24 November 2008

Roma 11:33-36: RESPON YANG BENAR TERHADAP PREDESTINASI

Seri Eksposisi Surat Roma :
Doktrin Predestinasi-19


Respon yang Benar Terhadap Predestinasi

oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 11:33-36


Tidak ada respon yang benar terhadap predestinasi, kecuali kagum dan bersyukur. Itulah tesis utama Paulus sebagai kesimpulan di empat ayat terakhir ini (33 s/d 36). Apa yang kita bisa kagumi dan syukuri? Mari kita membahasnya pada empat ayat terakhir di pasal 11 ini.

Diawali di ayat 33, Paulus mengatakan, “O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya!” Kalimat pertama dalam ayat ini memiliki beragam makna terjemahan. King James Version menerjemahkan, “O the depth of the riches both of the wisdom and knowledge of God!” Begitu juga dengan terjemahan New King James Version (NKJV), Modern King James Version (MKJV), New American Standard Bible (NASB), Analytical-Literal Translation (ALT), American Standard Version (ASV), Geneva Bible 1587, Revised Version (RV), 1833 Webster Bible. Sedangkan terjemahan-terjemahan seperti English Standard Version (ESV), James Murdock New Testament, 1898 Young’s Literal Translation (YLT), Literal Translation of the Holy Bible (LITV), God’s Word (GW), International Standard Version (ISV) membedakan tiga hal, yaitu betapa dalamnya: kekayaan, hikmat, dan pengetahuan Allah. Dalam terjemahan Yunani, Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. memberikan penjelasan bahwa arti yang tepat adalah yang terakhir, yaitu membedakan tiga hal yaitu kekayaan, hikmat, dan pengetahuan Allah yang begitu dalam. Untuk membedakan ketiga hal ini, tiga kata ini sama-sama menggunakan kata benda (noun) dan dipisahkan dengan kata “dan” (hlm. 861). Di sini, kita belajar bahwa Paulus menekankan begitu dalamnya: kekayaan, hikmat, dan pengetahuan Allah. Apa yang dimaksudkan Paulus dengan tiga kata kunci ini?
Pertama, dalamnya kekayaan Allah. Kata “kekayaan” dalam ayat ini diterjemahkan riches dalam Alkitab terjemahan Inggris. Kata Yunaninya adalah ploutos bisa diterjemahkan kepenuhan (fulness). Dengan kata lain, di titik pertama, Paulus menekankan akan kepenuhan Allah. Apa yang dimaksud dengan kepenuhan Allah? Kepenuhan Allah berarti Allah itu begitu penuh, limpah, dan kaya dengan segala macam anugerah-Nya bagi kita. Jika kita mencoba membayangkan makna penuh dan kaya, kita akan mendapatkan gambaran pengertian yang lebih melimpah. Kaya atau penuh bukan secara materi, tetapi secara kualitas. Ketika air minum di dalam gelas dikatakan telah penuh, berarti tidak ada satu inci pun di gelas tersebut yang bisa diisi air. Begitu juga dengan kepenuhan atau kekayaan Allah. Allah yang penuh berarti tidak ada satu inci pun yang kurang pada diri Allah. Dengan kata lain, di dalam Dia ada kesempurnaan yang kepada-Nya kita menaruh iman dan pengharapan. Kesempurnaan-Nya inilah yang diajarkan Paulus berikutnya di ayat ini, yaitu bahwa keputusan-keputusan-Nya tak terselidiki dan jalan-jalan-Nya tak terselami. Allah yang sempurna (penuh) adalah Allah yang memiliki keputusan dan jalan yang sangat berbeda dari manusia (bdk. Yes. 55:8). Kata “keputusan” di sini di dalam KJV diterjemahkan judgment (penghakiman), di mana bahasa Yunaninya adalah krima (yang mungkin ada hubungannya dengan kriminal). Mengapa Allah yang sempurna adalah Allah yang memiliki keputusan yang tak terselidiki dan jalan yang tak terselami? Karena keputusan dan jalan Allah selalu bersifat kekekalan, sedangkan keputusan dan jalan manusia selalu bersifat kesementaraan. Dalam konteks ini, Paulus ingin: pertama, mengingatkan baik orang Yahudi maupun non-Yahudi melihat akan kesempurnaan Allah yang keputusan (penghakiman) dan jalan-Nya sangat luar biasa dan dahsyat, dan bukan melihat pada kehebatan diri. Ketika manusia melihat terus pada kesempurnaan Allah, pada saat itulah manusia semakin sadar kelemahan dirinya. Dr. John Calvin di dalam bukunya yang terkenal Institutes of the Christian Religion mengajar bahwa manusia baru bisa menyadari akan naturnya yang lemah dan terbatas sampai dia membandingkan dirinya dengan Allah yang Mahakudus itu. Artinya, kesempurnaan dan kekudusan Allah mengakibatkan manusia sadar diri dan bertobat, serta kembali kepada-Nya. Bagaimana dengan kita? Apakah kesempurnaan dan kekudusan Allah menguduskan kita yang berdosa ini? Ataukah doktrin ini hanya menjadi doktrin yang memenuhi kepala kita sebagai bahan theologi saja? Biarlah kita ditegur dan diajar kembali tentang pentingnya kita sadar akan diri kita yang berdosa, lemah, dll, dan mengarahkan hati dan hidup kita kepada kesempurnaan dan kekudusan Allah yang mengakibatkan kita memiliki hidup yang berarti dan berkemenangan. Hidup yang berarti adalah hidup yang menempatkan arti itu pada Sang Sumber Pengertian, yaitu Tuhan, di saat itulah kita menemukan arti hidup. Jangan pernah mencari arti hidup di dalam pengertian dunia yang berdosa, karena itu sia-sia adanya. Kedua, Paulus juga ingin mengingatkan adanya kaitan erat antara predestinasi dengan respon pertama yang tepat yaitu kagum akan kedalaman kekayaan/kepenuhan Allah. Ketika seseorang telah dipilih Allah menjadi umat-Nya, respon yang paling tepat sebagai orang yang telah dipilih adalah kagum akan kesempurnaan Allah. Tetapi berapa banyak kita melihat realita baik dari jemaat Kristen maupun pemimpin gereja, setelah mereka mengetahui doktrin predestinasi/pemilihan Allah, mereka banyak yang tidak setuju dan bahkan menolak, karena dianggap itu pilih kasih atau Allah tidak adil? Realita yang tidak bertanggungjawab ini BUKAN respon orang Kristen yang beres dan tepat, karena jika kita berlaku demikian, kita sedang mempertanyakan Allah itu sendiri yang berdaulat (bdk. Rm. 9:12-21). Respon yang benar setelah kita merenungkan kedaulatan Allah di dalam pemilihan/predestinasi ini, kita semakin kagum akan kesempurnaan Allah dan bersyukur. Bagaimana dengan kita? Apakah predestinasi hanya menjadi bahan untuk kita berdebat theologi dengan orang lain? Ataukah predestinasi menyadarkan kita akan anugerah Allah dan membagikan anugerah itu kepada orang lain melalui pemberitaan Injil? Ingatlah! Predestinasi menjadi dasar pengabaran Injil, bukan malahan memperkecil mandat penginjilan?

Kedua, dalamnya hikmat Allah. Kata “hikmat” dalam bahasa Yunani sophia artinya kebijaksanaan (wisdom). Poin kedua yang bisa kita pelajari adalah tentang dalamnya hikmat Allah. Apa itu hikmat? Apakah orang yang memiliki hikmat identik dengan orang pandai? TIDAK! Orang pandai belum tentu berhikmat, tetapi orang berhikmat bisa pandai. Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div. mengajar bahwa orang berhikmat adalah orang yang memakai hikmatnya di dalam memutuskan hal-hal praktis, sedangkan orang pandai hanya pandai berteori saja. Dunia lebih memerlukan orang berhikmat ketimbang orang pandai, karena orang pandai hanya tahu teori, tetapi orang berhikmat tahu teori dan praktik. Lalu, hikmat itu sumbernya dari mana? Tentu dari Allah. Allah memberikan hikmat kepada manusia sebagai peta dan teladan Allah. Tetapi dosa mengakibatkan hikmat manusia menjadi rusak total, akibatnya hikmat yang seharusnya dipakai untuk memuliakan Allah di dalam memutuskan segala sesuatu akhirnya menjadi hikmat yang menguntungkan diri sendiri. Itulah sebabnya, Kristus diutus menebus dosa manusia. Kristus bukan hanya menebus dosa manusia saja, tetapi Ia juga mengembalikan manusia kepada natur aslinya demi kemuliaan-Nya. Itu sebabnya, dalam memulihkan natur asli manusia, Ia (Kristus) adalah hikmat kita (bdk. 1Kor. 1:30; Kol. 2:3; Why. 5:12). Dengan menaruh sumber hikmat kita pada Kristus dan firman-Nya (Alkitab), kita akan mendapatkan hikmat sejati yang datang dari Allah, bukan dari manusia. Melalui firman-Nya ini, kita juga mendapatkan hikmat bahwa Allah adalah Sumber Hikmat yang jauh lebih berhikmat dari manusia yang sebenarnya tidak berhikmat secara sempurna. Dia yang adalah Sumber Hikmat memberikan hikmat itu kepada kita yang adalah umat pilihan-Nya untuk menangkap hikmat Allah meskipun samar-samar. Dalam konteks ini, kita mendapatkan betapa dahsyat hikmat Allah yang mengajar kita akan predestinasi Allah. Oleh karena itu, di ayat 35, Paulus mengatakan, “Atau siapakah yang pernah memberikan sesuatu kepada-Nya, sehingga Ia harus menggantikannya?” Terjemahan KJV, “Or who hath first given to him, and it shall be recompensed unto him again?” Terjemahan dari teks Yunani yang diterjemahkan oleh Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. (2003), “Atau siapa yang sebelumnya memberikan kepada-Nya, lalu (itu) akan diberi kembali kepadanya?” (hlm. 862) Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) bisa memberikan pengertian yang lebih jelas akan ayat ini, “Siapakah pernah memberi sesuatu kepada Tuhan sehingga bisa menuntut balasan-Nya?”” Di sini, kita belajar bahwa karena hikmat bersumber dari Allah, maka tidak ada satu orang pun yang layak memberikan petunjuk hikmat kepada Allah, lalu kita berani menagih balik hak kita setelah kita “mengajari” Allah! Bagaimana dengan kita? Kita seringkali merasa diri berhikmat. Mungkin karena kita sudah merasa diri dewasa, berumur tua, dll. Umur, perawakan, dan hal-hal fenomenal lainnya tidak membuktikan kita berhikmat SEJATI. Orang yang memiliki hikmat sejati diukur dari seberapa dalam, setia, taat, jujur, kita menaklukkan diri kita yang berdosa ini ke bawah kedaulatan Allah di dalam Alkitab. Orang yang berhikmat sejati ditandai oleh suatu ciri bahwa orang itu bisa membedakan dengan tegas manakah kehendak Allah dengan kehendak manusia: yang baik vs yang tidak, yang berkenan kepada Allah vs yang tidak berkenan, yang sempurna vs fana/tidak sempurna (Rm. 12:2). Mari kita memiliki hikmat sejati untuk memuliakan Tuhan!

Ketiga, dalamnya pengetahuan Allah. Kata “pengetahuan” dalam bahasa Yunani gnōsis yang berarti pengetahuan (knowledge). Bukan hanya kesempurnaan dan hikmat, Allah juga memiliki pengetahuan yang luar biasa. Ketika dunia berdosa menawarkan segala macam pengetahuan dunia, maka Paulus “menawarkan” dan mendorong kita bukan melihat pengetahuan dunia terlalu banyak, tetapi melihat pengetahuan Allah yang Mahadahsyat. Apakah pengetahuan di sini identik dengan hikmat Allah? Ada kaitannya, tetapi tidak sama. Hikmat lebih mengarah kepada kebijaksanaan, sedangkan pengetahuan lebih mengarah kepada totalitas pengetahuan/pikiran. Allah yang memiliki pengetahuan jauh melampaui manusia adalah Allah yang memiliki totalitas pemikiran dan kehendak yang jauh di atas manusia. Apa perbedaannya? Pertama, pemikiran Allah selalu bersifat kekekalan, sedangkan pikiran manusia selalu sementara sifatnya. Allah selalu memikirkan hal-hal yang kekal, bukan kesementaraan, karena Allah itu sendiri pada diri-Nya kekal. Kekekalan Allah ini ditunjukkan dengan dipilih-Nya beberapa manusia untuk menjadi anak-anak-Nya. Bukan hanya itu saja, Allah yang kekal adalah Allah yang memelihara umat-Nya baik di dalam keselamatan maupun kehidupan sehari-hari. Di dalam memelihara inilah, kadang-kadang Allah memakai cara-cara yang di luar pikiran manusia. Ia menguji manusia melalui penderitaan, kesakitan, bahkan penganiayaan. Semuanya itu membuktikan Allah memelihara iman umat-Nya sehingga umat-Nya bukan menjadi umat yang manja, tetapi menjadi umat pilihan-Nya yang dewasa secara rohani. Lalu, bagaimana dengan pikiran manusia? Manusia selalu berpikir pendek. Melihat sesuatu tampak sulit, manusia sudah marah, putus asa, dll, sehingga jalan pikirannya selalu sementara sifatnya. Tetapi puji Tuhan, umat pilihan-Nya dimungkinkan memiliki pikiran Allah (meskipun tidak sempurna), di mana mereka tidak perlu putus asa dan khawatir ketika menghadapi penderitaan, melainkan mereka terus berharap hanya kepada Allah yang memiliki pengetahuan tak terbatas. Kedua, pemikiran Allah tidak pernah berkontradiksi, sedangkan pemikiran manusia banyak yang berkontradiksi. Kalau di poin pertama, kita belajar sifat pengetahuan Allah, di poin kedua, kita belajar akan kualitas pengetahuan Allah. Ev. Ivan Kristiono, M.Div. pernah mengajar bahwa di dalam Allah tidak ada kontradiksi. Karena Pribadi Allah tidak berkontradiksi dengan diri-Nya, maka begitu juga pengetahuan-Nya. Ketika Dia memiliki kehendak dan pikiran yang telah ditetapkan-Nya sebelumnya, maka itulah yang Ia jalankan dan kehendak-Nya itu berkaitan erat dengan karakter dan Pribadi-Nya. Jadi, tidak ada istilah Allah “ragu-ragu” atau plin-plan! Itu sebabnya doktrin Open-Theism dan Dispensasionalisme (salah satu doktrin akhir zaman) yang mengajarkan bahwa Allah itu plin-plan adalah salah! Bagaimana dengan pikiran manusia? Karena manusia adalah pribadi ciptaan Allah yang berdosa, maka semua pengetahuannya juga rusak total, bahkan banyak yang berkontradiksi. Ambil contoh, orang tertentu bisa berkata X di hari pertama, mungkin di hari kedua, dia akan berkata Y bahkan sesuatu yang sangat bertolak belakang dengan X. Itu membuktikan ketidakkonsistenan pengetahuan/pikiran manusia berdosa. Bahkan lebih tajam lagi, Pdt. Dr. Stephen Tong mengajarkan bahwa semua filsafat manusia berdosa yang melawan Allah akan berkontradiksi dengan dirinya sendiri (self-contradictory). Mengapa bisa demikian? Karena semua filsafat manusia berdosa itu adalah produk manusia berdosa yang terlepas bahkan menolak Kebenaran Allah sebagai satu-satunya dasar pengetahuan.

Dengan dasar dua pengertian tentang perbedaan pengetahuan Allah dari pengetahuan manusia, maka Paulus membukakan pengertian kita di ayat 34, “Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya?” Karena pengetahuan Allah jauh melampaui pengetahuan manusia, maka Paulus mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui pikiran Tuhan bahkan pernah menjadi penasihat-Nya untuk menentukan mana yang adil, benar, dan baik (bdk. Yes. 40:13-14). Dalam konteks ini, Paulus mengingatkan jemaat Roma, khususnya orang-orang non-Yahudi akan pikiran Tuhan yang tidak dapat diketahui tentang pemilihan Allah, sehingga mereka tidak perlu protes kepada-Nya. Ayat ini mengajarkan kita satu prinsip penting bahwa pengetahuan Allah mengakibatkan kita harus tunduk mutlak kepada-Nya. Sikap taat adalah sikap yang harus kita lakukan ketika kita sadar bahwa Allah lebih memiliki pengetahuan yang sempurna ketimbang kita. Ketika kita taat, kita akan menemukan banyaknya pemikiran Allah yang akan disingkapkan kepada kita (meskipun tidak pernah 100%). Inilah paradoks. Dunia mengajarkan bahwa kalau ingin berpengetahuan, carilah pengetahuan itu. Tetapi firman Tuhan mengajarkan hal sebaliknya, jika ingin memiliki pengetahuan sejati, sikap pertama: TAAT dan menundukkan diri di bawah Tuhan, baru di situ, Tuhan lah yang memberi kita pengetahuan. Tuhan yang memberi kita pengetahuan tidak berarti kita tidak perlu mencari pengetahuan. Kita tetap perlu mencari pengetahuan, tetapi itu adalah tindakan kita setelah kita taat kepada-Nya. Ketaatan kita mengakibatkan kita semakian giat mengerti, mengenal, dan mengalami sendiri pengetahuan Allah di dalam hidup kita. Jika kita tidak pernah taat, kita tidak akan memiliki pengetahuan sejati dari Allah, meskipun kita memiliki gelar akademis yang berpuluh-puluh. Gelar tidak membuktikan kita berpengetahuan sejati. Gelar akademis hanyalah tempelan fenomenal. Utamakan mutu dan pengetahuan sejati dari Allah, baru pertimbangkanlah gelar akademis. Tuhan tidak mempertanyakan berapa gelar akademis yang kita dapat dari kampus terkenal, tetapi Tuhan menguji hati kita yang paling dalam tentang bagaimana kita mengetahui dan mengenal Dia, meskipun pendidikan akademis tetap diperlukan.


Setelah menjelaskan tentang dahsyat dan dalamnya kekayaan, hikmat, dan pengetahuan Allah, Paulus akhirnya menutup rangkaian doktrinnya dengan satu kesimpulan yang paling agung di ayat 36, “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” Kemuliaan Allah sajalah yang menjadi sasaran/fokus penting keselamatan dalam pemilihan/predestinasi Allah bagi umat-Nya di dalam Kristus. Kemuliaan Allah ini diuraikan Paulus di dalam tiga prinsip:
Pertama, segala sesuatu adalah dari Allah. Dari Allah, berarti segala sesuatu bersumber dari Allah. Sumber segala sesuatu adalah Allah. Sumber pemilihan atas beberapa orang untuk menjadi anak-anak-Nya itu adalah dari Allah, bukan dari apa yang manusia perbuat! Lebih tajam lagi, pemilihan adalah anugerah Allah yang berdaulat! Bagaimana dengan kita? Prinsip ini bisa diimplikasikan pada kehidupan kita sehari-hari. Kalau dikatakan bahwa segala sesuatu adalah dari Allah, itu berarti apa yang kita punya, baik harta, kepintaran, hikmat, bahkan pengertian rohani dari Alkitab yang kita dapatkan semua berasal dari Allah. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi kita untuk sombong atau memegahkan diri kalau kita memilikinya semua itu. Agar kita tidak memegahkan diri, biarlah kita membagikan apa yang ada pada kita kepada orang lain sebagai berkat, sehingga orang lain juga melihat kedahsyatan Allah kita.

Kedua, segala sesuatu adalah oleh Allah. Kata “oleh” seharusnya diterjemahkan melalui (through). Dalam konteks ini, “segala sesuatu adalah oleh/melalui Allah” berarti pemilihan Allah bukan hanya bersumber dari Allah, tetapi juga dipelihara oleh Allah. Ini membuktikan pemeliharaan Allah. Allah yang telah memilih, Ia juga yang akan memeliharanya sampai pada kesudahannya, karena Ia adalah Alfa (Yang Awal) dan Omega (Yang Terakhir). Sehingga, kita tidak perlu khawatir kehilangan keselamatan, karena jika kita termasuk umat pilihan-Nya, pada saat itu juga, kita beriman bahwa Allah yang telah memulai keselamatan, Ia pula-lah yang akan menyempurnakannya. Konsep ini juga bisa diimplikasikan di dalam hidup kita. Kalau di poin pertama, kita belajar bahwa segala sesuatu adalah dari Allah yang artinya kita tidak perlu sombong akan apa yang kita miliki, maka di poin kedua, kita belajar bahwa apa pun yang kita miliki ini dari Allah dipergunakan oleh Allah sebagai sarana mempertumbuhkan iman kita. Tuhan memakai harta kita untuk mencukupi kehidupan kita, dan juga untuk melayani-Nya (dikaitkan dengan poin ketiga, nantinya). Tuhan memakai iman dan pengertian kita akan firman-Nya sebagai sarana untuk menghindarkan kita dari tamak uang, dan cinta diri. Tuhan memakai pasangan kita untuk mengingatkan kita akan kelemahan kita dan kembali kepada Tuhan. Tuhan bisa memakai siapa pun yang ada di dekat kita untuk mengingatkan kita. Bagaimana dengan kita? Kita pun bisa dipakai oleh-Nya sebagai sarana berkat-Nya. Maukah kita menyalurkannya?

Ketiga, segala sesuatu adalah bagi Allah. Di dalam konteks ini, kita belajar bahwa pemilihan Allah berasal dari Allah, dipelihara oleh Allah, maka secara otomatis, ujungnya harus berakhir pada kemuliaan bagi Allah itu sendiri sebagai Sumber dan Pemelihara. Allah sebagai Sumber dan Pemelihara, Dia-lah yang juga harus menerima pujian, hormat, dan kemuliaan. Konsep ini bisa diimplikasikan di dalam hidup kita. Kalau kita sadar bahwa segala yang kita miliki adalah dari Allah, orang lain menjadi sarana yang melaluinya Allah menegur kita (atau kita bisa menjadi sarana berkat-Nya), maka kita melakukan kedua hal ini bersama-sama untuk memuliakan Tuhan (Soli Deo Gloria). Bagaimana kita memuliakan Tuhan? Katekismus Singkat Westminster Pasal 1 memberikan jawaban atas pertanyaan apakah tujuan utama manusia: “Tujuan utama manusia adalah memuliakan Allah dan menikmati Dia selama-lamanya.” Rev. Dr. John S. Piper dalam bukunya Desiring God mengganti kata “dan” dengan kata “oleh” (by). Dengan kata lain, umat pilihan-Nya dapat memuliakan Tuhan dengan menikmati Dia. Apa arti menikmati Tuhan? Apakah menikmati Tuhan merupakan perasaan subjektif? TIDAK. Menikmati Tuhan dapat dibagi menjadi dua, yaitu: menikmati Pribadi Allah. Seseorang bisa menikmati Allah itu setelah ia mengenal Allah melalui Alkitab. Inilah kaitan erat antara doktrin dan spiritualitas. Banyak gereja terlalu mementingkan doktrin dan melupakan spiritualitas. Akibatnya, mereka pandai berdebat theologi, tetapi hati mereka kering. Sebaliknya, di sisi lain, banyak gereja mengesampingkan doktrin dan mementingkan kesalehan, akibatnya kesalehan yang dibangun adalah kesalehan yang antroposentris (berpusat pada manusia) dan tidak memuliakan Tuhan. Alkitab mengajarkan kita konsep yang seimbang, yaitu kita mengenal Allah dulu melalui Alkitab, baru kita mengalami Allah dengan menikmati-Nya. Menikmati-Nya adalah kebanggaan terbesar umat pilihan-Nya yang telah ditebus Kristus, karena kita memiliki Allah yang Mahadahsyat dan Mahaagung yang tidak bisa dijumpai pada ilah-ilah lain! Kedua, menikmati firman-Nya. Setelah menikmati pribadi-Nya, kita dituntut untuk menikmati firman-Nya. Seberapa dalam kita mencintai firman-Nya? Seberapa setianya kita taat kepada firman-Nya? Ataukah kita taat kepada firman-Nya hanya untuk hal-hal yang tidak melawan logika/rasio (lebih tepatnya, nafsu) kita? Mari kita menguji hati kita.


Kita telah merenungkan empat ayat kesimpulan dari doktrin pemilihan Allah yang diajarkan Paulus. Biarlah kita bukan hanya memenuhi pengetahuan kita tentang theologi predestinasi ini, tetapi kita semakin menguatkan kerohanian kita dan mengintrospeksi diri kita seberapa dalam, setia, dan taat kah kita mengagumi karya Allah, mensyukurinya, dan membagikannya kepada orang lain? Tuhan TIDAK memerintahkan kita untuk diam saja, tetapi Ia memerintahkan kita untuk keluar dan menjadi berkat. Maukah kita berkomitmen melakukannya dengan semangat yang berapi-api? Amin. Soli Deo Gloria.

No comments: