19 September 2010

KOINONIA-2: Koinonia dan Ibadah-1 (Pdt. Joshua Lie, M.Phil., Ph.D.-Cand.)

KOINONIA-2:
Koinonia dan Ibadah-1


oleh: Pdt. Joshua Lie, M.Phil., Ph.D. (Cand.)



Nats: Yohanes 4



“Berilah Aku minum” (4:7)


Demikianlah Yesus memulai percakapan-Nya dengan perempuan Samaria. Suatu permintaan yang sederhana karena permintaan itu terjadi di pinggir sumur Yakub, bahkan perempuan Samaria pun hendak menimba air sumur itu.

Namun permintaan yang sederhana itu ternyata sukar dipenuhi perempuan Samaria. Ia pun menjawab, “Masakan Engkau, seorang Yahudi, minta minum kepadaku, seorang Samaria?” Segayung air tentu bukan persoalannya. Namun segayung air yang diminta oleh seorang laki-laki Yahudi kepadanya adalah persoalan yang rumit. Dari air minum, persoalan bergeser kepada persoalan Yahudi dan Samaria.

Perempuan Samaria sadar akan dirinya sebagai perempuan Samaria yang tinggal di daerah Samaria. Ia berada di pinggir sumur Yakub, nenek moyangnya melalui Ephraim. Lokasi menambah kesulitan percakapan ini. Dan Yesus pun dengan sengaja melalui daerah Samaria! Ia tidak menghindari daerah Samaria demi menuju ke Galilea. Lokasi dan tempat bagi perempuan Samaria merupakan pijakan identitasnya. Bagi Yesus, tempat adalah ladang bagi benih kerajaan Allah!

Ketika kita memberitakan Injil kerajaan Allah, kita berhadapan dengan persoalan tempat sebagai identitas. Tanpa menyadari tempat sebagai identitas, maka Injil tidak akan tampak kekuatannya yang mentransformasi kehidupan manusia. Inilah kisah perempuan Samaria.

“Jikalau engkau tahu tentang karunia Allah dan siapakah Dia yang berkata-kata kepadamu: Berilah Aku minum! Niscaya engkau telah meminta kepada-Nya dan Ia telah memberikan kepadamu air hidup” (4:10)

Ketika seseorang menyadari identitasnya berakar pada tempat dan kesejarahannya, maka ia perlu mendengar perkataan Yesus sebagaimana dinyatakan kepada perempuan Samaria. Identitas seseorang memang tidak mudah dipisahkan dari tempat dan kesejarahannya, namun identias yang sejati berasal dari karunia Allah.

Mengenal karunia Allah merupakan karunia Allah. Disinilah pangkal kehidupan kita yang sebenarnya. Karunia Allah mengembalikan kita pada identitas kita yang sejati. Sebagaimana Adam diciptakan dalam karunia Allah, dan firman-Nya yang menetapkan identitas Adam, bukan taman dimana ia ditempatkan. Inilah langkah penting bagi hidup kita, yaitu mengenal Dia yang sanggup memberikan kepada kita identitas yang baru yang mengalirkan air hidup.

Karunia Allah memungkinkan perempuan Samaria mengenal Yesus bukan dari pergumulannya sebagai seorang Samaria, melainkan mengenal dirinya dari siapa yang meminta air minum itu. Yesus menyadarkan perempuan Samaria itu untuk memahami karunia Allah dan siapa yang berkata-kata kepadanya.

Perempuan Samaria masih bergumul dengan dirinya. Ia merasa masih memiliki kebanggaannya sebagai keturunan Yakub yang turut mewarisi sumur yang sudah menghidupinya dan kaumnya. Ia melupakan bagaimana sumur itu acap kali menjadi sumber pertengkaran, alasan kesedihan ketika sumur itu mengering dan alasan kesunyian ketika ia perlu mencari waktu sendirian ke sumur itu. Namun ia tetap menanggapi perkataan Yesus, “Tuhan, berikanlah aku air itu, supaya aku tidak haus dan tidak usah datang lagi ke sini untuk menimba air.”


“Pergilah, panggillah suamimu dan datang ke sini” (4:16)

“Suami” sebagaimana dinyatakan Tuhan Yesus mengungkapkan pergumulan yang lebih dalam dari persoalan Samaria dan Yahudi. Kedatangan perempuan Samaria ketika tidak ada seorangpun di sumur Yakub menyatakan keadaan ini. Ia sendirian. Ia tidak lagi dapat bersama dengan teman-temannya untuk mengambil air. Ia terpisah dari kaum perempuan lainnya, karena persoalan “suami.” Ia sudah mempunyai 5 suami! Dan “yang ada sekarang padamu, bukanlah suamimu.”

Persoalan “suami” telah memisahkan perempuan Samaria itu dengan kaumnya. Ia tetap berada di daerah Samaria, ia tetap mengambil air di sumur Yakub, nenek moyangnya, namun ia sendirian. Ketika seseorang meletakkan hidupnya sekadar pada tempat dan warisan masa lalu, orang itu bisa terjebak seperti perempuan Samaria. Ada ketersendirian yang tidak dapat diungkapkan. Arah geraknya ke dalam, dan bersembunyi di sana.

Persoalan “suami” bukan hanya persoalan pribadi perempuan itu sendiri. Persoalan “suami” sekaligus menyatakan persoalan bangsa Samaria. Akar persoalannya dicatat dalam Kitab 2 Raja-Raja 17:33 “Mereka berbakti kepada TUHAN, tetapi dalam pada itu mereka beribadah kepada allah mereka sesuai dengan adat bangsa-bangsa yang dari antaranya mereka diangkut tertawan.”

Bangsa Samaria oeh raja Asyur diangkut bersama-sama lima bangsa lainnya, yaitu dari Babel, dari Kuta, dari Awa, dari Hamat dan Sefarwaim (2Raj. 17:24). Masing-masing bangsa itu membawa allah-allah mereka. Para allah ini menjadi “suami” bangsa Samaria. “Suami” dalam bahasa Ibraninya adalah “ba’al” dan kini menjadikan bangsa Samaria hamba dari para “suami” itu. Maka TUHAN yang bersama mereka “bukanlah suamimu.”

Inilah persoalan sesungguhnya!


"Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem. Kamu menyembah apa yang tidak kamu kenal, kami menyembah apa yang kami kenal, sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi. Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian. Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran.” (4:21-24)

Perempuan Samaria menyadari pergumulannya. Ia mengakui Yesus sebagai seorang nabi yang mengungkapkan pergumulannya. Kini ia beralih kepada penyembahan yang dilakukannya di gunung Gerizim. Sekalipun ia menyadari pergumulannya, namun ia masih tetap memenuhi kewajibannya sebagai seorang yang beragama. Ia masih beribadah di gunung Gerizim, gunung yang suci.

Kini percakapan tiba pada pusat kehidupan manusia, yaitu soal penyembahan. Dari air minum di tepi sumur Yakub menuju ke akar kehidupan manusia, penyembahan. Inilah akar persoalannya, penyembahan menjadi persoalan tempat. Penyembahan menjadikan suatu tempat lebih suci dari yang lain. Penyembahan menjadikan satu benda lebih suci dari yang lain. Dengan keterikatan seperti ini, manusia bergumul dengan “suami-suami” yang membelenggunya.

Perempuan itu melupakan betapa sejarah gunung Gerizim dan Yerusalem penuh dengan pertikaian bahkan kehancuran. Ketika bangsa Yahudi berniat kembali ke Yerusalem setelah pembuangan di Babel untuk membangun tembok Yerusalem, bangsa Samarialah yang menolak dan memeranginya. Maka pada tahun 128 BC di bawah pimpinan John Hyrcanus, bangsa Yahudi balas menghancurkan bait penyembahan di gunung Gerizim.

Penyembahan adalah akar kehidupan manusia karena manusia adalah “homo adorans,” makhluk yang menyembah. Inilah jalan keselamatan yang membawa kembali manusia kepada penyembahan yang sejati, yaitu menyembah Allah dalam Roh dan kebenaran. Penyembahan yang mengalirkan air hidup. Inilah titik balik yang sejati, yang diperlukan manusia sebagai makhluk yang menyembah.



Sumber:
http://www.wkristenonline.org/index.php?option=com_content&view=article&id=39:yohanes-4-koinonia-dan-ibadah-bagian-pertama&catid=28:koinonia&Itemid=42



Profil Pdt. Joshua Lie:
Pdt. Joshua Lie, S.Th., M.Phil., Ph.D. (Cand.) adalah Pendiri Reformational Worldview Foundation (RWF) dan dosen di Sekolah Tinggi Theologi Amanat Agung (STTAA) Jakarta. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang; Master of Philosophy (M.Phil.) di Institute for Christian Studies (ICS), Toronto, Canada; dan sedang studi Doctor of Philosophy (Ph.D.) di ICS.







Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio

No comments: