18 January 2009

Resensi Buku-62: MENAPAKI HARI BERSAMA ALLAH (Pdt. Yohan Candawasa, S.Th.)

...Dapatkan segera...
Buku
MENAPAKI HARI BERSAMA ALLAH

oleh: Pdt. Yohan Candawasa, S.Th.

Penerbit: Pionir Jaya dan Unveilin GLORY, Bandung, 2006





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Waktu adalah anugerah yang Tuhan berikan kepada manusia. Khususnya sebagai anak-anak Tuhan, kita bukan hanya mengerti waktu adalah anugerah Tuhan, kita diperintahkan untuk menebus waktu kita demi kemuliaan-Nya (terjemahan Inggris dari Ef. 5:16). Menebus waktu itu bisa kita lakukan dengan mempergunakan setiap waktu kita untuk memuliakan Tuhan setiap hari. Mempergunakan setiap waktu untuk memuliakan Tuhan itu bisa dilakukan dengan berjalan bersama Allah di dalam setiap hari yang Tuhan beri. Lalu, bagaimana kita bisa berjalan bersama Allah di dalam setiap hari tersebut? Di dalam bukunya Menapaki Hari Bersama Allah, hamba-Nya, Pdt. Yohan Candawasa memaparkan prinsip-prinsip bagaimana kita bisa menjalani hari demi hari bersama dan di dalam Allah untuk menggenapi kehendak-Nya.

Buku ini dimulai dengan Bab 1 yang membentuk ulang paradigma Kristen kita tentang hidup. Di dalam bab ini, Pdt. Yohan Candawasa memaparkan bahwa hidup itu dilihat bukan dari awalnya, tetapi dari akhirnya, karena itu yang mencerminkan keaslian kita. Hal itu ditandai dengan obituari yang akan kita tuliskan kelak. Lalu, mungkin di dalam hidup yang kita jalani, kita menemukan banyak rintangan. Bagaimana mengatasinya? Di dalam Bab 2, dengan menguraikan Mazmur 73, Pdt. Yohan menguraikan alasan kita sering kali enggan menerima rintangan hidup, yaitu kita menyangka bahwa kita bisa barter dengan Allah. Kalau kita baik dan melayani Tuhan, maka Ia pasti tidak akan memberikan kecelakaan kepada kita. Agama timbal balik ini bukan Kekristenan, karena Kekristenan mengenal konsep anugerah. Anugerah ini memimpin hidup umat Tuhan untuk mengerti bahwa meskipun seolah-olah Allah itu tidak adil dengan membiarkan orang fasik itu hidup sukses, tetapi sesungguhnya kesuksesan orang fasik itu mengarah kepada kebinasaan. Sebaliknya, meskipun anak Tuhan mengalami penderitaan, tetapi Ia memberi kekuatan kepada kita, sehingga kita pasti mengalami kemenangan karena kemenangan Kristus. Kemudian, di Bab 3, beliau menguraikan lebih dalam lagi makna penderitaan di dalam perspektif Ilahi, di dalam tema, Kala Allah Tak Terpahami. Setelah memahami penderitaan, pembaca digiring untuk mulai masuk ke dalam setiap hari bersama Allah. Melalui Bab 4, Menapaki Hari Bersama Allah, Pdt. Yohan menguraikan melalui kisah Yusuf di dalam Kejadian 50:15-21, bahwa ketika kita menapaki hari bersama Allah, hendaknya orang Kristen tidak perlu menyesal akan masa lalu (“Kalau saja...”) dan tidak perlu kuatir akan masa depan (“Bagaimana kalau...”), sebaliknya kita harus: melihat ke atas (yaitu iman dan pengharapan) ketika menapaki hari-hari bersama Allah dan mengurus/bertanggung jawab atas apa yang Tuhan percayakan kepada kita hari ini.

Setelah kita mengerti bagaimana menapaki hari bersama Allah, kita digiring untuk mengerti tentang problematika hidup orang percaya. Hal ini dimulai di Bab 5, “Anda Meminta Allah Memberi”, di mana Pdt. Yohan memaparkan bahwa ketika kita meminta sesuatu, Allah memberikan sesuai dengan kehendak-Nya yang terbaik, sehingga jangan pernah memaksa Allah di dalam permintaan kita. Selain tentang permintaan, kita digiring ke dalam tema membayar harga. Di dalam Bab 6, Jika Allah Meminta, kita diingatkan bahwa bukan hanya kita yang terus meminta seperti pengemis, Tuhan pun bisa meminta kita. Apa tujuannya? Agar fokus hidup kita bukan pada pemberian Allah saja, tetapi kepada pribadi Allah, sehingga meskipun Allah meminta sesuatu dari kita, kita tidak akan kecewa. Beliau mengajarkan prinsip penting, “Penting sekali untuk hidup dua arah bersama Tuhan: melepas untuk menangkap, menggenggam untuk melepas; kosong untuk diisi, isi untuk dikosongkan; dari tiada kita mendapatkan, dan mendapatkan untuk memberi.” (hlm. 135) Setelah diajar mengenai Allah meminta sesuatu dari kita, kita dibawa masuk lebih dalam lagi oleh Pdt. Yohan Candawasa untuk bersyukur senantiasa. Dasar dari bersyukur adalah segala sesuatu yang kita miliki dan kerjakan berasal dari Allah. Setelah bersyukur, Pdt. Yohan memaparkan empat dampak dari bersyukur, yaitu: mengingatkan kita akan Pemberi (Allah) dan bukan hanya pemberiaan saja, melibatkan si Pemberi itu di dalam pemberian yang diberikan-Nya itu sehingga kita mampu mempertanggungjawabkan pemberiaan itu sesuai aturan main dari si Pemberi, menghindarkan kita dari banyak dosa: perzinahan, pencarian rezeki haram, iri hati, dan ketamakan, dan terakhir, membawa sukacita dalam hidup. Setelah bersyukur, kita diingatkan kembali di Bab 8, Akulah Kebangkitan dan Hidup, tentang kuasa Kristus yang memberikan hidup kekal dan kebangkitan kepada kita secara rohani, sehingga hidup yang kita jalani bukan hidup rutinitas, tetapi hidup yang berkelimpahan (Yoh. 10:10b). Mengapa? Karena kita telah, sedang, dan akan mencicipi taste of heaven (suasana sorga) di dalam hidup yang berjalan bersama Allah.

Melalui buku ini, kita disadarkan kembali tentang menapaki setiap hari kita bersama dan dari sudut pandang Allah, sehingga hidup kita memiliki makna sejati. Maukah kita berkomitmen menjalani hidup kita bersama dan dari sudut pandang Allah saja? Biarlah buku ini memberkati dan menguatkan kita untuk menjadi saksi Kristus di tengah dunia berdosa ini.




Kata Pengantar dari Para Pembaca lain:
Kumpulan khotbah Pdt. Yohan Candawasa, S.Th. ini lahir dari kepekaan terhadap kebutuhan umat Kristen untuk menemukan jawab di tengah kompleksnya realitas pergumulan iman orang percaya dengan Allahnya. Bagi Pdt. Yohan Candawasa, sisi-sisi gelap dan tak terduga dari kehidupan manusia tidak menutup kehadiran Allah dan karya keselamatan-Nya. Bahkan sering kali aspek kehidupan tersebut menjadi konteks kehadiran kasih karunia-Nya yang tak terhingga. Saya percaya kumpulan khotbah ini akan memperkaya iman setiap orang Kristen yang secara sungguh-sungguh merindukan kehidupan rohani yang lebih diperkenan Allah.
Pdt. Yakub B. Susabda, Ph.D.
Rektor Sekolah Tinggi Theologi Reformed Injili Indonesia (STTRII), Jakarta

Pdt. Yohan Candawasa mampu mengintegrasikan dua unsur penting dalam berkhotbah, yakni unsur Alkitabiah dan unsur praktis. Khotbah-khotbahnya didasarkan pada prinsip-prinsip Alkitabiah yang ketat, tetapi tidaklah menjadikan khotbah-khotbahnya hanya berbau akademis. Khotbah-khotbahnya adalah khotbah-khotbah yang praktis, tetapi khotbah-khotbahnya tidak sampai terjebak hanya untuk menyenangkan telinga para pendengarnya semata. Dalam membicarakan hal-hal yang praktis, Pdt. Yohan tetap mengajak kita untuk berefleksi dan berpikir sesuai dengan kebenaran firman Tuhan. Saya mendapat banyak berkat melalui mendengar dan membaca khotbah-khotbahnya.
Pdt. Yohanes Adrie Hartopo, Ph.D.
Rektor Sekolah Tinggi Theologi Amanat Agung (STTAA), Jakarta

Membaca buku ini, selain membuka wawasan iman kita, sekaligus juga membuktikan bahwa penulis merupakan salah satu dari sedikit hamba Tuhan yang berkarunia dalam memimpin pikiran orang percaya di tengah pergumulan imannya melalui pengupasan dan penguraian firman Tuhan yang begitu mendalam, namun dengan cara penyampaian yang sederhana dan mudah dicerna.
Pdt. Jusak Wijaja
Pimpinan Radio Pelita Kasih (RPK)

Pdt. Yohan Candawasa adalah seorang hamba Tuhan yang setia, intelektual, bersemangat besar, dan mampu mengintegrasikan prinsip-prinsip kebenaran firman Allah dalam relevansi hidup manusia setiap hari.
Dr. James T. Riady
Pengusaha, salah satu pendiri Universitas Pelita Harapan (UPH), dan sedang mengambil studi theologi program gelar Master of Arts in Christian Ministry (M.A.C.M.) di STTRII Jakarta





Profil Pdt. Yohan Candawasa:
Pdt. Yohan Candawasa, S.Th. dilahirkan pada tanggal 11 Maret 1960. Selulus SMA, beliau melanjutkan studi di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang, sebagai jawaban atas panggilan Tuhan baginya.
Beliau mendalami studi Biblika dan Eklesiologi yang kemudian dituangkan dalam skripsinya.
Kerinduannya untuk membina jemaat Tuhan dinyatakan selama pelayanan di Gereja Kristen Abdiel Elyon, Surabaya (1985-1987) dan juga Gereja Kristen Immanuel Bandung (1988-1996). Selama pelayanan tersebut, beliau berkesempatan mengunjungi RRC dalam rangka perjalanan misi. Dalam kunjungan tersebut, beliau memperoleh beban pelayanan dari Tuhan untuk menggumuli penginjilan di RRC.
Beliau menikah dengan Stephanie, dan telah dikaruniai seorang putra bernama Yeiel Candawasa.
Tahun 1996-1997 beliau melayani sebagai Gembala Sidang di Mimbar Reformed Injili di Taipei. Kemudia tahun 1998-1999 beliau melayani di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Granada, Jakarta.
Mulai tahun 2000 beliau melayani di CCM (Care for China Ministry). Selain itu, beliau juga mengajar di Sekolah Tinggi Theologi Reformed Injili Indonesia (STTRII) Jakarta.

Roma 12:16: KASIH SEJATI-4: Kasih Persekutuan Menjadi Teladan-1

Seri Eksposisi Surat Roma:
Aplikasi Doktrin-7


Kasih Sejati-4:
Kasih Persekutuan Menjadi Teladan-1


oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 12:16.


Pada bagian ketiga ini, kita akan menelusuri konsep kasih Kristen yang sejati di dalam persekutuan yang menjadi teladan bagi orang-orang di luar Kristen.

Sebelum mempraktikkan kehidupan Kristen, Paulus menjelaskan prinsip utama di dalam kasih di antara tubuh Kristus yaitu di ayat 16, “Hendaklah kamu sehati sepikir dalam hidupmu bersama; janganlah kamu memikirkan perkara-perkara yang tinggi, tetapi arahkanlah dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana. Janganlah menganggap dirimu pandai!” Ada dua bagian penting yang Paulus ingin singkapkan bagi kita sebagai pokok-pokok penting kasih persekutuan di dalam tubuh Kristus yang menjadi teladan bagi kasih kepada orang-orang di luar Kristen, yaitu:
Pertama, kerukunan di dalam satu pikiran/pendapat. Paulus mengajar kita, “Hendaklah kamu sehati sepikir dalam hidupmu bersama;” King James Version (KJV) menerjemahkannya, “Be of the same mind one toward another.” (=milikilah pikiran yang sama satu dengan yang lain) English Standard Version (ESV) dan New International Version (NIV) menerjemahkannya, “Live in harmony with one another.” (=rukunlah satu sama lain) Kata “pikiran” di sini dalam bahasa Yunani phroneō bisa berarti pikiran atau pendapat. Dengan kata lain, di dalam tubuh Kristus, kita harus memiliki kesamaan pendapat. LAI memperluasnya menjadi sehari sepikir. Inilah konsep penting pertama tentang kasih persaudaraan yang ingin Paulus tekankan. Di dalam kasih, ada kesamaan arah pikiran dan hati kita. Kesamaan ini bukan berarti kesamaan yang dipaksakan, tetapi kesamaan ini dibangun di atas dasar sesuatu yang kokoh. Apakah dasar itu? Yaitu kebenaran Firman. Jemaat Tuhan memiliki kesamaan hati dan pikiran ketika mereka bersama-sama tunduk di bawah otoritas Firman. Saat itu pula sesama jemaat Tuhan dapat hidup rukun. Mengapa jemaat Korintus bisa terpecah-pecah (1Kor. 1:11-12)? Karena mereka tidak hidup di bawah otoritas Firman, melainkan mengagungkan para pelayan Tuhan. Mereka mengagungkan Apolos lebih hebat dari Paulus, dll. Dalam hal ini, Paulus mengingatkan jemaat Korintus agar mereka sehati sepikir (1Kor. 1:10). Meskipun “sehati sepikir” di sini menggunakan kata Yunani yang berbeda dari Rm. 12:16 ini, tetapi kita mendapatkan konsep serupa dari Paulus, yaitu jemaat Tuhan harus memiliki kesamaan arah, tujuan, hati, dan pikiran yang tertuju kepada Kristus. Ketika jemaat Tuhan mengarahkan hati, tujuan, dan pikiran hanya kepada Kristus, maka mereka tidak lagi mempersoalkan hal-hal remeh di dalam gereja Tuhan. Paulus menegaskan hal ini bahwa dirinya, Apolos, Kefas adalah sama-sama pelayan Tuhan yang sama-sama melayani Tuhan dan hanya Tuhan yang patut ditinggikan (1Kor. 3:5-9). Bagaimana dengan kita? Apakah sebagai sesama jemaat Tuhan kita lebih senang mempersoalkan hal-hal remeh lalu mengakibatkan sesama jemaat Tuhan bermusuhan? Teguran Paulus ini mengingatkan kita agar kita boleh rukun dengan jemaat lain di dalam kebenaran Firman.

Pertanyaan berikutnya, apakah kalau rukun, berarti kita tidak boleh menegur jemaat lain yang berdosa? Tidak. Ingat, prinsipnya, kerukunan antar sesama jemaat dibangun di atas kesamaan arah, tujuan, hati, dan pikiran di bawah otoritas Firman. Ketika ada jemaat yang berdosa, kita yang mengasihinya wajib menegur dan mengingatkan serta mendorongnya untuk keluar dari dosa itu dan bertobat. Di saat kita menegur dia, di saat itu pula kita membangun terciptanya kerukunan antar jemaat Tuhan.


Kedua, ketidaksombongan. Kasih yang sehati sepikir/rukun di atas dapat diwujudnyatakan dengan tidak adanya kesombongan di dalam kasih persekutuan. Paulus memaparkannya, “janganlah kamu memikirkan perkara-perkara yang tinggi, tetapi arahkanlah dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana.” Ayat ini bisa disalahmengerti dan dipakai oleh banyak hamba Tuhan dari arus kontemporer lalu mengajar bahwa doktrin itu tidak penting, yang penting beriman saja. Kesalahtafsiran ini disebabkan oleh ketidakmengertian mereka di dalam menggali ayat ini dan ayat ini dalam terjemahan LAI memang kurang tepat (perhatikan kata-kata yang digarisbawahi antara terjemahan LAI dengan terjemahan Alkitab Inggris dan Yunani). KJV menerjemahkan, “Mind not high things, but condescend to men of low estate.” (=Janganlah pikirkan hal-hal yang tinggi, tetapi rendahkanlah dirimu kepada orang yang statusnya rendah) NIV menerjemahkan, “Do not be proud, but be willing to associate with people of low position.” (=Jangan sombong, tetapi berusahalah bergaullah dengan orang-orang yang statusnya rendah) International Standard Version (ISV) menerjemahkan, “Do not be arrogant, but associate with humble people.” (=Jangan arogan, tetapi bergaullah dengan orang sederhana). Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear (2003) mengartikan ayat ini, “janganlah (hal-hal) yang tinggi memikirkan tetapi (kepada orang-orang/kepada hal-hal) yang (statusnya) rendah/sederhana bergaullah/disesuaikanlah” (=janganlah memikirkan hal-hal yang tinggi, tetapi bergaullah dengan orang-orang yang statusnya rendah) (hlm. 864-65). Dari beragam terjemahan Alkitab Inggris dan Yunani ini kita mendapatkan kesimpulan bahwa Paulus TIDAK sedang mengajar bahwa doktrin itu tidak penting, tetapi ia mengajarkan bahwa di dalam kasih tidak ada kesombongan. Dia mengajar bahwa kasih itu tidak sombong. Kasih yang tidak sombong ini diwujudkan dengan orang itu tidak merasa diri hebat, pintar, tetapi bersedia merendahkan diri dan bergaul dengan orang yang statusnya rendah atau sederhana. Orang yang statusnya rendah/sederhana ini menurut NIV Spirit of the Reformation Study Bible menunjuk kepada to do menial work (=berhubungan dengan pembantu rumah tangga). Orang yang merendahkan dirinya bagi orang yang statusnya rendah ini adalah orang yang benar-benar mengasihi orang yang statusnya rendah tersebut. Dr. John Gill di dalam John Gill’s Exposition of the Entire Bible menafsirkan bahwa orang yang statusnya rendah ini bisa berarti rendah statusnya secara jasmani (sosial) dan rohani. Artinya, orang ini bisa berarti orang miskin atau kurang terpelajar atau/dan orang-orang yang imannya kurang kuat. Di sini, Paulus mengingatkan kita untuk bersedia memahami kesulitan orang-orang “bawah.” Bagaimana dengan kita? Terus terang saya pribadi kuatir, banyak hamba Tuhan yang sudah sekolah theologi ketika berkhotbah di atas mimbar selalu menggunakan bahasa-bahasa “tingkat atas” yang penuh dengan muatan filosofis, theologis, dll, sehingga banyak jemaat yang kurang terpelajar kurang mengerti apa yang disampaikan. Di sini, memang jemaat perlu belajar tentang firman Tuhan dan istilah-istilah tersebut. Tetapi di sisi lain, si pengkhotbah merasa diri hebat apalagi berkhotbah dengan mengutip bahasa Yunaninya apalagi ditambah bahasa Inggris (yang tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia), padahal ada jemaat yang kurang terpelajar tidak mengerti bahasa Inggris. Di sini, kembali Paulus menegur kita, seberapa kita peka akan kondisi sesama jemaat lain yang secara status rendah baik kurang terpelajar atau mungkin kurang iman. Bagaimana sebuah khotbah itu mendalam, tegas, jelas, namun sederhana, itu yang harus dipergumulkan oleh seorang pengkhotbah (dan tentunya kita sebagai jemaat awam). Jemaat awam pun juga harus memerhatikan jemaat lain yang statusnya rendah tersebut mungkin dengan menguatkan imannya atau yang lain.

Ketidaksombongan ini juga diwujudkan dengan tindakan kedua, yaitu tidak merasa diri bijak. LAI menerjemahkan, “Janganlah menganggap dirimu pandai!” KJV menerjemahkan, “Be not wise in your own conceits.” (terjemahan bebas: Janganlah merasa diri bijak di dalam pemikiranmu). Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. kembali menerjemahkan dari bahasa Yunani ayat ini, “Janganlah menjadi bijaksana dengan mengandalkan dirimu sendiri.” (idem, hlm. 865) Orang yang tidak sombong bukan hanya merendahkan diri dan mengerti kondisi orang “bawah” saja, tetapi juga tidak menganggap diri bijak. Ini adalah aspek negasi dari ketidaksombongan. Mengapa Paulus mengajar agar kita tidak merasa diri bijak dengan mengandalkan diri kita? Karena dengan mengandalkan diri kita, sebenarnya kita sedang memberhalakan diri kita (atau menjadikan kita “Tuhan”), padahal kita adalah manusia yang diciptakan, terbatas, dan berdosa (istilah Pdt. Dr. Stephen Tong: created, limited, and polluted). Perjanjian Lama mengajar kita tentang hal ini. Di dalam Amsal 3:5-7, Salomo mengajar kita, “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu. Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan;” Di sini, Salomo mengajar apa artinya percaya kepada Tuhan, yaitu: tidak bersandar kepada pengertian sendiri, mengakui Dia di dalam segala laku kita, tidak menganggap diri bijak, dan takut akan Tuhan. Dengan kata lain, Salomo (raja yang terkenal hikmatnya) hendak mengajarkan bahwa larangan Tuhan agar kita tidak menganggap diri sendiri bijak ini dikaitkan dengan kewajiban kita menundukkan diri kita mutlak di bawah Tuhan dengan percaya kepada (lebih tepatnya: di dalam) Tuhan yang Mahabijak. Ketika kita memandang kepada Tuhan yang Mahabijak, tentu di saat itu pula kita tidak menganggap diri hebat, karena Allah jauh lebih bijak dan pandai ketimbang diri manusia yang berdosa. Kalau Salomo yang hikmatnya terkenal saja rela menaklukkan dirinya di bawah hikmat Allah, bagaimana dengan kita? Apakah kita masih menganggap diri bijak bahkan lebih bijak daripada Tuhan? Bukankah sering kali ketika Alkitab mengajar bahwa Allah memilih manusia, lalu kita memberontak dengan berkata bahwa Allah itu tidak adil? Itulah bukti kekurangajaran dan kesombongan kita di hadapan/kepada Tuhan yang Mahabijak! Paulus keras mengajar ini dengan mengatakan bahwa manusia sehebat apa pun tidak mungkin bisa membantah/mengajar Allah tentang pemilihan Allah (predestinasi) ini (baca: Rm. 9:20). Ini berarti, jangan pernah menganggap diri bijak lalu mengajari Allah tentang konsep keadilan Allah.

Bukan hanya itu saja, di dalam persekutuan, kita juga merasa diri “bijak” atau/dan “pandai.” Bagaimana kita bisa mengetahui hal ini? Saya sudah menemukan contoh konkritnya di gereja saya. Setiap selesai kebaktian, ada seorang jemaat (suami istri) selalu memberikan “khotbah” tambahan kepada jemaat gereja tersebut. Bukan hanya itu saja, ketika mampir ke toko ayah saya pun, sang jemaat ini juga memberikan “khotbah.” Masalahnya adalah “khotbah” yang disampaikannya cenderung memaksa dan menganggap semua jawaban dari lawan bicaranya itu salah dan hanya jawaban dia saja yang paling benar. Di sini, dia seolah-olah hendak “menghakimi” semua jawaban orang lain dengan jawaban dia yang menurutnya “paling benar.” Bukankah cara ini adalah cara yang tidak tepat apalagi diucapkan persis setelah kebaktian gereja. Orang ini merasa diri lebih berbijak dan pandai ketimbang orang lain (apalagi orang ini mengklaim langsung bertanya kepada “Tuhan” ketika dia tidak mengerti ayat Alkitab yang dibacanya).



Saat ini, setelah kita merenungkan satu ayat ini, marilah kita berkomitmen menyatakan kasih persekutuan yang sehati sepikir dan tidak sombong sehingga itu mengakibatkan timbulnya kerukunan antar sesama tubuh Kristus dan kita menjadi berkat bagi orang-orang di luar Kristus. Maukah Anda melakukannya? Amin. Soli Deo Gloria.

Matius 12:22-28: KRISTUS: TUHAN ATAS PARA PENGUASA ANGKASA (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 3 Desember 2006

Kristus - Tuhan atas Para Penguasa Angkasa
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 12:22-28


Pendahuluan
Secara keseluruhan tema dari Injil Matius adalah Kerajaan Sorga dimana Kristus sebagai Raja. Konsep Kerajaan Sorga yang ditegakkan oleh Kristus memiliki konsep yang berbeda dengan pemikiran para pemimpin agama bahkan para murid dan para rasul yang berpikir bahwa Kerajaan Sorga bersifat duniawi atau materi. Kristus menegaskan Kerajaan Sorga tidak dibatasi pada materi, ruang dan waktu sebaliknya Kerajaan Allah bersifat kekal; Kerajaan Allah bersifat spiritual dimana orang yang hidup di dalam-Nya akan mendapatkan sukacita kekal. Sebagai warga Kerajaan Sorga, kita harus tunduk mutlak pada Kristus Yesus Raja; Dia adalah pemilik alam semesta ini; Dia adalah Tuhan atas hukum. Di dunia tidak ada hukum yang mempunyai kekuatan kecuali kita kembali pada Kritus Tuhan sebagai satu-satunya sumber hukum. Tentang Ketuhanan Kristus ini telah dinubuatkan jauh hari sebelumnya, hal ini membuktikan satu hal, yakni Allah berkuasa atas sejarah manusia. Kita telah memahami bahwa sejarah bukanlah fakta tetapi sejarah adalah interpretasi fakta secara subyektif; sejarah menjadi sejarah yang relatif. Sejarah sejati haruslah dilihat dari sudut pandang Kristus sebagai pemegang otoritas mutlak.
Matius membukakan pada kita bahwa orang yang secara fenomena bisu dan buta sesungguhnya di balik fenomena tersebut ada kuasa iblis yang membelenggu hidupnya. Dosa adalah akar segala kejahatan, kerusakan dan sakit penyakit. Penyebab dosa adalah manusia karena ia memberontak pada Allah. Sebelumnya Tuhan telah menekankan konsep dosa dengan menaruh pohon pengetahuan baik dan jahat dan memberikan hak pilih pada manusia – melawan perintah Tuhan maka ia mati sampai manusia melawan Tuhan barulah dosa itu riil. Sesungguhnya, hak pilih inilah yang menjadikan manusia hidup sebagai manusia yang sejati sebab tanpa hak pilih tersebut, manusia tidak ubahnya seperti binatang yang tidak mengerti makna dan tujuan hidup. Perhatikan, bukan pohonnya yang membuat manusia menjadi manusia sejati tetapi perintah Allah itulah yang menjadikan manusia sejati. Tuhan mencipta manusia berbeda dengan binatang; dengan akal budi, manusia dapat mempertimbangkan segala sesuatu secara rasional tentang yang baik dan jahat. Manusia adalah satu-satunya makhluk berakal budi yang mempunyai pertimbangan emosi dan rasional untuk mencapai suatu hidup yang bermoralitas dan berintegritas.
Seorang bijak akan mempertimbangkan segala hal termasuk akibatnya tentang hal yang baik dan buruk dan dari sudut pandang Tuhan, ia mengambil keputusan dengan tepat. Untuk mencapai suatu bijaksana sedikitnya harus ada dua pilihan supaya orang dapat mempertimbangkan apa yang baik dan buruk. Itulah tujuan Tuhan menempatkan pohon di tengah-tengah taman supaya manusia dengan akal budinya dapat mengambil keputusan yang tepat itulah yang dinamakan moralitas. Ingat, setiap keputusan ada resiko yang harus ditanggung karena itu kita harus bertindak bijaksana.
Seharusnya bukan hal yang berat bagi Adam untuk tidak makan buah pengetahuan baik dan jahat itu, sebab di antara sekian banyak pohon dalam taman Eden Tuhan hanya perintahkan satu pohon saja yang tidak boleh dimakan. Namun manusia berdosa menginterpretasi Firman salah; orang mempertanyakan kebaikan Allah dengan mengajukan pertanyaan: apakah Tuhan tahu kalau manusia jatuh dalam dosa? Lalu kenapa Tuhan tidak mencegahnya? Pertanyaan ini membuktikan bahwa manusia adalah manusia berdosa yang selalu berpikiran buruk. Manusia yang berdosa tapi melempar kesalahan itu pada orang lain, dalam hal ini Tuhan yang disalahkan. Adalah salah kalau orang berpendapat bahwa Tuhan adalah pengambil keputusan sebab pada saat yang sama, orang tidak suka ada pihak lain yang mengambil keputusan untuk kita. Tuhan tidak menjadikan kita robot yang harus dikendalikan sedemikian rupa. Tidak! Pilihan itu justru menjadikan kita seorang manusia sejati yang tahu harus bertanggung jawab.
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mulia yang dapat berproses menuju pada kesempurnaan dan manusia harus membuktikan bahwa benar dia adalah makhluk mulia, yakni di saat kritis, manusia diuji apakah keputusan yang ia ambil tersebut bijaksana? Ingat, keputusan moral sangat mempengaruhi dan menentukan integritas kita. Adalah suatu sukacita kalau keputusan kita tepat berarti sudah naik tingkat semakin dekat menuju pada sempurna seperti yang Tuhan inginkan. Jadi, setiap langkah keputusan yang kita ambil sangat menentukan posisi kita – semakin menuju pada kemuliaan atau semakin menuju pada kehancuran. Ketika kita menyadari kalau kita telah salah langkah maka kita harus kembali pada posisi yang tepat. Hati-hati, iblis akan menggunakan segala cara untuk menghancurkan manusia, salah satunya dengan memutarbalikkan konsep berpikir manusia. Ketika dibawa seorang yang kerasukan setan, orang itu buta dan bisu, Tuhan Yesus langsung menyembuhkannya. Tuhan ingin menunjukkan ada kuasa lain yang lebih besar dari kuasa iblis. Tuhan Yesus menyembuhkan orang buta, tuli, bisu ini menjadi tanda bahwa Dia adalah Mesias. Sebagian orang langsung sadar dan langsung menyebut Kristus sebagai Anak Daud. Orang tidak berani menyebut Yesus langsung dengan sebutan Mesias karena hukumannya mati. Itulah sebabnya, kita banyak menjumpai banyak kiasan atau simbol-simbol untuk menyebut Mesias. Faktanya, Kristus menyembuhkan orang kerasukan setan. Lalu bagaimana orang melihat dan menafsir fakta tersebut? Sebagian orang langsung menafsirkan bahwa Kristus adalah Anak Daud tetapi di pihak lain, orang Farisi melihat fakta yang sama tetapi menafsir lain dengan mengatakan bahwa Kristus adalah penghulu setan. Inilah sejarah, sebuah fakta yang sama tetapi menghasilkan dua kesimpulan yang berbeda, tergantung dari interpretasi manusia. Jelaslah paradigma atau konsep berpikir manusia itu sangat menentukan sebuah fakta sejarah yang sedang terjadi. Sebuah fakta kecelakaan mobil namun kesimpulan yang didapat akan berbeda tergantung dari konsep berpikir orang; seorang ekonom langsung menganalisa dan memperhitungkan kerugian, seorang dokter menganalisa secara medis, seorang ahli hukum menganalisa dari sisi hukum dan langsung terpikir tentang pasal-pasal tertentu yang sesuai untuk dikenakan pada si pengendara maupun si korban. Setiap orang melihat suatu fakta yang sama, pertanyaannya kesimpulan siapa yang paling benar?
Hal ini seharusnya menyadarkan manusia bahwa:
1. Manusia adalah makhluk terbatas.
Manusia hanyalah makhluk relatif yang berpandangan subyektif; manusia tidak berhak memutlakkan satu hal dari dirinya sendiri. Pertanyaannya adalah siapakah manusia sehingga ia berani memutlakkan diri sebagai kebenaran? Adalah sifat manusia berdosa yang ingin menjadi “tuhan“ dan berotoritas. Tuhan memberikan pada kita suatu kapasitas otorisasi namun ketika otorisasi itu diberikan manusia telah melanggar dua aspek penting, yakni: 1) manusia tidak kembali pada kebenaran sejati, betapa mengerikan hari ini kita hidup berada di antara tingkatan otoritas tinggi dan medium, sebab ketika suatu keputusan diambil berdasar otoritas tertinggi maka orang yang berada di tingkat bawah menjadi korban dari hasil keputusan tersebut. Dalam suatu perusahaan, pengambil keputusan berada di tangan komisaris dan tentu saja, orang yang berada di bawahnya, yaitu direksi yang menjalankannya tetapi ketika keputusan itu bermasalah dengan hukum maka yang celaka adalah orang-orang yang berada di bawah, 2) otoritas dipakai untuk keuntungan diri, memperkaya diri, dan kenikmatan diri akibatnya, orang yang berada di bawah otoritas itu, hidupnya menjadi sangat sengsara.
Manusia bukan pemegang otoritas mutlak. Tuhan menegaskan manusia harus tunduk mutlak pada Kristus Sang kebenaran sejati; Kristuslah pemegang otoritas mutlak. Di dunia modern, semangat humanis-egois terus diajarkan, orang terus dipacu untuk mendapatkan otoritas mutlak dan semua keinginannya. Hati-hati jangan termakan dengan ajaran yang menyatakan bahwa manusia adalah manusia yang tidak terbatas, , manusia bisa berbuat apa saja dengan kapasitas yang ada sekarang. Caranya manusia dipaksa sedemikian rupa dibawa pada suatu titik atau posisi kritis maka orang dapat menjadi superman. Orang sengaja dimasukkan dalam situasi kritus sampai muncul suatu kekuatan dari dalam dirinya yang ia sendiri tidak tahu darimana muncul kekuatan tersebut. Mungkin kita pernah mendengar banyak kisah serupa, entah kekuatan darimana, seorang ibu tiba-tiba dapat membengkokkan terali besi demi menolong anaknya dari kebakaran. Konsep “superman“ ini sangat berbahaya sekali.
Di dunia, kita mengenal ada konsep kelelahan, fatique, orang tidak akan pernah mengalami pengalaman yang sama seperti yang dialami pertama kali yakni mempunyai kapasitas besar untuk berbuat hal yang di luar batas dan kalaupun bisa maka pengalaman kedua mempunyai kualitas lebih rendah dari yang pertama begitu seterusnya semakin lama semakin menurun sampai akhirnya manusia menjadi fatique. Manusia tidak bisa ditaruh pada situasi kritis terus menerus, manusia akan menjadi gila. Sangatlah disayangkan, banyak orang yang tidak menyadari bahayanya konsep ini, manusia berlomba-lomba ingin menjadi manusia super dan celakanya, anak yang dijadikan korban. Tentu saja banyak pihak diuntungkan, nama sekolah menjadi terkenal karena ada anak-anak yang “sengaja“ dijadikan super. Namun perhatikan, gejala ini tidaklah lama, kualitas anak makin lama akan makin turun. Gejala yang sama juga dapat kita lihat hari ini, orang buta disembuhkan, orang lumpuh berjalan tapi perhatikan, beberapa hari ia akan kembali ke keadaan semula. Manusia adalah makhluk relatif, makhluk yang dependent and limited karena itu, orang harus kembali pada Kristus kebenaran mutlak. Ketika kita melihat suatu realita, kita harus mengintepretasi dengan tepat, yakni dengan melihat dari kacamata Tuhan. Setiap momen yang terjadi dalam setiap aspek hidup kita, banyak interpretasi yang dapat kita buat tapi Tuhan ingin bukan kehendak kita yang jadi melainkan kehendak-Nya.
2. Memutarbalikkan Kebenaran.
Orang Farisi adalah orang yang paling mengerti theologi bahkan sebelum ia berada dalam kelompok Farisi, ia dituntut untuk menghafal dan mengerti hukum Taurat dengan baik. Itulah sebabnya, orang Farisi dianggap sebagai orang paling saleh dan pandai diantara golongan lain seperti Saduki maupun Herodian. Namun ironis, orang yang paling saleh dan pandai justru memberikan interpretasi salah terhadap fakta kesembuhan yang dilakukan Tuhan Yesus. Sangatlah mengenaskan kalau para ilmuwan, para profesor, para doktor justru membuat kerusakan dalam ilmu pengetahuan. Orang menafsirkan Alkitab dengan sembarangan dan sembrono justru dilakukan oleh para doktor theologi. Memang, ironis, orang yang belajar Alkitab malah menjadi penghujat Tuhan.
Puji Tuhan, Tuhan munculkan Marthin Luther dan John Calvin dalam waktu yang hampir bersamaan. Marthin Luther, seorang doktor theologi, ia merombak paradigma yang salah tentang keselamatan. Luther menegaskan dengan keras bahwa keselamatan bukan tergantung dari uang seperti yang diajarkan oleh Johan Tetzel pada hari itu. Namun Marthin Luther tidak membangun sistematik Kekristenan yang kokoh dan Tuhan munculkan seorang bernama John Calvin, seorang yang mempunyai latar belakang hukum tapi ia belajar Alkitab dengan baik, ia membangun pondasi iman Kekristenan. Seorang doktor theologi sangat diperlukan selama ia berpaut dan bersandar pada Tuhan tetapi apalah gunanya seorang doktor theologi kalau ia menyeleweng dari jalan Tuhan dan tidak memuliakan Tuhan.
Celakalah, hidup kita kalau kita tidak men-Tuhankan Kristus sebab kemungkinan besar kita akan salah dalam memahami kebenaran, twisting the truth. Hal inilah yang terjadi pada orang Farisi, orang yang paling banyak belajar Taurat tetapi malah mengeluarkan pernyataan salah dengan mengatakan Yesus adalah penghulu setan. Seorang teolog, Leon Morris berpendapat bahwa bukanlah menjadi kebiasaan Matius memaparkan suatu kejadian dengan panjang lebar. Biasanya, Matius mengambil inti dari suatu peristiwa yang terjadi, ia tidak terlalu mempedulikan data tetapi khusus, bagian ini Matius memaparkan dengan jelas. Matius ingin menegaskan bahwa otoritas Kristus merupakan otoritas mutlak yang berada diatas kuasa setan. Hati-hati, di tengah-tengah percaturan filsafat, agama, gereja, dunia sangat senang bermain dengan hal-hal yang sifatnya relatif, dunia suka memelintir kebenaran sejati dengan multi interpretation. Bukanlah hal yang mudah untuk men-Tuhankan Kristus tapi hanya dengan men-Tuhankan Kristuslah yang menjadi satu-satunya kemungkinan bagi kita untuk dapat menginterpretasi realita yang terjadi di dunia dengan tepat. Biarlah kita setia pada Firman dan kembali pada Kristus karena Dia berhak atas hidup kita.
3. Kuasa Kristus lebih besar dari kuasa iblis.
Kristus menyatakan kalau kuasa-Ku nyata melawan kuasa setan maka itu berarti Kerajaan-Ku hadir. Pernyataan Kristus ini menjadi pernyataan final dan penentu dari semua berita yang hari ini berkembang – menghujat Roh Kudus. Hat-hati dengan iblis yang seolah-olah mempunyai kuasa besar tetapi sesungguhnya, dia hanyalah seorang penipu besar, ia mempunyai kekuatan yang dipakai untuk menghancurkan. Perhatikan, itu bukan Allah sejati tetapi “allah palsu.“ Di tengah dunia ini ada dua kekuatan besar yang diletakkan secara paralel atau sejajar. Di dunia barat, ada konsep dualisme yang menekankan bahwa di alam semesta ini ada dua kekuatan yang sama kuat, yakni baik – jahat, hitam – putih dimana dua kekuatan ini selalu ada di sepanjang sejarah jaman. Di dunia timur juga dikenal konsep yang hampir sama, yakni konsep Yin Yang dimana di dalam baik ada jahat dan di dalam jahat ada baik; konsep semi dualisme monoistik ini lebih jahat dibanding konsep dualisme murni sebab tidak ada kebaikan yang benar-benar baik atau kejahatan yang benar-benar jahat. Dunia timur lebih kompromistik dibanding dunia barat. Konsep yang salah! Alkitab menegaskan kuasa jahat di bawah kuasa Tuhan; ketika kuasa Tuhan itu dinyatakan, kuasa iblis harus menyingkir. Kalau hari ini kita melihat fenomena sepertinya kuasa Tuhan dikalahkan maka perhatikan, kekalahan itu sifatnya sementara, yakni karena Tuhan memang mengijinkan namun sampai suatu titik tertentu Tuhan akan bertindak. Tuhan adalah Tuhan yang berdaulat atas alam semesta maka jangan bermain dengan kuasa apapun di dunia, jangan bermain dengan konsep Yin Yang sebab konsep itu tidak pernah terjadi dalam realita, kuasa yang kelihatan hebat itu hanyalah semu belaka.
Jangan takut, kalau kita adalah anak Tuhan yang sejati maka tidak ada kuasa apapun di dunia yang dapat menyentuh atau mempermainkan anak Tuhan sejati. Kuasa Tuhan lebih besar dari kuasa iblis. Kita mungkin pernah mendengar banyak kesaksian dari anak-anak Tuhan sejati dimana kuasa iblis tidak mampu menyentuh mereka. Hal yang sama juga terjadi pada suatu kebaktian kebangunan rohani yang dipimpin Pdt. Stephen Tong, orang mencoba bermain-main dengan kuasa iblis untuk dikenakan padanya tetapi kuasa Tuhan yang besar itu sungguh nyata, kuasa iblis dikalahkan. Sejarah membuktikan bahwa kekuatan Tuhan dan kekuatan iblis tidak berada pada posisi sejajar; kuasa Tuhan lebih besar dari kuasa iblis; kuasa iblis harus tunduk di bawah kuasa Tuhan. Biarlah kita mengevaluasi diri, sudahkah kita men-Tuhankan Kristus dalam seluruh aspek hidup kita? Sadarlah bahwa ketika kuasa Roh Allah dinyatakan di tengah-tengah dunia itu berarti Kerajaan Allah sudah datang kepadamu. Biarlah kita mau menyerahkan diri kepada Tuhan untuk disucikan maka Kerajaan Tuhan hadir di dalam hidup kita, bukan secara fisik tetapi secara rohani dan membiarkan Dia memerintah total atas hidup kita. Amin
(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber: