15 April 2010

Eksposisi 1 Korintus 5:1-5 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 5:1-5

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 5:1-5



Bagian ini tidak lagi membahas tentang perpecahan antar jemaat (1:10-3:23) maupun kritikan jemaat terhadap Paulus (4:1-21). Topik tentang hikmat atau salib pun sudah tidak muncul lagi dalam bagian ini. Semua ini menandakan bahwa Paulus sedang beralih pada permasalahan yang baru.

Walaupun bagian ini memperkenalkan persoalan yang baru, namun kita masih dapat melihat keterkaitan antara bagian ini dengan bagian sebelumnya. Sama seperti persoalan di 1:10-3:23 yang diketahui Paulus secara lisan dari keluarga Kloe (bdk. 1:11), persoalan di 5:1-13 juga didengar Paulus secara lisan (bdk. 5:1) dari keluarga Kloe (1:11) atau orang lain (16:16).

Sama seperti pada persoalan sebelumnya yang menyinggung tentang kesombongan jemaat Korintus (1:29, 31; 3:18, 21; 4:6, 7, 18), di pasal 5:1-13 Paulus juga menegur kesombongan mereka (5:2, 6). Kesamaan ide tentang kesombongan ini sangat mungkin menunjukkan bahwa akar masalah dari pasal 1-5 adalah konsep tentang spiritualitas yang salah (lih. pembahasan di 4:8 dan 5:2). Mereka menganggap diri terlalu rohani dengan mengukurnya berdasarkan kriteria tertentu yang mereka ciptakan sendiri.

Alur pemikiran Paulus di pasal 5:1-5 dapat dideteksi dengan mudah. Ia mula-mula menyinggung tentang dosa perzinahan yang melebihi kewajaran yang terjadi di tengah jemaat (5:1). Dosa ini ternyata direspon secara salah oleh jemaat. Mereka bermegah atas dosa tersebut (5:2). Respon seperti ini merupakan persoalan yang lebih serius dari perzinahan di 5:1, karena itu fokus pembahasan di 5:1-13 terletak pada bagaimana jemaat seharusnya menyikapi perzinahan di 5:1. Karena jemaat tidak mampu mengambil sikap yang tepat yang sudah dinasehatkan Paulus berkali-kali, maka Paulus terpaksa mengambil sikap mewakili mereka semua (5:3-5). Ia menjatuhkan hukuman atas pezinah tersebut, sekalipun ia secara badani tidak berada di tengah jemaat Korintus.


Persoalan: Percabulan Incest (ay. 1)
Pada waktu itu kota Korintus dapat diidentikkan sebagai kota percabulan. Begitu melekatnya percabulan dengan kota Korintus sampai-sampai “berbuat cabul” disebut dengan istilah “korinthiazo” (berbuat seperti penduduk Korintus). Situasi ini tersirat dalam surat 1 Korintus juga. Di pasal 6:12-20 sebagian jemaat terjebak pada perzinahan dengan pelacur. Di pasal 7, Paulus menasehatkan jemaat untuk menikah supaya tidak tergoda oleh hawa nafsu (ay. 2, 9), walaupun secara pribadi Paulus lebih condong pada tidak menikah (ay. 7, 25-27). Di pasal 5, jemaat juga terjebak pada percabulan (ay. 1, 9-11). Semua ini tentu saja sangat berhubungan dengan situasi kota Korintus yang dipenuhi percabulan, walaupun apa yang dilakukan orang Kristen di 5:1 melampaui apa yang dilakukan orang kafir.

Kabar yang tidak menyenangkan ini sudah sampai ke telinga Paulus. Terjemahan LAI:TB “memang orang mendengar” dalam bahasa Yunani dapat diterjemahkan dalam beberapa cara. KJV memilih “ini sudah umum dilaporkan” (it is reported commonly), sedangkan mayoritas versi memakai “ini sesungguhnya dilaporkan” (ASV/RSV/NASB/NIV). Terjemahan KJV menyiratkan bahwa kasus perzinahan di 5:1 sudah menjadi rahasia umum bagi banyak orang, sedangkan terjemahan versi lain mengindikasikan kesungguhan dari berita itu. Dari dua alternatif ini, kemungkinan terakhir lebih tepat, karena kata keterangan holos juga dipakai di bagian lain untuk menekankan suatu fakta (6:7 “adanya saja”; 15:29 “sama sekali”). Di samping itu Paulus juga perlu menekankan kebenaran dari berita yang dia dengar supaya tidak menimbulkan keresahan di kalangan jemaat, sebagaimana yang dia lakukan di 1:11.

Bentuk present tense “dilaporkan” (akouetai) menunjukkan bahwa laporan ini bukan hanya sekali ini saja didengar Paulus. Sebelumnya dia sudah mendengar dan membahas masalah ini (5:9). Apa yang dia nasehatkan waktu itu tampaknya tidak sepenuhnya dipatuhi oleh jemaat Korintus (5:10-11). Jika ini benar, maka perzinahan yang terjadi di 5:1 bukanlah tindakan yang sekali dilakukan (bukan “jatuh dalam perzinahan”), tetapi terus-menerus. Ini pula yang menjadi salahs atu alasan mengapa Paulus mengambil sikap yang sangat tegas di 5:3-5.

Untuk memberi penekanan pada apa yang ingin dia sampaikan, Paulus meletakkan frase “di antara kamu” di depan, sehingga 5:1a seharusnya diterjemahkan “ini sesungguhnya dilaporkan bahwa di antara kamu ada percabulan” (kontra LAI:TB “ada percabulan di antara kamu”). Paulus lebih menitikberatkan pada di mana ercabulan ini terjadi. Kalau percabulan ini di luar jemaat, maka dia tidak akan mengambil pusing, karena dia tidak memilik otoritas dalam hal itu (bdk. 5:13) dan karena percabulan merpakan fenomena umum di kota Korintus. Yang dipermasalahkan adalah percabulan ini terjadi di dalam jemaat. Lebih jauh, jenis percabulan ini sangat memalukan karena orang-orang yang tidak mengenal Allah sekalipun tidak melakukan hal ini (5:1b).

Percabulan yang dimaksud Paulus adalah “hidup dengan istri ayahnya” (5:1c). Kata Yunani echo di balik terjemahan “hidup” (LAI:TB/RSV) secara hurufiah berarti “memiliki” (KJV/ASV/NASB/NIV). Kata ini merupakan istilah umum yang bermakna “mengambil sebagai istri” (Mat. 14:4; 22:28; 1Kor. 7:2, 29). Jadi, tindakan ini bukan sekadar berbuat zinah satu kali, tetapi secara permanen. Frase “istri ayahnya” merujuk pada “ibu tiri”, karena di Imamat 18:8 frase ini dipakai untuk membedakannya dengan ibu kandung di Imamat 18:7 (LAI:TB secara tidak tepat memberi terjemahan yang sama “istri ayahmu”, padahal di ayat 7 dipakai kata “ibumu” sebanyak 2 kali).

Paulus tidak menjelaskan apa yang terjadi dengan ayah dari pezinah ini (apakah dia mati atau bercerai?). Apa pun alasannya, perkawinan dengan ibu tiri tetap merupakan aib yang besar. Baik orang Yahudi maupun non-Yahudi sama-sama mengecam tindakan ini. Dalam PL dosa ini dipandang sangat serius. Siapa saja yang melakukannya pasti akan dihukum mati (Im. 18:7-8; 20:11; Ul. 22:30; 27:20). Orang kafir pun melarang untuk membicarakan tentang hal ini karena dianggap tidak pantas. Ironisnya, dosa semacam ini justru dilakukan oleh orang yang mengaku sebagai orang Kristen (bdk. 5:11).


Sikap Toleran Jemaat terhadap Dosa Perzinahan (ay. 2)
Masalah perzinahan di ayat 1 ternyata bukanlah masalah utama. Ada masalah lain yang lebih serius daripada itu, yaitu sikap toleran jemaat terhadap percabulan (5:2a). Mereka bukannya menegur orang yang berzinah, tetapi mereka bahkan menyombongkan hal itu (5:2, 6). Kesombongan ini sebelumnya sudah disinggung Paulus (1:29, 31; 3:18, 21; 4:6, 7, 18), walaupun bukan dalam konteks perzinahan.

Selain menyombongkan dosa itu, mereka juga bersukacita di atasnya. Hal ini terlihat dari kontras dengan nasehat untuk berdukacita di 5:2 dan ide tentang “pesta” di 5:8. Jadi, mereka bukan sekadar membiarkan dosa itu, namun malah menyetujui dan mendukung hal itu. Persetujuan terhadap dosa jelas merupakan dosa yang lebih serius (bdk. Rm. 1:32), karena hal itu menunjukkan mentalitas yang sudah tercemar. Mengapa mereka justru membanggakan dosa percabulan? Sebagian penafsir menduga bahwa hal ini berkaitan dengan ajaran rabi Yahudi tentang para proselit (orang non-Yahudi yang memeluk agama Yahudi) yang dianggap terbebas dari semua ikatan hukum di dunia ini. Tafsiran ini tampaknya sulit diterima, karena tidak ada kaitan yang jelas dengan kesombongan. Kita juga tidak mengetahui dengan pasti apakah pezinah dan jemaat yang mendukung hal itu adalah proselit. Usulan lain dari penafsir yang lebih masuk akal adalah kekeliruan konsep spiritualitas yang dipegang jemaat Korintus. Mereka merasa diri sudah rohani (4:8) dan menganggap bahwa tindakan apa pun yang berkaitan dengan tubuh (materi) tidak akan mempengaruhi kerohanian itu. Mereka memisahkan antara tubuh dan roh. Usulan ini mendapat dukungan dari pasal 6:12-20 yang sama-sama membahas tentang percabulan. Di 6:12-13 Paulus tidak langsung menyinggung tentang percabulan, tetapi menjelaskan konsep yang benar tentang tubuh. Dia mengoreksi konsep jemaat yang salah terhadap tubuh (“segala sesuatu halal bagiku”, “makanan untuk tubuh dan tubuh untuk makanan”, “dua-duanya akan dibinasakan Allah”).

Kepada mereka Paulus memberi nasehat agar berdukacita dan menjauhkan orang itu dari tengah-tengah mereka (5:2b). Nasehat berdukacita karena dosa merupakan pesan umum dari para rabi (Yes. 13:6; Yer 4:8) maupun para rasul (Yak. 4:9; 5:1). Yesus pun menjanjikan berkat bagi mereka yang berdukacita karena dosa (Mat. 5:4). Konsep yang sama diajarkan Paulus di kemudian hari kepada jemaat Korintus (2Kor. 7:10-11; 11:29).

Jemaat juga diperintahkan untuk menjauhkan pezinah dari tengah-tengah mereka. Perintah ini sudah disampaikan Paulus sebelum ia mengirim surat 1 Korintus (5:9-11). Jemaat tampaknya tidak menaati perintah ini sehingga Paulus merasa perlu untuk mengulanginya lagi. Apa yang dilakukan Paulus berakar dari ajaran Yesus tentang disiplin dalam gereja. Kalau berbagai bimbingan sudah diberikan pada pendosa tetapi ia tetap bertekun dalam dosa itu, maka dia harus dianggap sebagai orang yang tidak mengenal Allah (Mat. 18:15-17). Tindakan ini tidak boleh dilakukan dengan kebencian, namun harus dengan kasih, karena tujuan dari disiplin ini adalah untuk kebaikan orang yang bersalah (bdk. 5:5b). Kita harus tetap menganggap dia sebagai saudara (2Tes. 3:14-15).


Sikap Paulus (ay. 3-5)
Karena jemaat Korintus sudah lama tidak melakukan apa yang diperintahkan oleh Paulus, maka sekarang Paulus langsung mengambil tindakan. Dia menjatuhkan hukuman atas orang yang berbuat cabul itu sekalipun ia tidak hadir di tengah jemaat (5:3). Dalam kalimat Yunani, 5:3 dimulai dengan frase “karena aku sendiri” (bdk. NASB). LAI:TB gagal menerjemahkan kata ini, padahal ini penting untuk membuat kontras antara sikap jemaat di ayat dan Paulus di ayat 3-5.

Tindakan tegas yang diambil Paulus tidak didasarkan pada otoritasnya secara pribadi. Sesuai dengan ajaran Yesus (Mat. 18:15-17), Paulus sadar bahwa disiplin gereja harus menjadi keputusan semua orang percaya. Walaupun dia tidak hadir tetapi secara roh ada kesatuan antara dia dengan jemaat Korintus. Dalam kesatuan ini (5:3) dan ketika jemaat berkumpul (5:4a) hukuman secara resmi dijatuhkan. Dasar dari tindakan ini adalah janji Tuhan Yesus bahwa Dia akan hadir jika dua atau tiga orang percaya berkumpul dalam nama-Nya (Mat. 18:20), dan janji ini diucapkan dalam konteks disiplin gereja (Mat. 18:15-19). Paulus mungkin mengharapkan agar jemaat berkumpul dan mengamini isi surat Paulus yang dibacakan dalam ibadah mereka. Dengan demikian jemaat dan Paulus dapat bersama-sama bersehati secara rohani (5:4).

Kesatuan dalam konteks ibadah tersebut sekaligus mengajarkan bahwa otoritas disiplin yang sejati terletak pada kehadiran Tuhan Yesus. Karena itulah Paulus mengatakan bahwa tindakannya ini adalah “dengan kuasa Tuhan Yesus” (5:4b) dan dilakukan “dalam nama Tuhan Yesus” (5:5a). Paulus maupun jemaat lain tidak punya kuasa untuk mengadakan disiplin. Mereka hanya bertindak atas nama Kristus. Ketika tubuh Kristus yang seharusnya kudus (1:2) ternyata dinodai oleh dosa, maka orang percaya lain harus mengambil sikap.

Paulus menyerahkan pezinah ini ke dalam tangan Iblis (5:5a). Ungkapan ini di tempat lain hanya muncul di 1 Timotius 1:20. Apa maksud dari tindakan ini? Kita harus memahami ungkapan ini sebagai istilah yang sedikit teknis untuk pengusiran dari kumpulan orang percaya. Ide tentang pengucilan ini muncul beberapa kali di 5:2, 7, 9, 11, 13b. Pengucilan ini sebaiknya dibatasi dalam konteks ibadah. Artinya, orang percaya lain tidak boleh bergaul dengan orang ini dalam konteks ibadah, termasuk dalam hal makan bersama sebagai bagian dari ibadah (5:11; bdk. 11:20-22, 33-34).

Apa kaitan hal ini dengan Iblis? Dengan mengusir pezinah ini dari lingkup orang percaya, maka dia sebenarnya sedang dikembalikan pada daerah kekuasaan (domain) Iblis lagi. Sebagaimana kita ketahui, orang yang percaya kepada Kristus telah berpindah dari kerajaan kegelapan kepada kerajaan terang (Kol. 1:13). Mereka tidak lagi di bawah otoritas iblis (bdk. Ef. 2:2). Mereka juga dikhususkan atau diperlakukan secara khusus oleh Tuhan. Tidak heran, anggota keluarga dari orang percaya yang non-Kristen pun dikhususkan oleh Tuhan (7:14).

Sama seperti Potifar diberkati karena Yusuf (Kej. 39:5), demikian pula kebersamaan dengan orang percaya akan membawa perlindungan dan berkat khusus dari Tuhan. Ketika pezinah diserahkan ke dalam tangan iblis – dalam arti dikeluarkan dari kumpulan orang percaya – maka dia tidak akan diperlakukan secara khusus lagi oleh Tuhan.

Tindakan disiplin ini sebenarnya bukan didasari pada kebencian, karena tujuan dari semua ini adalah untuk kebaikan. Maksud dari semua ini adalah supaya tubuh (sarx) orang tersebut binasa (5:5b). Sebagian penafsir memahami “binasa tubuhnya” dalam arti kematian fisik. Pendapat seperti ini memiliki banyak kelemahan serius. Paulus tidak mungkin memiliki konsep bahwa tubuh adalah sumber kejahatan yang harus dibinasakan supaya roh mendapat perhentian. Konsep ini sama seperti konsep dualisme Yunani yang menganggap bahwa materi jahat dan roh adalah baik. Di samping itu, jika “binasa tubuhnya” berarti “mati”, bagaimana orang ini akhirnya dapat diselamatkan (5:5c)? Apakah ada unsur pertobatan yang terlibat di dalamnya? Apakah sekadar kematian fisik sudah cukup membuat orang ini diselamatkan?

Kita sebaiknya memahami “tubuh” (sarx) di sini sebagai “kedagingan”, karena dalam tulisan Paulus kata sarx sering kali berarti “kedagingan” apabila dikontraskan dengan roh, sebagaimana kita temukan di 5:5. Dengan demikian ungkapan “binasa tubuhnya” dapat diidentikkan dengan “menyalibkan kedagingan” (Gal. 5:24; Rm. 7:5-6). Tafsiran ini sesuai dengan tujuan di 5:5c (“supaya rohnya diselamatkan”). Pertobatan akan membawa pada keselamatan.

Paulus tidak menjelaskan bagaimana bentuk pembinasaan kedagingan ini. Apakah Iblis akan menghajar orang ini dengan berbagai penyakit sehingga orang ini akhirnya kembali pada Tuhan? Apakah Iblis akan semakin menenggelamkan orang ini dalam dosa sehingga pada akhirnya orang ini menyadari betapa dirinya berdosa dan akhirnya kembali pada Tuhan?

Apakah proses ini tidak berkaitan dengan campur tangan iblis (ungkapan “diserahkan ada Iblis” hanya sekadar ungkapan lain untuk pengusiran dari kumpulan orang percaya)? Jika yang terakhir ini benar, maka Paulus mungkin memaksudkan pengusiran ini sebagai cara untuk membuat orang itu malu dan kehilangan rasa nyaman secara rohani, sehingga dia menyadari betapa dirinya dalam dosa dan bahaya yang besar. Dugaan ini sesuai dengan ajaran Paulus di tempat lain (2Tes.. 3:14 “jika ada orang yang tidak mau mendengarkan apa yang kami katakan dalam surat ini, tandailah dia dan jangan bergaul dengan dia, supaya ia menjadi malu”).

Apa yang dilakukan Paulus di sini tidak boleh dipahami sebagai tindakan yang anti terhadap kasih. Tujuan dari tindakan ini adalah keselamatan dari orang itu (5:5c). Di 2 Tesalonika 3:15, Paulus bahkan menasehatkan agar orang yang dikucilkan tetap diperlakukan sebagai saudara dan bukan sebagai musuh. Di 2 Korintus 2:6-8 dia memerintahkan jemaat untuk menerima kembali orang yang sudah ditegur dala jemaat dan mengasihi orang itu dengan sungguhsungguh.

Dengan pula dengan gereja modern sekarang harus tegas menjalankan disiplin gereja tetapi tetap melakukan itu di dalam kasih dan untuk kebaikan dari orang yang sedang didisiplin. #




Sumber:
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2005%20ayat%2001-05.pdf

Eksposisi 1 Korintus 4:14-21 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 4:14-21

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 4:14-21



Kalau di bagian sebelumnya Paulus menjelaskan tentang kehinaan dirinya dan para rasul lain (4:9-13), di bagian ini dia menampilkan diri dalam sisi yang lain, yaitu sebagai bapa rohani. Dia menyebut jemaat Korintus sebagai “anak-anakku yang kukasihi” (4:14), sama seperti dia memanggil Timotius (4:17). Di ayat 15 dia secara khusus menyatakan hubungannya yang unik dengan jemaat Korintus yang tidak dimiliki oleh para pemimpin yang lain, yaitu dia sebagai bapa rohani mereka.

Sebagai bapa, Paulus tidak memiliki keinginan untuk mempermalukan jemaat (4:14). Selanjutnya dia menjelaskan mengapa dia adalah bapa bagi mereka (4:15). Terlepas dari semua pemimpin rohani yang pernah dan sedang membina jemaat, Pauluslah yang pertama kali memberitakan Injil kepada jemaat di Korintus. Setelah menegaskan relasinya yang unik dengan jemaat Korintus dalam gambaran bapa-anak, Paulus lalu menarik konsekuensi dari hubungan seperti ini. Sebagai bapa dia berhak menuntut untuk diteladani (4:16-17, bdk. ay. 16 “sebab itu...”). Dia juga berhak untuk mendisiplin anak-anak rohaninya jika dipandang perlu (4:18-21).


Paulus tidak mempermalukan jemaat Korintus (ay. 14)
Tujuan Paulus menuliskan “hal ini” (tauta) bukanlah untuk memalukan jemaat. Kata tauta berbentuk jamak, sehingga sebaiknya diterjemahkan “hal-hal ini” (ASV/KJV/NASB, kontra NIV/RSV/LAI:TB). Apa yang dimaksud tauta di sini? Kata ini dapat merujuk pada kehinaan para rasul yang diungkapan di 4:6-13 atau seluruh pembahasan mulai pasal 1:10. Di antara dua pilihan ini, yang pertama tampaknya lebih tepat. Apa yang sudah disampaikan di 4:6-13 bisa menimbulkan kesan kalau Paulus sedang menghina jemaat (kalau rasulnya saja mengaku sangat hina, apalagi jemaatnya!). Untuk mengantisipasi hal ini, dia menegaskan bahwa ia tidak bermaksud mempermalukan mereka.

Nasehat Paulus di ayat 14 sekilas tidak konsisten dengan nasehatnya di tempat lain yang tampaknya ingin memalukan orang lain (2Tes. 3:14-15; Tit. 2:8). Jika kita perhatikan secara teliti, maka sebenarnya tidak ada kontradiksi. Di 2 Tesalonika 3:14 Paulus tidak bermaksud mempermalukan orang itu, karena di ayat 15 dia menambahkan “tetapi janganlah anggap dia sebagai musuh, tetapi tegorlah dia sebagai seorang saudara”. Dengan dipisahkan dari komunitas orang percaya maka orang itu diharapkan akan menjadi malu, namun tindakan ini bukan bermaksud mempermalukan dia. Dalam konteks Titus 2:8 Paulus hanya sekadar menasehatkan agar tidak ada celah yang dapat dipakai musuh untuk memfitnah kita, sehingga dengan demikian musuh itu akan malu sendiri. Sekali lagi, ini bukan mempermalukan.

Paulus tidak mempermalukan jemaat (4:14a), sebaliknya dia justru menegur (noutheteo) sebagai anak-anak yang dia kasihi (4:14b). Kata noutheteo hanya dipakai oleh Paulus dan kata ini memiliki arti yang sangat luas (Kis. 20:31; Rm. 15:14; 1Kor. 10:11; Ef. 6:4; Kol. 1:28; 3:16; 1Tes. 5:12, 14; 2Tes. 3:15; Tit. 3:10). Ide yang ditekankan adalah memberikan pengaruh positif kepada orang lain yang bersifat mengoreksi. Pengaruh ini bisa berupa teguran, nasehat, dorongan, dsb. Terjemahan LAI:TB “teguran” tampaknya sesuai dengan konteks yang ada.

Walaupun jemaat Korintus bersikap negatif terhadap dirinya (4:3; 9:3), Paulus tidak memusuhi mereka. Dia justru menyebut mereka sebagai “anak-anak yang kukasihi” (4:14). Panggilan yang hampir sama juga dia pakai di 10:14 dan 15:58. Sikap Paulus ini sungguh luar biasa, karena selain memusuhi dirinya, jemaat Korintus juga jatuh ke dalam berbagai kesalahan yang sangat fatal.


Paulus adalah bapa rohani mereka (ay. 15)
Kalau di ayat 14 Paulus menyebut mereka sebagai anak-anaknya, di ayat 15 dia menjelaskan alasan bagi sebutan itu. Walaupun Paulus bukan satu-satunya pemimpin rohani mereka, namun dia satu-satunya bapa bagi mereka. Dengan bahasa hiperbola Paulus menyatakan bahwa jemaat Korintus mungkin memiliki beribu-ribu pendidik. Kata “pendidik” (paidagogos) jaman dulu dipakai untuk seorang budah kepercayaan yang diberi tugas mengawasi pendidikan dan perkembangan anak dari tuannya. Paidagogos bertugas mengantar dan menemani anak ke sekolah, mengulangi pelajaran yang diberikan dan mengawasi perkembangan anak secara keseluruhan. Bagaimanapun pentingnya dan dekatnya seorang paidagogos dengan anak yang dia bimbing, dia tetap bukanlah ayah dari anak itu. Kata “beribu-ribu” secara hurufiah berarti “sepuluh ribu” (ASV/KJV/NIV), tetapi karena angka ini pada waktu itu adalah angka yang tertinggi, maka tidak saah jika diterjemahkan “beribu-ribu” (LAI:TB) atau “tidak terhitung” (NASB/RSV). Sekalipun jumlah paidagogos yang mengawasi seorang anak tidak terhitung, namun bagi anak itu yang paling penting tetap adalah ayahnya sendiri. Begitu kira-kira maksud Paulus.

Ungkapan “menjadi bapa” di ayat 15b secara hurufiah berarti “melahirkan” (gennao). Penambahan kata “aku” (ego) menunjukkan penekanan bahwa Pauluslah (bukan yang lain) yang telah melahirkan mereka. Apa maksud melahirkan di sini? Sama seperti orang tua yang memberi kehidupan kepada bayi yang dia lahirkan, demikian pula Paulus telah memberi mereka hidup yang baru di dalam Kristus. Kata gennao juga dipakai Paulus di Filemon 1:10 untuk Onesimus yang dia menangkan dalam penjara.

Cara Paulus memposisikan diri sebagai ayah atau ibu seperti ini dapat kita jumpai dalam seluruh surat Paulus, kecuali surat Roma, karena jemaat Roma memang bukan dirintis oleh Paulus (bdk. Rm. 1:10, 13). Dalam konteks jemaat Korintus, Pauluslah yang menanam benih Injil (3:6) atau meletakkan dasar (3:10), yang menunjukkan bahwa dia adalah orang pertama yang membawa Injil kepada mereka.

Konsep tentang seorang pemimpin rohani yang menjadi bapa bagi umat yang dilayani merupakan sesuatu yang umum pada waktu itu. Orang-orang non-Yahudi yang memeluk agama Yahudi (Yudaisme) – disebut dengan istilah proselit - sering kali digambarkan sebagai anak-anak rohani. Orang yang mengajarkan Taurat pada sesamanya juga disamakan dengan orang yang melahirkan orang yang diajar tersebut. Begitu pula dengan orang-orang yang ingin masuk agama misteri Romawi. Mereka disebut sebagai anak-anak rohani dari imam yang melayani mereka.

Ketika Paulus mengklaim diri sebagai bapa rohani, dia tidak bermaksud menyombongkan diri atau membuat dirinya begitu penting bagi jemaat Korintus, dengan demikian melupakan kehinaan posisi para rasul yang sebelumnya sudah didinggung (4:6-13). Dia sangat berhati-hati dalam mengungkapkan statusnya sebagai bapa rohani. Apa yang dia lakukan adalah “di dalam Kristus Yesus” dan “melalui Injil” (4:15b). Paulus dan para petobat tetap menjadi milik Kristus (3:23). Pertobatan mereka bukan karena kehebatan Paulus, tetapi kekuatan Injil (bdk. 2:1-5).


Konsekuensi sebagai bapa rohani (ay. 16-21)
Kata sambung “sebab itu” di awal ayat 16 menunjukkan bahwa Paulus sekarang sedang menarik aplikasi atau konsekuensi dari statusnya sebagai bapa di ayat 15. Ada dua hal yang dia ajarkan.
Bapa rohani berhak menuntut untuk diteladani (ay. 16-17)
Terjemahan “turutilah teladanku” (ay. 16) dapat menimbulkan kesan bahwa jemaat Korintus hanya meniru hal-hal yang baik (teladan), sedangkan hal-hal yang negatif bisa dilupakan. Kesan ini ternyata tidak ada dalam kalimat Yunaninya. Secara hurufiah ayat 16a seharusnya diterjemahkan “jadilah peniruku”. Paulus ingin agar mereka meniru persis kehidupannya. Secara khusus ia ingin agar mereka mengikuti teladan hidupnya yang rela di dalam kehinaan demi Injil (4:6-13).

Tuntutan untuk diteladani dalam konteks relasi bapa-anak memang bukan sesuatu yang asing waktu itu. Yesus pernah mengajarkan bahwa sebagai anak-anak Bapa di surga, orang-orang percaya harus hidup seperti Bapa yang mau mengasihi semua orang (Mat. 5:44-45, 48). Ungkapan modern untuk hal ini adalah “like father like son” (seorang anak sama dengan ayahnya). Di tempat lain Paulus berkata, “jadilah pengikutku sama seperti aku menjadi pengikut Yesus” (1Kor. 11:1). Di 4:17b dia mengatakan “hidup yang kuturuti di dalam Kristus” (bdk. 1Tes. 4:1).

Apa yang ditiru dari Paulus jelas bukan sekadar ajarannya saja, tetapi seluruh hidupnya. Ia berbeda dengan orang-orang Farisi pada umumnya yang hanya bisa mengajar tetapi tidak melakukan apa yang mereka ajarkan (bdk. Mat. 23:3). Paulus bukan hanya memiliki konsistensi antara ajaran dan sikap, namun dia juga konsisten dalam mengajarkan itu di mana-mana di setiap jemaat. Sikap ini sangat luar biasa, karena seseorang biasanya dipengaruhi oleh lingkungan. Jika segala mendukung, orang ini akan bertumbuh, begitu pula sebaliknya. Fenomena ini tidak berlaku bagi Paulus. Dia selalu konsisten mengajar dan menghidupi ajaran itu di mana saja dan selama dia hidup (bdk. 2Tim. 4:7).

Sebagai contoh konkrit, Paulus sengaja mengirim Timotius kepada jemaat Korintus (bdk. “itulah sebabnya aku mengirimkan Timotius...”). Sama seperti jemaat Korintus, Timotius adalah anak rohani yang dikasihi Paulus (4:14, 17). Melalui kehadirannya jemaat Korintus akan diingatkan pada hidup Paulus yang juga dia ajarkan di mana-mana di setiap jemaat. Terjemahan LAI:TB “memperingatkan” sangat tidak tepat. Kata anamimnesko berarti “mengingatkan”. Jadi, kehadiran Timotius bukan untuk memberi peringatan, tetapi mengingatkan tentang kehadiran Paulus dahulu di sana. Dengan kata lain, Timotius ditampilkan sebagai anak rohani yang sempurna yang ajaran dan hidupnya sama persis dengan Paulus sebagai bapa rohaninya.

Para penafsir berdebat tentang waktu kedatangan Timotius. Sebagian berpendapat bahwa Timotius dikirim bersamaan dengan surat 1Korintus. Dengan kata lain, ia dianggap sebagai pembawa surat ini. Kita tampaknya harus menolak dugaan ini, karena di pasal 16:10 Paulus meragukan apakah Timotius bisa datang (kata “jika” pada kata “jika ia datang” di ayat ini menyiratkan sesuatu yang kemungkinan besar tidak tidak terjadi). Timotius sangat mungkin sudah dikirim sebelum surat ini datang, tetapi pengiriman ini bukan secara khusus ke Korintus (Kis. 19:22). Tidak adanya nama Timotius di pendahuluan surat (1:1) maupun salam penutup (16:19-21) lebih cocok apabila dia memang sudah tidak bersama Paulus ada waktu penulisan surat ini.

Bapa rohani berhak mendisiplin anak-anaknya apabila dipandang perlu (ay. 18-21)
Ayat 18 menceritakan tentang keberadaan beberapa orang yang menjadi sombong karena menganggap Paulus tidak akan datang lagi ke Korintus. Mereka ini adalah orang-orang yang tidak menyukai Paulus dan meneruskan kepemimpinan di dalam jemaat namun dengan cara yang salah (3:12-15, 17, 18). Mereka bahkan menjadi pengkritik Paulus (4:3, 6-7). Mereka mungkin berpikir bahwa Paulus tidak ubahnya seorang pengkhotbah keliling belaka yang hanya berhenti di suatu tempat untuk waktu yang pendek tanpa memiliki komitmen terhadap tempat itu. Lebih buruk lagi, mereka melihat kemampuan khotbah dan isi khotbah Paulus tidak sebaik para pengkhotbah keliling.

Sebagai respons terhadap kesalahpahaman ini (4:18) Paulus menegaskan bahwa dia akan segera datang jika Tuhan menghendaki (4:19a). Kata “segera” tidak boleh dipahami dalam konteks waktu yang cepat. Dalam konteks berpikir Yahudi waktu itu, ungkapan “segera” lebih menekankan aspek kepastian daripada kecepatan waktu. Di pasal 16:8 ia mengatakan bahwa ia masih akan tinggal di Efesus sampai Hari Pentakosta. Contoh lain tentang penggunaan ungkapan “segera” dapat dilihat dari perumpamaan Yesus di Lukas 18:1-8. Di ayat 7-8 Yesus menyatakan bahwa Ia akan segera datang, tetapi anehnya perumpamaan ini bertujuan mengajarkan murid-murid untuk berdoa “tanpa jemu-jemu” (ay. 1). Jika “segera” berarti “langsung”, maka murid-murid tidak perlu berdoa tanpa jemu. Justru karena “segera” berarti “pasti”, maka mereka memiliki alasan kuat untuk terus berdoa.

Walaupun tujuan dari kedatangan ini sangat positif, tetapi Paulus tetap merasa perlu bersandar pada kehendak Allah. Ungkapan “jika Tuhan menghendaki” membuktikan bahwa Paulus sangat mengenal arti kedaulatan Allah. Di pasal 16:7 dia mengulangi lagi ungkapan ini (bdk. Rm. 1:10; 15:32; 1Tes. 3:11; Flm. 1:22). Di bagian Alkitab lainnya bahwa diajarkan bahwa untuk hidup pun kita perlu perkenanan Tuhan (Yak. 4:15). Ada banyak hal yang bisa menghalangi rencana kita, misalnya iblis (1Tes. 2:18) atau mungkin pekerjaan Tuhan lain yang lebih besar (1Kor. 16:9; Rm. 15:20-24). Kita perlu benar-benar bersandar pada kehendak Tuhan untuk apa pun rencana kita.

Tujuan kedatangan Paulus bukan untuk menantang orang-orang sombong di ayat 18 berdebat atau unjuk kebolehan berkhotbah dengan dia. Jika dia memfokuskan pada dua hal ini, maka dia akan menjadi sama dengan mereka yang mengandalkan hikmat duniawi. Sebaliknya dia ingin mengetahui kekuatan mereka (ay. 19b-20). Kata “kekuatan membawa kita kembali pada ide tentang Injil yang dianggap kebodohan, tetapi sebetulnya justru kekuatan dan hikmat Allah (1:24). Paulus sendiri memberitakan Injil yang kuat ini dengan kekuatan Roh (2:3-5). Hanya melalui karya Roh Kuduslah seseorang dapat mengenal Allah (2:10-14). Di sisi lain jemaat Korintus hanya menyukai perkataan hikmat duniawi. Orang-orang semacam ini pasti tidak memiliki kuasa untuk mengubahkan orang lain.

Kata sambung “sebab” di ayat 20 menunjukkan alasan bagi ayat 19b. Paulus tidak mau tahu tentang hikmat duniawi, karena Kerajaan Allah adalah soal kuasa, bukan sekadar perkataan. Pemunculan ungkapan “Kerajaan Allah” mengingatkan kembali pada sikap arogan orang-orang ini yang menganggap diri sebagai raja (4:8). Bagaimana mereka bisa menganggap diri sebagai raja dalam Kerajaan-Nya, padahal perkataan mereka tidak memiliki kuasa?

Di ayat 21 Paulus kembali lagi pada posisinya sebagai bapa rohani (bdk. ayat 15). Sebagai bapa, dia berhak mendisiplin anak-anaknya, terutama yang sombong dan mulai kurang ajar dengan dia. Kata Yunani di balik kata “cambuk” (LAI:TB; NIV) adalah rabdos yang merujuk pada sebuah tongkat (ASV/KJV/RSV/NASB). Benda ini merupakan simbol dari cara pendisiplinan yang keras (2Sam. 7:14; Ams 10:13; 13:24; 22:15; 23:13-14; 29:15, 17). Dunia pendidikan Yunani juga mengenal gambaran ini dengan baik. Hal ini mengajarkan kepada kita bahwa bimbingan rohani dapat melibatkan disiplin yang keras apabila hal ini diperlukan. Bagaimanapun, Paulus tidak memprioritaskan hak ini. Dia lebih senang mengedepankan kasih dan kelemah-lembutan (ay. 20b). Jika hal ini tidak mengubah mereka, maka dia tidak segan-segan memakai disiplin yang keras (2Kor. 10:1-2). Salah satu bukti disiplin yang keras ini akan dia sampaikan di 1 Korintus 5:1-13 ketika dia mengusir orang percaya yang sangat bebal dan mencintai dosa.



Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 21 September 2008