16 February 2012

Bagian 10: Karunia Bahasa-bahasa Lidah (1Kor. 12:10, 28)

MENGENAL KARUNIA-KARUNIA ROH KUDUS

Bagian 10: Karunia Bahasa-bahasa Lidah (1Kor. 12:10, 28)

oleh: Denny Teguh Sutandio

pentecost.jpgKarunia berikutnya yang dibahas Paulus adalah karunia bahasa (lidah). Kata Yunani yang dipakai adalah γλωσσν (glōssōn) yang bisa berarti bahasa atau lidah. Kata ini merupakan kata benda, berfungsi sebagai kepemilikan (genitif), feminin, dan jamak dari kata γλσσα (glōssa). Kata γλωσσν (glōssōn) juga ditemukan di dalam Perjanjian Lama, di mana kata ini dalam Ibrani: lüšönôt yang bisa berarti lidah (Mzm. 31:21) atau bahasa (Zak. 8:23). Kata Yunani yang sama namun berfungsi sebagai objek tak langsung (datif), feminin, dan tunggal yaitu γλσσ (glōssei) diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani sebagai: lüšönô (dengan perluasan dari kata ini) juga bisa berarti lidah (Mzm. 15:3 {Septuaginta: 14:3}; 39:2, 4; 78:36; 109:2; 139:4; Ams. 17:20; 21:6; 31:25; Ayb. 6:30; Yeh. 3:6; Yeh. 36:3[1]) dan bahasa (Yes. 19:18[2]; Yer. 18:18[3]). Dengan kata lain, karunia ini lebih tepat diterjemahkan sebagai karunia bahasa-bahasa (lidah).

Pertanyaan selanjutnya, apa itu bahasa lidah?

Rev. Prof. D. A. Carson, Ph.D. menafsirkannya,

…tongues may bear cognitive information even though they are not known human languages – just as a computer program is a ‘language’ that conveys a great deal of information, even though it is not a ‘language’ that anyone actually speaks. You have to know the code to be able to understand it. Such a pattern of verbalization could not be legitimately dismissed as gibberish. It is as capable of conveying prepositional and cognitive content as any known human language…[4]

…bahasa-bahasa lidah mungkin menghasilkan informasi kognitif meskipun bahasa-bahasa tersebut tidak dikenal sebagai bahasa-bahasa manusia – seperti program komputer adalah ‘bahasa’ yang menyampaikan informasi yang begitu penting, meskipun itu bukan ‘bahasa’ sesungguhnya yang siapa saja katakan. Anda harus mengetahui kode untuk dapat mengertinya. Seperti bentuk ungkapan tidak dapat ditolak sebagai ocehan. Itu mampu menyampaikan isi yang preposisional dan kognitif seperti bahasa manusia lainnya...

Senada dengan pandangan Dr. D. A. Carson, Prof. Gordon D. Fee, Ph.D., D.D. mengungkapkan beberapa hal tentang bahasa lidah: [5]

a) Bahasa lidah diinspirasikan Roh Kudus (1Kor. 12:7, 11; bdk. 1Kor. 14:2)

b) Peraturan penggunaan bahasa lidah di dalam 1 Korintus 14:27-28 menunjukkan bahwa orang yang berbahasa lidah tidak dalam keadaan “ekstasi” atau tidak sadarkan diri. Sebaliknya, orang yang berbahasa lidah harus berbicara silih berganti dan jika tidak ada yang menafsirkan, maka orang tersebut harus diam.

c) Bahasa lidah tidak dimengerti baik oleh orang yang mengucapkannya (1Kor. 14:14) maupun oleh orang lain (1Kor. 14:16)

d) Bahasa lidah adalah bahasa yang ditujukan kepada Allah (1Kor. 14:2, 14-15, 28), sehingga kata-kata di dalamnya merupakan misteri yang diucapkan kepada Allah.

Dari dua pengertian yang dipaparkan baik oleh Dr. D. A. Carson maupun Dr. Gordon D. Fee, kita mendapatkan penjelasan beberapa poin tentang bahasa lidah:[6]

a) Bahasa lidah adalah bahasa yang diinspirasikan Roh Kudus dan bukan bahasa manusia biasa dan ini seharusnya dipergunakan secara pribadi.

b) Meskipun orang yang berbahasa lidah diinspirasikan Roh Kudus, orang tersebut bukan dalam keadaan tidak sadarkan diri (trance), tetapi harus sadar.

c) Ketika di dalam kebaktian jemaat, jika ada orang yang mendapat karunia ini, maka di saat yang sama, harus ada orang yang menafsirkannya, sehingga jemaat dapat dibangun, karena jikalau tidak ditafsirkan, jemaat tidak mengerti (mengingat bahasa lidah bukan bahasa manusia biasa).



[1] LAI: “mulut”, sedangkan YLT: “tongue” (lidah).

[2] ESV, KJV, NIV, NASB, dan RSV: “language” (bahasa), sedangkan YLT: “lip” (bibir).

[3] LAI: “bahasa”, sedangkan ESV, KJV, NIV, NASB, RSV, dan YLT: “tongue” (lidah). Menurut konteksnya, terjemahan “bahasa” dalam LAI lebih tepat daripada terjemahan lain.

[4] D. A. Carson, Showing the Spirit, hlm. 85-86.

[5] Gordon D. Fee, God’s Empowering Presence, hlm. 172-173.

[6] Hal ini akan dibahas secara detail di dalam buku saya yang lain yang berjudul: “Bahasa Lidah: Masih Adakah?”