19 September 2010

KEKRISTENAN DAN OTORITAS ALKITAB-1: Pendahuluan

KEKRISTENAN DAN OTORITAS ALKITAB-1:
Pendahuluan

oleh: Denny Teguh Sutandio



“Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.”
(Mzm. 119:105)




Semboyan Sola Scriptura (hanya Alkitab saja) yang dicetuskan pertama kali oleh seorang reformator Protestan dari Jerman, Dr. Martin Luther menjadi sumber pertama Kekristenan Injili pada abad-abad sesudahnya yang menolak otoritas kepausan dan menjunjung tinggi otoritas Alkitab. Semangat ini nantinya mempengaruhi gereja-gereja Reformasi dengan berbagai aliran selanjutnya: Reformed/Presbyterian (mengikuti ajaran dari Dr. John Calvin, penerus Luther), Baptis, Methodist, Pentakosta, Karismatik, dll. Bahkan Dr. Calvin mengeksposisi hampir setiap kitab di dalam Alkitab di dalam setiap khotbahnya. Tidak heran, pada banyak gereja Protestan Injili, di dalam pengakuan imannya, mereka mengakui bahwa Alkitab adalah sumber pedoman bagi iman dan praktik hidup Kristen sehari-hari. Pertanyaan lebih lanjut adalah benarkah gereja dan orang Kristen khususnya yang berada di Indonesia sungguh-sungguh memegang teguh otoritas Alkitab sebagai dasar iman dan praktik hidup Kristen? TIDAK. Fakta yang menyedihkan adalah banyak orang dan gereja Kristen hari-hari ini meskipun menyetujui otoritas Alkitab sebagai dasar iman dan praktik hidup Kristen, namun secara hati dan praktik nyata, mereka menyangkalinya. Otoritas Alkitab sengaja digeser dan diganti menjadi otoritas yang berpusat pada manusia berdosa dan setan. Apa saja wujudnya?

Kecenderungan manusia berdosa adalah kecenderungan yang anti-otoritas, namun secara tidak sadar, makin menyuarakan anti-otoritas, mereka sebenarnya sedang menekankan otoritas diri mereka sebagai kebenaran untuk diikuti oleh para pengikutnya. Sebuah kontradiksi logika yang aneh dan ilogis. Oleh karena itu, otoritas utama yang sering dianut oleh banyak orang dan gereja Kristen di abad ini adalah otoritas yang berpusat pada manusia berdosa. Otoritas ini bisa meliputi beberapa aspek:

Pertama, otoritas telinga dan nafsu duniawi. Rasul Paulus menasihati Timotius di dalam 2 Timotius 4:3, “Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya.” Di zaman akhir ini, Paulus memperingatkan Timotius dan orang Kristen di abad ini bahwa ilah zaman akhir ini adalah telinga. Beberapa Alkitab terjemahan Inggris menerjemahkan “keinginan telinganya” dengan: dengan telinganya yang gatal (itching ears). Tidak heran, demi memuaskan telinganya yang gatal, banyak orang Kristen yang mencari gereja yang cocok dengan telinganya, yaitu gereja yang mengajarkan ajaran dunia yang dibalut dengan segudang kutipan ayat Alkitab di luar konteks. Misalnya, gereja mengajarkan bahwa ikut Tuhan pasti kaya, sehat, bahkan tidak pernah digigit nyamuk itulah yang sedang laris digemari oleh banyak orang Kristen yang hidupnya setengah-setengah dan ingin kaya. Gereja ini seperti orang yang menawarkan daging segar kepada anjing-anjing yang kelaparan. Namun faktanya, orang Kristen yang sudah kaya biasanya langsung hengkang dari gereja tersebut, karena dirinya sudah kaya. Supaya lebih “hidup”, gereja-gereja ini mengundang motivator-motivator agar jemaat-jemaatnya bisa hidup lebih kaya sebagai tanda “diberkati” Tuhan. Tidak heran, seorang Joel Osteen begitu diminati oleh banyak gereja kontemporer dan orang Kristen yang enggan ditegur dosanya, namun senang dihibur. Gereja tidak ada bedanya dengan klub diskotik atau cafĂ© atau tempat hiburan lainnya.

Selain kemakmuran, gereja yang gemar dicari oleh banyak orang “Kristen” pragmatis ini adalah gereja yang mengajarkan ajaran yang berdamai dengan semua orang. Ajaran ini dapat dilihat dari isi khotbah yang disampaikan, misalnya: mengajarkan toleransi umat beragama (ujung-ujungnya mengajarkan: semua agama itu sama), menyangkal bahwa keselamatan hanya di dalam Tuhan Yesus, menyangkal ketidakbersalahan Alkitab baik eksplisit maupun implisit, dll. Pada waktu Natal dan Paskah, biasanya mereka mengkhotbahkan solidaritas umat manusia yang hampir TIDAK ada kaitannya dengan inti berita Natal dan Paskah. Melalui program gereja, kita juga dapat melihat gejala serupa, misalnya rapat majelis gereja memutuskan untuk memasang spanduk yang bertuliskan selamat memperingati hari raya agama mayoritas, namun secara TIDAK KONSISTEN, gereja yang sama TIDAK pernah memasang spanduk serupa pada saat hari Waisak atau Galungan/Kuningan. Intinya, mereka itu ketakutan, kalau kasus HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) menimpa gereja mereka. Perhatikan juga kolom artikel/renungan di surat kabar pada saat Natal dan Paskah, bacalah artikel/renungan tersebut, mayoritas menekankan solidaritas manusia, kemudian ceklah siapa penulisnya, bisa dipastikan berasal dari banyak gereja-gereja Protestan arus utama yang ngaco.

Kedua, otoritas pemimpin gereja. Karena berpusat pada telinga dan nafsu duniawi, maka banyak orang Kristen kontemporer yang pragmatis percaya penuh pada apa yang dikatakan si pemimpin gereja. Hal ini ditandai dengan banyak jemaat yang spontan (tanpa berpikir panjang) meneriakkan, “Amin”, ketika si pengkhotbah mengajar, “Ikut Tuhan pasti kaya, amin saudara?” Di satu sisi, hal ini ada benarnya (jika si pemimpin gereja bisa dipertanggungjawabkan ajarannya), namun di sisi lain, perlu dipertanyakan: apakah pemimpin gereja itu Tuhan yang harus ditaati setiap perkataannya? Misalnya, jika pemimpin gereja melarang jemaatnya untuk membaca buku The Da Vinci Code, tentu nasihat ini bagus, namun pertanyaan lebih lanjut, apakah pemimpin gereja ini juga membekali jemaatnya dengan alasan pelarangan tersebut dan kesalahan fatal buku tersebut? Jika pemimpin gereja hanya melarang membaca buku tersebut tanpa membekali jemaatnya, maka pemimpin gereja mendidik jemaatnya untuk loyal kepada si pemimpin gereja (apalagi yang berani mengklaim bahwa khotbahnya itu di“wahyu”kan langsung dari “Tuhan” bahkan khotbahnya diklaim merupakan hasil dari Pemahaman Alkitab langsung sambil minum kopi dengan “Tuhan Yesus” kemarin malam)! Tidak heran, beberapa orang Kristen yang berada di dalam gereja yang digembalakan oleh si pemimpin gereja ini ketakutan dalam memilih, membeli, dan membaca buku. Jangan-jangan, si jemaat kalau membeli buku tertentu, ia akan menelpon si pemimpin gereja untuk memastikan apakah buku ini beres atau tidak.

Ketiga, otoritas tradisi (nenek moyang). Di sisi lain, beberapa (atau mungkin banyak?) orang Kristen hari-hari ini khususnya yang berusia tua (di atas 40/50 tahun) notabene memegang teguh tradisi nenek moyang sebagai standar kebenaran bahkan di atas Alkitab, meskipun orang ini berada di dalam gereja yang ketat mengajarkan Alkitab. Ada beberapa contoh: Pertama, beberapa orang Kristen khususnya banyak dari gereja Katolik Roma (saya percaya mungkin jika Anda bertanya kepada Pastor Katolik, apakah diperbolehkan sembahyang di depan kuburan/foto orang yang sudah meninggal, mungkin banyak dari mereka akan berkata TIDAK BOLEH) dengan mudahnya ikut-ikutan sembahyang/menyembah di depan foto orang yang sudah meninggal dengan alasan menghormati orang yang sudah meninggal. Saya pernah mendengar seorang pernah berkata bahwa kalau jadi Kristen/Protestan itu sulit, tidak boleh sembahyang, tetapi kalau jadi Katolik itu mudah, semua boleh. Bagi saya, perkataan ini membuktikan bahwa tradisi sudah dijadikan berhala dan standar kebenaran untuk mencari agama yang “pas”. Kedua, anak sejak kecil BUKAN dididik untuk takut akan Tuhan dan menemukan panggilan Tuhan di dalam hidupnya, namun dididik dan diindoktrinasi untuk memenuhi keinginan orangtua yaitu meneruskan usaha mereka (tidak peduli apakah itu sesuai dengan panggilan Tuhan bagi si anak atau tidak). Ketiga, masih ada orang “Kristen” yang memasang cermin untuk menolak setan di dalam tokonya dan memanggil mudin, lalu ketika ditanya oleh ayah saya mengapa ia bertindak demikian, si pemilik toko menjawab dengan mudahnya, “Kan kita harus ikut budaya dunia?”

Keempat, otoritas mistik. Yang lebih parah, beberapa (atau mungkin banyak?) orang Kristen hari-hari ini begitu tergila-gila dengan yang namanya mistik melalui sarana-sarana, seperti: shio, bintang, dukun, paranormal, dll. Saya melihat sendiri fakta ada seorang jemaat yang aktif melayani di gereja Injili di Surabaya pergi ke paranormal/suhu. Ada juga yang begitu mempercayai ramalan shio/bintang dan menganggapnya sebagai kebenaran. Mereka itu aneh, manusia kok mau-maunya disamakan dengan binatang (shio ini jiong dengan shio itu; bahkan ada yang ditambahi dengan kesaksian nyata sebagai bukti jiong tersebut) dan yang lebih aneh lagi bisa percaya penuh pada perkataan dukun/suhu yang mengatakan tentang hari depannya yang belum tentu tepat, tetapi tidak percaya kepada Allah.

Jika banyak orang “Kristen” dan gereja hari-hari ini tidak memegang teguh otoritas Alkitab, maka saya menantang Anda untuk bertobat dan kembali kepada Alkitab! Kembali kepada Alkitab berarti kembali memegang teguh otoritas Alkitab sebagai sumber kebenaran bagi iman dan praktik hidup Kristen. Pertanyaan selanjutnya, mengapa harus Alkitab? Karena Alkitab adalah satu-satunya wahyu Allah bagi umat pilihan-Nya yang ditulis oleh lebih dari 40 orang yang berbeda zaman, budaya, bahasa, bangsa, status sosial, dll dengan inti berita: asal mula dunia diciptakan, manusia diciptakan Allah, manusia berdosa, tidak ada jalan keluar bagi manusia kecuali cara Allah dengan mengutus Tuhan Yesus untuk mati disalib dan bangkit demi manusia berdosa, kuasa Roh Kudus melahirbarukan umat-Nya, dan kedatangan Tuhan Yesus kedua kalinya. Dan yang juga penting, Alkitab memiliki keakuratan historis yang tidak bisa dibandingkan dengan kitab-kitab agama lain, meskipun Alkitab BUKANlah buku sejarah. Makin seseorang membuang otoritas Alkitab, orang itu bukan makin pandai dan berhikmat sejati, karena ia telah membuang Alkitab sebagai sumber hikmat.

Memegang teguh otoritas Alkitab berarti:
Pertama, percaya penuh akan ketidakbersalahan Alkitab dalam naskah aslinya. Jangan mengharapkan seorang Kristen dapat memegang teguh otoritas Alkitab, jika ia sendiri tidak percaya penuh akan ketidakbersalahan Alkitab dalam naskah asli (autographa)nya. Seorang yang tidak percaya penuh akan ketidakbersalahan Alkitab dalam naskah aslinya, maka dengan mudahnya ia akan mengkritik Alkitab tanpa terlebih dahulu mempelajari secara tuntas Alkitab.

Kedua, menjadikan Alkitab bukan sebagai obyek, tetapi subyek. Setelah percaya penuh akan ketidakbersalahan Alkitab, maka orang yang memegang teguh otoritas Alkitab TIDAK seharusnya hanya menjadikan Alkitab sebagai bahan penelitian (akademis), namun juga harus menjadikan Alkitab sebagai penilai bagi iman dan praktik hidupnya, sehingga ia bukan hanya makin pandai mengerti dan menafsirkan Alkitab dengan teliti, tetapi juga makin rohani dan rendah hati di hadapan Allah. Orang Kristen ini akan dengan rela hati ditegur oleh firman Tuhan tatkala iman dan praktik hidupnya salah bahkan mendukakan hati Tuhan. Bagi orang Kristen ini, yang terpenting adalah firman dan kehendak-Nya yang terjadi, bukan konsepnya sendiri yang berlaku. Oleh karena itu, dengan rela, orang Kristen ini akan mengaplikasikan semua pengajaran Alkitab ke dalam kehidupannya sehari-hari. Ia akan mengintegrasikan iman Kristen yang berdasarkan Alkitab dengan semua aspek kehidupannya, baik: pendidikan (integrasi iman dan ilmu), pekerjaan (integrasi iman dan bisnis/pekerjaan), keluarga (integrasi iman dan prinsip keluarga), dll.

Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita secara serius memegang teguh otoritas Alkitab ataukah kita masih menjadi orang Kristen yang setengah-setengah? Ingatlah, Tuhan Yesus membenci orang Kristen yang suam-suam kuku. Oleh karena itu, jika Tuhan masih memberi kesempatan untuk bertobat, bertobatlah dan kembali kepada Alkitab! Amin. Soli DEO Gloria.

KOINONIA-2: Koinonia dan Ibadah-1 (Pdt. Joshua Lie, M.Phil., Ph.D.-Cand.)

KOINONIA-2:
Koinonia dan Ibadah-1


oleh: Pdt. Joshua Lie, M.Phil., Ph.D. (Cand.)



Nats: Yohanes 4



“Berilah Aku minum” (4:7)


Demikianlah Yesus memulai percakapan-Nya dengan perempuan Samaria. Suatu permintaan yang sederhana karena permintaan itu terjadi di pinggir sumur Yakub, bahkan perempuan Samaria pun hendak menimba air sumur itu.

Namun permintaan yang sederhana itu ternyata sukar dipenuhi perempuan Samaria. Ia pun menjawab, “Masakan Engkau, seorang Yahudi, minta minum kepadaku, seorang Samaria?” Segayung air tentu bukan persoalannya. Namun segayung air yang diminta oleh seorang laki-laki Yahudi kepadanya adalah persoalan yang rumit. Dari air minum, persoalan bergeser kepada persoalan Yahudi dan Samaria.

Perempuan Samaria sadar akan dirinya sebagai perempuan Samaria yang tinggal di daerah Samaria. Ia berada di pinggir sumur Yakub, nenek moyangnya melalui Ephraim. Lokasi menambah kesulitan percakapan ini. Dan Yesus pun dengan sengaja melalui daerah Samaria! Ia tidak menghindari daerah Samaria demi menuju ke Galilea. Lokasi dan tempat bagi perempuan Samaria merupakan pijakan identitasnya. Bagi Yesus, tempat adalah ladang bagi benih kerajaan Allah!

Ketika kita memberitakan Injil kerajaan Allah, kita berhadapan dengan persoalan tempat sebagai identitas. Tanpa menyadari tempat sebagai identitas, maka Injil tidak akan tampak kekuatannya yang mentransformasi kehidupan manusia. Inilah kisah perempuan Samaria.

“Jikalau engkau tahu tentang karunia Allah dan siapakah Dia yang berkata-kata kepadamu: Berilah Aku minum! Niscaya engkau telah meminta kepada-Nya dan Ia telah memberikan kepadamu air hidup” (4:10)

Ketika seseorang menyadari identitasnya berakar pada tempat dan kesejarahannya, maka ia perlu mendengar perkataan Yesus sebagaimana dinyatakan kepada perempuan Samaria. Identitas seseorang memang tidak mudah dipisahkan dari tempat dan kesejarahannya, namun identias yang sejati berasal dari karunia Allah.

Mengenal karunia Allah merupakan karunia Allah. Disinilah pangkal kehidupan kita yang sebenarnya. Karunia Allah mengembalikan kita pada identitas kita yang sejati. Sebagaimana Adam diciptakan dalam karunia Allah, dan firman-Nya yang menetapkan identitas Adam, bukan taman dimana ia ditempatkan. Inilah langkah penting bagi hidup kita, yaitu mengenal Dia yang sanggup memberikan kepada kita identitas yang baru yang mengalirkan air hidup.

Karunia Allah memungkinkan perempuan Samaria mengenal Yesus bukan dari pergumulannya sebagai seorang Samaria, melainkan mengenal dirinya dari siapa yang meminta air minum itu. Yesus menyadarkan perempuan Samaria itu untuk memahami karunia Allah dan siapa yang berkata-kata kepadanya.

Perempuan Samaria masih bergumul dengan dirinya. Ia merasa masih memiliki kebanggaannya sebagai keturunan Yakub yang turut mewarisi sumur yang sudah menghidupinya dan kaumnya. Ia melupakan bagaimana sumur itu acap kali menjadi sumber pertengkaran, alasan kesedihan ketika sumur itu mengering dan alasan kesunyian ketika ia perlu mencari waktu sendirian ke sumur itu. Namun ia tetap menanggapi perkataan Yesus, “Tuhan, berikanlah aku air itu, supaya aku tidak haus dan tidak usah datang lagi ke sini untuk menimba air.”


“Pergilah, panggillah suamimu dan datang ke sini” (4:16)

“Suami” sebagaimana dinyatakan Tuhan Yesus mengungkapkan pergumulan yang lebih dalam dari persoalan Samaria dan Yahudi. Kedatangan perempuan Samaria ketika tidak ada seorangpun di sumur Yakub menyatakan keadaan ini. Ia sendirian. Ia tidak lagi dapat bersama dengan teman-temannya untuk mengambil air. Ia terpisah dari kaum perempuan lainnya, karena persoalan “suami.” Ia sudah mempunyai 5 suami! Dan “yang ada sekarang padamu, bukanlah suamimu.”

Persoalan “suami” telah memisahkan perempuan Samaria itu dengan kaumnya. Ia tetap berada di daerah Samaria, ia tetap mengambil air di sumur Yakub, nenek moyangnya, namun ia sendirian. Ketika seseorang meletakkan hidupnya sekadar pada tempat dan warisan masa lalu, orang itu bisa terjebak seperti perempuan Samaria. Ada ketersendirian yang tidak dapat diungkapkan. Arah geraknya ke dalam, dan bersembunyi di sana.

Persoalan “suami” bukan hanya persoalan pribadi perempuan itu sendiri. Persoalan “suami” sekaligus menyatakan persoalan bangsa Samaria. Akar persoalannya dicatat dalam Kitab 2 Raja-Raja 17:33 “Mereka berbakti kepada TUHAN, tetapi dalam pada itu mereka beribadah kepada allah mereka sesuai dengan adat bangsa-bangsa yang dari antaranya mereka diangkut tertawan.”

Bangsa Samaria oeh raja Asyur diangkut bersama-sama lima bangsa lainnya, yaitu dari Babel, dari Kuta, dari Awa, dari Hamat dan Sefarwaim (2Raj. 17:24). Masing-masing bangsa itu membawa allah-allah mereka. Para allah ini menjadi “suami” bangsa Samaria. “Suami” dalam bahasa Ibraninya adalah “ba’al” dan kini menjadikan bangsa Samaria hamba dari para “suami” itu. Maka TUHAN yang bersama mereka “bukanlah suamimu.”

Inilah persoalan sesungguhnya!


"Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem. Kamu menyembah apa yang tidak kamu kenal, kami menyembah apa yang kami kenal, sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi. Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian. Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran.” (4:21-24)

Perempuan Samaria menyadari pergumulannya. Ia mengakui Yesus sebagai seorang nabi yang mengungkapkan pergumulannya. Kini ia beralih kepada penyembahan yang dilakukannya di gunung Gerizim. Sekalipun ia menyadari pergumulannya, namun ia masih tetap memenuhi kewajibannya sebagai seorang yang beragama. Ia masih beribadah di gunung Gerizim, gunung yang suci.

Kini percakapan tiba pada pusat kehidupan manusia, yaitu soal penyembahan. Dari air minum di tepi sumur Yakub menuju ke akar kehidupan manusia, penyembahan. Inilah akar persoalannya, penyembahan menjadi persoalan tempat. Penyembahan menjadikan suatu tempat lebih suci dari yang lain. Penyembahan menjadikan satu benda lebih suci dari yang lain. Dengan keterikatan seperti ini, manusia bergumul dengan “suami-suami” yang membelenggunya.

Perempuan itu melupakan betapa sejarah gunung Gerizim dan Yerusalem penuh dengan pertikaian bahkan kehancuran. Ketika bangsa Yahudi berniat kembali ke Yerusalem setelah pembuangan di Babel untuk membangun tembok Yerusalem, bangsa Samarialah yang menolak dan memeranginya. Maka pada tahun 128 BC di bawah pimpinan John Hyrcanus, bangsa Yahudi balas menghancurkan bait penyembahan di gunung Gerizim.

Penyembahan adalah akar kehidupan manusia karena manusia adalah “homo adorans,” makhluk yang menyembah. Inilah jalan keselamatan yang membawa kembali manusia kepada penyembahan yang sejati, yaitu menyembah Allah dalam Roh dan kebenaran. Penyembahan yang mengalirkan air hidup. Inilah titik balik yang sejati, yang diperlukan manusia sebagai makhluk yang menyembah.



Sumber:
http://www.wkristenonline.org/index.php?option=com_content&view=article&id=39:yohanes-4-koinonia-dan-ibadah-bagian-pertama&catid=28:koinonia&Itemid=42



Profil Pdt. Joshua Lie:
Pdt. Joshua Lie, S.Th., M.Phil., Ph.D. (Cand.) adalah Pendiri Reformational Worldview Foundation (RWF) dan dosen di Sekolah Tinggi Theologi Amanat Agung (STTAA) Jakarta. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang; Master of Philosophy (M.Phil.) di Institute for Christian Studies (ICS), Toronto, Canada; dan sedang studi Doctor of Philosophy (Ph.D.) di ICS.







Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio