16 August 2007

BISNIS NARKOBA DAN TEORI KIYOSAKI (Augustinus Simanjuntak, S.H., M.H.)

Bisnis Narkoba dan Teori Kiyosaki
oleh : Augustinus Simanjuntak, S.H., M.H.
(dosen Hukum Bisnis di Fakultas Ekonomi, Universitas Kristen Petra, Surabaya ; kandidat doktor ilmu hukum di Universitas Airlangga—UNAIR, Surabaya ; anggota jemaat Gereja Reformed Injili Indonesia—GRII Andhika, Surabaya {digembalakan oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.})


Bisnis narkoba benar-benar bertumbuh pesat di kota Metropolis. Satu per satu pabrik narkoba besar berhasil diungkap oleh kepolisian. Mulai dari kasus Hangky Gunawan di Perumahan Graha Famili (Juni 2006) yang mampu memproduksi 88 ribu butir ekstasi (Nopember 2005 hingga Januari 2006), kasus Handoko di Jalan Nginden Intan Timur dan Manyar Tirtoyoso (Juni 2006) dengan barang bukti 6 kg sabu-sabu, dan kasus Setiawan Budi di Taman Internasional I Perumahan Citra Raya (April 2007) yang mampu memproduksi 60 kg sabu-sabu. Kasus terheboh dan tergolong terbesar yang berhasil diungkap oleh kepolisian di Surabaya ialah kasus pabrik ekstasi Graha Famili jilid II (28 Juli) yang bisa memproduksi 27 ribu butir ekstasi per minggu. Tiga peracik ekstasi berhasil ditangkap dan dijadikan tersangka, yaitu Andi Setiawan, Andreas Hartanto, dan Agus Wigijono. Belum selesai keprihatinan warga Metropolis atas terbongkarnya pabrik-pabrik ekstasi tersebut, kepolisian kembali mengungkap dua pabrik ekstasi sekaligus, yaitu di perumahan Istana Candi Mas Sidoarjo dan di Kisi Gempol Pasuruan. Lima orang tersangka berhasil ditangkap (Gogong Kusnul Yakin, Yoyok Setio Utomo, Gunawan Triatmoko, Tri Rekso Dindarto, Sumardi Hardjito). Barang bukti yang berhasil disita berupa puluhan jenis bahan kimia untuk memproduksi sabu-sabu yang siap diolah (Jawa Pos, 2/8). Kita tentu sangat heran, mengapa bisnis narkoba bertubuh begitu pesat di Surabaya dan sekitarnya? Jawabannya bisa saja beragam. Dari segi hukum, misalnya, maraknya kejahatan narkoba tidak bisa dilepaskan dari ringannya vonis yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya terhadap para pelakunya. Dengan kata lain, penegakan hukum belum bisa memberikan efek jera terhadap para pelaku sekaligus belum bisa membuat rasa takut bagi warga yang berpotensi melakukannya. Menyitir pandangan kriminolog Noach bahwa kejahatan (narkoba) tidak mungkin bisa dihilangkan dari masyarakat. Tindakan yang mungkin bisa dilakukan oleh negara dan masyarakat adalah mengurangi atau membatasinya. Pemikiran Noach tersebut sejalan dengan pandangan kriminolog Frank Tannembaum yang mengatakan: Crime is eternal - as eternal as society (kejahatan adalah abadi, seabadi masyarakat). Kalau begitu, secara ontologis, apa sebenarnya akar pertumbuhan kejahatan narkoba di Metropolis?
Akibat Kurang Uang ?
Robert T. Kiyosaki dalam bukunya berjudul Rich Dad, Poor Dad membuka tulisannya dengan dua pilihan asumsi dasar yang menjadi landasan pemikirannya, terutama dalam menyikapi akar kejahatan. Ia menulis: Aku punya dua ayah. Ayah yang pertama mengatakan "cinta uang adalah akar kejahatan". Sedangkan ayah yang kedua mengatakan "kurang uang adalah akar kejahatan". Selanjutnya, Kiyosaki mengatakan: Aku tidak mungkin mengikuti keduanya sekaligus. Bila aku mengikuti ayah yang satu maka aku melawan ayah yang lainnya. Jadi, aku harus memilih, dan aku memilih ayah yang kedua (kurang uang adalah akar kejahatan). Implikasinya, kejahatan narkoba di Metropolis muncul dan berkembang akibat faktor ekonomi atau kurangnya uang dari para pelakunya. Oleh karena itu, pemberantasan kejahatan narkoba bisa dilakukan dengan perbaikan ekonomi masyarakat.
Menciptakan orang-orang kaya baru merupakan solusi efektif dalam mengatasi kejahatan narkoba. Benarkah demikian? Titik kelemahan pemikiran Kyosaki terletak pada pemaknaan yang tidak jelas antara "cinta uang" dengan "kurang uang". Kalau dipahami dari segi makna cinta, maka cinta uang adalah suatu keinginan atau hasrat yang mendalam untuk memiliki uang, bahkan rela mengorbankan apa saja untuk meraihnya. Sayangnya, objek cinta yang seharusnya ditujukan kepada sesama manusia justru ditujukan kepada benda mati (uang). Objek cinta yang salah merupakan suatu penyimpangan dan bisa menjadi akar perilaku menyimpang. Seperti halnya seseorang yang rela berbuat apa pun demi cinta, demikianlah orang yang cinta uang. Ia rela mempertaruhkan integritas atau harga dirinya demi uang. Ia tidak lagi berpikir bahwa memproduksi dan menjual narkoba bias merusak masyarakat dan bisa membuatnya masuk penjara. Apalagi omset bisnis narkoba bisa mencapai jutaan hingga milyaran rupiah. Dengan demikian, sungguh ironis jika seseorang berani berbuat apa saja, termasuk berbisnis narkoba, hanya karena tergila-gila terhadap uang. Nilai hidupnya seolah sudah melekat pada uang, sehingga bagi dia kemiskinan materi merupakan suatu kehinaan. Disadari atau tidak, produsen narkoba seolah sudah menjadi hamba uang untuk melakukan tindak kriminal. Dalam positioning yang demikian itulah terbukti bahwa cinta uang merupakan akar kejahatan. Pola pikirnya ialah, bagaimana meraih uang banyak dengan cepat tanpa memikirkan bagaimana caranya (cara benar atau tidak). Para penjahat narkoba seolah tidak peduli meskipun ulahnya telah merusak masa depan banyak generasi muda. Dari sisi konsumen, seorang kecanduan narkoba bisa saja karena iseng, diajak teman, atau karena tekanan hidup di perkotaan. Ketika mereka membutuhkan narkoba, di saat itulah mereka menghamburkan uang untuk membelinya. Para pecandu narkoba tidak memandang usia, strata sosial, dan tingkat ekonomi. Tidak sedikit orang berduit justru terlibat dalam penggunaan narkoba. Dengan kata lain, mereka sebenarnya tidak bisa dikategorikan sebagai orang yang kurang uang. Di kota ini banyak orang yang kurang uang tetapi tidak berarti mereka menjadi otomatis sebagai penjahat. Kalau kejahatan timbul karena kurang uang maka sebanyak 37,17 juta penduduk miskin Indonesia (data BPS 2007) akan berubah menjadi penjahat. Namun kenyataannya tidak demikian. Justru, sebaliknya, orang yang tak cukup banyak materi bisa lebih banyak belajar tentang makna hidup ketimbang orang yang kaya materi tanpa melalui usaha keras, apalagi jika kekayaannya itu berasal dari kejahatan narkoba. Manusia tidak seharusnya mau diperbudak oleh uang, akan tetapi uang harus ditempatkan sebagai alat manusia untuk membantu memaknai hidup yang sesungguhnya di dalam kebenaran, keadilan, dan keindahan. Namun demikian, uang juga tidak seharusnya dijadikan sebagai alat untuk menindas orang lain demi tujuan retire young atau pensiun muda (meminjam istilah Kiyosaki).
Alternatif Solusi
Kejahatan narkoba tidak bisa diatasi dengan kecukupan uang yang sifatnya sangat relatif. Justru pola pikir cinta uanglah penyebab banyaknya manusia melakukan kejahatan narkoba, termasuk pula perilaku korupsi di pemerintahan, perampokan, pembunuhan, dan sebagainya. Uang tanpa cinta tidak akan pernah memuaskan rasa 'cinta uang', akan tetapi mencintai dan dicintai sesama manusia bisa membuat orang puas tanpa harus membelinya dengan uang. Oleh karena itu, upaya yang perlu dilakukan adalah mengubah pola pikir warga masyarakat tentang hidup. Perlu ditanamkan sejak dini bahwa hidup berhasil itu perlu proses pembelajaran, kerja keras, dan pengorbanan secara benar. Penanaman pola pikir yang benar akan berperan dalam meluruskan potensi penyalahgunaan narkoba di masyarakat. Selain itu, tekanan psikis di perkotaan acapkali menjadi pemicu banyaknya warga Metropolis yang terjerumus ke dalam penggunaan narkoba. Semakin banyak warga yang stres maka pasar konsumen narkoba di kota ini semakin luas pula. Kondisi inilah yang mendorong lahirnya produsen-produsen narkoba baru di tengah masih lemahnya upaya penegakan hukum. Untuk itu, pemerintah dan pihak swasta perlu menciptakan suasana yang bisa mengurangi tingkat stres warga kota. (augussm@peter.petra.ac.id)

Matius 4:3 : THE DEVIL'S DEEDS

Ringkasan Khotbah : 27 Juni 2004
The Devil's Deeds
oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 4:3


Seseorang dapat menjadi Juruselamat dunia kalau ia telah memenuhi seluruh tuntutan hukum Taurat dan ia haruslah orang yang tidak berdosa. Satu-satunya manusia di dunia yang dapat memenuhi syarat tersebut sehingga ia layak menjadi seorang Juruselamat hanyalah Yesus. Bukanlah hal yang mudah untuk menjadi seorang Juruselamat dunia, banyak proses yang harus dilewati dimana proses tersebut menuntut manusia untuk taat mutlak pada pimpinan Tuhan. Yesus, Allah Anak, pribadi kedua dari Allah Tritunggal harus dibaptiskan oleh seorang Yohanes Pembaptis dan tidak cukup sampai di situ setelah dibaptis Dia harus melewati “padang gurun“ - Yesus dicobai oleh Iblis. Cara Roh Kudus memimpin berbeda dengan konsep manusia. Orang berpendapat kalau Roh Kudus memimpin maka orang menjadi berkuasa sehingga memudahkan manusia untuk menggenapkan misi Kerajaan Allah. Namun Roh Kudus justru memimpin Kristus masuk ke padang gurun untuk dicobai Iblis.

Logika manusia sulit untuk memahami kenapa Tuhan memimpin orang masuk dalam berbagai tantangan setelah dibaptis? Ironisnya, manusia merasa diri lebih pandai dan lebih berbijaksana dari Tuhan sehingga orang seringkali menyalahkan cara Tuhan yang dirasakan tidak sesuai dengan dirinya. Hanya Roh Kudus saja yang dapat menyadarkan dan mengubah paradigma dengan demikian kita dapat membedakan cara Tuhan dan cara Iblis bekerja. Ketika kita sedang memilah dua aspek ini maka kita dapat mengkoreksi diri berada di posisi sebelah manakah kita? Apakah cara bertingkah laku, cara berpikir kita sama serupa Tuhan ataukah serupa hantu? Oleh karena itu kita harus memahami perilaku dan cara Iblis sehingga menjadikan manusia lebih waspada, yaitu:
1. Tindakan yang Cerdik dan Licik
Kata “lalu“ yang tertulis dalam Mat. 4:3 merupakan kata sambung yang menjadi penyambung dari kejadian sebelumnya. Iblis datang untuk mencobai Yesus pada saat yang tepat, yakni pada saat Tuhan Yesus lapar setelah berpuasa empat puluh hari empat puluh malam. Iblis datang di saat manusia berada dalam keadaan yang paling lemah dan berputus asa. Sebagai anak Tuhan, kita pun diajar untuk cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati (Mat. 10:16) dengan demikian setiap tindakan dan keputusan yang kita ambil mempunyai motivasi yang murni. Kecerdikan dan ketulusan ini tidak boleh dipisahkan karena hanya cerdik saja akan menjadikan kita seorang yang licik sebaliknya kalau hanya tulus saja maka tak ayal kita akan menjadi bulan-bulanan orang lain. Hati-hati dengan akal licik si Iblis yang datang ketika manusia sedang lemah dan sangat membutuhkan pertolongan.

Iblis datang seolah-olah memberikan pada kita solusi. Ingat, solusi yang diberikan Iblis hanyalah bersifat sementara malahan akan mencelakakan diri sendiri. Manusia menganggap bahwa dipimpin Roh Kudus berarti kita tidak akan pernah mengalami kesulitan dan semua pelayanan yang berhubungan dengan misi Kerajaan Allah akan berjalan lancar. Alkitab menegaskan iman kita justru diuji di saat kita berada dalam kesulitan. Dalam hal ini iman Ayub telah teruji ketika ia tetap taat meski untuk mempertahankan imannya ia harus menderita. Pada saat kita berada dalam penderitaan, sakit penyakit apakah kita masih bisa memuji Tuhan dan tetap teguh beriman? Hati-hati, ketika kita berada dalam kondisi yang sangat kritis, panik dan tanpa pengharapan maka Iblis akan datang dengan menawarkan berbagai solusi. Dalam hal ini Iblis mengambil kesempatan dalam kesempitan. Iblis tidak mengembalikan manusia pada hakekat dan tujuan awal Tuhan mencipta tetapi Iblis justru semakin menjauhkan kita dari Tuhan. Iblis mengajar manusia supaya lari dari kesulitan dengan cara yang diajarkan olehnya dan biasanya cara Iblis ini sangat cocok dengan konsep manusia berdosa. Maka tidaklah heran kalau di dunia banyak manusia yang jatuh ke dalam dosa karena godaan si Iblis.

Sebelum menjalankan misi-Nya di dunia Kristus harus melewati “padang gurun“ untuk menyatakan komitmen dan kualitas pelayanan, to proclaim His comitment. Dengan demikian barulah kita memahami cara Roh Kudus memimpin setiap anak Tuhan. Di sepanjang sejarah Alkitab, setiap orang yang dipakai Tuhan seperti Abraham, Musa, Daud dan masih banyak lagi pun harus melewati “padang gurun“ terlebih dahulu. Tujuan Roh Kudus membiarkan kita masuk berjalan dalam padang gurun adalah untuk memperkokoh kekuatan iman kita sehingga kita siap dipakai Tuhan untuk mengerjakan pekerjaan-Nya yang besar. Seperti halnya ulat untuk berubah menjadi kupu-kupu dibutuhkan perjuangan yang keras; ia harus memecahkan kepompong yang menyelimuti dirinya terlebih dahulu. Berbeda halnya kalau kita berusaha menolong si ulat keluar dari kepompongnya maka pertolongan itu justru menyebabkan kematian bagi si ulat.

Kalau kita hanya mau segala sesuatunya beres berarti kita telah melewatkan proses yang Tuhan mau kerjakan dalam hidup kita. Hal itu tidak akan membuat kita menjadi seorang yang beriman tetapi akan menjadikan kita lumpuh dan tidak bisa berbuat apa-apa. Tuhan memimpin masuk ke padang gurun adalah demi untuk kebaikan kita, yaitu untuk memperkokoh iman namun logika manusia sulit untuk mengerti pimpinan Tuhan. Manusia seringkali beranggapan bahwa pimpinan Tuhan pastilah indah, lancar dan senang jalannya. Keputusan ada pada kita sekarang mau ikut cara Tuhan ataukah cara iblis?

2. Kebaikan Palsu
Di tengah dunia modern muncul gerakan humanisme dimana manusia ingin menjadi penolong bagi sesamanya bahkan gerakan ini telah menjadi trend. Orang yang demikian sebenarnya dibagi menjadi dua kategori, yakni: 1) orang kaya yang kelebihan uang dan tidak tahu bagaimana cara menghabiskan uangnya, 2) orang yang “gila“ hormat. Dua macam kategori ini jika bersatu mengerjakan segala sesuatu pasti mempunyai beberapa motivasi, yaitu: pertama, berharap mendapatkan imbalan berkat yang lebih besar dengan memberi berkat sedikit. Dalam hal ini berlaku prinsip ekonomi, yaitu dengan modal sekecil-kecilnya mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Akibatnya, jika ia tidak mendapatkan keuntungan seperti yang diharapkan maka orang menjadi marah dan menyalahkan Tuhan karena Dia sebagai sang pemberi berkat tidak melimpahkan berkat. Jadi, perbuatan baik yang mereka lakukan sebenarnya bukanlah perbuatan baik karena mereka hanya ingin mendapatkan keuntungan saja. Kedua, dari perbuatan baik tersebut orang ingin dihormati. Maka tidaklah heran kalau orang ingin melakukan perbuatan baik maka ia akan mencari tempat dimana di sana ia disanjung dan dipuji bak dewa penolong. Ketiga, orang melakukan perbuatan baik untuk menutupi dosa/kesalahan yang telah diperbuatnya sehingga orang tidak melihat hal yang buruk tapi hanya melihat yang baiknya saja. Keempat, perbuatan baik menjadi ajang bisnis, yakni berbuat baik sama dengan iklan.

Alkitab mengajarkan jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu (Mat. 6:3). Hal itu berarti berbuat baik haruslah dilakukan dengan motivasi murni. Manusia tidak berhak mengambil keuntungan dari perbuatan baik yang kita lakukan tersebut, seperti hormat dan pujian atau imbalan, If you do goodness then you do it with pure motivation with clear heart. Setelah kita memahami berbagai motivasi orang melakukan kebaikan maka hendaklah kita waspada dengan akal licik si Iblis. Hati-hati, dengan tipu muslihat si Iblis yang menginginkan relasi antar manusia, relasi suami istri rusak karena uang. Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang (1Tim. 10:10a) oleh sebab itu jangan jadikan uang sebagai yang terutama dalam hidupmu, uang akan mencelakakan diri kita sendiri.

3. Pembalikan Posisi
Kedatangan Iblis sepertinya mau menolong Tuhan Yesus dengan memberikan solusi untuk mengubah batu menjadi roti. Sebenarnya kalau Iblis mau menolong, ia pun dapat mengubahkan batu menjadi roti tapi dalam hal ini ia tidak melakukannya karena ia memang bukan seorang penolong sejati. Cara Iblis sangatlah licik, ia seolah-olah memberikan pernyataan dengan mengatakan,“Jika Engkau Anak Allah...“ padahal itu bukan pernyataan melainkan suatu pertanyaan yang mengandung unsur tantangan dan menuntut pembuktian karena jika memang benar Yesus adalah Anak Allah maka seharusnya Ia bisa mengubah batu menjadi roti. Puji Tuhan, Yesus tidak jatuh dalam godaan iblis, Yesus tahu akal licik iblis yang hendak memutar posisi; Iblis yang harus tunduk pada Yesus bukan sebaliknya karena Yesus adalah Anak Allah. Hati-hati dengan akal licik si Iblis yang selalu berusaha menjatuhkan manusia dengan kata-kata sanjungan dan pujian. Sebagai Anak Tuhan, saat kita memuji hendaklah setiap pujian yang keluar dari mulut kita keluar dari hati dan motivasi yang murni. Hendaklah kita senantiasa mengevaluasi diri kita apakah setiap tindakan yang kita lakukan berkenan di hati Tuhan? Jangan biarkan ambisi pribadi menjadi penyebab dari kehancuran tubuh Kristus. Oleh karena itu hendaklah:

Pertama, menguji terlebih dahulu setiap ide/gagasan apakah ide/gagasan tersebut adalah benar demi untuk kemajuan pekerjaan Tuhan dan merupakan kehendak Tuhan atau sekedar ambisi pribadi? Reformed menjalankan prinsip: orang yang mempunyai ide/gagasan itulah yang terlebih dahulu harus menjalankan gagasannya tersebut. Ingat, jika bukan kehendak Tuhan maka sebaik apapun ide/gagasan kita pasti akan hancur. Biarlah tiap-tiap orang menggumulkannya secara pribadi, apakah Tuhan berkenan/tidak atas semua hal yang kita lakukan?

Kedua, kalau memang sudah menjadi kehendak Tuhan maka tugas kita adalah taat mutlak pada pimpinan Tuhan. Meski kehendak Tuhan tersebut tidaklah sesuai dengan kehendak manusia bahkan bertentangan namun kita harus taat mutlak pada pimpinanNya karena pimpinan-Nya pastilah yang terbaik. Percayalah, Dia tidak akan pernah meninggalkan anak-Nya sendiri dalam menghadapi segala tantangan dan kesulitan karena Tuhan pasti akan menolong dan memberikan kekuatan; kita akan merasakan sukacita sejati ketika berjalan dalam pimpinan Tuhan. Cara Tuhan memimpin berbeda dengan cara iblis. Tuhan memberikan beban pada setiap anak-Nya dan kepada setiap orang yang diberikan beban itulah yang harus mengerjakannya terlebih dahulu. Namun cara iblis berbeda, ia selalu memperbudak dan memanfaatkan orang lain demi untuk mencapai keinginannya.

4. Orientasi pada Kebutuhan Perut
Iblis hanya peduli dengan hal-hal yang bersifat fisik belaka bukan hal yang bersifat esensi. Iblis tidak pernah peduli dengan spiritualitas atau hal-hal yang bersifat rohani. Tidak! Maka tidaklah heran kalau hal pertama yang diperhatikan Iblis adalah kelaparan yang dialami Yesus. Berbeda dengan cara Tuhan yang lebih memperhatikan kehidupan rohani dan pertumbuhan iman kita daripada kebutuhan fisik. Kalau kita hanya memperhatikan kebutuhan fisik saja, yakni kebutuhan akan makanan lebih dari spritualitas kita maka apa bedanya manusia dengan binatang? Bukankah demi untuk memenuhi kebutuhan makanan seekor binatang dapat saling membunuh? Manusia telah menggantikan kemuliaan Allah dengan gambaran yang mirip binatang dan hal ini sudah tertulis dalam Rom 1: 20-24.

Hari ini bahkan orang sudah tidak malu lagi mengakui dirinya sebagai humanimal (human-animal), manusia menyamakan dirinya dengan binatang sehingga segala tindakan manusia selalu disamakan dengan binatang. Maka tidaklah heran kalau hari ini kita menjumpai tingkah laku dan berbagai macam gaya manusia yang mirip dengan binatang. Inilah kekontrasan cara Tuhan dengan cara iblis yang berbeda seratus delapan puluh derajat; iblis membawa manusia pada kehinaan sebaliknya Tuhan membawa manusia pada kemuliaan. Manusia tidak memahami cara Tuhan sehingga cara Tuhan yang tidak sesuai dengan kehendaknya tersebut dianggap sebagai hal yang mencelakakan justru celaka yang terbesar adalah kalau manusia hanya mau menuruti keinginan dagingnya. Manusia hidup bukan hanya dari roti saja tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah (Mat. 4:4). Hanya kembali pada Firman saja maka kita tahu apa arti dan tujuan hidup kita. Biarlah setiap orang Kristen waspada dengan akal licik si iblis dan hendaklah selalu bersandar pada Tuhan dengan demikian kita tidak akan mudah jatuh ke dalam pencobaan. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)


Sumber :
http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2004/20040627.htm

Resensi Buku-16 : PEMUDA DAN KRISIS ZAMAN (Pdt. DR. STEPHEN TONG)

...Dapatkan segera...
Buku
PEMUDA DAN KRISIS ZAMAN

oleh : Pdt. DR. STEPHEN TONG

Penerbit : Stephen Tong Evangelistic Ministries International (STEMI), 1996

Transkrip : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.





Berapa banyak orang yang sadar akan pentingnya masa ini ? Sadarkah mereka akan keberadaan mereka di zaman ini ? Sudah siapkah mereka menghadapi tantangan yang ada di setiap zaman ?

Waktu-waktu dan hidup kita hanya dapat berjalan maju tanpa dapat mundur kembali. Setiap kesempatan yang diberikan oleh Tuhan kepada kita mungkin hanya satu kali saja dan tidak akan terulang lagi. Dapatkah kita berbijaksana dalam memandang zaman ini ?

(buku ini disertai bahan Tanya Jawab oleh Pdt. DR. STEPHEN TONG dan artikel tambahan/apendiks berjudul “Pemuda dan Gerakan Zaman Baru” oleh Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)





Profil Pdt. DR. STEPHEN TONG :
Pdt. DR. STEPHEN TONG melayani Tuhan sejak tahun 1957, baik di dalam bidang penginjilan, teologi, maupun penggembalaan. Pelayanan beliau yang telah terbukti menjadi berkat bagi zaman ini telah menarik perhatian banyak pemimpin gereja, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Perhatian tersebut khususnya ditujukan kepada Reformed Theology yang senantiasa beliau tegaskan. Sejak tahun 1974, beliau mengadakan seminar-seminar di Surabaya. Pada tahun 1984, beliau mulai mengadakan Seminar Pembinaan Iman Kristen (SPIK) di Jakarta, untuk menegakkan doktrin Reformed dan semangat Injili. SPIK dipimpin Tuhan untuk menjadi pendahuluan bagi berdirinya Lembaga Reformed Injili Indonesia (LRII) pada tahun 1986, di mana Pdt. DR. STEPHEN TONG mengajak Pdt. Dr. Yakub Susabda dan Pdt. Dr. Caleb Tong untuk menjadi pendiri bersama.

Selain memimpin SPIK, Pdt. DR. STEPHEN TONG juga mendirikan Sekolah Theologia Reformed Injili (STRI) Surabaya (1986), STRI Jakarta (1987), dan STRI Malang (1990). Beliau juga memperluas seminar-seminar pembinaan iman tersebut ke kota-kota besar lainnya di Indonesia dan kota-kota di luar negeri, yang pelaksanaannya diserahkan kepada Stephen Tong Evangelistic Ministries International (STEMI). Sejak tahun 1991 hingga saat ini (2006), Pdt. DR. STEPHEN TONG menjabat sebagai Rektor Sekolah Tinggi Theologia Reformed Injili Indonesia/STTRII (saat ini Rektor STTRII dipegang oleh Pdt. Yakub B. Susabda, Ph.D.) dan sejak tahun 1998 sebagai Rektor Institut Reformed.

Selain menegakkan doktrin Reformed di Indonesia, beliau juga pernah menjadi dosen tamu pada seminari-seminari di luar negeri, termasuk di China Graduate School of Theology di Hong Kong (1975 dan 1979), China Evangelical Seminary di Taiwan (1976), Trinity College di Singapura (1980, dan memberikan ceramah-ceramah termasuk di Westminster Theological Seminary, Regent College dan lain-lain di Amerika Serikat.

Di samping itu, Pdt. DR. STEPHEN TONG pernah menjabat sebagai dosen teologi dan filsafat di Seminari Alkitab Asia Tenggara (1964-1988), pendiri STEMI (1979), pendiri Jakarta Oratorio Society (1986), pendiri Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) pada tahun 1989, Gembala Sidang GRII Pusat, ketua Sinode GRII, pendiri Institute Reformed for Christianity and the 21st Century (1996) di Indonesia dan Amerika, Christian Drama Society (1999).

Roma 2:14-16 : STANDAR PENGHAKIMAN ALLAH: ESENSI ATAU FENOMENA ?-2

Seri Eksposisi Surat Roma :
Realita Murka Allah-12


Standar Penghakiman Allah : Esensi atau Fenomena ?-2

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 2:14-16.

Setelah kita merenungkan standar penghakiman Allah bagi orang-orang Yahudi dan non-Yahudi berdasarkan Taurat di mana Tuhan tidak tertarik kepada hal-hal fenomenal, tetapi Ia melihat hati manusia yang mau taat menjalankan apa yang Ia perintahkan, maka Paulus menjelaskan ayat 13 dengan lebih gamblang tentang standar penghakiman Allah yang lebih memperhatikan esensi ketimbang fenomena. Di ayat 14, Paulus mengajarkan, “Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri.” atau Bahasa Indonesia Sehari-hari menerjemahkan, “Orang-orang bangsa lain tidak mengenal hukum agama Yahudi. Tetapi kalau mereka atas kemauan sendiri melakukan apa yang diperintahkan oleh hukum itu, hati mereka sendirilah yang menjadi hukum untuk mereka, meskipun mereka tidak mengenal hukum agama Yahudi.” Kalau di ayat 13, Paulus menjabarkan bahwa Allah menghakimi manusia berdasarkan tindakan ketaatan manusia, maka di ayat 14 ini, Paulus menjelaskan tentang ketaatan manusia yang bukan Yahudi kepada Allah Israel. Kata “bangsa-bangsa lain” di dalam terjemahan Inggris berarti Gentiles yang identik dengan orang-orang kafir atau orang-orang non-Yahudi. Bagi orang-orang Yahudi, di luar Yahudi dan Taurat, tidak ada keselamatan. Oleh karena itu, mereka menghina orang-orang non-Yahudi sebagai orang kafir dan orang-orang buangan Allah, lalu mereka menganggap diri hebat, suci, benar, dll, karena mereka sudah memiliki Taurat. Padahal Taurat diwahyukan oleh Allah bukan sebagai bahan atau sesuatu untuk disombongkan. Melalui Taurat, Allah ingin semua bangsa di luar Israel mendengarkan kabar baik, tetapi sayangnya berita Taurat dimonopoli hanya oleh orang-orang Israel saja lalu menghina mereka yang bukan Yahudi (baik secara agama maupun bangsa). Kita pun seringkali melakukan apa yang orang-orang Yahudi lakukan. Sebagai orang Kristen, kita sudah mendapatkan jaminan anugerah keselamatan kekal dari Allah di dalam Kristus, tetapi herannya anugerah ini kita simpan terus-menerus dan tidak pernah kita bagikan dan beritakan kepada mereka yang belum mendengar berita Injil. Banyak dari kita menganggap bahwa kita tidak perlu menginjili, karena orang-orang di luar Kristus itu layak dibinasakan. Memang benar bahwa di luar Kristus tidak ada jalan keselamatan, tetapi prinsip ini jangan disalahmengerti lalu kita tidak mau memberitakan Injil. Kalau kita telah mendapatkan berkat yang terbesar yaitu keselamatan di dalam Kristus, itu seharusnya yang kita beritakan kepada orang lain. Jangan mengulangi kesalahan-kesalahan orang-orang Yahudi yang sombong karena telah memiliki Taurat. Meskipun orang-orang non-Yahudi tidak memiliki Taurat, mereka memiliki kemauan melakukan apa yang dituliskan oleh Taurat. Kemauan ini mutlak bukan atas dorongan mereka sendiri, tetapi digerakkan oleh Tuhan. Di dalam theologia Reformed, ini disebut anugerah umum (common grace), di mana Allah menyatakan anugerah umum-Nya untuk menghentikan sementara dosa dan akibatnya di dalam dunia. Sehingga tidak heran, di dalam dunia, kita dapat melihat orang-orang non-Kristen sekalipun memiliki perbuatan dan pemikiran yang baik dan pintar bahkan lebih daripada orang-orang Kristen. Ini membuktikan adanya anugerah umum Allah yang tetap mengandung bibit dosa. Mengapa mereka bisa melakukan Taurat ini meskipun tidak memiliki Taurat ? Taurat seperti apa yang digambarkan oleh Paulus ini ? Dalam tafsirannya, John Gill mengutip pernyataan Plato yang membagi hukum menjadi dua, yaitu hukum yang tertulis (written law) yang dipakai di negara dan hukum yang tidak tertulis (unwritten law) yang berdasarkan natur atau kebudayaan yang tertanam di dalam pikiran/hati manusia. Taurat secara harafiah dan tertulis tidak dimiliki oleh orang-orang non-Yahudi, tetapi secara tak tertulis, Taurat itu telah ditanamkan oleh Allah di dalam setiap hati manusia. Di dalam theologia Reformed, Allah menyatakan diri-Nya melalui dua sarana, yaitu wahyu umum (general revelation of God) yang meliputi alam dan hati nurani (respon manusia : sains dan agama/kebudayaan) dan wahyu khusus (special revelation of God) yang mencakup Tuhan Yesus dan Alkitab. Melalui prinsip ini, kita tetap harus menghargai bahwa orang-orang di luar Kristen pun boleh dikatakan berbijaksana, karena mengajarkan beberapa hal yang baik, misalnya dari Kong Fu-Tse bahwa segala sesuatu yang kamu tahu itulah pengetahuan atau dari Socrates bahwa segala sesuatu yang tidak kamu ketahui itulah yang disebut “tahu”. Kedua filsafat ini baik, karena mereka berdua meresponi apa yang Allah telah wahyukan secara umum di dalam hati nurani mereka. Meskipun baik, kedua filsafat ini masih kurang sempurna, mengapa ? Karena mereka hanya menerima wahyu umum Allah tanpa wahyu khusus Allah yang bersifat menyelamatkan dan menebus (redemptive revelation).

Selanjutnya, dasar kelakuan mereka dijelaskan oleh Rasul Paulus pada ayat 15, “Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela.” (Bahasa Indonesia Sehari-hari menerjemahkan, “Kelakuan mereka menunjukkan bahwa apa yang diperintahkan oleh hukum itu tertulis di hati mereka. Hati nurani mereka pun membuktikan hal itu, sebab mereka sendiri ada kalanya disalahkan dan ada kalanya dibenarkan oleh pikiran mereka.”). Mereka dapat melakukan apa yang Taurat perintahkan karena adanya hukum Allah tertanam di dalam hati nurani mereka. Di dalam terjemahan BIS, saya menyukai pernyataan yang dipakai, “Kelakuan mereka menunjukkan bahwa apa yang diperintahkan oleh hukum itu tertulis di hati mereka...” Tindakan seseorang mencerminkan apa yang mereka percayai, tetapi tidak berarti tindakan itu satu-satunya batu penguji apakah kepercayaan orang tersebut itu benar atau tidak. Mengapa pernyataan ini diajarkan oleh Paulus ? Apakah Paulus ingin mengajarkan bahwa yang terpenting itu perbuatan baik ? Bukankah di dalam Roma 3:24, 27, Paulus mengajarkan bahwa manusia dibenarkan melalui iman ? Lalu apakah kedua hal ini berkontradiksi ? TIDAK. Ayat 15 diajarkan oleh Paulus untuk mengajar orang-orang Yahudi agar mereka tidak menghina orang-orang non-Yahudi yang tidak memiliki Taurat secara tertulis. Iman sejati mengeluarkan/menghasilkan kelakuan yang baik. Di dalam ayat ini, saya membagi dua macam respon hati nurani manusia, yaitu, pertama, hati nurani manusia yang menghasilkan perbuatan. Hati nurani sebagai wakil Allah di dalam diri manusia memungkinkan dan mendorong manusia untuk berbuat sesuai apa yang Allah perintahkan (meskipun tidak 100% sempurna). Misalnya, ketika dari kecil, anak diajarkan untuk taat kepada orangtua, hati nurani terus bersuara mendorong anak-anak untuk menaati orangtua. Kedua, hati nurani manusia menghakimi. Bukan hanya mendorong seseorang untuk berbuat baik, hati nurani juga bertugas menghakimi manusia yang mencoba bertindak jahat. Mungkin kita memiliki pengalaman ketika kita ingin mencuri dompet orang, lalu tiba-tiba hati kita berdebar-debar dan hati nurani kita mengingatkan kita. Di saat itu, mulailah belajar untuk mematuhi suara hati nurani karena itu suara perwakilan Allah untuk menegur manusia. Meskipun tidak 100% mewakil suara Allah, hati nurani yang sudah terpolusi oleh dosa tetap bisa berfungsi normal, asalkan kita mau peka mendengarkan suaranya.

Apakah berarti hati nurani satu-satunya standar penghakiman Allah ? TIDAK. Di dalam ayat 16, Paulus menjelaskan, “Hal itu akan nampak pada hari, bilamana Allah, sesuai dengan Injil yang kuberitakan, akan menghakimi segala sesuatu yang tersembunyi dalam hati manusia, oleh Kristus Yesus.” (Bahasa Indonesia Sehari-hari, “Demikianlah yang akan terjadi nanti pada hari yang sudah ditentukan itu. Pada hari itu--menurut Kabar Baik yang saya beritakan--Allah melalui Yesus Kristus, akan menghakimi segala rahasia hati dan pikiran semua orang.”). Standar penghakiman Allah melalui ayat 16 ini hanyalah di dalam Tuhan Yesus Kristus. Di dalam theologia Reformed, kita mempercayai wahyu umum memiliki kelemahan dan hanya bisa disempurnakan oleh wahyu khusus yang bersifat menebus di dalam pribadi Kristus. Di dalam Kristus, penghakiman Allah berlangsung adil (Pengkhotbah 12:14 ; 2 Korintus 5:10). Penghakiman-Nya inilah yang menghakimi segala sesuatu yang terselubung di dalam hati dan pikiran manusia. Mungkin selama kita hidup di dalam dunia ini, kita masih membohongi orang-orang sekitar dengan kelakuan-kelakuan kita yang religius, baik, menolong, dll, tetapi ingatlah, suatu saat di dalam takhta pengadilan Kristus, kita tidak bisa berdalih apapun, karena di hadapan-Nya, kita ditelanjangi. Mengapa harus di dalam Kristus ? Karena Kristus adalah Hakim dan Raja yang ditentukan Bapa sebagai wujud pemuliaan atas-Nya dari Bapa karena telah taat dan setia melakukan tugas Bapa-Nya. Kristus juga adalah Penebus dosa kita yang ditentukan Bapa. Ia yang menebus dosa kita harus bernatur 100% Allah dan 100% manusia. Dan apa yang dikerjakan Kristus tak mungkin pernah dilakukan oleh semua pendiri agama dan nabi lainnya, karena Kristus bukan hanya mengajarkan kebenaran tetapi sebagai Sumber Kebenaran (Yohanes 14:6). Selain itu, Kristus juga disebut Hakim, dan kitab Wahyu mendeskripsikan hal ini melalui nyanyian anak-anak Tuhan, “Besar dan ajaib segala pekerjaan-Mu, ya Tuhan, Allah, Yang Mahakuasa! Adil dan benar segala jalan-Mu, ya Raja segala bangsa! Siapakah yang tidak takut, ya Tuhan, dan yang tidak memuliakan nama-Mu? Sebab Engkau saja yang kudus; karena semua bangsa akan datang dan sujud menyembah Engkau, sebab telah nyata kebenaran segala penghakiman-Mu.” (Wahyu 15:3-4). Standar penghakiman Allah yang tidak dapat dikompromikan ini seharusnya menjadi refleksi agar kita sebagai anak-anak-Nya tidak manja dan terus berkanjang di dalam dosa, melainkan harus sadar, bertobat dan kembali kepada Kristus. Pertobatan ini bukan karena keterpaksaan atau supaya tidak dihukum, tetapi sebagai respon positif atas anugerah-Nya yang begitu besar.

Setelah kita merenungkan ketiga ayat ini, sudahkah kita menyadari bahwa apa yang Kristus telah kerjakan di atas kayu salib mampu dan sanggup serta telah membayar utang dosa kita akibat ketidaktaatan kita kepada perintah-Nya di dalam Taurat ? Sudahkah kita selanjutnya menyadari bahwa sesudah kita diselamatkan, kita tetap harus mengerjakan Taurat dengan dasar cinta kasih yang telah kita peroleh dan teladani dari Kristus ?? Maukah kita melakukan apa yang Ia perintahkan bukan dengan bersungut-sungut, tetapi dengan cinta kasih ? Amin. Soli Deo Gloria.