31 October 2008

ANALISIS ONTOLOGIS MENGENAI PEMIKIRAN THEOLOGIS (Pdt. Prof. Joseph Tong, Ph.D.)

ANALISIS ONTOLOGIS MENGENAI PEMIKIRAN THEOLOGIS: Suatu Studi Perbandingan Antara Theologi Antroposentris dan Theosentris

oleh: Pdt. Prof. Joseph Tong, Ph.D.




PENDAHULUAN
Bertentangan dengan persepsi pada umumnya yang percaya bahwa kebanyakan pendeta tidak tertarik dengan theologi, maka paper ini akan membuktikan hal yang sebaliknya. Baru-baru ini, penulis mendapatkan kesempatan untuk memberikan kuliah tentang ‘pemikiran dasar theologis’ kepada sekelompok pendeta yang telah berpengalaman dalam melayani di gereja di China. Selama kuliah berjalan, penulis takjub ketika mendapati bahwa orang-orang tersebut mengekspresikan ketertarikan mereka yang sangat dalam akan theologi. Mulai dari peristiwa itulah penulis menyadari bahwa ada dua alasan mengapa para pendeta tersebut selama ini tidak begitu tertarik dengan theologi.
1. Sebagian besar theolog lebih tertarik dengan keahlian berbicara yang tinggi dan memukau tanpa memperdulikan pemahaman orang lain. Mereka lebih mementingkan gengsi dan harga diri mereka dari pada hal-hal yang sifatnya praktis serta akademis lebih dari pada praktis. Selain dari pada gelar, karya tulis, dan seminar-seminar yang mereka lakukan, mereka tidak memberikan kontribusi yang baik dan praktis bagi gereja, juga tidak memiliki pelayanan yang berbuah di gereja dan juga di dalam komunitas kekristenan. Lebih lagi, sebagian besar dari presentasi mereka tidak memberikan apa-apa selain daripada perdebatan yang tidak penting, yang mengganggu pemikiran dan iman jemaat. Karena semangat perdebatan tersebut, mereka sering kali membuat perpecahan dan konflik di dalam gereja.

2. Sebagian besar dari pemikiran theologis adalah tidak praktis, sulit untuk dimengerti atau dipahami. Bahkan banyak theolog yang justru berusaha untuk memperumit kebenaran yang sebenarnya sederhana, sehingga membuat Injil yang sederhana menjadi tidak berbuah sama sekali.

Kedua hal tersebut merupakan alasan-alasan mengapa para pendeta tidak menyukai theologi. Masalahnya sederhana, bukan terletak pada diri para pendeta yang tidak tertarik dengan theologi atau pelajaran theologis, melainkan pada pengajar theologi yang telah mengajarkan theologi dan pemikiran theologi dengan metodologi yang sama sekali tidak praktis. Karena hal inilah maka para pendeta tersebut kurang memiliki persiapan yang mendalam untuk bertheologi, dan menganggap bahwa usaha untuk bertheologi tidak menghasilkan banyak buah dalam pelayanan melainkan hanya membuang banyak biaya dan usaha, oleh sebab itu mereka merasa enggan untuk melibatkan diri dalam pendidikan theologi.

Faktanya, apabila seseorang yang berkecimpung dalam pemikiran theologi atau pendidikan theologi dapat mengejahwantahkan dan mengakomodasi theologi dengan menggunakan bahasa yang sederhana untuk menyampaikan pemikiran theologi, maka penulis percaya bahwa para pendeta tersebut akan mendengarkan dengan serius dan dengan segenap hati mereka untuk dapat melibatkan diri dalam pemikiran theologi dan pendidikan theologi dengan serius. Dengan demikian, para praktisi yang telah sangat berpengalaman tersebut dapat meningkatkan pelayanan mereka untuk suatu pelayanan yang lebih baik dan lebih besar untuk kemuliaan Tuhan dan membawa berkat yang besar bagi jemaat.

Berdasarkan komitmen dan keyakinan di atas maka paper ini ditulis sebagai usaha untuk menganalisa pemikiran dasar theologi dengan maksud untuk menyediakan sebuah fondasi dan kerangka kerja bagi para praktisi dan pendeta untuk mengkaji ulang prinsip-prinsip yang beroperasi dalam pelayanan mereka.




ANALISIS PROPOSISIONAL
Paper ini akan berusaha menganalisis secara ontologis untuk mengkategorikan pemikiran-pemikiran theologi yang dewasa ini berkembang dalam kekristenan. Istilah analisis-ontologis membutuhkan penjelasan tersendiri. Istilah ontologis yang dipakai penulis dalam paper ini sebenarnya memiliki arti hal-hal yang mendasar, sederhana dan yang merupakan fondasi dari pemikiran, orientasi serta pemahaman seseorang akan iman dan praktiknya. Tujuan penulis adalah menggunakan metode semacam itu untuk membuat perbandingan kategorial akan metode berpikir, orientasi dan garis pemikiran seseorang yang secara sengaja atau pun tidak sengaja dilakukan untuk memahami theologi, iman, dan praktiknya.




PELAJARAN UNTUK DIPELAJARI
Mengkategorikan pemikiran-pemikiran theologi tidaklah mudah. Di sebagian besar kasus kita mengetahui bahwa banyak sekolah pemikiran theologi, beberapa diantaranya baik dan banyak juga yang kurang baik. Secara tradisional, sejak zaman para rasul para theolog membagi pemikiran theologi ke dalam dua kategori, yaitu: Alexandrian dan Antiochian. Untuk memberikan sebuah pemahaman yang lebih baik, Gusto Gonzales, seorang sejarahwan theologi yang terkenal, mencoba merevisi pembagian sekolah-sekolah theologi dari dua kategori menjadi tiga kategori yaitu: Alexandrian (Origen and Clement.), Carthegian (Tertulian), Antiochian (Ireneaus), yang disebut dengan Theologi A, Theologi B, dan Theologi C.1 Menurut Gonzales, Theologi A mewakili golongan Aleksandria yang pemikirannya mengadopsi dasar filosofi sebagai fondasi theologi mereka; sedangkan Theologi B mewakili kelompok Karthago (Secara tradisional disebut Antiokhian) menggunakan dasar retorika dan hukum, dan Theologi C (sebuah pendekatan baru yang diperkenalkan oleh Gonzales) lebih menekankan kepada masalah-masalah pastoral sebagai dasar dari theologinya. Menurut penulis, Gonzales berhasil menyediakan suatu kerangka kerja yang lebih lengkap untuk penggolongan pemikiran theologi, dan karena itu ia menyediakan sebuah argumentasi akademik dan historis yang sangat kuat bagi kasusnya. Meskipun demikian, karena pendekatannya terlalu menekankan akademik dan anti tradisional, maka pendekatan tersebut tidak mendapatkan tanggapan yang mengesankan dan kurang direspon oleh kaum akademis, juga tidak menimbulkan perdebatan yang panas, dan kurang lebih lima tahun pendekatan ini hilang begitu saja.

Karena alasan itulah, paper ini tidak berusaha untuk membuat kategori lainnya demi menyusun sebuah pemikiran theologi yang khusus, akan tetapi paper ini ditulis untuk menyediakan sebuah pendekatan analisa metodologi terhadap orientasi dari pemikiran-pemikiran theologi secara umum di dalam analisa ontologis, dengan tujuan untuk melihat hal-hal yang memiliki kesamaan dan perbedaan. Oleh sebab itu, penulis berusaha untuk menghindari masalah-masalah kontroversial dengan membuat suatu kerangka kerja bagi pembaca agar pembaca memiliki sebuah ruang yang luas untuk melakukan refleksi untuk mengisi kekosongan dari pemikiran theologi mereka sendiri.

Paper ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama ditujukan kepada pembaca umum dengan tujuan untuk menyediakan sebuah kerangka pemikiran dasar yang sederhana untuk mengkategorikan pemikiran dasar theologi; sedangkan bagian kedua ditujukan untuk para pendeta dan mahasiswa theologi yang melakukan analisa secara mendalam dan komprehensif akan metode serta orientasi theologi mereka. Dengan menyediakan sebuah kerangka pemikiran dan struktur yang dapat diaplikasikan, penulis berharap mereka akan memiliki sistem iman dan kepercayaan yang berguna bagi pelayanan mereka. Penulis juga berusaha menyediakan beberapa ilustrasi pada bagian terakhir.




ANALISIS-ONTOLOGIS YANG SEDERHANA AKAN PEMIKIRAN-PEMIKIRAN THEOLOGIS
Dua Kategori Theologi
Berdasarkan analisa ontologis yang sederhana akan pemikiran theologi, kita akan menemukan bahwa ada dua kategori theologi, yaitu: orientasi theosentris dan orientasi antroposentris. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa orientasi theosentris berpusatkan pada Tuhan dan orientasinya adalah: “dari Allah, oleh Allah, dan untuk Allah,” seperti yang dikatakan oleh Paulus dalam Roma 11:36. Sebaliknya, orientasi Antroposentris memusatkan pemikirannya kepada manusia dan mengadopsi orientasi: “dari manusia, oleh manusia dan untuk manusia.”

Faktanya sederhana, ada dua rute orientasi, karena pemikiran theologi tidak pernah terlepas dari dua mata kapak, Allah dan manusia. Setiap orientasi selanjutnya dapat di bagi ke dalam dua bagian: 1) orientasi theosentris terdiri dari: i) genuine theocentric (theosentris murni), ii) dan quasi theocentric (seakan-akan theosentris), 2) sedangkan orientasi antroposentris dapat dibagi menjadi: i) pure anthropocentric (antroposentris murni) dan ii) quasi anthropocentric (seakan-akan antroposentris) atau pseudo theocentric.

Yang dimaksud dengan genuine theocentric adalah sebuah komitmen iman yang teguh terhadap orientasi theologi yang percaya bahwa semuanya berasal dari Tuhan, oleh Tuhan, dan untuk Tuhan. Sedangkan orientasi quasi theocentric, sekalipun memiliki sebuah kepercayaan yang teguh bahwa “segala sesuatu berasal dari Tuhan” akan tetapi disengaja atau pun tidak memasukkan unsur-unsur kepentingan manusia dalam proses pemikirannya sehingga membuat sifat dari teosentrisnya menjadi tidak murni. Orientasi ini tampak seperti theosentris, tetapi sebenarnya jauh dari orientasi theosentris yang sebenarnya, oleh sebab itulah penulis menyebutnya sebagai quasi theocentric theology. Hampir sama, pure anthropocentric artinya adalah sebuah komitmen iman yang teguh terhadap orientasi theologi, yang percaya bahwa semuanya berasal dari manusia, oleh manusia dan untuk manusia. Sedangkan quasi anthropocentric, sekalipun percaya bahwa “segala sesuatu berasal dari manusia” namun memerlukan Tuhan dalam proses pemikirannya, sehingga orientasi ini merupakan antroposentris yang tidak murni. Orientasi ini memiliki sifat yang bisa membuatnya menjadi theosentris, akan tetapi masih jauh dari theosentris yang murni, oleh sebab itu orientasi ini lebih tepat disebut sebagai “theosentris semu.” Faktanya, analisa detail masih mungkin apabila kita ingin melihat bagaimana setiap orientasi ini beroperasi dalam konteks theologi. Analisa berikut ini akan membantu kita untuk mengupas dua orientasi yang telah dipaparkan di atas serta bagaimana mereka beroperasi.


Kerangka Singkat Orientasi-orientasi dari Pemikiran Theologis
Kategori 1: Orientasi Theosentris
A. Genuine Theocentric Orientation
Dari Allah, oleh Allah, untuk Allah
B. Quasi-Theocentric Orientation:
i) Dari Allah, oleh Allah, untuk Allah
ii) Dari Allah, oleh manusia, untuk manusia
iii) Dari Allah, oleh manusia, untuk Allah

Kategori 2: Orientasi Antroposentris
A. Pure Anthropocentric Orientation
Dari manusia, oleh manusia, untuk manusia
B. Quasi Anthropocentric atau Pseudo Theocentric Orientation:
i) Dari manusia, oleh Allah, untuk manusia
ii) Dari manusia, oleh Allah, untuk Allah
iii) Dari manusia, oleh manusia, untuk Allah

Pada dasarnya, selain orientasi genuine theocentric semua orientasi lainnya baik sengaja atau pun tidak telah memasukkan unsur manusiawi dalam proposisi dan pengulasan theologi mereka. Oleh sebab itu, semua orientasi lainnya harus dikategorikan sebagai “quasi theocentric” atau “pseudo theocentric orientations.” Mereka telah memasukkan beberapa pemikiran theologis yang tidak murni dalam komitmen serta orientasi theologi mereka, dengan mengabaikan keabsolutan Tuhan serta tuntutan-Nya. Dengan menggunakan kerangka pemikiran yang demikian untuk mempresentasikan pemikiran theologi dewasa ini, kita harus mengakui hanya ada sedikit sekali genuine theocentric theology. Apa yang kita miliki sekarang ini sebagian besar adalah pure anthropocentric, pseudo theocentric, dan quasi theocentric. Ini adalah sebuah fakta yang harus membuat kita para pendeta dan orang percaya merasa prihatin!




MENGEMBANGKAN DAN MENGUMPULKAN KEMBALI ORIENTASI THEOSENTRIS DALAM PEMIKIRAN THEOLOGI
Klarifikasi atas Orientasi Theosentris
Kita harus mencatat bahwa ada perbedaan antara theologi dan divinity.2 Theologi didasarkan pada wahyu Allah, yang merupakan buah dari refleksi dan pembacaan umat Tuhan akan wahyu Allah. Tidak diragukan lagi, semua theologi pasti melibatkan aktivitas manusia, demikian juga theologi theosentris. Bahkan bisa dikatakan bahwa theosentrisitas harus melibatkan faktor-faktor serta pemikiran manusia dalam pengulasan theologinya. Dengan kata lain, orientasi theosentris adalah inklusifitas dari antroposentrisitas, dan theosentrisitas melibatkan faktor manusia. Ini adalah keajaiban dari anugerah Tuhan yang murah. Sebaliknya antroposentris kemungkinan adalah inklusifitas dari theosentris. Mengacu kepada fakta akan keterbatasan dan keberdosaan manusia, kapanpun manusia bertidak, akan selalu mengambil sentralitas dari pemikirannya serta mengesampingkan sentralitas dari Allah.

Inilah alasan, mengapa theosentrisitas adalah sangat penting, hanya ada satu cara, satu orientasi, dan satu pemikiran yang benar: Dari Tuhan, melalui/oleh Tuhan, untuk/bagi Tuhan. Inilah satu-satunya theocentric theology yang benar. Untuk lebih jelasnya kita menyebutnya sebagai “Genuine Theocentric Theology.”


Theologi Antroposentris dan Kaitannya
Di dalam pembahasan tentang anthropocentric theology di bagian pertama, sudah dijelaskan bahwa orientasi antroposentris adalah sistem kepercayaan dalam pemikiran manusia yang memiliki kerangka pemikiran: Dari manusia, oleh manusia, dan untuk manusia. Seperti telah kita bahas sebelumnya, bahwa karena Tuhan adalah Sang Pencipta, maka antroposentisitas adalah mungkin diterapkan dalam konteks theosentrisitas, dan bukan sebaliknya. Dengan pemahaman yang demikian, maka orientasi antroposentris dapat dipahami dalam tujuh pendekatan. Untuk lebih memudahkan, penulis akan memaparkan analisa ini dalam kerangka pemikiran berikut ini:
1. Dari Tuhan, oleh Tuhan, untuk manusia.
2. Dari Tuhan, oleh manusia, untuk manusia
3. Dari Tuhan, oleh manusia, untuk Tuhan
4. Dari manusia, oleh manusia, untuk manusia
5. Dari manusia, oleh Tuhan, untuk manusia
6. Dari manusia, oleh Tuhan, untuk Tuhan
7. Dari manusia, oleh manusia, untuk Tuhan

Dari 7 pendekatan di atas, hanya poin 4, yang merupakan antroposentris murni, yang lainnya bisa dipahami dalam dua cara yaitu: pemikiran antroposentris yang memiliki orientasi antroposentris, atau pemikiran theosentris yang memiliki orientasi antroposentris. Kedua pendekatan di atas disebut “theocentric humanism” dan “humanistic theology,” atau “anthropo-theocentric thought orientation.” Dari luar semuanya terlihat sama, tetapi secara ontologis mereka hampir identik. Keduanya membawa nama Tuhan, akan tetapi menggunakan nama Tuhan dengan sia-sia, akhirnya diakhiri dengan manusia sebagai perhatian utama mereka. Untuk masalah ini akan dibahas secara lengkap berikut ini.
1. Theocentric Humanism
Semua theocentric humanism memiliki kesamaan karena diawali dengan Tuhan, akan tetapi dalam proses pemikiran dan metodologi, mereka selalu memasukkan faktor manusia dalam operasi mereka. Pendekatan pertama yang telah disebutkan di atas yaitu: Dari Tuhan, oleh Tuhan, untuk manusia; pendekatan kedua; Dari Tuhan, oleh manusia, untuk manusia, dan pendekatan ketiga, dari Tuhan, oleh manusia, untuk Tuhan, ketiga-tiganya salah memahami dan salah menggunakan theosentrisitas. Oleh sebab itu kita harus menyebut mereka sebagai “quasi theocentric theology.” Sekalipun mereka semua dimulai dengan Allah dan menjadikan Allah sebagai fondasi pemikiran mereka, akan tetapi, baik dalam arah dan cara kerja mereka, mereka selalu mementingkan manusia dan sentralitas manusia. Akibatnya, mereka semua berakhir dengan bentuk lain dari orientasi theosentris yang menggunakan metode manusia untuk menyelesaikan karya Allah atau membuat Allah sebagai alat untuk mencapai kemuliaan manusia.

2. Humanistic Theology
Apa yang dimaksud dengan humanistic theology adalah pemikiran theologis yang selalu dimulai dengan humanitas, akan tetapi dalam metodologi dan proses pemikiran theologi mereka berusaha untuk melibatkan Allah dan faktor-faktor ilahi, sehingga seakan-akan terlihat seperti theosentris. Sedangkan orientasi yang diekspresikan dalam pendekatan ke lima sebagai “Dari manusia, oleh Allah, untuk Allah, pendekatan ke enam: Dari manusia, oleh Allah, untuk manusia, dan pendekatan ke tujuh: Dari manusia, oleh manusia, untuk Allah. Semua pendekatan tersebut pada dasarnya dimulai dengan antroposentris. Semua pendekatan tersebut menggunakan manusia sebagai fondasi pemikiran mereka, sekalipun mereka kemungkinan bergantung dan percaya kepada Allah, akan tetapi mereka menjadikan manusia sebagai perhatian utama mereka. Semua pemikiran tersebut harus dikategorikan pseudo theocentric theology3 karena semuanya tidak mengesampingkan natur keberdosaan manusia dalam usaha bertheologi mereka. Sehingga, semua pendekatan tersebut mengandung tindakan manusia yang salah dan berdosa. Mereka berpikir bahwa selama manusia memiliki kehendak dan kegigihan yang cukup, maka Allah tidak dapat menggagalkan usaha manusia. Bahkan tanpa anugerah Allah sekalipun, segala sesuatu tetap dapat diselesaikan, karena manusia menghendakinya. Sekalipun Allah yang memutuskan, manusialah yang harus berencana dan berusaha. Allah tidak akan mengabaikan kerinduan dan kegigihan hati manusia. Apabila kita melakukan tugas kita, Allah pasti mendengarkan, Dia pasti akan memberi ganjaran bagi mereka yang mencari Dia. Mereka semua salah memahami kehendak Allah dan salah menafsirkan Firman Tuhan sehingga mereka disebut “pseudo theocentric theology.”4




UJIAN DAN ILUSTRASI ANTHPOSENTRIC THEOLOGY
Alkitab mengajarkan bahwa Tuhan kita adalah Penguji hati dan pikiran kita. Yesus suatu waktu mengatakan: Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu! (Mat. 6:22-23). Melihat konteks dari ayat ini, kita dapat mengatakan bahwa kalimat ini ditujukan bagi mereka yang sangat mengenal Hukum. Mereka adalah orang-orang yang “telah mendengar apa yang dikatakan... “Akan tetapi Yesus berkata, “Tetapi Aku berfirman kepadamu...” melihat konteks yang ada kita dapat mengatakan bahwa Yesus hanya menekankan dengan jelas apa yang telah diabaikan! Mereka perlu menguji kembali pemikiran dan orientasi mereka. Sebenarnya artikel ini tidak memberikan sesuatu yang baru, akan tetapi hanya berusaha untuk memunculkan apa yang sebenarnya telah ada dalam pikiran sebagian besar pedeta dan orang percaya supaya kita semua dapat melakukan refleksi dan instropeksi yang mendalam. Penulis berharap agar ilustrasi di bawah ini dapat menerangi kita agar kita dapat melakukan tugas kita untuk memperjelas sentralitas dari pemikiran theologi kita.
1. Penjelasan Ilustrasi 1: “Dari Tuhan, oleh Tuhan, untuk Manusia” (bentuk operasi Pseudo Theocentric Theology)
Ketika sebuah khotbah mengakui bahwa segala sesuatu berasal dari Tuhan dan oleh Tuhan, akan tetapi dengan atau tanpa sengaja mengakui bahwa Tuhan dan pekerjaan-Nya dilakukan untuk kepentingan dan kemuliaan manusia, maka khotbah semacam itu yang mengklaim ketergantungannya kepada Tuhan, sebenarnya telah memanfaatkan Tuhan untuk kemuliaan Tuhan. Inilah yang diekspresikan dalam doa Yabez (1Taw. 4:10). Banyak orang Kristen tanpa sengaja jatuh ke dalam praktik semacam ini dan tersesat dalam kesalahan yang fatal. Hal inilah yang terjadi dalam “Theologi” Kemakmuran yang dipraktikkan oleh pengikut ajaran-ajaran Karismatik.

Kita harus ingat apa yang selalu Tuhan katakan bahwa Dia tidak akan membiarkan seorang pun merampas kemuliaan-Nya. Biarlah kita semua belajar dari Pemazmur yang mengatakan: Bukan kepada kami, ya TUHAN, bukan kepada kami, tetapi kepada nama-Mulah beri kemuliaan, oleh karena kasih-Mu, oleh karena setia-Mu! (Mzm. 115:1)


2. Penjelasan Ilustrasi 2 dan 3: “Dari Allah, oleh manusia, untuk manusia” dan “dari Allah, oleh manusia, untuk Allah”
Kedua pemikiran ini mengambil Tuhan sebagai fondasi pemikiran mereka, akan tetapi semuanya tergantung kepada pekerjaan manusia untuk menggenapkan tujuannya yang ditujuan baik itu untuk Allah maupun manusia.

Apabila sebuah khotbah mengakui keabsolutan anugerah, karya, dan kuasa Ilahi, akan tetapi dengan atau tanpa sengaja berbicara tentang ketergantungannya kepada sinergisme antara pekerjaan manusia untuk memberikan kemuliaan baik itu bagi Allah maupun manusia, maka pendekatan seperti ini adalah bentuk yang lain lagi dari antroposentrisme yang mengatakan bahwa tanpa manusia, Tuhan tidak dapat melakukan apa pun juga. Sekalipun Allah adalah maha kuasa, akan tetapi tanpa kerja sama dari manusia semuanya akan menjadi sia-sia.

Sangat sering penulis mendengar orang Kristen berkata: Untung saya percaya, kalau tidak bagaimana mungkin saya bisa selamat! Untung saya berdoa, dan berdoa dengan tekun, apabila tidak, bagaimana saya dapat melakukan semuanya? Untunglah saya menyerahkan hidup saya, apabila tidak, bagaimana mungkin gereja ini bisa memiliki seorang pendeta yang baik? Perkataan-perkataan semacam itu mengandung pesan betapa pentingnya keterlibatan manusia dalam pekerjaan Tuhan dan keselamatan. Sangat antroposentris dalam pendekatan mereka! Pendekatan semacam ini sama sekali gagal dalam memahami theosentrisitas! Mereka mencoba memulai dengan iman dalam anugerah, akan tetapi berusaha menyelesaikannya dengan daging dan pekerjaan manusia! Menjadikan manusia sebagai yang paling penting (Gal. 3:3).


3. Pejelasan Ilustrasi 4: “Dari manusia, oleh manusia, untuk manusia” (anthropocentric theology yang murni)
Pendekatan ini merupakan kasus dari orientasi antroposentris yang murni dimana semuanya berasal dari manusia, oleh manusia, dan untukmanusia. Tidak diragukan lagi ini adalah orientasi yang dilakukan oleh kaum Modernisme, Liberalisme dan orang tidak percaya yang menekankan manusia sebagai sumber dari segala sesuatu, yang awal (the alpha) dan yang akhir (the telos) dari segala sesuatu.

Nebukadnesar dalam kitab Daniel sangat cocok dengan ilustrasi ini. Ketika dia mendapatkan wahyu dari Allah dia sangat terkesan dengan nasehat yang diberikan oleh Daniel. Akan tetapi, dia menjadi lupa diri dan mengatakan: “Bukankah itu Babel yang besar itu, yang dengan kekuatan kuasaku dan untuk kemuliaan kebesaranku telah kubangun menjadi kota kerajaan?” (Dan. 4:30). Akhirnya dia dihalau dari antara manusia dan makan rumput seperti lembu (Dan. 4:33). Bagi mereka yang mengadopsi theologi antroposentris murni, Tuhan berfirman: Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya. (Gal. 6:7). Theologi Antroposentris yang murni menurut Paulus adalah “Injil yang lain”.


4. Penjelasan Ilustrasi 5: “Dari manusia, oleh Allah, untuk manusia”
Secara umum, semua agama percaya akan keberadaan Tuhan. Pada kenyataannya, tidak ada satu agama pun yang menolak keberadaan Tuhan. Secara sosiologis, tujuan dari agama adalah untuk memuaskan dan memenuhi kebutuhan manusia. Dari semua pandangan, budaya, sosiologis, ekonomi dan politik, agama hanyalah sebuah alat. Apabila para pendeta tidak berhati-hati, sudah pasti mereka akan jatuh ke dalam lubang keagamaan yang seperti ini dalam pelayanan mereka dengan menjadikan manusia sebagai dasar iman dan praktik pelayanannya, mempercayai Tuhan untuk mencapai keuntungan manusia. Semua praktik keagamaan, upacara-upacara, ibadah, doa, penyembahan dan persembahan hanyalah sekadar sebuah metode atau alat. Di dalam konteks yang semacam itu, Tuhan hanyalah sebuah simbol, jembatan, dan alat. Operasi yang semacam ini sengaja atau pun tidak membuat orang percaya menyangkali iman mereka akan keabsolutan Tuhan dan mengadopsi sinergisme dan sinkretisme dalam pekerjaan Injil. Inilah sebabnya kita sering menetapkan pikiran kita, menentukan arah dan mengambil jalan kita kita sendiri kemudian berdoa dengan tekun, berpuasa untuk meminta dan memaksa Tuhan agar memenuhi keinginan dan tuntutan kita supaya kita mendapatkan berkat dan kemuliaan. Apakah hal semacam ini dapat disebut sebagai antroposentris? Apabila operasi semacam itu ingin disebut dengan theosentris, maka paling tidak itu adalah sebuah bentuk dari pseudo theocentric.


5. Penjelasan Ilustrasi 6: “Dari manusia, oleh Allah, untuk Allah”
Ini merupakan bentuk dari pseudo theocentric theology yang paling sulit untuk dimengerti. Pendekatan ini tampaknya sudah salah dari awalnya. Menajdikan manusia sebagai fondasi dari pemikiran theologisnya, berusaha bergantung kepada Tuhan dan dilakukan untuk kemuliaan Tuhan. Faktanya, orientasi ini merupakan bentuk lain dari orientasi yang sebelumnya. Pada dasarnya orientasi ini menunjukkan ketidakmungkinannya, karena pemikiran theologis selalu diakhiri dengan apa yang dimulainya. Sebuah orientasi yang dimulai dengan manusia tidak dapat diakhiri dengan Allah. Dalam orientasi ini, Allah hanya merupakan simbol manusia. Itulah sebabnya orientasi ini dikategorikan sebagai “pseudo theocentric religion.” Ilustrasi untuk orientasi ini adalah Ananias dan Safira. Mereka melayani Allah karena keinginan mereka sendiri. Mereka juga mengakui apa yang merkea dapatkan dari Allah dan berusaha memuliakan Allah dengan persembahan mereka. Meskipun demikian, Allah yang memeriksa hati dan pikiran mengetahui bahwa dalam realitanya mereka menjadikan diri mereka sendiri sebagai tujuan akhir dari ibadah mereka dan mendapatkan hukuman kerna perbuatan mereka. Dalam analisa finalnya, orientasi ini adalah identik dengan orientasi kelima.


6. Penjelasan Ilustrasi 7: “Dari manusia, oleh manusia, untuk Allah”
Ini merupakan orientasi yang paling sulit, theologi yang paling pseudo theocentric. Dimulai dengan manusia, percaya akan kemampuan manusia, akan tetapi ditujukan untuk kemuliaan Tuhan. Dari luar kelihatan sangat berusaha untuk theosentris, akan tetapi apabila dianalisa secara mendalam, kita akan melihat ketidakmungkinan dalam orientasi ini. Agama Kain adalah contoh dari praktik yang semacam ini. Dia datang kepada Allah, tidak merasa berdosa karena perbuatannya, dia memberikan persembahannya dan berasumsi bahwa Tuhan menerima persembahannya. Ketika dia mendapati bahwa persembahannya ditolak oleh Allah, dia menjadi marah dan membunuh adiknya. Bagi dia, agama adalah urusannya sendiri. Dia yang aktif, dia merasa memiliki hak untuk memaksa Allah menerima persembahannya, karena dia berusaha untuk memuliakan Allah. Demikian juga dengan kedua anak Harun, yang masing-masing mengambil perbaraannya, membubuh api ke dalamnya serta menaruh ukupan di atas api itu. Dengan demikian mereka mempersembahkan ke hadapan TUHAN api yang asing yang tidak diperintahkan-Nya kepada mereka. Faktanya sederhana: Tidak seorang pun dapat menyenangkan Allah tanpa anugrah Allah. Allah tidak dapat menerima api asing dan persembahan yang tidak kudus! (Im. 10:1)

Pada kenyataannya, ketika seseorang mengakui pekerjaan dan kemuliaan Tuhan, akan tetapi memulainya dengan manusia dan bergantung kepada usaha-usaha manusia, maka yang menjadi perhatian utamanya tidak lain hanyalah manusia dan dirinya sendiri. Dengan kata lain, semuanya berasal dari manusia dan oleh manusia. Ini merupakan contoh yang sangat tepat akan kesalahan tafsir akan wahyu Allah dan keselamatan. Secara theologis, Tuhan, Sang Pencipta tidak membutuhkan ciptaan-Nya untuk membawa kemuliaan bagi diri-Nya sendiri. Menciptakan adalah tindakan Allah yang bebas. Ketika seseorang berusaha memasukkan pandangan pantheistik ke dalam pemahaman theologinya, maka aktivitas keagamaan menjadi tidak lebih dari sekadar usaha untuk memercikkan percikan ilahi di dalam manusia. Ini merupakan peneguhan akan divinitas manusia, menganggap manusia sebagai bagian dari Allah, dan bahkan Allah itu sendiri. Aktivitas keagamaan menjadi tidak lebih dari sekadar usaha untuk mebebaskan jiwa yang tertekan dari materi, kedagingan dan nafsu, untuk menaikkan jiwa manusia. Ini merupakan duplikasi dari mistisisme, materialisasi dari gnostisisme dalam praktik kontemplasi. Sebuah pengertiann yang sama sekali salah akan theologi theosentris, karena mereka memperlakukan spiritualitas yang sejati sebagai praktik spiritualitas dan lebih lanjut mengambil spiritualitas sebagai kehidupan spiritual, sebuah kegagalan umum dari theologi kontemporer.




AFIRMASI ORIENTASI REFORMED: KESIMPULAN
Tujuan penulis adalah untuk memaparkan kerangka pemahaman pemikiran theologi dalam kategori analitis. Dimulai dengan pernyataan yang jelas akan pembagian dari pemikiran theologi yang didasarkan pada asumsi ontologis dan proposisi, baik itu theosentris maupun antroposentris. Dengan menyediakan sebuah kerangka pemikiran yang tepat untuk merefleksikan dan mengevaluasi dengan benar metodologi, orientasi dan pemikiran theologi seseorang yang erat kaitannya dengan fondasi bertheologi dan pelayanan pastoral.

Faktanya, theologi theosentris yang benar harus merefleksikan lima prinsip paradigma reformasi dari abad ke 16 yaitu, sola scriptura, sola gracia, sola fide, solus Christus, and soli Deo gloria. Di atas fondasi theosentris yang kuat itulah theologi dipaparkan, yang sudah pasti mengandung humanitas tetapi bukan humanisme, usaha manusia tetapi bukan sentralitas manusia, yang selalu menekankan keabsolutan Tuhan dan anugerahnya yang berdaulat. Inilah pembacaan yang tepat akan doksologi Paulus yang theosentris yang berbunyi:

O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya? Atau siapakah yang pernah memberikan sesuatu kepada-Nya, sehingga Ia harus menggantikannya? Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!
(Rm. 11:33-36)




Catatan kaki:
1. Gusto Gonzales. Christian Thought Revisited: Three Types of Theology (Revised New York, Maryknoll: Orbis Book, 1999).
2. Sebagian besar orang menganggap theologi dan divinitas adalah sama. Sebanrnya berbeda. Theologi adalah dimulai dengan Tuhan, sebuah tindakan iman yang dihasilkan dari panggilan Tuhan yang mulia kepada manusia di dalam intelektualnya dengan tujuan untuk mempelajari dan merefleksikan Firman dan karya Tuhan dalam sejarah manusia. Theologi merupakan respons yang setia dari manusia terhadap wahyu Allah. Sebaliknya, divinitas adalah tidakan manusia yang berusaha untuk menemukan Tuhan berdasarkan akan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Tuhan tanpa wahyu Tuhan. Divinitas merupakan hasil dari beroperasinya keagamaan manusia.
3. Kenyataannya, orientasi ini harus dikategorikan sebagai Quasi Anthropocentric Theology karena bersifat antroposentris di fondasinya, akan tetapi tidak seterusnya demikian. Agar tetap konsisten, penulis menggunakan istilah Pseudo Theocentric Orientation untuk menggambarkan pemikiran semacam ini.
4. Penulis tidak membedakan antara pemahaman yang innocent dengan kesalahtafsiran yang disengaja akan Firman Tuhan. Kapanpun seseorang mulai dengan Tuhan, kemudian memasukkan usaha manusia dalam proses orientasi pemikirannya, itu adalah kesalahan dalam memahami firman Tuhan. Oleh sebab itu hal ini dikategorikan sebagai Quasi Theocentric. Sekalipun demikian, ketika seseorang mulai dengan manusia, kemudian disengaja atau pun tidak memasukkan Tuhan dalam pemikiran theologinya, adalah juga kesalahan dalam menafsirkan firman Tuhan. Tindakan semacam itu mengambil metodologi dari orientasi Pseudo Theocentric. Keduanya berbeda dalam memulainya. Perbedaan ini dibuat berdasarkan setiap metodologi, arah dan orientasi pemikiran dalam sebuah pembahasan yang sederhana.





Sumber:
Jurnal Theologi STULOS (Jurnal Theologi STT Bandung) 6/1
(April 2007) hlm. 127-142 (www.sttb.ac.id)




Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio




Profil Pdt. Dr. Joseph Tong:
Pdt. Prof. Joseph Tong, Ph.D. adalah Pendiri, Rektor, dan Profesor: Theologi Filsafat, Sistematika, dan Praktika di Sekolah Tinggi Theologi Bandung. Beliau juga menjabat sebagai presiden dari International Theological Seminary, U.S.A. Beliau menyelesaikan studi Bachelor of Theology (B.Th.) dari Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang; Bachelor of Arts (B.A.) dari Calvin College, U.S.A.; Master of Theology (Th.M.) dari Calvin Theological Seminary, U.S.A.; Doctor of Philosophy (Ph.D.) dari University of Southern California, U.S.A.; dan Master of Business Administration (M.B.A.) dari Graduate Theological Foundation, Indiana, U.S.A.

30 October 2008

Renungan Reformasi: SEMANGAT REFORMASI: SEMANGAT MENCINTAI FIRMAN-NYA (Denny Teguh Sutandio)

Semangat Reformasi: Semangat Mencintai Firman-Nya

oleh: Denny Teguh Sutandio



“Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.”
Mzm. 119:105



Pendahuluan
Hari Reformasi Gereja diperingati setiap tanggal 31 Oktober. Hari ini mengingatkan orang Kristen Protestan akan peristiwa Dr. Martin Luther mereformasi gereja dengan menempelkan 95 tesis/dalil di depan pintu gereja Wittenberg, Jerman pada tanggal 31 Oktober 1517. 95 tesis yang dipakukan itu berisi protes Dr. Luther akan kesalahan praktik-praktik yang dilakukan oleh gereja Katolik Roma pada waktu itu, terutama penyebaran surat pengampunan dosa (indulgensia) untuk membangun Gereja Basilea St. Petrus. Selanjutnya, pokok ajaran Luther dapat diringkaskan menjadi 4 poin, yaitu: Sola Scriptura (hanya Alkitab), Sola Gratia (hanya melalui anugerah Allah, kita diselamatkan), Sola Fide (hanya melalui iman, kita diselamatkan), dan Soli Deo Gloria (kemuliaan hanya bagi Tuhan). Empat pokok pengajaran ini bermuara dari satu hal terutama yang menjadi poin pertama tadi, yaitu hanya Alkitab (Sola Scriptura). Semangat Dr. Luther mereformasi gereja bukan semangat memecah belah gereja atau mendirikan gereja baru, tetapi beliau memiliki keinginan agar gereja Tuhan kembali kepada Alkitab sebagai satu-satunya dasar kebenaran. Semangat ini diteruskan oleh Dr. John Calvin, Dr. Theodore Beza, dll, sampai sekarang ini. Sayangnya, semangat Reformasi sudah luntur dan kurang bisa diteruskan dengan konsisten sampai sekarang. Mengapa? Karena gereja-gereja yang katanya dipengaruhi oleh theologi Reformasi dan Reformed tidak lagi menjunjung tinggi otoritas Alkitab, melainkan humanisme atheis. Tidak heran, di zaman postmodern ini, gereja-gereja yang mengaku diri bertheologi Reformasi mulai mengkompromikan iman Kristen mereka dengan mengajar bahwa di luar Tuhan Yesus Kristus masih ada keselamatan. Hal ini ditandai dengan menjamurnya dialog-dialog antar agama tanpa dasar yang beres untuk mencari titik temu dari semua agama. Yang lebih parah lagi ada seorang “pendeta” sekaligus dosen di sebuah sekolah “theologi” di Jakarta berani menuliskan artikel di sebuah surat kabar yang meragukan kebangkitan Kristus dengan mengetengahkan penemuan kubur Yesus di Talpiot. Mereka yang melakukan hal ini adalah mereka yang katanya “pendeta” dan sekolah “theologi” bahkan di luar negeri. Sebenarnya, mereka hanya mewarisi tradisi Reformasi, tetapi tidak pernah memahami sungguh-sungguh spirit/semangat Reformasi yang kembali kepada Alkitab. Oleh sebab itu, sudah seharusnya, orang Kristen yang beres bukan hanya mewarisi tradisi saja, kita harus menjiwai apa yang ada di balik tradisi tersebut, yaitu semangat dan ajaran. Dalam hal ini, kita akan mempelajari spirit/semangat Reformasi yaitu semangat mencintai firman-Nya.


Semangat Reformasi: Semangat Mencintai Firman Tuhan
Semangat Reformasi yang terutama adalah semangat mencintai firman Tuhan (Alkitab). Sayang, semangat ini sudah dipelintir oleh gereja-gereja yang katanya dipengaruhi oleh theologi Reformasi. Saat ini, di gereja-gereja tersebut, ketika merayakan hari Reformasi Gereja, apa yang mereka beritakan? Mayoritas mereka memberitakan semangat reformasi adalah semangat mempedulikan lingkungan sekitar, dll. Hal tersebut tidaklah salah, tetapi itu BUKAN inti semangat Reformasi Gereja. Inti semangat Reformasi Gereja adalah kembali kepada Alkitab. Seorang yang memiliki kerinduan kembali kepada Alkitab adalah orang yang mencintai firman-Nya. Tanpa didasari oleh kecintaan akan Allah dan firman-Nya, tak mungkin seorang benar-benar mau kembali kepada Alkitab! Dengan kata lain, seorang Kristen atau pemimpin gereja apakah dia kembali kepada Alkitab atau tidak, dapat dinilai dari kecintaan mereka akan Allah dan firman-Nya. Lebih lanjut, kita mendapat gambaran yang lebih jelas lagi, yaitu: orang yang mencintai Allah dan firman-Nya pasti sungguh-sungguh kembali kepada Alkitab, lalu orang yang kembali kepada Alkitab adalah orang yang mempelajari firman-Nya, dan terakhir, orang yang mempelajari firman-Nya adalah orang yang taat dan menjalankan apa yang Tuhan firmankan. Mari kita pelajari kaitan ini.

Pertama, orang yang mencintai Allah dan firman-Nya adalah orang yang sungguh-sungguh kembali kepada Alkitab. Adalah suatu absurditas jika ada orang Kristen yang mengatakan bahwa dia mencintai Tuhan, apalagi firman-Nya, tetapi ia tidak mau sungguh-sungguh kembali kepada Alkitab. Kecintaan umat Tuhan kepada Allah dan firman-Nya mengakibatkan ia akan kembali kepada Alkitab. Apa arti kembali kepada Alkitab? Kembali kepada Alkitab berarti menjadikan Alkitab sebagai standar utama dalam iman, etika, moralitas hidup umat Tuhan sehari-hari. Dengan kata lain, kembali kepada Alkitab berarti membiarkan Alkitab sebagai firman Allah berbicara dan menerangi iman, etika, moralitas hidup umat-Nya. Di sini, Alkitab berfungsi sebagai cermin bagi iman, etika, dan moralitas hidup kita. Ketika kita berdosa, Roh Kudus memakai Alkitab untuk mengingatkan kita akan dosa kita. Begitu juga ketika kita mengalami masalah, Roh Kudus yang sama mengingatkan kita akan perkataan-perkataan Kristus di dalam Alkitab. Ketika kita mengalami lemah iman, Roh Kudus menguatkan kita melalui Alkitab. Kita bisa mempelajari hal ini dari sejarah gereja. Bapa Gereja Augustinus mengalami hal ini. Ketika ia sedang berdosa dan mengalami kekosongan hidup karena ajaran Manichaeisme yang dipercayainya tidak mampu menjawab pertanyaannya, tiba-tiba anak kecil mengatakan, “Ambil, Baca”, lalu Roh Kudus memakai perkataan itu untuk mendesak Augustinus untuk membaca Alkitab di dalam Roma 13:13. Begitu juga dengan Dr. Luther, ketika ia menemukan ajaran Alkitab bahwa kita dibenarkan melalui iman, ia langsung memprotes semua kesalahan gereja Katolik Roma. Di sini, kita belajar bahwa Alkitab telah menjadi cermin yang mengoreksi kesalahan manusia selama ini. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita menjadikan Alkitab sebagai cermin hidup kita di dalam iman, kerohanian, etika, dan moralitas? Beranikah kita berkata seperti pemazmur bahwa firman Tuhan itu menerangi langkah hidup kita (Mzm. 119:105)?

Kedua, orang yang kembali kepada Alkitab adalah orang yang mempelajari firman-Nya. Kita bukan hanya kembali kepada Alkitab atau menjadikan Alkitab sebagai cermin hidup kita, kita dituntut lebih lanjut untuk mempelajari firman-Nya. Seorang yang mencintai firman Tuhan, ia akan menjadikan firman Tuhan itu yang terutama, dan tentu saja ia akan rajin mempelajari firman Tuhan itu dengan menggali kelimpahan pengertian yang terkandung di dalamnya. Adalah suatu absurditas jika ada orang Kristen yang katanya kembali kepada Alkitab, tetapi malas mempelajari firman-Nya. Orang Kristen yang kembali kepada Alkitab adalah orang yang rindu belajar firman-Nya. Orang yang rindu belajar firman-Nya adalah orang yang rindu belajar menafsirkan Alkitab demi mendapatkan pengertian yang sedekat mungkin dengan arti aslinya. Nah, di sinilah, orang Kristen yang cinta firman Tuhan akan belajar mati-matian untuk mengerti firman-Nya dengan mencari alat-alat yang bisa membantunya untuk mempelajari Alkitab, baik itu melalui tafsiran Alkitab, konkordansi Alkitab, program Alkitab (seperti: e-Sword, SABDA, dll), dll. Semakin orang Kristen tersebut menggali kedalaman dan kelimpahan Alkitab, semakin orang Kristen itu diberkati dan dikuatkan imannya. Saya bukan hanya berteori, saya mengalaminya sendiri. Bagaimana dengan kita? Rindukah kita mempelajari firman-Nya? Biarlah ini menyadarkan kita akan pentingnya belajar firman Tuhan.

Ketiga, orang yang mempelajari firman-Nya adalah orang yang taat dan menjalankan firman-Nya. Belajar firman Tuhan itu saja tidak cukup, karena itu bisa mengakibatkan orang Kristen atau pemimpin gereja menjadi sombong rohani. Ini yang terjadi di banyak gereja yang mengaku bertheologi Reformasi. Para pemimpin gereja adalah mereka yang studi theologi di luar negeri dengan serentetan gelar akademis, tetapi sayang, hati mereka kosong. Rasio mereka dipenuhi dengan segudang pemikiran theologi yang rumit, tetapi hati mereka hampa tanpa mengalami kehadiran Tuhan. Tidak heran, sosok hamba Tuhan yang diurapi seperti John Sung yang pernah masuk sekolah theologi di Union Theological Seminary lalu akhirnya mengundurkan diri. Pdt. Dr. Stephen Tong juga pernah menuturkan bahwa ada seorang Kristen yang setelah mendengarkan khotbah beliau, imannya dikuatkan. Lalu, orang Kristen ini terpanggil menjadi hamba Tuhan lalu masuk sekolah theologi. Makin belajar theologi, hatinya kering dan imannya hampa. Akhirnya, ia hampir menjadi atheis. Puji Tuhan, ia kembali mendengar khotbah Pdt. Stephen Tong dan imannya dikuatkan kembali. Aneh bukan? Orang semakin belajar theologi bukan semakin beriman, tetapi semakin meragukan iman. Apakah berarti sekolah theologi tidak perlu? TIDAK! Sekolah theologi itu penting, tetapi pertanyaan selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah sampai sejauh mana sekolah theologi itu bukan hanya mendidik theologi secara akademis, tetapi juga menguatkan iman dan spiritualitas para murid yang diajar. Di sini, kita mendapatkan pengertian bahwa belajar firman Tuhan saja tidak cukup, kita dituntut harus mengaplikasikannya dengan TAAT dan menjalankannya. Misalnya, kita belajar firman Tuhan tentang mengubah pola pikir kita (Rm. 12:2), kita bukan hanya pandai menafsirkan ayat itu dengan pola penafsiran eksegese, tetapi kita sendiri harus TAAT dan menjalankannya. Ketika kita belajar tentang prinsip-prinsip Alkitab tentang politik, ekonomi, dll, kita bukan hanya mempelajarinya sebagai bahan mengajar di kelas atau debat dengan orang lain, tetapi kita sendiri harus TAAT dan menjalankannya. Mengapa Abraham disebut bapa orang beriman? Apakah dia lulusan seminari theologi? TIDAK! Abraham disebut sebagai bapa orang beriman karena Allah yang memampukan dia TAAT dan menjalankan apa yang Ia firmankan. Abraham TIDAK terlalu banyak berargumentasi dan menganalisa firman Tuhan kepadanya. Yang ia lakukan hanya TAAT dan menjalankan firman-Nya. Ketaatan kita kepada firman-Nya menunjukkan bahwa kita benar-benar mencintai Allah dan firman-Nya. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita taat kepada firman-Nya?


Kesimpulan dan Tantangan
Biarlah renungan singkat di hari Reformasi Gereja menyadarkan kita akan pentingnya Alkitab sebagai satu-satunya sumber dan standar bagi iman, spiritualitas, etika, dan moralitas hidup kita. Kiranya Roh Kudus memimpin dan memampukan kita menjalankan apa yang Allah firmankan di dalam Alkitab, sehingga nama Tuhan sajalah yang ditinggikan selama-lamanya. Amin. Soli Deo Gloria. Sola Scriptura. Sola Gratia. Sola Fide. Solus Christus.



To Love God is to know the will of God in His Word, do His will, and glorify His name

27 October 2008

Matius 11:28-30: MARILAH KEPADA-KU

Ringkasan Khotbah: 06 Agustus 2006
Marilah Kepada-Ku
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 11:28-30


Pendahuluan
Tema keseluruhan Injil Matius adalah Kerajaan Allah, the Kingdom of Heaven. Injil Matius membukakan tentang Kristus sebagai Raja dan pemegang otoritas tertinggi menata Kerajaan-Nya di tengah dunia dan orang Kristen yg menjadi warga-Nya haruslah tunduk dan taat pada Sang Raja. Pada pasalnya yg ke-11 Matius menegaskan bahwa orang yg mengaku beriman pada Kristus maka hidupnya harus berpusat pada Kristus. Iman Kristen bukan ideologi yg hanya dimengerti sebagai pengetahuan. Tidak! Alkitab menegaskan bahwa iman Kristen bukan percaya kepada Kristus melainkan percaya ke dalam Kristus berarti ada relasi antara manusia dg obyek iman. Dalam bahasa Yunani menggunakan istilah eis berarti memasukkan diri ke dalam obyek yg kita percaya. Sebelum kita masuk dalam klimaks dari Matius pasal 11 ini ada baiknya kita mengingat kembali:
Pertama, Yohanes ingin supaya para muridnya berbalik arah; mereka yg semula mengagungkan Yohanes kini mereka harus beriman pada Kristus. Dan cara yg dipakai Yohanes sangat unik, dia menyuruh para muridnya untuk bertanya langsung pada Kristus dan jawaban yg diberikan Kristus pun sangat unik. Tuhan Yesus meminta para murid untuk melihat dan mendengar enam tanda yg telah dikerjakan oleh Tuhan Yesus dan dari apa yg mereka lihat dan mereka dengar itu mereka harus menyimpulkan sendiri: siapakah Yesus. Inilah cara Tuhan Yesus mengkonfrontasi iman. Iman bukan sekedar sebuah jawaban teologis tetapi iman adalah bagaimana kita memasukkan seluruh pikiran dan pengalaman hidup kita pada obyek iman yg kita percaya. Iman bukan sekedar pengetahuan. Iman merupakan pertemuan pribadi antara pribadi dg obyek iman.
Kedua, Tuhan Yesus mengecam keras kota-kota yg banyak mendapat mujizat tetapi kota itu justru tidak bertobat. Orang hanya mau ekses iman, orang hanya mau berkat saja tapi orang tidak Sang Pembuat mujizat dan celakanya, orang sudah merasa dirinya beriman. Hati-hati, kalau kita salah dalam memahami iman maka itu akan membawa kita pada kebinasaan. Iman Kristen bukanlah iman ekstensi tapi esensi.
Ketiga, Seorang warga Kerajaan Sorga haruslah mempunyai pikiran seperti Bapa sama seperti Kristus, yakni melakukan apa yg menjadi perintah Bapa-Nya. Iman bukan diselesaikan dg nalar yg jenius atau bijaksana duniawi. Tidak! Iman bukan hasil pencerahan pikiran kita tapi iman haruslah diselesaikan dg kesederhanaan dan dg rendah hati mengaku di hadapan Tuhan bahwa kita adalah orang berdosa.
Pada bagian klimaks Tuhan Yesus mengundang setiap orang yg berletih lesu dan berbeban berat untuk datang kepada-Nya dan Tuhan akan memberi kelegaan. Setelah kejatuhan, dunia tidak pernah lepas dari masalah dan sengsara maka undangan Tuhan Yesus ini sangat relevan sampai saat ini. Manusia merasa diri lebih pandai dari Allah, manusia merasa diri berhak sebagai penentu kebenaran. Jadi, kejatuhan manusia itu bukan pada saat manusia makan buah. Tidak! Letak permasalahannya adalah pada masalah positioning – manusia ingin menjadi Allah maka pertanyaan pertama Allah adalah: Adam, dimana kamu? Pertanyaan ini bukan mempertanyakan secara fisik tetapi Allah menanyakan posisi Adam dan Hawa secara spiritual. Dosa menyebabkan manusia mengalami keterkiliran dalam posisi akibatnya kesengsaraan. Sebagai gambaran dari kesengsaraan ini adalah ketika tulang kita terkilir maka saat tulang dikembalikan pada posisi aslinya, kita akan merasakan kesakitan yg luar biasa. Jangan pikir ketika manusia keluar dari posisi asli akan lebih menyenangkan atau manusia lebih hebat. Salah!
Dua efek dasar yg dialami oleh manusia berdosa, yakni: 1) Orang mengalami letih lesu, dan 2) orang akan berbeban berat. Hari ini kita akan merenungkan efek pertama, yaitu letih lesu. Kata “letih lesu“ berasal dari bahasa aslinya “fatigue“ yakni suatu kondisi dimana orang sudah tidak tahan lagi dg beban atau tuntutan yg ada hingga sampailah orang pada suatu titik keputusasaan. Sebuah logam baja mempunyai titik lentur jika kita mengenakan suatu perlakuan melebihi titik lentur, baja menjadi retak dan akhirnya patah; logam tidak dapat kembali seperti bentuk semula. Dosa menyebabkan manusia akan berada dalam kondisi fatigue namun ironis, dalam kondisi demikian manusia tidak mau kembali dan bersandar pada Tuhan tapi malah membuang Tuhan. Salah satu penyebabnya adalah sejak kecil, manusia telah dididik untuk hidup mandiri, artinya orang dapat mengerjakan apapun tanpa pertolongan orang lain.
Orang tidak sadar hal ini justru berakibat buruk, orang tidak mudah percaya pada orang lain, segala sesuatu haruslah ditentukan diri sendiri, setiap keputusan atau masalah haruslah diselesaikan sendiri. Kalau setiap saat harus menghadapi situasi demikikan maka sampailah ia pada suatu titik fatigue dan sampai titik itu kalau orang tidak punya sandaran maka ia akan bunuh diri. Kelelahan ini merupakan kelelahan esensial.
Kelelahan esensial ini juga dialami oleh bangsa Israel namun mereka tidak mau mengakui hal ini, bangsa Israel sangat sombong. Kesombongan ini terpancar jelas dari perdebatan antara para ahli taurat dg Tuhan Yesus (Yoh.8). Para ahli taurat langsung marah ketika Tuhan Yesus menyatakan kalau sesungguhnya, mereka adalah hamba. Orang Yahudi tidak dapat terima dikatakan sebagai hamba, mereka merasa diri sebagai orang merdeka yg berhak menentukan segala sesuatunya sendiri. Bangsa Israel tidak mau menyebut diri sebagai hamba Allah tetapi sebagai anak Allah karena istilah “hamba“ disini menyadarkan mereka akan keterbatasan dirinya dan istilah “anak Allah“ seolah kita mempunyai suatu kebebasan dan otoritas. Jangan salah mengerti dg istilah “anak.“ Istilah “anak“ dibedakan dua, yakni: 1) secara ekstensial, contoh: anak dokter, apakah itu berarti ia dokter? 2) secara esensial, contoh: anak manusia maka dapatlah pastilah ia manusia.
Tuhan Yesus membukakan pada para ahli Taurat ini kalau sesungguhnya mereka bukan anak Allah tetapi yg lebih cocok mereka adalah anak iblis. Sesungguhnya, bangsa Israel berada di bawah jajahan baik secara fisik maupun spiritual. Secara fisik, bangsa Israel adalah jajahan bangsa Roma dan Raja Herodes yg memerintah itu pun bukan orang Yahudi asli tetapi ia adalah orang Idumea. Secara spiritual, bangsa Yahudi adalah jajahan, orang Yahudi mempunyai 2 imam besar, yakni Hanas dan Kayafas. Ironisnya, mereka marah ketika Tuhan Yesus membukakan tentang hal ini. Selama kita berada dalam kuasa penaklukkan dosa, kita akan masuk dalam kondisi fatigue. Bagaimana tidak fatigue kalau kita hidup di tengah dunia berdosa dg cara berdosa? Manusia berdosa mencoba menyelesaikan semua permasalahan dg caranya sendiri, dan celakanya cara yg dipakai adalah cara dunia berdosa maka hal ini membuatnya makin terjepit dalam dosa. Sesungguhnya, manusia menyadari kalau ia berada dalam keletihan yg sangat itu namun yg menjadi pertanyaan adalah kenapa manusia tidak mau kembali pada Tuhan? Apa yg membuat manusia fatigue tetapi tetap mempertahankan fatigue?
I. Manusia merasa berhak menetapkan makna hidupnya sendiri.
Manusia yg sombong ingin menentukan hidupnya sendiri. Sesungguhnya dibalik kesombongan itu, orang tidak mau percaya Tuhan Yesus. Hanya anak Tuhan sejati yg percaya pada Tuhan Yesus dan anak Tuhan yg sejati ini jumlahnya sangat sedikit meski faktanya jumlah gereja sangat banyak, minoritas di dalam minoritas. Kesombongan ini tidak lepas dari pendidikan dunia modern yg mengajarkan anak untuk berkompetisi. Sadarkah kita kompetisi mengakibatkan dua hal: sukses atau kehancuran. Apalah artinya kesuksesan atau kepandaian kalau kita hanya berhasil dalam satu bidang? Maka tidaklah heran kalau kita mendapati orang yg menang dalam lomba fisika tetapi dia tidak lulus sekolah. Kesuksesan dalam kompetisi juga berakibat buruk, orang tidak lagi membutuhkan orang lain apalagi Tuhan sebab orang merasa dapat menetapkan makna hidupnya sendiri.
Pernahkah kita bertanya dalam hati, apakah arti hidupku? Apakah kita melibatkan Tuhan dalam setiap keputusan yg kita ambil dalam seluruh aspek hidup kita? Pada dasarnya, manusia ingin menentukan makna hidupnya sendiri dan Tuhan dijadikan seperti layaknya “pesuruh“ yg harus siap menolong kalau kita menghadapi kesulitan. Perhatikan, kita yg memilih dan mengambil keputusan sendiri maka kita harus berani menanggung resikonya. Jangan salahkan Tuhan kalau ternyata hasilnya tidak seperti yg kita harapkan. Berbeda halnya kalau Tuhan yg memilih dan menempatkan kita maka Dia pasti akan menolong dan memimpin setiap langkah kita karena disitu, Tuhan ingin menyatakan kemuliaan-Nya melalui kita. Manusia berpendapat dg menentukan makna hidupnya sendiri ia akan hidup bahagia. Pendapat yg salah! Saat itu kita justru masuk dalam kondisi yg sangat lelah sebab kita keluar dari rencana Tuhan, kita berjuang sendiri, segala sesuatu harus kita kerjakan sendiri. Sebagai pelarian dari rasa lelah yg sangat luar biasa ini manusia mencari jalan pintas dg lari pada hal-hal berdosa, seperti free sex, narkoba, minuman keras, dan lain-lain. Orang makin masuk dalam jerat dosa dan sulit bagi manusia untuk keluar. Manusia masuk dalam kondisi totally fatigue.
Biarlah kita mengevaluasi diri, apakah selama ini kita mengalami keletihan? Bertobat dan kembalilah pada jalan Tuhan. Relakanlah hidupmu untuk dibentuk oleh Tuhan. Mungkin, kita merasa tidak suka dg apa yg Tuhan tetapkan tetapi sebagai Kristen sejati kita harus taat. Memang, ketika mengikut Tuhan bukan berarti kita tidak ada beban. Tidak! Tuhan akan memberikan beban, pikullah kuk yg Kupasang sebab kuk-Ku itu enak dan bebanKu pun ringan (Mat. 11:30).

2. Manusia merasa harus berjuang sendiri.
Manusia berpendapat Tuhan adalah sesuatu yang fiktif sehingga Dia tidak dapat menolong ketika manusia dalam kesulitan. Hati-hati, kalau kita mengerti iman secara sepotong-potong berarti kita terjatuh dalam pikiran Feuerbach, Marx, Engels yang menyatakan bahwa agama itu seperti layaknya sebuah candu, pembiusan manusia karena itu, orang tidak perlu beragama toh Tuhan tidak realistis. Manusia harus menentukan segala sesuatu sendiri dan berjuang sendiri. Orang hanya percaya pada Tuhan yang deisme, yakni Tuhan hanyalah pencipta saja dan selanjutnya manusia yang menentukan. Konsep kehendak bebas, free will disini menjadi cetusan yang manusia paling suka.
Adalah kegagalan total manusia yg mencoba merealistiskan konsep free will ini masuk dalam pengalaman duniawi. Orang baru mau percaya kalau terbukti, yakni apa yg diminta dikabulkan oleh Tuhan. Apakah ini yg dinamakan iman? Bukan! Ini adalah permainan pengalaman. Perhatikan, orang yg mendapat pengalaman rohani akan menjadi menggebu-gebu dan bersemangat melayani karena ia merasa Tuhan itu riil di dalam pengalaman, seperti sakit disembuhkan, miskin menjadi kaya, dan sebagainya. Orang mulai berani menyimpulkan kalau ia mengalami pengalaman rohani berarti Tuhan ada. Pengalaman ini bukanlah pengalaman sejati karena bukan Tuhan yg menetapkan tetapi dia sendiri. Konsep yg salah! Titik absolutnya pindah dari Tuhan kepada diri.
Maka tidaklah heran ketika segala sesuatu tidak berjalan seperti yg manusia pikirkan, orang mulai bertanya-tanya pada Tuhan dan mulai menyalahkan Tuhan. Perhatikan, yg mengabulkan seluruh permintaan kita bukan Tuhan tapi iblis, iblis memberikan iming-iming manis supaya kita masuk dalam jebakannya. Celakanya, orang merasa ia sudah beriman namun sesungguhnya itu bukan iman sejati, ia justru masuk dalam kebinasaan. Hal ini memicu manusia semakin tidak percaya kepada Tuhan. Aspek kedua ini lebih berbahaya dari aspek pertama. Kalau di aspek pertama, manusia tidak percaya Tuhan karena ia belum pernah berpengalaman tetapi di aspek kedua, setelah orang mengalami pengalaman rohani akan lebih sulit untuk diinjili lagi karena ia telah mempunyai pengalaman negatif dg apa yg dimengerti sebagai Tuhan yg diajarkan kepadanya sebagai Tuhan. Orang-orang yg seperti ini akhirnya jatuh dalam konsep atheisme humanistik. Sesungguhnya, orang telah sampai pada titik fatigue yg sangat parah. Hari ini, banyak orang Kristen yg tertipu merasa dirinya beriman pada Tuhan yg sejati ternyata itu bukan Tuhan sejati tetapi iblis. Orang telah tertipu masuk dalam suatu tipuan, euforia palsu, kepuasan perjuangan diri palsu.

3. Manusia merasa harus mengunggulkan pikirannya sendiri.
Dunia berpendapat kalau kita menuruti kehendak Tuhan malah dianggap sebagai orang bodoh karena kita tidak dapat memanfaatkan kesempatan yg ada. Hati-hati, jangan masuk dalam jebakan iblis yg mengiming-imingi kita dg gula manis tapi di dalamnya racun yg mematikan. Berbeda halnya dg Tuhan, mungkin jalan di depan kelihatan susah namun di balik kesusahan itu ada keindahan menanti. Semakin canggih dunia jebakan yg digunakan juga semakin canggih dan menggiurkan. Tak terkecuali dg Kekristenan juga mencoba menggunakan cara dunia untuk meraih keuntungan. Camkanlah, itu bukan ajaran Kristen. Kekristenan sejati tidak menggunakan cara-cara duniawi yg licik untuk memanipulasi orang lain. Hati-hati dg segala tipuan manis. Apakah tipuan-tipuan seperti ini yg dikatakan sebagai kesempatan? Banyak orang yg mencari kesempatan untuk menyelesaikan segala macam permasalahan yg menimpa hidupnya tapi permasalahan tetap tidak terselesaikan akibatnya orang sampai pada kondisi fatigue. Pada saat kehancuran itu, manusia harusnya bertobat dan kembali pada Tuhan tapi manusia tidak mau bertobat; manusia terbelit dalam jeratan dosa dan sukar bagi manusia untuk keluar dari jeratan iblis.
Jangan biarkan dirimu dipermainkan oleh pikiran-pikiran duniawi tapi hendaklah kita kembali pada Kristus dan mengakui semua kesalahan dan seluruh dosa kita. Seperti gambaran orang yg terkilir, ia tidak akan rela kalau tulangnya dikembalikan ke posisi semula karena sakitnya sangat luar biasa tapi justru lebih sakit kalau tulang itu tidak dikembalikan pada posisi semula. Satu-satunya cara yaitu dipaksa, dikembalikan pada posisi asli, reposisi kembali. Biarlah kita mereposisi hidup kita kembali pada Kristus, yakni: 1) dg rendah hati mengaku segala kebodohan kita maka saat itu, kuk yg diberikan Tuhan baru terasa ringan dan enak, 2) kita harus bereaksi, kita yg berjalan kepada Kristus, janganlah pernah mencurigai Kristus tetapi curigailah segala macam tawaran iblis. Tuhan pasti tidak akan mencelakakan kita; Dia akan memimpin kita pada jalan-Nya yg indah. Ironis, manusia tidak percaya sehingga orang merasa perlu untuk mempunyai “allah cadangan,“ 3) kita harus menjadi anak yg selalu dengar-dengaran akan Firman Tuhan setiap hari, setiap saat. Hal ini seharusnya konsisten, terus menerus kita kerjakan sepanjang hidup kita. Banyak orang yg bertobat pada saat KKR tetapi setelah KKR kembali pada hal duniawi. Tidak! Pertobatan adalah kembali satu kali lalu berjalan bersama Kristus, daily activity.
Biarlah mulai hari ini kita disadarkan kembali dan mulai menata ulang hidup kita untuk kembali pada jalan Tuhan. Ingatlah akan nama Yesus, Tuhan Yesus selalu memimpin setiap langkah kita dalam dunia yg penuh dg gejolak. Betapa indah hidup yg dipimpin dan berjalan bersama Tuhan, kita tidak akan menjadi fatigue. Puji Tuhan, Tuhan masih mengingat orang-orang sisa dan terbuang ini, remnan untuk dibentuk kembali dan dipakai menjadi saksi-Nya yang menyatakan kemuliaan-Nya. Ingat, nilai tertinggi hidup kita bukan dilihat dari kekayaan atau kedudukan atau kepandaian kita. Hidup kita menjadi bermakna ketika kita berjalan bersama Tuhan dan percayalah, hidup kita akan nyaman dan pada akhirnya ingat, tujuan hidup manusia hanya satu, yaitu memuliakan nama-Nya dan menikmati Dia sepanjang hidup kita. Amin

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

Roma 11:13-18: "ISRAEL" SEJATI ATAU PALSU-17: Kedahsyatan Pikiran Allah-2 dan Anugerah

Seri Eksposisi Surat Roma:
Doktrin Predestinasi-15


“Israel” Sejati atau Palsu-17 (Penutup):
Kedahsyatan Pikiran Allah-2 dan Anugerah


oleh: Denny Teguh Sutandio


Nats: Roma 11:13-18


Untuk menjelaskan bahwa Allah tidak bermaksud agar umat pilihan-Nya sendiri binasa, maka Paulus telah membuka penjelasannya di ayat 11 dan 12. Lalu, ia mulai menguraikannya mulai ayat 13. Pada bagian ini, kita akan merenungkan ayat 13 s/d 18 terlebih dahulu sebagai poin pertama.

Di ayat 13, Paulus menyatakan, “Aku berkata kepada kamu, hai bangsa-bangsa bukan Yahudi. Justru karena aku adalah rasul untuk bangsa-bangsa bukan Yahudi, aku menganggap hal itu kemuliaan pelayananku,.” Paulus beralih dari bangsa Yahudi/Israel menuju kepada bangsa non-Yahudi. Hal ini dilakukan untuk menyadarkan bangsa Israel. Kata “bukan Yahudi” dalam ayat ini diterjemahkan sebagai bangsa kafir (Gentiles). Artinya, Paulus yang adalah seorang Yahudi tetapi dipanggil Tuhan justru menjadi rasul dan melayani orang-orang bukan Yahudi (bdk. Efesus 3:8). Dan kerasulan Paulus untuk orang-orang non-Yahudi menjadi suatu kebanggaan tersendiri baginya, bahkan ia menghormati/memuliakan pelayanannya (King James Version, “I magnify mine office:”) Kata office dalam KJV dalam bahasa Yunaninya adalah diakonia berarti pelayanan. English Standard Version (ESV), God’s Word (GW), International Standard Version (ISV), Modern King James Version (MKJV), New King James Version (NKJV), dan beberapa terjemahan Alkitab bahasa Inggris lainnya menerjemahkannya, “my ministry”. Terjemahan ini lebih cocok dengan teks aslinya yang bermakna pelayanan. Lalu, mengapa Paulus juga dipanggil Tuhan menjadi rasul untuk orang-orang non-Yahudi? Ia menjelaskan alasannya di ayat 14, “yaitu kalau-kalau aku dapat membangkitkan cemburu di dalam hati kaum sebangsaku menurut daging dan dapat menyelamatkan beberapa orang dari mereka.” Terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkan, “Saya mengharap saya dapat menimbulkan iri hati pada bangsa saya sendiri, supaya dengan jalan itu saya dapat menyelamatkan sebagian dari mereka.” Alasan Paulus sungguh unik. Ia mau menjadi rasul bagi bangsa non-Yahudi justru untuk menyelamatkan sebagian/beberapa orang-orang Yahudi. Dengan kata lain, pimpinan Allah itu unik. Allah tidak memakai Paulus untuk menjadi rasul orang Yahudi untuk menyelamatkan beberapa Yahudi, tetapi sebaliknya, Ia memakai Paulus untuk menjadi rasul orang “kafir” (menurut Yahudi) agar melaluinya, ia dapat membuat hati orang Israel cemburu. Mengapa Allah memakai cara yang unik ini? Karena Ia melihat kebebalan hati Israel. Israel di zaman Perjanjian Lama setelah sekian lama meninggalkan Yahweh akhirnya mereka sadar dan kembali ke jalan yang benar yaitu menyembah Yahweh dan menantikan datangnya Mesias. Tetapi herannya, ketika Mesias datang, mereka tidak mengenalinya, mengapa? Karena Mesias yaitu Tuhan Yesus datang tidak seperti yang dibayangkan oleh orang-orang Israel yaitu memulihkan negara mereka dari cengkeraman penjajah, tetapi Ia datang mendirikan Kerajaan Allah secara surgawi/rohani. Pola pikir yang berbeda ini juga sempat dialami oleh Petrus (Mat. 16:22-23). Pola pikir inilah yang menghambat datangnya Kerajaan Allah sejati. Oleh karena itu, keselamatan yang seharusnya dapat dinikmati oleh orang Israel akhirnya tidak terjadi, justru sebaliknya, Allah malahan mengutus Paulus menjadi rasul bagi orang-orang non-Yahudi agar orang-orang Yahudi menjadi cemburu. Atau dengan kata lain, Paulus diutus untuk menjadi rasul bagi orang “kafir” dengan maksud agar orang Israel menjadi sadar bahwa jika mereka tidak segera bertobat, maka mereka akan malu karena keselamatan justru banyak dirasakan oleh orang-orang non-Yahudi, padahal mereka lah yang pertama kali menerima janji kovenan Allah melalui Abraham (Kej. 17). Kecemburuan/keirihatian yang Paulus memang sengaja lakukan pada orang Yahudi sebenarnya juga bermaksud agar beberapa orang Yahudi (yang dipilih-Nya) menjadi sadar dan kembali kepada Kristus dengan pengertian yang tepat. Dengan kata lain, Allah memakai cara di luar pikiran kita. Biasanya kita berpikir bahwa untuk menegur kita, Tuhan memakai segudang cara untuk mengingatkan kita. Tetapi di sini, kita belajar pikiran Allah yang berbeda total. IA tidak memakai cara menegur Israel dengan mengirim rasul lagi bagi mereka, tetapi Ia memakai Paulus menjadi rasul untuk orang “kafir” agar beberapa orang Israel sadar dan bertobat serta kembali kepada Kristus. Bagaimana dengan kita? Seperti Paulus, pada saat ini Ia berhak memakai para hamba-Nya untuk melayani-Nya, dan alangkah bahagia memang jika mereka boleh melayani dan membangun iman kita seturut firman-Nya. Tetapi jika para hamba-Nya diutus lebih-lebih untuk memberitakan Injil kepada mereka yang belum percaya, kita harus waspada. Ada dua alasan. Pertama, mungkin hamba Tuhan itu memiliki panggilan lebih ke arah penginjilan, atau kedua, mereka diutus Tuhan kepada orang-orang yang belum percaya untuk memalukan kita yang sudah percaya tetapi tidak mau bertobat dari dahulu. Kalau alasan kedua yang terjadi, kita harus benar-benar mengintrospeksi diri. Kalau kita mengaku diri orang percaya tetapi tidak mau bertobat, kita seharusnya malu dengan mereka yang belum Kristen begitu diinjili langsung bertobat dan menerima Kristus. Mereka yang belum percaya begitu diinjili langsung bertobat dan menerima Kristus adalah mereka yang mayoritas sungguh-sungguh merasakan anugerah Allah yang begitu besar terhadap dosa mereka, sehingga mereka dengan sungguh hati bertobat, tetapi sungguh memalukannya jika sudah menjadi orang Kristen bertahun-tahun, hati kita tetap membatu sampai sekarang dan tidak mau bertobat. Jangan heran, di Surga nanti, Tuhan akan menyingkapkan pada kita tentang realita banyak yang mengaku diri “Kristen” bertahun-tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun dan aktif “melayani ‘tuhan’” ternyata bukan warga Kerajaan Surga, tetapi warga iblis/neraka, sebaliknya mereka yang dulunya belum Kristen akhirnya baru menjadi Kristen beberapa tahun, merekalah yang banyak bertobat dan diselamatkan, karena kebanyakan hati mereka tulus. Mari kita bertobat.


Lebih tajam lagi, Paulus menjelaskan di ayat 15, “Sebab jika penolakan mereka berarti perdamaian bagi dunia, dapatkah penerimaan mereka mempunyai arti lain dari pada hidup dari antara orang mati?” Kecemburuan yang dikobarkan Paulus bagi orang-orang Yahudi ditunjukkan dengan mengajarkan bahwa jika orang Israel ditolak, maka itu berarti orang-orang non-Yahudi (“kafir” menurut Yahudi) diperdamaikan (atau bisa diterjemahkan: diselamatkan). Luar biasa. Tuhan memakai Paulus untuk membukakan pikiran kita bahwa ketika orang mengaku diri warga Israel, mereka bukan sungguh-sungguh Israel sejati (secara rohani). Mengapa? Karena justru yang mengaku diri Israel jasmani banyak yang ditolak, sebaliknya banyak yang non-Israel secara jasmani diterima dan bahkan diselamatkan.Tuhan tidak melihat status mereka yang pura-pura umat pilihan, tetapi sebenarnya tidak. Bagaimana dengan kita? Kita mungkin sudah aktif melayani Tuhan bertahun-tahun lamanya, aktif memberitakan Injil, dll, tetapi benarkah kita seorang Kristen sejati? Atau kita hanya memakai label/tameng “Kristen” saja? Jangan heran, jika suatu hari, Allah enggan memakai banyak orang Kristen turunan, tetapi Ia justru memakai dengan dahsyat banyak orang yang mantan non-Kristen lalu menjadi Kristen sejati. Jika hal itu terjadi, berarti ada sesuatu yang bermasalah di dalam iman Kristen kita. Di dalam zaman kita, kita melihat seorang Dr. Ravi Zacharias, seorang apologet keturunan India, dia adalah mantan anak pandita Hindu yang bertobat. Pertobatannya membuat dia semakin giat melayani Tuhan dan berapologetika memberitakan Injil. Bagaimana dengan banyak orang yang mengaku sudah dari kecil “Kristen”? Ke manakah mereka” Masihkah mereka aktif di gereja dan lebih tajam lagi, masihkah mereka mau hidup sungguh-sungguh bagi Kristus? Atau sebaliknya, banyak orang “Kristen” turunan kelihatan aktif “melayani” di gereja, tetapi hati dan hidupnya bukan tertuju pada Kristus, tetapi pada hal-hal duniawi, seperti kekayaan, umur panjang, dll, akhirnya secara fenomena tampak “Kristen”, tetapi secara esensial kosong. Tuhan tidak mudah tertipu oleh orang seperti ini. Selagi Tuhan masih memberi kesempatan, marilah kita bertobat.

Bangsa Israel yang ditolak Allah sudah menjadi berkat bagi orang-orang non-Yahudi, bagaimana jika beberapa umat Israel diterima Allah? Jika beberapa umat Israel diterima Allah, Paulus menyatakan bahwa itu adalah anugerah yang sangat besar atau hidup yang diberikan kepada orang yang sudah mati. Kondisi kematian diidentikkan dengan kondisi manusia berdosa, sehingga ketika beberapa umat Israel diselamatkan dan diterima oleh Allah, maka itu suatu anugerah yang besar, seperti hidup (kekal) diberikan kepada orang yang sudah mati. Begitu juga dengan kita. Mungkin banyak orang yang mengaku diri dari kecil sudah Kristen, tetapi jika beberapa orang dari mereka saja diselamatkan, mereka akan lebih berbahagia ketimbang sisanya yang mengaku diri “Kristen” sejak kecil tetapi tidak diselamatkan. Di sini, Tuhan tidak melihat kuantitas orang yang masuk Surga, tetapi Ia melihat esensinya yaitu hati. Tuhan tidak melihat/menghitung seberapa aktif kita melayani, tetapi Ia menyelidiki motivasi dan hati yang jujur dan tulus. Kalau kita sudah termasuk anggota dari umat pilihan Allah, tidakkah kita bersyukur kepada-Nya atas anugerah-Nya yang begitu besar yang telah memilih kita dari sekian miliar/triliun orang di dunia.


Paulus memberikan ilustrasi tentang hal ini di ayat 16, “Jikalau roti sulung adalah kudus, maka seluruh adonan juga kudus, dan jikalau akar adalah kudus, maka cabang-cabang juga kudus.” Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear (2003) menafsirkan, “Roti sulung” sebagai buah sulung (dari roti), yaitu bagian pertama yang dikhususkan bagi Allah. (hlm. 858) Siapa yang dimaksud Paulus dengan “roti sulung” ini? Ada yang menafsirkan sebagai Kristus, tetapi itu tidak sesuai dengan konteks. Dengan tepat, Dr. John Gill di dalam John Gill’s Exposition of the Entire Bible menafsirkan bahwa “roti/buah sulung” itu menunjuk kepada orang Yahudi pertama yang dikuduskan atau menerima Kristus (bdk. Rm. 16:5). Di dalam tradisi Yahudi, buah/roti sulung (firstfruit) merupakan roti/buah tertentu yang dipisahkan dari roti/buah lain dan pemisahan ini ditujukan untuk dipersembahkan kepada Allah. Buah sulung inilah orang Yahudi (menunjuk kepada nenek moyang Israel) yang dulu dipisahkan Allah dari bangsa-bangsa lain untuk menyembah Allah. Jika buah sulung ini kudus, maka seluruh adonan menjadi kudus. “Adonan” di sini menunjuk kepada seluruh orang Israel. Berarti, ketika umat Israel sejati dikuduskan, maka orang-orang yang non-Israel jasmaniah juga dikuduskan. Hal serupa dapat diimplikasikan bagi kita saat ini. Jika hidup orang Kristen sejati dikuduskan atau dipisahkan bagi kemuliaan Allah, maka kita bisa menjadi berkat bagi mereka yang belum Kristen. Apa arti kudus? Kudus berarti dipisahkan. Kudus bukan hanya secara fenomenal kudus, tetapi secara esensi kudus (bdk. 1 Petrus 3:15). Artinya, kita menjadi kudus ketika seluruh hidup kita yang dimulai dari hati keluar ke pikiran, perkataan, sifat, dan tindakan kita dimurnikan oleh firman Tuhan terus-menerus. Ketika kita memiliki motivasi dan hati yang sungguh-sungguh murni dan tulus, pada saat itu kita kudus dan menjadi berkat bagi orang lain atau memancarkan terang kekudusan kepada orang lain.

Sama halnya dengan ilustrasi pertama, ilustrasi kedua yang Paulus pergunakan yaitu akar dan cabang. Ketika akarnya kudus, maka cabang-cabangnya juga kudus. Ev. Hendry Ongkowidjojo, S.E., M.Div. pernah menafsirkan “akar” di sini sebagai bapa leluhur Israel (bdk. Roma 9:5; 11:28. Berarti, orang Israel sejati (secara rohani) menjadi dasar penentu bagi sesama mereka. Di zaman sekarang, kita sebagai orang Kristen pun harus menjadi berkat bagi sesama kita, sehingga kita bisa saling menguatkan satu sama lain. Berapa banyak orang Kristen yang tidak menjadi berkat malahan membuat sesamanya yang Kristen benci kepadanya bahkan memusuhinya dan memutuskan untuk tidak pergi ke gereja lagi? Jika ini terjadi pada kita, marilah kita bertobat dan jadilah berkat bagi sesama kita.


Lalu, Paulus menjelaskan akibatnya di ayat 17, “Karena itu apabila beberapa cabang telah dipatahkan dan kamu sebagai tunas liar telah dicangkokkan di antaranya dan turut mendapat bagian dalam akar pohon zaitun yang penuh getah,” Sebelum masuk ke dalam pembahasan ayat ini, kita harus sepakat dulu di dalam beberapa hal, yaitu akar menunjuk kepada bapa leluhur Israel, tunas liar adalah orang-orang non-Yahudi, dan cabang menunjuk kepada orang-orang Yahudi. Dari tiga hal ini, mari kita menganalisa pemikiran Paulus di ayat ini dan 18. Di ayat 17, Paulus mengemukakan logika yang dalam di dalam 2 tahap: beberapa cabang (orang-orang Israel) telah dipatahkan à tunas liar (orang-orang non-Yahudi) dicangkokkan di antara cabang itu. Perhatikan di sini. Kata cabang di sini ditambahkan kata “beberapa” (some) yang menunjukkan bahwa beberapa orang Israel secara jasmani dipatahkan/dibuang. Lalu, dicangkokkanlah orang-orang non-Yahudi (tunas liar) di antara cabang-cabang yang tersisa itu. Ada beberapa hal yang bisa kita pelajari:

Pertama, pembeda total. Beberapa orang Israel dipatahkan/dibuang menunjukkan satu realita bahwa tidak semua Israel adalah Israel sejati (bdk. Roma 9:6). Hal ini telah dijelaskan Paulus di pasal 11 ayat 4 dengan mengutip 1 Raja-raja 19:18. Allah menyisakan beberapa umat pilihan-Nya dari antara kaum Israel. Berarti kita mempelajari bahwa fenomena tidak menjamin esensi. Tidak semua orang Israel benar-benar Israel. Begitu juga tidak semua orang yang menyebut diri Kristen pasti beriman Kristen. Jangan pernah terkecoh oleh fenomena. Seperti Paulus yang sanggup membedakan total antara Israel sejati dengan yang palsu, maka kita pun harus bisa membedakan mana Kristen yang sejati dengan mana yang “Kristen”. Apa bedanya? Bukankah mereka hampir sama? Perbedaan utama ada pada hati dan motivasi. Orang yang menyebut diri “Kristen” mungkin kelihatan aktif di gereja, bahkan “melayani Tuhan”, tetapi perhatikanlah hati dan motivasi mereka, sungguhkah tulus atau supaya dilihat orang? Dari mana kita bisa tahu ketulusan hati dan motivasi mereka? Memang sulit, tetapi ada sedikit yang bisa dibuktikan, yaitu orang Kristen sejati datang ke gereja sungguh-sungguh ingin dikoreksi oleh khotbah yang berdasarkan Firman Tuhan dan saling bersekutu, sehingga mereka tidak suka menggosip di gereja, tidak sopan di gereja dengan berbicara sendiri atau bermain HP (mengetik SMS, dll). Meskipun ini tidak bisa menjadi jaminan mutlak, tetapi bisa dijadikan sedikit bukti yang membedakan orang Kristen dengan orang “Kristen” palsu. Sebaliknya, orang “Kristen” palsu juga aktif ke gereja, tetapi lihatlah keaktifan dan keseriusan mereka ke gereja, mayoritas mereka ada yang mengantuk ketika khotbah dengan beribu alasan (khotbah kurang menarik, terlalu berat, dll), bahkan ada yang berani menerima telepon di HP dari temannya ketika khotbah. Mereka menganggap gereja seperti gedung bioskop yang bisa menjadi tempat di mana mereka bisa seenaknya sendiri bertingkah. Mereka tidak menghargai lagi apa arti ibadah dan menyembah Allah. Sebagaimana Israel sejati vs Israel palsu dilihat dari hatinya, begitu juga dengan orang Kristen asli vs “Kristen” palsu juga dilihat dari hatinya, apakah berkenan di hadapan Tuhan atau tidak.

Kedua, universalitas keselamatan Allah. Jangan salah menafsirkan kata “universalitas” di dalam bagian ini. Universalitas keselamatan Allah berarti Allah menyediakan keselamatan bukan hanya bagi orang-orang Yahudi secara bangsa, tetapi kepada semua orang yang telah dipilih-Nya dari berbagai bangsa (termasuk Yahudi). Kovenan dari Allah kepada Abraham di Kejadian 17:4-8 tidak berlaku hanya untuk orang Israel, tetapi semua keturunan Abraham. Hal ini disingkapkan lagi oleh Paulus bahwa Allah menyelamatkan bukan hanya orang Israel, tetapi juga orang-orang non-Israel yang telah dipilih-Nya dari semula. Oleh karena itu, Paulus mengatakan bahwa beberapa cabang dipatahkan (menunjuk kepada beberapa orang Israel secara bangsa dibuang), sedangkan tunas-tunas liar (orang-orang non-Yahudi) dicangkokkan. Artinya, banyak orang non-Yahudi yang diselamatkan, sedangkan orang-orang Israel secara jasmani yang merasa diri dibenarkan justru beberapa dari mereka dibuang. Jika Allah tidak memandang orang (secara bangsa dan status) untuk diselamatkan, maukah kita hari ini juga tidak membedakan orang di dalam memberitakan Injil?


Lalu, bagaimana seharusnya sikap/reaksi orang-orang non-Yahudi yang diselamatkan? Di ayat 18, Paulus melanjutkan, “janganlah kamu bermegah terhadap cabang-cabang itu! Jikalau kamu bermegah, ingatlah, bahwa bukan kamu yang menopang akar itu, melainkan akar itu yang menopang kamu.” Ayat 18 menjadi ayat teguran bagi orang-orang non-Yahudi yang merasa sombong akan status mereka. Mereka pikir bahwa mereka bisa dicangkokkan ke dalam Israel, maka mereka bisa mendapat berkat-berkat Allah melalui Abraham, bapa leluhur Israel. Paulus mengatakan, “TIDAK”. Mereka tidak boleh bermegah terhadap cabang-cabang (orang-orang Israel) atau dengan kata lain mereka tidak boleh menyombongkan diri ketika mereka telah menggantikan posisi beberapa orang Israel yang telah dipatahkan/dibuang itu. Mengapa? Karena bukan mereka yang menopang akar itu, tetapi sebaliknya akar itu yang menopang mereka. Artinya, bukan orang-orang non-Yahudi yang menopang bapa leluhur Israel, tetapi bapa leluhur Israel yang menopang orang-orang non-Yahudi. Sebagaimana yang sudah dipaparkan oleh Dr. John Gill di atas, akar juga bisa menunjuk kepada orang pertama yang menerima Kristus, maka kita sebagai tunas liar yang dicangkokkan oleh Allah ke dalam cabang-cabang tersebut tidak boleh menyombongkan diri seolah-olah kita bisa menggantikan orang-orang Yahudi (atau orang pertama yang menerima Kristus) itu. Kita tetap sebagai tunas liar dan ingatlah tunas liar pasti dibuang oleh orang, tetapi Allah rela mencangkokkan tunas-tunas liar itu yaitu kita supaya kita menjadi anak-anak Allah di dalam Kerajaan-Nya. Bukankah ini suatu anugerah Allah yang begitu luar biasa dan agung? Tunas liar yang dicangkokkan. Rasul Petrus juga mengajar hal serupa ketika ia mengajar tentang status kita yang dulu berada di dalam kegelapan lalu dipanggil oleh Allah menuju kepada terang-Nya yang ajaib (1Ptr. 2:9-10). Sudahkah kita bersyukur atas anugerah-Nya yang besar itu? Caranya? Dengan menjadi saksi Kristus melalui mandat budaya dan penginjilan. Maukah kita berkomitmen untuk melakukannya?


Hari ini kita sudah merenungkan 6 ayat yang tergolong sulit dipahami tentang predestinasi Israel dan non-Israel. Kita sudah belajar tentang universalitas keselamatan Allah dan pembeda total antara kaum pilihan dan non-pilihan. Sudah menjadi kewajiban kita setelah merenungkan 6 ayat ini, kita sebagai umat pilihan berkewajiban memberitakan Injil Kristus karena keselamatan yang Allah sediakan juga berlaku bagi orang-orang di luar bangsa dan status kita. Biarlah Roh Kudus bekerja ketika kita memberitakan Injil. Amin. Soli Deo Gloria.

25 October 2008

Hidup Adalah Kristus, Mati Membuat Hidup Lebih Hidup (Ev. Ronald A. H. Oroh, M.Div.)

Hidup Adalah Kristus, Mati Membuat Hidup Lebih Hidup

oleh: Ev. Ronald A. H. Oroh, S.Si., M.Div.



Manusia hidup dalam kesementaraan ini seringkali melupakan bahwa hidup ini adalah sementara. Berbagai bencana dan musibah yang membawa kematian seharusnya mengingatkan kita, bahwa hidup ini hanya sementara di dunia ini. Maka buat apa kita hidup? Apakah hidup ini hanya untuk kesementaraan yang kemudian akan berlalu dengan sia-sia? Ataukah kita hidup untuk kekekalan dengan memanfaatkan kesementaraan ini dan bersiap dalam kesementaraan ini? C. S. Lewis pernah mengatakan, "Aim at heaven, and you will get earth thrown in; aim at earth, and you will get neither."

20Sebab yang sangat kurindukan dan kuharapkan ialah bahwa aku dalam segala hal tidak akan beroleh malu, melainkan seperti sediakala, demikianpun sekarang, Kristus dengan nyata dimuliakan di dalam tubuhku, baik oleh hidupku, maupun oleh matiku. 21Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. 22Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah. Jadi mana yang harus kupilih, aku tidak tahu. 23Aku didesak dari dua pihak: aku ingin pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus itu memang jauh lebih baik; 24tetapi lebih perlu untuk tinggal di dunia ini karena kamu.(Flp. 1:20-24)

Rasul Paulus dalam kesaksiannya pada jemaat di Filipi, menjelaskan bagaimana seharusnya orang percaya memandang hidup dan mati. Bagi Paulus, hidup adalah Kristus (21) dan bekerja memberi buah (22), tetapi hanya lebih perlu untuk hidup di dunia (24). Sedangkan mati adalah keuntungan (21), karena berdiam bersama-sama Kritus (23), dan itu lebih baik (23). Jadi, sebenarnya sudah disimpulkan oleh Rasul Paulus dalam ay.20, Kristus dengan nyata dimuliakan dalam tubuhku, baik oleh hidupku, maupun oleh matiku.

Hidup Adalah Kristus
Paulus ingin mengatakan bahwa Kristus adalah sumber, penopang dan pemelihara serta menjadi tujuan dari hidup ini. Sangat jelas, karena kita dicipta dalam gambar Kristus, dan mempunyai tujuan untuk menjadi serupa dengan gambaran Kristus (Rm. 8:29). Dampak tinggal di dalam Kristus, maka pasti akan bekerja memberi buah. Saya mendapatkan pengertian yang berbeda lagi tentang bekerja memberi buah. Sekarang, saya ingin melihat dari 3 sisi yang berbeda:
Yang pertama, dalam hubungannya dengan Tuhan. Saya melihatnya seperti di dalam perumpamaan tentang talenta. Kita bekerja memberi buah, jikalau kita menjadi seperti hamba-hamba yang baik, yang mengerjakan dan memaksimalkan semua pemberian Tuhan dan mempersembahkannya untuk kemuliaan Kristus.

Yang kedua, dalam hubungannya dengan sesama manusia. Kita bekerja memberi buah, bukan hanya dalam pemberitaan Injil, tetapi juga bagaimana memuridkan. Seorang Pendeta yang baik, seharusnya juga menghasilkan Pendeta-Pendeta yang baik. Begitu juga dengan pekerjaan dan panggilan-panggilan yang lain. Selain itu, kita berusaha untuk berbagian dalam hidup orang lain untuk persiapan menuju kekekalan dengan melayani dan mengasihi.

Yang ketiga, dalam hubungannya dengan bumi ini. Bekerja memberi buah, artinya kita bertanggung jawab dalam pekerjaan kita masing-masing. Kita mengusahakan dan memelihara bumi ini (Kej. 2:15 - Konteksnya Taman Eden). Bukan hanya sekadar bekerja dan mengeksploitasi bumi ini. Dua kata yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan mengusahakan dan memelihara, keduanya mempunyai nuansa ibadah, pelayanan dan takut akan Tuhan. Jadi, keseluruhan hidup kita dalam bekerja memberi buah sangat berhubungan sekali dengan Kristus sebagai Pencipta, Pemelihara, Penyelamat dan Penyempurna kita.

Tetapi anehnya, Paulus mengatakan untuk tinggal di dunia ini hanya lebih perlu. Mengapa? Apa gunanya hidup yang sementara ini? Adakah yang jauh lebih baik dari hidup ini? Mengapa hampir semua orang tidak ingin mati dan ingin hidup 1000 tahun lagi?


Hidup Lebih Hidup
Banyak orang sebenarnya tidak mengerti tentang kekekalan dan tidak ada kepastian sama-sekali, sehingga kematian menjadi sesuatu yang menakutkan. Dibandingkan dengan hidup yang kelihatan ini dan sepertinya kita bisa mengontrol dan menikmatinya.

Padahal, hidup yang sementara ini adalah persiapan untuk hidup yang kekal, yang akan sampai selama-lamanya. Itu sebabnya, Paulus mengatakan bahwa mati jauh lebih baik, karena diam bersama-sama dengan Kristus di dalam kekekalan. Mati adalah gerbang untuk masuk ke dalam kesempurnaan, serupa dengan Kristus, diam dengan Kristus, menjadi raja sampai selama-lamanya, tidak berdosa lagi, tidak ada sakit-penyakit, dan bahkan bisa menikmati Allah Tritunggal dalam segala kelimpahan. Jadi, hidup sesudah mati pasti lebih menyenangkan dari hidup yang sekarang ini. Seharusnya orang-orang yang sungguh percaya kepada Kristus, sangat menanti-nantikan akan kematian dan hidup yang kekal. Mata kita seharusnya memandang kepada kekekalan. Bersukacita dengan segala hal yang dibukakan kepada kita dan mempersiapkannya dalam kesementaraan ini.Apakah ini berarti bahwa kesementaraan ini menjadi tidak berharga dibandingkan dengan hidup kekal? YA! Tetapi, bukan berarti hidup yang sementara ini tidak perlu. Justru kita harus melihat hidup yang sementara ini sebagai kesempatan yang akan berlalu. Kalau kita melihat dengan cara pandang bahwa ini hanya sementara dan akan berlalu tetapi berdampak untuk kekekalan, maka kita akan memanfaatkan dan mempergunakannya sebagai mungkin demi untuk Kristus dan untuk mempersembahkan semuanya kepada Kristus.

Bagi orang Kristen, mati bukan lagi sesuatu yang menakutkan. Malahan kematian membuat hidup menjadi lebih hidup. Mari kita menunggu dan menanti-nantikan kematian, bukan untuk kematian itu sendiri. Tetapi bagi Kristus, yang sudah mati dan bangkit, dan yang akan membangkitkan kita untuk hidup bagi Dia dalam kekekalan. Sementara kita menunggu, mari kita bekerja memberi buah, mempersiapkan diri kita dan orang-orang pilihan lainnya untuk hidup dalam kekekalan. Karena hidup adalah Kristus dan mati membuat hidup menjadi lebih hidup.

If you read history you will find that the Christians who did most for the present world were precisely those who thought most of the next. It is since Christians have largely ceased to think of the other world that they have become so ineffective in this.C. S. Lewis (1898-1963)
British Academic, Writer, Christian Apologist

Sumber:
http://roielministry.org/2007/03/hidup-adalah-kristus-mati-membuat-hidup.html



Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio




Profil Ev. Ronald A. H. Oroh:
Ev. Ronald Arthur Harold Oroh, S.Si., M.Div. lahir pada tanggal 8 Juni 1972 di Manado. Beliau menyelesaikan studi Master of Divinity (M.Div.) di Institut Reformed, Jakarta.

24 October 2008

ORANG-ORANG YANG DIPUJI TUHAN (Pdt. Effendi Susanto, S.Th.)

ORANG-ORANG YANG DIPUJI TUHAN

oleh: Pdt. Effendi Susanto, S.Th.




Nats: Yoh. 1:45-51; Luk. 7:1-10; 21:1-4



Perwira ini bukan orang Yahudi. Orang-orang Yahudi kadang-kadang menghina orang non Yahudi sebagai orang yang barbaric, orang yang tidak terpelajar, orang yang tidak mengenal Tuhan. Tetapi justru di awal pelayanan Tuhan Yesus, Dia menyatakan satu pujian yang pertama untuk memuji orang non Yahudi. Perwira ini mempunyai banyak kualitas hidup yang layak kita puji. Paling tidak, perwira ini adalah seorang yang sangat mencintai dan menghargai budaknya. Di dalam catatan para sejarahwan memperlihatkan kepada kita budak adalah barang dagangan yang diperdagangkan, yang dibeli karena kekuatan dan manfaat dan usefulness. Saat dia tua atau saat dia sakit, dia boleh diusir dari rumah tuannya, atau dibuang begitu saja, karena tidak bisa lagi diperdagangkan di pasar budak. Tetapi cerita 2000 tahun yang lalu ini memperlihatkan kepada kita satu orang dicatat di sini luar biasa, dia bisa kita puji sebab dia mencintai barang dagangan pada waktu itu sebagai manusia yang dihargai. Kita patut mengucap syukur untuk orang seperti ini. Yang kedua, dia layak dipuji dan orang-orang juga memberi rekomendasi kepada Tuhan untuk menolong dia, karena orang ini membantu memberi dana pembangunan sinagoge mereka. Seorang yang generous, seorang yang murah hati, seorang yang memberikan keuangannya untuk membangun rumah ibadah bangsa lain.

Sering kali justru terbalik di dalam kehidupan orang yang sudah lama mengikuti Tuhan. Terlalu sering kita baru menyatakan penaklukan diri iman yang sungguh kepada Tuhan kalau Tuhan melakukan sesuatu dalam hidupku. If You terlebih dahulu membuktikan Engkau adalah Allah yang hidup, Allah yang memelihara dan menyertai hidupku, maka saya baru percaya Engkau. Berapa sering firman Tuhan juga datang ke dalam hidup kita, bisakah kita menyaksikan dan menghargai firman itu sebagai firman yang berotoritatif, tidak perlu saya buktikan janji Tuhan tergenapi dulu baru saya percaya janji-Nya? Tidak perlu saya buktikan kalimat Dia akan menyertai hidupku terlebih dahulu, baru saya mau percaya akan penyertaan-Nya. Karena saya tahu betapa berkuasanya firman itu dalam hidupku. Yang dia tuntut cuma satu, saya datang merendahkan diri dan menaklukkan diri. Adakah hidup engkau dan saya seperti itu? Kalau engkau dan saya memiliki iman seperti itu, saya percaya Tuhan akan berkata, “Engkau adalah orang-orang yang memiliki iman yang luar biasa besar. Engkau beriman sekalipun engkau tidak melihat campur tangan, kuasa dan kehadiran Tuhan di dalam hidupmu

Apa yang sedang terjadi di bawah pohon ara, sampai itu menjadi point yang penting? Di situ Natanael bukan melamun, Natanael bukan tidur-tiduran di bawah pohon ara. Dia sedang membaca Alkitab, dia sedang bergumul, dia sedang bertanya, dia sedang menggali firman Tuhan, ingin tahu kapan hari keselamatan Tuhan, kapan Mesias itu datang. Apa yang dia doakan, apa yang dia rindukan, apa yang sedang dia gali, apa yang dia begitu ingin pengharapan itu terjadi, sebagai seorang pemuda yang saleh di tengah-tengah penjajahan Romawi, saya percaya anak muda ini luar biasa. Mana ada anak muda yang begitu concern dengan the welfare of the nation? Mana ada anak muda yang concern terhadap perlunya dipulihkan kehadiran Mesias Juruselamat? Tidak ada. Yang ada dia main kelereng dan main layangan. Hanya anak muda ini satu-satunya, di tengah perasaan yang sedang menanti itu, hari ini dia bertemu dengan Mesias, terjawab sudah. Itu sebab dia tunduk dan takluk kepada Yesus. Hanya karena kalimat itu, “Aku sudah melihat engkau di bawah pohon ara.” Secara implisit itu berarti, Natanael, apa yang kamu harapkan, apa yang kamu doakan di bawah pohon ara, apa yang engkau nantikan mengenai juruselamat akan datang, sekarang engkau sudah lihat Dia. Itu sebab begitu dengar itu, bukan saja dia tahu tetapi inilah jawaban dari pengharapan hidupku. Maka dia tunduk, dia berlutut, dia mengaku Tuhan. Pengharapan itu is a long way. Kapan Tuhan datang, kapan Tuhan bekerja? Kadang-kadang pengharapan itu bisa memudarkan hidup kita, ketika apa yang kita harapkan tidak terjadi. Tetapi anak muda ini seorang anak muda yang terus menanti berharap, Tuhan, kapan engkau tiba? Anak muda ini menjalankan seluruh yang diharapkan dengan sungguh dan jujur, seluruh firman itu dia taati. Karena someday Mesias itu akan datang dan saya tidak akan kehilangan moment itu. That’s why pada waktu Yesus bertemu dengan anak muda ini, Yesus berkata, “Natanael, you are the true Israel.” Artinya apa? You are the only young man who preserve the true spirit of true Israel, you never give up. You terus berdoa. You terus menantikan pengharapan janji Tuhan, dan sekarang you see Me. Karena itu you percaya? Someday you akan melihat hal-hal yang lebih besar daripada ini. Never lose hope in your life.

Dua minggu lalu saya mengkhotbahkan mengenai “The Art of Giving.” Yesus mengatakan kalimat ini, takaran yang kau pakai untuk memberi akan ditakarkan kepadamu. Paulus juga berkata di dalam 2 Korintus, barangsiapa memberi banyak akan mendapat banyak. Siapa yang memberi sedikit akan mendapat sedikit. Sering kali secara separuh di dalam Prosperity “Theology” mengkutip ayat itu lalu mengatakan you memberi banyak, maka Tuhan akan memberi banyak. Tetapi kalau saudara membaca terus bagian dari 2 Korintus itu, saudara akan menemukan kembalinya tidak harus berarti secara finansial. Karena selanjutnya Paulus mengatakan engkau yang memberi banyak akan melahirkan sukacita orang memuji Tuhan. Akan membuat generosity bertambah. Akan membuat orang itu mencintai Tuhan lebih dalam, karena engkau memberi. Waktu Yesus memuji janda miskin ini tidak ada indikasi Yesus mengatakan janda itu pulang mendapat lebih banyak. Lalu apa yang dia dapat setelah dia memberi dua peser itu? Tidak ada yang dia dapat. Yang saya tahu pasti, karena dia memberi dari kekurangannya, dari seluruh pemasukannya, mungkin janda itu pulang, dia tidak makan hari itu. Sekali lagi di zaman itu belum ada social welfare, zaman itu adalah zaman dimana orang tidak punya banyak tabungan, zaman itu adalah zaman dimana orang bekerja hari itu, mendapatkan kehidupan hari itu. Dan hari itu dia hanya punya dua peser uang. Tetapi Yesus mengatakan, ada orang mempunyai seratus, memberi satu. Tetapi ada orang punya sepuluh, memberi satu. Maka nilai pemberian ini lebih besar secara sacrifice. Tetapi ada orang mempunyai dua, lalu memberi satu. Maka nilainya lebih sacrifice daripada pemberian yang punya sepuluh. Maka kenapa janda ini disebutkan memberi lebih banyak? Sebab dia memberi dari kekurangannya.

Tetapi inti ceritanya bukan tentang persembahan dua peser itu. Inti ceritanya adalah bahwa dia memberi lebih banyak daripada kekurangannya. Dia memberi lahir dari satu cintanya yang berkorban. Itu sebab kisah janda ini selama-lamanya menjadi satu kisah yang memberi inspirasi kepada kita bahwa kasih yang berkorban akan menghasilkan nilai yang tidak bisa kita lukiskan. Someday Tuhan akan memberikan ucapan pujian yang indah kepada dia. Engkau dan saya yang masih muda, ada juga di antara kita yang janda, ada di antara kita yang mempunyai kedudukan, ada di antara kita yang terpelajar, ada di antara kita yang sudah tua, berarti segala macam lapisan kita adalah manusia biasa yang hanya menyatakan iman, pengharapan dan kasih kita kepada Tuhan Yesus Kristus. Iman, pengharapan dan kasih kita kiranya menjadi iman, pengharapan dan kasih yang dipuji oleh Tuhan. Karena engkau beriman kepada Dia, sekalipun engkau tidak melihat kuasa-Nya bekerja dalam hidup kita. Kita terus-menerus memiliki pengharapan yang tidak pernah berubah, pengharapan yang tetap percaya Tuhan akan mendatangkan hal yang indah dalam hidup kita, dalam pelayanan kita, dalam segala hal, sekalipun tinggal satu senar dalam hidupku, saya tetap memainkan lagu yang indah melalui senar itu. Dan sekalipun tertinggal satu peser yang tersisa di dalam hidupku, saya tetap ingin memberi syukur persembahan kepada-Nya. Maka ini adalah orang-orang yang dipuji oleh Tuhan Yesus dan saya percaya pada waktu kita bertemu dengan Dia, ada begitu banyak orang yang menerima pujian yang sama. Itulah yang engkau dan saya inginkan juga. (kz)




Sumber:
Ringkasan khotbah Pdt. Effendi Susanto di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Sydney, Australia tanggal 24 Juli 2005.

20 October 2008

Ketika Homoseksualitas Menjadi Pembenaran Diri Seorang Pendeta

Ketika Homoseksualitas Menjadi Pembenaran Diri Seorang Pendeta

SUNDAY, 19 OCTOBER 2008




“Perkenalkan nama saya adalah Mel White, saya seorang pastor, penulis best-seller dan pengajar di Fuller Theological Seminary. Saya seorang gay dan bangga dengan itu karena Tuhan mengasihi dan menerima saya apa adanya!” barangkali inilah perkenalan pertama yang akan kita dengar dari Mel White. Konon selama 35 tahun melakukan berbagai cara seperti doa puasa, pelepasan, psikotherapi dan electric shock yang berujung pada rasa frustasi karena tidak ada yang berhasil mengubah hasrat homoseksualnya. Di akhir pencariannya, ia kemudian berpendapat bahwa homoseks bukanlah dosa melainkan karunia dari Tuhan yang harus diterima apa adanya. Pengakuannya ini di terima baik oleh istri yang telah dinikanhinya selama 20 tahun, mereka kemudian bercerai. Mel White akhirnya menemukan partner hidupnya, Gary Nixon yang sampai sekarang telah hidup bersamanya selama 26 tahun. Mereka bedua mendirikan yayasan soulforce dan aktif memberikan ceramah bagi kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual and transgender).

Walau di dunia Timur praktik homoseks masih dianggap tabu dan dosa berhadapan dengan agama manapun, tapi di dunia barat semakin menerimanya sebagai bagian dari kehidupan yang normal. APA (American Psycological Association) bahkan telah mengeluarkan homoseks dari daftar mental disorder (DSM IV TR) dan menganggap bahwa gay dan lebian adalah bagian dari pilihan seseorang yang normal (walau tetap menganggap tansgender sebagai suatu kelainan jiwa).

Jika APA dan dunia sekuler menganggap demikian biarlah seperti itu karena "semua orang berdosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah" (Rm. 3:23), kecenderungan hati mereka adalah berbuat dosa dan kejahatan. Namun yang tidak habis dipikir adalah mereka yang mengatas namakan Tuhan untuk membenarkan perbuatan dosanya. Menerjemahkan Alkitab sesuai dengan kebutuhan kedagingannya.

Saya tidak heran kepada orang-orang semacam ini ada keyakinan dalam hati bahwa apa yang mereka lakukan disetujui Tuhan. Dalam hati mereka tidak ada lagi rasa bersalah. Sebenarnya bukan Tuhan menyetujuinya, tapi Tuhan telah menyerahkan mereka pada keinginan itu supaya mereka binasa oleh karenanya. (Roma 1:24-32)
“Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada keinginan hati mereka akan kecemaran, sehingga mereka saling mencemarkan tubuh mereka...sebab walaupun mereka mengetahui tuntutan hukum Allah, yaitu bahwa setiap orang yang melakukan hal-hal demikian, patut dihukum mati, mereka bukan saja melakukan sendiri, tetapi setuju dengan mereka yang melakukannya”

Sangat jelas bahwa baik mereka yang melakukan maupun yang setuju dengannya akan menerima hukuman Tuhan. Saya rasa kaum LGBT harus menerima apa yang dikatakan Firman Tuhan, jangan dimanjakan oleh pergeseran norma masyarakat modern, media cetak dan visual yang aktif mempromosikan mereka.

Mel White, salah! Ia mengatasnamakan Tuhan dan Alkitab untuk membenarkan dosanya sendiri. Jika ia memiliki orientasi seksual yang salah sejak lahir tidak berarti bahwa ia harus mempraktikkannya. Saya memiliki keinginan untuk berbohong sejak kecil, setiap orang punya keinginan itu, tapi bukan berarti saya harus menerimanya dan hidup di dalamnya. Setiap orang berjuang untuk melawan keinginan berbuat dosa yang secara natural ada di hati setiap manusia.

Jika Anda LGBT dan membaca tulisan ini, jangan tertipu! Anda berdosa sama dengan saya yang juga berdosa, namun untuk itulah Yesus mati di kayu salib. Jika ada orang yang mengaku Kristen bahkan hamba Tuhan yang membenarkan bahkan mengendorse LGBT, jangan percaya, mereka sedang meyesatkan Anda. Anda pasti tidak akan percaya jika saya mengatakan “berzinah bukan perbuatan yang salah, jika ada keinginan untuk itu jangan ditahan, lakukan tanpa rasa bersalah,” meskipun saya seorang pastor dan lulusan sekolah theologi.

Sumber: Nancydinar.com/VM




Disarikan dari:
http://www.jawaban.com/news/news/detail.php?id_news=081016170552