di Korintus, namun juga menemani Paulus di dalam pelayanannya (Kis. 19:22; 2Tim. 4:20).

Ketiga, Kwartus. Kwartus disebut Paulus sebagai saudara kita. Dr. John Gill memberi keterangan siapa Kwartus. Kwartus adalah saudara rohani Paulus. Dia adalah orang Roma dan termasuk salah satu dari ketujuhpuluh murid Kristus (Luk. 10:1). Kemudian, dia menjadi Uskup di Berytus.


Setelah menyampaikan salam dari orang-orang di atas kepada jemaat-jemaat di Roma, maka Paulus menutupnya di ayat 24, “(Kasih karunia Yesus Kristus, Tuhan kita, menyertai kamu sekalian! Amin.)” Pertanyaan kita adalah mengapa di ayat ini, LAI memberi tanda kurung? Karena beberapa tafsiran menjelaskan bahwa ayat ini di banyak manuskrip asli tidak ada. Ayat ini meskipun merupakan tambahan, namun tetap berguna, karena berfungsi mengulang kembali tentang konsep kasih karunia yang telah dinyatakan di ayat 20.


Dari perenungan kita akan 4 ayat ini, kita belajar bahwa Paulus bukan hanya menyampaikan salamnya kepada jemaat-jemaat di Roma, namun juga menyampaikan salam dari rekan pelayanan dan rekan sebangsanya kepada jemaat-jemaat di Roma. Berarti di dalam pelayanan, Paulus tetap mengikutsertakan rekan-rekannya. Dengan kata lain, ada saling keterikatan dan persekutuan yang intim antara para pelayan Tuhan dengan jemaat-jemat yang dilayaninya, meskipun berjauhan. Hal ini menjadi peringatan dan teguran bagi kita. Para pelayan Tuhan sering kali menyibukkan dirinya dengan pelayanan, sampai-sampai melupakan jemaat. Bahkan ada juga pelayan Tuhan yang tidak mempedulikan kehidupan jemaatnya dengan alasan kalau jemaat terlalu diperhatikan, maka jemaat menjadi manja. Ekses itu bisa saja terjadi, namun ekses tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan tugas penggembalaan. Gereja yang kurang memerhatikan tugas penggembalaan dan terus sibuk mengurus pengajaran doktrinal melalui khotbah mimbar akan menjadikan gereja tersebut suam-suam kuku dan tidak ada kehangatan persekutuan yang intim. Biarlah gereja hari ini meneladani gereja mula-mula yang memerhatikan pengajaran firman, persekutuan, dan penginjilan. Tiga tugas ini harus benar-benar menyeluruh dikerjakan oleh gereja Tuhan demi hormat dan kemuliaan nama-Nya. Amin. Soli Deo Gloria.

Resensi Buku-88: MENGAPA SAYA SEORANG KRISTEN? (Rev. DR. JOHN R. W. STOTT, CBE)

...Dapatkan segera...
Buku
WHY I AM A CHRISTIAN?
(MENGAPA SAYA SEORANG KRISTEN?)


oleh: Rev. DR. JOHN R. W. STOTT, CBE

Penerbit: Mitra Pustaka dan Pionir Jaya, Bandung, 2005

Penerjemah: Kelompok Peduli Literatur





Ajaran dunia kita sedang merayakan pentingnya pluralitas dan relativitas. Semua dianggap sama, bahkan yang bertolak belakang pun dianggap sama. Alhasil, agama pun dianggap sama, meskipun isinya ada yang tidak konsisten. Lalu, bagaimana kita bisa mengetahui kebenaran? Dunia kita tidak memiliki jawabannya. Namun Alkitab beribu tahun yang lalu telah memberikan jawabannya, yaitu Kebenaran (Truth) hanya ada di dalam Tuhan Yesus Kristus yang adalah Jalan dan Kebenaran dan Hidup (Yoh. 14:6). Apa saja yang bisa kita pelajari dari pribadi dan ajaran Kristus? Apakah keunikan Kristus dibandingkan yang lainnya? Melalui bukunya Why I am a Christian? (Mengapa Saya Seorang Kristen?), dengan tajam, Rev. Dr. John R. W. Stott, CBE. memaparkan 6 alasan mengapa seseorang menjadi Kristen, lalu ditutup di bab terakhir dengan undangan dari penulis bagi para pembaca untuk menyerahkan hidup-Nya bagi Kristus. Enam alasan tersebut dimulai dari alasan pertama sebagai presuposisinya, yaitu kita bisa menjadi Kristen bukan karena kita memilih Allah, namun karena Allah mengejar dan memburu kita. Istilah yang dipakai Dr. Stott adalah Allah seperti anjing pemburu dari Sorga. Kemudian, Dr. Stott secara berurutan menjelaskan alasan lainnya yaitu dimulai dari finalitas Kristus sebagai penyataan Allah, paradoks salib Kristus, paradoks manusia, kunci menuju kemerdekaan sejati tatkala kita menyerahkan hidup kita bagi Kristus, dan ditutup dengan menunjukkan bahwa hanya Kristuslah yang sanggup memenuhi aspirasi kita tentang transendensi, pencarian rasa berharga, dan pencarian kelompok yang berlandaskan kasih. Setelah memaparkan 6 alasan ini, Dr. Stott mengakhirinya dengan undangan bagi para pembaca untuk menyerahkan hidupnya bagi Kristus dan siap memikul salib demi kerajaan-Nya.







Profil Rev. DR. JOHN R. W. STOTT:
Rev. Dr. John Robert Walmsley Stott, CBE adalah seorang pemimpin Kristen dari Inggris dan pendeta gereja Anglikan yang tercatat sebagai seorang pemimpin dari gerakan Injili di seluruh dunia. Beliau terkenal sebagai salah seorang penulis terpenting dari the Lausanne Covenant pada tahun 1974. Beliau lahir di London pada tahun 1921 dari Sir Arnold dan Lady Stott. Stott belajar modern languages di Trinity College, Cambridge di mana beliau lulus dengan dua gelar dalam bidang bahasa Prancis dan Theologi. Di universitas, beliau aktif di the Cambridge inter-collegiate Christian Union (CICCU).
Setelah ini, beliau berpindah ke Ridley Hall Theological College (juga the University of Cambridge) sehingga beliau dapat ditahbiskan menjadi pendeta Anglikan pada tahun 1945 dan menjadi pembantu pendeta di the Church of All Souls, Langham Place (1945-1950) (website: www.allsouls.org) kemudian Pendeta (1950-1975). Beliau dipilih menjadi Pendeta bagi Ratu Inggris Elizabeth II (1959-1991) dan Pendeta luar biasa pada tahun 1991. Beliau menerima CBE pada tahun 2006 dan menerima sejumlah gelar doktor kehormatan dari sekolah-sekolah di Amerika, Inggris dan Kanada, salah satunya adalah Lambeth Doctorate of Divinity pada tahun 1983.

Eksposisi 1 Korintus 3:1-4 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 3:1-4

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 3:1-4



Pasal 3 masih melanjutkan topik tentang perpecahan di antara jemaat yang sudah dibahas Paulus sejak pasal 1:10 (bdk. 3:3-4). Kalau di pasal 1:10-17 Paulus sekedar memberi nasehat supaya bersatu dan di pasal 1:18-2:16 ia lebih menyoroti tentang inti persoalan – yaitu seputar “hikmat” – maka mulai pasal 3:1 Paulus memfokuskan pembahasan pada perpecahan itu sendiri. Secara khusus di pasal 3:1-4 Paulus memberikan teguran kepada jemaat Korintus untuk menunjukkan bahwa sikap mereka tidak sesuai dengan orang yang sudah menerima roh dari Allah (2:12). Di bagian ini dia juga menjelaskan pembelaan dirinya sehubungan dengan pandangan jemaat Korintus yang menganggap khotbahnya “tidak berhikmat” (bdk. 2:1-5).


Pembelaan Paulus
Seperti telah disinggung sebelumnya, sebagian jemaat Korintus bukan hanya lebih mengidolakan pemimpin lain dibandingkan Paulus, tetapi mereka juga menyerang integritas Paulus sebagai rasul. Mereka menganggap bahwa khotbah Paulus tidak disampaikan dengan cara-cara yang “berhikmat” (2:1-5). Mereka juga memandang apa yang disampaikan Paulus sebagai berita yang terlalu sederhana dan layak dikategorikan sebagai “susu” (3:1-2). Mereka secara tidak langsung menuntut agar Paulus memberikan sesuatu yang lebih lagi, yang cocok bagi mereka yang sudah “berhikmat”. Kesombongan intelektual ini merupakan salah satu kelemahan jemaat Korintus yang menonjol (bdk. 8:1).

Serangan seperti di atas mendorong Paulus untuk memberikan pembelaan. Upaya untuk membela diri ini terlihat dari beberapa petunjuk yang ada di pasal 3:1-4. Paulus memakai kata ganti “aku” (3:1-4), padahal di pasal 2:6-16 dia memakai kata ganti “kami” (2:6-7, 13, 16). Kata ganti “aku” ini sebelumnya dipakai di pasal 2:1-5 yang menyinggung tentang cara pemberitaan injil Paulus yang dianggap tidak berhikmat. Dengan demikian, penggunaan kata ganti “aku” di 3:1-4 harus dilihat sebagai petunjuk agar kita menghubungkan perikop ini dengan pasal 2:1-5. Dengan kata lain, apa yang disampaikan di pasal 3:1-4 merupakan pembelaan Paulus yang lain setelah pasal 2:1-5.

Petunjuk lain tentang upaya Paulus membela diri dapat dilihat dari kata “dan aku” di 3:1 (kago). Ungkapan seperti ini dalam bahasa Yunani menyiratkan penekanan, yang maknanya adalah “dan aku, aku sendiri tidak dapat...” Melalui ungkapan ini Paulus seakan-akan ingin secara khusus memfokuskan pada dirinya, bukan pada para pemberita injil secara umum (bdk. “kami” di pasal 2:6-16).

Bagaimana Paulus memberikan pembelaan diri? Kalau di pasal 2:6 Paulus sudah membela diri dengan menyatakan bahwa dia sungguh-sungguh memberitakan hikmat yang benar kepada mereka yang dewasa (dengan demikian dia menyindir jemaat Korintus sebagai orang-orang yang belum dewasa sehingga tidak dapat memahami hikmat yang dia sampaikan), di pasal 3:1-2 dia memberikan pembelaan yang hampir sama. Dia mengakui bahwa dia memang tidak dapat memberitakan injil yang menurut mereka bukanlah makanan keras, tetapi hal itu dilakukannya karena keterbatasan mereka. Inti masalah bukan terletak pada diri Paulus (ay. 1), tetapi pada diri mereka (ay. 2).


Teguran
Selain memberikan pembelaan diri, Paulus juga menegur jemaat Korintus. Teguran ini diungkapkan melalui beberapa sebutan untuk mereka. Bagaimanapun kerasnya teguran yang nanti kita akan selidiki bersama-sama, namun hal itu tetap menunjukkan kasih Paulus kepada mereka. Dia tetap menyebut mereka sebagai “saudara-saudara” (ay. 1). Walaupun mereka “belum dewasa”, tetapi mereka tetap “di dalam Kristus” (ay. 1). Hal ini menyiratkan bahwa perselisihan apapun tidak akan mengubah satu fakta bahwa mereka semua tetap satu saudara di dalam Kristus.

Sebutan apa yang dipakai Paulus untuk jemaat Korintus yang sedang berselisih? Pertama, bukan orang-orang rohani (pneumatikoi, ay. 1). “Tidak rohani” di sini bukan berarti bahwa mereka tidak memiliki Roh Kudus dalam diri mereka. Di pasal 2:12 Paulus mengatakan, “kita tidak menerima roh dunia, tetapi roh yang berasal dari Allah”. Di pasal 12:3 ia mengajarkan bahwa orang yang mengaku Yesus sebagai Tuhan pasti dalam dirinya sudah ada pekerjaan Roh Kudus (bdk. “di dalam Kristus” di 3:1). Dalam surat-suratnya yang lain Paulus pun mengajarkan bahwa dalam diri orang percaya sudah ada Roh Kudus (Rm. 8:9; Gal. 3:2-3; Tit. 3:5-7). Seandainya Paulus menganggap bahwa jemaat Korintus tidak memiliki Roh Kudus, maka dia pasti akan menyebut sebagai “psuchikos” yang tidak mau dan tidak mampu menerima injil (2:14, LAI:TB “manusia duniawi”). Sebutan “tidak rohani” di sini berarti bahwa mereka – sekalipun memiliki Roh Kudus dalam diri mereka – tidak berpikir dan berperilaku sebagai orang-orang yang memiliki Roh Kudus.

Kedua, sarkinos (ay. 1). LAI:TB menerjemahkan kata sarkinos dengan “manusia duniawi”. Terjemahan ini terlalu umum dan sedikit membingungkan, karena di pasal 2:14 ada sebutan “manusia duniawi” tetapi kata Yunani yang dipakai di sana bukan sarkinos. Bahkan “manusia duniawi” di 3:3-4 pun memiliki kata Yunani yang berbeda. Jadi, bagaimana kita memahami arti kata sarkinos di 3:1? Kata ini lebih merujuk pada manusia yang dikuasai oleh kedagingan (sarx). Dalam Roma 7:14 Paulus menyebut dirinya “bersifat daging” (sarkinos) dalam arti terjual di bawah kuasa dosa. Keadaan ini jelas kontras dengan orang yang rohani (bdk. 3:1 “...tidak dapat...manusia rohani...tetapi...manusia duniawi...”). Hal ini sesuai dengan konsep Paulus di surat-suratnya yang lain (Rm. 8:5-7; Gal. 5:16).

Ketiga, nepios (ay. 1-2). LAI:TB menerjemahkan kata ini dengan “belum dewasa”, padahal arti sebenarnya adalah “bayi” (semua versi Inggris). Keadaan “bayi rohani” ini bukan hanya terjadi dulu, tetapi sampai Paulus menulis surat ini (ay. 2b “kamu dulu tidak dapat menerima [imperfect tense]...sekarang pun kamu belum dapat menerima [present tense]). Para sarjana berdebat tentang makna di balik sebutan “bayi” ini. Sebagian besar menafsirkan bahwa jemaat Korintus dari dulu hanya siap menerima pengajaran-pengajaran dasar Kristen, bukan yang bersifat lanjutan (bdk. Ibr. 5:11-14). Dengan demikian, 1 Korintus 3:1-2 merupakan teguran dan nasehat supaya mereka mengganti jenis makanan rohani mereka. Mereka seharusnya sudah menikmati makanan keras. Tafsiran ini – meskipun populer – mulai ditinggalkan para penafsir modern. Selama 18 bulan di Korintus (Kis. 18:11), Paulus tidak mungkin hanya mengajarkan hal-hal yang mendasar. Kita juga perlu mengingat bahwa konteks pembicaraan di 1 Korintus 1-3 adalah tentang salib (injil). Apakah salib termasuk kebenaran dasar? Ternyata di pasal 2:6 Paulus menyebut salib sebagai hikmat yang sesungguhnya bagi orang yang sudah dewasa. Jadi, salib bukanlah ajaran dasar. Lalu apa hubungan antara “bayi”, “susu” dan “makanan keras” di 3:1-2? Kita tidak boleh lupa inti masalah: jemaat Korintus menganggap bahwa injil hanyalah susu (untuk orang yang kurang berhikmat), sebaliknya mereka melihat hikmat duniawi sebagai makanan keras (untuk mereka yang berhikmat). Bertolak belakang dengan penilaian jemaat Korintus tersebut, Paulus justru menyatakan bahwa mereka adalah bayi rohani. Mereka tidak bisa membedakan makanan. Apa yang mereka anggap makanan keras ternyata tidak bergizi sama sekali. Pendeknya, yang perlu mereka ubah bukanlah “menu makanan”, melainkan “perspektif mereka terhadap makanan yang diberikan Paulus”.

Keempat, sarkikos (ay. 3-4). Kata Yunani di balik terjemahan “manusia duniawi” di ayat 3-4 adalah sarkikos. Walaupun kata ini memiliki akar kata yang sama dengan arkinos di ayat 1 (dari kata sarx = daging), namun arti dua kata tersebut sedikit berbeda. Kalau sarkinos di ayat 1 lebih menunjuk pada orang yang dikuasai kedagingan, maka sarkikos di ayat 3-4 lebih mengarah pada orang yang cara pandangnya hanya tertuju pada hal-hal yang jasmani dan sementara. Makna ini didapat dari pemunculan kata sarkikos di surat-surat Paulus yang seringkali dikontraskan dengan hal-hal yang bersifat kekal. Roma 15:27 “bangsa-bangsa lain telah beroleh bagian dalam harta rohani orang Yahudi, maka wajiblah juga bangsa-bangsa lain itu melayani orang Yahudi dengan harta duniawi (sarkikos) mereka”. 1 Korintus 9:11 “jika kami telah menaburkan benih rohani bagi kamu, berlebih-lebihan kalau kami menuai hasil duniawi (sarkikos) dari pada kamu?”. 2 Korintus 10:4a “karena senjata kami dalam perjuangan bukanlah senjata duniawi (sarkikos), melainkan senjata yang diperlengkapi dengan kuasa Allah”. Sebutan “sarkikos” memang tepat diterapkan untuk orang yang suka berselisih, karena kita seringkali (selalu?) berselisih karena hal-hal yang sebenarnya tidak kekal, misalnya harga diri, uang, jabatan, dsb.

Kelima, anthropos (ay. 3-4). Paulus menyebut jemaat Korintus telah hidup “secara manusiawi” (kata anthropon, ay. 3). Sebutan “manusia” ini muncul lagi di ayat 4b (secara hurufiah “bukankah hal itu menunjukkan bahwa kamu adalah manusia?”). Terjemahan LAI:TB “kamu manusia duniawi yang bukan rohani” terlalu bebas, padahal kata Yunani yang dipakai hanya satu kata, yaitu anthropos (“manusia”). Apa arti “manusia” di bagian ini? KJV/NIV/NASB “hidup/berjalan seperti manusia saja (mere men)”. RSV “bertingkah laku seperti manusia biasa (ordinary men)”. NRSV bertingkah laku mengikuti kecenderungan manusia”. Inti yang ingin disampaikan Paulus melalui sebutan ini adalah bahwa mereka berpusat pada diri mereka sendiri. Mereka sama seperti orang-orang lain yang hidupnya tidak dipimpin oleh Roh Kudus. Keadaan ini jelas bertentangan dengan fakta bahwa menerima sudah menerima Roh Kudus (2:6). Sebagaimana orang yang sudah menerima Rok Kudus mereka seharusnya tidak boleh mengikuti kehendak mereka saja.


Bukti
Paulus tidak hanya menegur mereka. Dia juga menyebut dua hal yang membuktikan bahwa mereka memang tidak rohani. Di ayat 3 Paulus bahwa mereka memiliki “iri hati” (zelos) dan perselisihan (eris)”. Dua kata ini sering muncul bersamaan dalam Alkitab (Rm. 13:13; 2Kor. 12:20; Gal. 5:20; bdk. Yak. 3:14-15). Fenomena ini menyiratkan bahwa keduanya sangat berkaitan erat. Perselisihan muncul karena iri hati.

Di ayat 4 Paulus memberi bukti lain, yaitu favoritisme terhadap pemimpin. Memberi penghormatan lebih kepada seorang pemimpin rohani tidak selalu salah. Dalam 1 Timotius 5:17 Paulus memberi nasehat agar penatua yang pimpinannya baik mendapat penghormatan dua kali lipat, terutama mereka yang bekerja keras dalam berkhotbah dan mengajar. Bagaimanapun, ayat ini tidak berarti bahwa penatua yang kepemimpinannya kurang baik atau yang tidak berkhotbah/mengajar tidak layak menerima penghormatan. Mereka tetap harus mendapat penghormatan, walaupun tidak sebesar mereka yang kepemimpinannya baik. Dalam kasus perselisihan di Korintus, mereka telah melangkah terlalu jauh. Mereka memilih pemimpin tertentu yang sesuai keinginan mereka sekaligus menyerang pemimpin yang lain. Sikap seperti inilah yang ditentang Paulus, termasuk mereka yang mengidolakan Paulus pun tetap mendapat teguran yang sama. #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 13 April 2008

22 January 2010

AVATAR (Ir. Herlianto, M.Th.)

AVATAR

oleh: Ir. Herlianto, M.Th.




Ada yang mengatakan bahwa “film Avatar bagus karena merupakan gambaran modern tentang Yesus yang menjelma menjadi manusia dan menyelamatkan manusia.” Wah! Benarkah?

Avatar adalah film laris yang lagi diputar di bioskop-bioskop di Indonesia, dan dibalik daya tariknya yang besar karena menggunakan teknik sinematografi modern terkini ditambah penampilannya yang hidup (3D), film ini banyak menuai kritik, terutama dari kalangan berkulit gelap (coklat, kuning maupun hitam) bahkan juga dari Vatikan!

Ceritanya, kalangan pemodal besar kulit putih didukung peralatan militer yang canggih ingin memaksakan kehendak mereka dengan menggusur kawasan hutan di negeri antah-berantah di planet ‘Pandora’ yang diduduki pribumi berkulit gelap yang masih primitif dengan cara menggunakan mahluk jejadian yang diciptakan dengan kesadaran manusia tetapi dapat memasuki masyarakat pribumi itu dengan fisik seperti mereka.

Dikisahkan veteran marinir bernama Jake Sully dikirim untuk memerankan mahluk pribumi jejadian dan berfungsi sebagai ‘Avatar’ (mediator/perantara ) dengan maksud untuk membujuk pribumi Na’vi agar mau direlokalisasi. Alkisah, ia jatuh cinta kepada putri Rajanya. Usahanya tidak berhasil, malah akhirnya ia berpihak ke pihak Nav’i dan melawan teman-temannya sendiri yang datang sebagai agresor yang ingin meluluh lantakkan kekayaan alam flora & fauna di planet itu demi mengejar hasil bumi yang menggiurkan. Alhasil terjadilah serangan membabibuta yang dibalas dengan kekerasan pula oleh mahluk Na’vi. Semula di kalangan mereka jatuh banyak korban tetapi dengan semangat yang dibangun oleh mahluk jejadian Jake Sully kemudian mereka berhasil melawan dengan senjata yang ada dan terhindar dari penjajahan manusia. Namun Jake jejadian meninggal meninggalkan putri raja Na’vi yang meratapi kematiannya!

Esensi film itu yang pertama adalah supremasi ras kulit putih yang sekalipun sedikit tetapi memiliki modal dan senjata dengan strategi militerisme yang dahsyat yang memaksakan kehendak mereka atas pribumi Na’vi yang berkulit berwarna (putri raja Na’vi diperankan aktris Dominika berkulit berwarna). Gambaran ini memang kelihatannya sebagai metafora cerita ‘Poccahontas’ dimana orang Eropah merebut Tanah Indian di Amerika dimana salah satu dari orang Eropa itu jatuh cinta pada Poccahontas.

Memang Hollywood Amerika sudah mulai malu menonjolkan supremasi kolonialisme kulit putih atas kulit berwarna, itulah sebabnya ada yang membuat film ‘I Am Legend’ (Will Smith) dimana penyelamat dunia berkulit hitam, namun James Cameron yang berkulit putih kelihatannya masih menggunakan gambaran lama dengan menonjolkan cerita mengenai ‘Avatar’ dimana mediator penyelamat itu adalah orang kulit putih pula (Mungkin agar tidak terjadi putih membunuh sesamanya maka yang dijadikan pembunuh komandan penyerbu akhirnya adalah si putri raja). Gambaran rasialis demikian mencolok dalam film, dan memang dulu mewarnai beberapa film Hollywood seperti ‘Dances with Wolves’ (Kevin Costner) dan ‘The Last Samurai’ (Tom Cruise). Sampai sekarang stereotip supremasi putih atas hitam itu masih kuat bahkan bisa dilihat dalam figur Sinterklaas (yang berkulit putih) membawa budak berkulit hitam (Piet), tapi kelihatannya banyak orang Amerika sudah menyadari bahwa itu keliru dan masalalu, sehingga banyak diantara mereka memilih presiden berkulit hitam yang keturunan Afrika! (Santa Claus di Amerika tidak memiliki budak).

Esensi yang kedua adalah modernisme sekuler melawan premordialisme primitif yang bersifat mistik-magis. Film ini merupakan promosi semangat New Age (Gerakan Zaman Baru) yang ingin kembali kepada alam dan bahkan menyembahnya. Jelas terlihat dalam film itu keyakinan mistik/magis yang kuat dimana kesadaran semua mahluk adalah menyatu dengan alam (bumi, pepohonan dan binatang) dan bersumber ‘Eywa’ (Ibu Besar Alam) tokoh sesembahan yang menggambarkan sumber energi semesta (bandingkan konsep ‘Chi yang hadir dalam semua mahluk,’ dan bahwa ‘Atman perlu menyatu ke dalam Brahman’).

Esensi ketiga adalah ‘Dunia tanpa Tuhan’ (yang berpribadi). Film ini sama sekali tidak menonjolkan Tuhan yang berpribadi, malah beberapa kali nama ‘God dan Jesus’ disebutkan sembarangan dalam ucapan latah dan juga sumpah serapah. Semua permasalahan lebih menunjukkan kerakusan manusia untuk menguasai atau mempertahankan kekayaan sumber daya alam, dan semua itu diusahakan dengan kekuatan sendiri atau dengan pertolongan tuhan yang tidak berpribadi yaitu ‘kesadaran alam.’ Vatikan secara vokal mengkritik film ini dengan menyebut bahwa: “Film ini menyuarakan doktrin modern yang menonjolkan penyembahan alam (pantheisme) sebagai pengganti agama. … Alam bukan lagi ciptaan untuk dilestarikan melainkan untuk disembah.”

Esensi keempat yang meresapi film Avatar adalah kekerasan yang biasa mewarnai secara berat film-film new age seperti ‘Star Wars’ (ibarat perang Kurusetra dalam epik Ramayana). Pembantaian mahluk hidup sama sadisnya dengan pembantaian alam flora, dan pesan film ini adalah ‘gunakan kekerasan melawan kekerasan, teror melawan teror.’ Filsafat ‘mata-ganti-mata’ memang kegemaran banyak sutradara dan aktor Hollywood belakangan ini. Kita dapat memaklumi kondisi demikian karena keluar dari hati produsen film yang memang berjiwa new age dan sekuler yang tergambar dalam produksi film-film yang dihasilkan. Titanic yang duabelas tahun sebelumnya diproduksi oleh James Cameron (yang kawin cerai sampai 5 kali itu) menggambarkan kematian massal yang mengerikan.

Hal lain yang perlu dilihat di sini adalah sekalipun ditujunjukkan bahwa budaya modern yang kapitalistis dan militeristik gagal, tetapi kebudayaan premordial yang bersifat mistik-magis dianggap ideal dan akhirnya dimenangkan. Di sini film ini melupakan bahwa bagaimanapun Tuhan memberi kepada manusia akal budi agar manusia bangkit dari kehidupan dunia yang sudah rusak ini, namun film itu mengajarkan agar kita melestarikan budaya premordial yang mistis dan magis yang banyak kekurangannya itu. Jadi bukan jalan pemecahan terbaik yang ditempuh film ini melainkan dipilih salah satu dari dua alternatif yang sebenarnya sama-sama jelek.

Akhirnya mengapa ada yang memperbandingkannya dengan Yesus Sang Juruselamat? Jelas jauh berbeda, yang sama hanya pengertian dibalik istilah ‘Avatar’ yang secara etimologi berarti ‘mediator/perantara’ namun dalam konsep mistik ‘Avatar’ diartikan ‘Juruselamat perantara’ dimana semua tokoh agama termasuk Yesus, Buddha, LaoTzu maupun Muhammad itu sama-sama dipercayai sebagai avatar yang membawa manusia menuju tuhan (Yang SATU itu). Dari konsep ‘avatar’ demikianlah James Cameron memproduksi film ‘The Lost Tomb of Jesus’ yang mengharuskan Yesus mati sama halnya dengan para avatar lainnya.

Dalam Alkitab, Yesus (yang berkulit sama dengan manusia dalam konteks tanah kelahirannya) adalah ‘Anak Allah yang Tunggal’ yang mengorbankan dirinya dikayu salib demi keselamatan umat manusia, sedangkan ‘Jake sang avatar’ adalah stok cacat (lumpuh) tapi berkulit superior yang mencoba membujuk pribumi agar menyerah dan mengikuti kemauan sang majikan. Sebelum kenaikannya ke surga Yesus berjanji kepada para murid-Nya bahwa ‘Ia akan menyertai para murid sampai kesudahan alam,’ sedangkan Jake meninggalkan dunia kaum Na’vi untuk kembali ke dunianya merayakan ulang tahunnya. Misi Yesus adalah untuk mendamaikan Tuhan dengan manusia sedangkan ‘avatar’ bukan mendamaikan tetapi memaksakan kehendak pihak yang kuat dan berachir dengan pemusnahan dikedua pihak.

Kita tidak dapat melarang begitu saja anak-anak agar tidak menonton sekalipun diberi label Parental Guidance (PG-13) soalnya copy-an film ini sudah menyebar dan mudah dibeli di mal-mal sama mudahnya membeli kacang goreng. Yang bisa dilakukan oleh orang tua adalah ‘tidak mengajak anak-anak nonton’ dan andaikan anak-anak sudah keburu menonton, berikanlah pengajaran sehat (Ams. 22:6) sebagai obat penawarnya. Orang tua juga perlu mendidik anak-anak agar tidak terpengaruh dunia mistik/magis New Age (Kol. 2:8) yang masikini dengan bertubi-tubi mengeroyok generasi muda kristen, sebab bila tidak, maka kita akan menyesal kemudian bila ketika menjadi besar anak-anak akan menjadi sekuler dan berjiwa mistik yang melupakan Tuhan tetapi mengagungkan alam dan manusia dengan kemampuan akal-budinya seperti ilmu pengetahuan. ***

Eksposisi 1 Korintus 2:10-16 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 2:10-16

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 2:10-16



Bagian ini merupakan penjelasan Paulus mengapa orang-orang yang dewasa dapat memahami dan menerima hikmat yang dia beritakan (ay. 6), sedangkan para penguasa dunia ini tidak dapat menerima hal itu (ay. 8). Kunci rahasia perbedaan respon ini terletak pada intervensi Roh Kudus dalam diri seseorang. Mereka yang memiliki Roh Kudus dapat memahami hikmat Allah, sedangkan yang tidak memiliki-Nya tidak bisa mengerti hal itu.

Alur berpikir Paulus di ayat 10-16 dapat digambarkan sebagai berikut:
Ayat 10-11 Rahasia perbedaan: intervensi Roh Kudus
Ayat 12 Tujuan menerima Roh Kudus
Ayat 13-16 Beberapa implikasi dari menerima Roh Kudus


Rahasia perbedaan: intervensi Roh Kudus (ay. 10-11)
Kata sambung “karena” di ayat 10a menjelaskan alasan mengapa orang yang mengasihi Allah dapat memahami hal yang sebelumnya tidak dilihat, didengar dan diinginkan (ay. 9). Rahasianya adalah “karena kepada kita Allah telah menyatakannya oleh Roh”. Peletakan kata “kita” di awal kalimat menunjukkan bahwa Paulus ingin memberikan penekanan (bdk. LAI:TB/ASV/NASB). Dia seakan-akan ingin menegaskan, “kepada kita, bukan yang lain, Allah telah menyatakannya oleh Roh”. Dia sedang membandingkan antara orangorang yang dewasa (ay. 6) dan mengasihi Allah (ay. 9) dengan para penguasa dunia ini (ay. 8).

Kepada kita Allah telah menyatakannya oleh Roh. Kata apokalypto dapat merujuk pada hal-hal yang tersembunyi kemudian dibuka (Mat. 11:27; 16:17) atau hal-hal yang akan datang (Rm. 8:18; 1Kor. 3:13). Sesuai konteks 1 Korintus 2:6-16, apokalypto di sini lebih merujuk pada makna yang pertama. Apa yang dulu tersembunyi (ay. 7), rahasia (ay. 7) dan tidak pernah terbayangkan oleh manusia (ay. 9), kini dapat diketahui.

Dalam teks asli, kata “menyatakan” di ayat 10a tidak memiliki objek (LAI:TB menambah kata “nya” sebagai objek). Apa yang dimaksud dengan “nya”? Dari konteks sudah jelas bahwa yang dimaksud Paulus adalah hikmat Allah di ayat 6-9. Inilah yang dinyatakan Allah oleh Roh. Bentuk lampau dari kata apokalypto dan objek tidak langsung “kepada kita” menyiratkan bahwa tindakan ini merujuk pada momen pertobatan kita. Saat itulah kita diyakinkan Roh Kudus tentang keberdosaan kita, penghakiman Allah dan pengharapan kita yang baru pada salib Kristus (bdk. Yoh. 16:8-11; Rm. 8:15-16; Gal. 4:6).

Paulus selanjutnya menjelaskan alasan mengapa Allah menyatakan hikmat itu oleh Roh (bdk. kata sambung “sebab” di ayat 10b), yaitu Roh menyelidiki segala sesuatu, termasuk hal-hal yang tersembunyi dalam diri Allah. Apa yang dikatakan Paulus di bagian ini merupakan adopsi dari konsep berpikir “like is known only by like”. Maksudnya, sesuatu daat diketahui oleh yang lain yang sama atau seperti itu. Allah hanya dapat diketahui oleh Roh yang sama-sama adalah Allah. Karena Roh adalah Allah, maka Dia mampu menyelidiki segala sesuatu. Yang dimaksud “segala sesuatu” di konteks ini adalah semua yang dinyatakan Allah, karena “segala sesuatu” dikontraskan dengan “hal-hal yang tersembunyi dalam diri Allah” (bdk. Ul. 29:29 “hal-hal yang tersembunyi ialah bagi TUHAN, Allah kita, tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita dan bagi anak-anak kita sampai selama-lamanya”). Roh bukan hanya mengetahui apa yang dinyatakan, tetapi juga hal-hal yang tidak dinyatakan oleh Allah. Bentuk kata kerja present tense pada kata “menyelidiki” (erauna) mengindikasikan bahwa Roh terus-menerus menyelidiki dalam diri Allah. Apa yang dilakukan oleh Roh dalam ayat ini hanya dapat dilakukan oleh Pribadi yang juga adalah Allah, karena Alkitab beberapa kali menyatakan bahwa tidak ada manusia yang dapat mengetahui pikiran Allah (Yes. 55:8-9; Rm. 11:33-35).

Untuk memperjelas apa yang dia maksud di ayat 10b, Paulus memberikan sebuah ilustrasi (ay. 11). Sebagaimana yang dapat mengerti apa yang ada dalam diri manusia adalah roh manusia itu sendiri, demikian pula tidak ada yang dapat mengerti Allah kecuali Roh Allah. Selain memperjelas, ilustrasi ini juga berfungsi untuk menekankan. Pengulangan kata “selain” di ayat 11 menegaskan bahwa hanya Roh Allah yang dapat mengenal Allah. Hal ini perlu ditegaskan Paulus, karena ada roh lain yang justru menolak hikmat Allah, yaitu roh dunia (bdk. ayat 12a).

Pernyataan Paulus di ayat 10-11 merupakan teguran tidak langsung kepada jemaat Korintus yang terjebak pada kesombongan intelektual dan spiritual. Filsafat dunia yang mereka pelajari membuat mereka sombong dan menganggap salib sebagai kebodohan. Pengalaman-pengalaman spiritual yang “spektakuler” (misalnya bahasa roh) membuat mereka merasa diri lebih rohani daripada yang lain (bdk. 4:8; ps. 12-14). Apa yang dinyatakan di 1 Korintus 2:10-11 mengajarkan kepada mereka bahwa orang yang sungguh-sungguh memiliki Roh Kudus seharusnya menjadi orang yang mengetahui hikmat Allah.


Tujuan Menerima Roh Kudus (ay. 12)
Penempatan kata “kami” di awal ayat ini bersifat menekankan: kita – orang yang dewasa dan mengasihi Allah – tidak menerima roh dunia (ay. 12a). Penggunaan ungkapan “roh dunia” dalam kaitan dengan hikmat yang salah mengindikasikan keyakinan Paulus bahwa di balik keyakinan yang sesat ada intervensi dari roh jahat. Di 1Timotius 4:1 Paulus menyebut orang yang murtad sebagai para pengikut roh-roh penyesat dan ajaran setan-setan. Yakobus menyatakan bahwa hikmat yang tidak benar “dari dunia, dari nafsu manusia, dari setan-setan (Yak. 3:15)”. Senada dengan hal itu, Yohanes menghubungkan kesesatan dengan roh antikristus atau roh dunia yang menyesatkan (1Yoh. 4:2-6). Sebagai orang yang tidak menerima roh dunia, jemaat Korintus seharusnya tidak memiliki pola pikir duniawi (bdk. 3:1, 3).

Orang percaya tidak menerima roh dunia, tetapi Roh dari Allah (ay. 12b). Kata “menerima” (lambano) sering dipakai dalam konteks menerima Roh Kudus atau karunia-karunia Roh (Kis. 2:38; 10:47; 19:2; 2Kor. 11:4; Gal. 3:2, 14; Rm. 8:15). Tujuan dari penerimaan Roh Kudus ini adalah supaya kita mengerti “apa yang dikaruniakan Allah kepada kita”. Dalam teks Yunani, kata “apa yang dikaruniakan” adalah ta charisthenta. Beberapa versi Inggris dengan tepat menerjemahkan kata ini dengan “apa yang diberikansecara cuma-cuma” (KJV/NASB/NIV). Kata ini sangat mungkin merujuk secara khusus pada karunia keselamatan: (1) bentuk kata kerja perfect tense pada kata charisthenta mengindikasikan tindakan di masa lampau yang memiliki hasil/akibat sampai sekarang; (2) akar kata charisma dipakai Paulus di Roma 6:23 untuk anugerah keselamatan; (3) hikmat yang dibicarakan Paulus di 1 Korintus 2:6-16 adalah berita salib (1:18, 24; 2:13-14).

Walaupun ta charisthenta terutama merujuk pada anugerah keselamatan, namun bentuk jamak pada kata ini menyiratkan bahwa Paulus juga memikirkan hal-hal lain yang berkaitan dengan keselamatan (bdk. Rm. 8:32). Di 1 Korintus 4:7 Paulus menegur jemaat Korintus yang merasa diri hebat dengan mengajarkan bahwa segala sesuatu merupakan pemberian dari Allah. Tidak ada satu pun yang mereka miliki yang tidak berasal dari Allah

Melalui Roh Allah kita mampu mengerti bahwa keselamatan kita diberikan Allah secara cuma-cuma. Tanpa intervensi Roh, kedagingan kita mendorong kita berpikir bahwa keselamatan adalah usaha manusia. Dalam konteks jemaat Korintus, mereka mungkin berpikir bahwa penerimaan keselamatan harus melalui usaha manusia, terutama menurut cara-cara hikmat duniawi. Bagi Paulus, keselamatan murni pekerjaan Allah (Ef. 2:8-9).


Beberapa Implikasi Menerima Roh Kudus (ay. 13-16)
Keyakinan Paulus di ayat 10-12 membawa beberapa implikasi penting. Pertama, pemberitaan salib harus dilakukan melalui perkataan Roh (ay. 13). Secara hurufiah, ayat 13 seharusnya diterjemahkan “dan yang kami katakan, bukan dalam perkataan-perkataan yang diajarkan hikmat manusiawi tetapi yang diajarkan roh, menjelaskan hal-hal rohani dalam perkataan-perkataan yang rohani”. Perdebatan para penafsir terpusat pada frase “menjelaskan hal-hal rohani dalam perkataan-perkataan yang rohani” (pneumatikois pneumatika sunkrinontes). Sebagian memahami pneumatikois sebagai rujukan pada orang yang mendengar injil (LAI:TB/RSV “kepada mereka yang memiliki Roh”), sedangkan yang lain menganggap pneumatikois merujuk pada media yang dipakai dalam pemberitaan injil (NASB/NIV “dengan perkataan-perkataan rohani”). Karena ayat 13a membicarakan tentang “perkataan-perkataan”, maka di ayat 13b sebaiknya dipahami dalam arti yang sama, sebagaimana dinyatakan dalam terjemahan NASB atau NIV. Apa yang disampaikan Paulus di sini sekaligus berfungsi sebagai penjelasan terhadap cara pekabaran injil yang dilakukan Paulus di ayat 1-5.

Kedua, orang yang tidak menerima Roh Allah tidak dapat mengenal hikmat Allah (ay. 14). Ungkapan “manusia duniawi” sebenarnya berarti “manusia alamiah” (psychikos anthropos; KJV/NASB), yaitu manusia yang tidak rohani (RSV) atau tidak memiliki Roh (NIV). Mereka bukan hanya terus-menerus tidak menerima (bentuk present ou dechetai), tetapi mereka juga tidak dapat mengetahui (ou dunatai gnonai). Hal ini berarti bahwa mereka tidak memiliki kemauan maupun kemampuan untuk menerima injil.

Mengapa mereka bersikap seperti ini? Ada dua alasan. Mereka menganggap salib sebagai kebodohan (ay. 14a; bdk. 1:18, 20, 21, 23; 3:19). Menurut pemikiran mereka yang sudah teracuni oleh filsafat dunia, seorang yang mati di atas kayu salib tidak mungkin menjadi Juru Selamat orang berdosa. Orang yang disalib adalah orang yang paling berdosa. Selain itu, Allah tidak mungkin menjadi manusia lalu mati dengan cara seperti itu. Alasan lain adalah karena hal itu hanya dapat dinilai secara rohani (ay. 14b). Cara berpikir alamiah atau duniawi pasti tidak ampu memahami hal-hal rohani.

Ketiga, hanya orang rohani yang dapat menilai hal-hal rohani dan mereka sendiri tidak dinilai oleh orang lain (ay. 15-16). Sebagai kontras terhadap manusia alamiah di ayat 14, manusia rohaniah dapat menilai segala sesuatu (ay. 15a). Bukan hanya itu, mereka juga tidak dinilai oleh siapapun juga (ay. 15b). Pernyataan ini merupakan sindiran terhadap sebagian jemaat Korintus yang duniawi dan menganggap orang lain yang menerima salib sebagai orang-orang bodoh.

Mengapa orang-orang yang rohani tidak dapat dinilai oleh mereka yang tidak rohani? Jawabannya ada di ayat 16a (bdk. kata sambung “sebab”). Bagian ini merupakan kutipan dari Yesaya 40:13 “siapa yang dapat mengatur Roh TUHAN atau memberi petunjuk kepada-Nya sebagai penasihat?”. Lebih spesifik, Paulus sebenarnya mengutip dari versi LXX yang secara hurufiah diterjemahkan “siapa yang mengetahui pikiran Tuhan dan siapa yang menjadi penasehat-Nya yang mengajar Dia”. Melalui kutipan ini Paulus mengajarkan bahwa orang yang memiliki Roh Allah dalam dirinya tidak membutuhkan nasehat atau penilaian dari orang-orang yang tidak memiliki Roh Allah, karena Roh Allah sendiri yang akan mengajar dan memberitahukan kita segala sesuatu (Yoh. 14:26; 1Yoh. 2:27). Dalam bagian lain Paulus menegur jemaat Korintus yang membutuhkan penilaian orang dunia untuk menyelesaikan persoalan di antara mereka (6:1).

Di akhir ayat 16, Paulus menegaskan bahwa kita memiliki pikiran Kristus. Penggunaan sebutan “Kristus” di sini sangat menarik. Konteks 1 Korintus 2:6-16 berbicara tentang pikiran Allah (ay. 10-11) yang hanya bisa diketahui melalui Roh Allah. Di ayat 16a Paulus mengutip versi LXX dari Yesaya 40:13 yang memakai sebutan “pikiran Tuhan”, sedangkan dalam teks Ibraninya dipakai sebutan “Roh Tuhan”. Beragam sebutan yang dipakai (Allah – Roh Allah – Tuhan - Kristus) dengan maksud yang sama seperti ini mengajarkan kesejajaran antara Allah Bapa, Roh Kudus dan Kristus. Hal ini semakin jelas apabila kita mempertimbangkan prinsip “like is known only by like” yang sudah disinggung di ayat 10. #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 9 Maret 2008

14 January 2010

Eksposisi 1 Korintus 2:6-9 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 2:6-9

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 2:6-9



Bagian ini merupakan respons Paulus yang ke-4 seputar masalah “hikmat” yang membuat jemaat Korintus menganggap berita salib sebagai sebuah kebodohan. Dari pembahasan sebelumnya kita sudah belajar tiga respons lainnya, yaitu: (1) 1:18-25, Injil memang “kebodohan”, tetapi bagi mereka yang akan binasa; (2) 1:26-31, mayoritas jemaat Korintus dahulu juga termasuk orang yang bodoh menurut ukuran dunia; (3) 2:1-5, Paulus sendiri memberitakan Injil bukan dengan hikmat duniawi. Di 2:6-9 Paulus menegaskan bahwa dia sebenarnya memberitakan hikmat, tetapi bukan hikmat seperti yang mereka pikirkan.

Alur berpikir Paulus di 2:6-9 sangat mudah untuk ditelusuri. Ayat 6 merupakan pernyataan Paulus bahwa dia juga memberitakan hikmat, tetapi hikmat ini tidak sama dengan hikmat duniawi. Di ayat 7-8 dia lalu menjelaskan ciri-ciri hikmat yang dia maksudkan. Ayat 9 merupakan penutup bagian ini yang berisi dasar Alkitab bagi penyataan hikmat yang benar.


Hikmat yang Berbeda (ay. 6)
Kata pertama yang muncul dalam ayat ini adalah kata “hikmat” (sophia). Cara peletakan seperti ini mengindikasikan bahwa Paulus ingin menekankan bahwa dia sungguh-sungguh memberitakan hikmat. Ide penekanan ini dieskpresikan dengan baik dalam terjemahan NIV “we do speak a message of wisdom”, NASB “we do speak wisdom” maupun RSV “we doimpart wisdom”.

Kata sophia dalam ayat ini muncul tanpa artikel, sehingga lebih tepat diterjemahkan “sebuah hikmat”. Seandainya Paulus memakai artikel, maka hikmat yang dimaksud adalah “hikmat itu” (hikmat yang diagung-agungkan jemaat Korintus). Tidak adanya artikel di depan sophia menunjukkan bahwa Paulus sedang membicarakan sebuah hikmat yang lain. Berdasarkan konteks yang ada, hikmat yang dimaksud Paulus adalah “Kristus” (1:24-25, 30).

Bagi jemaat Korintus, hikmat yang diberitakan Paulus adalah kebodohan (1:18, 23), karena itu dia cepat-cepat menegaskan bahwa salib Kristus adalah hikmat bagi mereka yang matang (teleioi). Kata teleios bisa berarti “sempurna” (KJV) atau “dewasa” (RSV/NASB/NIV). Dalam pasal 2:6 kata teleios tampaknya berarti “dewasa”, karena: (1) mereka yang mengagung-agungkan hikmat duniawi disebut anak kecil (3:1-2); (2) di pasal 14:20 kata teleios dikontraskan dengan anak kecil juga. Melalui penggunaan kata “dewasa” di pasal 2:6 Paulus secara tidak langsung menegur jemaat Korintus sebagai orang yang belum dewasa, karena itu mereka tidak mampu memahami hikmat yang dia beritakan.

Hikmat yang diberitakan Paulus bukanlah hikmat dunia ini atau dari penguasa dunia ini (ay. 6b). Terjemahan “dunia” di ayat ini sebenarnya sedikit kurang tepat. Kata aionseharusnya diterjemahkan “zaman ini” (RSV/NASB/NIV). Makna yang tersirat dari kata “zaman ini” adalah kesementaraan. Hikmat dan penguasa dunia ini akan ditiadakan.

Siapa yang dimaksud dengan “para penguasa dunia ini”? Sebagian sarjana mengidentifikasi mereka sebagai roh-roh jahat, sebagian yang lain melihat para penguasa ini sebagai manusia. Beberapa bukti berikut ini tampaknya lebih mendukung pandangan bahwa para penguasa di sini adalah manusia: (1) ayat 8 menyatakan bahwa para penguasa inilah yang menyalibkan Tuhan Yesus. Rujukan ini tampaknya mengarah pada penguasa duniawi, bdk. Kis 4:27-28; (2) di 1:20 dan 26 Paulus juga menyinggung tentang orang-orang tertentu yang menurut dunia adalah terhormat; (3) Paulus tidak pernah menyebut roh-roh jahat dengan sebutan archon aionos, bdk. Ef. 2:2; 6:12. Jika argumen ini diterima, maka yang dimaksud Paulus mungkin adalah Pontius Pilatus, Herodes dan para pemimpin agama Yahudi yang berperan dalam penyaliban Tuhan Yesus. Walaupun iblis pasti terlibat dalam penyaliban (Yoh 13:2), tetapi kita tidak bisa memastikan apakah Paulus di1Korintus 2:6 memikirkan keberadaan iblis di balik tindakan para panguasa zaman ini.

Paulus lalu menutup ayat 6 dengan penegasan bahwa para penguasa zaman ini akan ditiadakan (ay. 6b). Dalam teks Yunani, kata “ditiadakan” memakai bentuk keterangan waktu present (kekinian), sehingga seharusnya diterjemahkan “sedang ditiadakan”. Terjemahan seperti ini juga diadopsi oleh mayoritas versi Inggris (kontra LAI:TB). Melalui bentuk tense present ini Paulus ingin menekankan kepastian dari kebinasaan yang akan dialami oleh para penguasa zaman ini (bdk. bentuk present “binasa” di 1:18).


Ciri-ciri Hikmat (ay. 7-8)
Di ayat 7 Paulus menyebut hikmat yang dia beritakan sebagai hikmat Allah; dalam arti hikmat ini berasal dari Allah, bukan dari dunia atau penguasa dunia ini. Bagaimana perbedaan antara hikmat Allah yang disampaikan Paulus dengan hikmat yang diagung-agungkan oleh jemaat Korintus? Paulus menjelaskan hal ini dengan memaparkan 4 ciri hikmat yang benar (salib Kristus).
Rahasia (ay. 7a)
LAI:TB meletakkan kata “rahasia” setelah kata “tersembunyi”, padahal dalam teks Yunani kata rahasia muncul lebih dahulu (mayoritas versi Inggris “mystery/secret – hidden”). Kita akan membahas kata “rahasia” (mysterion) lebih dahulu sesuai dengan struktur kalimat Yunani yang ada. Apa yang dimaksud dengan mysterion di sini? Berdasarkan pemunculan kata ini dalam surat-surat Paulus, kita dapat menyimpulkan bahwa mysterion merujuk pada sesuatu yang dulu tidak diketahui, tetapi sekarang dibukakan oleh Allah (2:1; 4:1; 13:2; 14:2; Kol. 1:26-27; 2:2; 4:3; Ef. 1:9; 3:3, 4, 9; 6:19). Berbeda dengan penggunaan kata “misteri” dalam dunia teologi yang biasanya merujuk pada hal-hal yang tidak akan dipahami manusia di dunia ini atau bahkan sampai kekekalan, penggunaan misteri dalam surat-surat Paulus merujuk pada hal yang dapat diketahui secara progresif di dunia ini (Ef. 1:26 “yaitu rahasia yang tersembunyi dari abad ke abad dan dari turunan ke turunan, tetapi yang sekarang dinyatakan kepada orang-orang kudus-Nya”). Yang dimaksud misteri adalah wahyu Allah yang berkaitan dengan salib Kristus (Kol. 2:2 “...rahasia Allah, yaitu Kristus”; 4:3 “rahasia Kristus”). Misteri inilah yang dipercayakan Allah kepada Paulus dan para rasul untuk diberitakan (4:1).

Tersembunyi (ay. 7b)
Hikmat Alah bukan hanya bersifat rahasia (dinyatakan secara progresif), tetapi juga tersembunyi. Kata Yunani yang dipakai di ayat ini berbentuk pasif (apokekrummenen), sehingga lebih tepat diterjemahkan “disembunyikan”. Berdasarkan tata bahasa Yunani, bentuk pasif di sini disebut divine passive, yang menyiratkan bahwa subjek yang menyembunyikan adalah Allah sendiri. Hal ini sesuai dengan doa Yesus ketika Dia ditolak oleh orang-orang Yahudi di Matius 11:25 “Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil”.

Disediakan bagi kita sejak kekekalan untuk kemuliaan kita (ay. 7c)
Walaupun hikmat Allah baru dinyatakan secara bertahap dan disembunyikan bagi orang-orang tertentu, namun hikmat itu sejak kekekalan sudah disediakan bagi orang pilihan-Nya (bdk. 1:24). Kata “disediakan” (proorizo) hanya muncul 6 kali dalam Perjanjian Baru. Dari semua pemunculan ini, proorizo selalu memiliki arti “menentukan dari kekekalan” (Kis 4:28; Rm. 8:29-30; Ef. 1:5, 11). Di 1 Korintus 2:7 makna ini dipertegas dengan frase pro ton aionon (secara hurufiah “sebelum zaman-zaman”, NKJV/NASB/RSV “before the ages”). Artinya, penentuan ini sudah dilakukan Allah sebelum adanya waktu (NIV “before time began”). Dari penjelasan ini terlihat bahwa Paulus bukan sekadar menyatakan bahwa hikmat itu “disediakan” (boleh diambil boleh tidak), tetapi benar-benar ditentukan (bagaimanapun pasti akan dinyatakan kepada orang pilihan-Nya).
Tujuan dari penentuan sejak kekekalan ini adalah “untuk kemuliaan kita”. Melalui frase ini Paulus ingin mengajar jemaat Korintus untuk memiliki konsep yang benar tentang kemuliaan/kehormatan manusia. Kemuliaan manusia tidak terletak pada kriteria duniawi seperti kemampuan intelektual, status sosial dan faktor kelahiran (bdk. 1:19-20, 26). Kemuliaan yang sebenarnya adalah jika kita percaya kepada salib Kristus. Dunia mungkin menganggap tindakan kita sebagai kebodohan, tetapi hal ini justru adalah hikmat yang sebenarnya. Ketika kita percaya pada salib Kristus, maka kita nanti pasti akan dimuliakan bersama dengan Kristus di akhir zaman (Rm. 8:17, 29-30; 1Tes. 2:12; 2Tes. 1:10). Harga kemuliaan ini sangat mahal, karena kemuliaan ini baru bisa kita terima jika Tuhan yang mulia direndahkan di atas kay salib (1Kor. 2:8b).

Tidak diketahui oleh para panguasa zaman ini (ay. 8)
LAI:TB dan beberapa versi Inggris (NIV/RSV) menganggap ayat 8 sebagai induk kalimat yang baru, karena itu mereka meletakkan titik setelah ayat 7. Terjemahan seperti ini tidak sesuai dengan kalimat Yunani di ayat 8. Ayat ini dimulai dengan kata ganti penghubung hen, yang menyiratkan bahwa ayat ini masih menjelaskan hikmat di ayat 6-7. KJV dengan tepat menerjemahkan kata ganti ini dengan “which” (“yang”), sedangkan NASB mencoba memperjelas arti dengan menambahkan kata “the wisdom which” (“hikmat yang”).

Sesuai dengan tata bahasa di atas, maka ayat 8 merupakan ciri hikmat yang berikutnya. Hikmat Allah tidak diketahui oleh para penguasa zaman ini (bdk. 1:21a). Mengapa mereka tidak mengetahuinya? Karena hikmat ini disembunyikan oleh Allah (ay. 7) dan Roh Kudus tidak bekerja dalam hati mereka (ay. 10). Ayat 14a “tetapi manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah”.

Sebagai bukti bahwa mereka tidak dapat mengetahui hikmat Allah adalah tindakan mereka yang menyalibkan Tuhan Yesus. Apa yang mereka lakukan adalah sebuah ironi:
F Mereka berpikir bahwa penyaliban akan merendahkan Yesus, tetapi yang mereka salibkan justru adalah “Tuhan yang mulia” (ay. 8b). Ironi ini sama dengan “membunuh Pencipta Kehidupan” di Kisah Rasul 3:15.
F Mereka berpikir bahwa penyaliban akan melenyapkan Tuhan Yesus, tetapi justru mereka sendiri yang akan lenyap (ay. 6b; 1:18-20).
F Mereka berpikir bahwa penyaliban akan menggagalkan rencana Allah, tetapi hal itu justru menyatakan rahasia Allah dan menggenapi semua yang Dia tentukan dari semula (Kis 4:28).

Dari ironi di atas terlihat bahwa mereka telah melakukan hal-hal yang bodoh. Apa yang mereka anggap hikmat dan kemenangan, sebenarnya hanyalah kebodohan dan kekalahan mereka. Begitu pula dengan orang-orang yang memandang ijil sebagai kebodohan.


Dasar Alkitab (ay. 9)
Ayat ini merupakan kontras terhadap ayat 8, sekaligus memberikan penjelasan bagi ayat 6-7. Mengapa hanya orang-orang tertentu yang dapat melihat salib sebagai hikmat? Semua itu terjadi untuk menggenapi janji Allah di dalam kitab suci.

Kutipan di ayat 9 menimbulkan banyak kebingungan di kalangan para penafsir, karena tidak ada satu ayat kitab suci pun yang isinya sama dengan kutipan Paulus di ayat 9. Sebaliknya, kitab Yahudi kuno The Ascension of Isaiah justru memuat kalimat yang mirip dengan kutipan tersebut. Para sarjana umumnya berpendapat bahwa orang-orang Yahudi waktu itu sudah terbiasa menggabungkan Yesaya 64:4 dan 65:14 (LXX) sehingga keduanya selalu dipahami secara bersama-sama. Salah satu buktinya adalah kitab The Ascension of Isaiah.

Melalui kutipan di atas Paulus ingin mengajarkan bahwa hikmat Allah ini melampaui semua yang mampu dipikirkan manusia. Jalan keselamatan melalui salib sebelumnya tidak pernah dilihat, dipikirkan maupun diinginkan oleh manusia (ay. 9a). Pikiran Allah jauh lebih tinggi daripada pikiran manusia (bdk. 1:25), sejauh langit dari bumi (Yes. 55:8-9). Tidak ada manusia pun yang sanggup memahami karya keselamatan Allah, termasuk Paulus sendiri (Rm. 11:33-34).

Walaupun melampaui kemampuan manusia, namun hal itu bukanlah mustahil. Allah teah menyatakannya kepada mereka yang mengasihi Dia (ay. 9b). Ungkapan ini tidak berarti bahwa kasih manusia yang menjadi faktor penentu (bdk. 1Yoh. 4:10 “bukan kita yang mengasihi Allah, tetapi Allah yang lebih dulu mengasihi kita”). Meminjam ungkapan dalam Roma 8:28, “mereka yang mengasihi Dia adalah mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah”. #




Sumber:Mimbar GKRI Exodus, 24 Februari 2008

08 January 2010

Eksposisi 1 Korintus 2:1-5 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 2:1-5

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 2:1-5



Konteks 1 Korintus 2:1-5
Dalam pasal 2:1-5 Paulus masih melanjutkan pembahasan seputar hikmat (sofia) duniawi yang sudah dia bahas sejak pasal 1:18. Keterkaitan antara bagian ini dengan bagian-bagian sebelumnya ditandai dengan kata sambung kagw (lit. “dan aku”). LAI:TB menerjemahkan kata ini dengan “demikianlah pula.”

Walaupun masih berkaitan, namun pasal 2:1-5 merupakan paragraf yang baru. Hal ini ditandai dengan sapaan “saudara-saudara” di awal ayat 1. Kalau di bagian sebelumnya Paulus sudah menjelaskan tentang “kebodohan” Injil (1:18-25) dan “kebodohan” penerima Injil, yaitu jemaat Korintus sendiri (1:26-31), sekarang dia memfokuskan pada “kebodohan” pemberita Injil (2:1-5). Dia ingin mengingatkan jemaat Korintus bahwa sekalipun dia dulu pada waktu melayani di Korintus termasuk kategori pengkhotbah bodoh jika diukur menurut ilmu retorika kuno, tetapi dia sengaja tidak mau memberitakan Injil dengan bersandar pada ilmu retorika kuno.


Struktur 1 Korintus 2:1-5
Alur berpikir Paulus dalam bagian ini sangat mudah untuk ditelusuri. Inti dari pemikiran Paulus terletak di ayat 1, yaitu dia tidak memberitakan Injil mengikuti hikmat duniawi. Setelah menyatakan inti tersebut, Paulus lalu memberikan penjelasan bagi pernyataannya itu (bandingkan kata sambung “sebab” di ayat 2). Penjelasan ini mencakup tiga poin penting di ayat 2-4. Pada ayat 5 Paulus menerangkan tujuan mengapa dia tidak menggunakan hikmat duniawi dalam pemberitaan Injil.
Penjelasan di atas dapat digambarkan sebagai berikut:
Ayat 1 Inti: Paulus tidak memberitakan Injil menurut hikmat duniawi
Ayat 2-4 Penjelasan
Ayat 2 Paulus tidak mengetahui apa pun selain Kristus yang tersalib
Ayat 3 Paulus memiliki banyak keterbatasan
Ayat 4 Paulus bersandar pada kekuatan Roh
Ayat 5 Tujuan: supaya iman jemaat tidak bergantung pada hikmat manusia


Inti: Paulus tidak memberitakan Injil menurut hikmat duniawi (ay. 1)
Pengulangan kata “aku datang” (ercomai) sebanyak dua kali di ayat 1a (“ketika aku datang, aku tidak datang...”) memiliki makna yang penting. Paulus sebenarnya cukup memakai satu kali saja, tetapi dia memutuskan untuk mengulang hal ini karena dia ingin menekankan pelayanannya yang dulu di kota Korintus. Kedatangan yang dimaksud di sini adalah kedatangan Paulus pertama kali di kota Korintus sebagaimana dicatat dalam Kisah Rasul 18:1-18.

Ketika Paulus pertama kali datang ke Korintus, dia tidak datang “dengan kata-kata yang indah dan dengan hikmat” (ay. 1b). Terjemahan LAI:TB di ayat ini memiliki beberapa kelemahan. Terjemahan “indah” di sini tidak tepat. Kata Yunani huperoch berkaitan dengan ide “memiliki sesuatu di atas atau secara berlebihan”, sehingga seharusnya diterjemahkan “superior” (NASB/NIV), “hebat” (KJV) atau “tinggi” (RSV). Selain itu, para penerjemah LAI:TB mengasumsikan bahwa kata sifat huperoch hanya menjelaskan kata benda logos (LAI:TB “kata-kata yang indah”), padahal huperoch seharusnya menjelaskan kata benda sofia (“hikmat”) juga. Kelemahan lain dari terjemahan LAI:TB adalah penggunaan “kata-kata” untuk menerjemahkan kata Yunani logos. Sesuai dengan konteks yang ada, logos di sini lebih mengarah pada perkataan (KJV/NASB “speech”; NIV “eloquence”), bukan kata-kata (RSV “words”). Jika semua penjelasan ini digabungkan, maka ayat 1b seharusnya diterjemahkan “dengan superioritas perkataan atau (superioritas) hikmat.”

Dua hal yang disebut Paulus dalam ayat ini – yaitu perkataan (logos) dan hikmat (sofia) – merupakan karakteristik utama seorang orator yang ulung menurut ilmu retorika waktu itu. Kata logos lebih mengarah pada bentuk (cara penyampaian), sedangkan sofia lebih ke arahisi (kualitas logika dan jangkauan pengetahuan). Seorang orator harus mampu memberikan materi yang menunjukkan pikirannya yang tajam dan pengetahuannya yang luas. Dia juga harus mampu menyampaikan materi tersebut dengan cara yang menarik dan memukau pendengar.

Pernyataan Paulus di ayat ini tidak berarti bahwa dia adalah orang yang tidak berpengetahuan atau tidak dapat menyampaikan sesuatu dengan jelas. Kotbahnya di depan para filsuf di Atena (Kis. 17:21-34) membuktikan kehebatan pengetahuan Paulus. Festus pun mengakui kehebatan Paulus selama dia mendengar kotbahnya. Dia berseru “Engkau gila Paulus! Ilmumu yang banyak itu membuat engkau gila” (Kis. 26:24). Yang dimaksud Paulus di 1 Korintus 2:1 adalah bahwa dia tidak mau menjadikan semua kriteria retorika tersebut sebagai sesuatu yang penting. Dia tidak mau menyandarkan pemberitaannya pada kemampuan retorika.

Paulus sadar bahwa dia sedang menyampaikan kesaksian Allah (ay. 1c). Kata “menyampaikan” di sini dalam teks Yunani adalah katangellw. Versi Inggris dengan tepat menerjemahkan kata ini dengan “mendeklarasikan” (KJV) atau “memproklamasikan” (NASB/NIV/RSV). Makna utama yang terkandung dalam kata ini adalah “membuat sesuatu diketahui oleh publik.” Tidak heran, kata ini tidak selalu melibatkan komunikasi verbal dalam bentuk kotbah. Roma 1:8 “telah tersiar kabar (katangellw) tentang imanmu di seluruh dunia.” 1 Korintus 11:26 “sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan (katangellw) kematian Tuhan sampai Ia datang.” Melalui kata katangellw ini Paulus ingin menjelaskan kepada jemaat Korintus bahwa sekalipun dia tidak berkotbah di depan banyak orang seperti yang yang biasa dilakukan orator ulung waktu itu, namun berita yang dia sampaikan di rumah atau synagoge akhirnya tetap diketahui oleh publik dan hal ini tidak dicapai melalui superioritas perkataan atau superioritas hikmat.

Apa yang disampaikan Paulus adalah kesaksian (martyrion) Allah. Dalam beberapa salinan Alkitab kuno, kata yang dipakai bukan martyrion (“kesaksian”), tetapi mysthrion (“misteri”). Para penafsir modern umumnya menganggap salinan mysthrion lebih sesuai dengan naskah asli. Editor teks Yunani yang paling modern dan terpercaya (NA27 dan UBS4) juga berpendapat bahwa kata mysthrion lebih asli. Pendapat ini tampaknya sangat bisa diterima karena didukung oleh salinan yang lebih tua dan sesuai dengan konteks yang ada (kata muncul lagi di 1 Korintus 2:7)

Kata mysthrion muncul 28 kali dalam seluruh Perjanjian Baru, 21 di antaranya ditemukan dalam tulisan Paulus. Dari pemunculan kata ini dapat disimpulkan bahwa mysthrion merujuk pada sesuatu yang dahulu tertutup tetapi perlahan dibuka oleh Allah. Kata ini selalu berhubungan dengan sejarah penebusan yang dinyatakan Allah (Rm. 11:25; 16:25; 1Kor. 2:1, 7; 4:1; 13:2; 14:2; 15:51; Ef. 1:3; 3:3, 4, 9; 5:32; 6:19; Kol. 1:26, 27; Kol. 2:2; 4:3; 2Tes. 2:7; 1Tim. 3:9, 16).

Melalui penggunaan kata mysthrion di 1 Korintus 2:1 Paulus bermaksud mengingatkan jemaat Korintus bahwa yang paling penting dalam pemberitaan Injil adalah karya Allah. Kefasihan bicara dan pengetahuan pengkotbah bukanlah yang terpenting. Misteri ini (bdk. ayat 7) hanya dapat dipahami dengan bantuan Roh Kudus (2:9-13). Hikmat dunia justru tidak dapat menyelami misteri ini (ay. 8, 14).


Penjelasan (ay. 2-4)
Di ayat 2-4 Paulus memberikan penjelasan bagi pernyataannya di ayat 1. Ada tiga hal yang dia paparkan.
Paulus tidak mengetahui apa pun selain Kristus yang tersalib (ay. 2)
Dalam teks Yunani, ayat 2 dimulai dengan kata ou (“tidak”). Peletakan kata ou di awal kalimat mengindikasikan penekanan. Paulus sungguh-sungguh memutuskan untuk tidak mengetahui apa pun. Pernyataan ini tidak berarti bahwa Paulus benar-benar buta tentang keadaan kota Korintus. Pernyataan ini harus dipahami sebagai kontras antara Paulus dan para orator kuno. Para orator biasanya menyelidiki apa yang ingin diketahui oleh calon pendengar mereka. Hal ini dilakukan agar materi yang disampaikan dapat diterima dan menyenangkan pendengar.
Paulus tidak mau mempraktikkan kebiasaan para orator di atas. Bagi dia yang paling penting bukan apa yang pendengar ingin ketahui, tetapi apa yang mereka harus ketahui. Bagi Paulus yang paling penting adalah Kristus yang tersalib (ay. 2b), walaupun berita ini merupakan batu sandungan dan kebodohan bagi pendengarnya (bdk. 1:23). Berita selalu disampaikan Paulsu di mana saja dan kepada siapa saja (Kis. 13:26-42). Dia tidak mau menyenangkan telinga pendengar dengan mengorbankan berita yang sangat penting (Gal. 1:10;1Tes. 2:5-6).

Paulus memiliki banyak keterbatasan (ay. 3)
Kata Yunani egenomhn (dari kata ginomai) dapat berarti “aku datang” (LAI:TB/NIV “I came to you”) atau “aku bersama-sama” (KJV/NASB/RSV “I was with you”). Dari dua alternatif ini, alternatif ke-2 tampaknya lebih tepat. Ketika membicarakan tentang kedatangan dan kehadiran Timotius ke Korintus di pasal 16:10, Paulus membedakan kata kerja ercomai (“datang”) dan ginomai (“berada”). Jika terjemahan “aku bersama-sama” diterima, maka ayat 3 merujuk pada Kisah Rasul 18:11-18 ketika Paulus tinggal bersama-sama dengan jemaat Korintus selama sekitar 1,5 tahun.
Selama kebersamaan dengan mereka ini, Paulus berada dalam berbagai keterbatasan. Dia dalam kelemahan, ketakutan dan kegentaran. Dalam teks Yunani, frase “dalam...dalam....dalam....” diletakkan di depan kata kerja egenomhn untuk memberikan penekanan. Bukan hanya cara berkotbah Paulus yang tidak sesuai ilmu retorika kuno, namun kehadirannya pun dipenuhi dengan berbagai keterbatasan.
Keterbatasan Paulus yang pertama adalah kelemahan (asqeneia). Kata asqeneia berasal dari kata a = tidak dan sqenos = kekuatan. Kata ini sering kali dipakai untuk kelemahan secara fisik (Mat. 8:17; Luk. 5:15; Yoh. 5:5; Kis. 28:9; Gal. 4:13). Dalam beberapa kasus kata ini juga dipakai dalam konteks penganiayaan, misalnya kelemahan Paulus di 1 Korintus 4:10 dijelaskan dalam konteks penganiayaan (bdk. ayat 11-13). Kita tidak mengetahui secara pasti apakah asqeneia merujuk pada penyakit fisik atau penganiayaan (luka/cacat akibat penganiayaan), karena Kisah Rasul 18:1-18 tidak menceritakan apa pun tentang kelemahan fisik Paulus. Paulus mungkin saja memikirkan dua arti tersebut, ditambah dengan kondisi fisik Paulus sendiri yang menurut tradisi kurang menarik (wajah, ukuran tubuh dan bentuk kaki Paulus tampak tidak normal). Yang jelas, kelemahan ini pasti berhubungan dengan tanda-tanda yang dapat dilihat di tubuh Paulus.
Keterbatasan yang lain adalah “ketakutan dan kegentaran.” Dua kata ini sebaiknya digabung, karena keduanya sinonim dan sering kali dipakai secara bersamaan dalam Alkitab (LXX, Kel. 15:16; Yes. 19:16; 2Kor. 7:15; Flp. 2:12; Ef. 6:5). Ketakutan Paulus ini sangat mungkin tidak berhubungan dengan ketakutan terhadap orang-orang Yahudi (Kis. 18:9-10), karena 1 Korintus 2:3 berbicara tentang pelayanan Paulus selama 1,5 tahun (bukan pada saat pertama kali datang). Para sarjana umumnya melihat ketakutan ini secara lebih luas: Paulus gentar dengan tugas pemberitaan Injil di kota metropolis seperti Korintus. Orang-orang waktu itu cenderung hanya menerima pengkotbah yang dapat menghibur mereka, sedangkan Paulus dari segi penampilan fisik dan kemampuan tidak memenuhi persyaratan itu.

Paulus bersandar pada kekuatan Roh (ay. 4)
Di ayat ini Paulus menegaskan bahwa pemberitaannya tidak disampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan (ay. 4a). Kata peiqois (“meyakinkan”) hanya muncul sekali di seluruh Alkitab. Berdasarkan penggunaan kata ini di luar Alkitab, kata peiqois dapat memiliki makna positif (“persuasif”, NIV/NASB), netral (“masuk akal”, RSV) atau negatif (“memikat”, KJV), tergantung pada konteks. Dari konteks yang ada, peiqois tampaknya bermakna negatif.
Kita tidak boleh memahami bahwa kotbah Paulus kurang meyakinkan. Yang sedang menjadi sorotan adalah jenis persuasi yang dipakai. Paulus tidak memakai persuasi secara hikmat duniawi yang mengandalkan kefasihan dan kepandaian pembicara. Sebaliknya, kekuatan kotbah Paulus terletak pada keyakinannya akan kekuatan Roh (ay. 4b). Terjemahan “keyakinan” sebenarnya tidak terlalu tepat mengekpresikan kata Yunani yang dipakai. Kata apodeixis yang hanya muncul sekali dalam Alkitab ini memiliki arti “bukti” (2Mak 4:20) atau “demonstrasi” (4Mak 3:19). Jadi, Paulus bukan sekedar yakin, tetapi dia sudah melihat atau membuktikan sendiri kekuatan Roh Kudus dalam kotbahnya. Kekuataan Roh dalam konteks ini bukanlah mujizat tertentu (kesembuhan, pengusrian setan, dsb), tetapi pertobatan orang-orang berdosa. Pertobatan adalah mujizat terbesar, karena orang yang mati dalam dosa dan memusuhi Allah dapat diubah menjadi orang yang mengasihi Dia.


Tujuan (ay. 5)
Paulus menutup pembahasannya di pasal 2:1-5 dengan menjelaskan tujuan mengapa dia tidak mau memberitakan Injil dengan hikmat duniawi. Dia tidak mau iman jemaat Korintus bergantung pada (lit. “berada dalam”) hikmat manusia. Dia ingin iman mereka bergantung pada kekuatan Allah. Dengan memahami kebenaran ini, jemaat Korintus akan terhindar dari bahaya memegahkan diri sendiri atau para pemimpin mereka. Mereka seharusnya bermegah di dalam Tuhan (1:31), karena semua berasal dari, oleh dan untuk Tuhan (Rm. 11:36). #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 13 Januari 2008

03 January 2010

FACEBOOK: Antara Dunia Nyata dan Semu (Tinjauan Kritis Iman Kristen terhadap Gejala dan Penggunaan Facebook) oleh: Denny Teguh Sutandio

FACEBOOK: Antara Dunia Nyata dan Semu
(Tinjauan Kritis Iman Kristen terhadap Gejala dan Penggunaan Facebook)


oleh: Denny Teguh Sutandio




I. PENDAHULUAN
Di abad postmodern, manusia makin lama bukan makin tambah beres, namun semakin kacau dan hidup tidak karuan, mulai dari prinsip hidup sampai aplikasinya. Ya, meskipun hal ini tidak terjadi pada semua manusia, namun gejala postmodernisme (dan postmodernitas) yang salah satunya ditandai oleh pragmatisme sedang merajalela di zaman postmodern. Dengan semangat pragmatisme (atau menggunakan bahasa gaul sekarang: EGP—emang gue pikirin), mereka menganggap ringan banyak hal, bahkan hal-hal penting. Banyak hal dianggap main-main, sehingga banyak generasi muda zaman sekarang sangat susah ditanya mengenai prinsip hidupnya apalagi imannya. Salah satu hal yang dibuat mainan oleh generasi muda zaman sekarang adalah Facebook. Apakah Facebook itu? Dari mana asalnya? Bagaimana penggunaan Facebook di zaman sekarang? Apakah Facebook itu salah? Atau penggunaan yang tidak bertanggungjawab terhadap Facebook yang salah? Artikel yang saya susun ini tidak bermaksud melarang penggunaan Facebook sama sekali, namun menyoroti khusus terhadap penggunaan Facebook.




II. PRESUPOSISI KRISTEN: IMAN KRISTEN DAN MEDIA
A. Beragam Reaksi Kekristenan Terhadap Media
Sebelum kita masuk ke dalam pembahasan mengenai Facebook, mari kita merenungkan dahulu apa yang menjadi dasar presuposisi iman Kristen kita terhadap media. Zaman yang kita hidupi berbeda dari zaman dahulu. Perbedaan tersebut bisa ke arah positif atau negatif. Perbedaan itu ditandai dengan salah satunya oleh kemajuan teknologi. Kalau zaman dahulu, mungkin tidak ada media elektronik yang canggih, seperti HP, laptop, dll, namun di zaman sekarang, semuanya ada, bahkan lebih canggih. Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, kita sedang hidup di zaman serba berteknologi. Dalam hal ini, orang Kristen pun berpartisipasi dan ikut menikmati kemajuan teknologi. Ada beragam reaksi yang dinyatakan oleh orang Kristen berkenaan dengan media.

1. Cuek dan Terlalu Kompromi
Biasanya beberapa atau bahkan mungkin banyak orang Kristen yang prinsip hidupnya tidak beres selalu mengambil jalan pragmatis di dalam hidupnya, yaitu “prinsip” EGP (emang gue pikirin). “Prinsip” ini ditandai dengan dua hal. Pertama, yaitu cuek. Mereka benar-benar cuek dengan kemajuan teknologi dan akibatnya, karena baginya, mereka sangat menikmati teknologi-teknologi tersebut. Kedua, yaitu terlalu kompromi. Selain cuek, orang pragmatis biasanya terlalu menganggap ringan banyak hal. Ia terlalu banyak berkompromi dalam banyak hal. Mereka berpikir bahwa semua media itu baik dan berguna. Bukan hanya media, dalam hal seni pun, mereka berpikir hal yang sama. Saya mendengar perkataan seorang penyiar radio Kristen di sebuah siaran radio Kristen di Surabaya mengatakan bahwa semua musik itu dari Tuhan. Pernyataan ini sebenarnya perlu diklarifikasi dengan penjelasan yang bertanggungjawab. Benarkah semua musik itu dari Tuhan? Apakah si penyiar ini tidak sadar bahwa musik juga termasuk salah satu hasil dari kebudayaan manusia yang berdosa. Hal yang sama dengan media. Media adalah hasil kreativitas dari manusia berdosa. Meskipun TIDAK semua media itu salah dan menyesatkan, namun tetap ada unsur berdosa di dalam setiap hasil penemuan manusia berdosa.

2. Paranoid
Selain cuek dan terlalu kompromi, reaksi ekstrem kedua adalah ketakutan/paranoid terhadap media. Biasanya reaksi ini ditandai dengan tindakan membatasi penggunaan media oleh beberapa orangtua Kristen maupun hamba-hamba Tuhan agar para generasi muda Kristen tidak terpengaruh hal-hal buruk dari media. Saya mendengar sebuah cerita dari seorang teman kuliah saya dahulu yang berjemaat di sebuah gereja yang cukup terkenal di kalangan anak muda di Surabaya. Teman saya bercerita bahwa pendetanya (yang tergolong masih muda dan bukunya cukup terkenal) melarang anggota jemaatnya untuk membaca buku atau/dan menonton film The Da Vinci Code. Di satu sisi, tindakan memproteksi ini baik dan berguna, namun sayang, di sisi lain, hal ini berbahaya, kurang bertanggungjawab, dan kurang bijaksana. Mengapa? Karena: Pertama, motivasinya kurang bisa dipertanggungjawabkan. Apa motivasi dari tindakan pembatasan penggunaan media? Biasanya orang yang paranoid dengan media lalu membatasi penggunaan media berkata bahwa itu kurang baik isinya. Jika ada orang yang berkata demikian, tolong tanya, apakah yang mengatakan hal tersebut sudah mengerti seluk-beluk media yang dibicarakannya atau tidak/belum? Jika sudah mengerti, maka ia berhak mengatakan hal tersebut. Namun, jika belum, hak apa ia bisa mengatakan hal yang belum diketahuinya secara tuntas? Jika orang itu belum mengerti seluk-beluk media secara tuntas, lalu menyuruh jemaat/orang lain untuk membatasi penggunaan media, bukankah sikap ini adalah sikap fanatik berlebihan? Jangan heran, beberapa anak muda Kristen kurang kritis dalam memilih sendiri mana media yang beres atau tidak, karena di gerejanya, mereka diajar oleh pengajar/hamba Tuhan yang paranoid dengan media.

Kedua, tujuannya bisa merusak. Apa tujuan dari pembatasan penggunaan media? Biasanya mereka yang paranoid terhadap media yang mengambil sikap membatasi penggunaan media mengatakan bahwa tujuan mereka agar para generasi muda Kristen tidak rusak imannya. Kembali ke contoh tentang pelarangan menonton/membaca The Da Vinci Code oleh seorang pendeta di atas, apa tujuan pendeta tersebut melarang menonton/membaca The Da Vinci Code? Mungkin sekali tujuannya baik, yaitu agar para generasi muda Kristen tidak rusak imannya, namun apakah tujuan itu benar-benar bijaksana? Saya pikir tidak. Mengapa? Pertama, apakah pelarangan tersebut konsisten dengan tindakan pendeta itu sendiri? Jika pendeta itu melarang menonton/membaca The Da Vinci Code, tolong tanya, apakah pendeta itu sudah membaca/menontonnya? Jika sudah, mengapa ia melarang? Jika belum, hak apa ia melarang orang lain menonton/membacanya? Ataukah ia hanya mendengar dari kata pendeta lain yang sudah mengkritisi The Da Vinci Code, lalu mengambil sikap demikian? Kedua, pelarangan tersebut tidak diimbangi dengan pengajaran iman Kristen secara ketat. Jika pendeta itu melarang menonton/membaca The Da Vinci Code, apakah pendeta itu mengimbanginya dengan mengajar iman Kristen yang ketat dan teliti khususnya dalam aspek sejarah untuk melawan isi dari The Da Vinci Code? Jika tidak, maka pelarangan itu tidak bertanggungjawab dan kurang bijaksana. Jika ya, maka sebenarnya pelarangan itu tidak diperlukan, karena kalau jemaat sudah dibekali dengan apa yang benar, maka ia bisa mengembangkan pikiran kritis di dalam melihat segala sesuatu. Saya berani berkata satu hal bahwa jika ada pendeta yang melarang menonton/membaca The Da Vinci Code, namun tidak mengimbanginya dengan mengajar iman Kristen dengan beres, biasanya pendeta itu kurang beres dalam belajar theologi/Alkitab. Untuk menutupi kelemahannya dalam hal-hal theologi, makanya ia melarang jemaatnya tanpa mau memberi tahu dengan jelas alasan dan hal-hal yang sebenarnya. Di sini, yang paling mengasihankan itu jemaatnya yang diimun oleh pendetanya yang mungkin sekali adalah orang yang kurang belajar theologi baik-baik. Ketiga, pelarangan tersebut mengakibatkan pemberhalaan terhadap si pelarang. Biasanya gejala fanatisme adalah gejala yang percaya apa saja apa yang dikatakan oleh otoritas tertinggi, misalnya: pendeta, pemimpin gereja, orangtua, senior, atasan (bos), dll. Nah, di dalam Kekristenan, gejala fanatisme ini ditandai dengan percaya apa saja yang dikatakan pendeta. Jika pendeta melarang menonton/membaca sesuatu, maka semua jemaatnya serentak menurutinya. Jadi, dari muda, jemaat tidak diajar untuk kritis, namun diajar untuk percaya apa saja yang dikatakan dan dilarang oleh pendeta. Lama-kelamaan, jemaat dan para generasi muda Kristen mengandalkan (bisa dibilang: memberhalakan) pendetanya. Mereka akan bertanya dahulu kepada pendetanya sebelum menonton film atau membaca buku-buku sekular/rohani. Jika pendetanya menyetujuinya, maka mereka dengan berani menonton film atau membaca buku tersebut. Jika pendetanya melarangnya, maka mereka tidak mau melakukannya. Dengan kata lain, benar atau salah ditinjau dari perspektif pendetanya yang mungkin sekali tidak pernah sekolah theologi baik-baik atau tidak pernah mengerti dunia luar dengan teliti dan beres (asal mendengar kata orang).


B. Reaksi Kekristenan yang Benar Terhadap Media
Jika kedua reaksi Kekristenan di atas terhadap media terlalu ekstrem, maka bagaimana sebenarnya reaksi Kekristenan yang normal dan bertanggungjawab? Saya menawarkan alternatif ketiga sebagai alternatif reaksi Kekristenan terhadap media yang saya sebut sebagai reaksi paradoks. Kita sebagai orang Kristen jangan seperti orang dunia yang suka berpikir either or (kalau tidak X, ya Y), tetapi kita harus berpikir paradoks. Artinya, di dalam cara kita berpikir, hendaklah pikiran kita tidak diikat oleh sistem duniawi, namun terikat dengan apa yang Tuhan mau. Untuk hal-hal yang jelas berdosa (seperti: membunuh, mencuri, dll), jelas kita tidak boleh melakukannya, karena Alkitab melarangnya. Namun untuk hal-hal yang sekunder, maka kita tidak perlu mengambil sikap ekstrem. Kita tetap memegang prinsip tegas, namun ketegasan tidak harus selalu identik dengan kekakuan dan kekolotan.

Lalu, dalam hal apa saja kita memiliki ketegasan dalam prinsip? Ada tiga hal di mana kita sebagai orang Kristen harus tegas di dalam prinsip kita menyoroti media. Dua prinsip pertama, saya ambil dari konsep Rev. Craig Cabaniss, M.Div. dan prinsip terakhir saya kembangkan sendiri. Berkaitan dengan perspektif Kristen mengenai media, Rev. Craig Cabaniss, M.Div. di dalam buku yang diedit oleh Rev. C. J. Mahaney yang berjudul Worldliness: Resisting the Seduction of a Fallen World mengungkapkan dua prinsip Kristen menyoroti media, yaitu:1
1. Living Coram Deo (Hidup Di Hadapan Allah)
Rev. Craig Cabaniss, M.Div. menjelaskan bahwa hidup Kristen adalah hidup di hadapan wajah Allah. Artinya setiap inci kehidupan kita baik publik maupun privat adalah hidup di hadapan-Nya. Ketika kita menyadari bahwa Allah itu mengetahui dan mengawasi setiap inci kehidupan kita, hal ini mengakibatkan kita takut akan Allah ketika menjalani hidup kita. Takut di sini tidak seperti takut ketika melihat setan, namun takut di dalam pengertian gentar sekaligus hormat kepada-Nya. Lalu, bagaimana kita bisa takut akan Allah? Rev. Craig Cabaniss menjelaskan, “Fearing God is where we begin our search for knowledge and wisdom.” (=Takut akan Allah adalah di mana kita mulai penyelidikan kita bagi pengetahuan dan bijaksana)2 Dengan kata lain, takut akan Allah mengakibatkan kita bukan duduk diam tak berbuat apa-apa, namun mendorong kita menyelidiki apa yang dikehendaki-Nya bagi umat-Nya melalui firman-Nya. Sehingga ketika kita menggunakan semua media, kita menggunakannya di dalam hadirat Allah (in God’s presence). Kita memilih segala sesuatu di hadapan Allah yang Mahakudus. Yang menarik, selanjutnya, Rev. Cabaniss menjelaskan bahwa ketika kita memilih segala sesuatu, kita melakukannya di hadapan Allah, bukan karena dilihat oleh pendeta, orangtua, anggota kelompok kecil, atau tetangga kita yang belum Kristen. Di sini, pernyataan Rev. Cabaniss menarik. Berarti, seluruh inci kehidupan kita bukan diatur oleh orang-orang di sekitar kita, namun diatur oleh takut akan Allah yang kita miliki.

2. Grace-motivated Obedience (Ketaatan yang Dimotivasi oleh Anugerah)
Hidup di hadapan Allah mengakibatkan kita sadar bahwa Allah itu Mahakudus dan kita berdosa. Dari perspektif ini, kita menyadari ketidaklayakan kita hidup di hadapan-Nya. Namun, puji Tuhan, Bapa mengutus Anak, yaitu Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dosa-dosa umat-Nya dan menyelamatkan kita dari ikatan dosa, iblis, dan maut. Sehingga kita yang dahulu hidup di dalam kegelapan, melalui anugerah-Nya, kita masuk ke dalam terang yang sesungguhnya. Rev. Cabaniss menjelaskan lebih lanjut, “Coram Deo, we find grace. Grace that forgives. Grace that empowers us to change. Grace that leads us to desire and pursue obedience.” (=Coram Deo/hidup di hadapan Allah, kita menemukan anugerah. Anugerah yang mengampuni. Anugerah yang memberikan kuasa kepada kita untuk berubah. Anugerah yang memimpin kita untuk menginginkan dan mengejar ketaatan)3 Dengan kata lain, takut akan Allah mengakibatkan kita menemukan anugerah Allah di sana dan anugerah ini memampukan kita taat akan apa yang diperintahkan-Nya. Ketaatan kita bukan agar diperkenan oleh Allah, namun sebagai respons atas anugerah yang Allah telah berikan kepada kita. Ketaatan kita akan perintah-Nya mengakibatkan kita melakukan segala sesuatu untuk memuliakan dan menyenangkan-Nya. Hidup memuliakan dan menyenangkan-Nya tentu ditandai dengan tidak sembarangan mempergunakan hidup demi diri sendiri. Jika kita tidak sembarangan mempergunakan hidup, maka kita dengan bijaksana memilih segala sesuatu mana yang memuliakan dan menyenangkan Allah dan mana yang tidak. Kalau kita membaca Roma 12:2, maka Paulus mengajar kita untuk memilih segala sesuatu berdasarkan kehendak Allah: baik, berkenan kepada Allah (bisa diterjemahkan: menyenangkan Allah), dan sempurna. Rev. Cabaniss mengemukakan tiga karakteristik kesenangan yang sesuai kehendak Allah: good and right and true (baik, adil, dan benar). Kemudian, Rev. Cabaniss melanjutkan perkataannya, “Discerning what pleases the Lord requires critically evaluating media content at all times.” (=Membedakan apa yang menyenangkan Tuhan selalu mewajibkan evaluasi kritis terhadap isi media.)4

3. Alkitab: Satu-satunya Fondasi Kebenaran
Sebagai orang Kristen yang normal yang telah mengalami anugerah Allah dan terus hidup takut akan Allah, maka kita percaya penuh bahwa Alkitab adalah satu-satunya firman Allah yang diwahyukan tanpa salah dalam naskah asli (autographa)nya. Artinya, Alkitab adalah satu-satunya fondasi kebenaran dalam iman dan kehidupan kita sehari-hari. Segala macam iman, agama, kepercayaan, filsafat, sains, tradisi, kebudayaan, gaya hidup, perkataan, pikiran, dan tindakan harus ditundukkan di bawah Alkitab. Segala sesuatu harus diuji berdasarkan Alkitab. Namun, apakah itu berarti kita menjadi orang udik dan aneh? Lalu, kita hanya mau menonton film-film rohani, membaca buku-buku rohani, dan melakukan hal-hal rohani saja? TIDAK. Kita percaya akan ketidakbersalahan Alkitab, namun di dalam aplikasinya, kita jangan menjadi orang aneh. Ingatlah satu hal: kita ada di dalam dunia, namun kita bukan berasal dari dunia. Artinya, status kita memengaruhi dan mendasari hati, pikiran, perkataan, dan tindakan kita di dalam dunia. Meskipun kita adalah anak-anak Allah, kita tetap harus bergaul dan hidup di dunia ini, tentu tidak boleh menyetujui semua pemikiran dan tindakan duniawi/sekular. Ada batas-batas yang harus kita ambil untuk membedakan kita dari orang-orang dunia.

Kembali, ketidakbersalahan Alkitab yang kita imani memengaruhi sikap kita di dalam melihat segala sesuatu. Ketidakbersalahan Alkitab memengaruhi sikap kita untuk kritis dalam segala hal. Namun, ketidakbersalahan Alkitab yang mengakibatkan kita kritis tidak seharusnya membuat kita antipati atau paranoid terhadap hal-hal duniawi. Saya pernah mendengar seorang pendeta berkata bahwa kalau beliau mau menonton film di DVD, beliau akan memutarnya secara cepat di laptop untuk mengetahui alur ceritanya, supaya kita yang menonton tidak terikat pada alur cerita yang diatur oleh sutradara. Di satu sisi, hal ini ada baiknya, namun di sisi lain, kita kurang menikmati sebuah cerita. Kembali, apakah dengan mengimani ketidakbersalahan Alkitab, lalu kita menjadi orang-orang Kristen yang kurang menikmati cerita/film/dll? Lebih tajam lagi, apakah ketidakbersalahan Alkitab mengakibatkan kita menjadi orang yang kurang bersukacita? Tidak heran, beberapa orang Kristen khususnya Reformed di sebuah gereja tertentu, mukanya lonjong-lonjong dan tidak ada gairah sukacita di dalamnya. Pendetanya mengkritik buku Rev. John S. Piper, D.Theol. yang membahas hedonisme Kristen. Pendeta ini menyangka bahwa hedonisme itu ngawur, maka hedonisme Kristen itu juga ngawur. Padahal ketika si pendeta berkata demikian, ia kurang bertanggungjawab, karena ia tidak mau membaca terlebih dahulu buku-buku dan penjelasan Dr. John S. Piper tentang makna hedonisme Kristen di dalam bukunya Desiring God (Mendambakan Allah). Pendeta ini baik, yaitu beliau kritis, namun kekritisannya tidak didasarkan pada bukti yang kuat yang mengakibatkan sikap generalisasi berlebihan.

Dengan mengimani ketidakbersalahan Alkitab, kita dituntut untuk kritis, namun kekritisan kita hendaklah merupakan kekritisan yang wajar dan tidak terlalu ekstrem/berlebih-lebihan. Kalau kita tidak mengerti tentang sesuatu hal, hendaklah kita tidak sembarangan berkomentar! Belajarlah untuk menyelidiki sesuatu hal tersebut secara tuntas, baru berkomentar. Jangan seperti banyak orang postmodern yang pragmatis yang asal-asal ngomong. Kembali, bagaimana kita bisa kritis secara wajar? Ya, sebenarnya ini tidak mudah. Fondasi agar kita bisa kritis adalah kita belajar iman Kristen dan Alkitab terlebih dahulu. Setelah kita belajar banyak hal tentang iman Kristen dan Alkitab dengan beres, maka kita bisa kritis secara wajar. Ini bukan hanya teori, namun sudah saya aplikasikan. Ketika menonton film baik di DVD maupun bioskop, tingkat kekritisan kita harus tajam, namun tidak berarti kita tidak menikmati alur cerita filmnya. Artinya, sambil menikmati alur cerita filmnya, kita sambil kritis menyoroti nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Misalnya, ketika kita menonton film Star Trek, ya, kita menikmati saja alur ceritanya yang seru dan menegangkan, namun kita tetap harus kritis nilai-nilai yang sedang diajarkan melalui film itu apakah sesuai dengan Alkitab. Jangan menerima mentah-mentah semua nilai di dalam media, namun juga jangan menolak semua nilai di dalam media. Kita harus bijaksana memilih dan memilah sendiri mana yang sesuai dengan Alkitab dan tidak untuk kita aplikasikan. Contoh lain, ketika kita menonton film Yes Man yang dibintangi oleh aktor, Jim Carrey, kita boleh menikmati alur ceritanya yang lucu dan konyol, namun kita tetap harus waspada bahwa film itu sedang mencoba mengajarkan Berpikir Positif kepada para penontonnya. Sebagai penonton Kristen, kita tidak boleh langsung meng“amin”kannya, kita harus mengujinya dan memang bahwa Berpikir Positif itu lebih banyak berdampak buruk dan tidak sesuai dengan Alkitab.




III. SEPUTAR FACEBOOK
Setelah kita mengerti presuposisi Kristen terhadap media, maka kita akan menyoroti seputar Facebook: definisi, asal mula, pelarangan terhadap penggunaannya, dan hal-hal lainnya. Untuk selanjutnya, Facebook akan disingkat FB.
A. FB: Definisi, Asal Mula, dan Perkembangannya
Apa itu Facebook (FB)? Situs Wikipedia5 menjelaskan bahwa FB adalah situs jejaring sosial yang dioperasikan dan secara privat dimiliki oleh Facebook, Inc. di Cambridge, Massachusetts, USA. FB pertama kali bernama Facemash ditemukan oleh Mark Zuckerberg pada tanggal 28 Oktober 2003 bersama dengan teman kosnya, Eduardo Saverin, Dustin Moskovitz, dan Chris Hughes ketika mereka menjadi mahasiswa di Harvard University. Facemash sebenarnya merupakan situs jejaring sosial yang hanya diperuntukkan untuk mahasiswa Harvard, namun telah meluas sampai ke kampus-kampus lain di daerah Boston area, Ivy League, dan Stanford University. Kemudian, situs ini meluas keanggotaannya mulai dari siswa/i SMU sampai mahasiswa/i, dan semua orang yang berusia di atas 13 tahun. Wikipedia mencatat, anggota FB yang aktif sekarang adalah 350 juta. Facebook Inc. memiliki karyawan berjumlah lebih dari 900 orang dan meraup pendapatan di atas US$ 300 juta. FB diluncurkan pada tanggal 4 Februari 2004. FB tersedia dalam berbagai bahasa: Afrika, Albania, Arab, Azeri, Basque, Bengali, Bosnia, Bulgaria, Catalan, Mandarin (disederhanakan), Mandarin (Hong Kong), Mandarin (Taiwan), Kroasia, Cekoslowakia, Denmark, Belanda, Inggris (UK), Inggris (US), Inggris (Pirate), Inggris (kacau balau), Esperanto, Estonia, Faroese, Filipino, Finlandia, Prancis (Kanada), Prancis (France), Galicia, Georgia, Jerman, Yunani, Ibrani, Hindi, Hungarian, Islandia, Indonesia, Irlandia, Italia, Jepang, Korea, Latin, Latvia, Lithuania, Makedonia, Melayu, Malayalam, Maltese, Nepal, Norwegia (Bokmål), Norwegia (Nynorsk), Polandia, Portugis (Brazil), Portugis (Europe), Persia, Punjabi, Romania, Rusia, Serbia, Slovakia, Slovene, Spanyol, Spanyol (Castile), Swahili, Swedia, Tamil, Telugu, Thai, Turkish,Ukrainian, Vietnam, Wales.

FB ternyata bukan hanya bisa diakses di laptop atau komputer, namun juga bisa diakses di HP, BlackBerry (BB), dan i-Phone. HP merk tertentu bahkan sudah dilengkapi dengan fasilitas FB (selain Yahoo Messenger, e-Buddy, dll) di dalamnya. Di BB, ketika kita mengaktifkan internet, pada saat yang sama, satu-satunya situs jejaring sosial yang ada adalah FB ini dan FB ini kemudian kita bisa install, meskipun membuka FB di BB berbeda dengan membuka FB di laptop/komputer. Bagi saya pribadi, lebih enak membuka FB di laptop daripada membuka FB di BB, hehehe…


B. Hal-hal Seputar FB: Isi, Anggota, dan Motivasi Anggotanya
Setelah mengerti definisi, asal mula, dan perkembangan FB, maka kita akan menyoroti hal-hal yang ada di dalam FB.
1. Isi FB
Sesudah kita melihat definisi, asal mula, dan perkembangan FB, maka kita mungkin penasaran, apa isi FB sehingga FB begitu meluas dan terkenal? Di FB, kita bisa mendaftar menjadi anggota gratis. Ketika kita sudah menjadi anggota, kita bisa memanfaatkan semua fasilitas di FB. Tentunya kita mengisi profil dan gambar kita supaya orang lain mengetahui siapa kita. Di bagian profil, kita bisa mengisi jenis kelamin, informasi kelahiran (tanggal, bulan, dan tahun), status hubungan (jomblo, rumit, berpacaran, menikah, dll), mencari (teman, jaringan, teman kencan, pacar), no HP, telepon, e-mail, Yahoo Messenger, MSN, informasi kuliah, informasi tempat kerja, tentang saya (About Me), dll. Kemudian kita bisa mengupdate status kapan pun dan di mana pun kita berada. Status itu berisi apa yang ada di dalam pikiran kita atau apa yang kita lakukan atau kita bisa mengisi apa pun di dalam status. Selain status, kita bisa mengisi catatan di bagian Notes (Catatan). Selain Catatan, kita juga mengisi Acara (Event) yang terletak di sebelah kira Notes. Notes, Event, dll ada di bagian bawah FB. Kemudian, kita juga bisa menjelajahi aplikasi yang ada (baik legal maupun illegal) di FB, misalnya: kuis, dll. Aplikasi-aplikasi tersebut kebanyakan berisi hal-hal yang tidak serius atau hanya untuk bersenang-senang saja (guyonan). Jangan percaya akan setiap isi di dalam aplikasi tersebut, karena itu hanya untuk fun. Inilah sisi fun di FB dan hal itu ok-ok saja. Selain itu, kita juga bisa membuat sendiri aplikasi dan fan page tentang tokoh, organisasi, atau siapa pun yang kita inginkan (bisa guru, dosen, kampus, dll).

2. Anggota/Pengguna FB
Karena isinya menarik, FB adalah situs jejaring sosial yang dulunya digandrungi oleh banyak anak muda. Namun karena zaman terus berubah, maka, bukan hanya anak muda, anak-anak (bahkan SD) sampai orangtua pun menggandrunginya. Tidak jarang kita menjumpai banyak hamba Tuhan yang menjadi anggota di FB. Begitu juga anak SD yang berusia di bawah 12 tahun pun sudah mendaftar menjadi anggota di FB. Variasi para anggota/pengguna FB sangat beraneka ragam membuat FB makin terkenal.

3. Alasan dan Motivasi Anggota/Pengguna FB
Jika kita melihat begitu beragamnya para anggota FB, maka kita perlu mengklarifikasi apa alasan para anggota mendaftarkan diri mereka menjadi anggota di FB. Ada yang mendaftar karena didaftarkan temannya atau ikut-ikutan teman yang mendaftar di FB. Secara motivasi, ada yang mendaftar FB untuk menonjolkan diri (narsis). Sangat sedikit orang yang mendaftar FB untuk melayani Tuhan, misalnya: menginjili, memberitakan Firman, dll.


C. Kritik dan Pelarangan Terhadap Penggunaan FB dan Tinjauan Kritisnya
Suatu media tidak lepas dari pro dan kontra. Begitu juga halnya dengan FB. FB tidak lepas dari sejumlah kontra, yaitu kritik dan pelarangan terhadap penggunaan FB. Situs Wikipedia memberi tahu kita tentang berbagai kritik dan pelarangan terhadap penggunaan FB.6
1. Anak Di Bawah Umur 13 Tahun
Karena tidak ada larangan keras bagi anggota yang berusia di bawah 13 tahun, maka masyarakat kuatir bahwa FB berbahaya bagi anak-anak yang berusia di bawah 13 tahun. Sebenarnya alasan ini masuk akal, karena anak-anak yang berusia di bawah 13 tahun biasanya kurang mengerti kegunaan FB dan hal-hal di dalamnya. Bukan tidak mungkin anak-anak tersebut mengakses halaman FB yang berisi hal-hal tidak senonoh dan chatting dengan teman-teman yang tidak jelas asal usulnya. Namun kekuatiran tersebut sebenarnya bisa diatasi dan tidak perlu dibombastiskan. Bagaimana mengatasinya? Kalau Anda orang Kristen yang beres dan memiliki anak, tentu dari kecil, anak Anda sudah dididik dan diajar dengan iman Kristen yang beres, sehingga dari kecil, mereka sudah takut akan Allah. Ketika mereka dari kecil sudah takut akan Allah, mereka akan dengan sendirinya memilih dan memilah mana yang beres dan mana yang tidak. Namun tindakan pemilihin dan pemilahan ini harus dibarengi dengan peran serta orangtua terus-menerus agar mereka semakin tumbuh dewasa.

2. Tidak Berhubungan Dengan Kampus (dan Pekerjaan)
Pada Oktober 2005, University of New Mexico memblokir akses ke FB bagi semua komputer dan jaringan di kampus tersebut. Mengapa? Karena pihak kampus menyatakan bahwa FB tidak berkaitan dengan urusan kampus dan pekerjaan di staf kampus. Hmmm, mungkin hal ini ada benarnya, karena FB bisa mengganggu kinerja para staf kampus. Akhirnya pekerjaan bisa terbengkalai karena terlalu sering mengakses FB. Namun, di sisi lain, biasanya peraturan tersebut, khususnya pembuat peraturan itu, biasanya tidak konsisten dengan dirinya sendiri. Ini bukan sekadar teori, saya sudah menemukan realitasnya. Ada “asisten” manajer sebuah perusahaan penerbitan melarang (secara implisit) anak buahnya menggunakan Yahoo Messenger (YM) jika tidak berkaitan dengan pekerjaan. Dia akan mengomel dan menyindir anak buahnya yang chatting dengan menggunakan YM untuk hal-hal yang tidak berkaitan dengan pekerjaan. Tetapi tahukah Anda bahwa yang membuat peraturan implisit tersebut adalah orang yang sama yang TIDAK mengenakan peraturan tersebut berlaku bagi si pembuat peraturan! Artinya, orang itu melanggar peraturan yang dia buat sendiri. Saya tahu dari mana? Orang ini chatting dengan menggunakan YM dengan rekan anak buahnya dan membicarakan tentang panda. Tolong tanya, apakah panda ada kaitannya dengan pekerjaan di perusahaan penerbitan? Oleh karena itu, bersikaplah dewasa dalam membuat keputusan, jangan asal-asalan!

3. Larangan dari Pemerintah Negara
Alasan ketiga adalah karena FB dipakai oleh pihak-pihak yang bertanggungjawab untuk mengkritik pemerintah dan mendukung partai-partai illegal di suatu negara. Oleh karena itu, pemerintah negara-negara tertentu, misalnya: Iran, Tiongkok, Syria, dan Vietnam melarang penggunaan FB. Hal ini ada benarnya untuk mengurangi ketidakbertanggungjawaban pihak-pihak tertentu dalam menggunakan FB untuk hal-hal yang tidak beres. Namun, di sisi lain, patut diragukan motivasi pelarangan FB oleh pemerintah negara. Apakah suatu pemerintah negara tertentu merasa terganggu dengan kekuasaannya, maka ia melarang penggunaan FB, bahkan memenjarakan mereka yang mengakses FB? Misalnya, suatu pemerintahan negara tertentu tidak beres, korupsi di mana-mana, diktator, dll, kemudian melalui FB, ada warga yang menyindir kebusukan pemerintahan. Dengan diblokirnya penggunaan FB oleh pemerintah tersebut gara-gara ulah warga tadi, bukankah itu makin menandakan kejelekan pemerintah tersebut? Bukankah ini tindakan konyol yang dilakukan tanpa pertimbangan yang matang dan bijaksana? Jika pemerintah tidak melakukan kesalahan, mengapa harus takut dikritik oleh warganya?

4. Penyalahgunaan Privasi
Alasan keempat adalah profil FB sering disalahgunakan oleh pihak-pihak tak bertanggungjawab untuk hal-hal yang tidak beres. Wikipedia menceritakan bahwa dua mahasiswa Massachusetts Institute of Technology (MIT) dapat mendownload 70.000 profil FB dari empat kampus (MIT, New York University, the University of Oklahoma, dan Harvard University) dengan menggunakan sebuah program. Hal ini patut diperhatikan bagi para anggota FB agar kita tidak terlalu membuka semua profil kita, khususnya berkaitan dengan alamat.

5. Merusak Remaja
Uskup agung Katolik Roma Westminster yang bernama Vincent Nichols mengatakan bahwa FB dan situs jejaring sosial lainnya dapat mengarahkan para remaja melakukan tindakan bunuh diri. Selain itu, dia juga mengatakan bahwa situs jejaring sosial dapat merusak hubungan intim dan membiarkan para remaja tanpa ikatan sosial. Apa yang dikatakan uskup ini ada benarnya, karena para remaja biasanya masih labil dan mudah meniru. Namun, sayangnya perkataan uskup ini kurang didukung bukti konkrit akan apa yang dikuatirkannya. Kalau pun ada kasus seperti yang dikatakannya, itu pun kasus khusus dan solusi agar tidak terjadi kasus tersebut bukan melarang penggunaan FB, tetapi mengarahkan para remaja dengan iman dan etika yang beres, sehingga mereka tidak terpengaruh hal-hal negatif dari penggunaan FB.

Saya terus terang takut dan kuatir, Kekristenan bukan tumbuh dewasa, namun menjadi kekanak-kanakan. Satu (atau beberapa) kasus mengakibatkan orang Kristen menjadi paranoid, lalu bertindak ekstrem. Misalnya, karena ada berita kejahatan, orangtua Kristen yang anaknya tidak mau ikut-ikutan, maka anak-anaknya dilarang membaca surat kabar, menggunakan FB, dll. Namun secara tidak sadar, beberapa dari orangtua tersebut ternyata membaca surat kabar, menggunakan FB, dll. Jika ditanya, mengapa orangtua bertindak demikian, sedangkan anak-anaknya tidak boleh? Jawaban yang sering didengar adalah karena orangtua sudah banyak makan asam garam, jadi tahu mana yang beres dan tidak. Jawaban klise tersebut sebenarnya bukan jawaban, namun hanya rasionalisasi atas tindakannya sendiri yang tidak bijaksana. Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam salah satu khotbahnya pernah menceritakan kasus di mana orangtua yang terlalu mengimun anaknya. Pada suatu kali, dulu waktu Pdt. Stephen Tong masih muda, beliau bertemu dengan pendeta yang sudah berumur/tua, kemudian si pendeta tua ini mengajar Pdt. Stephen Tong bahwa karena surat kabar di Hong Kong isinya selalu hal-hal buruk, seperti: pembunuhan, pemerkosaan, dll, maka setelah membaca surat kabar tersebut, si pendeta tua menggunting-gunting berita yang berisi hal-hal negatif di surat kabar tersebut, kemudian menyerahkan surat kabar tersebut kepada anak-anaknya untuk dibaca. Kemudian, Pdt. Stephen Tong berpikir dan berkata kepada si pendeta tua, jika si pendeta tua melakukan hal tersebut, maka anak-anaknya malah semakin penasaran dengan isi dari surat kabar yang sudah digunting-gunting tersebut dan bukan sesuatu yang mustahil jika anak ini bisa meminjam surat kabar tetangganya khusus untuk melihat berita apa yang digunting-gunting oleh ayahnya itu. Bukankah ini lebih gawat? Kemudian, Pdt. Stephen Tong bersenda gurau di dalam khotbahnya menyebut koran yang bolong-bolong (setelah digunting oleh pendeta tua) itu sebagai holy newspaper, bukan surat kabar/koran yang kudus, tetapi koran yang banyak lubangnya, maka disebut holy (àhole: lubang), hehehe…




IV. PENGGUNAAN FACEBOOK: BERTANGGUNGJAWAB VS TIDAK BERTANGGUNGJAWAB DAN TINJAUAN KRITISNYA
Terakhir, setelah mengerti seluk-beluk FB, maka sekarang kita akan menyoroti penggunaan FB. FB sendiri boleh dibilang netral, karena FB hanya sarana menjalin hubungan baik pertemanan, jaringan, dll. Namun yang menjadi permasalahannya adalah masalah penggunaannya. Banyak yang menggunakan FB secara tidak bertanggungjawab dan ada juga yang menggunakannya secara bertanggungjawab. Dengan membedakan dua hal ini, sekali lagi, saya TIDAK bermaksud terlalu serius menyoroti FB, lalu kita tidak boleh fun di dalam FB. Kita boleh fun di FB, namun tetap harus ada batas fun tersebut.
A. Penggunaan FB yang Tidak Bertanggungjawab
Apa saja yang termasuk penggunaan FB yang tidak bertanggungjawab?
1. Membuat Halaman-halaman Khusus yang Berisi Hal-hal Porno
Tindakan penggunaan FB yang tidak bertanggungjawab biasanya dilakukan oleh banyak orang Amerika Serikat sendiri yang hidup tidak karuan. Salah satunya adalah membuat halaman khusus yang berisi hal-hal dan gambar-gambar porno. Mungkin, di Indonesia, hal ini kurang atau mungkin tidak ada yang melakukannya. Namun, kita harus mewaspadai hal-hal ini.

2. Iseng dan Mencari Sensasi
Tindakan penggunaan FB yang tidak bertanggungjawab kedua adalah keisengan dan mencari sensasi. Zaman di mana kita hidup adalah zaman postmodern dengan ide postmodernisme dan postmodernitas yang mulai meracuni para generasi muda, tidak terkecuali yang “Kristen.” Selain postmodernisme, ingatlah, manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang diciptakan dengan segala kreativitasnya, namun telah berdosa dan rusak total. Jika kedua konsep ini digabungkan, maka timbullah suatu sikap: iseng dan mencari sensasi. Lho, apa tidak boleh iseng? Iseng sebenarnya tidak apa-apa, asalkan ada batasnya. Iseng dan mencari sensasi muncul karena kreativitas manusia yang diberi oleh Allah disalahgunakan dengan tidak bertanggungjawab.

Orang zaman sekarang gemar mencari dan menimbulkan sensasi untuk mencari keuntungan. Jangankan orang dunia, beberapa aliran Kristen juga gemar kok dengan tindakan mencari dan menimbulkan sensasi. Coba perhatikan dunia Kristen sejak zaman dahulu sampai sekarang. Dulu banyak orang Kristen tergila-gila dengan sensasi Toronto Blessing (TB), lalu setelah TB selesai, maka pindah lagi ke sensasi gereja di Singapore di mana istri sang pendeta berpakaian tidak senonoh. Sekarang, sensasinya berpindah lagi ke Surabaya dengan pendeta yang masih muda, tampangnya seperti bintang film, dan terkenal melalui bukunya. Di dalam kebaktian besar yang dipimpinnya, si pendeta menyuruh jemaatnya untuk bergandengan tangan untuk menerima kuasa dari si pendeta (mirip tindakan tenaga dalam dalam Gerakan Zaman Baru). Baru-baru ini, meledak lagi 2 sensasi yang lebih heboh. Pertama, seorang muda yang mengklaim diri sebagai “nabi”, menulis buku, dan mendirikan persekutuan di Surabaya, namun semuanya hanya kedok, karena seseorang menceritakan bahwa setelah memimpin persekutuan yang didominasi oleh banyak mahasiswi, “nabi” ini melakukan free-sex. Seorang pendeta dari sebuah gereja Karismatik Injili melalui e-mail yang saya baca geleng-geleng kepala dan menegur keras “nabi” ini dan hamba Tuhan yang ikut mendukung “nabi” ini. Sensasi kedua datang dari kota besar di Jawa Tengah. Saya mendengar cerita ini dari seorang rekan pendeta. Rekan saya ini bercerita bahwa ada seorang “pendeta” yang sudah beristri kemudian ingin memiliki istri kedua yang tidak lain adalah anak buah di dalam pelayanannya. Tahukah Anda apa alasan yang dia pakai untuk menikah kedua kalinya? Anda pasti tertawa mendengarnya. Si “pendeta” ini mengatakan bahwa ia “menikah dalam roh” dengan anak buah pelayanannya itu. Huahahahaha… Lucu dan konyol kan?

Kalau dunia Kekristenan suka mencari dan menimbulkan sensasi, maka jangan heran, dunia FB pun tidak lepas dari sensasi. Biasanya, orang yang gemar mencari dan menimbulkan sensasi dengan cara berbohong melalui profilnya di FB. Alasannya sich katanya fun, tetapi fun yang ngawur. Misalnya, mengenai relationship status (status hubungan), seorang bisa mengganti-ganti sesukanya sendiri: dari single, kemudian it’s complicated, kemudian single, kemudian engaged, kemudian married, kemudian single, kemudian married, dll. Lalu, kalau orang ini ditanya, mengapa statusnya diganti-ganti? Jawabannya sungguh pragmatis: ISENG. Kalau dia mau konsisten dengan keisengannya, mengapa jenis kelaminnya tidak diganti sekalian? Mengapa Agama tidak diganti sekalian dari Kristen menjadi atheis? Ini membuktikan keisengannya bukan keisengan tanpa berpikir bukan? Bukan hanya mengganti status hubungan, tetapi juga berdusta. Saya menemukan fakta di FB bahwa adik teman saya yang masih remaja (di bawah 17 tahun) sudah memasang status hubungannya: MARRIED (menikah), kemudian disusul dengan nama seorang yang berjenis kelamin sama dengan dia. Lucu sih gejala ini, namun konyol. Apa hanya karena alasan iseng, hal-hal itu dipermainkan? Kalau saya pribadi sudah mengetahui adik teman saya itu, maka saya mengetahuinya, namun bagaimana dengan orang lain yang tidak mengetahuinya?

Bukan hanya relationship status, hal-hal lain seperti Siblings pun suka ditulis sesuka hatinya. Menurut arti kata, sibling berarti saudara kandung. Namun dasar orang postmodern yang iseng, nama-nama di FB yang berkaitan dengan sibling diisi dengan nama teman-temannya. Aneh bukan? Iseng mengakibatkan segala sesuatu mungkin tampak lucu, namun lama-kelamaan jika diperhatikan konyol.

Rupa-rupanya HTS (Hubungan Tanpa Status)7 atau istilahnya TTM (Teman Tapi Mesra) atau teman “dekat” atau istilah gaulnya: gebetan yang lagi marak di kalangan generasi muda zaman postmodern sekarang ternyata tidak luput diaplikasikan di FB. Bagaimana saya mengetahuinya? Meskipun ini bukan generalisasi dan tidak mutlak, saya bisa membaca gejala ini dengan mencocokkan antara Relationship Status dengan Looking For di dalam profil seseorang. Biasanya kalau seseorang sedang menjalin HTS atau memiliki TTM, ada orang yang menulis status hubungannya: it’s complicated (rumit). Namun ada juga remaja yang memasang status it’s complicated, namun tidak mengerti artinya (atau pura-pura tidak mengerti artinya?). Saya menghargai orang jujur yang mengerti hubungannya. Namun ada juga orang lain yang sudah memiliki TTM, tetapi tetap menulis status hubungannya: single (jomblo), namun dia hanya mencari persahabatan (di dalam Looking For, dia menulis: Persahabatan/Friendship). Meskipun orang yang menulis seperti ini TIDAK harus berarti dia sudah memiliki TTM, tetapi kebanyakan seperti itu. Lalu, kalau orang ini ditanya, dia akan berkata bahwa itu hanya teman dekat. Teman dekat namun berbeda jenis kelamin dan mau diajak pergi berdua. Apakah itu hanya sebatas teman?? Kalau teman, mengapa mau diajak pergi hanya berdua?? Ada juga yang sudah bertunangan, namun tidak mau menulis status: Engaged, entah apa motivasinya. Kalau kita melihat gejala generasi muda di FB, kita akan geleng-geleng kepala. Jangankan generasi muda dunia, banyak generasi muda Kristen pun terlalu fun di FB, sampai hampir tidak bisa dibedakan mana yang Kristen dan mana yang bukan.


B. Penggunaan FB yang Bertanggungjawab
Lalu, bagaimana menggunakan FB secara bertanggungjawab? Apakah di FB tidak boleh fun dan selalu serius? Sekali lagi TIDAK. Bagaimana kita menggunakan FB secara bertanggungjawab prinsipnya sama dengan perspektif Kristen mengenai media. Kita menggunakan semua hal untuk kemuliaan Allah, maka kita menggunakan FB untuk memuliakan Allah. Kita memiliki prinsip-prinsip yang tegas di dalam menyoroti media, namun TIDAK berarti kita kaku dan kolot di dalam aplikasinya. Begitu juga halnya dengan FB. Kita memiliki prinsip dan motivasi yang jelas dan tegas mengapa kita bergabung menjadi anggota di dalam FB, yaitu untuk memuliakan Allah dan membawa berita firman. Namun tidak berarti kita menjadi orang yang sok religius ketika memanfaatkan FB. Kita harus bisa memiliki sikap seimbang antara hal-hal rohani dan hal-hal fun. Saya pribadi sebagai anggota FB berusaha menyeimbangkan dua hal ini, meskipun saya lebih menekankan hal-hal rohani di FB. Namun, saya tetap mencoba aplikasi-aplikasi fun di FB untuk refreshing.




V. KESIMPULAN DAN TANTANGAN
Sebagai penutup dan kesimpulan, bagaimana sikap kita? Apakah kita meniru apa yang dunia ajar dan lakukan melalui penggunaan FB secara tidak bertanggungjawab? Ataukah kita melakukan ekstrem lainnya yaitu tidak mau memanfaatkan FB sama sekali? Ataukah kita berusaha seimbang dan paradoks yaitu mempergunakan FB secara bertanggungjawab: fun namun tetap memiliki prinsip? Biarlah kita sebagai anak-anak Tuhan menjadi garam dan terang dunia di dalam setiap aspek kehidupan, termasuk memanfaatkan FB secara seimbang demi hormat dan kemuliaan nama-Nya. Biarlah ini bukan teori saja, tetapi kita aplikasikan di dalam cara kita memanfaatkan FB. Amin. Soli Deo Gloria.




Catatan kaki:
1 C. J. Mahaney, ed., Worldliness: Resisting the Seduction of a Fallen World (U.S.A.: Crossway, 2008), hlm. 46-51.
2 Ibid., hlm. 46.
3 Ibid., hlm. 47.
4 Ibid.
5 http://en.wikipedia.org/wiki/Facebook
6 http://en.wikipedia.org/wiki/Facebook
7 Saya mendapatkan istilah ini setelah membaca sebuah artikel yang ditulis oleh Lidya yang berjudul “Hubungan Tanpa Status, Trend Anak Muda Masa Kini” di Tabloid Reformata (
http://www.reformata.com/index.php?m=news&a=view&id=3274). Lidya sebagai penulis artikel tersebut mengungkapkan inti HTS adalah, “kedekatan dan keintiman tanpa sebuah pengakuan dan komitmen.”