24 November 2010

EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:19-23 (2) (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:19-23 (2)

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 9:19-23 (2)



Dalam khotbah yang lalu kita sudah bersama-sama belajar bahwa 9:19-23 merupakan penjelasan bagi status Paulus sebagai orang yang bebas (9:1). Sebagai hamba yang dipercaya Allah (9:17-18) Paulus tidak mungkin pada saat yang bersamaan menjadi hamba pihak lain. Jika ia adalah hamba Allah, maka ia bukanlah hamba manusia (Gal. 1:10). Walaupun Paulus tidak terikat pada siapapun, namun ia bersedia melepaskan kebebasannya itu. Ia mau menjadi hamba bagi semua orang (9:19). Semua ini ia lakukan bukan untuk mengambil hati banyak orang bagi kepentingannya sendiri, tetapi untuk membawa sebanyak mungkin orang kepada Kristus. Dalam khotbah kali ini kita akan belajar bagaimana Paulus mau menjadi hamba bagi orang-orang Yahudi dan mereka yang hidup di bawah Hukum Taurat (9:20-21).


Bagi Orang Yahudi Paulus Menjadi Seperti Orang Yahudi (ay. 20a)
Ungkapan Paulus di bagian ini sekilas sulit untuk dipahami. Bagaimana Paulus yang adalah seorang Yahudi tulen (2Kor. 11:22; Flp. 3:4-6) berusaha menjadi seperti orang Yahudi? Mengapa ia memakai ungkapan “bagi orang Yahudi” dan bukan “bagi teman sebangsaku”? Ungkapan ini jelas tidak boleh dipahami secara etnis maupun keterkaitan secara biologis. Jika ini adalah masalah etnis atau hubungan darah, maka Paulus tidak bisa menjadi “seperti orang Yahudi”. Ia adalah orang Yahudi! Semua ini sebaiknya dipahami dalam konteks kebiasaan Yahudi. Pendapat ini sesuai dengan pokok masalah utama yang sedang dibahas Paulus di 1 Korintus 8-10, yaitu perdebatan seputar makanan (1Kor. 8-10).

Bagi orang Yahudi makanan merupakan masalah religius. Mereka hanya makan makanan yang halal (Im. 11). Lebih jauh, mereka mempraktekkan peraturan halal (kosher) yang jauh lebih detail dan kompleks daripada yang diajarkan dalam Alkitab. Peraturan ini mencakup pemilihan bahan makanan, cara memasak maupun cara memakan.

Persoalan seputar makanan ini sering kali menjadi masalah serius dalam interaksi bangsa Yahudi dengan bangsa lain, karena orang-orang non-Yahudi biasanya memakan daging yang dianggap najis menurut kitab suci Yahudi maupun melanggar tradisi lisan tentang tata cara memasak maupun memakan yang halal. Orang non-Yahudi juga sering bersentuhan dengan makanan berhala. Gesekan kultural seputar isu ini menjadi bahaya rentan yang tidak terelakkan. Alkitab sendiri memberikan beberapa contoh tentang gesekan ini. Orang-orang Farisi pernah mengecam murid-murid Yesus karena makan dengan tangan yang tanpa dicuci (Mat. 15:1-2). Para pemimpin gereja mula-mula bahkan perlu untuk mengadakan konsili gereja guna membahas masalah ini dan masalah-masalah kultural yang lain (Kis. 15:28-29).

Paulus pun pernah terlibat perbedaan pendapat yang tajam dengan Petrus karena ia menganggap Petrus telah melakukan kesalahan fatal dalam hal ini (Gal. 2:11-14). Kesalahan yang dilakukan Petrus ini merupakan sesuatu yang luar biasa, karena Petrus sebelumnya sudah diajar oleh Tuhan sendiri melalui sebuah penglihatan bahwa apa yang dinyatakan halal oleh Allah tidak boleh dipandang haram oleh manusia (Kis. 10:15; 11:9). Di tengah budaya yang sangat sensitif terhadap isu tentang makanan seperti ini, Paulus memilih untuk mengadaptasi kebiasaan Yahudi. Tindakan ini tidak boleh dianggap sebagai kemunafikan maupun penyangkalan terhadap kebebasan Kristiani di dalam Injil. Dalam theologi Paulus, makanan tidak mempengaruhi status seseorang di hadapan Allah (8:8; Rm. 14:1-3). Ini semua hanyalah tentang hal-hal yang sementara dan tidak memiliki nilai kekal di hadapan Allah (Kol. 2:22). Semua yang diberikan Allah adalah baik dan tidak haram, jika dinikmati dengan ucapan syukur (1Tim. 4:4), apalagi Tuhan Yesus juga sudah mengajarkan bahwa semua makanan adalah halal (Mrk. 7:19).

Dengan konsep seperti di atas, theologi Paulus membuka ruang bagi orang-orang Yahudi Kristen untuk tetap memperhatikan kebiasaan makan yang lama maupun mengabaikannya. Seandainya mereka memutuskan untuk tetap mengikuti kebiasaan lama, mereka harus melakukannya dengan motivasi yang berbeda. Kalau orang Yahudi begitu menjaga peraturan tentang makanan supaya mereka diperkenan atau dibenarkan oleh Allah, orang Kristen tidak boleh menganggap bahwa tindakan mereka seputar makanan akan mempengaruhi kesalehan mereka di hadapan Allah. Seandainya mereka memutuskan untuk mengabaikan peraturan Yahudi tentang makanan, maka tindakan ini pun tidak apa-apa. Sikap mana pun yang kita pilih, hal itu harus ditujukan untuk kepentingan Injil (9:20) dan kemuliaan Allah (10:31; Rm. 14:6).

Sikap Paulus yang terlihat situasional ini tidak boleh dipahami sebagai sebuah kemunafikan maupun sikap bunglon. Yang terutama kita perlu menyadari bahwa tidak ada satu kebenaran pun yang dikompromikan oleh Paulus. Yang ia korbankan bukan kebenaran Injil, tetapi kebebasannya yang ia terima dari Injil. Ia bisa tetap mengikuti maupun mengabaikan semua peraturan itu, namun demi kepentingan Injil ia bersedia terikat dengan peraturan tersebut.

Jika Paulus memang bersikap situasional dalam hal makanan, mengapa ia menegur Petrus pada saat Petrus bersikap mendua soal makanan kala ia berada di Anthiokia dan bahkan menganggap tindakan itu sebagai kemunafikan (Gal. 2:11-14)? Untuk memahami problem ini kita perlu menyadari bahwa yang dipersoalkan Paulus di Galatia 2:11-14 adalah sikap Petrus yang menjauhi orang-orang non-Yahudi karena takut kepada orang-orang Yahudi garis keras dari Yerusalem (Gal. 2:12; bdk. Kis. 11:2-3). Ia sudah tahu bahwa semua makanan adalah halal (Kis. 10:9-16; 11:4-10), namun ia takut kepada orang-orang Yahudi, seolah-olah peraturan tentang makanan masih mengikat hidupnya. Di sisi lain, sikap Paulus yang situasional (dalam konteks misi sikap ini disebut kontekstualisasi) bukan didasari oleh ketakutan, tetapi demi perkembangan Injil. Perbedaan lain antara sikap Paulus dan Petrus adalah ini: sikap Petrus berpotensi menghalangi pemberitaaan Injil (Gal. 2:14), sedangkan sikap Paulus justru membuka ruang bagi efektivitas pekabaran Injil (1Kor. 9:20a). Jadi, yang menjadi faktor pembeda dalam hal ini adalah motivasi (ketakutan vs. kepentingan Injil) dan konsekuensi (menghalangi vs. membantu).


Bagi Orang yang Berada Di Bawah Hukum Paulus Menjadi Seperti Orang yang Di Bawah Hukum (ay. 20b)
Bagian ini menimbulkan sedikit kesulitan bagi para penafsir. Jika Paulus sudah menyinggung tentang orang Yahudi (9:20a), mengapa ia masih perlu membahas tentang orang-orang yang hidup di bawah hukum (9:20b)? Bukankah “orang Yahudi” identik dengan “mereka yang hidup di bawah Hukum Taurat”?

Beberapa penafsir mengusulkan “orang-orang di bawah Hukum Taurat” sebagai golongan proselit atau orang-orang yang takut kepada Allah, yaitu orang-orang non-Yahudi yang memeluk agama Yahudi (Mat. 23:15; Kis. 10:2), sedangkan yang lain mencoba memahami kata nomos di sini secara umum (hkum sipil, terutama hukum Romawi). Pengamatan yang teliti tampaknya mengarah pada kesimpulan bahwa nomos yang dimaksud Paulus adalah Hukum Taurat (NASB “Law”) dan orang-orang yang ada di bawah hukum ini adalah orang-orang Yahudi. Pilihan ini bisa dibenarkan berdasarkan beberapa pertimbangan: (1) semua pemunculan kata nomos dalam Surat 1 Korintus merujuk pada Hukum Taurat (9:8, 9; 14:21, 34; 15:56); (2) seandainya ini adalah hukum Romawi, maka Paulus tidak mungkin menambahkan “walaupun aku tidak berada di bawah hukum”; (3) secara mendasar tidak ada perbedaan etika antara orang-orang Yahudi asli dengan golongan proselit/orang yang takut kepada Allah. Jika nomos identik dengan Taurat, mengapa Paulus perlu menambahkan kategori “mereka yang berada di bawah Taurat”?

Ada beberapa jawaban atas pertanyaan ini. Pertama, ayat 20b berfungsi untuk memberikan penjelasan tentang “seperti orang Yahudi” di ayat 20a. Menjadi seperti orang Yahudi berarti menjadi seperti orang yang berada di bawah Taurat. Tanpa penjelasan tambahan di ayat 20b, maka ayat 20a akan menjadi lebih sulit untuk dipahami. Kedua, ayat 20b memberikan prinsip yang lebih luas daripada ayat 20a. Paulus tidak hanya membatasi sikap kontekstualisasi dalam konteks makanan saja (ay. 20a), tetapi juga aspek-aspek lain dalam Taurat (ay. 20b). Ketiga, ayat 20b menjelaskan alasan di balik sikap Paulus di ayat 20a. Kontekstualisasi Paulus bukan berarti bahwa ia berada kembali di bawah Taurat, karena itu ia merasa perlu menambahkan frase “sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah Hukum Taurat” (ay. 20b).

Tambahan “sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah Hukum Taurat” di ayat 20b merupakan batasan tegas bagi Paulus. Ia melakukan semua ini bukan karena ia masih terikat oleh Taurat. Ia adalah orang bebas, baik dari orang lain (9:19) maupun Taurat (Rm. 6:14). Apa yang dilakukan Paulus di tengah masyarakat Yahudi mungkin secara eksternal tidak berbeda dengan orang-orang Yahudi lain, tetapi motivasi di balik tindakan itu sangat berbeda. Orang Yahudi melakukan semua ini untuk mendapatkan kebenaran dari Allah dan dengan konsep bahwa mereka masih terikat oleh Taurat, tetapi Paulus melakukan itu justru untuk kepentingan Injil. Bagi Paulus berada di bawah Taurat berarti akan dihakimi menurut Taurat (Rm. 2:12), di bawah hukuman Allah karena melanggar Taurat (Rm. 4:15) dan di bawah kutuk Taurat (Gal. 3:10).

Paulus tidak sedang mengajarkan nilai teologis ketaatan terhadap Taurat, namun ia juga tidak menganggap Hukum Taurat sebagai perintah yang sudah tidak relevan. Ia tidak melarang orang-orang Yahudi meneruskan beberapa kebiasaan mereka sesuai Taurat, tetapi ia secara tegas menolak keyakinan bangsa Yahudi kepada Taurat sebagai jalan keselamatan (Rm. 3:19-20). Ia juga dengan keras menentang kesalahpahaman di kalangan orang Yahudi tentang nilai teologis dari semua kebiasaan Yahudi (Kol. 2:16-17). Bagaimanapun, demi kepentingan Injil ia mau bersusah-payah menghormati kebiasaan Yahudi yang tekait dengan Taurat, sekalipun ia meyakini bahwa semua itu tidak mempengaruhi status seseorang di hadapan Allah. Sikap seperti ini berpotensi untuk disalahpahami, baik oleh orang Yahudi maupun bangsa lain. Paulus sering kali dianggap meniadakan Hukum Taurat (Kis. 21:21) atau mengajarkan hidup yang bebas tanpa aturan sama sekali (Rm. 3:8) guna mencari perkenanan manusia (Gal. 1:10). Walaupun resiko yang muncul cukup besar, tetapi Paulus tetap berpegang pada prinsip ini, karena semua ini dilakukan demi efektivitas Injil.

Alkitab memberikan beberapa contoh konkrit tindakan Paulus yang masih mau mengikuti peraturan Hukum Taurat demi kepentingan Injil. Paulus yang sangat menentang manfaat sunat bagi keselamatan (Gal. 5:12; Flp. 3:2-3) ternyata justru meminta Timotius untuk menyunatkan diri demi efektivitas pekabaran Injil yang akan mereka lakukan (Kis. 16:3). Di kesempatan yang lain Paulus tetap menghormati peraturan Hukum Taurat tentang nazar berupa pencukuran rambut, walaupun ia tidak harus melakukan itu di Yerusalem (Kis. 18:18; Bil. 6:5, 13). Ketika ia ada di Yerusalem dan sedang digunjingkan oleh banyak orang karena dituduh mengabaikan Hukum Taurat, Paulus bersedia membiayai dan menjalani proses pentahiran menurut adat istiadat Yahudi (Kis. 21:21-26). Dari perspektif Paulus ia jelas memandang semua ritual pentahiran ini sebagai tindakan kesalehan yang tidak ada nilainya di hadapan Allah, tetapi ia tetap mau melakukan itu demi Injil dan karena tindakan itu pada dirinya sendiri bukanlah dosa. Ritual ini bukan dosa, hanya sesuatu yang tidak berguna. Yang menjadi dosa adalah motivasi yang keliru di balik ritual tersebut.

Salah satu contoh lain yang menarik dari kemauan Paulus untuk mengadaptasi diri dalam konteks budaya dan keagamaan Yahudi adalah kesediaannya untuk disesah sebanyak lima kali dengan 39 pukulan dalam setiap sesahan (2Kor. 11:24). Hukum Taurat mengatur bahwa orang yang menghujat TUHAN harus dilenyapkan dari tengah bangsa Yahudi (Bil. 15:30-31). Perintah ini tidak bisa dipraktekkan begitu saja dalam konteks hukum Romawi, karena wewenang untuk menghukum mati seseorang melalui prosedur hukum hanya boleh dilakukan melalui pejabat Romawi. Mahkamah Agama Yahudi tidak diberi wewenang tersebut. Untuk menyiasati hal itu, tradisi Yahudi mengganti hukuman yang ada dengan cara lain. Menurut tradisi Yahudi seperti yang tertuang dalam Mishnah, seorang yang dianggap penghujat akan dikeluarkan dari komunitas orang Yahudi. Tindakan ini sering kali disebut “dikucilkan dari synagoge (Yoh. 9:22; 12:42; 16:2). Bagi seorang penghujat yang ingin tetap dianggap sebagai bagian dari komunitas Yahudi, orang tersebut harus rela menerima disiplin secara Yahudi, yaitu berupa pukulan sebanyak 40 kurang satu pukulan (Ul. 25:2-3). Di tengah dua pilihan ini, Paulus memilih yang terakhir. Ini ia lakukan bukan hanya sekali, namun lima kali. Paulus bisa saja memilih alternatif pertama dan tidak peduli lagi dengan keselamatan rohani orang-orang yang menganggap dia sebagai penghujat. Bagaimanapun, ia justru memilih berkorban bagi mereka.

Jika semua tindakan Paulus di atas dicermati, maka kita akan setuju bahwa tindakan itu sangat luar biasa. Paulus adalah orang yang sangat tegas sehubungan dengan kebenaran, tetapi ia masih mau mengompromikan beberapa hal yang tidak prinsip dan tidak terlalu berkaitan dengan kebenaran itu. Ia juga adalah seorang dengan temperamen sangat keras, tetapi ia telah belajar untuk memahami dan berkorban bagi orang lain. Semuanya ini pasti tidak mungkin dilakukan Paulus jikalau ia tidak menerima anugerah dari Allah dan menyadari bahwa tujuan hidup kita adalah kemuliaan Allah melalui pekebaran Injil. Orang-orang yang menempatkan kemuliaan Allah sebagai prioritas hidup tidak akan kesulitan untuk mengorbankan hak, kebebasan, dan kenyamanan hidup mereka. Jikalau kita sulit melepaskan sesuatu demi Injil, maka itu menjadi tanda atau bukti betapa kita sudah terikat kepada dan memberhalakan hal tersebut.


Aplikasi
Apakah selama ini kita sudah meletakkan kepentingan Injil di atas segalanya? Apakah kita telah belajar mengalah supaya Kristus dimuliakan? Apakah kita rela bersabar terhadap orang lain dan berusaha memahami dia demi kepentingan Injil? Biarlah teladan Kristus di atas kayu salib terus menjadi fokus hidup dan dorongan bagi kita. Dia mau mengorbankan kemuliaan sorga dan menjadi sama dengan manusia supaya Ia bisa menyelamatkan kita. Soli Deo Gloria. #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 9 Mei 2010
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/SER-1Korintus%209%20ayat%2019-23%20%28Bagian%202%29.pdf

EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:19-23 (1) (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 9:19-23 (1)

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 9:19-23 (1)



Pembacaan sekilas dari bagian ini mungkin akan memberikan kesan bahwa bagian ini tidak terlalu berkaitan dengan pembahasan sebelumnya di pasal 9. Pada bagian ini Paulus tidak menyinggung tentang status maupun hak sebagai seorang rasul (topik yang ia sudah bahas secara panjang lebar mulai 9:2-18). Ide tentang kebebasan yang menjadi fokus pembahasan di 9:19-23 juga sekilas berkontradiksi dengan penekanan Paulus di 9:15-18 bahwa dirinya adalah hamba yang tidak memiliki kebebasan selain melakukan apa yang ia harus lakukan. Lebih jauh, bagian ini pun tidak memperlihatkan keterkaitan yang eksplisit dengan isu tentang makan persembahan berhala yang menjadi inti persoalan di pasal 8-10.

Kesan di atas akan segera sirna apabila kita membaca 9:19-23 secara lebih teliti. Bagian ini memiliki keterkaitan dan fungsi yang penting bagi seluruh pembahasan di pasal 9. Ada beberapa petunjuk yang mengarah pada kesimpulan ini. Yang paling penting, ungkapan “aku bebas” di 9:19 jelas merujuk balik pada pertanyaan Paulus di awal pasal ini (9:1 “bukankah aku orang bebas?”). Dengan demikian kita seharusnya melihat 9:19-23 sebagai elaborasi dari pertanyaan “bukankah aku orang bebas?”, sedangkan 9:1b-14 sebagai uraian bagi pertanyaan “bukankah aku rasul?”). Selain itu, ajaran Paulus di 9:19-23 tentang kerelaan menjadi hamba bagi orang lain merupakan teladan lain dari hidup berdasarkan kasih sebagaimana yang ia sudah ajarkan di pasal sebelumnya (8:1). Berbeda dengan jemaat Korintus yang secara salah mempertahankan kebebasan mereka sehingga menjadi batu sandungan bagi orang lain (8:9, 11), Paulus justru melepaskan kebebasan tersebut supaya dapat memenangkan banyak orang (9:19-23).

Sebagian penafsir berpendapat bahwa 9:19-23 memiliki fungsi yang lebih daripada sekadar memaparkan teladan hidup Paulus. Bagian ini diyakini juga berfungsi sebagai pembelaan Paulus terhadap mereka yang mengritik pola pelayanan Paulus yang dipandang tidak konsisten: di suatu konteks Paulus melakukan X, tetapi di konteks lain ia mengambil sikap Y. Paulus dianggap mengajarkan kebebasan dari Taurat supaya ia bisa menyenankan banyak orang (Gal. 1:10). Penekanannya pada anugerah Allah membuat dia difitnah telah mengajarkan kehidupan Kristiani yang sembarangan (Rom 3:8). Di kalangan orang-orang Yahudi ia tidak jarang dimusuhi karena dituduh telah membatalkan Hukum Taurat (Kis. 21:21). Beberapa penafsir bahkan menduga sikap sebagian jemaat Korintus yang makan di kuil dengan mengatasnamakan kebebasan Kristiani (8:7-9) merupakan usaha mereka untuk “mengikuti” pola hidup Paulus yang tampak tidak konsisten. Terlepas dari benar atau tidaknya pendapat ini (tidak ada petunjuk yang konklusif untuk membenarkan maupun menyanggah hal ini), sikap Paulus yang terkesan situasional di 9:19-23 memang bisa menjadi masalah yang pelik di kalangan gereja mula-mula yang sering berhadapan langsung dengan isu tentang makanan (Kis. 15:29; Why. 2:14). Paulus bahkan pernah menegur Petrus yang bersikap munafik soal makanan (Gal. 2:11-14).

Sekarang kita berpindah pada struktur 1 Korintus 9:19-23. Alur berpikir Paulus di bagian ini cukup mudah untuk diikuti. Ayat 19 dan 22b menyatakan prinsip yang sama, sedangkan ayat 20-22a menguraikan prinsip tersebut dalam 4 kategori. Yang agak sulit ditentukan secara pasti adalah fungsi ayat 23. Apakah ayat ini sebaiknya disatukan ayat 22b ataukah disendirikan dengan fungsi yang sedikit berbeda? Pengamatan yang cermat menunjukkan bahwa ayat 23 sebaiknya dipahami secara tersendiri sebagai alasan bagi semua pembahasan di ayat 19-22. Dengan demikian alur berpikir Paulus di 9:19-23 dapat digambarkan sebagai berikut:
Pendahuluan: aku bebas tetapi aku menjadi hamba bagi semua orang demi Injil (ay. 19)
Penjelasan prinsip (ay. 20-22a)
Bagi orang Yahudi (ay. 20a)
Bagi orang yang di bawah Hukum Taurat (ay. 20b)
Bagi orang yang tidak hidup di bawah Hukum Taurat (ay. 21)
Bagi orang yang lemah (ay. 22a)
Penutup: aku menjadi segalanya bagi semua orang demi Injil (ay. 22b)
Alasan: aku melakukan semua ini demi Injil dan


Pendahuluan: Aku Bebas Tetapi Aku Menjadi Hamba bagi Semua Orang Demi Injil (ay. 19)
Ayat ini dimulai dengan kata sambung gar (lit. “karena”) yang dalam beberapa versi (NIV/NLT/LAI:TB) sengaja tidak diterjemahkan karena terkesan agak janggal. Keputusan ini dari sisi keindahan kalimat memang bisa dipahami, namun berpotensi untuk mengaburkan keterkaitan yang erat antara ayat ini dengan ayat 15-18. Paulus sengaja menggunakan kata sambung gar untuk mempertegas keterkaitan itu.

Dalam hal ini ayat 19 seharusnya dilihat sebagai penjelasan dari bagian sebelumnya. Maksudnya, kebebasan yang dinyatakan Paulus di ayat 18 bersumber dari status dan sikap Paulus di ayat 15-18. Paulus adalah hamba Allah (9:17), sehingga ia tidak mungkin menjadi hamba orang lain. Jika ia mau menghambakan diri pada orang lain (9:19, 22b), maka itu merupakan pilihan dari pihak Paulus, bukan paksaan atau keharusan. Status Paulus sebagai hamba Allah memang membuat dia tidak memiliki kebebasan apa pun di hadapan Allah (9:16), namun hal ini tidak berarti bahwa ia juga kehilangan kebebasan di hadapan manusia. Ia tetap orang yang bebas. Pemikiran seperti ini sebelumnya sudah diungkapkan Paulus pada waktu ia membicarakan tentang paradoks budak-orang bebas (7:22 “sebab seorang hamba yang dipanggil oleh Tuhan dalam pelayanan-Nya, adalah orang bebas, milik Tuhan. Demikian pula orang bebas yang dipanggil Kristus, adalah hamba-Nya”).

Struktur kalimat di ayat 19 menyiratkan bahwa Paulus sedang menekankan kata “kebebasan” (eleutheros). Hal ini tampak dari posisi kata eleutheros di awal kalimat. Para penafsir meyakini bahwa kebebasan yang dimaksud di sini bukan hanya secara theologis (sebagai hamba Allah Paulus bukanlah hamba manusia), tetapi juga secara sosiologis (ketidakmauan Paulus menerima tunjangan hidup dari jemaat membuat ia bebas dari tekanan maupun pembatasan oleh orang lain).

Jika Paulus mau menerima tunjangan dari jemaat Korintus, maka ia pun dituntut mengikuti selera jemaat dalam hal khotbah. Mereka ingin menggantikan Injil - yang dianggap kebodohan – dengan filsafat dunia (1:18, 22-23). Mereka ingin Paulus lebih menekankan kemampuan retorika daripada kuasa Roh Kudus (2:1-5). Dengan tidak menerima tunjangan dari mereka, Paulus memiliki kebebasan penuh untuk memberitakan Injil tanpa harus menuruti kemauan orang lain yang melawan kebenaran.

Walaupun Paulus adalah bebas terhadap semua orang, tetapi ia mau menghambakan dirinya kepada semua orang. Dalam kalimat Yunani kata “semua orang” diulang dan diletakkan berdekatan untuk mempertegas kontras (lit. “karena walaupun aku adalah bebas dari semua orang, kepada semua orang aku menghambakan diriku”). Bentuk lampau dari “menghambakan” (edoulosa, KJV/NASB/RSV/NRSV “I have made”, kontra NIV “I make”) menyiratkan bahwa apa yang dilakukan Paulus di sini merupakan tindakan yang sudah ia lakukan. Ia mengajarkan apa yang ia sudah lakukan, bukan hanya berusaha melakukan apa yang ia ajarkan (bdk. Ezr. 7:10 “sebab Ezra telah bertekad untuk meneliti Taurat TUHAN dan melakukannya serta mengajar ketetapan dan peraturan di antara orang Israel”).

Apa yang dilakukan Paulus ini merupakan sesuatu yang luar biasa jika kita membandingkan dengan dua fakta. Pertama, Paulus sebenarnya tidak anti terhadap kebebasan. Ia memberi ijin dan dorongan bagi orang percaya untuk menggunakan kebebasan mereka (7:21, 35, 39). Paulus pun tidak jarang menegaskan kebebasan Kristiani di daam Kristus Yesus. Di dalam Kristus orang percaya tidak lagi hidup di bawah tuntutan Taurat maupun berbagai tradisi manusia (Kol. 2:16-17). Ketika ia melepaskan kebebasan – yang sangat ia tekankan – maka Paulus pada dasarnya telah melepaskan apa yang ia anggap sangat penting dalam hidupnya.

Melepaskan sesuatu yang berharga dalam hidup kita jelas bukan hal yang mudah. Kita mungkin dengan mudah membiarkan sesuatu yang tidak penting dalam hidup kita untuk dikorbankan bagi orang lain, namun akan menjadi sangat sulit ketika kita harus melepaskan hal yang sangat berharga dalam hidup kita bagi orang lain.

Kedua, filsafat Stoa waktu itu mengajarkan bahwa orang yang bebas adalah mereka yang melakukan apa saja yang mereka kehendaki tanpa memikirkan pandangan orang lain.

Pandangan yang sekilas sangat menekankan kebebasan yang benar-benar bebas ini sebenarnya tidak lebih daripada sebuah perbudakan. Jika kita selalu menuruti kebebasan kita, maka kita pada dasarnya telah diperbudak oleh kebebasan tersebut. Orang yang benar-benar bebas adalah mereka yang benar-benar bebas untuk melepaskan kebebasannya demi kepentingan orang lain. Jika kita mengetahui kebenaran ini, maka kebenaran ini akan memerdekakan kita dalam arti yang sesungguhnya (Yoh. 8:32).

Darimana Paulus memahami rahasia dari kebabasan yang sejati ini? Mengapa ia bisa melepaskan kebebasannya untuk melayani orang lain? Tindakan Paulus ini pasti berakar dari ajaran dan teladan hidup Tuhan Yesus. Dalam kitab Injil diajarkan bahwa keunikan kepemimpinan Kristen adalah kepemimpinan yang menghamba (Mat. 20:26-28//Mrk. 10:43- 45). Yesus mau meninggalkan kemuliaan sorga untuk menjadi hamba yang taat (Flp. 2:5-8) demi menyelamatkan manusia. Ia yang berada di atas Hukum Taurat telah menaklukkan diri-Nya di bawah hukum itu demi menyelamatkan mereka yang takluk kepada Hukum Taurat (Gal. 4:4-5). Teladan inilah yang seharusnya menjadi pola hidup setiap orang Kristen.

Siapa yang menghambakan diri kepada Kristus berarti siap menghambakan diri kepada orang lain (2Kor.. 4:5). Kita memang tidak menjadi hamba orang lain. Satu budak hanya boleh memiliki satu tuan. Jika kita sudah menjadi hamba Allah (9:16-18), maka kita tidak mungkin sekaligus menjadi hamba orang lain. Bagaimanapun, dalam taraf tertentu kita adalah hamba orang lain, dalam arti bahwa Allah sebagai Tuan kita telah memberi tugas kepada kita untuk melayani orang-orang tersebut (2Kor.. 4:5). Hamba Than adalah milik jemaat hanya dalam arti bahwa jemaat pun pada gilirannya adalah milik Kristus (1Kor. 3:21-23). Seorang hamba Tuhan sepenuh waktu adalah hamba Tuhan (bukan hamba jemaat), tetapi ia harus melayani jemaat (menghambakan diri kepada mereka) karena Tuhan Yesus sudah mempercayakan jemaat untuk dilayani para hamba-Nya (Kis. 20:28). Hamba Tuhan tidak boleh diperlakukan seperti karyawan, namun hamba Tuhan juga tidak boleh memposisikan diri sebagai penguasa (bos).

Bagian terakhir ayat 19 menjelaskan tujuan dari sikap Paulus di ayat 19a. Motivasi di balik itu tidak berhubungan dengan kepentingan Paulus, melainkan kepentingan Injil Kristus. Ia berbeda dengan pemberita Injil lain yang condong pada kepentingan diri sendiri (bdk. Flp. 1:17; 2:21). Paulus berani melepaskan kebebasan demi orang lain bukan supaya ia disukai semua orang. Di tempat lain ia bahkan mengajarkan bahwa mereka yang berusaha memperkenankan semua orang pada dasarnya justru bukanlah hamba Kristus (Gal. 1:10). Ini adalah tantangan yang cukup pelik bagi seorang hamba Tuhan. Penerimaan yang baik dari jemaat merupakan faktor yang penting dalam pelayanan hamba Tuhan. Bagaimanapun, hamba Tuhan tidak boleh mengorbankan kepentingan Allah demi mempertahankan penerimaan manusia. Teguran kepada jemaat memang berpotensi merusak relasi hamba Tuhan dan jemaat, namun mengabaikan teguran justru akan merusak relasi jemaat dengan Tuhan.

Bagi Paulus, penghambaan ini ia lakukan hanya untuk satu tujuan: memenangkan sebanyak mungkin orang (ay. 19b). Pemilihan kata “memenangkan” (kedraino, kata ini muncul 5 kali di ay. 19-21) di bagian ini merupakan sesuat yang cukup menarik. Di ayat 22b Paulus memilih kata “menyelamatkan” (sozo) yang memang lebih lazim dipakai dalam konteks pemberitaan Injil. Pemakaian kata kedraino berfungsi untuk mengaitkan bagian ini dengan bagian perikop sebelumnya tentang upah pemberita Injil (9:15-18), karena kata ini secara hurufiah biasanya berarti “mendapatkan materi/keuntungan” (Mat. 16:26//Mrk. 8:36//Luk. 9:25; Mat. 25:16-17, 20, 22; Yak. 4:13), walaupun kata ini juga kadangkala dipakai untuk “mendapatkan Kristus” (Flp. 3:8) maupun “memenangkan orang lain pada keselamatan” (Mat. 18:15; 1Pet 3:1). Penggunaan kata kedraino di ayat 19b menyatakan bahwa inilah upah Paulus dalam pemberitaan Injil, yaitu kebebasan dari semua orang dan kebebasan untuk melepaskan kebebasan tersebut demi semua orang.


Aplikasi
Budaya postmodern yang sangat menekankan kebebasan merupakan salah satu tantangan terbesar bagi orang Kristen. Ditambah dengan natur kita yang berdosa dan condong pada egoisme, melepaskan kebebasan demi orang lain benar-benar merupakan tugas yang sangat sulit. Kalau pun kita berhasil melakukan hal ini, motivasi di balik semua itu seringkali tidak tepat. Kita hanya mencari penerimaan dari orang lain.

Kunci dari semua kesulitan di atas adalah posisi Injil dalam kehidupan kita. Jika kita meletakkan Injil di atas segalanya – termasuk kebebasan, kenyamanan, popularitas, penerimaan orang lain, dsb., – maka melepaskan kebebasan tampak menjadi lebih ringan bagi kita. Sebaliknya, jika kebebasan menjadi barang yang paling berharga dalam hidup kita, maka kita akan mengaami kesulitan untuk melepaskan hal tersebut, apalagi demi Injil yang bagi kita tidak terlalu penting. Biarlah kuasa Injil yang membebaskan kita dari dosa benar-benar membebaskan kita juga dari perbudakan kebebasan.

Kebebasan sejati adalah mengesampingkan kebebasan tersebut untuk menghambakan diri bagi orang lain demi kepentingan Injil Kristus. Soli Deo Gloria. #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 25 April 2010
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/SER-1Korintus%209%20ayat%2019-23%20%28Bagian%201%29.pdf