24 November 2008

Matius 11:28-30: THE COMPASSION OF CHRIST

Ringkasan Khotbah : 10 September 2006

The Compassion of Christ
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 11: 28-30



Puji Tuhan, hari ini kita masuk pada bagian akhir yang sekaligus menjadi inti dari Injil Matius 11. Melalui Injil Matius, Tuhan membukakan bagaimana kita sebagai warga Kerajaan Sorga berespon dengan benar pada Kristus Raja yang mempunyai posisi paradoks, Tuhan yang adil (Mat. 11:20-24) sekaligus Tuhan yang lemah lembut dan rendah hati (Mat. 11:28-30). Pernyataan Tuhan Yesus yang mengatakan bahwa Ia lemah lembut dan rendah hati ini sangat tidak disuka oleh dunia sebab kalau pernyataan ini benar itu seperti sebuah cermin yang ada di depan kita yang membukakan pada kita tentang siapa kita yang sesungguhnya. Di sisi lain, orang langsung berpikir negatif tentang Kristus dan mengatai Dia sombong. Manusia berdosa yang egois tidak suka ketika dibukakan tentang kebenaran sejati, manusia berdosa lebih suka kalau ia dibukakan tentang berbagai hal yang berkenaan dengan nafsu dan keinginan ambisinya. Di tengah-tengah dunia yang rusak moral ini, kita akan kesulitan untuk menemukan orang seperti Tuhan Yesus yang lemah lembut, rendah hati dan mengasihi manusia, hal ini disebabkan karena:
Pertama, lemah lembut dan rendah hati identik dengan kekalahan dan kelemahan dan biasanya orang yang lemah selalu ditindas. Sadarkah kita kalau hari ini dunia pendidikan melatih anak-anak kita untuk tidak menjadi lemah lembut dan rendah hati? Sebaliknya, anak selalu dipacu untuk menang dan berkompetisi karena kemenangan menunjukkan kekuatan. Jiwa lemah lembut dan rendah hati bertentangan dengan jiwa manusia berdosa yang egois dan humanis maka tidaklah heran kalau semua ucapan “berbahagia... “ yang tertulis dalam Matius 5 dan Lukas 6 tidak disuka oleh manusia.
Kedua, lemah lembut dan rendah hati identik dengan kegagalan. Dosa bersifat destruktif akibatnya ketika orang dipaksakan untuk hidup lemah lembut dan rendah hati maka itu berubah menjadi pukulan negatif yang memutar balik dirinya dan berakibat kehancuran. Lemah lembut dan rendah hati hanya dapat dilakukan jika ada kekuatan internal lain yang menguatkan dan menopang dia. Seharusnya, orang yang sangat pandai lebih mudah untuk menjadi rendah hati tetapi sayang, keunggulan yang ada pada dirinya justru menjadikannya sombong. Seorang Kristen dimungkinkan untuk menjadi lemah lembut dan rendah karena kita mempunyai Kristus yang telah melahirbarukan dan itu menjadi kekuatan kita; kuasa Kristus menguasai kita.
Ketiga, di dunia tidak ada ukuran standar yang tepat untuk mengukur karakter akibatnya orang menjadi under estimated atau over estimated. Kedua penilaian ini salah. Seharusnya manusia bisa mengukur dirinya dengan tepat, tidak lebih atau tidak kurang namun manusia kehilangan standar mutlak yang dijadikan sebagai standarisasi untuk mengukur diri. Untuk mengukur suatu panjang maka digunakan standar ukuran panjang, seperti meter, inci, feet barulah kita dapat mengatakan apakah suatu benda itu lebih panjang ataukah lebih pendek. Pertanyaanya sekarang adalah standarisasi apa yang kita pakai untuk mengukur karakter dan hidup seseorang? Bagaimana seorang dapat dikatakan lemah lembut dan rendah hati? Di dunia tidak ada satupun standar yang dapat dipakai untuk mengukur karakter manusia, dunia hanya melihat secara relatif, dunia tidak tahu ukuran yang pas akibatnya orang mengalami kesulitan untuk menjalankannya. Maka tidaklah heran kalau kemudian dunia menanggapi negatif pernyataan Kristus; dunia menganggap Kristus sombong. Dunia tidak pernah memahami bahwa pernyataan Kristus bukanlah kesombongan tapi justru menyatakan kemurnian motivasi Kristus.
Untuk memahami dan mengerti makna dari pernyataan Kristus: “Aku lemah lembut dan rendah hati“ maka kita harus memperhatikan konteks secara keseluruhan. Konteks Injil Matius adalah Kristus sebagai Raja dimana otoritas tertinggi ada di tangan-Nya; Dia adalah Juruselamat, Dia adalah Mesias. Kemesiasan Kristus ini bukan dikatakan tetapi dibuktikan dengan kuasa yang ditandai dengan enam hal, yakni: 1) orang buta melihat, 2) orang lumpuh berjalan, 3) orang kusta tahir, 4) orang tuli mendengar, 5) orang mati dibangkitkan, 6) orang miskin mendapatkan kabar baik. Pada bagian lain, Tuhan Yesus menunjukkan kuasa-Nya yang besar, Ia “menentukan nasib“ dari suatu kota (Mat. 11:20-24). Orang yang mendengar dan melihat kuasa Kristus ini seharusnya menjadi takut dan gentar karena Kristus adalah Raja di atas segala raja, Dia memegang otoritas tertinggi dan Dia penentu atas sejarah di alam semesta ini. Namun Kristus mengontraskan kuasa yang dimiliki dengan mengatakan, “Aku lemah lembut dan rendah hati.“ Janganlah kita melihat Kristus dari satu sisi saja, yakni dari sudut manusia, kita akan gagal mengerti jiwa dan karakter Kristus yang sesungguhnya. Maka tidaklah heran kalau muncul kesimpulan bahwa Tuhan itu kejam. Melihat Allah hanya dari sudut manusia, tidak pernah mau mengerti dari sudut Allah maka kesimpulan yang didapat pasti salah. Untuk mengenal suatu barang, kita dapat membongkar dan mengacak-acak isi barang tersebut namun berbeda halnya, kalau mengenal karakter manusia maka kita tidak dapat melihat dari tampilan luarnya saja, kita akan mudah terkecoh sebab yang kita hadapi bukanlah suatu pribadi.
Pertama, Untuk mengenal suatu pribadi adalah tidak sah kalau kita hanya mengambil data sepihak saja, yakni dari sudut pandang luar lalu kita menarik kesimpulan. Data haruslah kita dapatkan melalui revelation, orang tersebut harus membukakan dirinya sendiri, orang tersebut membuktikan apa yang dia kerjakan barulah kita dapat mengenal dan menyimpulkan; dengan demikian obyek berubah menjadi subyek; si obyek yang memberitakan informasi pada kita maka kita yang subyek berubah menjadi obyek. Relasi interpersonal bila dibatasi dengan saya-subyek dan orang lain – obyek maka kita tidak akan pernah mendapatkan pengenalan yang benar dan tepat. Dunia psikologi sangat memahami hal ini, untuk mengenal suatu pribadi bukan dengan membedah isi kepala orang tersebut tapi kita harus menjadi obyek dan orang tersebut sebagai subyek; dengarkan apa yang menjadi keluhannya maka itu menjadi informasi bagi kita untuk kita dapat mengenal dia lebih dalam.
Merupakan kesalahan fatal apabila dalam suatu konseling, kita menyerap semua informasi dan menganggapnya sebagai kebenaran. Hati-hati, informasi tersebut bersifat subyektif, segala sesuatu yang diceritakan dari sudut pandang dia dan yang diceritakan pastilah sesuatu yang menyenangkan dan menguntungkan dia saja, apa yang menjadi kesalahan orang lain itulah yang diceritakan. Berita yang dikemukakan tidak obyektif lagi tetapi telah mengalami: 1) pencemaran atau distorsi, 2) pergeseran motivasi, 3) beritanya tidak asli, ada penambahan atau pengurangan. Rasa curiga dan tidak percaya merupakan salah satu penyebab komunikasi tidak berjalan baik. Komunikasi akan terjalin dengan baik apabila ada ketulusan dan kejujuran di dalamnya namun di tengah dunia berdosa, hal itu sulit didapat.
Di tengah dunia berdosa yang kejam kalau Tuhan berkata, “Aku lemah lembut dan rendah hati maka kalimat itu bagaikan air yang turun di kala teriknya panas mentari. Apalagi kita hidup diantara manusia yang mementingkan diri bahkan orang tidak lagi peduli meski demi untuk mendapatkan keuntungan, ia harus mengorbankan orang lain. Konsep utilitarian telah mengakar dalam hidup manusia modern, hal ini nampak jelas ketika orang menawarkan berbagai macam produk dan jasa maka orang tidak akan langsung berterus terang kalau sesungguhnya, ia yang diuntungkan sebaliknya ia akan berkata hendak membantu kita. Pertanyaannya, sesungguhnya dia yang membantu kita atau kita yang membantu dia ataukah sama-sama saling bantu? Tepatnya adalah sama-sama saling membantu dan yang lebih tepat lagi sesungguhnya kita yang paling banyak membantu sebab jika terjadi sesuatu hal yang tidak mengenakkan, kita yang dikorbankan terlebih dahulu, “sebelum dimakan, kita harus memakan terlebih dahulu.“
Inilah wajah dan kondisi dunia berdosa yang kejam dan keras. Puji Tuhan, di tengah kondisi dunia kacau ini, Allah yang berkuasa menawarkan kelemahlembutan dan kerendahan hati. Kristus, Raja yang berdaulat bukanlah diktator yang sewenang-wenang, Dia bukanlah Allah yang menghancurkan, Dia tidak pendendam. Allah yang kita sembah adalah Allah yang kasih, lemah lembut dan rendah hati. Dan hal itu telah terbukti, hal ini termanifestasi dalam diri Kristus, Dia dari sorga mulia rela datang ke dunia untuk manusia berdosa. Manusia sulit mengerti arti pengorbanan Kristus, Allah pemilik alam semesta datang ke dunia. Kalau Allah Sang Pencipta turun berinkarnasi menjadi ciptaan maka itu merupakan penurunan posisi yang sangat dahsyat. Cobalah kalau kita yang turun posisi menjadi seorang pengemis hanya satu kali 24 jam saja, maukah dan relakah anda? Penurunan posisi ini sesungguhnya tidaklah sebanding dengan Kristus sebab dalam hal ini, manusia adalah ciptaan tetap menjadi ciptaan tetapi dengan derajat rendah, bandingkan dengan Kristus, Dia adalah Pencipta turun menjadi ciptaan. Orang yang bisa turun posisi sedemikian rupa maka mudah sekali baginya untuk menjadi rendah hati dan lemah lembut karena ia sudah pernah merasakan semua penderitaan dan kesusahan. Karena kasih, Tuhan datang ke dunia, Dia rela berkorban demi manusia berdosa. Kristus rela meninggalkan sorga mulia dan mengambil rupa seorang hamba itulah bukti kasih Tuhan. Pertanyaannya sekarang adalah maukah kita datang pada-Nya dan mendapatkan kelegaan sejati? Seberapa jauhkah anda mau mengerti dan memahami kasih Allah?
Kedua, Kristus bukan sekedar Penguasa yang memerintah tetapi Dia turun dan hidup bersama-sama dengan kita, Dia juga pernah merasakan seluruh pergumulan dan beban hidup kita. Inilah yang disebut dengan compassion. Kristus telah menjadi teladan sejati bagi manusia maka hal Ini sekaligus menjadi kekuatan kita. Tentulah kita akan merasa lega kalau kita mempunyai seorang yang mengerti segala kesulitan dan bukan hanya sekedar mengerti secara teori saja. Tidak! Dia pernah mengalami semua kesusahan dan penderitaan yang kita rasakan saat ini. Demikian pula halnya dengan mereka yang pernah merasakan berkemenangan di dalam Tuhan, hal itu akan menjadi kekuatan untuk menolong orang lain yang menderita. Pdt. Amin Tjung bertahun-tahun berjuang melawan kanker namun dia tidak pernah merasa putus asa dan Tuhan pakai beliau menjadi berkat bagi banyak orang yang mengalami penderitaan yang sama.
Penderitaan manusia tidaklah sebanding dengan penderitaan Kristus; penderitaan Kristus jauh lebih dahsyat. Penderitaan manusia sebagai akibat dari dosa yang kita perbuat namun kalau Kristus menderita itu bukan karena Dia berdosa. Tidak! Kristus tidak berdosa! Kristus menderita karena Dia mengasihi manusia yang bersalah dan untuk itu Dia harus mengalami penderitaan. Kalau kita memahami penderitaan Kristus maka itu harusnya menyadarkan kita betapa kita ini adalah manusia berdosa, manusia lemah yang rentan tetapi Tuhan mau selamatkan, Tuhan memanggil kita untuk datang kepada-Nya dan mendapat kelegaan maka itu harusnya menjadikan kita lebih mengasihi Tuhan, menjadikan Dia sebagai pusat hidup kita. Hidup di dunia ini hanya sementara, pertanyaannya adalah apa yang kita cari di dunia? Betapa indah hidup kita kalau kita berada dalam pelukan orang yang sangat mengasihi kita, orang yang peduli dan hanya memikirkan yang terbaik untuk kita. Betapa bahagia hidup kita kalau kita berada dalam lindungan orang yang mempunyai kekuatan dan ketika berada dalam bahaya, dia maju menolong dan kita pun berkemenangan. Semua itu hanya ada dalam Kristus. Allah kita bukanlah Allah yang kejam; Allah Kristen adalah Allah yang ingin kebenaran sejati, keadilan dan kesucian itu dinyatakan di tengah dunia berdosa dan di sisi lain, Dia adalah Allah yang rendah hati dan lemah lembut; Allah yang mengerti setiap pergumulan kita.
Ketiga, Kristus bukan hanya sekedar mengerti setiap pergumulan kita tetapi Dia memberikan jalan keluar untuk kita. Orang berpendapat bahwa untuk menjadi seorang konselor yang baik cukup dengan menjadi pendengar yang baik saja. Di dunia ini kita sulit mendapatkan orang yang mengerti dan mengasihi kita maka ketika ada seorang yang mau mengerti dan memahami kita sepertinya kita mendapat kelegaan. Kristus tidak hanya sekedar memberi kelegaan, Dia juga memberikan jalan keluar – Dia memasang kuk yang baru untuk kita, Dia memegang kendali atas hidup kita maka kita akan merasakan sukacita ketika hidup berjalan dalam pimpinan-Nya. Menjadi warga Kerajaan Sorga tidak cukup hanya berhenti dalam kepasifan dimana kita hanya melampiaskan semua kesusahan dan kita menjadi lega kemudian kita melangkah sendiri dan ternyata kita mendapat kesusahan maka kita pun mulai mencari seorang konselor, begitu seterusnya. Tidak! Dunia tidak dapat memberikan solusi, dunia hanya menjadi tempat pelampiasan kebebalan, pelampiasan ketidakadilan, pelampiasan penderitaan.
Kekristenan tidak pasif, mengikut Kristus bukan hanya sekedar mendapatkan Kristus yang mencintai dan mengasihi kita. Tidak! Tuhan mengajak kita untuk bangkit dan mendapat kekuatan baru; Tuhan memberikan kuk dan Dia yang memegang kendali atas hidup kita. Dunia tidak akan pernah merubah menjadi baik, dunia semakin menuju pada kehancuran maka kita yang harus berubah dan ingat, perubahan yang terjadi atas kita itu bukan karena kemampuan kita tetapi Tuhan yang memampukan kita untuk berubah. Kuk yang baru, yaitu kuk yang dari Tuhan itu yang merubahkan hidup kita. Adalah tugas setiap anak Tuhan yang telah diubahkan untuk menjadi saksi bagi-Nya, menjadi terang bagi dunia yang gelap. Kuasa mengubahkan ini tidak dapat dibangun dengan kekuatan kita sendiri tetapi hanya kuasa Kristuslah yang memampukan kita.
Di tengah dunia ini sulit melepaskan antara pemerintahan dengan kekuasaan. Kristus memimpin tidak memakai otorisasi tetapi Dia memimpin dengan kelemahlembutan dan rendah hati. Pertanyaannya relakah kita dipimpin Tuhan? Hanya di dalam Kristus kita mendapatkan kelegaan; hanya di dalam Kristus kita mendapatkan kemenangan. Dunia ini sangat kejam, banyak penderitaan dan kekerasan terjadi, kelaparan terjadi dimana-mana; hidup makin hari makin susah akibatnya, di tengah situasi seperti ini banyak orang yang panik, orang tidak tahu harus bersandar dan berpegang pada siapa. Puji Tuhan, di tengah kondisi yang demikian ini Kristus datang kepada kita dan tangan-Nya yang terbuka menyambut kita: “Marilah kepada-Ku kamu yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepada-Mu“ dan Dia juga memberikan jalan keluar bagaimana kita menghadapi gejolak dunia tanpa kita hanyut di dalamnya karena Tuhan memegang pimpinan atas hidup kita. Di dunia masih banyak orang yang terombang-ambing, tidak mempunyai sandaran hidup, tugas kita untuk mewartakan pada mereka bahwa masih ada Seorang yang mengasihi kita yang akan memimpin setiap langkah hidup kita dan Dia adalah Kristus. Kristus mengasihi manusia berdosa tetapi Dia sangat membenci dosa, Dia tidak berkompromi dengan dosa. Jangan pernah mengeluh ketika kita mengalami kesulitan karena mungkin Tuhan membiarkan kita melewati penderitaan supaya kita dapat merasakan kemenangan dari Kristus, bagaimana Dia menolong dan menopang hidup kita. Biarlah kita dipakai menjadi saksi yang memancarkan terang-Nya di tengah dunia gelap. Amin

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

Roma 11:33-36: RESPON YANG BENAR TERHADAP PREDESTINASI

Seri Eksposisi Surat Roma :
Doktrin Predestinasi-19


Respon yang Benar Terhadap Predestinasi

oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 11:33-36


Tidak ada respon yang benar terhadap predestinasi, kecuali kagum dan bersyukur. Itulah tesis utama Paulus sebagai kesimpulan di empat ayat terakhir ini (33 s/d 36). Apa yang kita bisa kagumi dan syukuri? Mari kita membahasnya pada empat ayat terakhir di pasal 11 ini.

Diawali di ayat 33, Paulus mengatakan, “O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya!” Kalimat pertama dalam ayat ini memiliki beragam makna terjemahan. King James Version menerjemahkan, “O the depth of the riches both of the wisdom and knowledge of God!” Begitu juga dengan terjemahan New King James Version (NKJV), Modern King James Version (MKJV), New American Standard Bible (NASB), Analytical-Literal Translation (ALT), American Standard Version (ASV), Geneva Bible 1587, Revised Version (RV), 1833 Webster Bible. Sedangkan terjemahan-terjemahan seperti English Standard Version (ESV), James Murdock New Testament, 1898 Young’s Literal Translation (YLT), Literal Translation of the Holy Bible (LITV), God’s Word (GW), International Standard Version (ISV) membedakan tiga hal, yaitu betapa dalamnya: kekayaan, hikmat, dan pengetahuan Allah. Dalam terjemahan Yunani, Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. memberikan penjelasan bahwa arti yang tepat adalah yang terakhir, yaitu membedakan tiga hal yaitu kekayaan, hikmat, dan pengetahuan Allah yang begitu dalam. Untuk membedakan ketiga hal ini, tiga kata ini sama-sama menggunakan kata benda (noun) dan dipisahkan dengan kata “dan” (hlm. 861). Di sini, kita belajar bahwa Paulus menekankan begitu dalamnya: kekayaan, hikmat, dan pengetahuan Allah. Apa yang dimaksudkan Paulus dengan tiga kata kunci ini?
Pertama, dalamnya kekayaan Allah. Kata “kekayaan” dalam ayat ini diterjemahkan riches dalam Alkitab terjemahan Inggris. Kata Yunaninya adalah ploutos bisa diterjemahkan kepenuhan (fulness). Dengan kata lain, di titik pertama, Paulus menekankan akan kepenuhan Allah. Apa yang dimaksud dengan kepenuhan Allah? Kepenuhan Allah berarti Allah itu begitu penuh, limpah, dan kaya dengan segala macam anugerah-Nya bagi kita. Jika kita mencoba membayangkan makna penuh dan kaya, kita akan mendapatkan gambaran pengertian yang lebih melimpah. Kaya atau penuh bukan secara materi, tetapi secara kualitas. Ketika air minum di dalam gelas dikatakan telah penuh, berarti tidak ada satu inci pun di gelas tersebut yang bisa diisi air. Begitu juga dengan kepenuhan atau kekayaan Allah. Allah yang penuh berarti tidak ada satu inci pun yang kurang pada diri Allah. Dengan kata lain, di dalam Dia ada kesempurnaan yang kepada-Nya kita menaruh iman dan pengharapan. Kesempurnaan-Nya inilah yang diajarkan Paulus berikutnya di ayat ini, yaitu bahwa keputusan-keputusan-Nya tak terselidiki dan jalan-jalan-Nya tak terselami. Allah yang sempurna (penuh) adalah Allah yang memiliki keputusan dan jalan yang sangat berbeda dari manusia (bdk. Yes. 55:8). Kata “keputusan” di sini di dalam KJV diterjemahkan judgment (penghakiman), di mana bahasa Yunaninya adalah krima (yang mungkin ada hubungannya dengan kriminal). Mengapa Allah yang sempurna adalah Allah yang memiliki keputusan yang tak terselidiki dan jalan yang tak terselami? Karena keputusan dan jalan Allah selalu bersifat kekekalan, sedangkan keputusan dan jalan manusia selalu bersifat kesementaraan. Dalam konteks ini, Paulus ingin: pertama, mengingatkan baik orang Yahudi maupun non-Yahudi melihat akan kesempurnaan Allah yang keputusan (penghakiman) dan jalan-Nya sangat luar biasa dan dahsyat, dan bukan melihat pada kehebatan diri. Ketika manusia melihat terus pada kesempurnaan Allah, pada saat itulah manusia semakin sadar kelemahan dirinya. Dr. John Calvin di dalam bukunya yang terkenal Institutes of the Christian Religion mengajar bahwa manusia baru bisa menyadari akan naturnya yang lemah dan terbatas sampai dia membandingkan dirinya dengan Allah yang Mahakudus itu. Artinya, kesempurnaan dan kekudusan Allah mengakibatkan manusia sadar diri dan bertobat, serta kembali kepada-Nya. Bagaimana dengan kita? Apakah kesempurnaan dan kekudusan Allah menguduskan kita yang berdosa ini? Ataukah doktrin ini hanya menjadi doktrin yang memenuhi kepala kita sebagai bahan theologi saja? Biarlah kita ditegur dan diajar kembali tentang pentingnya kita sadar akan diri kita yang berdosa, lemah, dll, dan mengarahkan hati dan hidup kita kepada kesempurnaan dan kekudusan Allah yang mengakibatkan kita memiliki hidup yang berarti dan berkemenangan. Hidup yang berarti adalah hidup yang menempatkan arti itu pada Sang Sumber Pengertian, yaitu Tuhan, di saat itulah kita menemukan arti hidup. Jangan pernah mencari arti hidup di dalam pengertian dunia yang berdosa, karena itu sia-sia adanya. Kedua, Paulus juga ingin mengingatkan adanya kaitan erat antara predestinasi dengan respon pertama yang tepat yaitu kagum akan kedalaman kekayaan/kepenuhan Allah. Ketika seseorang telah dipilih Allah menjadi umat-Nya, respon yang paling tepat sebagai orang yang telah dipilih adalah kagum akan kesempurnaan Allah. Tetapi berapa banyak kita melihat realita baik dari jemaat Kristen maupun pemimpin gereja, setelah mereka mengetahui doktrin predestinasi/pemilihan Allah, mereka banyak yang tidak setuju dan bahkan menolak, karena dianggap itu pilih kasih atau Allah tidak adil? Realita yang tidak bertanggungjawab ini BUKAN respon orang Kristen yang beres dan tepat, karena jika kita berlaku demikian, kita sedang mempertanyakan Allah itu sendiri yang berdaulat (bdk. Rm. 9:12-21). Respon yang benar setelah kita merenungkan kedaulatan Allah di dalam pemilihan/predestinasi ini, kita semakin kagum akan kesempurnaan Allah dan bersyukur. Bagaimana dengan kita? Apakah predestinasi hanya menjadi bahan untuk kita berdebat theologi dengan orang lain? Ataukah predestinasi menyadarkan kita akan anugerah Allah dan membagikan anugerah itu kepada orang lain melalui pemberitaan Injil? Ingatlah! Predestinasi menjadi dasar pengabaran Injil, bukan malahan memperkecil mandat penginjilan?

Kedua, dalamnya hikmat Allah. Kata “hikmat” dalam bahasa Yunani sophia artinya kebijaksanaan (wisdom). Poin kedua yang bisa kita pelajari adalah tentang dalamnya hikmat Allah. Apa itu hikmat? Apakah orang yang memiliki hikmat identik dengan orang pandai? TIDAK! Orang pandai belum tentu berhikmat, tetapi orang berhikmat bisa pandai. Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div. mengajar bahwa orang berhikmat adalah orang yang memakai hikmatnya di dalam memutuskan hal-hal praktis, sedangkan orang pandai hanya pandai berteori saja. Dunia lebih memerlukan orang berhikmat ketimbang orang pandai, karena orang pandai hanya tahu teori, tetapi orang berhikmat tahu teori dan praktik. Lalu, hikmat itu sumbernya dari mana? Tentu dari Allah. Allah memberikan hikmat kepada manusia sebagai peta dan teladan Allah. Tetapi dosa mengakibatkan hikmat manusia menjadi rusak total, akibatnya hikmat yang seharusnya dipakai untuk memuliakan Allah di dalam memutuskan segala sesuatu akhirnya menjadi hikmat yang menguntungkan diri sendiri. Itulah sebabnya, Kristus diutus menebus dosa manusia. Kristus bukan hanya menebus dosa manusia saja, tetapi Ia juga mengembalikan manusia kepada natur aslinya demi kemuliaan-Nya. Itu sebabnya, dalam memulihkan natur asli manusia, Ia (Kristus) adalah hikmat kita (bdk. 1Kor. 1:30; Kol. 2:3; Why. 5:12). Dengan menaruh sumber hikmat kita pada Kristus dan firman-Nya (Alkitab), kita akan mendapatkan hikmat sejati yang datang dari Allah, bukan dari manusia. Melalui firman-Nya ini, kita juga mendapatkan hikmat bahwa Allah adalah Sumber Hikmat yang jauh lebih berhikmat dari manusia yang sebenarnya tidak berhikmat secara sempurna. Dia yang adalah Sumber Hikmat memberikan hikmat itu kepada kita yang adalah umat pilihan-Nya untuk menangkap hikmat Allah meskipun samar-samar. Dalam konteks ini, kita mendapatkan betapa dahsyat hikmat Allah yang mengajar kita akan predestinasi Allah. Oleh karena itu, di ayat 35, Paulus mengatakan, “Atau siapakah yang pernah memberikan sesuatu kepada-Nya, sehingga Ia harus menggantikannya?” Terjemahan KJV, “Or who hath first given to him, and it shall be recompensed unto him again?” Terjemahan dari teks Yunani yang diterjemahkan oleh Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. (2003), “Atau siapa yang sebelumnya memberikan kepada-Nya, lalu (itu) akan diberi kembali kepadanya?” (hlm. 862) Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) bisa memberikan pengertian yang lebih jelas akan ayat ini, “Siapakah pernah memberi sesuatu kepada Tuhan sehingga bisa menuntut balasan-Nya?”” Di sini, kita belajar bahwa karena hikmat bersumber dari Allah, maka tidak ada satu orang pun yang layak memberikan petunjuk hikmat kepada Allah, lalu kita berani menagih balik hak kita setelah kita “mengajari” Allah! Bagaimana dengan kita? Kita seringkali merasa diri berhikmat. Mungkin karena kita sudah merasa diri dewasa, berumur tua, dll. Umur, perawakan, dan hal-hal fenomenal lainnya tidak membuktikan kita berhikmat SEJATI. Orang yang memiliki hikmat sejati diukur dari seberapa dalam, setia, taat, jujur, kita menaklukkan diri kita yang berdosa ini ke bawah kedaulatan Allah di dalam Alkitab. Orang yang berhikmat sejati ditandai oleh suatu ciri bahwa orang itu bisa membedakan dengan tegas manakah kehendak Allah dengan kehendak manusia: yang baik vs yang tidak, yang berkenan kepada Allah vs yang tidak berkenan, yang sempurna vs fana/tidak sempurna (Rm. 12:2). Mari kita memiliki hikmat sejati untuk memuliakan Tuhan!

Ketiga, dalamnya pengetahuan Allah. Kata “pengetahuan” dalam bahasa Yunani gnōsis yang berarti pengetahuan (knowledge). Bukan hanya kesempurnaan dan hikmat, Allah juga memiliki pengetahuan yang luar biasa. Ketika dunia berdosa menawarkan segala macam pengetahuan dunia, maka Paulus “menawarkan” dan mendorong kita bukan melihat pengetahuan dunia terlalu banyak, tetapi melihat pengetahuan Allah yang Mahadahsyat. Apakah pengetahuan di sini identik dengan hikmat Allah? Ada kaitannya, tetapi tidak sama. Hikmat lebih mengarah kepada kebijaksanaan, sedangkan pengetahuan lebih mengarah kepada totalitas pengetahuan/pikiran. Allah yang memiliki pengetahuan jauh melampaui manusia adalah Allah yang memiliki totalitas pemikiran dan kehendak yang jauh di atas manusia. Apa perbedaannya? Pertama, pemikiran Allah selalu bersifat kekekalan, sedangkan pikiran manusia selalu sementara sifatnya. Allah selalu memikirkan hal-hal yang kekal, bukan kesementaraan, karena Allah itu sendiri pada diri-Nya kekal. Kekekalan Allah ini ditunjukkan dengan dipilih-Nya beberapa manusia untuk menjadi anak-anak-Nya. Bukan hanya itu saja, Allah yang kekal adalah Allah yang memelihara umat-Nya baik di dalam keselamatan maupun kehidupan sehari-hari. Di dalam memelihara inilah, kadang-kadang Allah memakai cara-cara yang di luar pikiran manusia. Ia menguji manusia melalui penderitaan, kesakitan, bahkan penganiayaan. Semuanya itu membuktikan Allah memelihara iman umat-Nya sehingga umat-Nya bukan menjadi umat yang manja, tetapi menjadi umat pilihan-Nya yang dewasa secara rohani. Lalu, bagaimana dengan pikiran manusia? Manusia selalu berpikir pendek. Melihat sesuatu tampak sulit, manusia sudah marah, putus asa, dll, sehingga jalan pikirannya selalu sementara sifatnya. Tetapi puji Tuhan, umat pilihan-Nya dimungkinkan memiliki pikiran Allah (meskipun tidak sempurna), di mana mereka tidak perlu putus asa dan khawatir ketika menghadapi penderitaan, melainkan mereka terus berharap hanya kepada Allah yang memiliki pengetahuan tak terbatas. Kedua, pemikiran Allah tidak pernah berkontradiksi, sedangkan pemikiran manusia banyak yang berkontradiksi. Kalau di poin pertama, kita belajar sifat pengetahuan Allah, di poin kedua, kita belajar akan kualitas pengetahuan Allah. Ev. Ivan Kristiono, M.Div. pernah mengajar bahwa di dalam Allah tidak ada kontradiksi. Karena Pribadi Allah tidak berkontradiksi dengan diri-Nya, maka begitu juga pengetahuan-Nya. Ketika Dia memiliki kehendak dan pikiran yang telah ditetapkan-Nya sebelumnya, maka itulah yang Ia jalankan dan kehendak-Nya itu berkaitan erat dengan karakter dan Pribadi-Nya. Jadi, tidak ada istilah Allah “ragu-ragu” atau plin-plan! Itu sebabnya doktrin Open-Theism dan Dispensasionalisme (salah satu doktrin akhir zaman) yang mengajarkan bahwa Allah itu plin-plan adalah salah! Bagaimana dengan pikiran manusia? Karena manusia adalah pribadi ciptaan Allah yang berdosa, maka semua pengetahuannya juga rusak total, bahkan banyak yang berkontradiksi. Ambil contoh, orang tertentu bisa berkata X di hari pertama, mungkin di hari kedua, dia akan berkata Y bahkan sesuatu yang sangat bertolak belakang dengan X. Itu membuktikan ketidakkonsistenan pengetahuan/pikiran manusia berdosa. Bahkan lebih tajam lagi, Pdt. Dr. Stephen Tong mengajarkan bahwa semua filsafat manusia berdosa yang melawan Allah akan berkontradiksi dengan dirinya sendiri (self-contradictory). Mengapa bisa demikian? Karena semua filsafat manusia berdosa itu adalah produk manusia berdosa yang terlepas bahkan menolak Kebenaran Allah sebagai satu-satunya dasar pengetahuan.

Dengan dasar dua pengertian tentang perbedaan pengetahuan Allah dari pengetahuan manusia, maka Paulus membukakan pengertian kita di ayat 34, “Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya?” Karena pengetahuan Allah jauh melampaui pengetahuan manusia, maka Paulus mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui pikiran Tuhan bahkan pernah menjadi penasihat-Nya untuk menentukan mana yang adil, benar, dan baik (bdk. Yes. 40:13-14). Dalam konteks ini, Paulus mengingatkan jemaat Roma, khususnya orang-orang non-Yahudi akan pikiran Tuhan yang tidak dapat diketahui tentang pemilihan Allah, sehingga mereka tidak perlu protes kepada-Nya. Ayat ini mengajarkan kita satu prinsip penting bahwa pengetahuan Allah mengakibatkan kita harus tunduk mutlak kepada-Nya. Sikap taat adalah sikap yang harus kita lakukan ketika kita sadar bahwa Allah lebih memiliki pengetahuan yang sempurna ketimbang kita. Ketika kita taat, kita akan menemukan banyaknya pemikiran Allah yang akan disingkapkan kepada kita (meskipun tidak pernah 100%). Inilah paradoks. Dunia mengajarkan bahwa kalau ingin berpengetahuan, carilah pengetahuan itu. Tetapi firman Tuhan mengajarkan hal sebaliknya, jika ingin memiliki pengetahuan sejati, sikap pertama: TAAT dan menundukkan diri di bawah Tuhan, baru di situ, Tuhan lah yang memberi kita pengetahuan. Tuhan yang memberi kita pengetahuan tidak berarti kita tidak perlu mencari pengetahuan. Kita tetap perlu mencari pengetahuan, tetapi itu adalah tindakan kita setelah kita taat kepada-Nya. Ketaatan kita mengakibatkan kita semakian giat mengerti, mengenal, dan mengalami sendiri pengetahuan Allah di dalam hidup kita. Jika kita tidak pernah taat, kita tidak akan memiliki pengetahuan sejati dari Allah, meskipun kita memiliki gelar akademis yang berpuluh-puluh. Gelar tidak membuktikan kita berpengetahuan sejati. Gelar akademis hanyalah tempelan fenomenal. Utamakan mutu dan pengetahuan sejati dari Allah, baru pertimbangkanlah gelar akademis. Tuhan tidak mempertanyakan berapa gelar akademis yang kita dapat dari kampus terkenal, tetapi Tuhan menguji hati kita yang paling dalam tentang bagaimana kita mengetahui dan mengenal Dia, meskipun pendidikan akademis tetap diperlukan.


Setelah menjelaskan tentang dahsyat dan dalamnya kekayaan, hikmat, dan pengetahuan Allah, Paulus akhirnya menutup rangkaian doktrinnya dengan satu kesimpulan yang paling agung di ayat 36, “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” Kemuliaan Allah sajalah yang menjadi sasaran/fokus penting keselamatan dalam pemilihan/predestinasi Allah bagi umat-Nya di dalam Kristus. Kemuliaan Allah ini diuraikan Paulus di dalam tiga prinsip:
Pertama, segala sesuatu adalah dari Allah. Dari Allah, berarti segala sesuatu bersumber dari Allah. Sumber segala sesuatu adalah Allah. Sumber pemilihan atas beberapa orang untuk menjadi anak-anak-Nya itu adalah dari Allah, bukan dari apa yang manusia perbuat! Lebih tajam lagi, pemilihan adalah anugerah Allah yang berdaulat! Bagaimana dengan kita? Prinsip ini bisa diimplikasikan pada kehidupan kita sehari-hari. Kalau dikatakan bahwa segala sesuatu adalah dari Allah, itu berarti apa yang kita punya, baik harta, kepintaran, hikmat, bahkan pengertian rohani dari Alkitab yang kita dapatkan semua berasal dari Allah. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi kita untuk sombong atau memegahkan diri kalau kita memilikinya semua itu. Agar kita tidak memegahkan diri, biarlah kita membagikan apa yang ada pada kita kepada orang lain sebagai berkat, sehingga orang lain juga melihat kedahsyatan Allah kita.

Kedua, segala sesuatu adalah oleh Allah. Kata “oleh” seharusnya diterjemahkan melalui (through). Dalam konteks ini, “segala sesuatu adalah oleh/melalui Allah” berarti pemilihan Allah bukan hanya bersumber dari Allah, tetapi juga dipelihara oleh Allah. Ini membuktikan pemeliharaan Allah. Allah yang telah memilih, Ia juga yang akan memeliharanya sampai pada kesudahannya, karena Ia adalah Alfa (Yang Awal) dan Omega (Yang Terakhir). Sehingga, kita tidak perlu khawatir kehilangan keselamatan, karena jika kita termasuk umat pilihan-Nya, pada saat itu juga, kita beriman bahwa Allah yang telah memulai keselamatan, Ia pula-lah yang akan menyempurnakannya. Konsep ini juga bisa diimplikasikan di dalam hidup kita. Kalau di poin pertama, kita belajar bahwa segala sesuatu adalah dari Allah yang artinya kita tidak perlu sombong akan apa yang kita miliki, maka di poin kedua, kita belajar bahwa apa pun yang kita miliki ini dari Allah dipergunakan oleh Allah sebagai sarana mempertumbuhkan iman kita. Tuhan memakai harta kita untuk mencukupi kehidupan kita, dan juga untuk melayani-Nya (dikaitkan dengan poin ketiga, nantinya). Tuhan memakai iman dan pengertian kita akan firman-Nya sebagai sarana untuk menghindarkan kita dari tamak uang, dan cinta diri. Tuhan memakai pasangan kita untuk mengingatkan kita akan kelemahan kita dan kembali kepada Tuhan. Tuhan bisa memakai siapa pun yang ada di dekat kita untuk mengingatkan kita. Bagaimana dengan kita? Kita pun bisa dipakai oleh-Nya sebagai sarana berkat-Nya. Maukah kita menyalurkannya?

Ketiga, segala sesuatu adalah bagi Allah. Di dalam konteks ini, kita belajar bahwa pemilihan Allah berasal dari Allah, dipelihara oleh Allah, maka secara otomatis, ujungnya harus berakhir pada kemuliaan bagi Allah itu sendiri sebagai Sumber dan Pemelihara. Allah sebagai Sumber dan Pemelihara, Dia-lah yang juga harus menerima pujian, hormat, dan kemuliaan. Konsep ini bisa diimplikasikan di dalam hidup kita. Kalau kita sadar bahwa segala yang kita miliki adalah dari Allah, orang lain menjadi sarana yang melaluinya Allah menegur kita (atau kita bisa menjadi sarana berkat-Nya), maka kita melakukan kedua hal ini bersama-sama untuk memuliakan Tuhan (Soli Deo Gloria). Bagaimana kita memuliakan Tuhan? Katekismus Singkat Westminster Pasal 1 memberikan jawaban atas pertanyaan apakah tujuan utama manusia: “Tujuan utama manusia adalah memuliakan Allah dan menikmati Dia selama-lamanya.” Rev. Dr. John S. Piper dalam bukunya Desiring God mengganti kata “dan” dengan kata “oleh” (by). Dengan kata lain, umat pilihan-Nya dapat memuliakan Tuhan dengan menikmati Dia. Apa arti menikmati Tuhan? Apakah menikmati Tuhan merupakan perasaan subjektif? TIDAK. Menikmati Tuhan dapat dibagi menjadi dua, yaitu: menikmati Pribadi Allah. Seseorang bisa menikmati Allah itu setelah ia mengenal Allah melalui Alkitab. Inilah kaitan erat antara doktrin dan spiritualitas. Banyak gereja terlalu mementingkan doktrin dan melupakan spiritualitas. Akibatnya, mereka pandai berdebat theologi, tetapi hati mereka kering. Sebaliknya, di sisi lain, banyak gereja mengesampingkan doktrin dan mementingkan kesalehan, akibatnya kesalehan yang dibangun adalah kesalehan yang antroposentris (berpusat pada manusia) dan tidak memuliakan Tuhan. Alkitab mengajarkan kita konsep yang seimbang, yaitu kita mengenal Allah dulu melalui Alkitab, baru kita mengalami Allah dengan menikmati-Nya. Menikmati-Nya adalah kebanggaan terbesar umat pilihan-Nya yang telah ditebus Kristus, karena kita memiliki Allah yang Mahadahsyat dan Mahaagung yang tidak bisa dijumpai pada ilah-ilah lain! Kedua, menikmati firman-Nya. Setelah menikmati pribadi-Nya, kita dituntut untuk menikmati firman-Nya. Seberapa dalam kita mencintai firman-Nya? Seberapa setianya kita taat kepada firman-Nya? Ataukah kita taat kepada firman-Nya hanya untuk hal-hal yang tidak melawan logika/rasio (lebih tepatnya, nafsu) kita? Mari kita menguji hati kita.


Kita telah merenungkan empat ayat kesimpulan dari doktrin pemilihan Allah yang diajarkan Paulus. Biarlah kita bukan hanya memenuhi pengetahuan kita tentang theologi predestinasi ini, tetapi kita semakin menguatkan kerohanian kita dan mengintrospeksi diri kita seberapa dalam, setia, dan taat kah kita mengagumi karya Allah, mensyukurinya, dan membagikannya kepada orang lain? Tuhan TIDAK memerintahkan kita untuk diam saja, tetapi Ia memerintahkan kita untuk keluar dan menjadi berkat. Maukah kita berkomitmen melakukannya dengan semangat yang berapi-api? Amin. Soli Deo Gloria.