26 April 2009

Roma 14:19-23: MENGEJAR KEDAMAIAN DAN SALING MEMBANGUN

Seri Eksposisi Surat Roma:
Menjadi Berkat Bagi Sesama-1


Mengejar Kedamaian dan Saling Membangun

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 14:19-23.



Setelah menjelaskan bahwa anak Tuhan tidak boleh menjadi batu sandungan bagi sesamanya di ayat 13 s/d 18, maka apa yang harus kita lakukan kemudian? Pada 5 ayat terakhir yaitu di ayat 19 s/d 23, Paulus menjelaskan bagaimana anak Tuhan hidup menjadi berkat bagi sesama dengan mengejar sesuatu yang mendatangkan damai dan saling membangun tanpa meributkan hal-hal sekunder, misalnya tentang makanan.


Kelima ayat pembahasan mengenai hidup dalam damai sejahtera itu dimulai di ayat 19, di mana ia menyimpulkan ayat sebelumnya dan memulai pengajaran baru yang menjadi dasar penjelasannya di ayat berikutnya, “Sebab itu marilah kita mengejar apa yang mendatangkan damai sejahtera dan yang berguna untuk saling membangun.” “Sebab itu” menunjukkan lanjutan dari ayat 18 dan suatu kesimpulan dari ayat sebelumnya. Jika di ayat 18, kita belajar bahwa dengan kita tidak menjerumuskan orang lain ke dalam dosa, kita berkenan kepada Allah dan dihormati manusia, maka di ayat 19, Paulus mengingatkan jemaat Roma kembali mengejar apa yang mendatangkan damai sejahtera (bdk. Rm. 12:18). Kata kerja “mengejar” dalam struktur bahasa Yunani menggunakan bentuk aktif dan present. Berarti, sebagai umat Tuhan, kita dituntut untuk secara aktif terus-menerus mengejar sesuatu yang mendatangkan damai sejahtera. Penulis Surat Ibrani mengajarkan hal yang sama, “Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorangpun akan melihat Tuhan.” (Ibr. 12:14) Dengan demikian, setiap anak Tuhan dituntut untuk mengejar hidup damai dengan semua orang. Damai sejahtera seperti apa? Kembali, Paulus telah menguraikannya di ayat sebelumnya, yaitu ayat 17 yaitu damai sejahtera yang didahului oleh kebenaran keadilan dan disertai dengan sukacita yang kesemuanya dikerjakan oleh Roh Kudus di dalam Kerajaan Allah. Berarti, ada pembatasan arti damai sejahtera yang Paulus ingin ajarkan, yaitu berkaitan dengan kebenaran keadilan, sukacita, Roh Kudus, dan berakhir dengan Kerajaan Allah. Memisahkan dan meredefinisi damai sejahtera di luar hal-hal tersebut bukanlah damai sejahtera yang diajarkan Alkitab! Dalam mengejar damai sejahtera itu, kita tetap harus mempertimbangkan aspek kebenaran keadilan, sukacita, Roh Kudus, dan Kerajaan Allah, sehingga di dalam proses mengejar itu, kita tidak berkompromi terhadap dosa. Di dunia postmodern, damai sejahtera sudah menjadi bahan obralan yang dijual murahan. Damai sejahtera TIDAK lagi dimengerti berkaitan dengan kebenaran keadilan apalagi Kerajaan Allah. Para pemimpin gereja arus utama mempromosikan damai sejahtera berbeda dari apa yang diajarkan Alkitab. Ide utama mereka adalah ide humanis atheis yang antroposentris, ujung-ujungnya kompromi iman, lalu mengajarkan (secara eksplisit maupun implisit) bahwa semua agama itu sama saja. Ketika dunia menawarkan konsep damai sejahtera palsu, Alkitab mengajarkan damai sejahtera yang berkaitan dengan Kerajaan Allah yang tentu TIDAK mengenal kompromi. Damai sejahtera sejati TIDAK berkompromi dengan dosa sedikitpun (bdk. Ibr. 12:14 di atas). Itulah yang harus kita kejar terus-menerus di dalam hidup kita. Bagaimana menjadi alat perdamaian bagi sesama kita TANPA mengompromikan dosa mereka?! Ketika kita menegur dosa mereka, itu TIDAK berarti kita menjadi damai sejahtera bagi mereka. Justru, ketika kita menegur dosa mereka dengan kasih disertai kebenaran Allah, kita sebenarnya mendatangkan damai sejahtera bagi mereka, sehingga mereka merasakan damai sejahtera Kristus yang mengoreksi dan mengakibatkan mereka bertobat oleh karya aktif Roh Kudus. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita menjadi alat perdamaian bagi sesama kita TANPA mengkompromikan dosa dan iman kita?!

Kita bukan hanya menjadi alat perdamaian, tetapi Paulus juga mengajar kita untuk saling membangun. King James Version (KJV) menerjemahkan, “one may edify another” (=seorang dapat mengajar orang lain). New International Version (NIV) menerjemahkan, “and to mutual edification” (=dan kepada pengajaran satu sama lain). Terjemahan dari bahasa Yunaninya adalah, “pembinaan.” (Hasan Sutanto, 2003, Perjanjian Baru Interlinear, hlm. 871) Dari struktur bahasa Yunani, kata ini sebenarnya bukan kata kerja, tetapi kata benda. Kata benda ini disejajarkan dengan kata sebelumnya yaitu “damai sejahtera” yang juga merupakan kata benda (paralelisme). Dengan kata lain, ayat 19 ini dapat diterjemahkan, “Karena itu, marilah kita mengejar hal-hal dari damai sejahtera dan hal-hal pembinaan satu sama lain.” Dari sini, kita belajar bahwa kita bukan hanya menjadi alat perdamaian saja, tetapi kita dituntut untuk saling memberi pengajaran. Perdamaian harus disertai dengan pengajaran satu sama lain. Di sini, kembali, Paulus TIDAK memisahkan perdamaian dari pengajaran. Kalau orang Kristen abad postmodern dan tidak sedikit pemimpin gereja hari-hari ini memisahkannya, lalu mengajar bahwa doktrin itu tidak penting, yang penting bersatu dan berdamai saja, “dalam Yesus kita bersaudara,” itu jelas tidak bertanggungjawab. Mengapa? Karena Paulus sendiri mengajar bahwa kita tetap perlu mengejar hal-hal damai sejahtera dan juga pengajaran satu sama lain. Mengapa Paulus mengaitkan dua hal ini? Karena damai sejahtera tanpa disertai pengajaran satu sama lain bisa berakibat fatal. Artinya, damai sejahtera tanpa pengajaran akan menjadi suatu perasaan damai sejahtera yang tidak ada dasarnya dan bahkan bisa menipu dan menyesatkan, yang tidak ada bedanya seperti konsep “damai sejahtera” ala postmodern. Lalu, pengajaran itu bukan satu arah sifatnya, tetapi dua arah (perhatikan kata “saling” atau mutual). Artinya, kita sama-sama belajar dan mengajar sesuai dengan kebenaran firman Tuhan, sehingga tidak ada waktu bagi kita untuk meributkan hal-hal yang tidak penting. Ketika gereja-gereja Tuhan bersama-sama dengan rendah hati mau belajar bersama-sama akan kebenaran firman Tuhan, maka kita dapat bersatu memperluas Kerajaan Allah dengan kebenaran firman-Nya (Sola Scriptura). Tetapi sayangnya, banyak gereja sudah stagnan dan tidak mau lagi terbuka untuk bersama-sama belajar firman Tuhan dengan segudang argumentasi, misalnya, “doktrin tidak penting”, “Alkitab belum tentu satu-satu kebenaran, di dalam agama lain juga ada kebenaran”, “jangan menghakimi”, “jangan fanatik”, dan argumentasi “theologis” dan “logis” lainnya yang tidak bertanggungjawab. Mereka lebih memperhatikan hal-hal eksternal ketimbang internal. Mereka lebih memperhatikan megahnya gedung gereja, tuanya sejarah gereja mereka, dan bahkan tua dan kunonya kursi-kursi dan pendeta gereja mereka. Gereja seperti ini sudah mau mati, tetapi tidak pernah sadar. Yang mereka perhatikan adalah hal-hal sekunder dan fana, akibatnya tidak usah heran, di negara-negara Barat, banyak gereja-gereja Protestan arus utama (yang dipengaruhi oleh “theologi” liberal baik eksplisit maupun implisit) sudah menjadi monumen, yang hanya dikunjungi oleh banyak orang-orang tua, sedangkan banyak orang-orang muda yang melarikan diri ke diskotek, pub, bar, dll. Sudah saatnya, gereja Tuhan BANGKIT. BANGKIT seperti apa? BANGKIT kembali kepada Alkitab, perjuangkan kebenaran firman-Nya, beritakan Injil-Nya, dan bersaksilah bagi kemuliaan-Nya.


Setelah kita diingatkan Paulus untuk mengejar damai sejahtera dan pembinaan satu sama lain, maka di ayat 20, ia mengingatkan kembali, “Janganlah engkau merusakkan pekerjaan Allah oleh karena makanan! Segala sesuatu adalah suci, tetapi celakalah orang, jika oleh makanannya orang lain tersandung!” Ketika kita sudah mengetahui bagaimana mengejar damai sejahtera dan pembinaan satu sama lain, maka otomatis kita tidak lagi merusakkan pekerjaan Allah hanya karena meributkan hal-hal sepele/sekunder, misalnya makanan. Di sini, Paulus mengaitkan bahwa barangsiapa yang menjerumuskan orang lain ke dalam dosa adalah orang yang merusakkan pekerjaan Allah. Di dalam Kekristenan dewasa ini, hal ini juga tetap berlaku. Jangan hanya karena perbedaan pendapat dalam hal-hal sekunder saja, kita sudah seperti kebakaran jenggot, menantang orang yang berbeda pendapat itu di dalam perdebatan-perdebatan yang sebenarnya membuang waktu. Ketika kita mencoba beradu mulut (dan logika) dengan mereka yang berbeda pendapat/doktrin di dalam hal-hal sekunder, kita sebenarnya sedang merusakkan pekerjaan Allah, karena kita lebih memperhatikan hal-hal sekunder ketimbang hal-hal primer. Hal ini tidak berarti kita kompromi! Seperti yang sudah saya jelaskan di bagian-bagian eksposisi Roma di pasal sebelumnya, untuk hal-hal sekunder, biarlah kita tetap menghargai, tetapi tidak berarti kompromi, sedangkan untuk hal-hal primer, marilah kita sengit memperjuangkannya dan berani menghadapi para bidat yang memang benar-benar melawan doktrin-doktrin utama iman Kristen. Bagaimana dengan kita? Biarlah kritikan Paulus yang tajam ini juga menjadi refleksi bagi kita yang gemar berdebat tanpa mengerti motivasi, cara, sasaran, dan tujuan debat yang sesungguhnya.

Lalu, Paulus menjelaskan bahwa segala sesuatu itu suci, tetapi ketika kita membuat orang lain tersandung karena makanan yang kita makannya, maka kita itu celaka/jahat. International Standard Version (ISV) menerjemahkannya, “Everything is clean, but it is wrong to make another person fall because of what you eat.” (=Segala sesuatu itu bersih, tetapi adalah salah untuk membuat orang lain berdosa/jatuh karena apa yang kita makan.) KJV menerjemahkan kata “celakalah” sebagai tindakan yang jahat (evil). Terjemahan dari bahasa Yunani menggunakan terjemahan yang sama dengan ISV yaitu “salah.” Dengan kata lain, selain merusakkan pekerjaan Allah, orang Kristen yang menjerumuskan orang lain/sesamanya dapat dikategorikan sebagai tindakan yang salah. Mengapa? Karena dia sebenarnya membuat sesamanya tersinggung di dalam hal-hal sekunder, misalnya makanan. Jika diaplikasikan di dalam konteks sekarang, barangsiapa atau “hamba Tuhan” siapa yang berani menjerumuskan jemaat atau orang Kristen dari gereja lain yang berbeda doktrin dengannya ke dalam perasaan bersalah karena tidak mematuhi apa yang dikatakan “hamba Tuhan” ini (misalnya, jika tidak dibaptis selam tidak “alkitabiah”, jika tidak bisa berbahasa lidah maka tidak ada “roh kudus”, dll), “hamba Tuhan” ini sebenarnya sedang merusak pekerjaan Allah karena terlalu meributkan hal-hal sekunder ditambah tindakannya ini dapat dikategorikan sebagai tindakan yang salah/jahat/tidak berguna. Bertobatlah jika kita sebagai pelayan Tuhan atau jemaat Kristen suka mengintimidasi orang Kristen lain untuk hal-hal sekunder!


Lalu, apa yang harus kita lakukan supaya kita bisa hidup dalam damai sejahtera dan tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain? Paulus memaparkan tiga sikap di dalam ayat 21 s/d 23, yaitu:
Pertama, di ayat 21, ia mengajarkan, “Baiklah engkau jangan makan daging atau minum anggur, atau sesuatu yang menjadi batu sandungan untuk saudaramu.” Dengan kata lain, supaya kita tidak menjadi batu sandungan bagi sesama kita, kita harus rela tidak makan daging atau minum anggur. Kata kerja “makan” dan “minum” ini di dalam struktur bahasa Yunani menggunakan bentuk aktif. Makan daging dan minum anggur di dalam konteks ayat ini jelas menunjuk kepada sesuatu yang haram yang tidak dimakan oleh orang-orang Yahudi di dalam tradisi mereka. Sedangkan orang-orang non-Yahudi bebas makan dan minum segalanya. Dari sini, Paulus mengajar bahwa sebagai orang-orang Kristen non-Yahudi maupun orang Kristen Yahudi yang sudah mengerti dan tidak mengkategorikan sesuatu sebagai haram dan halal, maka mereka harus rela tidak menyinggung orang Kristen Yahudi yang masih memegang adat istiadat Yahudi tersebut. Di sini, berarti kita harus AKTIF menyangkal diri untuk tidak menuruti apa yang kita mau agar orang lain tidak tersinggung. Ingatlah, semua ini berlaku HANYA bagi orang Kristen saja, tidak bagi orang non-Kristen! Sehingga, jangan sekali-kali memakai ayat ini untuk mendukung orang Kristen dalam menghormati orang non-Kristen yang sedang berpuasa! Itu TIDAK sesuai dengan konteks dan sama sekali TIDAK bertanggungjawab! Di dalam konteks zaman kita, hal ini pun bisa kita aplikasikan. Ketika kita berselisih paham/doktrin dengan orang Kristen lain di dalam hal-hal sekunder misalnya tentang baptisan anak, dll, marilah kita tidak usah terlalu banyak menyinggungnya. Kita boleh menyinggungnya sedikit sambil berdiskusi dengan menggali Alkitab, tetapi jika orang yang kita ajak diskusi tetap bersikukuh menolak baptisan anak, kita tidak perlu memperpanjang dan meributkan masalah tersebut, toh, orang yang menerima atau menolak baptisan anak TIDAK mempengaruhi keselamatan! Mari kita belajar untuk menyangkal diri untuk tidak melampiaskan pengetahuan kita untuk dipaksakan ke orang lain. Belajarlah menahan diri dan berdoalah agar kiranya Roh Kudus mengubah pemikiran doktrinal orang yang kita ajak diskusi tersebut.

Kedua, di ayat 22, Paulus mengemukakan, “Berpeganglah pada keyakinan yang engkau miliki itu, bagi dirimu sendiri di hadapan Allah. Berbahagialah dia, yang tidak menghukum dirinya sendiri dalam apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan.” Analytical-Literal Translation (ALT) menerjemahkannya, “_You_ have faith? Be having [it] to yourself before God. Happy is the one not judging himself in what he approves [of].” (=Kamu memiliki iman? Milikilah itu bagi dirimu sendiri di hadapan Allah. Berbahagialah orang yang tidak menghakimi dirinya sendiri akan apa yang disetujuinya.) Dengan kata lain, Paulus mengajarkan bahwa kita pribadi sebagai anak-anak Tuhan disuruh berpegang pada iman kita masing-masing di hadapan Allah dan berbahagialah kita ketika kita tidak menyalahkan diri sendiri atas apa yang kita percayai/setujui itu. Di sini, Paulus tidak kompromi! Ingatlah kembali, seluruh pasal 14 berbicara mengenai hal-hal sekunder, sehingga ketika Paulus mengatakan bahwa biarlah kita pribadi berpegang pada iman masing-masing di hadapan Allah, itu tentu TIDAK menyangkut hal-hal primer, apakah percaya Yesus satu-satunya Tuhan dan Juruselamat atau Yesus itu salah satu Juruselamat saja, tetapi menyangkut hal-hal sekunder (konteksnya adalah tentang makanan). Ketika Paulus menguraikan masalah makanan sebagai hal sekunder, di zaman ini, kita juga menghadapi hal serupa. Teguran Paulus mengingatkan kita bahwa kepercayaan/theologi kita apa pun (dalam hal sekunder) hendaklah kita pegang secara pribadi di hadapan Allah dan janganlah pernah menyalahkan diri karena apa yang telah kita putuskan/imani itu. Hal-hal sekunder tersebut TIDAK menyelamatkan kita, sehingga jangan pernah memaksakan doktrin-doktrin sekunder tersebut kepada orang Kristen lain! Yang perlu kita lakukan adalah berpegang dan mempertanggungjawabkan atas segala sesuatu yang kita percayai.

Ketiga, di ayat terakhir, 23, ia mengajar, “Tetapi barangsiapa yang bimbang, kalau ia makan, ia telah dihukum, karena ia tidak melakukannya berdasarkan iman. Dan segala sesuatu yang tidak berdasarkan iman, adalah dosa.” Poin terakhir agar kita tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain yaitu kita melakukan segala sesuatu berdasarkan iman, bukan berdasarkan keputusan orang lain yang mengakibatkan kita bimbang. Kita diperintahkan Paulus untuk TIDAK bimbang dan konsisten. Ketika kita percaya akan doktrin sekunder tertentu, percayalah dan peganglah, serta lakukan. Di dalam konteksnya, ketika ada jemaat Roma yang masih memegang adat istiadat Yahudi yaitu tidak makan makanan yang haram, biarlah mereka melakukannya berdasarkan apa yang dia imani bukan berdasarkan apa yang mereka dengar dari orang lain yang mengakibatkan mereka bimbang. Kebimbangan atau keraguan tersebut justru adalah dosa, karena tidak dilakukan dengan keteguhan hati dan kekonsistenan. Di dalam konteks zaman kita sekarang, ketika ada orang Kristen yang mempercayai baptisan anak, biarkanlah orang itu mempercayainya dan melakukannya berdasarkan imannya. Begitu juga dengan mereka yang menolak baptisan anak, mereka tetap harus mempercayainya dengan bertanggungjawab, lalu melakukannya dengan iman. Biarlah kesemuanya itu dilakukan dengan dasar iman dan pengertian yang bertanggungjawab di hadapan Allah.


Setelah kita merenungkan kelima ayat di atas, sudahkah kita memiliki keterbukaan hati untuk mengejar damai sejahtera dan pembinaan bagi saudara seiman kita yang lain dengan tidak menjerumuskan mereka ke dalam dosa? Allah yang telah membeli anak-anak-Nya melalui darah penebusan Kristus, masa kita merusakkan karya-Nya dengan meributkan hal-hal sepele? Berusalah hidup dalam damai sejahtera dan pengajaran satu sama lain yang TIDAK mengompromikan dosa dan iman. Amin. Soli Deo Gloria.

Matius 14:13-23: THE POWER OF COMPASSION (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 24 Juni 2007

The Power of Compassion
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.

Nats: Mat. 14:13-23


Kita telah memahami bahwa kuasa Kerajaan Sorga lebih dahsyat dibandingkan dengan kuasa dunia dan terbukti, seorang raja besar seperti Herodes pun takut dan gemetar. Hari ini kita kembali dibukakan akan kuasa Kerajaan Sorga melalui mujizat lima roti dua ikan. Alkitab mencatat Tuhan Yesus melakukan mujizat ini karena didasari oleh belas kasihan. The power of compassion itulah yang mendorong Tuhan Yesus mengajar, menyembuhkan, dan memberi makan. Namun, manusia berdosa memanipulasi ayat ini dan berpikir egois. Orang sulit memahami the true compassion sebab orang tidak pernah mengerti bahwa without true love, there is no true compassion.
I. True Love True Compassion
Belas kasihan sejati itu muncul dari cinta kasih sejati, yakni kasih Ilahi karena Allah adalah kasih. Kasih Allah berbeda dengan kasih manusia. Kasih Allah adalah kasih yang mau berkorban bahkan Ia tetap mengasihi meski orang menolak Dia. Kasih yang sejati selalu memikirkan dan melakukan yang terbaik untuk obyek kasihnya, ia selalu menginginkan obyek kasihnya itu menjadi lebih baik, lebih suci, lebih agung, dan semua hal yang sifatnya membangun. Inilah kasih Ilahi yang sejati. Kasih Ilahi mengajar kita untuk berkorban dan menjadi berkat bagi orang lain.
Sebaliknya, kasih manusia selalu menuntut pengorbanan dari obyek kasihnya tetapi ia sendiri tidak mau berkorban. Sebagai ilustrasi, ketika orang berkata, “I love crab“ itu berarti celaka bagi si kepiting, sebab ia akan segera naik ke penggorengan. Demikian pula halnya dengan orang yang berkata, “Aku cinta kamu“ sesungguhnya yang dimaksud “cinta“ disini bukan cinta pada obyeknya tetapi lebih tepatnya, ia mencintai diri sendiri, semua untuk kepentingan diri sendiri. Cinta dunia bersifat egois, tidak mau berkorban dan hanya mementingkan diri. Dunia hanya ingin yang terbaik untuk dirinya sendiri, selalu menuntut orang lain berkorban tetapi dia sendiri tidak mau berkorban.
“Kasih“ paling banyak disebut dalam Kekristenan namun celakanya, Kekristenan terjebak dengan konsep dunia, di balik kata “kasih“ ada motivasi-motivasi yang sangat mengerikan. Inilah dunia berdosa. Orang tidak memahami esensi kasih maka tidaklah heran kalau orang sulit memahami belas kasihan. Ingatlah, Kristus telah mengasihi kita terlebih dahulu, kasih-Nya yang begitu besar itulah yang seharusnya mendorong kita mengasihi orang lain dengan murni. Biarlah kita mengevaluasi diri kita, sudahkah kita mengasihi dengan kasih Ilahi? Maukah kita berkorban untuk mereka yang menjadi obyek kasih kita?
Belas kasihan merupakan implikasi praktis dari kasih yang sejati. Hanya mereka yang memiliki kasih sejatilah dapat mengimplikasikan belas kasihan. Dunia berdosa tidak pernah memahami akan hal ini, dunia mencintai kalau ia merasa diuntungkan dan tidak mau berkorban untuk orang lain. Orang selalu ingin mendapat belas kasihan, selalu ingin mendapat tanpa pernah memberi. Belas kasihan yang dinyatakan oleh Kristus berbeda dengan dunia:
Dunia telah kehilangan rasa belas kasihan, dunia hanya ingin mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya untuk diri sendiri. Celakanya, hal ini telah diajarkan dan melekat dalam pemikiran manusia dan yang sekarang dikenal dengan istilah ekonomi. Ekonomi berasal dari bahasa Yunani, oikos berarti rumah tangga dan nomos berarti peraturan. Jadi, pengertian ekonomi adalah bagaimana kita mengatur rumah tangga sedemikian rupa demi kesejahteraan bersama. Ekonomi Allah berarti Allah menetapkan manusia di tengah taman untuk mengusahakan dan memelihara taman untuk menjadi sumber kesejahteraan bersama. Ekonomi suatu bangsa adalah bagaimana pemerintah mengatur ekonomi untuk kesejahteraan suatu bangsa. Namun, ekonomi hari ini tidak ada yang memikirkan tentang kesejahteraan, kesejahteraan hanya sekedar janji manis di mulut belaka. Dunia tidak pernah mengajarkan kita untuk berkorban demi mendatangkan kesejahteraan bersama. Sebaliknya, dunia mengajarkan bagaimana dengan modal sekecil-kecilnya mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Bayangkan, kalau setiap orang ingin mendapatkan untung besar betapa celakanya dunia ini, tidak ada hati yang berbelas kasihan tapi yang ada justru banyak orang menjadi korban.
Dengan alasan miskin, orang tidak mau berkorban dan berbagi pada orang lain. Sadarkah kita bahwa miskin yang paling fatal adalah miskin rohani bukan miskin secara materi. Ketika kerohanian kita miskin maka seluruh hidup kita pun sangatlah miskin. Allah itu adil, tidak pernah ada orang yang kekurangan karena hidupnya berbagi. Betapa mengenaskan orang yang hidupnya selalu merasa miskin. Dunia sukar berbelas kasihan, dunia hanya ingin mendapat keuntungan dan keuntungan. Biarlah sebagai anak Tuhan, kita diubahkan tidak menjadi seperti dunia tetapi hendaklah hidup kita berbagi dan menjadi berkat bagi banyak orang. Tuhan Yesus telah memberikan teladan indah pada kita satu hal, yakni how to give, how to have a mercy. Ketika kita mempunyai hati yang penuh dengan berbelas kasih, disana ada kuasa Tuhan yang menyertai.
II. Compassion that Sacrifice
Karena belas kasihan, Tuhan Yesus menyembuhkan orang sakit, mengajar, dan memberi makan lebih dari 5000 orang. Orang banyak itu mengikut Yesus hingga hari menjelang malam dan mereka belum makan maka timbul rasa belas kasihan dalam diri para murid. Yang menjadi pertanyaan adalah darimanakah muncul compassion itu? Kemungkinan karena para murid merasakan hal yang sama seperti yang dialami orang banyak itu, mereka juga merasa lapar. Dunia psikologi menyebutnya sebagai compassion of analogy. Memang bukanlah hal yang salah kalau kita memiliki compassion of analogy, kita dapat menghibur dan menguatkan orang lain yang mengalami hal yang sama seperti yang kita alami.
Belas kasihan yang dinyatakan oleh Kristus berbeda dengan belas kasihan yang dinyatakan oleh dunia. Dalam Kekristenan ada finalitas yang melampaui dari apa yang dunia pikirkan. Di satu sisi, para murid ini ada rasa belas kasihan namun di sisi lain, mereka pikir mustahil memberi makan sebab jumlah mereka banyak. Karena itulah, mereka mengusulkan supaya orang banyak itu pergi ke desa terdekat untuk mencari makan. Namun hal itu tidak dilakukan oleh Tuhan Yesus. Tuhan Yesus justru meminta semua makanan yang ada pada mereka saat itu. Dapatlah dibayangkan bagaimana perasaan para murid saat itu? Mereka sendiri lapar dan sekarang, makanan yang sedikit itu diminta oleh Tuhan Yesus. Dengan kata lain, sebenarnya mereka tidak ingin berbagi. Hal yang serupa pernah diminta Tuhan Yesus pada orang muda yang kaya, supaya ia menjual hartanya dan dibagi pada orang miskin tetapi ia tidak rela berkorban. Inilah belas kasihan sejati, yakni kerelaan kita berkorban untuk orang lain. Hal seperti ini tidak pernah didapati di dunia, inilah finalitas Kekristenan.
Karena kasih, Kristus berbelas kasihan, Ia memberi makan lebih dari 5000 orang dengan lima roti dan dua ikan. Dengan tangan-Nya sendiri, Tuhan Yesus memecah-mecahkan roti dan membagikannya; semua yang ada padanya diberikan kepada orang lain. Hari itu, kalau kita berada di tempat itu, apa yang kita pikirkan saat itu? Dunia seringkali berpikir mujizat Yesus itu “wah“ (hebat) dan enak. Dunia begitu senang dengan hal-hal yang sifatnya materialis dan celakanya, ayat ini dimanipulasi demi kepuasaan diri. Orang tidak pernah memahami apa esensi dari “the true compassion.“ Apakah kita pernah berpikir betapa menderitanya tangan Tuhan Yesus mencabik-cabik roti. Alkitab mencatat ada 5000 orang laki-laki, jika ditambah wanita dan anak-anak berarti jumlah keseluruhan mencapai sepuluh ribu lebih dan kalau satu orang makan lebih dari 5 ketul roti itu berarti lima puluh ribu kali, Tuhan Yesus harus melakukan cabikan. Inilah belas kasihan sejati. Demi orang banyak itu makan, Tuhan Yesus tidak memilih cara yang mudah padahal secara kapasitas, Tuhan Yesus bisa melakukannya – Ia dapat membuat roti dan ikan itu banyak dan terbagi dengan sendirinya, tetapi hal itu tidak Ia lakukan. Tuhan Yesus mempunyai hati yang berbelas kasihan dan hal itu telah dinyatakan-Nya. Tuhan Yesus telah berkorban, Ia menderita demi orang lain dapat makan namun tidak ada seorang pun yang memahami penderitaan Kristus ini. Orang hanya berpikir untuk kesenangan diri sendiri.
Perhatikan, janganlah melihat mujizat dari sisi “wah;“ pernahkah kita menyadari bahwa mujizat itu keluar dari satu penderitaan yang luar biasa? Hari ini banyak orang katanya “berbelas kasihan“ tetapi mereka tidak mau berkorban, tidak mau menderita. Celakanya, Kekristenan tidak pernah memahami apa arti belas kasihan sejati. Kristus datang ke tengah dunia untuk menderita demi menebus dosa manusia; Kristus harus melewati penderitaan yang sangat luar biasa. Kristus melakukan belas kasihan dengan kuasa-Nya yang begitu besar merubah seluruh hidup kita. Pernahkah kita menyadari bahwa belas kasihan ini muncul sejak awal penciptaan? Allah tidak menciptakan manusia di hari pertama dimana bumi masih kosong dan membiarkan manusia seorang diri saja. Tidak! Allah sudah siapkan alam semesta dan segala isinya untuk manusia, Dia berikan yang terbaik untuk manusia. Celakanya, manusia tidak berterima kasih atas belas kasihan Tuhan tetapi manusia malah menuntut berkat, manusia merasa semua itu sebagai hak yang harus ia miliki. Orang menganggap semua berkat-berkat Tuhan itu sebagai hal yang biasa. Sadarlah, kita ini adalah manusia berdosa, tanpa penebusan dari Tuhan, kita akan binasa. Renungkanlah betapa limpah berkat Tuhan yang dicurahkan atas kita, hari ini kalau kita masih hidup itu harusnya membuat kita bersyukur senantiasa. Dia juga memimpin hidup kita detik demi detik – semua hal yang kita alami bukanlah suatu kebetulan tetapi semua itu sudah ada dalam rancangan-Nya. Sayangnya, orang menganggap hal itu sebagai hal yang biasa, sampai suatu hari kalau semua hal yang kita anggap biasa itu dicabut oleh Tuhan barulah kita sadar, kalau itu bukanlah hal yang biasa. Siapakah manusia sehingga Tuhan mau berbelas kasihan pada kita, orang yang berdosa? Kalau Tuhan telah terlebih dahulu berbelas kasihan pada kita, biarlah itu menjadi teladan bagi kita; kita mempunyai hati yang berbelas kasih pada orang lain, kita mau berkorban demi orang lain.
III. Keeping Clean Heart & Motivation
Setelah Tuhan Yesus membuat mujizat, Alkitab mencatat, Ia menyingkir ke tempat sunyi (ay. 13, 23). Namun ketika Ia menyingkir ke tempat sunyi, orang banyak mengikut Dia. Hati-hati dengan pemberian judul perikop dalam Alkitab sebab kisah tentang Tuhan Yesus yang memberi makan 5000 orang tidak berhenti sampai di ayat 21 saja. Sepintas, ayat 13 ini sepertinya mengindikasikan bahwa kepergian Tuhan Yesus karena berita kematian Yohanes Pembaptis dan Yesus takut dibunuh. Salah! Celakanya, orang kemudian menafsirkan bahwa orang Kristen boleh lari ketika ia takut mati. Perhatikan, Tuhan Yesus menyingkir ke tempat sunyi itu bukan karena Ia takut mati. Tidak! Dia datang ke tengah dunia justru untuk mati; Dia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan menyerahkan nyawa untuk menjadi tebusan. Lebih tepatnya, Tuhan Yesus menyingkir ke tempat sunyi karena waktu-Nya belum tiba. Pada bagian pertama, kita melihat bagaimana Herodes gemetar dan takut melihat kuasa Yesus yang dahsyat, jadi, tidak tepat kalau dikatakan Tuhan Yesus menyingkir karena alasan takut. Kuasa Kristus jauh lebih besar dari kuasa Herodes bahkan pengikut Tuhan Yesus jauh lebih banyak dari pengikut Herodes.
Setelah mujizat besar yang dinyatakan oleh Tuhan Yesus, Dia memerintahkan murid-murid-Nya pergi ke seberang dan Ia menyuruh orang banyak itu pulang dan Ia sendiri pun pergi ke tempat sunyi untuk berdoa. Hari ini, kita tidak pernah menjumpai kejadian serupa, bukan? Yang adalah ketika orang selesai melakukan mujizat maka ia ingin supaya orang mengikut dia dan mengelu-elukannya. Apa yang dilakukan oleh Tuhan Yesus ini menjadi kunci penting untuk kita memahami kemurnian kuasa dari belas kasihan. Belas kasihan sejati kalau tidak dibentengi dengan dasar pemahaman yang kuat akan memukul balik diri sendiri dengan motivasi yang salah. Orang yang mendapat belas kasihan tanpa sadar, ia akan mengagungkan orang yang memberi belas kasihan dan natur manusia berdosa ingin menjadi juruselamat dan “allah“ kecil.
Hari ini banyak orang katanya berbelas kasihan dengan memberikan sumbangan berupa uang atau makanan tetapi dengan motivasi lain dibalik semua itu, yakni membeli “ketuhanan diri.“ Belas kasihan sejati harus dikerjakan secara murni tanpa ada penyelewengan motivasi. Tuhan Yesus sangat memahami hal ini, para murid sangat riskan akan menjadi sombong karena dampak “jiwa ketuhanan“ ini karena itulah, Tuhan Yesus memerintahkan mereka untuk menyingkir ke tempat sunyi dan tidak sampai disitu, di tengah perjalanan, mereka dihantam gelombang yang sangat besar sehingga membuat mereka lupa akan mujizat besar yang dilakukan Tuhan Yesus sebelumnya. Inilah cara Tuhan memurnikan motivasi para murid sebaliknya, Tuhan Yesus naik ke atas gunung dan berdoa untuk memurnikan motivasi. Inilah Kekristenan.
Biarlah kita mengevaluasi diri, ketika kita memberi kepada orang lain, apa yang menjadi motivasi kita? Ingat, Tuhan melihat motivasi dalam diri kita. Biarlah setiap kebajikan dan belas kasihan yang kita lakukan itu kita kerjakan dengan motivasi murni, clean heart, clean motivation. Sebuah peribahasa Tionghoa mengatakan hubungan yang baik dan langgeng seperti air putih yang sehat dan bersih, ia akan selalu terus dibutuhkan; kita akan merasa lega dan tidak merasa haus. Belas kasihan yang sejati haruslah didasari oleh motivasi dan hati yang murni. Setelah kita melakukan kebajikan, ada waktunya kita menyendiri dan berdoa memohon supaya Tuhan memurnikan hati kita dan kita sendiri tidak terkena dampak negatif tetapi kita menjadi berkat bagi banyak orang. Memang, hal ini tidaklah mudah tetapi percayalah, Tuhan akan memberikan kekuatan dan memampukan kita melakukan semua itu. Kuasa belas kasihan ini menjadi bagian dari setiap anak Tuhan. Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

THEOLOGY AND SCIENCE: Short History of Debate and Theological-Philosophical Assesment (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

THEOLOGY AND SCIENCE:
Short History of Debate & Theological-Philosophical Assesment


oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.




Signifikansi
Perdebatan antara theologi dan sains sudah berlangsung sangat lama. Perdebatan ini telah menghasilkan beragam sikap untuk menjelaskan relasi antara theologi dan sains. Sebagian orang menganggap bahwa dua hal ini sama sekali terpisah dan tidak seharusnya dibicarakan bersama-sama, apalagi dalam konteks mencari kaitan antara keduanya. Yang lain berpandangan bahwa salah satu dari bidang ini memiliki kebenaran yang lebih tinggi daripada yang lain. Jika keduanya bertentangan, maka kebenaran terletak pada salah satu bidang yang dianggap lebih otoritatif, entah itu theologi atau sains. Sebagian yang lain mempercayai bahwa dua bidang ini masih dapat diharmoniskan.

Walaupun perdebatan di atas sudah berlangsung sangat lama, namun hal ini masih signifikan untuk dibahas. Ada dua hal yang mendasari keyakinan ini. Pertama, pelajaran dari sejarah. Sejarah perdebatan yang panjang antara theologi dan sains telah mengubah pandangan banyak orang terhadap gereja, theologi, bahkan otoritas Alkitab itu sendiri. Perubahan yang terjadi cenderung ke arah yang negatif. Dampak yang sudah terjadi ini semakin sulit untuk diperbaiki dalam sebuah zaman yang semakin sekuler dan humanis. Kecil kemungkinan bagi para theolog untuk mempengaruhi dan mengubah opini yang sudah tercipta, karena hanya sedikit orang yang belajar theologi. Mereka lebih banyak bersentuhan denga buku-buku sains daripada theologi. Di samping itu, alam memang tampak lebih dekat dengan manusia daripada Allah yang terkesan jauh sekalian abstrak bagi kebanyakan orang. Manusia cenderung memusatkan perhatian pada yang tampak, sedangkan yang tidak tampak kurang diminati.[1]

Kedua, beragam kepentingan di balik perdebatan. Selain melibatkan motivasi theologis seperti disinggung di atas, perseteruan antara theologi dan sains juga merambah pada bidang lain, misalnya moral. Willem B. Drees dengan tepat menjelaskan bahwa sebagian orang yang tertarik dengan perdebatan ini ternyata lebih mengedepankan aspek pragmatis daripada teoritis. Mereka ingin melihat kontribusi apa yang dapat diberikan oleh para theolog dan ilmuwan bagi kesejahteraan umat manusia. Secara khusus mereka menggumulkan tentang solusi bagi problem-problem ekologis.[2] Mereka bukan hanya tertarik pada isu epistemologis (siapa yang benar dan bagaimana hal itu dapat dibuktikan), tetapi pada isu praktis.


Sejarah Singkat Perdebatan Antara Theologi dan Sains
Dalam sejarah perkembangannya, theologi terus mendapatkan lawan tangguh yang berusaha menjadikan diri sebagai ratu ilmu pengetahuan (the Queen of Science). Dari awal Kekristenan ilmu filsafat selalu bersaing dengan theologi. Dalam beberapa kasus fisafat berhasil mempengaruhi jemaat Kristen mula-mula (1Kor. 1:23; 15:12; Kol. 2:8; 1Yoh. 4:2). Pada abad permulaan filsafat semakin merajalela, terutama filsafat gnostisisme. Sepanjang sejarah gereja pun filsafat terus berebut posisi dengan theologi.

Tanpa mengecilkan pengaruh dari filsafat terhadap orang-orang Kristen, makalah ini hanya akan memfokuskan pada satu ilmu, yaitu ilmu alam (sains). Pembatasan ini didasari pada judul seminar yang memang membahas tentang relasi Kitab Suci dan alam. Walaupun fokus utama dalam makalah ini bukanlah filsafat, namun - seperti akan dipaparkan berikut ini – filsafat tetap tidak bisa diabaikan secara total, karena perdebatan antara theologi dan sains juga mencakup filsafat. Baik theologi maupun sains sama-sama mengandung muatan filosofis di dalamnya.

Jika perdebatan hanya difokuskan pada sains, maka titik awal pertama yang perlu disinggung berkaitan dengan seorang ilmuwan yang bernama Nikolas Kopernikus (1473-1543 M) dan Galileo Galilei (1564-1542 M). Keduanya dikenal sebagai tokoh yang mempopulerkan teori Heliosentris (matahari sebagai pusat tata surya). Pada waktu konsep ini mulai berkembang, gereja merespon pandangan ini secara negatif dan menganggap keduanya sebagai pengajar ajaran sesat yang merendahkan otoritas gereja dan Alkitab. Mereka pun dipaksa untuk mengubah pandangan.

Satu hal yang perlu diketahui dalam perseteruan ini adalah perseteruan ini lebih bersifat filosofis daripada theologis. Yang ditentang oleh dua ilmuwan tersebut bukanlah otoritas Alkitab tetapi validitas filsafat Aristotelian yang mendasari pandangan geosentris (bumi sebagai pusat dari tata surya) yang dianut oleh gereja. Thomas H. Henderson menulis, “It was not a simple conflict between science and religion, as usually portrayed. Rather it was a conflict between Copernican science and Aristotelian science which had become Church tradition.”[3] Berdasarkan konsep kosmologisnya yang bertingkat-tingkat, Aristotle meyakini bahwa alam semesta memiliki batasan dan berbentuk sebuah bola dengan bumi sebagai pusat yang tidak bergerak.[4] Konsep inilah yang diadopsi oleh gereja dan dijadikan ajaran resmi. John Dillenberger mengungkapkan hal ini dalam sebuah kalimat, “The Ptolemaic system which had originated in Hellenic soil and which subsequently acquired Aristotelian form, had been brought into close relationship with the Biblical picture...his understanding of nature had been accepted but it was given Christian baptism.[5] Jadi, perseteruan ini “was not a choice between one science and another, or between one philosophy and a scientific view; it was a choice between philosophies, between the Aristotelian-Ptolemaic or the Neo-Platonic-Phthagorean.” [6]
Bukti lain bahwa Kopernikus dan Galileo tidak berusaha merendahkan ajaran ALkitab dapat dilihat dari kesalehan dan iman mereka. Dari semua catatan tentang kehidupan dan perkataan Galileo terlihat bahwa dia adalah seorang Katholik yang ketat.[7] Dalam suratnya kepada Madame Christina, pemimpin di Tuscany, Galileo menulis dengan tegas bahwa Kitab Suci tidak mungkin menyatakan sesuatu yang tidak benar. Ia juga menegaskan bahwa Kopernikus tidak mengabaikan Alkitab.[8]

Apa yang diajarkan oleh Kopernikus dan Galileo jelas merupakan sesuatu yang sangat serius di mata gereja pada waktu itu. Jika pandangan Aristotle yang sudah sedemikian terhisap dalam dogma gereja ternyata salah, maka berbagai masalah akan mencuat ke permukaan. Menurut Dillenberger ada tiga alasan utama mengapa teori yang baru ini menimbulkan masalah bagi para theolog: “First, it seemed to run counter to those Bible passages which assumed the centrality of the earth and the movement of the sun. Second, it dislodged the comfortable interrelation of space and destiny. Third, it confronted man with the anxiety engendered by infinity.”[9]

Seiring dengan “kemenangan” Kopernikus dan Galileo atas gereja, sebagian orang mulai menyangsikan wibawa para pemimpin gereja. Pada akhirnya sikap skeptis ini juga diarahkan pada Alkitab. Mulai akhir abad ke-18 otoritas Alkitab dalam hal-hal yang berkaitan dengan alam mulai dipertanyakan secara serius. Pada masa inilah terjadi perubahan pemahaman yang sangat radikal dan kritis terhadap Alkitab. Hal ini berkaitan dengan perkembangan ilmu-ilmu baru dalam bidang geogologi, palaentologi dan biologi. Kalau penemuan Kopernikus dan Galileo sebelumnya hanya berhubungan dengan sesuatu di luar dunia ini, penemuan-penemuan baru dalam tiga bidang ini lebih berkaitan dengan sejarah dunia. Ketika hasil penemuan ini berkontradiksi dengan catatan Alkitab, maka akibat yang ditimbulkan akan menjadi lebih serius. Langdon Gilkey menyatakan, “When Copernican, Galilean, and Newtonian astronomy had taken away the view of the spatial realms of the universe implied in scriptre, that was incidental to the Bible, which was in essence no geographical tract. But when the new sciences showed that the Biblical history was in error, that was something else again, and the understanding of what Biblical truth was had perforce to change.” [10] Pendapat yang senada juga disuarakan oleh Bernard Ramm, “The battle to keep the Bible as a respected book among the earned scholars and the academic world was fought and lost in the nineteenth century. The astronomy of Copernicus did not begin to have the influence on human thought as did the events of the nineteenth century. During that period there was a mushrooming of anti-Biblical, anti-Christian movements.”[11]

Kalau pada masa sebelumnya semua catatan Alkitab yang berkaitan dengan alam dianggap sebagai kebenaran yang tidak perlu dibuktikan lagi, mulai abad ke-19 kecenderungan ini berbalik arah. Semua keterangan Akitab tentang alam, sejarah maupun geografi mulai ditolak. Sains sekarang menjadi hakim atas Alkitab.

Situasi di atas pada gilirannya membawa banyak perubahan penting yang bersifat negatif. Pengaruh ini pun akhirnya merambah pada bidang keagamaan secara umum. Gilkey berpendapat bahwa “the most important change in the understanding of religious truth in the last centuries – a change that still dominates our thought today – has been caused more by the work of science than by any other factor, religious or cultural.”[12] Situasi ini semakin diperparah dengan perkembangan berbagai filsafat yang anti Kekristenan seperti rasionalisme, empirisisme dan eksistensialisme. Salah satu perubahan yang esensial pada masa ini adalah cara pandang terhadap Alkitab yang hanya dilihat sebagai buku yang penuh simbol, bukan catatan historis, sebagaimana dirangkum dengan baik oeh Gilkey, “The change referred to is that from the understanding of religious truths as made up of propositions containing, among other things, divinely revealed “information” on almost any topic of interest, to the understanding of them as a system of symbols which make no authoritative assertions about concrete matters of fact.”[13]

Kondisi di atas memberikan tantangan yang berat bagi para theolog Injili yang masih mempercayai kebenaran Alkitab. Mengingat pada waktu itu bukti-bukti ilmiah yang mendukung Alkitab tidak terlalu banyak, sebagian theolog terjebak untuk mengikuti kebenaran sains. Mereka berpendapat bahwa jika theologi dan sains berbeda pendapat, maka theologi harus menyesuaikan dengan sains. Salah satu contoh dari hal ini adalah upaya beberapa orang untuk menerapkan Gap Theory pada waktu menafsirkan Kejadian 1:1-2.[14] Kecenderungan yang salah seperti ini disinggung sekaligus ditentang oleh Weston W. Field. Ia mengatakan:

Some have intentionally abandoned the clear implications of Scripture that the earth and everything on it, the universe and everything in it (even allowing for reasonable gaps in the genealogies of Genesis) were created ex nihilo (out of nothing) but a few thousand years ago. Others, in an unconscious, or perhaps even a conscious, desire to gain respectability with those in the fields of science who completely dismiss the Bible as unscientific and, therefore, of little or no value where it impinges upon matters of scientific interest, have unwittingly compromised the truth of Scripture by seeking what appear to be unnatural interpretations of Scripture, in order to form supposed harmonisations between the facts of the Bible and what are felt to be the facts of science, many of which are only theories.[15]




Integrasi: Sebuah Perspektif Theologis
Bagaimana orang Kristen seharusnya menyikapi perdebatan antara theologi dan sains? Apakah keduanya memang bertentangan dan tidak mungkin diharmonisasikan? Penjelasan berikut ini akan membuktikan bahwa kontradiksi sebenarnya hanya terjadi pada tingkat penafsiran (theologi versus sains). Secara ontologis kitab suci (scripture) dan alam (nature) tidak tidak mungkin mengandung kontradiksi. Jika keduanya ditafsirkan secara tepat, maka tidak mungkin ada kontradiksi antara keduanya. Raam menulis:
If we believe that the God of creation is the God of redemption, and that the God of redemption is the God of creation, then we are committed to some very positive theory of harmonization between science and evangelicalism. God cannot contradict His speech in Nature by His speech in Scripture. If the Author of Nature and Scipture are the same God, then the two books of God must eventually recite the same story.[16]

Jack Wood Sears dengan yakin menyatakan:
I recognize that conflicts now exist between our understanding of scientific truth and our understanding of Biblical truth, but I believe these conflicts should not surprise anyone but should be expected. I also believe that as we approach more nearly the Truth (and I believe that there is Absolute Truth) these conflicts will diminish. If ultimate truth is ever attained in science and in our understanding of the Bible, I believe the conflict will evaporate completely.[17]

Pendapat di atas mendapat dukungan yang kuat dalam Alkitab. Pertama, Alkitab dimulai dengan Allah yang menciptakan langit dan bumi (Kej 1:1).[18] Pemunculan di bagian paling awal Alkitab menunjukkan betapa pentingnya teks ini. Posisi seperti ini menyiratkan bahwa konsep penciptaan dunia oleh Allah merupakan dasar dari seluruh Alkitab. Dalam salah satu judul bab dari bukunya yang terkenal yaitu Philosophy for Understanding Theology, Diogenes Allen menyebut bahwa pondasi dari theologi Kristen adalah fakta bahwa dunia diciptakan.[19]

Kisah penciptaan selanjutnya menunjukkan bahwa manusia adalah pusat dari dunia. Manusia diciptakan sebagai mahkota ciptaan yang diberi mandat untuk menguasai bumi (Kej. 1:26, 28).[20] Untuk menguasai bumi jelas diperlukan pengenalan terhadap alam. Manusia harus mengeksplorasi semua informasi tentang alam supaya mereka mampu menaklukkannya. Ayat inilah yang telah menjadi dasar sekaligus keunikan Kristiani dalam pergumulan ilmiah. Pandangan Timur kuno umumnya menganggap alam bersifat ilahi,[21] karena itu tidak mungkin diselidiki sedemikian rupa seolah-olah manusia berada di atas alam. Di sisi lain pandangan Hellenis justru melihat alam (materi) sebagai sesuatu yang sangat rendah,[22] karena itu tidak layak untuk diselidiki. Hanya Alkitab yang memberikan pandangan seimbang tentang alam. Kebenaran ini seharusnya mendorong orang Kristen untuk berani meneliti alam dan menggunakannya untuk kemuliaan Allah.

Kedua, Allah dapat dikenal melalui alam (wahyu umum). Keyakinan bahwa alam dapat menyatakan sesuatu tentang Allah bukanlah ide yang baru ditemukan pada masa sains modern. Mazmur 19:1 mengajarkan bahwa ciptaan menyatakan kemuliaan Allah. Paulus pun menegaskan bahwa melalui alam semesa manusia seharusnya dapat mengetahui kekuatan yang kekal dan keilahian Allah (Rm. 1:19-21). Pemberian hujan dan pengaturan musim pun di mata Paulus membuktikan bahwa sesuatu dalam diri Allah, yaitu kebaikan-Nya (Kis. 14:17; bdk. Mat. 5:45; Kis. 17:26-27).

Kebenaran ini tetap didengungkan oleh bapa-bapa gereja dan para pemikir Kristen pada periode-periode selanjutnya.[23] Menurut Origen (sekitar 185-254 M), bapa gereja yang menganut penafsiran alegoris, Allah telah meletakkan pengajaran dan pengetahuan tentang hal-hal yang tidak terlihat dalam benda-benda yang terlihat di dunia ini. Konsep ini diteruskan oleh Ambrose dari Milan (340-397 M) dan Basil Agung (329-379 M). Agustinus (354-430 M) adalah orang pertama yang memakai istilah “kitab alam” sebagai rujukan pada alam semesta sebagai refleksi kebenaran ilahi. Konsep yang lebih integratif dan konkrit tentang penggunaan alam sebagai sarana mengenal Allah dipopulerkan oleh Anselmus dan Thomas Aquinas. Keduanya berusaha membuktikan keberadaan Allah melalui argumentasi yang alamiah dan rasional.[24]

Ketiga, kedaulatan Allah yang mutlak atas segala sesuatu. Alkitab memberikan bukti yang melimpah tentang bagaimana Allah menguasai alam. Ia bukan hanya menciptakannya, tetapi juga menggunakannya untuk menggenapi rencana-Nya. Allah berada di balik semua fenomena alam, baik yang ada di langit, bumi maupun lautan (Mzm. 135:6). Dia memberikan hujan dan mengatur musim-musim (Kis. 14:17; 17:26; bdk. Kej. 2:7; Im. 26:4). Api, hujan es, salju, kabut dan angin badai dikatakan “melakukan firman-Nya” (Mzm. 148:8; bdk. Ayb. 37:6-13; 38:22-30). Mazmur 135:6 “Ia menaikkan kabut dari ujung bumi, Ia membuat kilat mengikuti hujan, Ia mengeluarkan angin dari dalam perbendaharaan-Nya.” Kemunculan matahari dan fajar setiap hari membutuhkan perintah Dia (Ayb. 38:12; Mat. 5:45a). Allah menumbuhkan rumput untuk binatang maupun tanaman untuk manusia (Mzm. 104:14-15). Ia memelihara burung di udara (Mat. 6:26), sehingga tidak ada satu pun yang jatuh ke tanah di luar kehendak Allah (Mat. 10:29). Tentang binatang-binatang di laut, pemazmur berkata kepada Tuhan, “semuanya menantikan Engkau, supaya diberikan makanan pada waktunya” (Mzm. 104:27). Jika Allah sedemikian berdaulat atas alam, sulit dimengerti jika kebenaran yang Dia letakkan di alam dan Dia jaga akhirnya berkontradiksi dengan kebenaran-Nya di kitab suci.


Problem Epistemologi: Sebuah Perspektif Filosofis
Dalam perdebatan antara theologi dan sains muncul suatu kesan bahwa apa yang dikatakan Alkitab baru akan diterima sebagai kebenaran kalau sudah dibuktikan. Di sisi lain sains mendapat posisi yang lebih kuat. Penemuan dalam sains diasumsikan sebagai sesuatu yang objektif dan pasti benar. Mereka yang tetap mempercayai catatan Alkitab yang berkontradiksi dengan suatu teori sains secara otomatis dianggap sebagai orang yang kurang rasional. Di kalangan para ilmuwan sendiri sempat timbul suatu kesan bahwa mereka yang percaya kepada kebenaran Alkitab dianggap bukan seorang ilmuwan yang sejati.

Kecenderungan di atas jelas masih memerlukan pengujian lebih lanjut. Sayangnya dalam banyak kasus, asumsi seseorang lebih banyak berperan. Inti persoalan bukan lagi terletak pada ketersediaan fakta yang mendukung satu pandangan, tetapi pada asumsi dasar yang dipakai. Dengan kata lain, inti perdebatan terletak pada masalah epistemologi.

Benarkah sains bersifat objektif dan tanpa penafsiran? Benarkah sesuatu yang benar harus dapat dibuktikan terlebih dahulu baru diterima sebagai kebenaran? Apakah sains dapat menjadi hakim atas Alkitab? Penjelasan berikut akan menjawab deretan persoalan ini.

Pertama-tama yang perlu diketahui adalah bahwa sains tidak seobjektif yang dipikirkan oleh sebagian orang.[25] Dalam sains ada penafsiran. Dalam sains bahkan ada “iman” terhadap beberapa asumsi yang tidak mungkin dibuktikan dan karena itu dianggap sebagai “kebenaran yang tidak perlu dibuktikan.” Sains kadangkala lebih merupakan suat kepercayaan daripada penyimpulan ilmiah. Walaupun hal ini dapat dimengerti, tetapi tetap tidak dapat dipertanggungjawabakan.[26]

Dalam diskusi seputar asal-usul dunia maupun manusia, sains tidak akan pernah dapat memberikan bukti yang konklusif. Scott M. Huse menulis, “it is impossible to prove scientifically any theory of origins. This is because the very essence of the scientific method is based on observation and experimentation, and it is impossible to make observations or conduct experiments on the origin of the universe.”[27] Apabila seorang ilmuwan ingin meneliti asal-usul dunia, maka dia harus memiliki iman tertentu terhadap sebuah asumsi. Dia harus beriman pada “the doctrine of uniformity, which assumes that these present processes may be extrapolated indefinitely into the past or future.”[28]

“Iman” dalam sains juga dapat dilihat dalam kasus evolusi. Huse mengutip pernyataan Harrison Matthews yang memberikan prakata untuk buku Darwin Origin of Species edisi tahun 1971 sebagai berikut: “belief in the theory of evolution is thus exactly parallel to belief in special creation – both are concepts which believers know to be true but neither, up to the present, has been capable of proof.”[29] Dengan kata lain, “evolution can only be correctly labelled as a belief, a subjective philosophy of origins, the religion of many scientists.”[30]

Hal lain yang perlu kita pahami sehubungan dengan sains adalah titik tolaknya yang berbeda dengan kebenaran Alkitab. Dalam beberapa kasus perdebatan, inti masaah terletak pada titik tolak yang berbeda. Sebagai contoh, dalam hal usia bumi. Dengan memperhitungkan kecepatan cahaya dan jarak bintang-bintang dengan bumi, sebagian ilmuwan meyakini bahwa usia alam semesta pasti sudah jutaan tahun. Pandangan ini sekalipun secara perhitungan matematis masuk akal, namun tetap didasarkan pada satu asumsi dasar yang linear (setelah bintang diciptakan, bintang memerlukan waktu jutaan tahun untuk mencapai bumi). Asumsi dasar linear ini berbeda dengan konsep penciptaan yang simultan. Dalam Kejadian 1:1 disebutkan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi. Frase “langit dan bumi” merujuk pada segala sesuatu, termasuk bumi dan bintang-bintang. Karena keadaan bumi masih belum siap didiami (Kej. 1:2), maka Allah mulai menata dan menciptakan apa yang belum ada (Kej 1:3-31).[31] Di antara dua asumsi dasar ini – linear atau simultan - sulit ditentukan mana yang secara objektif tepat, karena tidak ada cara ilmiah apa pun untuk membuktikan mana yang tepat. Dalam hal ini orang Kristen harus mempercayai apa yang diajarkan dalam Alkitab sekalipun hal itu tidak bisa dibuktikan benar atau salah. Alkitab sendiri mengajarkan bahwa “karena iman kita mengerti bahwa alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat” (Ibr. 11:3).

“Beriman” dalam hal-hal yang ilmiah adalah tidak salah. Jika para ilmuwan mau jujur, dalam kasus-kasus tertentu secara logika lebih masuk akal mengimani ajaran Alkitab daripada ajaran sains. Contoh yang paling jelas adalah Teori Ledakan Besar (Big Bang Theory). Untuk mempercayai bahwa alam semesta yang relatif teratur ini berasal dari sebuah ledakan diperlukan iman yang lebih besar daripada mempercayai bahwa alam semesta diciptakan oleh Allah yang mahakuasa dan bijaksana. Begitu pula dengan evolusi. Diperlukan iman yang sangat besar untuk mengamini bahwa sistem tubuh manusia yang begitu kompleks dan relatif teratur merupakan hasil proses alamiah yang panjang dari sebuah zat yang paling sederhana. Diperlukan iman yang sangat besar untuk percaya bahwa sebuah keberadaan yang berpribadi dihasilkan dari sesuatu yang tidak berpribadi.


Meninjau Ulang Hermeneutika Tradisional
Dalam bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa kontradiksi tidak mungkin terjadi antara kitab suci dan alam. Kontradiksi hanya terjadi antara theologi dan sains. Kekalahan gereja melawan sains pada zaman dulu seharusnya memberi pelajaran yang berharga bagi orang Kristen modern untuk jeli dalam menafsirkan Alkitab.

Hal mendasar yang harus diketahui adalah bahwa Alkitab bukan buku pegangan sains. Pernyataan ini tidak berarti bahwa Alkitab tidak mengandung kebenaran ilmiah sama sekali. Beberapa buku sudah ditulis untuk membuktikan bahwa Alkitab sejak dulu sudah memberikan banyak kebenaran ilmiah yang baru diungkap oleh sains modern, misalnya bumi berbentuk bulat (Yes. 40:22), bumi terletak pada kehampaan (Ayb. 26:7).[32]

Semua “bukti ilmiah” tersebut memang membuktikan keunikan Alkitab, tetapi hal ini tidak berarti bahwa semua bagian Alkitab harus ditafsirkan secara ilmiah tanpa mengetahui makna yang sebenarnya dari teks tersebut. Orang Kristen harus memahami jenis literatur (genre), konsep dunia kuno maupun konteks suatu teks, sehingga tidak salah dalam menafsirkannya. Ketika Yosua memberhentikan matahari di Gibeon (Yos. 10), peristiwa ini tampaknya memang faktual karena banyak suku bangsa di dunia memiliki kisah leluhur tentang matahari yang tidak keluar dalam satu hari.[33] Bagaimanapun, kisah ini tampaknya tidak mengajarkan bahwa matahari yang bergerak mengelilingi bumi. Penulis Kitab Yosua hanya mencatat apa yang dikatakan Yosua waktu itu sesuai dengan konsep berpikir dunia kuno. Apa yang dikatakan Yosua hanyalah sebuah ungkapan waktu itu yang menggambarkan pergerakan matahari. Sampai sekarang pun orang modern tetap memiliki ungkapan tertentu yang menyiratkan pergerakan matahari, misalnya “matahari terbit dari timur”, “terbenam di barat.” Orang modern juga kadangkala masih menggunakan istilah “ujung dunia” sekalipun mereka mengetahui bahwa bumi adalah bulat.

Hal lain yang perlu dimiliki orang Kristen adalah keterbukaan untuk menyelidiki alam atau hal lain. Orang Kristen tidak perlu alergi dengan ilmu pengetahuan. Seiring dengan perkembangan berbagai ilmu pengetahuan, kebenaran Alkitab justru semakin lebih jelas dan diteguhkan. Dalam bidang arkheologi misalnya, berbagai penemuan baru telah memberi kontribusi positif bagi studi biblika maupun apologetika.[34] Jika ilmu alam semakin berkembang, maka di kemudian hari kebenaran Alkitab justru akan semakin terlihat. Orang Kristen harus menyatakan kebenaran dari dua buku Allah: scripture (kitab suci) dan nature (alam). #


Catatan kaki:
[1] W. Stanley Heath, Sains Iman & Teknologi (Yogyakarta: Yayasan ANDI, 1997), hlm. 42.
[2] “Where to Look for Guidance: On the Nature of “Religion and Science”, Zygon, Vol. 39, no. 2 (June 2004), hlm. 367-368.
[3] Dikutip dari “What were Galileo's scientific and biblical conflicts with the Church?”,
http://www.christiananswers.net/q-eden/galileo.html.
[4] Charles E. Hummel, The Galileo Connection (Downer Grove: InterVarsityPress, 1986), hlm. 27-29.
[5] John Dillenberger, Protestant Thought & Natural Science: A Historical Study (Nashville/New York: Abingdon Press, 1960), hlm. 22. Italics ditambahkan.
[6] Ibid., 27.
[7] Salah satu sumber yang bermanfaat untuk melihat figur Galileo dari perspektif yang lain – selain dari perspektif gereja yang cenderung menempatkan Galileo sebagai tokoh sejarah gereja yang sangat negatif – adalah Dava Sobel, Galileo’s Daughter (New York: Walker & Company, 1999), hlm. 11-12; Stillman Drake, Discoveries and Opinions of Galileo (New York: Doubleday Anchor Books, 1957), hlm. 173-216.
[8] Henderson, “What were…”
[9] Protestant Thought, hlm. 26.
[10] Langdon Gilkey, Religion and the Scientific Future (New York: Harper & Row Publishers, 1970), hlm. 9.
[11] The Christian View of Science and Scripture (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1954), 15.
[12] Religion and the Scientific Future, hlm. 4.
[13] Ibid.
[14] Sebagai contoh George H. Pember, Earth’s Earliest Ages (London: Hodder and Stoughton, reprinted, 1907).
[15] Unformed and Unfilled: The Gap Theory (Phillipsburg: Presybterian and Reformed Pblishing Co., 1976), hlm. 5.
[16] Ramm, The Christian View, hlm. 25.
[17] Conflict and Harmony in Science and the Bible (Grand Rapids: Baker Book House, 1968), hlm. 13.
[18] Ibid., 26.
[19] (Atlanta: John Knox Press, 1985), 1-14.
[20] “Berkuasa” dalam konteks ini tidak menagndung makna eksploitasi seperti yang sempat dituduhkan oleh beberapa orang terhadap Kekristenan sebagai penyebab kerusakan ekologis. Untuk jawaban singkat tapi berbobot terhadap tuduhan ini, lihat Walter C. Kaiser, Hard Saying of the Old Testament (Downer Grove: InterVarsityPress, 1988), hlm. 16-19.
[21] W. Andrew Hoffecker, ed., Membangun Wawasan Dunia Kristen Volume 2 (diterjemahkan oleh Peter Suwadi Wong; Surabaya: Momentum, 2008), hlm. 11-24.
[22] Ibid.,25-44.
[23] Untuk ringkasan yang baik dan bermanfaat tentang hal ini, lihat Peter Harrison, “The Bible and the Emergence of Modern Science”, Science & Chrisian Belief, Vol. 18, No. 2 (2006), hlm. 116-119.
[24] Lihat Collin Brown, Philosophy & the Christian Faith (Downer Grove: InterVarsityPress, 1968), hlm. 20-32.
[25] Untuk pembahasan lebih detil tentang mitos seputar sains, lihat Rousas John Rushdoony, The Mythology of Science ( Nutley, NJ: The Craig Press, 1978), hlm. 1-15.
[26] Heath, Sains, Iman & Teknologi, 8.
[27] The Collapse of Evolution (Grand Rapids: Baker Book House, 1983), 1.
[28] Henry M. Morris, Studies in the Bible and Science (Philadelphia: Presbyterian and Reformed Publishing Co., 1966), hlm. 109.
[29] Ibid., hlm. 1.
[30] Ibid.
[31] John Sailhamer, “Genesis”, Expositor’s Bible Commentary Vol. II (Grand Rapids: Zondervan Publishing House). Electronic edition.
[32] Jeff Harvey & Charles Pallaghy, Alkitab & Ilmu Pengetahuan (diterjemahkan oleh Wimanjaya K. Liotohe; Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil “Immanuel”, 1984), hlm. 17. Harvey & Pallaghy juga memberikan banyak contoh lain dari beragam disiplin sains.
[33] Ibid., 8.
[34] Lihat William Ramsay, St. Paul the Traveller and the Roman Citizen (London: Hodder and Stoughton, 1908); The Cities of St. Paul (London: Hodder and Stoughton, 1907); The Bearing of Recent Discovery on the Trustworthiness of the New Testament (Grand Rapids: Baker Book House, 1953); Alfred J. Hoerth, Archaeology and the Old Testament (Grand Rapids; Baker Books, 1998); John McRay, Archaeology & the New Testament (Grand Rapids: Baker Academic, 1991); Merrill F. Unger, Archaeology and the New Testament (Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1962).




Sumber:
http://www.gkri-exodus.org/page.php?APO-History_of_Debate




Profil Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.:
Ev. Yakub Tri Handoko, M.A., Th.M., yang lahir di Semarang, 23 November 1974, adalah gembala sidang Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus, Surabaya (www.gkri-exodus.org) dan dosen di Institut Theologi Abdiel Indonesia (ITHASIA) Pacet serta dosen tetap di Sekolah Theologi Awam Reformed (STAR) dari GKRI Exodus, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) di Sekolah Tinggi Alkitab Surabaya (STAS); Master of Arts (M.A.) in Theological Studies di International Center for Theological Studies (ICTS), Pacet–Mojokerto; dan Master of Theology (Th.M.) di International Theological Seminary, U.S.A. Mulai tahun 2007, beliau sedang mengambil program gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) part time di Evangelische Theologische Faculteit (ETF), Leuven–Belgia.




Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio.

19 April 2009

Roma 14:10-12: KONSEP MENGHAKIMI-4: Jangan Menghakimi dan Bertanggungjawablah

Seri Eksposisi Surat Roma:
Aplikasi Doktrin-17


Konsep Menghakimi-4: Jangan Menghakimi dan Bertanggungjawablah

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 14:10-12.



Setelah kita hidup untuk Tuhan, lalu apa yang harus kita lakukan? Di ayat 10-12, Paulus membawa kita kepada pengertian lebih jelas lagi, yaitu untuk bertanggungjawab.


Di ayat 10, Paulus mengungkapkan, “Tetapi engkau, mengapakah engkau menghakimi saudaramu? Atau mengapakah engkau menghina saudaramu? Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Allah.” Menyambung ayat sebelumnya, maka Paulus mengingatkan jemaat Roma bahwa jika jemaat Roma harus hidup untuk Tuhan karena Kristus yang telah mati dan hidup serta menjadi Tuhan atas mereka, maka hendaklah mereka tidak menghakimi saudara mereka dan bahkan tidak menghina mereka, karena kita semua harus menghadap takhta pengadilan Allah. Dari ayat ini, kita bisa belajar 2 hal penting:
Pertama, bentuk negatif, jangan menghakimi dan menghina saudaramu. Kata “menghakimi” dalam ayat ini bahasa aslinya sama dengan ayat 4 yaitu bisa diterjemahkan menghukum (punish). Terjemahan dari bahasa Yunaninya adalah mengkritik (Hasan Sutanto, 2003, Perjanjian Baru Interlinear, hlm. 870). Lalu, kata “menghina” dalam New International Version (NIV) diterjemahkan look down (=menganggap rendah). English Standard Version (ESV) dan Analytical-Literal Translation (ALT) menerjemahkannya despise (=merendahkan/membenci). Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkannya, “menganggap dia rendah”. Kedua kata kerja yang dipakai oleh Paulus ini di dalam struktur bahasa Yunani menggunakan bentuk aktif dan present (sekarang). Berarti setelah kita mengerti bahwa kita hidup untuk Tuhan, berarti secara aktif, kita tidak lagi menghakimi bahkan menghina/menganggap rendah saudara kita yang lain. Di sini, kita belajar akan arti menghormati. Menghormati TIDAK berarti kompromi. Menghormati saudara seiman berarti kita saling mengasihi sesama saudara seiman di atas dasar Kebenaran. Sebaliknya, dengan kita menghakimi (mengkritik) dan menghina saudara seiman yang lain, kita sebenarnya tidak mengasihi mereka dan bahkan kita memiliki kesombongan tersendiri. Berhati-hatilah ketika kita mengkritik orang lain. Sebuah kritikan yang baik bukan menjatuhkan, tetapi membangun. Kita boleh mengkritik ajaran yang salah, tetapi ketika kita mengkritik, berikan jawaban yang benar yang membangun. Selain itu, kritikan yang beres juga didasari oleh semangat cinta kasih yang mengajar, bukan oleh ambisi emosional. Jika kita mengkritik ajaran atau orang yang tidak beres sudah dengan cinta kasih yang mengajar dan membangun, tetapi orang yang kita kritik tetap mengeraskan hati dan tidak mau menerima kritikan kita, kita sebaiknya menghentikan kritikan kita. Tidak ada gunanya terus mendesak orang yang kita kritik dengan kritikan kita, karena itu tidak membuat dia bertobat, malahan dia akan marah dan menghina kita. Saya bukan hanya berteori, saya sudah mempraktikkannya. Ketika saya mengkritik teman saya, saya mengkritiknya bukan untuk menjatuhkan, tetapi benar-benar ingin memperbaiki terutama ajaran yang dia percayai, tetapi ketika teman saya tidak mau menerima, ya, saya diamkan dan saya tidak akan mengungkit lagi. Hal kedua tentang kritikan yaitu self-critic (mengkritik diri). Kadang kala kita terlalu mudah mengkritik orang lain yang salah, tetapi jika kita yang salah, kita menutupi seindah mungkin supaya tidak ketahuan. Kita mudah melihat karakter orang lain lalu membandingkannya dengan kita. Atau mungkin juga ketika kita ingin berteman dengan seseorang, kita melihat karakter orang lain, jika karakter orang tersebut baik, kita baru berteman. Sepintas ada benarnya, tetapi banyak yang salah. Mengapa? Ada dua alasan: Pertama, karena orang ini terus mengukur diri lebih baik dan hanya mau berteman dengan orang yang cocok dengannya. Kedua, orang ini terus mengukur orang lain dibandingkan dirinya, tetapi herannya tidak mau mengukur karakternya sendiri. Perhatikan. Biasanya karakter orang yang seperti ini justru lebih parah dari orang lain yang ia ukur/hakimi, karena orang seperti ini malu mengakui kelemahan karakternya, sehingga ia mencari pelampiasan dengan melihat dan membandingkan karakter orang lain. Berhati-hatilah jika Anda atau kita termasuk orang seperti ini. Bertobatlah.
Bukan hanya menghakimi/mengkritik, Paulus juga menyinggung masalah “menghina” atau menganggap rendah orang lain. Biasanya, orang yang sudah “pintar” mengkritik orang lain, tahap berikutnya, ia akan menghina atau menganggap rendah orang yang tidak sesuai dengan dirinya (dalam hal-hal sekunder). Misalnya, dalam cara berpakaian. Si X adalah orang kota yang katanya mengerti mode pakaian lalu melihat pakaian si Y yang baginya “kacau” (Jawa: “amburadul”), lalu menghina Y bahwa Y seperti orang desa saja. Padahal jika ditelusuri, biasanya, orang yang ia kritik sebenarnya memiliki karakter (atau sesuatu) lebih baik dari dirinya (si pengkritik). Jika kita praktikkan di dalam contoh tadi, mungkin saja secara konsep nilai, pakaian si X yang katanya modern sebenarnya lebih hancur daripada pakaian si Y. Mengapa? Karena pakaian si Y yang menurut si X “kacau” sebenarnya memiliki nilai yang lebih daripada si X, masalahnya adalah si X memakai ukuran zaman sekarang untuk menilai pakaian si Y. Dengan kata lain, ketika kita menghina orang lain, kita memakai standar ukuran kita atau lingkungan kita sendiri, tanpa memperdulikan konsep nilai yang disertai Kebenaran. Padahal standar ukuran kita atau lingkungan/zaman kita sendiri itu belum tentu benar, karena zaman dan kita sendiri itu fana (tidak kekal), sehingga bisa berubah. Oleh karena itu, untuk hal-hal sekunder, jangan menghakimi apalagi menghina saudara seiman kita.

Kedua, bentuk positif, menghadap takhta pengadilan Allah. Mengapa kita tidak boleh menghakimi dan menghina saudara seiman kita? Paulus menjelaskan alasannya yaitu kita semua harus menghadap takhta pengadilan Allah. ISV, NIV, dan terjemahan dari bahasa Yunani menerjemahkannya sebagai berdiri di hadapan/depan takhta pengadilan Allah. Ketika seseorang berdiri di depan takhta pengadilan Allah, tidak ada yang bisa disembunyikan, karena Allah adalah Allah yang Mahatahu. Di saat itulah, kita mengerti bahwa ukuran apa pun yang kita pakai untuk menilai/mengkritik dan menghina orang lain akan terbuka dengan jelas di depan takhta pengadilan Allah. Berhati-hatilah, semua motivasi kita yang dulu kita tutupi akan terbuka dengan jelas kelak ketika kita berdiri di depan takhta pengadilan Allah. Tuhan tidak melihat apa pun yang nampak pada diri kita. Tuhan tidak pernah menilai kita “baik” hanya karena kita rajin ke gereja, membaca Alkitab, dll. Tuhan melihat kedalaman hati kita. Ia melihat hati dan motivasi kita yang terdalam (1Sam. 16:7b). Hati dan motivasi manusia tidak bisa dibohongi dan itulah yang diselidiki dan diuji oleh Tuhan. Hari ini, ketika firman Tuhan mengingatkan kita akan keharusan kita menghadap takhta pengadilan-Nya, marilah kita uji motivasi dan hati kita, sudahkah kita memiliki hati yang sungguh-sungguh murni di hadapan-Nya? Sudahkah kita mengasihi Allah lebih dari apa dan siapa pun di dunia ini?


Di ayat 11, Paulus mengutip Perjanjian Lama di Yesaya 45:23 untuk menyatakan ulang bahwa semua orang harus menghadap takhta pengadilan Allah. Kutipan ini agak sedikit berbeda dengan Yesaya 45:23 di kalimat pertama. Sedikit perbedaan ini TIDAK menandakan adanya pertentangan/kontradiksi, tetapi menunjukkan adanya penekanan Paulus. Kutipan Paulus itu berbunyi, “Demi Aku hidup, demikianlah firman Tuhan, semua orang akan bertekuk lutut di hadapan-Ku dan semua orang akan memuliakan Allah.” Yesaya 45:23 berbunyi, “Demi Aku sendiri Aku telah bersumpah, dari mulut-Ku telah keluar kebenaran, suatu firman yang tidak dapat ditarik kembali: dan semua orang akan bertekuk lutut di hadapan-Ku, dan akan bersumpah setia dalam segala bahasa,” Perhatikan sedikit perbedaan kalimat yang saya garis bawahi antara kutipan Paulus dengan teks Yesaya 45:23. Dr. John Gill di dalam tafsirannya John Gill’s Exposition of the Entire mengamati sedikit perbedaan ini dan menyatakan bahwa “Demi Aku hidup” yang dinyatakan Paulus sebenarnya berarti bahwa Allah bersumpah demi hidup-Nya sendiri. Ini berarti ada jaminan dari Allah sendiri tentang keMahakuasaan-Nya yang tidak bisa dibandingkan dengan siapa pun. KeMahakuasaan-Nya ditunjukkan dengan keluarnya kebenaran dari mulut-Nya yang mengakibatkan semua bangsa akan bertekuk lutut di hadapan-Nya. Di sini, Paulus mengingatkan jemaat Roma akan perkataan nabi Yesaya bahwa pengadilan Allah adalah pengadilan yang adil dan bersih, karena Ia adalah Allah yang Mahakuasa dan Benar (Truth). Pengadilan dunia bisa disuap dengan uang, kuasa, dll, tetapi pengadilan Allah tidak bisa disuap, karena Allah adalah Allah yang Berdaulat, Mahaadil, Mahakuasa, Mahakudus, dan Benar adanya. Jika kita sudah mengerti konsep pengadilan Allah ini, biarlah kita didasarkan akan keberdosaan kita, lalu kita kembali bertobat setiap hari kepada Tuhan. Hidup Kristen adalah hidup pertobatan terus-menerus, karena kita percaya itulah proses kita menuju kepada penyempurnaan akhir kelak, di mana kita menjadi serupa dengan gambaran Kakak Sulung kita, yaitu Tuhan Yesus.


Setelah memberikan penjelasan tentang pengadilan Allah, Paulus menutup penjelasannya dari ayat-ayat sebelumnya dengan kesimpulan di ayat 12, “Demikianlah setiap orang di antara kita akan memberi pertanggungan jawab tentang dirinya sendiri kepada Allah.” Pengadilan Allah menyiratkan kepada kita akan pentingnya pertanggungjawaban. Tuhan Yesus sendiri juga mengajar hal serupa di dalam Matius 12:36, “Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman.” Perkataan Tuhan Yesus ini lebih tajam, yaitu langsung mengaitkan konsep pertanggungjawaban dengan hari penghakiman. Kita bertanggungjawab kepada Tuhan kelak di hari penghakiman, di mana Ia, “…telah siap sedia menghakimi orang yang hidup dan yang mati.” (1Ptr. 4:5) Jangan mempermainkan hari penghakiman Tuhan.

Lalu, siapa yang harus bertanggungjawab dan apa yang perlu kita pertanggungjawabkan? Paulus menjelaskan bahwa yang harus bertanggungjawab di hadapan Allah nantinya adalah setiap orang di antara kita (NIV menerjemahkannya: setiap kita). Berarti, tidak ada pengecualian, semua orang tanpa pandang bulu harus bertanggungjawab di hadapan Allah. Meskipun orang berdosa bisa lolos dari pengadilan dunia (karena sogokan uang yang banyak), maka percayalah, di hadapan pengadilan Allah, ia TIDAK akan pernah bisa lolos. Waspadalah! Lalu, yang perlu kita pertanggungjawabkan adalah segala sesuatu tentang DIRI KITA SENDIRI kepada Allah. Di sini, kita perlu memperhatikan. Allah tidak menuntut kita menghakimi dosa orang lain di hadapan-Nya. Ia menuntut KITA PRIBADI yang bertanggungjawab atas apa pun yang telah kita pikir dan kerjakan. Alasan inilah yang dipakai Paulus untuk menyadarkan jemaat Roma untuk tidak menghakimi dan menghina orang lain. Orang yang terus menghakimi dosa orang lain pasti lupa melihat kelemahan diri yang sebenarnya sama saja atau bahkan lebih parah dari orang lain. Mulai sekarang, terus introspeksi diri kita masing-masing, karena kelak, kita harus mempertanggungjawabkan DIRI KITA SENDIRI di hadapan-Nya. Setelah kita mengintrospeksi diri kita masing-masing, akuilah dosa itu di hadapan-Nya sekarang dan minta ampun kepada-Nya, serta berkomitmenlah untuk TIDAK akan pernah mengulanginya lagi, karena itu mendukakan hati-Nya. Seorang yang mencintai Allah lebih dari apa dan siapa pun, ia akan tidak tega melihat Allah sedih. Adakah kita memiliki kerinduan itu?


Biarlah melalui perenungan 3 ayat ini menyadarkan kita akan pentingnya pertanggungjawaban atas apa yang telah kita perbuat kelak di hadapan-Nya. Siapkah kita kelak bertanggungjawab atas apa yang telah kita pikir dan lakukan? Biarlah hati dan motivasi kita terus-menerus dimurnikan oleh Roh Kudus melalui firman Tuhan. Amin. Soli Deo Gloria.

Matius 14:1-12: THE POWER OF THE KINGDOM (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)

Ringkasan Khotbah: 10 Juni 2007

The Power of the Kingdom
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 14:1-12


Hari ini kita akan merenungkan Matius pasalnya yang ke-14 yang mempunyai inti tema the power of the Kingdom. Sepintas, kalau kita membaca perikopnya yang pertama, yakni tentang Yohanes Pembaptis dibunuh maka sepertinya tidak berkaitan dengan inti tema dan sepertinya antara kisah yang satu dengan kisah yang lain tidak terkait. Hati-hati, judul perikop terkadang memudahkan kita untuk memahami konteks Alkitab namun terkadang menyelewengkan kita dari inti tema. Kisah tentang Yohanes Pembaptis dibunuh menjadi pembuka yang memudahkan kita untuk memahami inti tema dan memudahkan kita memahami tiga perikop selanjutnya.
Injil Matius 14:1-12 ini berbentuk sastra berbingkai, artinya dalam cerita terdapat cerita. Kisah ini dimulai dari Herodes yang mendengar berita tentang pelayanan Tuhan Yesus dan uniknya, Herodes langsung mengkaitkannya dengan Yohanes Pembaptis yang telah ia bunuh. Kenapa Herodes melihat Yesus Kristus sebagai cerminan dari Yohanes Pembaptis? Untuk memahaminya, ada baiknya kita melihat latar belakang dari Herodes. Herodes bukanlah orang Yahudi asli, ia orang Idumea keturunan Edom dan dengan cara licik, ia berhasil menjadi raja Yudea. Herodes membangun Bait Allah untuk menarik simpati orang-orang Yahudi dan menjadikannya sebagai raja. Herodes bukanlah seorang pecinta Taurat, ia memanipulasi Taurat bahkan demi karir politiknya maka tidaklah heran kalau konsep pernikahan itu menjadi rusak; Herodes mengambil Herodias, istri Filipus, saudaranya sendiri. Yohanes Pembaptis yang tahu pelanggaran kebenaran ini, menegur Herodes dan Herodias; mereka pun menjadi marah. Terdapat gejolak dalam diri Herodes, di satu sisi, ia ingin membunuh Yohanes Pembaptis tapi di sisi lain, ia takut sebab Yohanes Pembaptis mempunyai banyak pengikut dan tentu saja, Herodes akan kehilangan pendukung maka Yohanes Pembaptis pun dipenjara. Herodias yang menyimpan dendam memakai Salome sebagai alat supaya ia meminta meminta hadiah kepala Yohanes Pembaptis di atas talam sebagai hadiah yang dijanjikan Herodes. Peristiwa ini begitu mencekam pikiran Herodes maka ketika ia mendengar berita tentang Tuhan Yesus, pikiran Herodes langsung tertuju pada Yohanes Pembaptis.
Jadi, jelaslah Matius 14:1-12 bukan sekedar berita tentang kematian Yohanes Pembaptis tetapi Firman Tuhan membukakan tentang reaksi Herodes ketika ia mendengar berita tentang Tuhan Yesus. Disini kita melihat pertempuran dari dua kekuatan besar, yakni kekuatan duniawi dan kekuatan kuasa Kristus. Ada beberapa aspek yang perlu kita perhatikan, yakni:
1. Kuasa kebajikan diatas kuasa kefasikan
Adalah sifat manusia berdosa yang marah ketika ditegur dosanya. Herodes marah karena teguran keras dari Yohanes Pembaptis akan dosa-dosanya sebab ia merasa dirinya adalah raja yang berkuasa dan siapakah Yohanes Pembaptis sehingga berani menegurnya. Herodes pikir dengan kematian Yohanes Pembaptis maka ia akan aman. Ternyata, Herodes salah, kematian Yohanes Pembaptis tidak menghentikan berita kebenaran. Berita yang sama: “Bertobatlah, Kerajaan Allah sudah dekat“ kembali terdengar Herodes dari mulut Tuhan Yesus. Tuhan Yesus dengan keras menegur manusia akan dosa, kebenaran dan penghakiman. Berita kebenaran ini menggetarkan hati Herodes seorang yang memiliki segala kekuatan kuasa dunia. Manusia lupa bahwa kuasa yang ia miliki malah membuat manusia makin terjerat ke dalam dosa dan berakibat pada kematian kekal. Manusia pikir kalau ia mempunyai kuasa besar maka ia akan mempunyai pengaruh di dunia. Tidak! Ada kuasa lain yang lebih besar, yaitu kuasa kebenaran sejati.
Sebesar-besarnya orang memiliki kuasa, sekaya-kayanya orang, ia akan tetap gemetar ketika ia mendengar berita kebenaran yang dibawa oleh Yesus Kristus dan Yohanes Pembaptis. Kristus tidak mempunyai kekuasaan ataupun kekuatan seperti raja Herodes, Ia tidak mempunyai istana, Ia tidak pernah duduk di singgasana, dan Ia tidak memakai jubah indah atau mahkota layaknya seorang raja. Tidak! Sekali-kalinya jubah ungu yang pernah Ia kenakan ketika Ia oleh Herodes sebagai penghinaan dan mahkota yang Ia kenakan bukanlah mahkota yang indah tetapi mahkota duri. Namun ada satu kekuatan yang Kristus memiliki yang dapat menggetarkan raja Herodes yang besar, yakni Kristus mempunyai kekuasan kebenaran. Kristus adalah Raja sejati, Dia adalah Raja di atas segala raja. What is the true power? Sekuat-kuatnya manusia, sekaya-kayanya manusia dan kuasa sebesar apapun yang dimiliki manusia, tidak dapat membuatnya lepas dari jerat dosa.
Hari ini, dunia dengan segala cara berusaha membuang berita kebenaran. Sadarkah kita bahwa semakin kita melawan kebenaran justru itu menjadikan makin berdosa. Hidup di kota metropolis dimana globalisasi menjadikan manusia egois dan humanis itu menjadi salah satu penyebab menjadikan manusia tidak peka akan dosa, manusia semakin terjerat ke dalam dosa. Berbeda halnya hidup di kota kecil dimana kritik sosial dan tekanan dari masyarakat turut andil menjaga manusia tidak berbuat dosa, manusia lebih takut untuk melakukan perbuatan yang melanggar asusila maupun hukum.
Ironisnya, hari ini gereja yang seharusnya menegur dosa dan memberitakan kebenaran, justru menjadi takut. Tuhan memanggil kita untuk dua hal, yakni: 1) menyadarkan kita betapa dahsyat kekuatan kuasa kebenaran dibanding dengan kuasa dunia. Setiap orang berdosa pasti akan gemetar ketika ia mendengar berita kebenaran dan ditegur dosanya. Berita seperti inilah yang dibutuhkan oleh dunia berdosa. Satu-satunya kekuatan besar yang dapat kita miliki adalah ketika orang kembali dan hidup dalam kebenaran. Jelaslah, perikop ini bukan sekedar berita tentang kematian Yohanes Pembaptis tetapi perikop ini membukakan pada kita bagaimana Herodes yang gemetar ketika ia mendengar berita kebenaran yang dibawa oleh Kristus. Sehebat apapun manusia, dia akan gemetar ketika kebenaran itu sampai ke hadapannya. The true power is the power of truth; 2) Adalah tugas setiap anak Tuhan untuk memberitakan kebenaran dan menyadarkan orang akan dosa dan penghakiman. Orang Kristen adalah wakil Kristus di tengah dunia berdosa. Ingat, Tuhan akan marah kalau kita tidak memberitakan berita kebenaran. Berita Injil telah diselewengkan sedemikian rupa, yakni hidup berkelimpahan, sehat, dan kaya. Tidak! Berita Injil sejati adalah menegur orang akan dosa dan membawa manusia kembali pada kebenaran. Adalah anugerah kalau orang sadar akan dosa dan orang mau bertobat dan mau kembali pada kebenaran. Daud ketika ditegur dosanya, ia langsung gemetar, menangis dan bertobat – Tuhan pun mengampuni dosanya. Berbeda dengan Saul, ketika ditegur dosanya, ia tidak mau kembali pada Firman sebaliknya buruk muka cermin dibelah. Inilah dunia berdosa, orang justru menjadi marah dan melawan ketika ditegur akan dosa. Reaksi ini wajar malahan kalau orang masih bereaksi ketika ditegur dosanya, berarti ia masih ada pengharapan bagi dia untuk bertobat. Sebaliknya, orang yang bersikap dingin ketika mendengar berita kebenaran maka itulah titik kematiannya. Hanya dengan membawa seseorang bertobat maka disana ada keselamatan sejati.
2. Kuasa Sorga diatas kuasa dunia
Yohanes Pembaptis adalah orang yang sangat berkarisma dan berkuasa, ia sangat dihormat oleh orang Yahudi bahkan orang Farisi, ribuan orang bertobat dan meminta diri dibaptis. Namun, Yohanes Pembaptis tidak satu kali pun membuat mujizat namun toh berita kebenaran yang diteriakkan oleh Yohanes Pembaptis mampu menggetarkan Herodes. Dan kini, Herodes berhadapan dengan Kristus yang mempunyai kuasa lebih besar dibanding Yohanes Pembaptis dan kuasa itu membuat raja Herodes yang besar itu takut dan gemetar (ay.2). Seharusnya Herodes sadar akan keberadaan dirinya, who i am? Herodes bukanlah siapa-siapa di hadapan Tuhan. Ironisnya, banyak orang Kristen hari ini tidak menyadari kekuatan kuasa Kristus dalam hidup mereka. Dunia terus mencari kuasa seperti Herodes, yakni kuasa yang materialis, kuasa yang humanis, kuasa yang hanya mengejar unsur kedagingan dan kenikmatan dunia semata. Celakanya, dunia menganggap kuasa dunia itu sebagai kuasa terbesar. Tidak! Hendaklah kita belajar dari kuasa Kristus. Herodes mempunyai kuasa kedagingan, kuasa kemiliteran, kuasa kematerian dan kuasa lain yang sifatnya dosa namun ketika ia berhadapan dengan kuasa kebenaran maka semua kuasa yang ia miliki tidaklah berarti.
Kristus membawa kuasa kebenaran – kuasa Kerajaan sorga dan tidak ada kuasa dunia yang dapat melawan kuasa Kristus. Orang Kristen sejati yang hidup benar di dalam Kristus mempunyai kuasa kebenaran jauh lebih besar dari semua kuasa dunia dan kuasa setan. Jelaslah, mengusir setan bukan karunia tetapi mengusir setan merupakan hak setiap orang Kristen. Inilah kuasa terbesar yang Allah sediakan. Kalau kita ada di dalam Kristus, siapakah lawan kita? Jangan takut dengan segala kuasa dunia dan kuasa setan sebab semua semua kuasa itu tidaklah lebih besar dari kuasa Kerajaan Sorga yang dimiliki oleh orang percaya. Kita lebih dari sekedar seorang pemenang karena kita adalah anak Tuhan. Pertanyaannya benarkah kita anak Tuhan sejati? Seorang anak Tuhan sejati tidak menggunakan segala kuasa yang ada untuk egois diri, segala kuasa yang ada bukan untuk berbuat dosa tetapi kuasa itu untuk menyatakan kebenaran Allah dan menyadarkan orang akan dosa. Betapa indah hidup kita kalau kita berjalan dalam pimpinan-Nya. Kalau Tuhan di pihak kita, tidak ada siapapun yang berani melawan kita? Jangan pikir kalau kita dapat melawan Allah dan menang; melawan Tuhan akan berakibat kematian. Ingat, hanya kepada Tuhan sajalah kita harus menyembah, jangan takut pada segala kuasa dunia sebab tidak ada kuasa lain yang lebih besar dari kuasa Kristus. Manusia, iblis dan malaikat harus tunduk pada Kristus Sang Raja. Ingat, kalau bukan Kristus yang menyerahkan diri maka tidak ada kuasa manapun yang dapat menangkap Dia. Jadi, dalam seluruh perjalanan sejarah terbukti apa yang menjadi kehendak kedaulatan Allah tidak dapat diganggu oleh manusia. Dengan segala cara, iblis berusaha menghambat apa yang menjadi kehendak Allah namun semua itu sia-sia. Kekuasaan tertinggi ada di tangan Kristus. Sebaliknya, ketika kita berjalan dengan mengandalkan diri sendiri maka kita akan jatuh dan hancur dalam kebinasaan. Kuasa Kristus itulah yang menggetarkan Herodes – semua kuasa yang dimiliki Herodes bukanlah apa-apa dibanding kuasa Kristus. Inilah kuasa sejati. Hendaklah kita mengevaluasi diri, selama kita hidup, kita tunduk pada kuasa siapakah? Cara Tuhan bekerja memimpin seseorang dengan kuat kuasa-Nya yang dahsyat itu membuat orang berdosa takut dan gemetar. Sangatlah disayangkan, banyak orang Kristen tidak menyadari kuasa ini akibatnya mereka ikut pada kuasa dunia. Sadarlah, kita memiliki kuasa kebenaran, kuasa Kerajaan Sorga yang lebih besar dibanding dengan semua kuasa dunia.
3. Kuasa ketaatan diatas kuasa egoisitas
Herodes pastilah sangat traumatik akibat perbuatannya pada Yohanes Pembaptis. Traumatik ini membuat pola berpikirnya rusak total akibatnya ia melihat Yesus sebagai Yohanes Pembaptis. Dosa membuat seluruh struktur berpikir manusia menjadi rusak total. Dapatlah dikatakan orang dunia yang katanya pandai tetapi sesungguhnya ia bodoh. Knowledge is the interpretation to reality not reality itself. Yang disebut sebagai pengetahuan adalah cara melihat suatu realita, kalau kita gagal melihat realita yang sesungguhnya berarti kita telah gagal melihat realita yang sesungguhnya. Hal inilah yang terjadi dalam diri Herodes, ia tidak dapat melihat realita Yesus, ia melihat Yesus sebagai Yohanes Pembaptis karena pikirannya telah terpola tentang Yohanes Pembaptis. Mind set yang rusak itu seperti orang yang memakai kacamata hijau maka semua yang ia lihat akan berwarna hijau padahal realitanya tidaklah demikian. Francis Schaeffer menegaskan I do what I think and I think what I believe, apa yang kita lakukan adalah hasil dari apa yang kita pikir dan apa yang kita pikir adalah hasil dari kepercayaan kita. Jelaslah, kalau kepercayaan kita salah maka semua yang kita pikir pasti salah sebaliknya kalau kepercayaan kita benar maka seluruh yang kita pikir pasti benar. Dapatlah disimpulkan, letak permasalahan bukan pada pengetahuan tetapi bagaimana orang melihat dan memahami pengetahuan. Ini menjadi rentetan yang saling berkait dan tidak dapat dilepaskan.
Celakalah hidup kita kalau kita masuk dalam cengkeraman iblis, sulit bagi kita untuk lepas dari cengkeramannya. Perhatikan, semakin kita takut pada perbuatan jahat, takut dengan segala cara setan maka kita masuk dalam situasi traumatik. Realita bukanlah sekedar urusan psikologi. Tidak! Traumatik ini sudah masuk dalam wilayah theologi, yakni iman – apa yang menjadi kepercayaan kita. Satu-satunya cara adalah merombak total seluruh pemikiran kita dan kembali pada kebenaran sejati. Semakin hari dunia tidak menjadi semakin baik, dunia makin menegakkan kebenaran pribadi dan yang disebut sebagai hak asasi. Ketika manusia menegakkan kebenaran relatif, masing-masing pribadi merasa diri benar dan celakanya, setiap orang ingin menegakkan kebenaran yang ia anggap benar maka dapatlah dibayangkan betapa kacau dunia ini. Dunia harus berhenti menegakkan hak asasi dan mulai mengejar kewajiban asasi. Kalau setiap orang ingin menegakkan hak asasinya pasti ia akan melanggar hak asasi orang lain dan tentang hal ini, Firman Tuhan telah menegaskan bahwa hak itu hanya milik Tuhan semata. Tugas kita adalah menjalankan kewajiban; setiap orang yang menjalankan kewajibannya masing-masing maka hak itu pasti terpenuhi dengan sendirinya. Bayangkan, kalau seorang presiden menuntut haknya sebagai presiden dan lembaga pemerintahan yang lain juga menuntut haknya dan tak ketinggalan rakyat pun menuntut haknya maka kacaulah negara itu. Suatu negara akan makmur dan tenteram kalau setiap orang menjalankan kewajibannya masing-masing. Namun sangatlah disayangkan, dunia tidak memahami konsep ini, setiap orang ribut memperjuang-kan hak akibatnya kekacauanlah yang terjadi dan orang menjadi traumatik dan paranoid; orang akan selalu menaruh curiga pada apapun dan siapapun.
Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa orang lebih takut pada kuasa dunia dan tidak takut pada kuasa kebenaran yang mempunyai kekuatan lebih besar dari dunia? Janganlah pikiran kita dicengkeram oleh dunia, kita akan dibayangi oleh rasa takut ketika berhadapan dunia. Ingat, kita adalah anak Tuhan dan anak Tuhan sejati mempunyai kuasa jauh lebih besar dari kuasa dunia. Perikop ini telah membukakan pada kita kontrasnya antara kuasa Kristus dan kuasa dunia. Berbahagialah kita yang berjalan dalam pimpinan Tuhan yang memberikan kuasa Kerajaan Sorga itu pada setiap anak-Nya yang taat kepada-Nya. Maukah kita berjalan bersama dengan Dia? Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:

MENGHAYATI PARADOKS DALAM KEHIDUPAN KRISTEN (Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S., Ph.D.-Cand.)

MENGHAYATI PARADOKS DALAM KEHIDUPAN KRISTEN

oleh: Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S., Ph.D. (Cand.)



Seperti sudah kita bahas dalam tulisan-tulisan sebelumnya, iman Kristen akrab dengan pengenalan kebenaran yang sifatnya paradoxical. Pengertian kita akan dua natur Kristus misalnya adalah salah satu pengertian yang paradoksikal yang kita terima dari Firman Tuhan sendiri. Paradoks: kekal – dapat mati, tidak terbatas – terbatas, Mahatahu – tidak Mahatahu, dlsb. Kita harus menerima dengan rendah hati bahwa ada tegangan antitesis yang tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh rasio manusia. Namun ini bukan berarti kepercayaan iman Kristen adalah sesuatu yang irrasional. Justru di sini kita mengakui dengan rendah hati keterbatasan rasio kita yang tidak dapat menampung pengenalan akan Allah sebagaimana Allah mengenal diri-Nya sendiri.

Kebenaran paradoksikal yang lain, seperti yang juga sedang kita bahas adalah paradoks antara God’s decretive/sovereign will dan God’s moral/preceptive will. Kita sudah mengambil contoh bahwa kekerasan hati Firaun misalnya, sekaligus ditetapkan (baca: dikehendaki dari perspektif kehendak kedaulatan Allah) dan tidak dikehendaki (baca: melanggar kehendak umum/moral Allah). Kedua hal ini sulit untuk kita pahami sepenuhnya karena sepertinya ada dua macam kehendak Allah yang saling bertentangan di sini: di satu sisi Allah yang menetapkan dan menghendaki itu terjadi, di sisi yang lain Allah tidak menghendakinya. Setiap theologi yang baik dan jujur harus berusaha untuk menyelami serta menjelaskan misteri paradoksikal ini.

Ada beberapa alternatif tentunya:
Pertama, kita menghilangkan/meniadakan kehendak ketetapan Allah dan hanya membicarakan kehendak moral Allah saja. Diterapkan dalam ketetapan Allah atas penyelamatan manusia misalnya theologi seperti ini akan mencoba untuk menghindari semua pernyataan Alkitab yang mengajarkan tentang Allah yang menetapkan. Seperti kita sudah pernah bahas, kecenderungan seperti agaknya berbau liberal karena tidak bersedia menerima keseluruhan pengajaran yang dinyatakan dalam Alkitab, sebaliknya hanya mau menerima apa yang dapat dijelaskan oleh rasio pribadi saja. Alternativ kedua, pada dasarnya dengan prinsip yang sama, menghilangkan dan tidak mempedulikan bagian Alkitab yang membicarakan kehendak moral/umum Allah dan hanya memperhatikan kehendak kedaulatan Allah. Variasi yang kedua ini agaknya jarang kita jumpai. Variasi yang ketiga dan keempat, sebenarnya memiliki kemiripan dengan variasi pertama dan kedua, namun lebih halus sifatnya, yaitu: berusaha untuk mengharmoniskan tegangan tersebut dengan melakukan subordinasi kehendak Allah. Kemungkinannya adalah: meletakkan kehendak kedaulatan Allah di bawah kehendak moral Allah (variasi ketiga), atau meletakkan kehendak moral Allah di bawah kehendak kedaulatan Allah (variasi keempat).

Aplikasi variasi 3: semua pengertian tentang kehendak kedaulatan Allah dibaca di bawah terang kehendak moral Allah, yaitu misalnya Allah memilih orang untuk diselamatkan (doktrin predestinasi), dapat dijelaskan dengan mengatakan bahwa Allah memilih karena Dia telah mengetahui akhirnya siapa yang mau bertobat siapa yang tidak. Berdasarkan pra-pengetahuan Allah ini, Ia menetapkan pemilihan-Nya atas siapa yang diselamatkan. Jalan ini misalnya diambil oleh theologi Arminianism. Kesulitan theologi seperti ini adalah: kita sedang memisahkan pra-pengetahuan Allah (God's foreknowledge) dengan penetapan Allah (God's foreordain). Lagipula theologi seperti ini berbenturan langsung dengan ayat Alkitab yang menyatakan: “bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu” (Yoh. 15:16). Pengertian pada variasi 3 ini berbenturan dengan penyataan Yesus Kristus karena jika Allah memilih manusia karena Dia mengetahui bahwa manusia tersebut pada akhirnya percaya kepada-Nya, maka ini berarti bukan Allah yang terlebih dahulu memilih manusia, melainkan manusia yang terlebih dahulu memilih Allah, sedangkan pilihan Allah adalah konsekuensi logis dari pilihan manusia. Melihat ketetapan Allah sebagai konsekuensi logis pilihan manusia adalah sebuah doktrin yang buruk karena tidak menghargai Allah sebagai Allah.

Aplikasi variasi 4: semua pengertian tentang kehendak moral/umum Allah dibaca di bawah terang kehendak kedaulatan Allah. Contohnya seperti yang dikembangkan dalam pengertian anthropopathis seperti yang pernah kita jelaskan di posting yang lalu. Setiap pengertian “Allah menyesal” ditafsir di bawah terang ketidak-berubahan Allah (yang juga diajarkan oleh Alkitab). Atau dengan mengartikan semua kata “semua” dalam panggilan keselamatan Allah sebagai “semua orang pilihan.” Dalam pemahaman subordinasi ini, sama seperti pada variasi 3, selalu ada akibat penekanan pada yang satu dengan mengorbankan yang lain. Pada variasi 4 selalu ada kecenderungan untuk kurang peka terhadap God's preceptive will. Penekanan akan God's sovereign will at the expense of God's preceptive will ini memiliki kecenderungan fatalisme atau Hyper-Calvinisme, kalau pun bukan secara teori (pada dasarnya orang tidak suka menyebut dirinya Hyper, apalagi menyebut diri fatalis), maka secara praktis; kalau bukan consciously, subconsciously. Persoalan dari theologi ‘Reformed’ yang seperti ini adalah karena penekanannya yang tidak seimbang pada kehendak kedaulatan Allah, akan mengakibatkan suatu spiritualitas yang tidak peka terhadap kekurangan dan kelemahan.

Konsekuensi seperti ini sangat logis dan mudah untuk dijelaskan: ketika saya tidak memberikan tempat yang selayaknya untuk merenungkan God’s preceptive will, maka konsep penetapan Allah yang berkembang dalam pikiran saya lambat-laun akan berubah menjadi – pinjam istilah Van Tillian – determinasi impersonal. Doktrin lambat laun dimengerti sebagai rumusan-rumusan dan bukannya suatu ekspresi iman atau testimonia pergumulan dalam relasi pribadi dengan Allah (yang juga pribadi). Ketika kita membicarakan personalitas Allah, tidak mungkin tidak (atau kurang) membicarakan God's preceptive will. Konsep determinasi belaka tidak membuat theologi Reformed unik, karena determinasi juga banyak diterima dalam kepercayaan yang lain, juga dalam filsafat Yunani kuno. Keunikan theologi Reformed justru karena memberikan warna personal yang sangat kuat dalam doktrin penetapan ini. Dan membicarakan personalitas Allah, sekali lagi, tidak bisa tanpa menekankan God’s preceptive will.

Kita masih berada di aplikasi variasi 4. Tidak mengherankan jika ada orang menyebut diri ‘Reformed’ tapi doanya suam-suam (doa toh tidak mengubah Tuhan), malas menginjili (Tuhan sudah menetapkan semuanya dan rencana Tuhan tidak ada yang gagal), kurang ada pergumulan dengan pribadi Allah (tidak ada waktu, sibuk menggumulkan rumusan logis doktrin-doktrin ‘Reformed’), menjadikan doktrin hanya sebatas pengetahuan yang tidak merubah hidup (mengapa mesti merubah hidup jika saya melihat doktrin atau pengetahuan akan Allah sebagai obyek seperti diajarkan ‘nabi’ Descartes), sangat kurang dalam kerendahan hati (saya adalah orang pilihan [mengenai kamu saya agaknya kurang jelas]), dan ...... (kita masih bisa terus memperpanjang kelemahan-kelemahan yang ada yang dapat ditimbulkan dari kecenderungan determinasi impersonal ini). Gambaran-gambaran di atas agaknya sangat karikatural, tapi saya percaya kita tidak kebal terhadap kelemahan-kelemahan tsb. A good Reformed theology always encourages self-criticism; otherwise it is unfaithful to the semper reformanda spirit. Pada intinya, theologi pada variasi 4 ini sangat rentan terhadap kondisi status quo dengan mengatas-namakan (again, consciously or subconsciously) “kehendak kedaulatan Allah.” Status quo di sini bisa berupa ketidakpekaan terhadap kelemahan Gereja/komunitas sendiri, ketidakpekaan terhadap ketidak-sempurnaan pribadi, ketidakpekaan terhadap perlunya pertumbuhan yang terus menerus, merasa diri cukup (dalam pengertian yang negatif [self-satisfied]), tidak perlu merasa diperlengkapi oleh orang lain, tidak merasa perlu belajar dari orang lain, hanya mau mengajar orang lain dsb. Dampak theologi seperti ini sebenarnya cukup menakutkan bagi spiritualitas kita, dan bagi saya pribadi, kelemahan ‘kecil’ doktrinal seperti ini sebenarnya jauh lebih berbahaya daripada doktrin yang sangat kacau dari ajaran bidat. Karena kekacauan pada ajaran bidat langsung kita sadari, kelemahan ‘kecil’ seperti ini sangat gampang menemukan tempat dalam hati dan pikiran kita. Di sini kita melihat jalan subordinasi merupakan pilihan yang tidak bijaksana – sekalipun tampak lebih logis dan lebih mudah dijelaskan – namun sebenarnya tidak memuat keseluruhan kekayaan Alkitab, yang sudah jelas tidak dapat dipaksakan ke dalam logika rasionalisme yang sangat terbatas kemampuannya.

Lalu bagaimana kita menjelaskan sifat paradoks dari God's sovereign and preceptive will ini jika bukan dengan jalan subordinasi? Kembali kepada doktrin Kristus tentang dua natur, di situ kita tidak melihat paradoks ini di-subordinasi. Tidak. Kita melihat kedua hal ini secara paradoks tanpa perlu melakukan subordinasi. Apakah ada tension (tegangan) di sini? Harus kita akui: ya, ada.
- Apakah tension ini kontradiksi?
+ Tidak.

- Lalu apa?
+ Paradoks.

- Ah! Anda hanya main-main istilah saja.
+ Tidak, saya tidak sedang main-main istilah.

- Kalau begitu harus ada penjelasan, karena kita tidak mungkin kita berhenti dalam pemahaman ini bukan?
+ Ya, saya sependapat dengan apa yang Anda katakan. Jika kita kembali kepada doktrin Kristus, di situ kita membaca rumusan Chalcedon bahwa dua natur itu “without confusion, without change, without division, without separation.” Dan lagi: “The distinction of the natures is in no way taken away by their union, but rather the distinctive properties of each nature are preserved. [Both natures] unite into one person and one hypostasis. They are not separated or divided into two persons but [they form] one and the same Son, Only-begotten, God, Word, Lord Jesus Christ, just as the prophets of old [have spoken] concerning him and as the Lord Jesus Christ himself has taught us and as the creed of the fathers has delivered to us.”
Perhatikan bahwa sekalipun keduanya bersatu dalam Pribadi Kristus namun tidak bercampur. Keduanya berbeda, namun bukan keterpisahan, dengan kata lain: bukan kontradiksi.

- Tetapi dalam theologi Lutheran diajarkan communicatio idiomatum, yaitu ada komunikasi di antara kedua properties/natur Kristus itu.
+ Anda benar, namun keunikan theologi Reformed justru adalah mempertahankan ketidakbercampuran kedua natur tersebut, sebagaimana dinyatakan dalam Chalcedon.

- Apakah itu tidak berarti keterpisahan?
+ Sama sekali tidak, itu justru mempertahankan keunikan masing-masing property/natur yang tidak boleh dicampur satu terhadap yang lain sehingga “the distinctive properties of each nature are preserved.” Prinsip ini dapat kita terapkan secara analog dalam pengertian God's sovereign and preceptive will dan bukan tanpa alasan. Kita dapat melihat kehendak Allah sebagai kehendak Allah yang dinyatakan “en Christo.” Atau, jika Anda tidak menyukai pendekatan ini, ada pendekatan yang lain, yaitu: kedekatan antara sifat paradoks God's sovereign and perceptive will dengan paradoks nature ilahi dan nature manusia Kristus yang dimengerti sebagai paradoks perspektif kekekalan dan perspektif kesementaraan.

- Hmm, saya bisa melihat kaitan keduanya, tapi Anda masih belum menjelaskan bagaimana kita harus MENGHAYATI PARADOKS TERSEBUT!
+ Sabar, orang sabar dikasihi Tuhan. Dan, kalau boleh jangan sering-sering pakai huruf capital seperti di atas itu, meskipun mata saya minus, tapi saya bisa membaca cukup jelas tulisan dng huruf kecil, dan Anda pakai tanda seru lagi. Tolong consider jantung saya .....

- Satu lagi, saya agaknya kurang puas dengan pendekatan historical theologi saja. Saya perlu dukungan dari Alkitab, karena saya pemegang prinsip SOLA SCRIPTURA! Maaf .... sola scriptura, maksud saya.
+ Jika kita merenungkan Alkitab, di situ kita melihat bagaimana kedua natur Kristus itu bukan dijelaskan dalam subordinasi, melainkan diperlihatkan dalam waktu yang bergantian. Ketika Dia lapar, kita menyaksikan natur manusia-Nya, sementara natur ilahi-Nya seolah terselubung, tidak nampak pada waktu itu. Sementara pada saat yang lain, ketika Dia mendemonstrasikan kuasa mujizat-Nya, yang mencapai puncak pada peristiwa kebangkitan- Nya, kita menyaksikan dengan jelas natur keilahian-Nya, natur manusia seolah berada di belakang. Alkitab menyatakan kedua perspektif ini secara bergantian dalam satu Pribadi Kristus. Hal yang sama dapat kita pelajari juga berkenaan dengan kehendak kedaulatan Allah dan kehendak moral Allah. Alkitab menyatakannya dengan bergantian. Ada waktu untuk perspektif kehendak kedaulatan Allah, ada waktu untuk kehendak moral Allah.

- Mengana harus demikian? Mengapa tidak sekaligus saja? Dalam waktu yang sama?
+ Karena kita masih berada dalam kesementaraan dalam batasan ruang dan waktu. Jika Anda mempunyai satu coin dengan dua sisi, Anda tidak dapat melihat kedua sisi itu secara sekaligus pada waktu yang sama dan tempat yang sama. Anda harus berpindah posisi untuk melihat sisi yang satunya, dan ketika Anda berpindah posisi, Anda membutuhkan waktu yang lain. Inilah keterbatasan kita sebagai manusia yang harus kita terima. Kecuali ...

- Kecuali apa?
+ Kecuali Anda mau menjadi seperti Allah (Kej. 3:5) yang dapat melihat semua perspektif secara sekaligus, tanpa membutuhkan waktu dan tanpa perlu berpindah tempat.

- Hmm ... bad recommendation! Jadi saya harus menerima keterbatasan itu, yang hanya bisa melihat satu perspektif saja pada suatu waktu tertentu?
+ Jika Anda masih mengakui keterciptaan Anda, demikianlah halnya.

- Lalu bagaimana dengan perspektif yang lain?
+ Allah akan menyediakan saat/waktu yang lain. Itulah keindahan perjalanan kehidupan kita mengikut Tuhan, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut; ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun; ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa. Dapatkah Anda menangis sekaligus tertawa?

- Hmmm .... itu gendeng bin edan namanya!
+ Karena itu paradoks tidak dapat ditampung dalam satu waktu sekaligus. Perhatikan bahwa Sang Pengkhotbah menyelesaikan paradoxical tension itu pada waktunya masing-masing. Dan kalau kita mengaitkannya dengan ayat ke-11 di situ dikatakan bahwa “Ia (Allah) membuat segala sesuatu indah pada waktunya (waktu-Nya).” Di dalam bahasa aslinya kita dapat menerjemahkan dengan pada “waktunya” ataupun “waktu-Nya.” Kedua macam terjemahan itu saling melengkapi sebenarnya. Indah pada “waktunya” berarti setiap waktu itu, entah waktu dukacita, entah waktu sukacita, entah waktu merobek atau waktu menjahit, setiap waktu itu indah pada “waktunya” masing-masing, dan ini karena waktu itu adalah “waktu-Nya” (God's appointed time). Setiap waktu kita menyelami perspektif tunggal, sekalipun hanya satu perspektif adalah waktu yang indah jika itu dikaitkan dengan kairos yang dari Allah. Kita tidak perlu serakah dengan keseluruhan perspektif dalam suatu waktu sekaligus, karena itu hanya membuktikan bahwa kita tidak peka dengan kairos yang dikehendaki Allah.
Ada waktu, ada saat saya menyoroti kehidupan saya dari perspektif kedaulatan Allah: di situ saya terhibur karena tahu dengan pasti Allah memelihara hidup saya dengan setia, bahkan di dalam kegagalan pun saya tidak perlu berputus asa dan tidak lagi berpengharapan karena segala sesuatu mendatangkan kebaikan bagi saya. Saya tidak perlu panik jika saya tidak segera menyaksikan pertumbuhan dalam diri orang lain, karena Allah yang mengatur semuanya itu, saya tidak perlu berusaha menolong Allah karena saya tahu rencana Allah tidak mungkin ada yang gagal.
Ada waktu saya menyoroti kehidupan saya dari perspektif kehendak moral Allah: saya harus bergumul untuk mencari wajah Allah, bergumul tidak melepaskan Allah kecuali Dia memberkati saya, menegur diri dan menyesal ketika kegagalan dan kejatuhan rohani menimpa hidup saya, ketakutan jika Allah tidak lagi hadir dalam kehadiran-Nya yang memberkati, bergumul untuk mendapatkan kepenuhan Roh Kudus agar kesaksian hidup kita berkuasa dan bukan digerakkan oleh kedagingan.

- Apakah ini tidak berbenturan dengan kehendak kedaulatan Allah?
+ Sama sekali tidak, justru menyatakan kelincahan bergerak dalam perspektif yang berbeda-beda dan terutama: kelincahan peka akan saat-Nya. Di dalam hal ini kita harus puas diri jika kita menyampaikan message kepada orang lain hanya satu sisi saja, asalkan itu adalah saat-Nya. Justru keliru jika di dalam khotbah misalnya, kita selalu mengatakan: “di satu sisi .... di sisi yang lain ...” Dialektika paradoks dalam khotbah adalah theori homiletik yang buruk, karena pada dasarnya tidak mempercayai kairos Allah. Kita harus puas dengan pemberitaan yang one-sided seperti ini, asalkan, ada saat yang lain untuk menyatakan sisi yang satunya. Ini juga bedanya penyampaian message seperti terjadi dalam khotbah dengan pengajaran dalam kelas. Dalam kelas kita boleh mengajarkan sebisa mungkin kekayaan perspektif, namun dalam renungan tidak, kita harus puas dengan message yang dipercayakan Tuhan pada saat itu.

- Lalu bagaimana jika orang menuduh saya one-sided dan menganggap saya kurang kompleks pikirannya?
+ Tidak ada panggilan bagi kita untuk membuktikan bahwa pikiran kita kompleks. Kecenderungan seperti itu jangan-jangan timbul dari dosa kecongkakan.

- Bagaimana jika orang langsung menanggapi message yang saya sampaikan dengan menyajikan sisi paradoks yang lain? Ini akan mempermalukan saya bukan?
+ Kita juga tidak dipanggil untuk mencari kehormatan bagi diri sendiri, melainkan untuk memiliki hati yang luas yang dapat menerima kelimpahan pekerjaan Tuhan yg juga dinyatakan melalui diri orang lain yang dipakai-Nya, asalkan: orang tersebut juga mengetahui saat-Nya. Kita perlu dengan rendah hati belajar bahwa saya tidak memainkan seluruh orchestra seorang diri, melainkan bersama dengan anggota tubuh Kristus yang lain kita menyaksikan keindahan simfoni kemuliaan Allah dalam dunia ini. God is our great Conductor, we are His musicians.




Sumber:
http://groups.yahoo.com/group/METAMORPHE




Profil Pdt. Billy Kristanto :
Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S., Ph.D. (Cand.) lahir pada tahun 1970 di Surabaya. Sejak di sekolah minggu mengambil bagian dalam pelayanan musik gerejawi. Setelah lulus SMA melanjutkan study musik di Hochschule der Künste di Berlin majoring in harpsichord (Cembalo) di bawah Prof. Mitzi Meyerson (1990-96).
Setelah menamatkan studi musik di Hochschule der Künste di Berlin pada tahun 1996 Pdt. Billy Kristanto melanjutkan post-graduate studi di Koninklijk Conservatorium (Royal Conservatory). Beliau melayani sebagai Penginjil Musik di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Jakarta sejak Februari 1999 and pada tahun yang sama memulai studi theologi di Institut Reformed. Setelah lulus pada tahun 2002 dengan mendapatkan gelar Master of Christian Studies (M.C.S.) beliau menjabat sebagai Dekan School of Church Music di Institut Reformed Jakarta. Ditahbiskan menjadi pendeta sinode GRII di tahun 2005 beliau saat ini menggembalakan jemaat MRII Berlin, MRII Hamburg, PRII Munich, dan Persekutuan Reformed Stockholm. Saat ini beliau sedang menyelesaikan studi doktoral (Ph.D.–Cand.) di bidang musikologi di Universitas Heidelberg, Jerman. Beliau menikah dengan Suzianty Herawati dan dikaruniai dua orang anak, Pristine Gottlob Kristanto dan Fidelle Gottlieb Kristanto.