19 December 2013
EGOIS (Denny Teguh Sutandio)
EGOIS
oleh: Denny Teguh Sutandio
Sebagai manusia yang telah jatuh ke dalam
dosa, tak bisa dipungkiri, kita pasti egois yang berarti mementingkan diri
sendiri. Orang egois selalu didahului oleh “iman” dan pemikiran bahwa saya
adalah pusat/sumber segala sesuatu dan semua orang termasuk Allah pun harus
taat padanya. Paulus mengajar bahwa salah satu ciri manusia akhir zaman adalah
mencintai diri sendiri (2Tim. 3:2). Ada begitu banyak ragam dalam keegoisan
itu, baik eksplisit maupun implisit. Keegoisan eksplisit ditandai dengan
menuntut orang lain memenuhi kepentingan dirinya dan keegoisan implisit
ditandai dengan berpura-pura melawan keegoisan, tetapi mereka sendiri di dalam
praktiknya sama egoisnya bahkan mungkin lebih egois dari orang-orang egois yang
mereka lawan. Contoh, hampir semua orang ketika ditanya, maukah mereka bekerja
sama atau berhubungan dengan orang lain yang egois, mereka biasanya menjawab,
“TIDAK.” Jawaban mereka ini sesungguhnya menunjukkan keegoisan mereka, karena
sejujurnya mereka mengharapkan orang lain tidak egois, tetapi herannya, tanpa
mereka sadari, kebanyakan mereka sendiri egois bahkan mungkin lebih egois di
dalam kerja sama atau hubungan dengan orang lain.
Dengan kata lain, kita dapat menyimpulkan,
setiap manusia yang sudah berdosa pasti egois. Justru jika ada satu orang yang
menganggap diri tidak egois sama sekali, di saat yang sama itu membuktikan ia
adalah orang yang egois, mengapa? Karena jika ada satu orang yang menganggap
diri tidak egois, ia sudah menganggap diri sebagai “Tuhan” yang sempurna. Lalu,
bagaimana solusi terhadap egois?
Manusia mencoba berbagai sarana untuk
“menyembuhkan” penyakit keegoisan misalnya dengan menahan diri dari berbagai
cobaan hidup, berpikir benar, bertindak benar, dll. Namun bagaimana hasilnya?
Bisakah dengan berbagai sarana itu, manusia bisa benar-benar tidak egois?
Justru faktanya beberapa orang makin berusaha “menyembuhkan” keegoisan malah
menjadi egois, lalu memaksa orang lain yang tidak seiman dengannya untuk
menghormatinya. Ironis.
Lalu, bagaimana dong? GalauJ Puji Tuhan, di
dalam anugerah dan kasih-Nya yang agung, Allah mengutus Tuhan Yesus, Putra-Nya
yang Tunggal untuk menebus dosa manusia termasuk keegoisan dengan cara rela
mati disalib menggantikan dosa umat pilihan-Nya untuk menebus dosa mereka,
sehingga mereka yang seharusnya mati akibat dosa mereka (termasuk keegoisan)
dan menerima penghukuman tidak jadi dihukum karena Kristus telah menebus mereka
(Rm. 8:1). Selain itu, teladan hidup Kristus yang rela mengorbankan
segala-galanya demi taat pada kehendak Bapa dan mengasihi umat-Nya
menginspirasi banyak orang baik orang Kristen maupun non-Kristen. Sejak Kristus
lahir, Ia tidak egois, tidak menuntut lahir di istana raja, tetapi Ia lahir di
kandang binatang di Betlehem (Luk. 2:1-7), padahal Ia adalah Allah Putra yang
juga Pemilik dan Pencipta alam semesta ini. Ia pun tidak memilih lahir di dalam
keluarga kerajaan, tetapi rela bekerja dengan Yusuf, ayahnya di dunia sebagai
tukang kayu. Di dalam masa remaja-Nya, Ia belajar Taurat dan menjadi murid
Taurat, tanpa ingin dikhususkan. Di dalam pelayanan-Nya, Ia berulang kali
mengajar para murid-Nya tentang pentingnya melayani dan bukan menjadi tuan.
Bahkan Ia mengajar, “Dan barangsiapa
meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan
ditinggikan.” (Mat. 23:12; Luk. 14:11) Tatkala Ia mati disalib, Ia tidak
meminta pengkhususan pada saat perjalanan menuju salib. Di dalam perjalanan
menuju Golgota itu, Ia dilihat dan diejek oleh banyak orang sama seperti
orang-orang lain yang akan disalib (Luk. 23:27, 35-36). Bahkan sebelum itu, Ia
telah menerima pecutan yang sangat mengerikan dari beberapa tentara Romawi. Di
dalam segala sesuatu, Kristus telah menyerahkan diri-Nya bagi umat-Nya (Tit.
3:13-14).
Dengan dasar ajaran dan teladan hidup
Kristus inilah, para murid Kristus di zaman dahulu hingga orang-orang Kristen
belajar pentingnya tidak egois. Di dalam Alkitab, para rasul Kristus mengajar
pentingnya tidak egois. Paulus mengajar salah satu ciri kasih adalah “tidak mencari keuntungan diri sendiri.”
(1Kor. 13:5) New English Translation (NET) dengan jelas menerjemahkannya, “It is
not
self-serving” (“Ia tidak melayani diri sendiri”). Bahkan Paulus
mengatakan bahwa ia dan Timotius memberitakan Injil yang murni dengan motivasi
murni dan bukan untuk mencari keuntungan pribadi (2Kor. 2:17). Menariknya dalam
ayat ini, teks Yunani dari menggunakan kata καπηλεύοντες (kapēleuontes) yang berasal dari kata καπηλεύω (kapēleuō) yang berarti “menjajakan” atau “memperdagangkan”. Dengan kata lain, Paulus
mengajar pentingnya hidup tidak mementingkan diri sendiri dan tidak mengeruk
keuntungan demi diri sendiri dengan cara memperdagangkan atau menjual murah
Injil. Banyak pengkhotbah Kristen sekarang yang menjual murah Injil sebenarnya
sedang egois “rohani” karena mereka sedang memutar balik Injil demi mengeruk
keuntungan pribadi.
Lalu, bagaimana cara kita mengikis keegoisan kita? Perlu diperhatikan,
keegoisan tak mungkin bisa dilenyapkan oleh manusia tatkala ia hidup di dunia,
karena bibit dosa ini sudah melekat di dalam diri manusia dan hanya bisa
dilenyapkan tatkala umat pilihan-Nya disempurnakan oleh-Nya di Sorga. Meskipun
tidak bisa dilenyapkan, tentu saja keegoisan bisa dikikis secara perlahan melalui
proses pengudusan Roh Kudus. Roh Kudus akan memimpin kita melalui berbagai
cara, yaitu:
Pertama, kasih. Di dalam 1 Korintus 13:5, Paulus
menyebutkan salah satu ciri kasih yaitu tidak mencari keuntungan diri sendiri.
Dengan kata lain, ketika kita ingin mengikis keegoisan kita, maka kita perlu
memiliki kasih. Jika kita memperhatikan ciri-ciri kasih yang Paulus paparkan di
1 Korintus 13:1-7, kita akan melihat bahwa kasih itu dasar segala sesuatu dan
sama sekali tidak ada keegoisan di dalamnya, karena di dalam kasih, selalu ada
pengorbanan. Yang lebih menarik lagi, kasih diajarkan Paulus di 1 Korintus 13
sebagai pasal pengantara antara pasal 12 dan 14 yang membahas karunia-karunia
Roh Kudus. Paulus sadar bahwa berbagai macam karunia Roh dapat membuat umat
Allah bertengkar satu sama lain (egois “rohani”) karena mementingkan karunia
tertentu dan mengabaikan karunia lain. Oleh karena itu, karunia Roh Kudus harus
diimbangi oleh hal yang lebih penting lagi yaitu kasih (1Kor. 12:31). Umat-Nya
dapat mengasihi sesama manusia karena umat-Nya belajar dari Allah yang adalah
Pribadi Kasih itu sendiri (1Yoh. 4:16b) dan dari Allah Anak yaitu Tuhan Yesus
yang mengasihi umat-Nya dengan menebus mereka dari dosa.
Kedua, saling memberi hormat. Di dalam suratnya kepada
jemaat di Roma, Paulus menasihati jemaat Roma dan kita, “Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului
dalam memberi hormat.” (Rm. 12:10) Wujud dari kasih yang Paulus jelaskan
adalah saling mendahului dalam menghormati orang lain. Artinya, kita harus
terlebih dahulu menghormati orang lain. Hal ini tentu saja tidak berarti kita
cepat-cepatan dalam memberi hormat, lalu kita menganggap bahwa jika kita kalah
cepat menghormati orang lain, maka kita tidak mengasihi orang itu. Fokusnya
bukan pada frekuensi kecepatannya, tetapi pada sikap “memberi hormat”. Mengapa?
Karena kata Yunani untuk “mendahului” dalam teks Yunaninya προηγούμενοι (proēgoumenoi) yang berasal dari kata προηγέομαι (proēgeomai) bisa
berarti “mendahului” atau “menganggap lebih baik.” Exegetical Dictionary of the New Testament mengaitkan kata ini
dengan Filipi 2:3.[1] Ketika kita menghormati orang
lain, kita sedang menganggap orang yang kita hormati itu lebih penting dari
kita. Tatkala kita menganggap orang lain lebih penting dari kita, di saat itu
pula, kita menyadari bahwa kita bukanlah orang terpenting di dunia ini dan saat
itulah, kita dapat perlahan mengikis keegoisan kita.
Ketiga, menganggap orang lain lebih baik dari kita. Menghormati
orang lain berkaitan dengan menganggap orang lain lebih baik dari kita. Paulus
mengajar di Filipi 2:3 bahwa cara kita menghormati orang lain adalah “dengan rendah hati yang seorang menganggap
yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri;” Kata “lebih utama” dalam
teks Yunaninya ὑπερέχοντας (hyperechontas) yang berasal dari kata ὑπερέχω (hyperechō) yang dalam konteks ini
berarti “lebih baik” atau “melebihi”. Ini berarti dengan rendah hati, kita
menganggap orang lain lebih baik dari kita. Dengan menganggap orang lain lebih
baik dari kita, kita sedang berpikir bahwa kita bukan satu-satunya orang baik
atau hebat di dunia ini. Dengan berpikir seperti inilah, kita diajar untuk
perlahan mengikis keegoisan kita.
Kita menganggap orang lain lebih baik dari kita
dengan cara memuji dia. Di tengah zaman yang mengagungkan kehebatan diri,
budaya memuji orang lain adalah budaya yang langka. Beberapa orang minta dipuji
oleh orang lain sebagai orang tampan atau cantik, tetapi mereka jarang sekali
memuji orang lain. Ini adalah salah satu contoh praktis budaya egois di zaman
ini. Kalaupun ada orang yang memuji orang lain, biasanya mereka memuji hanya
untuk basa-basi (lip service) dan
tentunya ada tujuan di baliknya yaitu merayu orang yang dipuji; pujian ini
bukan keluar dari hati yang tulus. Nah, ketika kita belajar memuji orang lain,
kita sadar bahwa ada orang lain lebih baik, pandai, tampan atau cantik,
berbakat, dll dari kita dan di saat itu, kita belajar untuk tidak mengukur
segala sesuatu dari perspektif kita sendiri. Mulai sekarang berhentilah untuk
terus-menerus mengkritik orang lain bahkan untuk hal-hal remeh (meskipun tentu
saja mengkritik tidaklah salah), lalu belajarlah memuji orang lain dengan tulus
sambil mengintrospeksi diri kita melalui pujian itu.
Keempat, simpati. Cara terakhir yang Paulus ajarkan untuk
mengikis keegoisan kita adalah dengan mengajar jemaat Korintus tentang
pentingnya kesatuan dalam satu tubuh Kristus (1Kor. 12:12-30). Di dalam
kesatuan tubuh Kristus, kita diingatkan Paulus bahwa masing-masing anggota
tubuh Kristus saling membutuhkan di mana kaki membutuhkan tangan, dll (ay.
14-26) dan berakhir dengan kesimpulan bahwa adanya rasa simpati bersama di
dalam satu tubuh Kristus di mana jika ada satu anggota yang menderita, semua
ikut menderita (ay. 26). Hal ini merupakan pengajaran penting Paulus kepada
jemaat di Korintus yang mengalami problematika perpecahan dalam jemaat (1Kor.
1:10-17) dan kita semua tahu bahwa perpecahan di dalam jemaat diakibatkan oleh
adanya keegoisan antar jemaat yang mengagungkan pemimpin tertentu dan
mengabaikan pemimpin lain (problematika jemaat Korintus—baca 1Kor. 1:12) atau
masing-masing jemaat yang ingin pendapatnya didengarkan oleh majelis atau pendeta
setempat. Problematika jemaat Korintus juga merupakan problematika orang
Kristen zaman sekarang. Banyak jemaat masa bodoh dengan jemaat lain, bahkan ada
yang egois, lalu memaksakan pendapatnya untuk menjadi standar kebenaran bagi
gerejanya atau gembala sidang gereja yang berlagak seperti bos di perusahaan
yang memerintah para pengerja gereja lain untuk mematuhi perintahnya. Semua
bentuk keegoisan baik yang berkedok “rohani” sekalipun telah menjadi “penyakit”
orang Kristen di zaman sekarang. Solusi terakhir yang Paulus ajarkan untuk
mengikis “penyakit” ini adalah dengan berusaha menunjukkan rasa kebersamaan dan
simpati antar jemaat. Jemaat yang sakit hendaknya didoakan oleh jemaat-jemaat
lain, begitu pula jika ada jemaat yang bersukacita seharusnya menjadi sukacita
bagi jemaat-jemaat lain.
Terus terang, hal ini tidaklah mudah. Jangankan dengan orang-orang Kristen
di luar gereja kita, kita saja jarang bersosialisasi dengan orang-orang Kristen
di dalam gereja kita. Tetapi meskipun sulit, kita bisa memulainya dari
sekarang. Tunjukkan rasa simpati kepada sesama jemaat lain dan tentunya dengan
sesama orang Kristen yang berbeda gereja dari kita. Jika kita mengenal sesama
Kristen kita sedang mengalami kesusahan entah itu saudara atau keluarganya
meninggal, belajarlah peka dan simpati kepadanya. Caranya adalah dengan tidak
memberikan kata-kata mutiara “rohani” klise seperti “Tuhan punya rencana”, dll,
tetapi cukup menunjukkan simpati kepadanya dan memberikan kata-kata penguatan
seperlunya, seperti “Saya tidak bisa memahami sepenuhnya permasalahanmu, tetapi
Allah sangat mengertinya karena Ia pernah mengalami ditinggalkan oleh Anak-Nya
yang Terkasih demi menebus dosa manusia.” (mengutip perkataan Pdt. Yakub Tri
Handoko, Th.M.) Saya pribadi berusaha menghindari mengatakan kata-kata rohani
klise, tetapi menunjukkan rasa simpati kepada orang Kristen yang sedang
mengalami kesusahan dengan cara mendengarkan keluh kesah, memandang, dan
berkata kepadanya bahwa saya tidak banyak bicara dan hati saya ikut bersedih.
Dengan berusaha simpati kepada sesama saudara seiman, kita belajar untuk
memahami permasalahan orang lain dari perspektif orang lain, bukan dari
perspektif kita sendiri dan di saat itulah, kita berusaha mengikis keegoisan
kita.
Bagaimana dengan kita? Beranikah kita berkomitmen untuk mengikis keegoisan
kita dan hidup bagi Allah? Tentu tidak mudah, tetapi melalui dorongan Roh
Kudus, kita dimampukan-Nya hidup bagi Allah dan berusaha tidak egois. Amin.
Soli Deo Gloria.
[1] Horst Balz dan Gerhard
Schneider, ed., Exegetical
Dictionary of the New Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1990), software PC
Study Bible 5.
Subscribe to:
Posts (Atom)