04 October 2007

Matius 4:12-17 : ESSENCE OF CALLING, SUFFERING AND KERYGMA-4

Ringkasan Khotbah : 22 Agustus 2004

The Essence of Calling, Suffering & Kerygma (4)

oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 4: 12-17


Kita telah memahami bahwa konsep panggilan Tuhan berbeda dengan dunia dan merupakan suatu anugerah kalau Tuhan perkenankan kita turut menderita bersama-sama dengan Dia. Namun penderitaan yang kita alami tersebut bukanlah penderitaan yang seperti dunia pikir, yakni menderita yang tidak ada pahalanya. Tidak! Penderitaan yang dari Tuhan tersebut mempunyai kuasa rohani, yakni kuasa yang dapat mengubahkan hidup seseorang dari gelap menuju kepada terang. Alkitab mencatat, sejak waktu itulah Yesus memberitakan: “Bertobatlah sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!“ (ay. 17), hal ini menunjukkan satu hal, yakni “sejak waktu itu“ adalah kairos yang menjadi titik putar yang membedakan antara waktu sebelumnya dan sesudahnya berarti “sejak waktu itu“ ada perubahan signifikan yang terjadi di dalam sejarah pekerjaan Tuhan.
Kalau kita hanya menjalani hidup sekedar rutinitas maka kita akan melewatkan suatu momen-momen yang sifatnya kairos, yakni sejak waktu itu menjadi momen yang sangat penting; ingat, momen itu tidak akan pernah terulang kembali. Sudahkah kita menyadari momen penting dan bersejarah yang terjadi dalam hidup kita? Momen penting apa yang menjadi sejarah di dalam hidup kita? Banyak momen penting dalam hidup kita namun momen terpenting yang menjadi kairos, yakni momen dimana Tuhan memanggil kita untuk bertobat dari gelap menuju kepada terang. Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran (2Tim. 3:16). Puji Tuhan, Dia yang adalah Raja alam semesta masih mengingat kita, manusia berdosa yang seharusnya dibuang ini untuk turut ambil bagian dalam kerajaan-Nya.
Kristus memulai pelayanan-Nya secara aktif di dunia pada saat yang tepat, yakni usia 30 tahun. Menurut tradisi Yahudi, seseorang dianggap dewasa ketika ia berusia 30 tahun. Kini, konsep kedewasaan telah terdegradasi, usia 17 tahun telah dianggap sebagai usia dewasa. Memang secara usia, ia cukup matang namun tidak demikian secara pengalaman. Usia matang ditambah dengan pengalaman yang cukup barulah ia dapat dikatakan dewasa karena hal itu akan membentuk pola berpikir yang menuju pada realita. Karena kalau tidak demikian ia hanya akan menjadi seorang yang idealis, orang hanya tahu konsep bagus tapi tidak demikian ketika konsep itu diterapkan. Hari ini di dunia modern, banyak kita jumpai anak-anak kecil yang sudah dewasa. Anak-anak tersebut dipaksa dewasa sebelum waktunya, anak dipacu sedemikian rupa untuk berprestasi setinggi mungkin. Para orang tua akan sangat bangga kalau pada usia dini anaknya bersekolah pada jenjang tinggi, usia sekolah dasar tapi mereka sudah masuk universitas. Secara ilmu, si anak mampu tetapi di sisi lain, pertumbuhan moralnya tidak sesuai dengan usianya karena lingkungan pergaulannya tidak sesuai dengan usianya.
Kalau kita tidak tahu bagaimana menangkap momen dengan tepat maka itu menjadi penyebab kehancuran. Ingat, sejarah terus berjalan tetapi momen hanya tiba satu kali di sepanjang sejarah perjalanan hidup kita; momen itu tidak akan pernah kembali lagi. Menyadari suatu kejadian sebagai momen yang bersifat kairos, bukanlah hal yang mudah. Kita harus mengkaitkan setiap momen dalam rencana kekekalan Allah karena itu diperlukan kedewasaan rohani sehingga cara pikir kita tidak dikendalikan oleh dunia. Kita harus kembali pada Firman yang menjadi dasar untuk kita menerapkan semua ide pemikiran kita ke dunia masyarakat dengan bijaksana yang dari Tuhan. Hendaklah Firman Tuhan itu menjadi kompas hidup kita dengan demikian kita tidak salah dalam mengambil keputusan. Keputusan yang diambil dari diri sendiri tidaklah sah karena diri bukan penentu kebenaran dan diri bukanlah kebenaran maka keputusan yang ia ambil pastilah hanyalah yang menguntungkan dirinya saja dan itu pasti mengandung unsur nafsu dan segala macam kepentingan pribadi akan mempengaruhi keputusannya. Orang tidak menyadari keputusan yang dikuasai oleh dosa tersebut justru akan menghancurkan diri sendiri. Kembalinya manusia pada Kristus sang kebenaran sejati merupakan momen yang sangat penting, itulah sebabnya berita utama yang Yesus wartakan adalah supaya manusia kembali pada konsep utama, yaitu “Bertobatlah sebab Kerajaan Sorga sudah dekat“. Berita yang sama diteriakkan juga oleh Yohanes Pembaptis sebelumnya yang memulai pelayanan ketika ia berusia 30 tahun. Saat terindah dalam hidup kita adalah pada saat Tuhan memanggil kita untuk bertobat. Bertobat bukan hanya sekedar menyesal tapi berbalik arah dari hidup yang gelap menuju kepada terang dan tidak melakukan hal yang sama lagi. Hidup yang tanpa pertobatan sangatlah hampa, semua yang kita kerjakan hanyalah sia-sia karena semua akan berakhir dengan kehancuran. Satu-satunya cara agar orang keluar dari dosa maka ia harus menyadari bahwa dirinya adalah orang berdosa. Bagaimana dengan kita, apakah kita sudah menyadari momen dimana Tuhan memanggil kita?
“Sejak waktu itu...“ kalau belum pernah kita alami maka itu berarti belum ada perubahan sedikitpun dalam hidup kita. “Sejak waktu itu...“ yaitu sejak Tuhan memanggil seharusnya merubah hidup kita secara esensial. Adalah anugerah kalau Tuhan memanggil kita untuk hidup dalam kebenaran karena tidak semua orang mau kembali pada kebenaran. Manusia telah jatuh ke dalam dosa sehingga mempunyai pola pikir yang rasionalis rasionalis humanis. Bayangkan, seandainya kita menolak panggilan-Nya ketika momen itu datang, maka apa jadinya hidup kita, semua berlalu dengan sia-sia. Bagaimana dengan anda? Apakah momen “sejak waktu itu...“ sudah merubah hidup kita? Inilah teriakan Tuhan Yesus: “Bertobatlah sebab Kerajaan Sorga sudah dekat“. Konsep ini bukan hanya sekedar teori tetapi menjadi titik yang dapat merubah hidup kita, yaitu hidup kekal bersama Tuhan.


I. Waktu yang Tanpa Syarat
Orang pasti menginginkan semua hal yang baik dan indah dalam hidupnya terjadi “sejak waktu itu“, yaitu sejak kita menetapkan momen. Setiap orang pasti menginginkan momen pertobatannya menjadi momen yang terindah dalam hidupnya namun Alkitab menegaskan momen indah belum tentu kita dapati. Kita mungkin bisa mengalami momen surgawi tetapi kemungkinan juga tidak. Momen surgawi yang indah itu mungkin Tuhan perkenankan untuk kita lewati tetapi mungkin juga tidak. Pengalaman yang dialami Tuhan Yesus justru berbeda. Pengalaman pertama Kristus melayani, “sejak waktu itu“ adalah sejak yang tidak kondisional, semua yang diharapkan paling indah tidak terjadi. Kristus harus memulai melayani di sebuah desa kecil, sebuah tempat yang jauh dari Yerusalem, tempat yang nantinya menjadi pusat pemberitaan-Nya.
Hendaklah kita mencontoh teladan Kristus yang senantiasa bersiap sedia memberitakan Firman baik atau tidak baik waktunya. Pelayanan pekerjaan Tuhan tidak tergantung situasi dan kondisi baik atau tidak baik karena Tuhan mungkin justru mau memakai kita di dalam situasi yang paling sulit. Kristus taat mutlak pada Bapa itulah sebabnya dalam kondisi yang secara logika manusia tidak mungkin, unconditional, Dia tetap melayani; dalam hal ini tidak ada syarat, batasan maupun pertimbangan duniawi apapun. Di dunia yang kacau balau khususnya di Indonesia inilah waktunya bagi kita untuk memberitakan kebenaran bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya Juruselamat pada dunia.
Pimpinan Tuhan terkadang sulit untuk kita mengerti namun ketika kita taat mutlak pada-Nya maka kita akan merasakan pimpinan Tuhan sangatlah indah. Rancangan Tuhan sangat jauh berbeda dengan rancangan manusia; kita mungkin merasa rencana Tuhan tidak sesuai dengan logika namun percayalah rancangan-Nya adalah yang terindah. Kapankah terakhir anda mengerjakan pekerjaan Tuhan? Apakah kita mengerjakan pekerjaan Tuhan hanya ketika situasi dan kondisi baik? Ingat, panggilan Tuhan dalam hidup kita adalah kairos, bukan tergantung baik atau tidak baik waktunya dan ketika Tuhan memanggil kita untuk melayani sangatlah mungkin kalau Tuhan memanggil kita menderita.


II. Kuasa Rohani
Panggilan Tuhan tidak meniadakan penderitaan dan kesulitan kita. Hanya satu pertanyaan apakah kita mau taat panggilan-Nya dan dipakai menjadi alat di tangan-Nya? Merupakan suatu anugerah besar bagi kita kalau Tuhan, Raja semesta alam memakai kita menjadi alat-Nya untuk mengerjakan pekerjaan-Nya yang besar. Karena itu jangan biarkan hidupmu dikendalikan oleh manusia. Jangan samakan kesulitan dan penderitaan yang kita alami karena nama-Nya itu sebagai suatu kecelakaan. Ketika Tuhan memperkenankan kita mengalami penderitaan apakah itu berarti kecelakaan bagi kita? Tidak! Sejauh penderitaan itu adalah di dalam panggilan dan perkenan Allah maka Allah turut bertanggung jawab di dalamnya. Tuhan berjanji kesulitan yang kita alami tidak akan melebihi kekuatan kita karena Tuhan pasti menjagai kita. Tuhan mengijinkan iblis untuk mencobai Ayub namun Tuhan memberikan batasan, yaitu tidak boleh mengambil nyawanya. Tuhan tahu sampai dimana kekuatan setiap anak-anak-Nya untuk dapat menanggung semua penderitaan. Hari ini banyak orang yang beranggapan salah, yaitu seseorang yang dapat dan berhasil melewati penderitaan berarti ia mempunyai iman yang besar. Salah! Justru kalau Tuhan memperkenankan kita mengalami penderitaan yang lebih besar buat Tuhan dan kita dapat bertahan seperti Ayub, hal itu membuktikan bahwa kita mempunyai iman yang besar.
Kesaksian mereka yang mampu bertahan sampai akhir dalam penderitaan dan tidak bergoyah imannya inilah yang dapat menguatkan dan membangun iman orang lain. Bukan kesaksian sebaliknya, anak Tuhan pasti hidup lancar dan sukses; kesaksian seperti ini justru tidak membangun iman karena secara tidak langsung ia mengatakan bahwa orang yang mengalami penderitaan apakah itu berarti ia tidak mempunyai iman? Kristus harus menderita ketika Ia dipanggil untuk melakukan tugas yang diberikan oleh Bapa-Nya begitu juga dengan Paulus dan murid-murid lain di sepanjang sejarah jaman. Orang seperti inilah yang berhak memberikan kesaksian. Tuhan tidak janjikan hidup kita akan senang dan lancar ketika Ia memanggil kita namun Tuhan janjikan hidup kuat, ujian dan bahaya disertai-Nya. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu; dan pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan keluar, sehingga kamu dapat menanggungnya (1Kor. 10:13).
Penderitaan bukanlah akhir dari segala sesuatu; penderitaan justru akan membuat kita mempunyai kuasa kerygma yang besar. Mereka yang dapat melewati penderitaan itulah yang justru Tuhan pakai untuk memberitakan kuasa Firman dan dapat menyadarkan orang akan dosa untuk kembali bertobat. Dunia sangat membenci orang demikian itulah sebabnya kedatangan John Sung ke Cina untuk mengabarkan Injil dianggap sebagai pengacau oleh pemerintah setempat dan yang membuat para prajurit terheran-heran adalah sikap yang ditunjukkan oleh orang-orang yang bertobat; mereka mengaku diri bahwa mereka orang berdosa dan hal ini mereka lakukan dengan tanpa paksaan. Kalau bukan kuasa dari Tuhan maka kuasa dari manakah yang bisa membuat orang bertobat? Banyak penderitaan yang harus dialami oleh John Sung dalam memberitakan Injil namun hal itu tidak membuatnya mundur dan kehilangan kuasa rohani.


III. Tugas Progresif
Cara Tuhan memanggil berbeda dengan dunia. Dunia selalu menggunakan uang untuk mendapatkan kuasa, kedudukan dan lain-lain dan semuanya itu justru akan membawa orang menuju pada kehancuran. Murid-murid Tuhan Yesus pun bukan orang kaya atau orang yang mempunyai kedudukan, mereka hanyalah seorang nelayan namun Tuhan pakai mereka dengan luar biasa. Esensi panggilan Tuhan dan penderitaan yang Kristus alami justru membuat berita Kristus mempunyai kuasa rohani: “Bertobatlah sebab Kerajaan Surga sudah dekat“. Biarlah setiap kita mempunyai kerinduan untuk mau diubahkan oleh Kristus dengan demikian kita mempunyai kuasa rohani dan dipakai Tuhan menjadi alat di tangan-Nya. Adalah tugas setiap anak Tuhan untuk mengabarkan Injil sehingga orang kembali disadarkan akan dosa dan kembali pada kebenaran.
Hendaklah setiap kita mempunyai kerinduan untuk dipakai Tuhan, bukan hanya sekedar mengerti doktrin yang benar meski ajaran yang benar juga penting namun apa artinya semua doktrin kalau kita tidak mengabarkan Injil. Kita hanya akan menjadi orang-orang Kristen yang tidak seimbang, kepala besar tetapi kaki dan lengan tidak berkembang karena tidak pernah kita gunakan. Biarlah pengalaman iman kita berjalan bersama Kristus dapat dirasakan oleh orang lain juga maka Tuhan akan memakai kita lebih heran lagi. Ingat, hidup di dunia hanya sementara oleh sebab itu jangan cari kesuksesan di dunia tetapi carilah kesuksesan di surga. Suatu sukacita besar kalau Tuhan berkenan memuji kita kelak di surga. Penderitaan karena menggenapkan Kerajaan-Nya di muka bumi tidak akan sia-sia karena Tuhan pasti akan memberikan mahkota. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)

Sumber :

Roma 3:13-14 : BERDOSA TERHADAP ALLAH-2

Seri Eksposisi Surat Roma :
Kasih dan Keadilan Allah-4


Berdosa Terhadap Allah-2

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 3:13-14.

Setelah Paulus memaparkan tentang dosa pikiran di ayat 10 s/d 12, maka kedua ayat selanjutnya, ia memaparkan tentang dosa perkataan yang tidak kalah parahnya dengan dosa pikiran.

Pada ayat 13a, Paulus memaparkan, “Kerongkongan mereka seperti kubur yang ternganga,” (bandingkan Mazmur 5:10b) Kata “kerongkongan” diidentikkan dengan tenggorokan (KJV, ISV dan ESV : throat) dan kata “ternganga” diidentikkan dengan terbuka (KJV, ISV dan ESV : open). Sifat dosa perkataan pertama adalah perkataan itu busuk. Kubur adalah tempat dimakamkannya orang meninggal dan jika kubur itu terbuka berarti mayat orang yang sudah meninggal akan keluar bau busuk yang akan dihirup oleh orang lain. Jadi, perkataan manusia berdosa/fasik itu busuk jika keluar/dicium oleh orang lain, mengapa bisa demikian ? Perkataan manusia keluar dari hati manusia, seperti yang Tuhan Yesus ajarkan, “apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang.” (Matius 15:18) Perbendaharaan kata yang busuk dari orang fasik menurut Tuhan Yesus keluar dari hati orang fasik yang busuk juga dan itulah yang menajiskan. Di sini, Tuhan Yesus ingin membongkar paradigma orang Farisi yang terikat dengan tradisi yang mengatakan bahwa makan binatang tertentu adalah najis, dll, padahal yang najis bukanlah apa yang dimasukkan ke dalam mulut, tetapi yang keluar dari mulut. Yang keluar dari mulut itulah perkataan-perkataan kotor, menghina, mencemooh, dll. Bagaimana dengan kita ? Kita sebagai orang Kristen, masihkah kita berkata kotor atau mengumpat ketika dalam situasi tertentu (misalnya, kaget, dll) ? Hendaklah kita introspeksi diri, kalau kita masih berkata kotor/busuk, itu membuktikan isi hati kita belum sepenuhnya murni di hadapan Allah. Berusahalah memurnikan hati kita di hadapan Allah, sehingga kita dapat menghasilkan perkataan yang memuliakan Allah.

Selanjutnya, Paulus menjelaskan di ayat 13b, “lidah mereka merayu-rayu,” (bandingkan dengan Mazmur 5:10c) Sifat dosa perkataan kedua adalah menipu. King James Version menerjemahkan ayat ini, “with their tongues they have used deceit;” (=“dengan lidah mereka, mereka menyatakan tipuan;”) English Standard Version menerjemahkan, “they use their tongues to deceive.” (= “mereka menggunakan lidah mereka untuk menipu.”). Terjemahan ESV lebih tepat menunjukkan bahwa orang fasik menggunakan lidah mereka (atas dorongan sendiri) untuk menipu orang. Dengan kata lain, orang fasik selalu berdusta/membohongi orang lain. Tuhan Yesus menegur keras kemunafikan orang-orang Farisi dan para ahli Taurat yang menipu orang lain dengan ibadah yang ditonjol-tonjolkan. Mereka beribadah supaya dilihat orang lain sambil menipu diri agar mereka kelihatan “rohani”. Bagi Tuhan Yesus, itu sampah adanya. Di Indonesia, hal ini ditiru persis oleh agama mayoritas di Indonesia yang selalu membuat orang lain berisik dengan suara gaduh dari “ibadah” mereka. Mereka mengklaim diri “melengkapi” agama-agama Semitik, menipu orang lain agar kembali kepada agama mereka, tetapi sejujurnya seperti yang Tuhan Yesus anggap, mereka itu sampah adanya. Bagaimana dengan kita sebagai orang Kristen ? Apakah kita juga berkata yang menipu? Banyak orang “Kristen” di abad postmodern juga menipu orang lain dengan “jubah agama” mereka entah itu mereka sebagai majelis, pendeta, dll, mereka selalu menganggap diri lebih rohani dari orang lain, karena mereka bisa berkarunia tertentu, dll. Banyak “pemimpin gereja” menipu jemaat dengan perkataan yang seolah-olah kelihatan “Alkitabiah” padahal mendorong jemaat untuk memperkaya diri sang “pemimpin gereja” ini melalui persembahan persepuluhan. Selain itu, orang-orang “Kristen” sendiri dengan mudahnya mau ditipu oleh arus filsafat dunia yang menipu, seperti dualisme, materialisme, dll ditambah aksi Multi Level Marketing (MLM), dll yang menipu untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. “Tipuan” itulah yang gemar dikerjakan setan (Yohanes 8:44) dan kroni-kroninya (Ayub 15:35 ; Amsal 10:32 ; 12:20), tetapi herannya malah disukai oleh manusia gila termasuk banyak orang “Kristen” di dalamnya. Perjanjian Lama jelas mengajar hal ini. Di dalam Yeremia 14:14, Allah bersabda, “Jawab TUHAN kepadaku: "Para nabi itu bernubuat palsu demi nama-Ku! Aku tidak mengutus mereka, tidak memerintahkan mereka dan tidak berfirman kepada mereka. Mereka menubuatkan kepadamu penglihatan bohong, ramalan kosong dan tipu rekaan hatinya sendiri.” Konteks ayat ini sedang berbicara mengenai hukuman Allah bagi bangsa Israel yaitu datangnya musim kering, tetapi para nabi palsu datang mengajarkan “theologia” kemakmuran dan ajaran inilah yang disebut oleh Allah sendiri sebagai tipuan. Sebagai hukumannya, para nabi harus menanggung hukuman dari Allah (baca Yeremia 14:15). Selanjutnya, di dalam 1 Korintus 6:10, Paulus menyatakan bahwa manusia yang bertindak jahat, salah satunya penipu tidak mungkin masuk ke dalam Kerajaan Allah. Oleh karena itu, marilah kita sebagai orang Kristen sejati meninggalkan segala tipuan dan kembali kepada Allah sebagai Sumber Kebenaran, seperti yang diajarkan di dalam Amsal 8:13, “Takut akan TUHAN ialah membenci kejahatan; aku benci kepada kesombongan, kecongkakan, tingkah laku yang jahat, dan mulut penuh tipu muslihat.” Beranikah kita berkata tegas seperti yang Salomo ajarkan ini ?

Di ayat 13c, Paulus melanjutkan, “bibir mereka mengandung bisa.” Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menambahkan kata “menyemburkan fitnah” pada ayat ini. Jadi, sifat dosa perkataan ketiga adalah kata yang memfitnah. Ada orang berkata “memfitnah lebih kejam dari membunuh”. Ini benar, karena memfitnah itu dilakukan secara diam-diam, menusuk dari belakang, meskipun kelihatan dari luar orang yang memfitnah itu manis perkataannya. Pada taraf yang mengerikan, memfitnah bisa berakibat orang yang difitnah bisa marah dan akhirnya membunuh orang yang memfitnah. Fitnahan bisa menimbulkan pertengkaran dan perselisihan yang keji dan tidak jarang mengakibatkan pembunuhan. Apakah kita sebagai orang Kristen juga ikut-ikutan memfitnah orang lain ? Saya sering mendengar banyak “pemimpin gereja” khususnya dari gereja-gereja kontemporer yang pop sering memfitnah banyak gereja Protestan sebagai gereja yang tidak ada “roh kudus”, dll. Fitnahan ini didasarkan pada tidak adanya bahasa lidah seperti yang mereka ajarkan di dalam gereja mereka. Apakah fitnahan mereka benar ? TIDAK. Fitnahan itu sangat tidak bertanggungjawab. Fitnahan tersebut sama seperti menghujam saudara seiman dari belakang. Fitnahan tersebut tak mungkin menghasilkan perdamaian, apalagi pertobatan. Fitnahan ini terjadi karena adanya unsur iri hati atau pemaksaan kehendak yang menggunakan “Alkitab” sebagai “dasar”nya, padahal Alkitab tersebut sudah dimanipulasi supaya cocok dengan dirinya sendiri. Maka dari itu, sudah seharusnya orang Kristen tidak lagi gemar memfitnah, tetapi saling mengasihi dengan kasih yang bertanggungjawab yang tidak meniadakan konsep keadilan dan kebenaran ! Alkitab mengajarkan, “Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan.” (Efesus 4:31) dan “Karena kamu telah dilahirkan kembali bukan dari benih yang fana, tetapi dari benih yang tidak fana, oleh firman Allah, yang hidup dan yang kekal…Karena itu buanglah segala kejahatan, segala tipu muslihat dan segala macam kemunafikan, kedengkian dan fitnah.” (1 Petrus 1:23 ; 2:1)

Pada ayat 14, Paulus mengungkapkan, “Mulut mereka penuh dengan sumpah serapah,” (bandingkan dengan Mazmur 10:7a) Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menambahkan arti, “penuh dengan kutuk dan kecaman,” King James Version (KJV) hampir sama menerjemahkan, “full of cursing and bitterness:” (penuh dengan kutukan dan kepahitan). Inilah sifat dosa perkataan keempat, yaitu perkataan yang mengutuk. Bangsa Israel adalah bangsa yang gemar mengutuk orang lain sebagai orang “kafir” karena tidak mengenal Taurat. Kegemaran ini ditiru oleh orang-orang yang beragama mayoritas di Indonesia. Perkataan mengutuk timbul bukan dari sifat kasih, tetapi sifat mendendam. Perkataan yang mengutuk seringkali menjatuhkan orang lain sehingga mereka makin lama semakin rendah diri dan akhirnya mungkin bisa bunuh diri atau mungkin orang yang dikutuk akan balas mengutuk. Yang pasti adalah hasil dari perkataan yang mengutuk itu tidak baik. Raja Daud berkata di dalam Mazmur 109:17 bahwa orang fasik “cinta kepada kutuk--biarlah itu datang kepadanya; ia tidak suka kepada berkat--biarlah itu menjauh dari padanya.” Berarti, perkataan yang mengutuk adalah kegemaran orang fasik, dan bukan bagi orang percaya. Bagaimana dengan kita sebagai orang Kristen ? Apakah kita sering mengutuki orang lain sebagai orang “kafir” ? Kalau kita melakukan hal ini, kita tidak jauh berbeda dengan para ahli Taurat dan orang Farisi. Kutukan dan kecaman tidak membuahkan hasil, tetapi sebagai orang Kristen yang telah dibebaskan dari kutuk dosa, marilah kita mengasihi orang lain bukan membenci mereka, tetapi kutuklah dosa yang mereka perbuat (jangan dibalik). Semua dosa harus dikutuk, tetapi kita harus mengasihi orang yang berbuat dosa agar mereka kembali kepada Kristus.

Marilah kita yang telah ditebus oleh Kristus meninggalkan 4 dosa perkataan yang bersama-sama kita telah renungkan di atas dan kembali kepada Kristus Sang Firman (Word), sehingga apa yang kita katakan sesuai dengan kehendak-Nya. Soli Deo Gloria.

Resensi Buku-24 : KETETAPAN HATI & NASIHAT BAGI PETOBAT MUDA (Rev. Jonathan Edwards, A.M.)

...Dapatkan segera...
Buku
KETETAPAN HATI DAN NASIHAT BAGI PETOBAT MUDA

oleh : Rev. Jonathan Edwards, A.M.

Pengantar dan Penyunting : Prof. Stephen J. Nichols, Ph.D.

Penerbit : Momentum Christian Literature (Fine Book Selection), 2005

Penerjemah : The Boen Giok.





Sementara menyelesaikan persiapannya untuk menjadi hamba Tuhan, Jonathan Edwards menuliskan tujuh puluh butir ketetapan hati yang kemudian menjadi pegangan seumur hidupnya. Kurang lebih dua puluh tahun kemudian, dia menulis sepucuk surat kepada Deborah Hatheway, seorang petobat baru di kota tetangga, berisi nasihat mengenai kehidupan Kristen.

Buku ini menggabungkan dua tulisan Edwards tersebut yang telah sering dicetak ulang. Dengan banyak nasihat praktis yang berdasarkan konsep-konsep Alkitabiah yang sangat relevan untuk zaman ini, tulisan-tulisan Edwards bahkan melampaui kebanyakan buku Kristen praktis populer yang marak beredar sekarang. Setiap orang Kristen yang rindu untuk menjalankan hidup yang penuh ketaatan kepada Allah akan mendapatkan banyak pertolongan dari tokoh kebangunan rohani ini.







Profil Rev. Jonathan Edwards :
Rev. Jonathan Edwards, A.M. lahir pada tanggal 5 Oktober 1701 di East Windsor, CT. Pada tahun 1716-1720, pada ulang tahunnya ke-13, beliau merupakan mahasiswa yang tanpa gelar (undergraduate) di Yale College. Beliau studi theologia pada tahun 1720 dan pada tahun 1722 meraih gelar Master of Arts (M.A.) dari Yale dengan tesis berjudul “Of Being”. Pada tahun 1722-1723, beliau melayani sebagai pendeta di sebuah gereja Presbyterian di New York. Pada waktu inilah, Edwards memulai “Diary”, “Resolutions”, "Miscellanies"nya, dan menulis "The Mind". Di bulan Juli pada tahun 1727, beliau menikah dengan Sarah Pierpont. Pada bulan Februari 1729, beliau menjadi Pendeta penuh di First Church of Northampton setelah kematian Solomon Stoddard. Pada tahun 1734, beliau memulai kebangunan rohani di Northampton, mulai dengan rangkaian khotbah “Justification by Faith” (Dibenarkan Melalui Iman). Pada tahun 1737, beliau menerbitkan buku, “
A Faithful Narrative of the Surprising Work of God. Kebangunan besar pertama (The Great Awakening) terjadi pada tahun 1740-1741, di mana untuk pertama kalinya George Whitefield mengunjungi New England pada tahun 1740. Pada waktu itu, Edwards mengkhotbahkan, "Sinners in the Hands of an Angry God di Enfield, CT pada tahun 1741. Pada tahun 1746, beliau menulis, "A Treatise Concerning Religious Affections". Tulisan-tulisan beliau : "Freedom of the Will, “Concerning the End for Which God Created the World”, “The Nature of True Virtue”, dan “Original Sin”. Pada tahun 1758, Edwards menerima jabatan Presiden dari the College of New Jersey (Princeton) pada bulan Januari, dan meninggal akibat suntikan penyakit cacar yang menular pada tanggal 22 Maret pada tahun itu.