25 December 2007

Bab 13 : INTI PENYEMBAHAN ?? (Analisa Terhadap Bab 10 Buku Rick Warren)

Bab 13
Inti Penyembahan ??



Pada bab 13 ini, kita akan mencoba menggali masing-masing pengajaran Rick Warren di dalam bab/hari kesepuluh dalam renungan 40 harinya. Penggalian ini bisa bersifat positif maupun negatif dari kacamata kebenaran Firman Tuhan, Alkitab. Mari kita akan menelusurinya dengan teliti berdasarkan kebenaran Alkitab.
Pada bagian ini, seolah-olah pada awal pengajarannya, Warren tidak salah, karena ia mengajarkan, “Inti penyembahan adalah berserah diri.” (Warren, 2005, 85). Kemudian, ia melanjutkan bahwa berserah diri itu adalah istilah yang tidak populer, tetapi menurutnya itu adalah tindakan yang bertanggungjawab dan dilakukan di dalam kasih. Ia juga mengungkapkan bahwa berserah diri melingkupi “penyucian, menjadikan Yesus Tuhan Anda, memikul salib Anda, mati bagi diri sendiri, berserah diri kepada Roh Kudus.

Komentar saya :
Berserah diri memang berarti menjadikan Yesus sebagai Tuhan kita, itu tidak salah. Artinya, kita menjadikan Kristus sebagai Pusat, Penguasa, Tuhan, Raja, Pemerintah di dalam hidup kita dan kita hanya sebagai budak-Nya yang hanya taat mutlak kepada perintah-Nya. Itu benar dan diajarkan oleh Alkitab. Tetapi saya tidak menjumpai kata “berserah diri kepada Roh Kudus” di dalam Alkitab. Alkitab berkata bahwa kita harus menyerahkan diri hanya kepada Kristus, bukan kepada Roh Kudus. Penyerahan diri kita kepada Kristus tentu dapat terjadi melalui karya Roh Kudus yang berinisiatif mencerahkan pemikiran kita.

Kemudian, ia mengajarkan,
Bisakah aku mempercayai Allah ? Percaya adalah unsur yang sangat diperlukan untuk berserah diri. Anda tidak akan berserah diri kepada Allah kecuali jika Anda mempercayai-Nya, tetapi Anda tidak bisa mempercayai-Nya sebelum Anda mengenal Dia dengan lebih baik... Semakin Anda menyadari betapa besarnya Allah mengasihi Anda, semakin mudah penyerahan diri jadinya.
Bagaimana Anda tahu bahwa Allah mengasihi Anda ? Dia memberi Anda banyak bukti : Allah berkata Dia mengasihi Anda ; Anda tidak pernah lepas dari pandangan-Nya ; Dia peduli terhadap hidup Anda sampai hal yang terkecil ; Dia memberi Anda kemampuan untuk menikmati segala macam kesenangan ; Dia memiliki rencana-rencana yang baik untuk hidup Anda ; Dia mengampuni Anda ; dan Dia penuh dengan kasih setia terhadap Anda. Allah mengasihi Anda jauh lebih besar dari apa yang bisa Anda bayangkan.
Pernyataan yang paling hebat tentang kasih Allah kepada Anda ini ialah pengorbanan Anak Allah bagi Anda... Jika Anda ingin mengetahui betapa berartinya Anda bagi Allah, pandanglah Kristus dengan tangan-Nya yang terentang di kayu salib, yang berkata, “Aku mengasihimu sebesar ini ! Aku lebih memilih mati ketimbang hidup tanpamu.”
Allah bukanlah tukang perintah yang keras atau seorang penggertak yang menggunakan kekuatan dengan kasar untuk menekan kita agar tunduk. Dia tidak berusaha untuk menghancurkan kehendak kita, tetapi membujuk kita kepada diri-Nya agar kita bisa mempersembahkan diri kita dengan bebas kepada Dia... Bila kita sepenuhnya menyerahkan diri kita kepada Yesus, kita menemukan bahwa Dia bukanlah seorang tiran, melainkan seorang Penyelamat ; bukan seorang bos, melainkan seorang Saudara ; bukan seorang diktator, melainkan seorang Sahabat... (Warren, 2005, pp. 86-87)

Komentar saya :
Dari empat paragraf ini, marilah kita meninjau pernyataan Warren yang saya telah garisbawahi dari sudut pandang Alkitab melalui kacamata theologia Reformed.
Pertama, memang benar bahwa percaya adalah unsur yang sangat perlu untuk berserah diri. Percaya adalah modal pertama kita hidup. Tetapi yang menjadi permasalahannya, Warren menjelaskan bahwa mempercayai-Nya berawal dari mengenal-Nya, selanjutnya ia berhenti sampai di situ, seolah-olah ia ingin mengajarkan bahwa mempercayai-Nya dan mengenal-Nya itu semua adalah usaha manusia. Pandangan ini jelas salah. Di dalam theologia Reformed, anugerah Allah pasti mendahului respon manusia, yaitu iman. Seorang bisa beriman di dalam Kristus karena Allah memberikan anugerah iman kepada umat pilihan-Nya yang terbatas sehingga mereka dapat meresponinya dengan beriman di dalam Kristus. Kita bisa beriman dan terlebih mengenal-Nya, karena Allah telah mewahyukan diri-Nya secara khusus di dalam Kristus dan Alkitab melalui pencerahan yang Roh Kudus kerjakan di dalam diri setiap umat pilihan-Nya yang telah ditentukan-Nya.
Kedua, dari paragraf kedua, semua bukti yang Warren paparkan tentang kasih Allah kepada manusia selalu positif, dan tidak ada yang “kelihatan negatif”. Ini membuktikan bahwa Warren tidak sepenuhnya mengerti atribut-atribut Allah selain Mahakasih juga Mahaadil dan Mahabijaksana ! Lagipula, ia mengajarkan, “Dia memberi Anda kemampuan untuk menikmati segala macam kesenangan” dengan mengutip 1 Timotius 6:17b, “Allah yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati.” Tahukah Anda penyakit Warren kambuh lagi yaitu suka memotong ayat Alkitab tanpa melihat keseluruhan konteks dan perikop yang ada ?! 1 Timotius 6:17 secara keseluruhan berkata, “Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati.” Di dalam ayat ini, Paulus ingin memperingatkan Timotius untuk mengajar orang-orang kaya agar tidak sombong dan mengharapkan sesuatu yang tidak pasti, yaitu kekayaan serta mereka boleh berharap kepada Allah yang pasti dapat dipercaya yang memberikan segala sesuatu yang dapat kita nikmati secara berkelimpahan. Ayat ini membandingkan antara harta yang sejati (di dalam Allah) dan harta semu (harta duniawi, misalnya : kekayaan, dll). Lalu, kesenangan ini sengaja tidak diartikan secara jelas oleh Warren. Atau mungkin Warren mengartikan kesenangan sebagai kesenangan berkat jasmaniah, seperti para penyembah “theologia” kemakmuran yang meskipun mereka seringkali menolak disebut penganut “theologia” gila ini (masa ada, maling/pencuri teriak maling, artinya pencuri tidak mungkin mau menyebut dirinya pencuri) ! “Segala sesuatu untuk kita nikmati secara berkelimpahan” jangan diartikan berkat materi. Itu tafsiran sesat yang dipengaruhi oleh materialisme. Arti dari kalimat ini menunjukkan adanya suatu berkat rohani yang lebih berharga ketimbang harta duniawi dan inilah yang disediakan oleh Allah yang hidup.
Ketiga, perkataan “Tuhan Yesus” yang diparafrasekan secara tidak bertanggungjawab, “Aku lebih memilih mati ketimbang hidup tanpamu.” adalah pengajaran yang menyesatkan. Richard M. Bennett (http://www.bereanbeacon.org/articles/rick_warren_purpose_driven.htm) mengungkapkan kritiknya terhadap pandangan gila dari Warren ini,
The height of his glorification of man is found in the statement that makes the personal worth of the reader the purpose of Christ’s death on the cross. In doing so, “self-worth” is pushed to the point not only of perverting the Gospel but also of insulting the Lord Himself. ... These words “I'd rather die than live without you” are part of a lyric of the “backstreet boys.” [
http://sozluk.sourtimes.org/show.asp?t=ill+never+break+your+heart 11/16/04] These words, put into the mouth of the Lord Christ Jesus by Warren, are a blasphemy. Christ Jesus the God-man, does not have a love that is dependant on man. If he had such a dependancy, He would not be God. To teach that the love of the Lord Jesus Christ is unholy, as Warren has, is both an insult and irreverence. It exalts sinful man to a position of control regarding the eternal Son of God. Can such an imagination be anything other than profanity? “He opened his mouth in blasphemy against God, to blaspheme his name.” [Revelation 13:6] (Titik tertinggi dari pemujaannya akan manusia ditemukan di dalam pernyataan yang membuat jasa pribadi dari pembaca terhadap tujuan kematian Kristus di kayu salib. Dengan melakukan demikian, “kepercayaan diri” didorong menuju ke suatu titik yang bukan hanya menyesatkan Injil tetapi juga menghina Tuhan itu sendiri... Kata-kata ini, “Aku lebih baik mati ketimbang hidup tanpamu” adalah bagian dari sebuah lirik dari Backstreet Boys {sebuah grup band muda asal Amerika Serikat} [http://sozluk.sourtimes.org/show.asp?t=ill+never+break+your+heart 11/16/04]. Kata-kata ini, diletakkan ke dalam mulut Tuhan Yesus Kristus oleh Warren, adalah sebuah umpatan terhadap Tuhan. Kristus Yesus adalah Allah—manusia, tidak memiliki sebuah kasih yang bergantung pada manusia. Jika Dia memiliki sebuah kebergantungan demikian, Dia tidak akan menjadi Allah. Dengan mengajarkan bahwa kasih Tuhan Yesus Kristus adalah berdosa, seperti yang Warren lakukan, itu adalah sebuah penghinaan dan ketidaksopanan. Itu memuliakan manusia berdosa kepada sebuah posisi penguasaan pada Anak Allah yang kekal. Dapatkah sebuah imajinasi demikian berarti sesuatu kecuali kata-kata makian ? “Lalu ia membuka mulutnya untuk menghujat Allah, menghujat nama-Nya dan kemah kediaman-Nya dan semua mereka yang diam di sorga.” [Wahyu 13:6])

Keempat, menurut Warren, Allah memang bukan seorang diktator yang kejam, hal ini benar. Tetapi yang mengganjal adalah perkataan Warren yang mengungkapkan bahwa Allah membujuk kita agar bisa mempersembahkan diri kepada-Nya dengan bebas. Ini tidak pernah diajarkan oleh Alkitab. Kalau Allah membujuk, ini membuktikan bahwa Allah memerlukan manusia, sehingga Ia rela “menurunkan” derajat-Nya membujuk manusia agar mereka menyerahkan diri kepada-Nya dengan “bebas”. Penyerahan diri ini bagi saya tidak bebas, tetapi “terpaksa”, karena ada tindakan inisiatif “membujuk” atau istilahnya “memohon”. Yang benar ? Allah memimpin dan menuntun kita untuk bisa berserah total kepada-Nya. Kata “memimpin” atau “menuntun” tidak sama dengan “membujuk”. Kata “memimpin” atau “menuntun” menunjukkan adanya kedaulatan Allah yang berupa anugerah Allah melalui karya pencerahan Roh Kudus yang melahirbarukan umat pilihan-Nya sehingga manusia dapat mengubah hidupnya dari yang kotor menjadi baik dan berserah total kepada-Nya. Penyerahan diri total memang tidak terjadi secara terpaksa, tetapi terjadi atas inisiatif manusia yang telah diterangi hatinya oleh kuasa pencerahan Roh Kudus ! Inilah yang theologia Reformed ajarkan sesuai dengan Alkitab !
Terakhir, menurut Warren, kalau kita sudah menyerahkan diri kepada-Nya, maka kita dapat menemukan bahwa Ia “bukan seorang bos, melainkan seorang Saudara”, padahal sebelumnya ia mengajarkan bahwa berserah diri melingkupi “penyucian, menjadikan Yesus Tuhan Anda, memikul salib Anda, mati bagi diri sendiri, berserah diri kepada Roh Kudus.” Apakah Warren tidak pernah mengerti istilah “menjadikan Yesus sebagai Tuhan” ? Menjadi Yesus sebagai Tuhan atau men-Tuhan-kan Yesus berarti menjadikan Kristus sebagai Raja, Allah, Tuhan, Tuan, Pemilik sekaligus Bos yang menguasai hidup kita. Mengapa pula Warren mengajarkan bahwa Kristus itu bukan bos, tetapi Saudara ?! Ini jelas tidak konsisten dengan pengajarannya sendiri ! Bos yang dimaksud jelas bukan bos yang diktator yang kejam, tetapi Bos itu adalah Bos yang berdaulat pada diri-Nya sendiri sekaligus mengasihi manusia (atribut Allah yang Mahaadil dan Mahakasih).

Setelah itu, ia memaparkan tentang berkat dari berserah diri sebagai berikut,
Alkitab sangat jelas tentang bagaimana Anda memperoleh keuntungan bila Anda sepenuhnya menyerahkan kehidupan Anda kepada Allah. Pertama, Anda mengalami ketentraman :... Selanjutnya, Anda mengalami kemerdekaan : “Serahkanlah dirimu kepada jalan-jalan Allah, maka kemerdekaan tidak akan pernah berhenti...perintah-perintah (-Nya) memerdekakan kamu untuk hidup secara terbuka di dalam kemerdekaan-Nya.” (Roma 6:17 ; The Message)... (Warren, 2005, p. 90)

Komentar saya :
Dasar memang Warren adalah seorang humanis dan utilitarian tulen, sehingga apapun yang dipaparkannya meskipun dengan menggunakan kalimat-kalimat yang indah dan kelihatan “rohani” tetap saja hal-hal tersebut mendatangkan profit atau keuntungan pribadi manusia dengan mengatakan, “Alkitab sangat jelas tentang bagaimana Anda memperoleh keuntungan bila Anda sepenuhnya menyerahkan kehidupan Anda kepada Allah.” Dan tidak tanggung-tanggung, keuntungan yang diperoleh ini berupa kemerdekaan dengan mengutip Roma 6:17 versi The Mesage yang arti sebenarnya kurang tepat dengan bahasa aslinya, Yunani. Paulus mengajarkan di dalam Roma 6:17, “Tetapi syukurlah kepada Allah! Dahulu memang kamu hamba dosa, tetapi sekarang kamu dengan segenap hati telah mentaati pengajaran yang telah diteruskan kepadamu.” Dan ayat selanjutnya, 18, Paulus mengajarkan, “Kamu telah dimerdekakan dari dosa dan menjadi hamba kebenaran.” Kebenaran Kristus memang memerdekakan kita dari dosa, tetapi tidak berarti kita bebas seenaknya sendiri. Kemerdekaan kita memindahkan status kita yang dulu hamba dosa (hamba/mengabdi kepada kejahatan), dan sekarang menjadi hamba (mengabdi kepada) Kebenaran. Kita tetap menjadi hamba, tetapi kita sekarang hamba (Yunani : douloō ; Indonesia : memperbudak) pada Kebenaran (pada ayat 18 dipakai kata douloō—merupakan suatu sikap menghambakan diri pada…, sedangkan di ayat 17 dipergunakan kata doulos—merupakan suatu status).

Bab 12 : APA YANG MEMBUAT ALLAH TERSENYUM ?? (Analisa Terhadap Bab 9 Buku Rick Warren)

Bab 12
Apa yang Membuat Allah Tersenyum ??



Pada bab 12 ini, kita akan mencoba menggali masing-masing pengajaran Rick Warren di dalam bab/hari kesembilan dalam renungan 40 harinya. Penggalian ini bisa bersifat positif maupun negatif dari kacamata kebenaran Firman Tuhan, Alkitab. Mari kita akan menelusurinya dengan teliti berdasarkan kebenaran Alkitab.
Ide pada bab ini jelas kelihatan dari judul dan paragraf awal dari bab ini bahwa Warren sedang mengajarkan sebuah ide “Allah” yang minta disenangkan manusia atau dengan kata lain manusia itu sungguh sangat berharga, bahkan Allah rela dan ingin sekali memperhatikan manusia sampai hal-hal terkecil seperti orangtua yang memperhatikan anak-anaknya. Benarkah ini ajaran Alkitab ? Manusia memang berharga di mata Allah, tetapi lagi-lagi Warren kurang tegas menyebutkan istilah DOSA sebagai sesuatu yang cukup serius yang telah dilakukan oleh manusia.
Lagi-lagi, penyakit Warren kambuh, suka mengutip ayat-ayat Alkitab secara sepotong dengan menggunakan versi terjemahan Alkitab yang cocok dengan ide yang ingin ia sampaikan. Pada awal bab ini, ia mengutip dua ayat Alkitab. Pertama, Bilangan 6:25 yang diambil dari versi New Living Translation (NLT), “Tuhan kiranya tersenyum kepadamu...” dan kedua, Mazmur 119:135 versi The Message, “Tersenyumlah padaku, hamba-Mu ; ajarilah aku cara yang benar untuk hidup.

Komentar saya :
Kedua ayat itu berbeda dengan terjemahan Alkitab lainnya bahkan dengan bahasa aslinya. Mari kita menyelidikinya. Berikut saya akan mengutip Bilangan 6:25 secara keseluruhan dari versi Terjemahan Baru Indonesia (TB-LAI), Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), King James Version (KJV), dan English Standard Version (ESV). TB LAI menerjemahkannya, “TUHAN menyinari engkau dengan wajah-Nya dan memberi engkau kasih karunia;” BIS mengartikannya, “Semoga TUHAN baik hati dan murah hati kepadamu.” KJV menerjemahkannya, “The LORD make his face shine upon thee, and be gracious unto thee:” dan ESV mengartikannya, “the LORD make his face to shine upon you and be gracious to you;” Tidak ada kata “tersenyum” di dalam keempat versi terjemahan yang saya sudah kutip tadi. Apakah “menyinari engkau dengan wajah-Nya” identik dengan “Tuhan tersenyum” ? Saya belum berani menafsirkan senekat Warren dengan mengutip dari NLT. Apakah kata “Tuhan tersenyum” berarti Tuhan itu benar-benar menunjukkan kasih-Nya dan bukan keadilan dan kemarahan-Nya ? TIDAK ! Albert Barnes dalam Albert Barnes’ Notes on the Bible mengatakan, ““The face of God” imports not merely God’s good will in general, but His active and special regard. With the “face” or “eye of the Lord accordingly is connected alike the judicial visitation of the wicked. Psa 34:16, and His mercies to the righteous Psa 4:6.” (=“Wajah Allah” bukan hanya bermakna keinginan-Nya yang baik secara umum, tetapi perhatian-Nya yang aktif dan khusus. Oleh sebab itu, “wajah” atau “mata” Allah dihubungkan dengan bencana secara hukum kepada mereka yang jahat—Mazmur 34:16, dan belas kasihan-Nya kepada mereka yang benar—Mazmur 4:6).
Kedua, saya akan mengutip Mazmur 119:135 secara keseluruhan dari versi Terjemahan Baru Indonesia (TB-LAI), Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), King James Version (KJV), dan English Standard Version (ESV). TB LAI menerjemahkannya, “Sinarilah hamba-Mu dengan wajah-Mu, dan ajarkanlah ketetapan-ketetapan-Mu kepadaku.” BIS mengartikannya, “Berkatilah aku dengan kehadiran-Mu, dan ajarilah aku ketetapan-Mu.” KJV menerjemahkannya, “Make thy face to shine upon thy servant; and teach me thy statutes.” dan ESV mengartikannya, “Make your face shine upon your servant, and teach me your statutes.” Entah apa hubungannya “Sinarilah hamba-Mu dengan wajah-Mu,” atau “Berkatilah aku dengan kehadiran-Mu,”, dll dengan terjemahan The Message, “Tersenyumlah padaku, hamba-Mu ; ...” ?!

Kemudian, di awal paragraf dalam bab ini, ia mengemukakan,
Senyuman Allah adalah tujuan hidup Anda.
Karena menyenangkan Allah adalah tujuan pertama hidup Anda, maka, tugas terpenting Anda ialah menemukan bagaimana melakukannya...
(Warren, 2005, p. 75)

Komentar saya :
Di bab sebelumnya, Warren berkata bahwa menurutnya, tujuan hidup manusia adalah untuk kekekalan, nah, pada bab ini, secara tidak konsisten, ia mengubah bahwa tujuan hidup manusia adalah senyuman Allah. Mana yang benar ? Tujuan hidup manusia menurut Katekismus Singkat Westminster (bahan pedoman katekisasi gereja-gereja Presbyterian/Reformed) adalah memuliakan Allah dan menikmati-Nya selama-lamanya. Tujuan hidup manusia memang untuk memuliakan Allah atau bisa juga berarti menyenangkan Allah. Tetapi saya tidak setuju dengan pendapat Warren dengan mengatakan bahwa tugas terpenting kita adalah menemukan bagaimana menyenangkan Allah. Saya menjumpai ada suatu tendensi Warren yang sangat berbahaya melalui ajaran itu. Warren seolah-olah mengajarkan bahwa Allah itu “kasihan”, seperti anak kecil (baca seluruh bab ini, Anda akan menemukan ide Warren seperti ini), sehingga perlu disenangkan melalui apa yang kita perbuat, jika tidak, maka “Allah” akan menangis, dll. Ide Warren yang jelas kelihatan adalah pengungkapannya, “Allah tidak bisa menemukan seorangpun di bumi yang tertarik untuk menyenangkan Dia, sehingga Allah berdukacita dan menyesal telah menciptakan manusia...” (halaman 75). Saya akan memberikan sedikit ilustrasi nakal untuk menjelaskan ide Warren ini. “Allah” diibaratkan seperti seorang cowok/pria dan manusia diibaratkan seorang cewek/wanita. Maka, Warren (secara implisit) berkata, seperti seorang pria yang tidak dapat menemukan seorangpun (cewek/wanita) di sekelilingnya yang tertarik untuk membuat dirinya senang, maka ia/sang pria ini berdukacita dan menyesal mengapa wanita perlu diciptakan, maka Allah bertindak hal yang sama. Pernyataan ini jelas mengindikasikan bahwa Allah memang membutuhkan manusia untuk menyenangkan-Nya, sehingga Ia perlu mencari manusia yang tertarik untuk menyenangkan-Nya. Ini bukan ajaran Alkitab ! Alkitab mengajarkan bahwa bukan manusia yang diperlukan Allah, tetapi manusia lah yang memerlukan Allah ! Mengapa manusia memerlukan Allah ? Daud berkata, “Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat, bahwa kita ini debu.” (Mazmur 103:14) Parafrase kisah di dalam Kejadian tadi yang dipakai oleh Warren ini sudah menyimpang dari arti aslinya.

Dari kisah Nuh, Warren mengungkapkan lima prinsip bagaimana manusia bisa membuat Allah tersenyum.
Allah tersenyum bila kita mengasihi Dia di atas segalanya... Allah menciptakan Anda untuk mengasihi Anda, dan Dia rindu agar Anda balas mengasihi Dia. (Warren, 2005, p. 76)

Komentar saya :
Allah memang begitu mengasihi manusia sehingga Ia rela mengutus Putra Tunggal-Nya untuk mati menebus dosa-dosa manusia piihan-Nya. Itu memang ajaran Alkitab. Tetapi Allah yang sama tidak pernah menuntut balas respon manusia ! Kalau Allah rindu agar manusia membalas kasih-Nya dengan mengasihi-Nya, lalu apa bedanya Allah dengan manusia yang memiliki kasih yang bersyarat ?! Ingatlah, kasih Allah adalah unconditional love (kasih yang tidak bersyarat). Allah mengasihi kita meskipun kita seringkali meninggalkan-Nya. Tetapi jangan memakai pernyataan ini lalu cepat-cepat meninggalkan-Nya, toh, lagipula Ia tetap mengasihi kita dan membawa kita kembali kepada-Nya. Jangan suka mempermainkan ayat Alkitab ! Pengutipan Hosea 6:6 yang sengaja dipakai oleh Warren untuk menunjang idenya ini adalah salah tafsir. Di dalam Hosea 6:6, nabi Hosea tidak bermaksud ingin mengajarkan bahwa Allah menghendaki manusia membalas kasih-Nya dengan mengasihi-Nya. Itu tafsiran sesat yang jelas dipengaruhi oleh “theologia” Arminian/mayoritas Injili ! Jelas-jelas, Hosea 6:6 ingin mengatakan bahwa Allah melihat hati manusia yang mengasihi-Nya bukan upacara ritual agama (Allah mementingkan esensi ketimbang fenomena yang tidak bertanggungjawab). Ibadah sejati adalah mengenal Allah, bukan ritualitas semu. Itu yang Tuhan inginkan.

Lalu, pada poin kedua, ia mengutarakan,
Allah tersenyum ketika kita mempercayai Dia sepenuhnya....Bayangkan situasi ini : Suatu hari Allah mendatangi Nuh dan berkata, “Aku kecewa dengan umat manusia. Di seluruh dunia, tidak seorang pun kecuali kau yang memikirkan-Ku. Tetapi Nuh, ketika Aku melihatmu, Aku mulai tersenyum. Aku senang dengan hidupmu, jadi Aku akan meliputi dunia dengan air bah dan memulai kembali dengan keluargamu...”... Mempercayai Allah sepenuhnya berarti memiliki iman bahwa Dia tahu apa yang terbaik bagi kehidupan Anda. Anda mengharap agar Dia memelihara janji-janji-Nya, membantu Anda dengan masalah-masalah, dan melakukan hal yang mustahil bila perlu...
Allah tersenyum ketika kita menaati Dia dengan sepenuh hati...
Allah tersenyum bila kita memuji dan bersyukur kepada-Nya.... Ketika kita memberi Allah kesukaan, hati kita sendiri dipenuhi dengan sukacita !...
Allah tersenyum bila kita menggunakan kemampuan kita.... Setiap kegiatan manusia, kecuali dosa, bisa dilakukan bagi kesenangan Allah...
Allah juga mendapatkan kesenangan waktu melihat bahwa Anda menikmati ciptaan-Nya....
Allah bahkan senang melihat Anda terlelap !... Ketika Anda terlelap, Allah menatap Anda dengan kasih, karena Anda merupakan ide-Nya.. Dia mengasihi Anda seolah-olah Anda adalah satu-satunya orang di bumi...
(Warren, 2005, pp. 77-82)

Komentar saya :
Saya akan menyoroti tiga prinsip Warren yang saya garisbawahi di atas.
Pertama, apakah Alkitab pernah mengajarkan bahwa hidup Nuh menyenangkan-Nya, sehingga Ia memilihnya ? TIDAK ! Itulah yang diajarkan oleh “theologia” Arminian bahwa “Allah” memilih manusia setelah pada waktu tertentu Ia melihat bahwa manusia yang dipilih-Nya itu nanti akan beriman kepada-Nya. Ini ajaran bidat ! Perhatikan. Kejadian 6:8 berkata, “Tetapi Nuh mendapat kasih karunia di mata TUHAN.” Meskipun di ayat 9, Alkitab berkata bahwa Nuh hidup bergaul dengan-Nya, itu hanya menunjukkan bahwa Nuh bisa mengenal-Nya karena anugerah-Nya mendahului respon manusia. Itulah pengajaran theologia Reformed yang Theosentris. Parafrase yang diciptakan oleh khayalan Warren sendiri, “Aku kecewa dengan umat manusia. Di seluruh dunia, tidak seorang pun kecuali kau yang memikirkan-Ku. Tetapi Nuh, ketika Aku melihatmu, Aku mulai tersenyum. Aku senang dengan hidupmu, jadi Aku akan meliputi dunia dengan air bah dan memulai kembali dengan keluargamu...” terlalu menyimpang dari esensi ajaran Alkitab di dalam Kejadian 6.
Kedua, memang benar adalah setiap kegiatan kita selain dosa bisa dilakukan bagi kesenangan Allah. Saya lebih suka memakai kata “kemuliaan Allah” ketimbang “kesenangan Allah”, karena kata “kemuliaan Allah” menunjukkan esensi natur-Nya yang Mahamulia dan Mahakudus, sedangkan kata “kesenangan Allah” seolah-olah menunjukkan natur-Nya yang doyan (suka) bersenang-senang dan menyenangkan diri sendiri seperti yang manusia berdosa sering lakukan. Setiap kegiatan kita harus dipergunakan untuk memuliakan Allah. Itu prinsip theologia Reformed dan etos kerja Reformed.
Ketiga, perhatikan pernyataan Warren yang sangat aneh, “Ketika Anda terlelap, Allah menatap Anda dengan kasih, karena Anda merupakan ide-Nya.” Pernyataan ini tidak pernah diajarkan oleh Alkitab ! Pernyataan ini mengindikasikan bahwa Warren sedang mengajarkan antroposentris (berpusat kepada manusia) dan humanisme modern yang diselubungi dengan ide-ide “rohani” (meskipun mungkin Warren tidak akan mengakuinya, masa ada maling/pencuri teriak maling ?). Menurut Warren, manusia adalah ide Allah, sehingga kalau mau diparafrasekan (seperti yang Warren suka lakukan) : tanpa manusia, “Allah” tidak bisa berbuat apa-apa, karena manusia itu “sumber inspirasi” bagi tindakan “Allah”. Inikah ajaran Alkitab ?! Mutlak TIDAK ! Warren sendiri mengajarkan bahwa manusia tidak bisa menambah kemuliaan kepada-Nya, tetapi ia sendiri tidak konsisten mengajarkan bahwa manusia itu ide Allah. Ini jelas tidak konsisten dan tidak bertanggungjawab ! Allah itu adalah Sumber Hidup karena Ia adalah Pencipta manusia, sehingga Ia tidak memerlukan inspirasi dan ide-ide dari siapapun juga termasuk manusia. Yang perlu inspirasi seharusnya adalah manusia, karena manusia itu terbatas, ciptaan dan terpolusi oleh dosa, sehingga mereka memerlukan campur tangan Allah untuk memimpin arah hidupnya.








23 December 2007

Martir Kristus-8 : MALAYSIA : Pemerintah Menghancurkan Gereja

Martir Kristus-8



MALAYSIA :
Pemerintah Menghancurkan Gereja


Pemerintah wilayah setempat menghancurkan sebuah gedung gereja yang baru dibangun milik suku Orang Asli. Pejabat yang berwenang menyatakan bahwa gedung itu didirikan tanpa ijin. Bagaimanapun, menurut seorang pemimpin gereja setempat, tanah di mana gereja tersebut berdiri adalah milik kepala desa dan suku tersebut mempunyai hak menurut hukum untuk menggunakan tanah itu sesuai dengan kehendak mereka.

Anggota-anggota suku di desa Guan Musang, negara bagian Kelantan, telah menjadi Kristen pada bulan Februari tahun ini, dan komunitas di tempat itu memutuskan untuk membangun sebuah gedung gereja. Kepala desa menyumbangkan tanah miliknya untuk dipakai mendirikan gereja. Setelah mengadakan pembicaraan dengan pemimpin desa dan pemimpin suku, orang-orang di komunitas itu bekerjasama mengumpulkan dana, membeli bahan bangunan dan mendirikan gereja.

Selama pembangunan gedung gereja kecil tersebut, mereka yang bekerja di tempat itu diancam dan diintimidasi. Orang-orang yang tidak dikenal datang memfoto para pekerja. Menurut Pendeta Moses Soo, “Mereka datang dengan mobil-mobil yang menunjukkan milik organisasi-organisasi “Agama Lain.” Mereka terlihat menakutkan dan bengis, tetapi orang-orang desa menolak untuk berhenti membangun, walaupun kenyataannya mereka juga takut.”

Pada bulan Maret dan April, kantor pertanahan menerbitkan tiga surat perintah penghentian pembangunan bagi orang-orang desa itu. Mereka beranggapan bahwa pembangunan tersebut dijalankan di atas tanah milik negara tanpa permisi. Pada tanggal 4 Juni, kantor pertanahan menindaklanjuti ancaman mereka dengan membuldozer gereja hingga menjadi reruntuhan.

Peristiwa ini dipublikasikan secara luas. Hasilnya protes keras masyarakat luas, pemerintah telah berjanji untuk membangun sebuah balai serba guna, dengan biaya pemerintah di suatu lokasi yang berbeda. Jika pemerintah mendirikan gedung serba guna tersebut, perwakilan KDP (Kasih Dalam Perbuatan) berkata bahwa siapapun di komunitas tersebut mempunyai hak untuk memakainya. Jadi setelah ibadah Minggu umat Kristen, umat “Agama Lain” juga dapat mengadakan ibadah di gedung itu.

Seorang pekerja misi Malaysia berkata kepada KDP bahwa daerah Malaysia ini adalah daerah yang paling keras terhadap orang-orang Kristen, “Pemerintah Kelantan membenci pergerakan Kristen apapun... orang-orang “Agama Lain” telah berubah menjadi lebih radikal dan percaya pada hal-hal sihir...” Tolong terus berdoa bagi kebangunan rohani di Malaysia, khususnya di daerah ini. Berdoalah bagi orang-orang Kristen dari suku Orang Asli akan bebas untuk mendirikan gedung gereja dan beribadah tanpa penganiayaan.





Sumber :
Buletin Kasih Dalam Perbuatan (KDP) November-Desember 2007 halaman 10.


Diketik ulang oleh : Denny Teguh Sutandio.

KONSEP DIRI DAN KEDEWASAAN ROHANI (Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S.)

KONSEP DIRI DAN KEDEWASAAN ROHANI

oleh : Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S.



Allah memang menciptakan kita dengan kebutuhan untuk merasa aman dan dihargai karena Ia tahu bahwa kita tdk akan pernah menemukannya dlm diri kita ataupun dlm hubungan kita dengan orang lain. Dan tujuan Allah adalah bahwa Ia sendiri yang akan memenuhi kebutuhan tsb.

Kita tidak perlu lagi mencari jati diri kita melalui reaksi-reaksi orang lain mengenai penampilan, prestasi dan status kita. Penampilan kita, yang diciptakan secara unik dan khusus oleh Allah sendiri, merupakan sarana untuk menunjukkan kasih dan kuasa Nya. Prestasi kita menjadi hasil kerja Allah dalam kehidupan kita yang baru. Dan status kita menjadi penting hanya karena hal itu merupakan kesempatan untuk memuliakan Allah dan melayani orang lain.

Dalam Yoh 13:34-35 Yesus menetapkan sifat yang menjadi ciri muridNya: kasih. Firman Tuhan mengajarkan bahwa kasih yang tulus bukan sekedar perasaan sayang yang diwarnai dengan senyum yang manis, kata-kata pujian atau sikap yang hangat, melainkan juga sikap rela berkorban dan mengutama orang lain. Orang yang melangkah menuju ke kedewasaan rohani harus memutuskan untuk meninggalkan sifat melindungi diri sendiri dan masuk ke dalam pergaulan dengan orang lain yang akan mendorong mereka maju kearah Tuhan.

Dengan membaca firman Tuhan dan bersekutu dngen Dia melalui doa setiap hari secara teratur, orang Kristen yang bertumbuh dapat terus yakin bahwa KEBUTUHAN PRIBADI YANG MEMOTIVASI nya agar merasa aman dan dihargai benar-benar terpenuhi dalam Yesus Kristus. PROSES BERPIKIR dan konsep dirinya bertumbuh berdasarkan kebenaran-kebenaran Allah, sebagai ganti ketergantungan pada pendapat-pendapat orang lain. Dengan konsep dirinya yang semakin teguh berdasarkan kebenaran-kebenaran Firman Allah, orang Kristen yang bertumbuh itu dapat membedakan kehendak Allah dengen lebih tepat dan semakin mampu MEMILIH perilaku dan kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan kehendak Allah, sehingga memurnikan pelayanannya kepada Tuhan. EMOSI-EMOSI YANG DIHASILKAN adalah sukacita dan damai sejahtera sebagai ganti kecemasan; kesabaran dan kasih sebagai ganti kemarahan; iman dan pengharapan sebagai ganti rasa bersalah dan depresi.

Emosi-Emosi Yang Negative Dapat Berguna
Orang Kristen yang sehat emosinya adalah orang yang selalu sadar akan emosinya. Ia tidak menahan emosinya, atau mengabaikan keberadaan emosinya, terutama yang negative. Ia juga tidak mencoba menahan emosi-emosi tersebut atau menyimpannya dalam hati agar tidak diketahui oleh orang lain.

Dengan selalu menyadari emosi-emosinya, orang Kristen yang bertumbuh tersebut tidak hanya dapat menikmati emosi-emosi yang positif yang dialaminya tetapi ia juga dapat menggunakan emosi-emosi negative itu untuk bertumbuh secara rohani melalui pembaharuan cara berpikirnya. Ada 3 macam emosi negative yang mendasar:
1. Kemarahan: reaksi terhadap sasaran yang terhalang
2. Depresi: akibat dari sasaran yang tidak tercapai
3. Kecemasan: menunjukkan sasaran yang tidak pasti.

1. Kemarahan
Ada 3 hal yang menyebabkan kemarahan:
· Frustasi, kita tdk memperolah apa yang kita inginkan berkenaan dengan rencana kita.
· Penghinaan, kita tdk memperolah apa yang kita inginkan berkenaan dengan status kita.
· Penolakan, kita tdk memperoleh apa yang kita inginkan berkenaan dengan kasih kita.

Reaksi marah kita terhadap anak kita mungkin akibat dari asumsi yang salah bahwa kita harus menjadi orang tua yang sempurna supaya merasa dihargai.

Merasa tersinggung atas penolakan orang lain karena ‘cacat’ jasmani juga dapat menunjukkan kepada kita bahwa kita sedang memandang ‘cermin’ yang salah, yaitu reaksi-reaksi orang lain.

Perlu ditambahkan bahwa kemarahan tdk selalu menunjukkan cara berpikir yang salah, Yesus sendiri pernah marah. Marah yang benar dapat diartikan sbg tindakan marah yang tegas untuk menentang dosa dan biasanya diikuti dengan tindakan yang tepat. Marah yang benar itu terkendali dan beralasan, tdk mementingkan diri sendiri, tidak memendam kebencian atau sakit hati. Karena marah itu bertujuan untuk menentang tindakan atau keadaan yang salah, dan bukan menentang pribadi, maka marah itu haruslah diikuti dengan tindakan yang membangun untuk memperbaiki kesalahan tersebut.


2. Depresi
Depresi dapat diakibatkan oleh keadaan fisik seperti diet yang salah, kurang istirahat, reaksi terhadap obat-obat tertentu, gangguan hormone, kematian orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan. Depresi yang seperti ini biasanya tidak ditandai dengan harga diri yang rendah dan akan berkurang bersamaan dengan berjalannya waktu.

Kemarahan disebabkan serangan dr keadaan di sekitar kita, sedangkan depresi disebabkan serangan dari dalam diri kita terhadap diri kita sendiri.

Kita menghakimi diri kita bahwa kita sudah gagal dan merasa tidak berharga, maka kita merasa bersalah, marah, sedih dan apatis. Kita kehilangan perspektif dan menarik diri dr orang lain, takut kalau kita ditolak, menjadi terlalu peka terhadap apa yang dikatakan dan dilakukan orang lain.

Rasa bersalah yang tidak benar yaitu menyalahkan diri sendiri akibat citra diri yang tidak benar, perlu diperbaiki pada tahap PROSES BERPIKIR. Kita perlu mengevaluasi apakah kita sedang berusaha untuk merasa diterima orang lain melalui penampilan, prestasi atau status kita. Kita perlu mengganti pemikiran yang negative mengenai nilai kita dengan kebenaran bahwa Allah sendiri menerima kita sepenuhnya.

3. Kecemasan
Kecemasan dapat merupakan akibat dari tolak ukur yang tidak realistis yang ditentukan oleh orang lain atau oleh kita sendiri. Kita harus mempertimbangkan apakah rasa cemas itu timbul karena kita menilai bahwa tingkat keberhasilan kita tdk sama dengan apa yang diharapkan masyarakat. Rasa cemas dalam situasi tertentu dapat merupakan petunjuk terhadap asumsi-asumsi yang kita buat berkenaan dengan hal-hal yang menyebabkan kita merasa diterima dan dihargai. Hal ini juga dapat menyadarkan kita akan bidang-bidang yang belum sungguh-sungguh kita serahkan kepada Tuhan supaya Ia dapat melaksanakan rencanaNya yang sempurna bagi kehidupan kita dan kehidupan orang lain.

KESIMPULAN
Orang Kristen yang bertumbuh kearah kedewasaan rohani adalah orang yang berusaha membangun konsep diri yang benar, yang berdasarkan pada sifat-sifat Allah dan firmanNya yang tidak berubah. Ia menyadari bahwa kebutuhan pribadi yang dasar yang memotivasinya untuk merasa aman dan dihargai telah terpenuhi di dalam Yesus. Ia dapat menerima dirinya sebagai ciptaan Allah yang unik, yang diciptakan untuk fungsi dan tujuan yang khusus. Setelah mengetahui bahwa kita berharga bagi Allah, kita sendiri juga menghargai orang lain sebagai pribadi yang patut dihargai. Kita dapat bergaul dengan orang lain, dan tdk lagi merasa lebih baik atau kurang baik bagi mereka. Kita tidak perlu berpura-pura dan membela diri atau mengkritik, tetapi dengan tulus hati kita dapat mengasihi dan memperhatikan orang lain. Kita pun dapat menjadi pribadi yang sesuai dengan kehendak Allah sebagai anggota tubuh Yesus Kristus.

Sumber : www.grii-singapore.org



Profil Pdt. Billy Kristanto :
Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S. lahir pada tahun 1970 di Surabaya. Sejak di sekolah minggu mengambil bagian dalam pelayanan musik gerejawi. Setelah lulus SMA melanjutkan study musik di Hochschule der Künste di Berlin majoring in harpsichord (Cembalo) di bawah Prof. Mitzi Meyerson (1990-96).
Setelah lulus dari situ melanjutkan post-graduate study di Koninklijk Conservatorium (Royal Conservatory) di Den Haag, a conservatory with the largest early music department in the world (mempelajari historical performance practice). Belajar di bawah Ton Koopman, seorang dirigen, organis, cembalis dan musicolog yang sangat ahli dalam interpretasi karya J.S. Bach. Selain itu juga mempelajari fortepiano di bawah Prof. Stanley Hoogland.
Setelah lulus dari situ pada tahun 1998 pulang ke Indonesia, lalu melayani sebagai Penginjil Musik di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) di Jakarta pada Februari 1999. Pada tahun yang sama memulai study Teologi di Institut Reformed di Jakarta. Lulus pada tahun 2002 dengan Master of Christian Studies. Sejak tahun 2002 sampai sekarang menjabat sebagai Dekan School of Music di Institut Reformed Jakarta serta menggembalakan jemaat Mimbar Reformed Injili Indonesia (MRII) Jerman : Berlin, Hamburg dan Munich. Beliau ditahbiskan menjadi pendeta sinode GRII pada Paskah 2005 dan saat ini sedang menyelesaikan studi doktoral di bidang filsafat di Universitas Heidelberg, Jerman. Beliau menikah dengan Suzianti Herawati dan dikaruniai seorang putri, Pristine Gottlob Kristanto.

22 December 2007

Iman Kristen dan Musik-7 (Tanya Jawab)

Iman Kristen dan Musik (7)—Tanya Jawab
(Jawaban Pdt. Billy Kristanto—B terhadap pertanyaan Sdr. Hansel—H)


Hansel :
Shalom Pak Billy,
Saudara berkata bahwa untuk menguji estetika jenis musik tertentu, kita harus mempelajari latar belakang musik tersebut. Satu pertanyaan saya belum terjawab bahkan setelah membaca 6 email tentang musik yang Saudara post. "Apakah yang Alkitab katakan tentang musik yang kudus dan tidak kudus?"

Billy:
Saya sudah coba sharingkan prinsip ini, sayang sekali Anda tidak menangkap pointnya :)


H :
Mempelajari latar belakang sebuah musik dan kemudian mendasarkan keputusan kita berdasarkan latar belakang tersebut berarti kita mendasarkan keputusan kita pada apa yang kita tahu, dan bukan pada Alkitab.

B :
Di sini Anda salah mengerti. Mempelajari latar belakang, biografi, tradisi musik yang mempengaruhi suatu karya tertentu perlu untuk suatu penyelidikan yang lebih komprehensif, setelah itu pengujian tersebut dibawa dan diuji di bawah terang Alkitab.


H :
Beberapa minggu yang lalu, ada juga yang menge-post soal musik. Dan pendapat dia bahkan jauh lebih ekstrim. Dia seolah-olah berkata hanya musik hymne sajalah yang paling baik. Ketika kita menyanyi untuk Tuhan, kita sama sekali tidak boleh bergoyang. Karena itu, lagu "Oh, betapa indahnya," yang dinyanyikan dengan irama dangdut adalah lagu yang tidak kudus. Tetapi, tidak ada ayat Alkitab sama sekali di dalam email yang dia kirim itu. Berbicara soal bergoyang, tahukah Saudara bahwa Raja Daud pernah memuji dan menyanyi untuk Tuhan sambil menari dan meloncat sekuat tenaga? Tetapi anehnya, Tuhan tidak pernah sama sekali menegur dia untuk tidak menari dan meloncat.

B :
Bagian ini ditujukan kepada saya? Kalau kepada saya: Ya, sebagai hamba Tuhan, puji syukur saya mengenal bagian Alkitab tsb :)
Hanya saja kesimpulan seperti ini bagi saya terlalu cepat dan cenderung menimbulkan pengertian yang salah. Kesulitan penafsiran Alkitab yang seperti ini adalah kerancuan dan kegagalan untuk membedakan bagian Firman Tuhan yang bersifat preskriptif (pengajaran) dan deskriptif (penggambaran). Bagian yang preskriptif berlaku bagi semua orang percaya, bagian deskriptif adalah khusus/unik terjadi pada orang tersebut. Petrus berjalan di atas air sebagai suatu tindakan iman (deskriptif), bukan berarti setiap orang percaya boleh berjalan di atas air sebagai tindakan imannya.


H :
Saya ingin jawaban yang saya dapatkan benar-benar dari Alkitab, dan bukan dari teologi ini dan itu. Terus terang, saya tidak memiliki pengetahuan apa-apa tentang teologi. Yang saya tahu dan kenal sebagai sumber segala kebenaran hanyalah Alkitab.

B :
Tidak mungkin kita tidak memiliki pengetahuan apa-apa tentang teologi. Seringkali tanpa sadar kita banyak dipengaruhi oleh school of thought theologi tertentu. Statement Anda "Yang saya tahu dan kenal sebagai sumber segala kebenaran hanyalah Alkitab" juga berada di bawah pengaruh tradisi theologi tertentu :)
Mengenai gerakan tubuh dalam ibadah, perlu dipikirkan suatu pembahasan yang mengaitkan antara sikap hati dan filsafat tubuh. Pembahasan ini akan menarik jika dikaitkan dengan thema ekspresi. Untuk sederhananya, kita dapat mengajukan beberapa pertanyaan kepada diri kita masing-masing untuk melakukan suatu pengujian:
- Apakah saya menganggap ekspresi itu sebagai sesuatu yang tabu dan tidak alkitabiah?
[1]
- Apakah gerakan tubuh/ekspresi yang saya lakukan itu berkaitan dengan apa yang menjadi isi hati saya? (dalam bagian ini Tuhan Yesus memberikan kritik kepada orang Farisi yang menyalahgunakan ekspresi sebagai suatu kemunafikan, precisely karena apa yang tampak di luar tidak sesuai dengan apa yang ada di dalam hati).
- Apakah ekspresi yang dituangkan dalam gerakan tubuh tersebut bersifat self-centered (saya harus mengekspresikan diri saya) atau God-centered (ekspresi itu sebagai respon kita menikmati Tuhan dalam ibadah).
[2]
- Apakah ekspresi atau gerakan tubuh itu membangun sesama jemaat (dan bukan hanya membangun diri saya saja). Bahwa prinsip membangun jemaat lebih baik dan lebih dewasa, lebih sesuai dengan natur kasih daripada hanya membangun diri sendiri, dapat kita pelajari dari I Kor 14:1-5, terutama karena pembahasan ini ada dalam konteks ibadah (pertemuan bersama).
- Apakah ekspresi/gerakan tubuh itu berlangsung dalam batasan kesopanan dan keteraturan (I Kor 14:26-40).

Tuhan memberkati kita sekalian. Semper reformanda.

Yours in Christ.
[1] Jika kita cenderung berpendapat ya, kita perlu berhati-hati dan kritis terhadap pandangan seperti itu, karena pandangan yang mengaitkan kekudusan atau kerohanian yang tinggi dengan semakin meninggalkan ekspresi tubuh lebih banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani kuno daripada Alkitab.
[2] Di sini sebagai orang percaya kita perlu berhati-hati dan membedakan dengan kritis ekspresi yang diajarkan oleh Alkitab dengan ekspresi seperti yang dimengerti oleh aliran expressionisme (yang terakhir ini berpusat kepada diri).

Billy Kristanto

=
http://www.grii.de/ =
Quis credidit auditui nostro? et brachium Domini cui revelatum est? (Is. 53:1)


Sumber :
http://groups.yahoo.com/group/METAMORPHE (mailinglist Pdt. Billy Kristanto)














Profil Pdt. Billy Kristanto :
Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S. lahir pada tahun 1970 di Surabaya. Sejak di sekolah minggu mengambil bagian dalam pelayanan musik gerejawi. Setelah lulus SMA melanjutkan study musik di Hochschule der Künste di Berlin majoring in harpsichord (Cembalo) di bawah Prof. Mitzi Meyerson (1990-96).
Setelah lulus dari situ melanjutkan post-graduate study di Koninklijk Conservatorium (Royal Conservatory) di Den Haag, a conservatory with the largest early music department in the world (mempelajari historical performance practice). Belajar di bawah Ton Koopman, seorang dirigen, organis, cembalis dan musicolog yang sangat ahli dalam interpretasi karya J.S. Bach. Selain itu juga mempelajari fortepiano di bawah Prof. Stanley Hoogland.
Setelah lulus dari situ pada tahun 1998 pulang ke Indonesia, lalu melayani sebagai Penginjil Musik di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) di Jakarta pada Februari 1999. Pada tahun yang sama memulai study Teologi di Institut Reformed di Jakarta. Lulus pada tahun 2002 dengan Master of Christian Studies (M.C.S.). Sejak tahun 2002 sampai sekarang menjabat sebagai Dekan School of Music di Institut Reformed Jakarta serta menggembalakan jemaat Mimbar Reformed Injili Indonesia (MRII) Jerman : Berlin, Hamburg dan Munich. Beliau ditahbiskan menjadi pendeta sinode GRII pada Paskah 2005 dan saat ini sedang menyelesaikan studi doktoral di bidang filsafat di Universitas Heidelberg, Jerman. Beliau menikah dengan Suzianti Herawati dan dikaruniai seorang putri, Pristine Gottlob Kristanto.

Iman Kristen dan Musik-6 (Diskusi)

Iman Kristen dan Musik (6)—Diskusi
(Sdr. Jimmy—S dan Pdt. Billy Kristanto—B)


J :
Sekali lagi, saya angkat topi utk upaya kamu meninjau masalah ini dari seluruh dimensi yg penting... Tidak disangkal lagi, kamu sangat bertanggung jawab dan serius mendalami hal ini... Kami semua dapat belajar banyak dari kamu... Pembahasan kamu menyegarkan motivasi saya utk belajar lbh serius lagi...

B :
Saya pikir diskusi ini juga mempertajam dan memperjelas kesimpang-siuran konsep tentang musik gerejawi yang banyak dianut, sekalipun mungkin kita belum bisa 100% sependapat.

J :
Satu pertanyaan saja karena saya belum menemukan jawabannya secara lugas dalam pembahasan kamu: Apa properties dari suatu jenis musik yang memungkinkan kita melakukan pengkategorian musik yang kudus atau tidak (selain teks, apalagi)?
Saya setuju bahwa dari sudut pandang estetika, maka ada kemungkinan bahwa jenis musik tertentu (seperti Klasik) adalah high-art. Mungkin inilah perbedaan kita berdua. Kamu berangkat dari estetika. Sedangkan saya berangkat dari preferensi musikal manusianya.

B :
As you already noticed, pengujian musik yang good or bad, atau lebih baik: better and worst.
[1] Pengujian ini terutama dilakukan dengan menyelidiki estetika musik tersebut.[2] Tentang approach (pendekatan) tentunya bisa beraneka-ragam dan tidak mutlak, namun kita harus selalu ingat bahwa ketika kita membicarakan “starting point” (bukan “approach”) maka hanya ada satu-satunya starting point yaitu penilaian dari Alkitab sendiri. Persoalan berangkat dari preferensi musikal bagi saya adalah ini bukan hanya sekedar perbedaan approach (which I have no problem at all with), melainkan sudah berurusan dengan “starting point”. Preferensi musikal ini berangkat dari diri sebagai subyek yang menyukai musik tertentu (saya suka musik A, kamu musik B, yang lain lagi musik C dan seterusnya). Dengan kata lain starting pointnya masih berada di bawah tradisi filsafat Cartesian (Rene Descartes). Kita tahu bahwa pengaruh Descartes dan Kant (yang mulai dari diri manusia sebagai subyek) hanya membawa kepada agnostisisme, skeptisisme, relativisme, dan terakhir (menurut Hauerwas) nihilism. Kalau kita mulai starting point dari diri (padahal kita tahu diri kita berdosa dan tidak sempurna) maka yang akan terjadi adalah “you can choose whatever you like, what you think is best and good for you”. Starting point dari diri (manusia) pasti tidak akan ada jalan temu karena setiap orang mempunyai pendapatnya sendiri-sendiri. Musicology yang dimulai dengan starting point diri bukan jalan dari Alkitab tetapi dari Descartes and co.
Sebaliknya ketika kita melakukan penyelidikan estetis, kita percaya bahwa terlepas dari selera musik saya secara pribadi, ya, terlepas dari pendapat saya sebagai manusia yang berdosa dan tidak sempurna, Alkitab memberikan prinsip-prinsip tentang apa itu keindahan. Dengan kata lain, Alkitab membicarakan tentang estetika. Menurut Fil 4:8 ada kaitan antara keindahan (aspek estetik) dengan kebenaran, kemuliaan, keadilan, kesucian dsb). Apa yang indah adalah apa yang kudus dan apa yang benar. Sehingga musik yang indah (menurut kriteria Alkitab) dapat juga dikatakan kudus, musik yang tidak indah adalah tidak kudus dan tidak benar. Di sini kita langsung berbeda dengan para relativist yang mengatakan bahwa indah adalah persoalan selera, tidak bisa diuji etc. Pandangan itu bukan pandangan Alkitab tapi pandangan filsafat dunia.
Bagaimana kita menguji estetika suatu musik tertentu, atau lebih detail, suatu karya komponis tertentu? Untuk suatu pengujian yang lebih kompleks dan komprehensif kita perlu untuk mempelajari musik tersebut terbentuk dari latar belakang yang bagaimana (di sini diperlukan study interdisipliner bidang-bidang yang lain seperti sosiologi, filsafat, kebudayaan dsb). Atau kalau mempelajari estetika komponis tertentu, kita perlu mengetahui biografinya, kepercayaan atau ideologi yang dia anut (saya sudah sharingkan secara singkat di tulisan yang terdahulu tentang John Cage misalnya yang banyak dipengaruhi oleh Zen-Buddhism). Selain itu juga dia berada di bawah pengaruh tradisi apa, adakah pengaruh estetika Kristen dalam tradisi ini? Jika ada, seberapa jauh? Berapa banyak penyimpangannya?
Konsep estetika ini berkaitan dengan penggarapan yang terjadi dalam 5 musical parameter dasar (harmoni, melodi, ritme, dinamika dan suara [Klang]). Estetika tertentu digarap dalam harmoni atau melodi tertentu yang merefleksikan estetika tadi (kembali dalam pembahasan tentang John Cage saya mencoba untuk mensharingkan kaitan antara estetika yang dianut oleh Cage dengan teknik penggarapan komposisi musiknya). Dengan demikian musik tidak mungkin netral. Dan kalau kita menerima pandangan Alkitab tentang keindahan (bukan pandangan relativisme), kita tahu bahwa keindahan memiliki kriteria obyektif dalam suatu pengujian yang dilakukan di bawah terang Alkitab. Yang indah adalah kudus dan benar, yang tidak indah tidak kudus dan tidak benar. Dengan kata lain, there is better aesthetics and worst aesthetics. Estetika tidak relatif menurut konsep Alkitab.


J : Analogi saya sederhana saja. Dalam dunia linguistik pun kita dapat menemukan beberapa bahasa yang jauh lebih tinggi dalam pengungkapan dan kedalaman makna. Contohnya saja bahasa Inggris dan Indonesia lebih unggul Inggris karena memiliki tenses. Sementara bahasa Yunani mungkin lebih tinggi daripada bahasa Inggris. Ada pula yang bilang bahasa Mandarin lebih tinggi karena kandungan filosofis dalam perkawinan pelbagai karakter yang menghasilkan karakter baru, dsbnya. Namun, apakah dengan demikian kita seharusnya berdoa/berkomunikasi kepada Tuhan dalam bahasa Yunani/Inggris/Mandarin ketimbang Indonesia karena Indonesia lebih inferior?

B:
Kamu mengangkat satu point yang penting di sini (“higher culture”) yang saya percaya akan semakin memperjelas diskusi ini. Mengenai “higher culture” ini saya ada beberapa tanggapan:
1. Saya pribadi lebih suka menggunakan istilah kebudayaan yang lebih kompleks/berbobot dan kebudayaan yang lebih sederhana, instead of high and low. Pembedaan high and low arts bisa membawa orang terjebak dalam spirit cultural elitist yang salah (menghina culture yang lebih rendah), dengan demikian, seperti sudah saya bahas sebelumnya, merupakan ketidak-mengertian terhadap theology of grace. Dalam tradisi Reformed theology orang lebih suka menggunakan istilah kebudayaan yang lebih kompleks di satu sisi dan lebih sederhana di sisi yang lain.
2. Pembedaan ini penting karena adanya konsep takaran yang berbeda-beda bagi setiap orang. Tidak setiap orang diberikan takaran yang sama, let say, untuk mengecap ‘high’ education, ‘high’ cultural living, ‘high’ civilization dsb. Alkitab mengajarkan agar kita memberikan yang terbaik bagi Tuhan (motivasi, tujuan dan pemberiannya sendiri). “Yang terbaik” yang dimaksud di sini tentunya adalah “yang terbaik yang dapat saya berikan.” Yang terbaik, sesuai dengan takaran yang Tuhan percayakan pada saya. Persoalan yang terjadi pada cultural elitist adalah tidak mengerti bahwa setiap orang memiliki takaran yang berbeda-beda dari Tuhan. Yang penting di sini adalah setiap orang harus jujur dan mengenal diri dengan benar.
3. Namun ini tidak berarti bahwa takaran itu statis dan tidak dapat berubah. Alkitab juga mengajarkan bahwa mereka yang setia dalam perkara kecil akan dipercayakan perkara yang lebih besar. Dalam takaran pun terjadi progresi. Point ini juga sama pentingnya dengan point ke-2, karena tanpa pengertian ini kita cenderung menjadikan konsep takaran itu sebagai rasionalisasi untuk mempertahankan status quo alias keengganan untuk bertumbuh dan terus maju. Di sini saya sulit untuk menerima pop-culture karena salah satu kecenderungan yang sangat kuat dalam kebudayaan ini adalah spirit yang suka mempertahankan “lack of depth” yang menjadi karakteristiknya.
[3] Bukan hanya di dalam musik/seni saja, dalam pengenalan akan firman Tuhan juga bisa merembet spirit pop-culture,[4] dalam filsafat pelayanan juga dapat dipengaruhi oleh pop-culture.[5] Spirit instant dan mau langsung jadi, “how-to Christianity” yang mau jawaban siap pakai (tanpa harus bergumul) menjadi karakteristik umum di jaman kita sekarang. Sebaliknya jika kita mengikuti Alkitab, kita harus dengan rendah hati untuk terus mau bertumbuh dengan dipercayakan perkara yang lebih besar oleh Tuhan, termasuk di dalamnya pengenalan teologis yang lebih dalam dan lebih kaya akan Firman Tuhan, juga musik yang lebih berbobot dan lebih kompleks yang Tuhan ingin berikan kepada kita. Ini termasuk dalam bagian pertumbuhan yang wajar dalam hidup Kristen.
4. Sekalipun benar memang ada perbedaan seni yang lebih kompleks dan yang lebih sederhana, namun concern saya sebagai orang percaya lebih berurusan dengan apakah suatu karya memiliki good or bad aesthetics daripada ‘high’ or ‘low’ aesthetics. I have no problem at all dengan estetika musik yang lebih sederhana, karena bagi saya, kedua-duanya (musik yang kompleks atau yang sederhana) dapat dipakai oleh Tuhan. Yang menjadi persoalan bukanlah tingkat kompleksitas musiknya, melainkan estetika yang benar atau tidak. Ada musik yang sangat kompleks estetikanya, and yet bad aesthetics (seperti John Cage misalnya). Sebaliknya ada musik yang lebih sederhana and good aesthetics. Sebagai orang percaya kita mempertahankan yang good aesthetics dan membuang yang bad aesthetics (mengikuti anjuran Paulus untuk menguji segala sesuatu dan memegang yang baik [I Tes 5:21]). Di sinilah perbedaan kita dengan para cultural elitists karena mereka (para elitists) akan mempertahankan ‘high’ arts dan menghina serta membuang ‘low’ arts. Bagi kita, good aesthetics bisa ada pada karya seni yang kompleks maupun yang lebih sederhana, demikian juga halnya dengan bad aesthetics. Sama halnya dengan perdebatan musik trasional – kontemporer, perdebatan musik dalam kategori ‘high – low’ arts totally miss the point, karena yang dipersoalkan Alkitab adalah benar dan tidak benar, kudus dan tidak kudus (bukan tinggi atau rendah).
[6]

Mengenai analogi bahasa, saya sudah pernah singgung bahwa analogi ini lemah dan tidak cukup untuk menggambarkan kompleksitas persoalan dalam pengujian estetika. Mengapa? Karena bahasa lebih bersifat universal, yang paling dasar yang ada pada setiap bangsa/suku. Jika analogi ini tetap mau dipaksakan juga, yang mungkin dapat menjadi perbandingan yang lebih tepat adalah dengan etno-musik, yang juga ada pada setiap bangsa/suku.
[7] Sementara jenis musik seperti Rock, New Age, Expressionism, bi-tonality etc, bukanlah produk universal setiap bangsa (seperti keanekaragaman dalam etno musik misalnya), melainkan merupakan kebudayaan yang lebih banyak berkait dengan ideologi, bahkan agama tertentu. Ini yang membuat kategori jenis musik yang terakhir ini sangat tidak tepat jika dianalogikan dengan bahasa (karena kandungan nilai kepercayaannya yang sangat kuat).


J :
Kembali ke ibadah, saya melihat kesamaan masalah bila kita juga apply cara pikir yg sama. Saya melihat begini: mari kita pakai bahasa musik kita masing-masing... namun tetap terapkan striving for excellence within each categories...

B :
Jika ada seseorang yang dilahirkan dalam ‘bahasa musik’ New Age lalu dia ingin bertumbuh dalam ‘bahasa musik’nya itu dan menggunakannya dalam ibadah, bagaimana respon kita? Saya pribadi sulit dengan hati nurani yang jujur dan bertanggungjawab di hadapan Tuhan mengatakan “silakan saja, itu memang ‘bahasa musik’ kamu …” karena saya tahu musik-musik seperti itu lahir dari pergumulan agamawi yang melawan Tuhan. ‘Bahasa musik’ kita pun tidak netral, dan perlu terus dikuduskan oleh Firman Tuhan.


J :
Saya tidak menolak aspek keunggulan estetika namun itu menjadi tahap berikut, bukan titik awal.... makanya dalam credo saya, quality saya letakan setelah diversity dan love... jika kita mau pakai musik kontemporer, maka berikan musik kontemporer terbaik...

B :
Saya sependapat dengan kamu jika itu berurusan dengan estetika ‘tinggi – rendah’ maka tidak terlalu matters (asal kita tetap memperhatikan bahwa takaran kita bersifat progresif). Tapi itu matters jika berurusan dengan good/bad aesthetics (bagi saya memberikan yang terbaik mencakup pengujian musik yang baik dan benar). Sudah saya bahas di atas bahwa concern kita lebih berurusan dengan good or bad music instead or ‘high/low’ (complex/simple). Dalam konteks yang pertama (good and bad aesthetics), saya sedikit terganggu dengan kalimat di atas bahwa keindahan boleh ditempatkan setelah diversity and love, karena dalam Firman Tuhan kita tidak mendapati bahwa keindahan (yang berkait dengan kebenaran, kekudusan dsb) boleh dibicarakan ‘belakangan’. Sulit untuk mendapati bahwa Firman Tuhan mengajarkan bahwa pluralitas dan kasih lebih dahulu daripada kebenaran, kekudusan, keindahan, kemuliaan dsb.
[8] Bagi saya, semuanya harus diuji, tanpa mendahulukan yang satu dan mengesampingkan yang lain. Dalam Alkitab kebenaran, keindahan, kemuliaan, kekudusan tidak mungkin dipisahkan dari kasih. Kebenaran ada dalam keaneka-ragaman faset (namun ini tidak berarti semua faset dapat ditampung dalam kebenaran), keaneka-ragaman ini dipersatukan oleh kasih, di dalam kebenaran. Mengenal kebenaran berarti menerima keaneka-ragaman di dalam kasih. Ketika kita menomor-duakan kebenaran (yang berkait dengan keindahan, kekudusan, kemuliaan dsb) kita cenderung akan terjebak pada pluralisme yang diajarkan oleh dunia (bukan pluralitas yang diajarkan oleh Alkitab) dan kasih kita akan menjadi kasih yang tidak berkait dengan pengertian (blind love). Sebaliknya hanya menekankan ‘kebenaran’ tanpa bisa menerima keaneka-ragaman di dalam kasih juga bukanlah merupakan pengenalan kebenaran yang sejati. Allah yang kita percaya adalah Allah yang benar, Allah yang mengasihi, dan Allah di dalam tiga Pribadi. Tuhan memberkati kita sekalian. Sola scriptura.

In Christ,
one of the greatest sinners, forgiven by God
[1] Seperti sudah saya bahas dalam tulisan yang lalu bahwa tidak ada musik yang sepenuhnya sempurna, demikian juga tidak ada musik yang sepenuhnya rusak dan tidak ada keindahan yang tersisa di dalamnya. Maka kita lebih baik berbicara tentang musik yang lebih baik dan kurang baik, yang lebih alkitabiah dan kurang alkitabiah, dalam berbagai macam tingkat kebaikan atau kerusakan.
[2] Penyelidikan estetis ini bisa terjadi dalam beberapa tahap tentunya, mulai dari tahap yang paling general, seperti misalnya estetika musik Rock, musik Barock, musik medieval, serial music, expressionism, new age etc, atau yang lebih detail misalnya Barock Perancis, Barock Jerman, Italia etc, dan lebih detail lagi dengan menguji estetika per komponis (let say Mozart misalnya), lebih detail lagi: Mozart pada periode kehidupan yang mana, atau lebih detail lagi: per karya, dan lebih detail lagi: bagian tertentu pada karya tertentu. Pengujian estetika yang general mencoba untuk mencari karakteristik umum dari musik yang diuji (misalnya musik Rock, Klassik, Romantik etc), kelemahan dari pengujian yang seperti ini pasti adalah kecenderungan generalisasinya (ini tidak bisa dihindarkan karena memang pengujiannya terjadi pada tahap yang general). Kalau kita mau melakukan pengujian yang lebih kompleks harus bicara lebih detail.
[3] Ini wajar dan dapat dimengerti karena jika goal yang ingin dicapai adalah mendapatkan jangkauan sebanyak-banyaknya maka yang seringkali harus dikompromikan adalah kualitasnya. Pop-culture yang menuju kepada “depth” tidak akan menjadi pop-culture lagi dan akan dituduh menjadi penganut cultural elitist. Bagi saya pilihan cultural elitist di satu sisi dan pop-culture di sisi yang lain, dua-duanya salah. Alkitab memberikan alternatif yang lain mengenai ini yaitu konsep takaran dalam progresi.
[4] Kalimat seperti “Untuk apa susah-susah mempelajari teologi, itu hanya bikin tambah bingung, bahkan sombong, lebih baik kita belajar saling mengasihi saja” saya kuatir tanpa sadar sebenarnya juga dipengaruhi oleh kecenderungan pop-culture yang cenderung menolak untuk belajar lebih dalam dan terus maju. Dalam Alkitab kasih tidak dapat dipisahkan dengan pengertian yang benar, demikian pula sebaliknya.
[5] Misalnya mencoba untuk mendapatkan jiwa sebanyak-banyaknya dengan mengkompromikan kualitas yang ditakar oleh Tuhan.
[6] Tuhan dapat memakai tulisan dengan kapasitas teologi yang sangat kompleks seperti J. Edwards, maupun juga khotbah-khotbah yang sangat sederhana dari D.L. Moody. Tulisan Kant boleh jadi jauh lebih kompleks, lebih ‘tinggi’ daripada Moody namun ini tidak berarti pemikiran Kant lebih benar dan kudus daripada Moody hanya karena dia lebih kompleks. Pengujiannya adalah kesetiaan kepada Firman Tuhan (entah kompleks atau sederhana).
[7] Ini pun bagi saya juga tidak dapat diakomodasi begitu saja sebagai totally neutral tanpa critical reflection terlebih dahulu. Di satu sisi kita percaya seperti diajarkan dalam Reformed Theology, ada anugerah umum dalam setiap kebudayaan, dan di sisi yang lain kita juga tidak boleh melupakan tanpa pencerahan wahyu khusus, pengertian wahyu umum sesungguhnya kabur dan bahkan cenderung ditekan oleh manusia berdosa (Roma 1:21-23). Dalam etno-musik pasti ada respon terhadap pengenalan akan Allah dalam wahyu umum (bayang-bayang dan kabur), namun juga sekaligus produk keberdosaan dan ketidak-taatan manusia.
[8] Sekali lagi menurut Alkitab konsep keindahan tidak dapat dipisahkan dengan kebenaran, kekudusan, kemuliaan dsb.

Bab 11 : DIRENCANAKAN BAGI KESENANGAN ALLAH ?? (Analisa Terhadap Bab 8 Buku Rick Warren)

Bab 11
Direncanakan bagi Kesenangan Allah ??


Pada bab 11 ini, kita akan mencoba menggali masing-masing pengajaran Rick Warren di dalam bab/hari kedelapan dalam renungan 40 harinya. Penggalian ini bisa bersifat positif maupun negatif dari kacamata kebenaran Firman Tuhan, Alkitab. Mari kita akan menelusurinya dengan teliti berdasarkan kebenaran Alkitab.
Tidak usah membahas terlalu jauh, dari judulnya saja, kita dapat menemukan apa yang diajarkan Warren mulai bab ini sudah mulai kacau dan ngawur. Benarkah kita direncanakan bagi kesenangan Allah ? Kalau benar, bukankah berarti bahwa kita itu paling agung bahkan melebihi Allah ? TIDAK. Mari kita akan menelusuri apa yang Warren ajarkan di dalam bab yang aneh ini.
Ayat pembuka bab ini diambil dari Wahyu 4:11 yang dikutip dari terjemahan New Living Translation (NLT), “Engkau telah menciptakan segala sesuatu, dan bagi kesenangan-Mu semuanya itu ada dan diciptakan.

Komentar saya :
Lagi-lagi, penyakit buruk Warren kambuh, ia suka mengutip ayat-ayat Alkitab yang sengaja dicarikan versi terjemahan yang cocok dengan yang ingin ia ajarkan di dalam bab ini. Kata “kesenangan-Nya” tidak ditemukan dalam terjemahan bahasa asli (Yunani), Terjemahan Baru (TB) LAI, Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), King James Version (KJV), International Standard Version (ISV) dan English Standard Version (ESV). ISV dan ESV menggunakan kata will yang tidak menunjukkan kesenangan, tetapi kehendak. Demikian pula, TB LAI dan BIS menggunakan kata “kehendak-Nya”. King James Version (KJV) menggunakan kata pleasure, tetapi kata aslinya adalah thelēma yang berarti choice, will, purpose, decree, desire, dll. Tidak ada satu arti dari kata Yunani thelēma ini yang menunjukkan kesenangan.

Lalu, ia melanjutkan pengajarannya yaitu dengan mendatangkan kegembiraan bagi Allah, hidup bagi kesenangan-Nya, menurut Warren, itulah yang menjadi tujuan pertama hidup manusia dan ini mengakibatkan kita tidak pernah lagi memiliki perasaan yang tidak berarti (Warren, 2005, p. 69)

Komentar saya :
Tujuan pertama hidup kita bukan untuk mendatangkan kegembiraan bagi-Nya, tetapi untuk bersekutu dengan-Nya, sehingga kita tidak bisa hidup tanpa Allah ! Kecenderungan kita bisa minder bisa disebabkan karena kita ditelantarkan dan dibenci oleh orang-orang sekitar kita serta dianggap tidak berguna. Tetapi Allah memang mengasihi manusia dan manusia itu berharga di mata-Nya. Tetapi ingatlah satu hal, meskipun Allah memahkotai manusia dengan kemuliaan karena mereka dicipta segambar dan serupa dengan-Nya, jangan lupa, manusia sudah berbuat dosa dan telah mengurangi kemuliaan Allah. Dari awal sampai bab ini, saya sedikit lagi membaca pengajaran tentang dosa yang dipaparkan oleh Warren. Entah apa alasannya. Kembali, ini disebut paradoks di dalam iman Kristen, yaitu kita memang diciptakan segambar dan serupa dengan Allah, oleh karena itu kita tidak boleh minder, tetapi di sisi lain, kita sudah berdosa, ini mengakibatkan kita tidak boleh terlalu sombong, seolah-olah kita pintar, hebat, dan tidak membutuhkan Allah. Ketidakseimbangan mengajarkan doktrin manusia ini akan berakibat sangat fatal. Misalnya, terlalu menekankan keberhagaan manusia bisa mengakibatkan manusia menjadi sombong dan sok tahu, persis seperti yang saya lihat pada banyak dosen “Kristen” di kampus “Kristen” (?) di mana saya menempuh studi Sastra Inggris ! Banyak dosen “Kristen” baru memiliki pengetahuan sedikit, sudah sombongnya minta ampun, bahkan ada yang mengklaim diri “melayani Tuhan” tetapi anehnya “alergi” mendengar nama Tuhan disebut di dalam perkuliahan. Inilah realita orang “Kristen” abad postmodern, sok tahu dan sombong !

Kemudian, ia melanjutkan penuturannya bahwa kita dapat mendatangkan kesenangan bagi-Nya melalui “penyembahan” (halaman 70). Di dalam poin ini, ia memaparkan,

Tergantung latar belakang agama Anda, Anda mungkin perlu memperluas pemahaman Anda tentang “penyembahan.” Anda mungkin berpikir tentang ibadah minggu dengan menyanyi, berdoa, dan mendengarkan khotbah. Atau Anda mungkin berpikir tentang upacara-upacara, lilin-lilin, dan perjamuan. Atau Anda mungkin berpikir tentang kesembuhan, mukjizat dan pengalaman-pengalaman ekstatis. Penyembahan bisa meliputi unsur-unsur ini, tetapi penyembahan jauh lebih dari sekedar ekspresi-ekspresi ini. Penyembahan adalah gaya hidup. (Warren, 2005, p. 71)

Komentar saya :
Saya mengamati ada tiga kesalahan yang menurut saya sangat fatal.
Pertama, dari kalimat pembuka pada pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa Warren mengajarkan bahwa semua agama itu menyembah Allah, lalu ia hanya ingin memperluas pengetahuan tentang makna “penyembahan”, sehingga masing-masing pemeluk agama bisa “menyembah” Tuhan. Ini jelas salah total ! Dari titik pertama, Warren sudah membuka peluang bagi bidat/ajaran sesat “theologia” religionum/social “gospel” masuk ke dalam keKristenan. Apakah semua agama menyembah Allah ? MUSTAHIL ! Dr. John R. W. Stott, theolog abad 20 yang dikutip oleh Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa agama itu bukan sedang mencari Allah, tetapi melarikan diri dari hadirat Allah. Kok bisa ? Bukankah setiap agama keras-keras meneriakkan bahwa mereka sedang mencari Allah ? TIDAK. Sebenarnya, mengikuti pandangan Feuerbach, agama itu hanya ingin menciptakan ilah-ilah yang cocok dengan idaman manusia sendiri. Mari kita berpikir secara logis, kalau benar semua agama mencari dan bahkan menyembah Allah, mengapa ketika Kristus berinkarnasi dan menjadi manusia, Alkitab menyatakan, “…orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya.” (Yohanes 1:11) Benarkah agama mencari dan menyembah Allah ? TIDAK. Sangat amat mustahil !
Kedua, perhatikan kalimat yang saya garisbawahi yang kedua di mana Warren mengatakan bahwa penyembahan bisa meliputi unsur-unsur beribadah di hari Minggu, mendengarkan khotbah, upacara-upacara, kesembuhan, mukjizat, dll. Dari sini, saya menyimpulkan bahwa Warren tidak bisa membedakan antara penyembahan sejati yang Theosentris dengan penyembahan palsu. Mengapa ? Karena pada poin pertama, ia telah menyetarakan penyembahan sejati di dalam iman Kristen dengan penyembahan palsu dari agama-agama dunia (non-Kristen), lalu disambung dengan pengajaran bahwa mukjizat, kesembuhan, dll itu juga termasuk bagian dari penyembahan. Tidak semua mukjizat, kesembuhan dan hal-hal supranatural itu termasuk bagian dari penyembahan. Bahkan kalau mau dikatakan banyak gereja kontemporer yang pop sangat menggemari ibadah kesembuhan ilahi untuk memuaskan hawa nafsu mereka yang menyesatkan yaitu ingin sembuh, bukan ingin Tuhan. Benarkah ini menyembah Allah ? TIDAK ! Banyak gereja tidak lagi menyembah Allah dengan bertanggungjawab mengajarkan Firman Allah dengan teliti, konsisten, jujur, terintegrasi, tetapi banyak gereja suka menyembah diri ketimbang Allah dengan mengadakan banyak kebaktian yang sebenarnya menurut saya : BUANG-BUANG WAKTU, misalnya mengundang artis menyanyi, menari, dll. Itu SIA-SIA ! Kalau ibadah seperti itu, apa bedanya dengan konser musik dangdut atau konser dunia yang ada sekarang ?! Itu sama sekali tidak bernilai dan memuakkan !
Ketiga, saya tidak pernah menjumpai Alkitab pernah mengajarkan bahwa penyembahan itu adalah gaya hidup ! Penyembahan BUKAN gaya hidup tetapi keharusan ! Ini bukan sekedar perbedaan istilah, tetapi perbedaan esensi. Kalau penyembahan dikatakan sebagai gaya hidup, berarti penyembahan itu bisa berubah-ubah tergantung spirit dan kondisi zaman. Kalau zaman itu postmodern yang me“mutlak”kan kerelatifan ditambah munculnya musik-musik rock, pop, dll, lalu apakah penyembahan juga ikut-ikutan zaman postmodern yang sudah gila ini ?! TIDAK ! Kalau jawabannya ya, maka tidak usah heran, Warren dengan tidak bertanggungjawab mengatakan, “Tetapi tidak ada gaya musik yang alkitabiah !... Musik suatu kelompok etnik bisa kedengaran seperti sebuah keributan bagi kelompok lainnya. Tetapi Allah menyukai keragaman dan menikmati semuanya.” (Warren, 2005, p. 72). Benarkah Alkitab tidak mengajarkan tentang musik ? Secara eksplisit dan terang-terangan jelas tidak, tetapi secara konsep implisit pasti. Perhatikan. Di dalam theologia Reformed, Allah mewahyukan diri-Nya melalui dua sarana, yaitu wahyu umum dan wahyu khusus. Wahyu umum merupakan bukti penyataan diri Allah kepada semua manusia tanpa kecuali melalui cara alam semesta (eksternal) dan hati nurani (internal). Wahyu umum Allah yang internal, hati nurani, diresponi oleh manusia yang berdosa dengan cara menciptakan agama, sedangkan wahyu umum Allah yang eksternal diresponi oleh manusia yang berdosa dengan cara menciptakan kebudayaan (culture). Kalau kita mempelajari budaya, maka musik adalah salah satu produk budaya, dan budaya itu sendiri adalah hasil respon manusia berdosa terhadap alam semesta. Karena manusia yang meresponi wahyu umum Allah sudah berdosa, secara otomatis respon ini pasti mengandung unsur berdosa, sehingga manusia seenaknya sendiri memakai budaya untuk memuaskan keinginan pribadinya, demikian halnya dengan musik, mereka menggunakan musik bukan untuk memuliakan Allah, tetapi untuk memuaskan diri. Yang lebih celaka, gereja Tuhan tidak mau dan sangat malas mempertahankan tradisi musik gereja yang agung sepanjang sejarah, tetapi malahan membuang dan menggudangkannya lalu menghinanya dengan sebutan, “musik yang tidak ada ‘roh kudus’”. Inilah citra “gereja” abad postmodern ! Bukankah Warren sendiri mengajarkan bahwa penyembahan itu bukan untuk kepentingan kita (halaman 72) ? Lalu, mengapa di halaman yang sama, ia mengatakan, “Tetapi Allah menyukai keragaman dan menikmati semuanya.” Bagi saya, ini jelas sangat tidak konsisten ! Kalau penyembahan itu bukan untuk kepentingan kita, tetapi untuk Tuhan, maka jelas, kita menggunakan musik-musik dan seluruh keberadaan hidup kita hanya bagi kemuliaan-Nya. Caranya ? Apakah gereja-gereja harus 100% menggunakan lirik-lirik lagu himne dan membuang lagu-lagu Karismatik/Pentakosta ? TIDAK. Lagu-lagu himne juga ada yang salah, tetapi sebaliknya ada sedikit lagu-lagu rohani kontemporer yang bermutu dan Alkitabiah. Tentang musik, gereja-gereja Reformed tidak pernah sedikitpun berkompromi, mereka hanya menggunakan musik-musik klasik. Apakah ini kuno ? TIDAK. Kalau ini kuno dan perlu dibuang, maka Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa kita tidak perlu makan nasi, karena nasi itu kuno ! Tradisi yang beres dan Alkitabiah harus kita jaga kualitasnya, tetapi kita juga harus rendah hati menerima budaya-budaya kita di zaman postmodern ini yang masih beres dan Alkitabiah. Marilah kita menggunakan semua budaya untuk memuliakan Allah, asalkan budaya itu bukan seperti yang Warren ajarkan bahwa Allah menyenangi keragaman musik bahkan yang ribut sekalipun. Ini jelas salah, karena Allah menghendaki keteraturan, bukan kekacauan (1 Korintus 14:33 ; konteksnya tentang bahasa Roh). Budaya Kristen mutlak berbeda 180 derajat dengan budaya dunia. Budaya Kristen harus dibangun sebagai respon kita sebagai anak-anak Tuhan terhadap wahyu khusus Allah, yaitu Kristus dan Alkitab.


Setelah itu, pada halaman 73, Warren mengajarkan bahwa penyembahan itu berarti segala sesuatu yang kita kerjakan itu hanya untuk memuliakan Allah.

Komentar saya :
Pandangan ini benar. Tetapi pandangan ini berkontradiksi dengan pandangan lainnya antara lain pandangannya yang mengajarkan bahwa penyembahan itu gaya hidup, dll. Dari sini, saya menyimpulkan bahwa konsep sistematika pemikiran Warren di dalam penulisan bukunya sangat kacau (Jawa : amburadul).

Bab 10 : ALASAN UNTUK SEGALA SESUATU ? (Analisa Terhadap Bab 7 Buku Rick Warren)

Bab 10
Alasan untuk Segala Sesuatu ??




Pada bab 10 ini, kita akan mencoba menggali masing-masing pengajaran Rick Warren di dalam bab/hari ketujuh dalam renungan 40 harinya. Penggalian ini bisa bersifat positif maupun negatif dari kacamata kebenaran Firman Tuhan, Alkitab. Mari kita akan menelusurinya dengan teliti berdasarkan kebenaran Alkitab.
Pada bab ini, halaman 59-65, Warren mengajarkan bahwa segala sesuatu dicipta bagi kemuliaan Allah. Ini sangat tepat. Kemuliaan Allah menurut Warren dapat dilihat di sekeliling kita mulai dari kehidupan mikroskopik yang terkecil sampai Bima Sakti yang luas. Inilah yang disebut theologia Reformed sebagai wahyu umum Allah (the general revelation of God), yaitu penyataan diri Allah kepada semua manusia tanpa kecuali melalui sarana alam semesta (eksternal) dan hati nurani (internal). Tetapi wahyu umum Allah bukan satu-satunya cara kita dapat mengenal Allah dan kemuliaan-Nya. Mengapa ? Karena Alkitab menyatakan bahwa dosa telah masuk dan meracuni keseluruhan termasuk alam semesta yang Ia ciptakan. Oleh karena itu, Bapa menyatakan diri-Nya melalui wahyu khusus yaitu Tuhan Yesus Kristus dan Alkitab untuk memimpin umat pilihan-Nya mengenal Allah dan kemuliaan-Nya. Tidak ada jalan lain. Ini juga diajarkan oleh Warren, “Kemuliaan Allah yang termulia tampak dalam diri Yesus Kristus. Dia, Terang Dunia, itu menjelaskan sifat Allah. Karena Yesus, kita tidak lagi buta mengenai rupa sebenarnya dari Allah...” (Warren, 2005, p. 60) Pengajaran ini tepat dan inilah wahyu khusus yang Allah nyatakan hanya kepada umat pilihan-Nya.
Tetapi, Warren juga mengajarkan bahwa sayangnya dosa masuk dan meracuni dunia ini, sehingga manusia sebagai ciptaan Allah gagal mendatangkan kemuliaan bagi-Nya.

Komentar saya :
Hal ini tidak salah, tetapi saya sedikit kurang setuju dengan istilah “mendatangkan kemuliaan bagi-Nya”, saya lebih memilih istilah “memuliakan Allah”. Istilah “mendatangkan kemuliaan bagi-Nya” seolah-olah ingin mengajarkan bahwa Allah itu kurang mulia, sehingga perlu ditambahi oleh tindakan manusia yang memuliakan Allah. Saya tahu bahwa bukan ini yang diajarkan oleh Warren karena ia sendiri mengajarkan, “Kita tidak bisa menambah apapun pada kemuliaan-Nya ini, sama seperti mustahil bagi kita untuk membuat matahari bersinar lebih terang.” (Warren, 2005, p. 60). Lebih baik, Warren menggunakan istilah “memuliakan-Nya”.

Lalu, ia mengemukakan 5 hal yang dapat kita lakukan untuk dapat mendatangkan kemuliaan bagi Allah. Sebelumnya, ia mengemukakan, “Bila sesuatu di dalam ciptaan memenuhi tujuannya, hal tersebut mendatangkan kemuliaan bagi Allah.” (Warren, 2005, p. 61). Dilanjutkan dengan pengajaran bahwa burung-burung dapat mendatangkan kemuliaan bagi Allah ketika mereka terbang, berkicau, membuat sarang, dan melakukan sesuatu yang diinginkan Allah.
Komentar saya :
Pandangan ini memang benar, bahwa kita dapat memuliakan-Nya ketika kita taat mutlak dan hanya menjalankan apa yang Ia perintahkan. Tetapi saya kurang setuju dengan pendapat bahwa Allah begitu mengurusi burung-burung sampai hal-hal terkecil yaitu berkicau, terbang, dll. Allah memang memelihara semua ciptaan-Nya, tetapi tidak untuk hal-hal yang terkecil. Pengajaran ini mirip dengan pengajaran Hyper-Calvinisme yang terlalu menekankan kedaulatan Allah, sampai-sampai tanggung jawab manusia dihilangkan sama sekali, bahkan pandangan Hyper-Calvinisme ini mengajarkan bahwa dosa pun telah ditentukan oleh Allah dan segala sesuatu ada di bawah kontrol-Nya, sampai hal-hal terkecil sekalipun, misalnya rambut, dll. Alkitab mengajarkan bahwa Allah memang adalah Allah yang Berdaulat, tetapi keberdaulatan-Nya tidak meniadakan tanggung jawab manusia. Burung-burung memang dipelihara oleh-Nya (perumpamaan Tuhan Yesus di dalam Matius 6:26), tetapi apakah burung itu terbang, berkicau, dll, itu bukan urusan Allah, tetapi urusan si burung tersebut.

Pada halaman 62-63, ia mengemukakan 5 hal yang dapat dilakukan oleh manusia untuk memuliakan-Nya, yaitu dengan cara : menyembah-Nya, mengasihi orang-orang percaya lainnya, menjadi seperti Kristus, melayani orang lain dengan karunia-karunia kita, dan memberitakan kepada orang lain tentang Dia (memberitakan Injil).

Komentar saya :
Apa yang Warren katakan adalah pengajaran yang tepat. Tetapi saya sedikit kurang setuju dengan pengajarannya poin kedua bahwa kita dapat memuliakan-Nya dengan mengasihi orang-orang percaya lainnya. Kekurangsetujuan saya tidak berarti saya menyalahkan 100% ajaran Warren, tetapi Warren kurang tegas dan jelas menguraikan poin ini. Memang, kita sebagai orang percaya harus mengasihi sesama kita, tetapi apakah mengasihi itu murni mengasihi, artinya tidak ada tindakan menegur sesama kita yang salah dengan prinsip Firman Tuhan ?
Lalu, pada poin ketiga pengajarannya yaitu kita dapat memuliakan Allah dengan menjadi seperti Kristus. Ia memang mengajarkan bahwa Roh Kudus memimpin kita untuk menjadi seperti Kristus dengan memberi kehidupan dan sifat yang baru. Ini jelas tidak salah, karena ini diajarkan oleh Alkitab. Tetapi ia tidak menjelaskan lebih lanjut bahwa kehidupan baru ini adalah kehidupan yang menyangkal diri dengan mematikan kehidupan lama kita yang penuh dosa.

Pada halaman 64-65, ia mengajarkan bahwa Allah mengundang para pembaca bukunya untuk hidup bagi kemuliaan-Nya dengan memenuhi tujuan-tujuan yang untuknya kita telah diciptakan-Nya. Lebih lanjut, ia juga mengatakan, “Kehidupan yang sesungguhnya dimulai dengan menyerahkan diri Anda sepenuhnya kepada Yesus Kristus...” (Warren, 2005, p. 64) Caranya ?
Pertama, percaya. Percaya bahwa Allah mengasihi Anda dan bahwa Ia menciptakan Anda untuk tujuan-tujuan-Nya. Percaya bahwa Anda ada bukan karena kebetulan. Percaya bahwa Anda diciptakan untuk hidup kekal. Percaya bahwa Allah telah memilih Anda untuk memiliki hubungan dengan Yesus, yang mati di kayu salib bagi Anda. Percaya bahwa apapun yang telah Anda perbuat, Allah ingin mengampuni Anda.
Kedua, menerima. Menerima Yesus dalam kehidupan Anda sebagai Tuhan dan Juruselamat Anda. Menerima pengampunan-pengampunan-Nya atas dosa-dosa Anda. Menerima Roh-Nya, yang akan memberi Anda kekuatan untuk memenuhi tujuan hidup Anda... (Warren, 2005, p. 65).

Komentar saya :
Kehidupan sejati memang dimulai ketika kita menyerahkan diri kita kepada Kristus. Tetapi sayangnya penyerahan diri yang dimengerti oleh Warren bukan yang diajarkan oleh Alkitab. Warren mengajarkan bahwa kita perlu percaya dan menerima apa yang Kristus lakukan bagi kita untuk mendapatkan kehidupan sejati. Bahkan, ia sendiri mengajarkan bahwa kita perlu percaya bahwa apapun yang telah kita perbuat, Allah ingin mengampuni kita. Kembali, kata “ingin” dimunculkan oleh Warren, seolah-olah berarti Allah benar-benar membutuhkan manusia, padahal tidak demikian. Benarkah Allah mengampuni kita meskipun kita telah berbuat apa saja ? Di satu sisi, ya, karena Allah mengasihi kita. Di sisi lain, jelas tidak. Dan di sisi lain inilah Alkitab lebih tegas dan jelas mengajarkannya kepada kita. Rasul Yohanes mengajarkan, “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” (1 Yohanes 1:9 ; Terjemahan Baru) Alkitab tidak mengajarkan bahwa ketika kita hanya percaya, maka Ia akan mengampuni dosa kita, tetapi Alkitab dengan tegas mengajarkan bahwa ketika kita mengaku dosa kita atau BERTOBAT, maka Ia itu setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni dosa kita dan menguduskan kita dari segala kejahatan. Allah kita bukan sekedar Mahakasih yang suka mengampuni dosa kita, tetapi Ia juga Mahaadil. Setiap dosa harus dihukum, tetapi Kristus sudah mati bagi dosa-dosa umat pilihan-Nya sebagai bukti keadilan sekaligus kasih-Nya dilimpahkan kepada kita. Kalau Kristus sudah mati bagi kita, apakah kita terus-menerus berbuat sesuka hati kita lalu baru menangis minta ampun di hadapan-Nya ? TIDAK. Alkitab mengatakan bahwa kita harus BERTOBAT dan Allah akan mengampuni dosa kita, lalu Ia juga menyucikan kita dari segala kejahatan. Pengampunan-Nya selalu dilanjutkan pengudusan-Nya (progressive sanctification), sehingga kita terus-menerus hidup di dalam kekudusan yang Allah inginkan.
Apakah cukup hanya dengan percaya dan menerima saja untuk mendapatkan kehidupan sejati ? TIDAK. Warren sendiri mengatakan bahwa kita harus menyerahkan hidup kita kepada Kristus, tetapi ia tidak menjelaskan maknanya. Menyerahkan hidup kita kepada Kristus berarti menjadikan Kristus sebagai Tuhan dan Raja yang memerintah di dalam hidup kita. Mungkin, inilah yang banyak tidak disukai oleh banyak orang Kristen yang mengaku sudah menjadi Kristen puluhan tahun kalau perlu ratusan bahkan ribuan tahun (meskipun pasti tidak ada). Banyak orang “Kristen” hari ini maunya menjadikan Kristus sebagai ban serep kalau sakit langsung menghubungi-Nya untuk minta disembuhkan, kalau susah segera berdoa kepada-Nya minta kekuatan dan penghiburan. Tetapi jarang sekali saya menjumpai orang Kristen yang taat mutlak kepada perintah-Nya meskipun itu bertentangan dengan keinginan dagingnya. Kalau ada orang Kristen yang mau taat mutlak, itulah orang Kristen sejati, bukan sekedar menangis minta ampun, percaya dan menerima Kristus. Bagaimana dengan kita ? Apakah kita mau taat mutlak kepada pimpinan-Nya meskipun itu tidak menyenangkan ?

21 December 2007

Renungan Natal 2007 (3) : KEAGUNGAN INKARNASI : Prinsip Inkarnasi Vs Prinsip Zaman (Denny Teguh Sutandio)

Renungan Natal 2007 (3)



KEAGUNGAN INKARNASI :
Prinsip Inkarnasi Vs Prinsip Zaman


oleh : Denny Teguh Sutandio



Nats : Yohanes 1:1-5, 9-14



“Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya…. Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang datang ke dalam dunia. Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya. Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya. Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya; orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah. Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.”



Hari Natal adalah hari di mana kita merayakan hari kelahiran Tuhan Yesus Kristus. Tetapi apa signifikansi hari kelahiran Kristus ini ? Bukankah semua orang juga merayakan hari ulang tahun (HUT)nya ? Tidak. Hari kelahiran Kristus bukan hari kelahiran biasa, tetapi hari kelahiran yang luar biasa. Mengapa ? Karena hari kelahiran Kristus adalah hari di mana Allah yang Berdaulat dan Berkuasa rela merendahkan diri-Nya menjelma menjadi manusia. Dengan kata lain, hari kelahiran Kristus adalah hari Inkarnasi yang dahsyat sekaligus paradoks. Pada momen Natal ini, kita akan merenungkan beberapa semangat Inkarnasi yang akan dikontraskan dengan semangat zaman dari dunia berdosa, lalu akan ditutup dengan tantangan untuk kembali kepada Kristus melalui pertobatan yang sejati.

Semangat Inkarnasi Vs Semangat Zaman
Mungkin bagi orang Kristen, kata “inkarnasi” bukan kata yang asing. Kita sudah mendengar kata ini beratus kali pada hari Natal atau pada momen ketika kita mempelajari Kristologi (doktrin Kristus), tetapi seberapa dalamkah kita mengerti inkarnasi dan semangat inkarnasi ini ? Apakah kita bisa mengerti dan mengimplikasikan semangat inkarnasi ini di dalam kondisi zaman postmodern yang juga menyuarakan semangat dunia berdosanya ? Biarlah melalui perenungan singkat ini, kita akan dipimpin oleh Roh Kudus untuk menikmati berkat Tuhan melalui kebenaran Firman-Nya tentang semangat inkarnasi yang harus kita wujudnyatakan di dalam kondisi zaman postmodern.

Ada beberapa prinsip Inkarnasi yang dikontraskan dengan prinsip zaman :
Pertama, Inkarnasi berarti Allah menjadi manusia, sedangkan postmodern (yang ditunggangi oleh Gerakan Zaman Baru) mengajarkan manusia menjadi seperti “allah”. Di bagian pertama, kita melihat bahwa semangat Inkarnasi bukanlah konsep murahan, tetapi prinsip/konsep dan semangat yang agung luar biasa, yaitu Allah yang Mahakudus, Mahakuasa, Berdaulat, Kekal, Mahaadil, Mahakasih, dll rela menjadi manusia (tanpa meninggalkan atribut Ilahinya). Mengapa Allah menjadi manusia ? Ia melakukannya karena Ia begitu mengasihi kita (Yohanes 3:16). Kasih Allah memungkinkan Ia mengutus Kristus untuk menebus dosa-dosa umat pilihan-Nya yang berdosa. Dengan tepat sekali, hamba-Nya yang setia, Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam salah satu khotbahnya di Seminar Pembinaan Iman Kristen (SPIK) pernah menuturkan bahwa di dalam Penciptaan, manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah, lalu di dalam Penebusan/Inkarnasi, Allah menjadi/menjelma di dalam gambar manusia (Yoh. 1:14). Semangat inkarnasi ini jelas sangat bertolak belakang dengan semangat dosa yang ada di dalam zaman postmodern ini. Dunia kita sejak zaman Pencerahan (Inggris : Enlightenment ; Jerman : Aufklaerung), romantisisme, sampai abad postmodernisme, menawarkan beragam ide yang berfokus pada manusia. Pencerahan berfokus kepada rasio manusia. Lalu, hal ini menjumpai kegagalan dan diganti oleh romantisisme dengan pencetus pertamanya bernama Friedrich D. E. Schleiermacher yang mengajarkan bahwa agama itu adalah feeling absolute dependency (perasaan kebergantungan mutlak). Romantisisme akhirnya mengarah kepada postmodern sekarang ini yang berfokus pada perasaan manusia, sehingga kebenaran bersifat relatif. Bukan hanya itu saja, zaman postmodern juga ditunggangi oleh spiritualitas Gerakan Zaman Baru (New Age Movement). Pdt. Dr. Stephen Tong menyebutkan bahwa postmodern adalah filsafatnya, dan Gerakan Zaman Baru adalah macam spiritualitas yang sedang mengancam keKristenan. Gerakan Zaman Baru adalah suatu spiritualitas yang merupakan gabungan dari spiritualitas Timur, Buddhisme, Pantheisme, Hinduisme, mistisisme, Orientalisme, dll yang mengajarkan bahwa segala sesuatu adalah “allah”. Ir. Herlianto, M.Th. dalam bukunya Humanisme dan Gerakan Zaman Baru (1990) menyebut Gerakan Zaman Baru (GZB) sebagai model Humanisme Baru atau Humanisme Kosmis (hlm. 31). Beliau menjelaskan bahwa kalau humanisme lama dan humanisme sekuler sebagai dua model humanisme yang menekankan superioritas rasio manusia, maka humanisme baru ini menekankan “pengalaman kemanusiaan yang bersifat mistis dan kosmis, ...” (hlm. 31) Bagi para penganut GZB, manusia memiliki suatu potensi dan energi yang dahsyat yang bisa dikembangkan mencapai keilahiannya yang penuh. Di sini, kita melihat TIDAK adanya pembedaan kualitatif antara Allah sebagai Pencipta dan manusia sebagai ciptaan. Bagi para penganut GZB, manusia identik dengan “Allah”, sehingga tidak heran, berbagai training motivasi yang membangkitkan potensi diri yang “ilahi” ini digemari oleh banyak orang di abad postmodern ini. Sebenarnya, ide dasar dari GZB bukanlah ide yang baru. Pengkhotbah 1:9 mengatakan, “Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.” Seperti kata Pengkhotbah bahwa tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari, maka spiritualitas GZB bukanlah hal baru. Ide dasar dari spiritualitas GZB sudah ditemukan di dalam realita dosa manusia pertama (Adam dan Hawa). Dosa manusia pertama sebenarnya bukan terletak ketika mereka makan buah pengetahuan yang baik dan jahat, tetapi pada ketidaktaatan mereka kepada perintah Allah. Sebelum menciptakan Hawa, Allah berfirman kepada Adam bahwa semua pohon dalam taman Eden boleh dimakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, tidak boleh dimakan oleh Adam, karena pada hari Adam memakannya, ia pasti mati (Kejadian 2:16-17). Perintah Allah sudah sangat jelas dan gamblang. Tetapi apa yang dilakukan Adam dan Hawa ? Mereka tidak taat kepada perintah-Nya. Apa yang mengakibatkan ketidaktaatan tersebut? Ketidaktaatan tersebut diakibatkan oleh diterimanya ide iblis yang mengatakan, “Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.” (Kejadian 3:4-5) Dengan kata lain, ketidaktaatan mereka disebabkan oleh iming-iming iblis tentang bagaimana manusia bisa menjadi seperti Allah, dan iming-iming itu akhirnya diikuti oleh manusia. Di dalam benaknya, manusia pertama berpikir adalah sungguh “indah”nya ketika mereka ingin menjadi seperti Allah, tahu mana yang baik dan yang jahat, dan akhirnya mereka tidak lagi membutuhkan tuntunan dan firman Allah. Jadi, keinginan manusia menjadi seperti Allah yang mengakibatkan mereka tidak taat dan ketidaktaatan itu melahirkan dosa. Itulah Gerakan Zaman Baru. Para penganut GZB tidak ingin tunduk kepada otoritas Allah dan Kebenaran, sebaliknya mereka malahan memberontak dan mereka berpikir bahwa mereka juga adalah “allah”. Tetapi herannya, ketika mereka berpikir bahwa mereka semua adalah “allah”, mereka tidak pernah berpikir bahwa jika benar bahwa semua adalah “allah”, bukankah tidak ada standar kebenaran dan hal ini bisa mengakibatkan terjadinya pertengkaran ? Kalau tidak ada standar kebenaran, bagaimana mereka bisa sampai kepada kesimpulan Gerakan Zaman Barunya ? Bukankah untuk sampai kepada kesimpulan bahwa semua manusia adalah “allah” perlu suatu standar kebenaran yang harus diverifikasi sebelumnya ? Di sinilah letak kegagalan spiritualitas GZB. Bagaimana dengan kita ? GZB banyak bermunculan di dunia postmodern ini, bahkan beberapa sudah meracuni keKristenan. Apa yang harus kita lakukan ? Tidak ada jalan lain, kita sebagai manusia ciptaan harus menyadari natur kita yang dicipta, terbatas, dan berdosa (created, limited and polluted—meminjam istilah dari Pdt. Dr. Stephen Tong). Bukan hanya itu saja, meminjam pengajaran John Calvin, kita dapat mengenal dan mengerti natur kita sebagai ciptaan ketika kita mengenal dan mengerti Allah sebagai Pencipta. Ketika kita mengerti hal ini, kita sadar betapa kita berdosa di hadapan Allah, dan tidak ada jalan lain untuk melepaskan dan menebus kita dari dosa, kecuali melalui inkarnasi Kristus.

Kedua, di dalam Inkarnasi ada hidup dan terang manusia, sedangkan di dalam zaman dunia berdosa hanya ada kematian dan kegelapan. Karena Allah menjadi manusia di dalam Pribadi Kristus, maka hidup manusia memiliki makna sejati dan terang. Mengapa ? Karena hidup manusia sebagai ciptaan memiliki makna sejati ketika hidup itu berkait dengan Sang Sumber Kehidupan (Yoh. 14:6). Dengan kata lain, hidup manusia sejati yang terbatas harus berkait dengan Kekekalan Sejati. Di sini lah segala problematika antara kekekalan dan keterbatasan dapat diatasi. Semua filsafat dan agama dunia tak mampu menyelesaikan kaitan erat antara kekekalan dan keterbatasan, tetapi puji Tuhan, Allah menyatakan diri-Nya secara nyata (tidak tertulis) hanya di dalam Kristus di mana di dalam Dia yang Kekal sajalah ada hidup dan terang bagi manusia yang terbatas. Dia inilah yang akan memimpin langkah hidup kita menuju makna hidup yang sejati melalui proses pengudusan yang dikerjakan oleh Roh Kudus, sehingga umat pilihan-Nya akan bertumbuh makin lama makin sempurna seperti Kakak Sulung mereka yaitu Tuhan Yesus Kristus (Roma 8:29). Sehingga di dalam proses pengudusan ini, kita makin lama makin menemukan terang yang ada di dalam Kristus. Dengan ditemukannya terang itu, kita tidak lagi berada di dalam kegelapan dunia dan kematian (Yohanes 1:5, “Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya.”). Berbeda dari makna Inkarnasi ini, di dalam zaman postmodern (dan abad-abad sebelumnya) kita tidak melihat adanya secercah harapan, terang dan kehidupan. Sejak jatuhnya manusia ke dalam dosa, hubungan antara manusia dengan Allah, manusia dengan diri, manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan alam menjadi terputus. Manusia tidak lagi mencintai Allah dan firman-Nya, tetapi makin lama makin mencintai diri dan materi. Hal ini makin terlihat jelas di dalam abad-abad Pencerahan yang menitikberatkan kebenaran pada superioritas rasio manusia dan abad Postmodern yang menitikberatkan pada relativitas kebenaran. Manusia semakin lama semakin hidup terlepas dari Allah, bahkan sengaja ingin melepaskan diri dari Allah. Tetapi akibatnya ? Apakah mereka menemukan kehidupan dan terang di dalam hidupnya ? Tidak. Mungkin, mereka sesaat menemukan “kebahagiaan” (kesenangan), tetapi itu tidak bernilai kekal. Justru semakin hidup mereka terlepas dari Allah, mereka semakin tidak menemukan arti hidup dan terang di dalam hidupnya, apalagi sukacita sejati. Tidak heran, di dalam zaman kita ini, tingkat bunuh diri bukan makin menurun, tetapi makin naik, ditambah meningkatnya tingkat perceraian, aborsi, free-sex, perilaku homoseksual, transeksual (banci), dll. Semuanya itu membuktikan bahwa hidup manusia yang terlepas dari standar kebenaran Allah menemukan kebingungan, kematian dan kegelapan. Meskipun mereka belum mati final, mereka sudah mencicipi kematian di dunia ini, karena keberdosaan mereka. Bukan hanya itu saja, hidup mereka pun akan menemui kegelapan demi kegelapan, sehingga akhirnya keputusasaan menimpa mereka. Bagaimana dengan kita ? Apakah kita juga menemui keputusasaan di dalam hidup ? Jika ya, saya menantang Anda untuk bertobat, kembalilah kepada Kristus sebagai Sumber Hidup dan Terang manusia yang akan memberikan kepada kita makna hidup sejati dan terang yang ada di dalam hidup kita, sehingga makin lama hidup kita akan menemukan damai dan sukacita sejati meskipun harus menghadapi berbagai penganiayaan, masalah dan penindasan. Maukah Anda sekarang menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi Anda ?

Ketiga, di dalam Inkarnasi ada semangat kerendahan hati, sedangkan di dalam dunia berdosa hanya ada semangat tinggi hati. Ketika Allah mau menjelma menjadi manusia dan mengenakan tubuh manusia (meskipun tidak meninggalkan atribut Ilahinya), itu membuktikan bahwa Ia sangat rendah hati. Kerendahan hati-Nya juga ditunjukkan dengan lahirnya bayi Kristus di kandang binatang. Di dalam pemikiran umumnya, seorang raja yang agung pasti lahir di istana yang mewah. Tetapi bayi Kristus yang adalah Raja di atas segala raja, bahkan Allah Pribadi Kedua itu tidak dilahirkan di istana yang mewah, tetapi di kandang binatang yang hina. Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam Natal Akbar 2007 di Surabaya (13 Desember 2007) memberikan judul khotbahnya, “Juruselamat Dalam Palungan”. Judul ini sangat tepat mengartikan bahwa Kristus yang adalah Raja yang paling agung, Allah itu sendiri bersedia dan rela lahir di kandang binatang yang hina, bau, dan kotor itu. Status-Nya sebagai Raja di atas segala raja tidak mau ditonjolkan, tetapi ditutupi, mengapa ? Apakah Ia munafik ? TIDAK. Justru itu membuktikan bahwa Dia sangat rendah hati. Dia tidak minta dilahirkan di hotel berbintang, istana yang megah, dilayani oleh para pelayan, dll. Dia malahan lahir di kandang binatang, hidup melayani sesuai dengan tugas dari Bapa, bahkan mati disalib, dikubur di dalam kuburan yang dipinjam dari Yusuf dari Arimatea, serta bangkit dari antara orang mati. Semua kehidupan-Nya menunjukkan bahwa Ia benar-benar Anak Allah yang Mahatinggi yang harus dipuji, bukan karena fenomena-fenomena yang membuktikan hal itu, tetapi esensi yang tersembunyi di balik fenomena-fenomena yang kelihatan lemah, hina, dll. Sesuai dengan prinsip kerendahan hati ini, sebagai orang Kristen sejati, kita dituntut untuk hidup rendah hati seperti Kristus juga adalah Pribadi yang rendah hati (Matius 11:29). Bagaimana kita bisa hidup rendah hati ? Rendah hati berarti tidak menonjolkan diri. Rendah hati adalah sikap ingin menyenangkan hati Tuhan dan tidak menuruti keinginan diri yang berdosa. Bagaimana dengan dunia kita ? Dunia kita berbeda total dengan prinsip Inkarnasi. Kalau Inkarnasi mengajarkan dan menuntut kerendahan hati bagi umat pilihan-Nya, maka konsep dunia mengajarkan dan menuntut adanya pemuasan diri (sombong/tinggi hati). Artinya, dunia kita terus mendengungkan konsep bahwa manusia itu hebat, maka mereka harus mengaktualisasi diri (prinsip Abraham Maslow), supaya mereka makin dikenal. Prinsip ini diadopsi oleh mayoritas filsafat dan agama di dunia. Mereka ingin dirinya dikenal, tampak religius, dll. Bahkan di dalam keKristenan, konsep ini pun ada. Beberapa hamba Tuhan dari gereja kontemporer minta diinapkan di hotel berbintang, minta dibayar dengan gaji besar, dll. Kalau tidak, “hamba Tuhan” ini tidak mau berkhotbah (melayani) di gereja yang mengundangnya. Bandingkan perilaku-perilaku ini dengan prinsip Inkarnasi Kristus yang tidak minta dilayani, tetapi melayani. Prinsip ini seharusnya menyadarkan kita bahwa sebagai umat pilihan-Nya di dalam Kristus, kita tidak boleh sombong, tetapi kita harus rendah hati, mintalah agar kiranya Tuhan memurnikan hati dan motivasi kita di hadapan-Nya, sehingga semakin lama kita semakin rendah hati, bersedia dikoreksi dan bertumbuh sesuai pertumbuhan yang diinginkan Tuhan (Efesus 4:13). Sikap rendah hati hanya bisa didapat ketika hati dan motivasi kita terlebih dahulu dimurnikan oleh Tuhan melalui Roh Kudus. Bersiapkah kita untuk dimurnikan Tuhan ?

Keempat, di dalam Inkarnasi ada semangat pengorbanan, sedangkan di dalam dunia berdosa hanya ada semangat mencari untung. Prinsip Inkarnasi terakhir adalah prinsip pengorbanan. Di dalam kerendahan hati-Nya, Kristus memiliki semangat pengorbanan. Pengorbanan berarti ada semangat/hasrat ingin menyenangkan orang lain dengan mengorbankan apapun yang kita miliki. Prinsipnya adalah kita mau menderita, rugi, dll demi sesuatu/seseorang (yang berharga/bernilai). Itulah yang dilakukan Kristus. Di dalam kerendahan hati dan ketaatan-Nya menjalankan kehendak Bapa, Ia mengorbankan hidup-Nya. Dari lahir, Ia harus mengorbankan tubuh mungil-Nya untuk diletakkan di dalam palungan di kandang binatang. Di dalam masa hidup-Nya, Ia banyak difitnah oleh orang lain bahkan oleh para pemimpin agama pada waktu itu (ahli Taurat). Ketika memberitahu tentang penyaliban-Nya, Ia sempat tidak dimengerti oleh Petrus yang “menasehati”-Nya agar Dia tidak usah disalib (Matius 16:22). Salah satu “murid”-Nya, Yudas Iskariot mengkhianati-Nya dengan menjual Yesus dengan tiga puluh keping perak (Matius 26:15) dan akhirnya mati gantung diri (Matius 27:3-5). Pengorbanan-Nya yang terbesar ditunjukkan ketika Ia harus menyerahkan diri-Nya untuk disalib di Golgota. Ketika kita melihat banyaknya pengalaman pahit yang harus dialami-Nya, kita harus menyadari bahwa itu semua dilakukan-Nya untuk mengasihi dan menebus umat pilihan-Nya yang berdosa. Kasih-Nya kepada umat pilihan-Nya sangat besar, sehingga Ia rela membayar harga sebesar apapun untuk menunaikan tugas dari Bapa-Nya untuk menebus kaum pilihan-Nya. Seperti Kristus yang rela berkorban bagi kita, kita pun dituntut untuk hidup rela menyangkal diri. Hidup berkorban identik dengan hidup menyangkal diri. Jangan pernah berkorban demi sesuatu yang fana/tidak kekal. Tetapi berkorbanlah demi sesuatu yang bernilai kekal. Berkorban untuk sesuatu yang kekal itulah hidup yang menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Kristus (Matius 16:24). Pdt. Dr. Stephen Tong mengartikan hidup menyangkal diri sebagai hidup yang sinkron dengan kehendak Tuhan, yaitu mencintai apa yang dicintai oleh Tuhan dan membenci apa yang dibenci oleh Tuhan. Sebagaimana Kristus telah melakukan hal tersebut bagi kita, kita pun dituntut untuk hidup meneladani Kristus. Hidup menyangkal diri adalah hidup yang tidak menghiraukan hidup mati, untung rugi sendiri, tetapi rela menyerahkan nyawa kita demi Kristus. Sebelum dijamah Tuhan, Paulus (Si Kecil) yang dulu bernama Saulus (Si Besar) ingin menganiaya jemaat Kristus. Ia menuruti ambisi dirinya yang berdosa. Tetapi puji Tuhan, setelah ia dijamah oleh Kristus sendiri dalam perjalanan menuju ke Damsyik, ia dipulihkan. Dulu ia berambisi untuk membunuh jemaat Kristus, sekarang ia “berambisi” dan berapi-api melayani Tuhan dengan memberitakan Injil Kristus meskipun harus mengalami penderitaan dari para ahli Taurat, orang-orang lain bahkan mengalami karamnya kapal, dan berbagai rintangan lainnya. Ia melakukan semuanya hanya demi Kristus. Di dalam Kisah Para Rasul 20:24, ia berkata, “Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikitpun, asal saja aku dapat mencapai garis akhir dan menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia Allah.” Di dalam Filipi 1:21, Paulus berani mengatakan, “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.” Hal yang sama juga terdapat di dalam Filipi 3:7-8, di mana Paulus juga mengatakan, “Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus,” Mengapa Paulus bisa mengatakan hal-hal yang agung tersebut ? Karena ia telah ditempa oleh Tuhan untuk menjadi rendah hati dan siap berkorban apapun demi Kristus. Bandingkan hal ini dengan semangat zaman kita yang tidak mau mengorbankan diri, tetapi gemar mengorbankan orang lain demi kesenangan diri (win-win solution). Zaman kita sungguh menakutkan dan mengerikan. Manusia tidak segan-segan memanfaatkan orang lain demi kesenangannya sendiri. Bahkan yang lebih mengerikan, anak tidak segan-segan membunuh orangtuanya sendiri hanya karena permintaannya (yaitu minta dibelikan sepeda motor atau HP) tidak dipenuhi oleh orangtua. Saudara tidak segan-segan menghasut saudara lainnya hanya supaya bisa mengeruk keuntungan saudara lainnya. Sehingga Amsal 18:24 sampai berkata, “Ada teman yang mendatangkan kecelakaan, tetapi ada juga sahabat yang lebih karib dari pada seorang saudara.” Di sini kita melihat parahnya dunia berdosa yang makin lama makin rusak. Bagaimana dengan kita ? Apakah kita ikut-ikutan rusak atau kita dipanggil menjadi duta Kristus untuk siap berkorban bagi Kristus dengan memberitakan Injil ? Di tengah arus dunia postmodern yang makin tidak menentu dan tidak berpengharapan ini, biarlah semangat Inkarnasi yaitu semangat berkorban mencerahkan dan mendorong hati dan pikiran serta tindakan kita untuk memberitakan Injil dan rela membayar harga demi Injil tersebut. Ketika kita rela mengorbankan apapun demi Kristus, percayalah, jerih payah kita tidak akan pernah sia-sia, mengapa ? Karena Kristus sendiri bersabda, “Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.” (Matius 5:10-12).


Di tengah arus dunia berdosa yang semakin gelap, tak menentu, tak berarah, tak bermakna, bahkan putus asa ini, kepada siapakah kita meletakkan dasar hidup kita ? Kepada diri sendiri atau harta atau orang lain yang hebat/baik, dll ? Ataukah kita dengan kerendahan hati mengaku bahwa kita yang terbatas harus mendasarkan hidup hanya kepada Allah, Sang Pencipta dan Sumber Kehidupan, sehingga hidup kita menjadi bermakna ? Biarlah perenungan di momen Natal ini menjadi perenungan dan komitmen hidup dan hati kita di hadapan-Nya bahwa di dalam kehidupan kita sebagai anak-anak-Nya di dalam Kristus, kita hanya mau menTuhankan dan meRajakan Kristus di dalam kehidupan kita, sehingga nama-Nya sajalah yang dipermuliakan sampai selama-lamanya. Maukah kita berkomitmen demikian ? Ingatlah : ada pengharapan sejati di dalam Kristus di hari Natal. Selamat Natal. Kiranya Tuhan Yesus memberkati. Soli Deo Gloria. Solus Christus. Amin.