06 December 2009

Bagian 4

IV. KESIMPULAN DAN TANTANGAN
Setelah mengerti konsep lebay-isme dan pengobatannya, maka sebagai kesimpulan dan tantangan, saya akan mengusulkan bagaimana orang Kristen hidup normal. Orang Kristen yang beres adalah orang Kristen yang hidup secara normal yaitu hidup yang selalu berfokus pada Allah dan firman-Nya. Orang ini akan menyadari bahwa hidup ini adalah dari Allah, oleh Allah, dan untuk/bagi Allah, sehingga hidupnya akan dipakai bukan mengurus hal-hal yang tidak penting, namun hanya untuk kemuliaan Allah. Ia lebih mementingkan esensi ketimbang fenomena (meskipun TIDAK berarti harus membuang semua fenomena—jangan lebay lagi ya…). Ia juga akan mewarnai hidupnya makin lama makin bijaksana di dalam melihat segala sesuatu. Ia tidak akan langsung mengeneralisasi segala sesuatu dan sok tahu dengan segala sesuatu, namun ia akan hidup secara paradoks. Artinya, ia akan hidup berpegang pada prinsip yang tegas dari firman Tuhan, namun ia TIDAK menjadi aneh di mata dunia. Seluruh aspek hidupnya hanya tertuju pada Kebenaran Firman Tuhan, namun ia tidak kaku di dalam hidupnya. Ia seorang yang peka terhadap pimpinan Roh Kudus, peka terhadap kondisi zaman, peka terhadap segala sesuatu, dan terakhir (dan terpenting) peka juga menebus zamannya kembali kepada Kristus. Ia seorang Kristen yang cinta Tuhan, taat, namun tetap gaul (sesuai batas).

Bagaimana dengan kita? Apa yang menjadi respons kita setelah merenungkan tema lebay-isme ini? Masihkah kita lebay di dalam hidup kita? Ataukah kita sudah bertobat dari kebiasaan lebay ini? Biarlah Roh Kudus memimpin kita untuk lebih mengerti firman-Nya dan arti menjadi seorang Kristen yang beres, normal, dan bertanggungjawab di hadapan-Nya. Amin. Soli Deo Gloria.

Bagian 3

III. KEKRISTENAN MENGOBATI LEBAY-ISME
Bagaimana Kekristenan menghadapi dan mengobati penyakit lebay­-isme? Saya akan memberikan dua hal, yaitu dasar presuposisi dan tindak lanjut sebagai reaksi/aplikasi dari dasar presuposisi tersebut.
A. Dasar Presuposisi
Sebelum kita menentukan sikap menghadapi dan mengobati penyakit lebay-isme, mari kita memikirkan dasar pikir kita tentang sikap kita. Ada dua poin presuposisi kita:
1. Ada Kemutlakan: Alkitab
Prinsip pertama Kekristenan yang jelas dan bertanggungjawab adalah Kekristenan yang orthodoks percaya bahwa Alkitab adalah firman Allah yang tertulis yang memberitakan Kebenaran kepada umat-Nya. Dengan demikian, Kekristenan yang sehat, normal, dan bertanggungjawab berpegang teguh pada otoritas Alkitab sebagai satu-satunya standar mutlak bagi doktrin (pengajaran) dan kehidupan Kristen yang sehat, normal, bertanggungjawab, dan memuliakan Allah. Semboyan Reformasi dari Dr. Martin Luther yang terkenal adalah Sola Scriptura (=hanya Alkitab). Namun, sayangnya semboyan ini hanya dipelajari di otak atau/dan diucapkan di mulut oleh beberapa orang Kristen bahkan “pemimpin gereja”, namun hampir tidak pernah diimplikasikan di dalam khotbah dan kehidupan Kristen sehari-hari. Patutkah jika seorang “Kristen” bahkan “pemimpin gereja” mulai meragukan otoritas Alkitab? TIDAK PATUT! Jika ada orang seperti demikian yang meragukan otoritas Alkitab, dengan otoritas apa/siapa si “pemimpin gereja” tersebut berkhotbah? Otoritas diri sendiri atau pengajarannya sendiri? Jika demikian, layakkah otoritas diri dan ajarannya dijadikan patokan kebenaran bagi jemaat Kristen? Jika orang demikian mengatakan layak, di titik tersebut, “pemimpin gereja” tersebut harus segera dicopot dari pemimpin gereja, karena sudah meninggikan diri dan menghina Allah. Kembali, ketika kita belajar dan mengakui otoritas Alkitab, maka kita harus menerima pengakuan iman tersebut beserta konsekuensi logis dan praktisnya. Ketika Alkitab menjadi otoritas bagi ajaran dan kehidupan Kristen kita, maka:
a) Semua pengajaran (Kristen) harus diuji berdasarkan Alkitab
Konsekuensi pertama pengakuan iman tentang otoritas Alkitab adalah semua pengajaran baik Kristen maupun duniawi harus diuji berdasarkan Alkitab.
Pertama, pengajaran Kristen. Semua pengajaran Kristen yang beres harus dibangun di atas dasar Alkitab dengan penafsiran yang dapat dipertanggungjawabkan keakuratannya. Memang benar di zaman postmodern, aliran-aliran Kristen bermunculan di mana-mana dan herannya mereka mengklaim “Alkitabiah.” Benarkah mereka Alkitabiah? Bukankah mereka yang mengklaim “Alkitabiah” juga mendasarkan ajaran-ajarannya pada Alkitab? Dari mana kita mengetahui bahwa mereka “Alkitabiah”? Semua yang mengklaim “Alkitabiah” tidak menjamin mereka benar-benar mengerti totalitas Alkitab. Saya harus mengatakan satu hal penting: tidak ada satu aliran Kristen yang seharusnya mengklaim diri Alkitabiah. Mengapa? Karena jika ada satu aliran Kristen mengklaim diri Alkitabiah menandakan bahwa aliran tersebut sudah merasa diri paling benar dan itu menunjukkan kesalahan aliran tersebut. Adalah lebih bijaksana, mengutip perkataan Pdt. Dr. Stephen Tong, jika kita mengganti kata “Alkitabiah” dengan kata “mendekati Alkitab” jika ajaran-ajaran kita benar-benar mendekati Alkitab dengan prinsip penafsiran yang ketat dan bertanggungjawab. Kembali, bagaimana kita mengetahui bahwa aliran yang mengklaim “Alkitabiah” itu benar-benar Alkitabiah? Apakah kita hanya melihat buktinya bahwa pendiri atau penganut aliran tersebut memegang dan membaca Alkitab? TIDAK. Tidak semudah itu. Kita bisa menguji suatu ajaran dari aliran tertentu dalam Kekristenan bukan hanya dengan membaca Alkitab, tetapi dengan mengerti Alkitab secata totalitas dan komprehensif. Artinya, kita mengerti Alkitab bukan asal main comot ayat lalu ditafsirkan seenaknya sendiri, seperti metode penafsiran ala postmodernisme yang semau gue. Namun, kita mengerti Alkitab secara terintegrasi dari Kejadian s/d Wahyu. Misalnya, keselamatan Kristen apakah karena iman atau iman + perbuatan baik atau perbuatan baik saja? Penganut Katolisisme dan Arminianisme percaya bahwa keselamatan Kristen karena iman + perbuatan baik. Jika orang Kristen hanya beriman saja tanpa berbuat baik, maka mereka akan kehilangan keselamatan. Mereka mendasarkan pengajaran mereka dari Filipi 2:12 dan Yakobus 2:14-26. Kedua nats Alkitab yang dikutip tersebut memang tidak salah dan benar-benar menjelaskan tentang pentingnya perbuatan baik demi kemuliaan Allah. Namun sayang, jika suatu doktrin dibangun hanya dari kedua nats Alkitab tersebut, maka doktrin tersebut berbahaya, karena tidak memerhatikan pengajaran lain di Alkitab. Di bagian lain, Rasul Paulus dengan jelas dan gamblang mengajarkan, “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.” (Ef. 2:8-9) Perhatikan, Paulus mengajar bahwa keselamatan kita yang diperoleh melalui iman itu meliputi dua hal yang saling berkaitan erat, yaitu: pertama, merupakan anugerah/pemberian Allah dan kedua, bukan hasil pekerjaan manusia. Berarti keselamatan kita murni 100% adalah anugerah Allah dan tidak ada unsur jasa baik manusia sedikit pun juga. Bukankah pengajaran Paulus ini begitu jelas? Hal yang sama ditekankan Paulus melalui suratnya kepada jemaat di Roma, “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah, dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus.” (Rm. 3:23-24) Kembali, Paulus mengajar kita bahwa kita dibenarkan di hadapan Allah bukan karena jasa baik kita, namun karena kasih karunia Allah. Malahan, di bagian ini, Paulus dengan jelas mengaitkan ayat 23 dan 24 dengan menunjukkan satu prinsip: karena semua orang telah berdosa dan mengurangi kemuliaan Allah (mengikuti terjemahan Alkitab bahasa Inggris), maka kita dibenarkan di hadapan Allah bukan karena jasa baik kita (yang tentu berdosa), namun karena anugerah/kasih karunia Allah.
Lalu, benarkah jika kita hanya beriman dan tidak berbuat baik, kita bisa kehilangan keselamatan? Seolah-olah jika kita memerhatikan kutipan ayat Alkitab dari pihak Arminian yang mengajarkan tentang kehilangan keselamatan, kita mungkin dengan mudahnya terkecoh dan menyetujuinya. Namun sayang, sekali lagi, kutipan ayat Alkitab dari pihak Arminian selalu di luar konteks atau tidak memerhatikan konteks yang ada dan tidak memerhatikan bagian-bagian Alkitab yang sudah jelas mengajar bahwa keselamatan di dalam Kristus tidak akan pernah mungkin bisa hilang. Ada dua argumentasi menjawab konsep ini: argumentasi Alkitab dan argumentasi logika Kristen. Argumentasi pertama didasarkan pada perkataan Tuhan Yesus sendiri di dalam Yohanes 10:27-29, “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku, dan Aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya dan seorangpun tidak akan merebut mereka dari tangan-Ku. Bapa-Ku, yang memberikan mereka kepada-Ku, lebih besar dari pada siapapun, dan seorangpun tidak dapat merebut mereka dari tangan Bapa.” Konteks dari ketiga ayat ini adalah pada saat itu Tuhan Yesus sedang mengajar tentang diri-Nya sebagai Gembala (ay. 1 dan 14). Tuhan Yesus seperti gembala domba yang menggiring domba-dombanya. Penjelasan yang Ia berikan tentang gembala domba dan domba-dombanya begitu jelas mengajar kita bahwa gembala domba tidak akan pernah meninggalkan domba-dombanya bahkan rela berkorban demi domba-dombanya (ay. 11-12, 14-15, 17). Konsep ini juga ditekankan oleh Tuhan Yesus sendiri di dalam perumpamaan tentang domba yang hilang di Lukas 15:1-7. Perikop ini mengajarkan bahwa Kristus seperti gembala yang mencari domba yang tersesat dan bersukacita jika si gembala menemukan domba tersesat itu. Jika gembala domba rela mencari domba yang tersesat, maka logiskah jika gembala itu kemudian meninggalkan domba itu gara-gara domba itu nakal? Dengan demikian, dari dua pengertian ini, kita bisa mengerti alasan Tuhan Yesus mengatakan bahwa Kristus yang mengenal dan memberikan hidup kekal kepada mereka adalah Kristus yang menjamin bahwa mereka PASTI tidak akan binasa sampai selama-lamanya dan tidak seorang pun yang dapat merebut mereka dari tangan-Nya. Hal ini ditambah dengan penjelasan Kristus bahwa Bapa yang memberikan umat pilihan itu kepada Kristus dan Bapa itu lebih besar dari siapa pun. Kepastian inilah yang mengakibatkan tidak mungkin ada yang bisa merebut umat pilihan dari tangan Bapa. Bukankah jaminan ini benar-benar menguatkan dan menghibur umat-Nya bahwa mereka tidak akan pernah kehilangan keselamatan?
Kedua, argumentasi logika Kristen. Kalau kita mau menggunakan logika Alkitab, maka kita bisa menemukan dasar pikirnya. Di dalam Roma 3:23-24 dan Efesus 2:8-9, Paulus sudah menjelaskan bahwa kita dibenarkan di hadapan Allah dan diselamatkan bukan karena jasa baik kita, namun karena anugerah Allah. Nah, dari dasar pikir ini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa keselamatan itu mutlak 100% adalah kedaulatan Allah. Jika demikian, jika Allah yang telah menyelamatkan umat-Nya, logiskah Ia sendiri menarik keselamatan itu karena umat-Nya tersebut murtad atau tidak berbuat baik? Jika pola pikir demikian “benar”, maka sungguh mengasihankan “Allah” demikian, karena “Ia” yang melakukan rencana agung-Nya, “Ia” pulalah yang mengubah rencana-Nya. Benarkah Allah bisa dengan mudahnya mengubah rencana-Nya hanya gara-gara “Ia” putus asa dan kecewa dengan tindakan manusia yang mendukakan hati-Nya? “Allah” seperti apakah itu? Itu jelas bukan Allah yang diberitakan Alkitab. Allah versi Alkitab adalah Allah yang Kekal, Mahatahu, Mahabijaksana, Mahakudus, Mahakasih, Mahaadil, Mahakuasa, dan Mahaagung yang tidak mungkin bisa terkaget-kaget dengan fenomena-fenomena yang terjadi. Ia sudah mengetahui segala sesuatu karena Dia Allah. Sedangkan kita adalah manusia biasa yang diciptakan-Nya yang bisa terkaget-kaget dengan fenomena. Jika “Allah” bisa terkaget-kaget kemudian mengubah rencana karena bete dengan umat-Nya, maukah Anda percaya pada “Allah” yang demikian? Kalau saya pribadi, saya tidak mau, karena “Allah” yang demikian tidak ada bedanya dengan manusia yang mudah berubah kalau lagi bete, heheheJ

Kedua, pengajaran dunia. Ada dua pandangan lebay dari Kekristenan berkenaan dengan pandangan dunia? Ada yang terlalu mudah menerima semua pengajaran dunia tanpa mau diuji berdasarkan Alkitab dan ada juga yang terlalu gegabah menolak semua pengajaran dunia karena semua pengajaran dunia, katanya, bertentangan dengan Alkitab. Pandangan lebay pertama diwakili oleh beberapa (atau mungkin banyak?) golongan Kristen Protestan arus utama (termasuk di dalamnya beberapa Katolik) yang hampir menjadi liberal terselubung. Tidak heran, seorang “pendeta” dari gereja Protestan bisa dengan mudahnya mendukung feminisme ekstrem dan (berencana) mengganti kata “Bapa” di dalam Doa Bapa Kami. Pandangan lebay kedua diwakili oleh beberapa (atau mungkin banyak) Pentakosta/Karismatik. Tentang pandangan kedua ini, saya memiliki contoh nyata yang saya dengar dari seorang teman kuliah saya dahulu yang bergereja di salah satu gereja Karismatik terkenal di Surabaya. Seorang pendeta yang masih muda dari gereja Karismatik terkenal di Surabaya pernah mengajar bahwa jemaatnya tidak diperbolehkan membaca atau menonton The Da Vinci Code. Lucu bukan? Jemaatnya tidak boleh membaca atau menonton The Da Vinci Code, tolong tanya, apakah si pendeta sudah membaca/menontonnya? Saya menduga, pasti sudah. Mengapa? Karena jika belum membaca atau menonton, maka si pendeta tidak mungkin bisa melarang jemaatnya untuk membaca atau menontonnya. Inilah gejala kekanak-kanakan iman.
Lalu, bagaimana sikap Kristen yang beres? Semua pandangan dunia harus diuji berdasarkan Alkitab. Mengapa? Karena mayoritas pengajaran dunia dibangun di atas dasar asumsi manusia berdosa, jadi, sebagai orang Kristen, sangatlah wajar jika kita meletakkan semua pengajaran dunia di bawah penghakiman Alkitab. Setelah menghakimi semua pengajaran dunia dengan dasar uji Alkitab, maka apa yang harus kita lakukan kemudian? Ada dua hal yang harus kita lakukan: mempelajari dan menerima pengajaran dunia yang tidak bertentangan dengan Alkitab dan kedua, tetap mempelajari dan menolak pengajaran dunia yang bertentangan dengan Alkitab. Perhatikan kata-kata yang saya garis bawahi. Bagi pengajaran dunia yang sesuai dengan Alkitab, kita harus mempelajari dan menerimanya. Namun bagi pengajaran dunia yang bertentangan dengan Alkitab, kita tetap mempelajarinya namun menolaknya. Mengapa demikian? Mengapa kita tetap mempelajari pengajaran dunia yang melawan Alkitab? Jika ada yang bertanya demikian, saya akan bertanya balik, mengapa kita tidak mau mempelajari pengajaran dunia yang melawan Alkitab? Apakah kita takut bahwa pengajaran dunia yang melawan Alkitab itu nantinya memengaruhi kita? Jika ya, itu membuktikan bahwa iman dan pengertian orang itu akan Alkitab masih rendah dan kekanak-kanakan yang mudah ditipu. Jika orang Kristen benar-benar dewasa dalam iman tidak akan takut ditipu oleh pengajaran dunia, maka ia akan tetap mempelajari semua pengajaran dunia yang melawan Alkitab sekalipun, namun bedanya ia TIDAK akan menyetujuinya. Lalu, apa tujuan mempelajari pengajaran dunia yang melawan Alkitab? Ya, untuk melihat kreativitas sekaligus keberdosaan manusia yang melawan Allah. Dari pengajaran dunia yang melawan Alkitab, kita bisa sisi positif dan banyak sisi negatif/kelemahan dari ajaran tersebut.

Biarlah kita semakin bijaksana mempergunakan Alkitab sebagai dasar uji bagi pengajaran baik Kristen maupun dunia.

b) Semua praktik hidup Kristen harus diuji berdasarkan Alkitab
Bukan hanya pengajaran, seluruh praktik hidup Kristen harus diuji berdasarkan Alkitab. Artinya, Alkitab berhak menghakimi praktik hidup Kristen yang jelas-jelas tidak beres. Contoh, praktik KKN, aborsi, euthanasia, dll ditentang oleh Alkitab. Namun di zaman postmodern dengan hadirnya etika situasi dari Joseph Fletcher mengakibatkan beberapa atau mungkin banyak orang Kristen mulai mengkompromikan standar etika Kristennya. Etika tidak lagi didasarkan pada prinsip Alkitab yang tegas, namun didasarkan pada situasi dan kondisi. Tidak heran, di suatu negara, di dalam gereja, ada “pendeta/uskup” homo/lesbian atau yang melegalkan (memberkati) pernikahan sesama jenis. Belakangan ini saya mendengar dari seorang rekan dan dikonfirmasi oleh pendeta dari sebuah gereja Injili Karismatik, di Indonesia sendiri ada seorang “pemimpin gereja” yang juga menulis buku membentuk persekutuan di Surabaya yang terdiri dari mayoritas anak-anak muda (cewek), kemudian setelah persekutuan tersebut, si “pemimpin gereja” melakukan free-sex dengan para gadis tersebut. Namun si “pemimpin gereja” masih mengklaim dirinya “nabi.” Luar biasa mengerikan. Tidak hanya itu saja, konsep berdusta pun sekarang diperhalus. Sekarang ada pembedaan antara: bohong putih (white lies) dan bohong hitam. Bohong putih itu artinya berdusta demi tujuan kebaikan, sedangkan bohong hitam artinya berdusta bukan bertujuan kebaikan. Dengan kata lain, standarnya bukan lagi kebenaran, namun kebaikan. Seorang rekan gereja saya membedakan dua kata ini: kebenaran vs kebaikan. Kebenaran bisa mengandung unsur kebaikan (namun juga bisa tidak baik) menurut manusia. Namun, kebaikan TIDAK selalu mengandung unsur kebenaran. Baik menurut standar manusia belum tentu baik dan benar menurut standar Allah. Perbedaannya: baik menurut standar manusia biasanya berarti menyenangkan, menguntungkan, dan bermanfaat. Jika tidak bermanfaat dan terus merugikan, maka biasanya orang mencapnya tidak baik. Asas manfaat memang ada sisi positifnya, karena tidak mungkin sesuatu dikerjakan tanpa ada manfaat sama sekali, namun asas manfaat ini jangan dijadikan patokan segala-galanya. Jika asas manfaat dijadikan patokan segala-galanya, ada yang tidak beres dengan diri kita, karena dengan menjadikan asas manfaat sebagai patokan segala-galanya, kita terlalu memberhalakan fenomena lebih daripada esensi.

Setelah mengerti bahwa semua praktik hidup Kristen harus diuji berdasarkan Alkitab, maka apa yang harus kita lakukan?
Pertama, taat. Problematika utama Kekristenan bukan masalah ketidaktahuan atau ketidakmengertian, namun ketaatan. Fakta membuktikan beberapa (atau mungkin banyak?) orang Kristen sudah mengetahui dan mengerti begitu banyak doktrin Kristen yang beres, namun sayangnya, tidak mau menaatinya dengan menjalankannya. Bagi orang ini, mengenal Allah identik dengan mengerti begitu banyak doktrin. Padahal hal tersebut salah. Prof. J. I. Packer, D.Phil. di dalam bukunya Knowing God membedakan realitas antara mengenal Allah vs mengenal tentang Allah. Dr. Packer menyimpulkan satu prinsip, “Pengetahuan yang sedikit dari Allah lebih berharga daripada pengetahuan yang banyak tentang Dia.”[1] Dari prinsip ini, Dr. Packer mengemukakan dua hal: “Seseorang dapat mengetahui banyak tentang Allah tanpa banyak mengenal-Nya.”[2] dan “Seseorang dapat mengetahui banyak tentang kesalehan tanpa banyak mengenal-Nya.”[3] Lalu, apa arti mengenal Allah? Dengan bijaksana, Dr. Packer mengemukakan definisi dari mengenal Allah, “mengenal Allah mencakup, pertama, mendengarkan firman Allah dan menerimanya sebagaimana Roh Kudus menafsirkannya, serta menerapkannya pada diri sendiri; kedua, memperhatikan sifat dan karakter Allah, seperti dinyatakan melalui firman dan karya-Nya; ketiga, menerima undangan-Nya, dan melakukan apa yang Ia perintahkan; keempat, menyadari dan bersukacita di dalam kasih yang telah IA tunjukkan saat Ia mendekati Anda dan menarik Anda ke dalam persekutuan ilahi itu.”[4] Saya akan meringkaskan empat hal yang Dr. Packer paparkan. Mengenal Allah mencakup: mendengar dan menerima Firman, mengerti Firman, menerima undangan Allah dan menjalankannya, dan bersukacita di dalam Allah melalui firman-Nya. Dari ringkasan ini, kita menemukan seluruh totalitas hidup kita (hati, pikiran, afeksi, dan tindakan) dikaitkan dengan Allah. Ketika kita mengenal Allah, secara otomatis kita terus berkomitmen untuk menaati apa yang diperintahkan-Nya, meskipun tentu hal ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ketaatan membutuhkan suatu proses dan di dalam proses itu membutuhkan kerelaan dan komitmen. Relakah kita taat pada firman Allah atau pada nafsu diri kita? Kedua, berkomitmenkah kita untuk terus menjalankan firman-Nya meskipun ada pencobaan menghadang perjalanan iman kita?

Kedua, rendah hati. Bukan hanya taat, kita dituntut untuk rendah hati di hadapan-Nya. Ada orang Kristen yang sudah belajar banyak doktrin, namun kurang memperhatikan satu aspek ini: rendah hati. Dia tahu bahwa perbuatan tertentu itu salah, namun dia dengan mudahnya membuat suatu argumentasi untuk mendukung perbuatan itu. Jika orang ini ditegur, dia bukannya rendah hati, malahan berargumentasi, “who say, who pay.” Konsep “who say, who pay” memang ada benarnya dan hal ini menghindari agar orang Kristen jangan sembarangan memberikan usulan namun tidak mau terlibat dan bertanggungjawab. Namun jika konsep ini diekstremkan (di-lebay-kan) dan diaplikasikan di dalam kehidupan Kristen sehari-hari dengan motivasi dan tujuan tidak beres, misalnya: tidak mau menerima sumbangan saran apa pun, itu bisa berbahaya. Dengan kata lain, selain taat, orang Kristen yang beres harus rendah hati. Rendah hati bukan rendah diri! Rendah diri berarti minder dan tidak mengakui anugerah Allah berupa talenta dan kelebihan atas dirinya. Namun rendah hati berarti dengan kerelaan hati siap ditegur jika kita bersalah. Meskipun kita harus tetap berwaspada bahwa tidak semua teguran itu beres, komprehensif, dan benar, namun kita tidak boleh lebay lagi lalu menolak semua teguran dan menganggap bahwa konsep kita sendiri yang paling benar dan bijaksana. Berhati-hatilah terhadap konsep-konsep dan aplikasi-aplikasi lebay, karena itu bisa berbahaya. Mengapa kita perlu rendah hati menerima teguran dari orang lain? Karena kita harus mengakui keterbatasan kita sebagai manusia yang kadang lemah iman atau kurang bijaksana. Di saat itulah, Tuhan mengirim hamba Tuhan, orangtua, rekan, pasangan hidup, teman kita untuk menegur kita. Bagi orang yang menegur orang lain, camkan satu hal: jangan sombong! Saya menjumpai ada orang “Kristen” yang menegur kesalahan orang lain, lalu dia menjadi sombong dan berkata dengan terus terang bahwa tanpa dirinya, orang lain itu tidak bisa apa-apa. Dengan kata lain, kerendahan hati harus dimiliki oleh semua orang tanpa kecuali. Jangan berpikir bahwa karena kita menegur orang lain, maka kita bisa lepas dari sikap rendah hati. Sekali lagi, introspeksi diri kita masing-masing!

2. Ada Kerelatifan
Selain kebenaran absolut/mutlak, Kekristenan juga mengakui adanya hal-hal yang relatif. Artinya, hal-hal relatif tersebut biasanya tidak ditekankan oleh Alkitab, namun diajarkan secara implisit di Alkitab. Contohnya, baptisan anak. Dari Perjanjian Lama sampai dengan Perjanjian Baru, konsep ini berlanjut secara implisit. Rev. Prof. Richard L. Pratt, Jr., Th.D. di dalam kuliahnya Why Do We Baptize Our Children? menjabarkan bahwa di dalam PL, anak-anak dari kecil disunat, namun di dalam PB, sunat itu diganti dengan baptisan. Dan uniknya, baptisan ini, seperti hanya sunat, juga berlaku untuk anak kecil. Baik sunat maupun baptisan, kedua tanda ini adalah tanda perjanjian (kovenan) antara Allah dan manusia. Mari kita lihat di dalam PB tentang baptisan anak secara implisit. Di dalam Kisah Para Rasul 16:33, setelah Paulus memberitakan Injil kepada kepala penjara di Filipi, Alkitab mencatat, “Pada jam itu juga kepala penjara itu membawa mereka dan membasuh bilur mereka. Seketika itu juga ia dan keluarganya memberi diri dibaptis.” Secara logis, “ia dan keluarganya memberi diri dibaptis” berarti termasuk anak-anak juga dibaptis. Jika tidak demikian, maka tentulah Alkitab mencatat, “ia dan keluarganya, kecuali anak-anak, memberi diri dibaptis.” Namun Alkitab tidak memberi indikasi demikian. Pengajaran Reformed/Calvinis tentang baptisan anak didasarkan pada pengertian komprehensif akan Alkitab. Namun konsep tentang baptisan anak TIDAK pernah dimutlakkan di dalam Alkitab. Dengan kata lain, meskipun secara implisit, konsep baptisan anak diajarkan di Alkitab, namun Alkitab tetap silent di dalam mengajar tentang baptisan anak. Alkitab TIDAK pernah mengajar bahwa yang tidak menjalankan baptisan anak itu sesat atau sebaliknya yang menjalankan baptisan anak itu sesat. Sehingga dengan bijaksana, theologi Reformed yang beres TIDAK memutlakkan baptisan anak! Ini yang saya sebut sebagai hal relatif. Nah, menurut Pdt. Dr. Stephen Tong, yang relatif ya jangan dimutlakkan!


B. Tindak Lanjut
Setelah mengerti dasar presuposisi Kristen menghadapi dan mengobati lebay-isme, maka apa yang harus kita lakukan?
1. Peka Membedakan Mutlak Vs Relatif Berdasarkan Alkitab
Kemutlakan dan kerelatifan di dalam Kekristenan bukan hanya dimengerti di dalam pikiran kita saja, tetapi harus diaplikasikan. Aplikasi tersebut harus berupa suatu kepekaan membedakan mana yang mutlak dan relatif berdasarkan Alkitab. Kecenderungan beberapa (atau mungkin banyak?) orang Kristen khususnya Reformed (terutama hamba-hamba Tuhan tertentu) adalah terlalu menyamaratakan segala sesuatu. Hal-hal relatif yang seharusnya bisa ditoleransi akhirnya menjadi hal-hal mutlak. Sebaliknya, di beberapa (mungkin juga banyak) kalangan Protestan arus utama (dan Katolik), hal-hal mutlak malahan direlatifkan. Pdt. Dr. Stephen Tong mengajar satu prinsip bagus dan bijaksana: yang mutlak jangan direlatifkan dan yang relatif jangan dimutlakkan! Berarti, kita harus peka membedakan mana yang mutlak dan relatif di dalam Kekristenan. Jangan menganggap semuanya relatif dan jangan pula menganggap semuanya mutlak! Tindakan lebay tersebut bisa berbahaya. Biasanya tindakan lebay ini berdampak pada beberapa (bahkan mungkin banyak) jemaat yang kurang dewasa. Akhirnya, beberapa (atau mungkin banyak) jemaat bukan lagi kritis terhadap zaman sesuai dengan Alkitab, tetapi sesuai dengan perkataan si pendeta. Waspadalah! Waspadalah!

Lalu, bagaimana kita bisa memiliki kepekaan tersebut? Ya, tidak ada jalan lain, belajarlah Alkitab. Galilah Alkitab dan belajarlah melalui buku-buku rohani/theologi yang berkualitas untuk memperkaya pengetahuan kita akan Kekristenan dan sekaligus membawa kita makin mencintai dan mengenal Tuhan dan firman-Nya. Percayalah, orang Kristen bahkan hamba Tuhan yang makin teliti dan ketat mengerti Alkitab, tak mungkin orang itu menjadi lebay, karena Alkitab anti dengan lebay-isme! HeheheJ

2. Belajar Menghormati Orang Lain yang Berbeda dalam Hal-hal Primer maupun Sekunder
Setelah peka membedakan mana yang mutlak dan relatif, apa tindakan kita selanjutnya? Tindakan kita selanjutnya adalah belajar mengasihi dan menghormati orang lain. Namun, jangan salah mengerti jawaban saya ini. Saya tidak sedang mengajarkan relativitas, tetapi saya sedang menekankan sikap bijaksana. Kita harus belajar mengasihi dan menghormati orang lain dalam hal-hal primer maupun sekunder dengan bijaksana:
a) Berbagi prinsip dan iman kita yang berdasarkan Alkitab (=memberitakan Injil) tanpa memaksa
Mengasihi dan menghormati orang lain dalam hal-hal primer ditandai dengan sikap kita yang penuh kasih membagikan prinsip dan iman kita yang berdasarkan Alkitab kepada orang-orang di sekitar kita yang belum mengenal Kristus atau pun “Kristen” yang tidak mengenal Kristus secara utuh yang masih memercayai bahwa di luar Kristus masih ada keselamatan. Kepada orang-orang demikian, kita harus memberitakan Injil Kristus dengan bijaksana. Artinya, kita memberitakan Injil dengan kasih, namun tegas, tidak kompromi namun tidak memaksa juga. Jika orang yang kita injili tidak mau menerima Injil yang kita beritakan, jangan pernah memaksa. Ingatlah, di dalam penginjilan, yang dipentingkan bukan teknik-teknik penginjilan, namun kuasa Roh Kudus, meskipun tidak berarti teknik penginjilan dan doktrin Kristen tidak diperlukan. Jangan menjadi lebay lagi ya, heheheJ Di dalam penginjilan, Roh Kudus bekerja dengan begitu rupa sesuai kehendak-Nya. Meskipun orang yang kita injili menolak apa yang kita sampaikan, percayalah, jika orang ini termasuk salah satu umat pilihan-Nya, Roh Kudus akan mencerahkan hati dan pikirannya tentang Injil melalui orang lain yang memberitakan Injil di kesempatan lain. Oleh karena itu, jangan pernah memaksa ketika kita menginjili orang lain.

Jika ada orang yang tidak mau menerima berita Injil yang kita sampaikan, selain tidak memaksa, bagaimana sikap kita terhadap orang tersebut? Sesuai dengan prinsip kasih, kita TIDAK perlu memusuhi bahkan mengutukinya. Kita bisa bersahabat dengannya, namun tetap TIDAK boleh kompromi untuk masalah iman.

b) Belajar menghormati orang lain yang berbeda dari kita dalam hal-hal sekunder
Selain hal-hal primer, kita pun dituntut untuk belajar menghormati orang lain yang berbeda dari kita dalam hal-hal sekunder. Hal ini rupa-rupanya agak susah dijalankan oleh beberapa orang bahkan hamba Tuhan Reformed. Mengapa? Karena mereka terlalu kaku mempertahankan theologi Reformed, sehingga mereka tidak lagi berpegang pada Sola Scriptura (hanya Alkitab saja), namun sudah (sedang dan akan) menjadi Sola Reformed. Padahal prinsip Reformed selain Sola Scriptura juga begitu tegas: Ecclesia Reformata Semper Reformanda (gereja-gereja Reformed terus-menerus di-Reformed-kan) Dengan kata lain, proses di-Reformed-kan yang ditekankan oleh Reformed berarti gereja Reformed bukan gereja yang statis, namun dinamis, sesuai dengan gerakan Roh Kudus yang mencerahkan melalui Alkitab. Berarti, yang menjadi inti Kekristenan/Reformed seharusnya Alkitab, sebagaimana yang ditekankan oleh Dr. Martin Luther maupun Dr. John Calvin. Namun, entah mengapa beberapa pengikut Calvinisme menyimpang dari tujuan itu dan menciptakan rumusan-rumusan tersendiri yang menjadi lebay: Sola Reformed. Waspadalah! Waspadalah!

Jika Alkitab menjadi satu-satunya dasar, maka mengikuti dasar presuposisi kita di atas bahwa ada hal yang mutlak dan relatif, maka kita pun sebagai orang Kristen (bahkan Reformed) harus peka membedakan mana yang mutlak dan relatif, kemudian disusul dengan sikap kita terhadap mereka yang berbeda dari kita dalam hal-hal sekunder/relatif. Misalnya, kita yang bertheologi Reformed yang percaya akan baptisan anak, bagaimana kita memandang saudara Kristen kita yang menolak baptisan anak? Apakah kita memusuhi mereka? Jika ya, maka kita kurang mengasihi. Maka saya mengambil sikap untuk tetap mengasihi mereka, namun tetap tidak mau berkompromi. Artinya, kita memiliki pandangan sendiri yang tegas, namun tetap bisa menoleransi orang Kristen lain yang berbeda pendapat dari kita dalam hal baptisan anak tersebut. Begitu juga halnya dengan perbedaan konsep akhir zaman: Amillenialisme, Premillenialisme, Dispensasionalisme, dan Postmillenialisme. Perbedaan itu tidak perlu diperdebatkan.

Di dalam kehidupan sehari-hari, hal-hal sekunder (bahkan tersier) pun jangan diperdebatkan sampai berkelahi. Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. di dalam salah satu khotbahnya pernah menceritakan bahwa di dalam konseling yang beliau layani, ada satu keluarga yang berkelahi hanya gara-gara beda cara meletakkan barang tertentu. Si suami meletakkan barang itu di X, sedangkan si istri meletakkan barang itu di Y. Hanya gara-gara itu, suami istri bertengkar. Ya, inilah lebay-isme dalam hidup berkeluarga. Belajarlah hidup menghormati orang lain dan bertoleransi (namun JANGAN sampai kebablasan!)


[1] J. I. Packer, Knowing God: Tuntunan Praktis Untuk Mengenal Allah (Yogyakarta: Yayasan ANDI, 2008), hlm. 15.
[2] Ibid., hlm. 15.
[3] Ibid., hlm. 17.
[4] Ibid., hlm. 30.

Bagian 2

II. EKSTREM: LEBAY
Jika hidup manusia Kristen yang normal adalah hidup untuk memuliakan Allah, maka apa yang menjadi hambatannya? Salah satu hambatannya adalah sikap lebay. Apa itu lebay? Apa penyebabnya? Apa ruang lingkupnya? Siapa sajakah yang termasuk orang-orang lebay itu? Apa akibatnya? Mari kita mengertinya.
A. Definisi Lebay
Apa itu lebay? Jangan mencari kata ini di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, karena dijamin tidak akan ada! Hehehe:) So, apakah lebay itu? Lebay adalah suatu sikap berlebih-lebihan yang ditunjukkan oleh orang-orang tertentu. Artinya, sikap lebay adalah sikap yang melebihi batas normal seorang manusia. Jika diekstremkan dan dibesar-besarkan (di-lebay-kan), seorang lebay bisa dikategorikan sebagai orang gila yang cocok dimasukkan ke rumah sakit jiwa.


B. Penyebab Lebay
Nah, pertanyaannya adalah mengapa seseorang bisa lebay? Apa yang menyebabkannya? Saya menyoroti ada tiga penyebab:
1. Pendidikan dan Tradisi Orangtua
Tindakan seorang anak tidak bisa dilepaskan dari pengajaran orangtuanya. Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div. menyebutnya sebagai first decree (dekrit pertama) dari orangtua kepada anak. Jika anaknya seorang lebay, maka mungkin bisa diduga (salah satu atau semua) orangtuanya adalah seorang lebay. Mungkin penyebab ini sangat jarang dijumpai di dunia kita, tetapi bukan berarti hal ini tidak ada. Jika seorang anak dari kecil sudah dibiasakan oleh gaya hidup lebay dari salah satu orangtuanya, maka jangan heran, anak tersebut ketika tumbuh dewasa, mungkin sekali ia akan menjadi seorang lebay. Meskipun hal ini tidak 100% benar, namun kecenderungannya masih mungkin terjadi.
Di dalam hal pendidikan orangtua, ada orangtua yang mendisiplin anaknya secara ekstrem, sehingga anak-anaknya ikut tertular penyakit lebay tersebut dan ketika menjadi orangtua lagi, orang ini ikut lebay di dalam mendisiplin anaknya. Misalnya, pendidikan orangtua mendisiplin anaknya untuk tidak makan apa pun menjelang makan siang. Alhasil anaknya yang sudah diindoktrinasi oleh pendidikan seperti ini memiliki kebiasaan untuk memutlakkan pendidikan tersebut sampai anak ini menikah dan memiliki anak, meskipun untungnya konsep ini tidak diindoktrinasikan kepada anaknya. Memiliki prinsip tidaklah salah, tetapi kita mesti membedakan manakah prinsip yang sangat penting/primer dengan yang sekunder. Prinsip yang penting/primer HARUS dipertahankan, namun prinsip sekunder TIDAK perlu dipertahankan. Belajarlah bijaksana untuk bersikap paradoks dan jangan menjadi orang-orang freak!
Di dalam hal tradisi, biasanya hal ini terjadi pada tradisi Tionghoa yang sarat dengan pemberhalaan tradisi. Meskipun TIDAK semua orang keturunan Tionghoa memberhalakan tradisi, namun tetap ada orang-orang Tionghoa (bahkan “Kristen”) yang memberhalakan tradisi meskipun mereka tidak mengakuinya secara eksplisit. Tradisi keluarga inilah yang mengakibatkan tindakan lebay seorang anak ketika ia bertumbuh dewasa kelak. Contoh: tradisi Tionghoa (entah dari sebelah mana) mengajarkan bahwa angka 4 (si) itu berarti mati, maka ada satu pemilik mal di Surabaya yang lebay dan menerapkan konsep yang sudah diindoktrinasikan oleh tradisi lalu tidak meletakkan angka 4 di lantai mal yang dibangunnya. Juga ada orang tua yang biasanya berasal dari Tiongkok asli yang memercayai mati-matian (tanpa menggunakan rasio) tentang beruntungnya warna merah, sehingga konsep ini diindoktrinasikan mati-matian kepada anaknya. Jangan heran, anaknya ini, meskipun ada yang sudah menjadi “Kristen”, masih percaya pada warna merah sebagai warna keberuntungan, maka ia akan mencari seprei warna merah kalau ia menikah. Tindakan lebay seperti ini jelas tidak masuk akal. Secara akal, mana ada hubungannya antara angka dengan kematian, warna dengan keberuntungan, dll? Tetapi semuanya dihubung-hubungkan. Harap maklum, agama mistik tetap saja mistik, heheheJ

2. Karakter Perfeksionis-Otoriter
Penyebab kedua dari tindakan lebay adalah masalah karakter. Karakter perfeksionis-otoriter dari seseorang yang menyebabkan orang tersebut menjadi lebay. Seorang yang berkarakter perfeksionis adalah orang yang menginginkan segala sesuatu harus sempurna dalam segala sesuatu, bahkan hal-hal terkecil sekalipun. Mungkin konsep ini diimpor dari konsep Kekristenan yang disalahtafsirkan. Kekristenan memang mengajarkan kesempurnaan, tetapi ingatlah, kesempurnaan itu terjadi di Sorga (bukan di dunia)! Di dunia ini, anak-anak Tuhan mengalami apa yang disebut sebagai proses menuju kesempurnaan yang dikerjakan oleh Roh Kudus. Orang bahkan orang Kristen yang mati-matian menekankan dan mementingkan kesempurnaan bahkan untuk hal-hal tidak penting itulah yang mengakibatkan orang lebay. Orang ini tidak akan mau orang lain berbeda dari dirinya, karena bagi orang lebay ini, orang lain itu salah dan dirinya sendiri yang paling benar (meskipun hal ini tidak ditekankannya secara eksplisit). Selain perfeksionis, tindakan lebay ini disebabkan oleh karakter otoriter dalam diri orang itu. Orang yang otoriter berarti orang ini mau agar orang lain menuruti semua permintaannya, seperti orang lain itu pembantunya dan dia adalah raja/ratunya! Jika boleh disamakan, seorang otoriter bisa disebut orang egois! Yang lebih parah lagi, jika kedua karakter ini digabungkan: perfeksionis dan otoriter, plus mengaku diri “Kristen.” Jika kedua karakter ini digabungkan, maka keluarlah tindakan lebay. Jangan harap orang ini akan menolerir segala kesalahan sekunder dari orang lain, karena itu tidak ada di dalam kamus seorang lebay!

3. Paranoid
Penyebab terakhir seorang lebay adalah paranoid. Trauma akan masa lalu dan ketakutan yang berlebihan mengakibatkan seseorang menjadi seorang lebay. Misalnya, seseorang trauma dengan pengalamannya masa lalu yang mengalami kecelakaan, maka biasanya ia akan bersikap lebay di dalam segala sesuatu, karena takut kejadian kecelakaan yang dialaminya dahulu terulang kembali. Tindakan lebay yang saya maksud di sini BERBEDA dari sikap berhati-hati. Kita memang perlu berhati-hati di dalam segala sesuatu, namun jangan menjadi lebay. Lebay bukan solusi dari trauma dan paranoid, tetapi hanya menambah masalah saja, heheheJ


C. Ruang Lingkup Lebay
Setelah mengerti penyebab lebay, maka kita akan mencoba mengerti ruang lingkup/wilayah di mana seseorang bisa bersikap lebay:
1. Prinsip dan Iman
Ruang lingkup pertama yang saya akan soroti adalah masalah prinsip dan iman. Meskipun sangat jarang orang yang lebay dalam masalah prinsip dan iman, karena dunia kita adalah dunia postmodern yang merayakan pluralitas. Namun bukan berarti tidak ada orang yang lebay dalam masalah prinsip dan iman. Yang lebih parah adalah jika orang lebay ini adalah orang Kristen (mengaku Reformed pula) dan pendeta/hamba Tuhan. Biasanya orang ini memutlakkan suatu iman dan prinsip tertentu yang sebenarnya bukan hal-hal esensial yang Alkitab ajarkan. Saya akan memberikan contoh riilnya. Pertama, tentang prinsip. Orang Kristen tertentu ada yang terlalu melebaykan prinsip hidupnya. Misalnya, ada seorang yang mengatakan prinsip hidupnya bahwa ia tidak akan makan apa pun (makanan ringan) menjelang makan siang. Mungkin prinsip ini ada sisi benarnya, karena kalau kita sudah nyemil, maka kita akan kekenyangan menjelang makan siang. Namun tidak berarti prinsip ini 100% benar. Prinsip ini sedikit mengandung unsur kebenaran, namun TIDAK perlu dimutlakkan seperti kita memutlakkan prinsip Kristen bahwa Kristus satu-satunya Juruselamat.

Contoh kedua, ada pendeta Reformed yang mengajar di atas mimbar bahwa gereja yang tidak menjalankan baptisan anak/bayi itu sesat. Waktu saya mendengar pernyataan itu, saya tertawa, karena pengajaran tersebut jelas kurang dapat dipertanggungjawabkan. Tidak ada satu ayat Alkitab yang memutlakkan maupun melarang praktek baptisan anak. Namun dengan otoritas siapakah si pendeta ini berani mengajar demikian?

Contoh ketiga, pendeta yang sama yang sering kali mengerti theologi Reformed secara sepihak dan subyektif ini memiliki prinsip-prinsip yang aneh. Di gereja di tempat dia menggembalakan, tidak ada satu hamba Tuhan dari gereja lain (meskipun bertheologi sama) yang diundangnya. Mengapa? Alasannya, hal tersebut adalah aturan dari gereja pusat. Namun, fakta menunjukkan gereja tersebut yang memiliki cabang di Singapore pernah mengundang pengkhotbah dari luar. Ini membuktikan ketidakkonsistenan prinsipnya sendiri. Saya berani menyimpulkan, biasanya orang lebay kalau membangun paradigma selalu berkontradiksi dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu, berhentilah menjadi orang lebay.

2. Perkataan
Wilayah kedua yang dikuasai oleh seorang lebay adalah perkataan. Biasanya orang lebay kalau berbicara selalu dibesar-besarkan dari faktanya. Pdt. Dr. Stephen Tong sangat kesal terhadap orang seperti ini. Beliau memberi contoh praktisnya. Pada waktu itu, ada seorang yang berkata kepada beliau bahwa banyak pastor/romo yang berzinah. Pdt. Stephen Tong langsung membantah dan menanya balik kepada orang itu, jika banyak pastor/romo yang berzinah, berapa persen pastor/romo yang berzinah tersebut? Ternyata orang itu hanya bisa menyebutkan sedikit. Berarti, orang lebay ini hendak mengeneralisasi segala sesuatu. Saya juga menjumpai realitas akan hal ini di dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya orang lebay ini kurang memperhatikan kata-kata, seperti: “mayoritas”, “banyak”, “beberapa”, “mungkin”, dll yang mengindikasikan sesuatu yang spesifik. Di dalam kamus orang lebay, yang ada hanyalah “semua” atau/dan “banyak.” Orang Kristen yang normal berhentilah lebay di dalam berkata-kata. Bertanggungjawablah ketika kita menggunakan kata-kata, karena setiap kata (yang sia-sia) harus kita pertanggung jawabkan di hadapan Tuhan! (Mat. 12:36) Ingatlah, bertanggungjawab (bahkan dalam hal berkata-kata, dll) TIDAK sama dengan tindakan lebay. Bertanggungjawab adalah pengajaran dan tuntutan Alkitab, sedangkan lebay adalah tindakan dunia berdosa.

3. Gaya Hidup dan Tindakan
Ruang lingkup ketiga dari orang lebay adalah gaya hidup dan tindakannya. Kelebayan gaya hidup ditandai dengan gaya dan sikap nyentrik yang ditunjukkan oleh mayoritas kaum muda zaman sekarang. Mereka berkata bahwa hal tersebut gaul. Misalnya, rambut disemir warna yang beraneka ragam, celana jeans yang disobek-sobek sedikit, dll. Lama-kelamaan, jika benar-benar di-lebay-kan, sepatu mereka juga sengaja disobek-sobek sedikit biar gaul.

Bagaimana pandangan Kekristenan? Bolehkah orang Kristen gaul? Mengenai gaya hidup, ada dua ekstrem yang terjadi yang saya perhatikan khusus di dalam kubu Kekristenan (lebih spesifik: Reformed). Di satu sisi, ada orang Kristen yang hidup semaunya sendiri (semau gue), hang-out sampai malam, dll, tetapi sayang tidak memerhatikan iman dan kerohaniannya. Akibatnya, orang ini bisa dikatakan kurang memiliki prinsip hidup yang beres. Namun sayangnya ekstrem lain adalah ada orang Kristen (khususnya beberapa orang Reformed yang doyan baca buku) menjadi orang kaku dan statis. Relasi sosialnya bisa dikatakan parah. Jadul (jaman dulu) puol, kata anak muda zaman sekarang. Di antara dua ekstrem, saya menawarkan alternatif ketiga dan paradoks yaitu orang Kristen yang beres harus beriman beres, namun tidak berarti kita anti terhadap budaya dunia. Pdt. Thomy Job Matakupan, M.Div. di dalam khotbahnya tanggal 29 November 2009 sempat mengatakan bahwa orang Kristen yang berbeda dari dunia bukan berarti orang Kristen menjadi aneh, namun yang harus berbeda itu konsep berpikirnya. Itu benar. Prinsip hidup kita tetap harus berbeda dari prinsip hidup dunia, karena kita adalah orang Kristen yang percaya kepada Allah yang benar. Prinsip hidup ini sendiri pun harus kita bedakan, mana yang primer dan mana yang sekunder. Prinsip hidup ini harus kita aplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip hidup yang primer harus kita pertahankan, sedangkan prinsip hidup yang sekunder TIDAK perlu terlalu kaku dipertahankan. Sekali lagi saya tekankan, belajarlah menjadi orang Kristen yang NORMAL! Dengan demikian, bolehkah orang Kristen gaul? Mengutip perkataan Ev. Ivan Kristiono, M.Div. di dalam Seminar: Panggilan, Waktu Luang, dan Gaya Hidup di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Ngagel, Surabaya, orang Kristen harus gaul. Mengapa? Karena kita harus berelasi sosial dengan orang lain sebagai pengikut Kristus. Ingatlah, Kristus sendiri berdoa kepada Bapa tentang para murid-Nya dan kita sebagai anak-anak-Nya, “Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia; dan Aku menguduskan diri-Ku bagi mereka, supaya merekapun dikuduskan dalam kebenaran.” (Yoh. 17:18-19) Perhatikan kedua ayat ini. Kristus mengutus kita ke dalam dunia dengan diperlengkapi satu sarana yang luar biasa dahsyat, yaitu Kebenaran Allah. Kita yang diutus Kristus ke dunia tentu harus berelasi dengan dunia kita. Jika tidak mau berelasi dengan dunia, bagaimana mau menginjili mereka? Namun ketika berelasi dengan dunia kita, kita TIDAK boleh terseret dan mengikuti pola pikir dan kebiasaan dunia, sebaliknya, kita tetap berpegang teguh pada Kebenaran. Baca kembali Roma 12:2. Ini yang saya sebut sebagai paradoxical Christian life-style (gaya hidup Kristen yang paradoks).

4. Penafsiran
Ruang lingkup terakhir dari orang lebay adalah penafsiran. Mengingat dunia yang kita hidupi sekarang sarat dengan ide postmodernisme yang merayakan pluralitas, maka di bidang penafsiran pun, pluralitas ditekankan. Pluralitas ini di“baptis” dalam nama “yesus” dengan ide lebay oleh orang lebay, kloplah sudah, heheheJ Saya terus memerhatikan gejala penafsiran orang-orang lebay di zaman postmodern dan realitas yang terjadi benar-benar mengerikan. Apa yang dikatakan seseorang sering kali ditafsirkan hampir secara tidak bertanggungjawab. Misalnya, ada orang yang berkata X dengan maksud X (meskipun mungkin maksud perkataannya itu bisa diimplisitkan: Y, Z, dll), namun secara tidak bertanggungjawab, beberapa (atau mungkin banyak?) orang lebay dengan berani langsung menafsirkan perkataan orang ini bermakna Y, tanpa mengklarifikasi kepada orang yang berkata tersebut. Saya pribadi juga bisa salah dalam hal ini, namun saya terus-menerus berusaha untuk tidak sembarangan menafsirkan. Kesalahan penafsiran mungkin bisa disebabkan oleh kesalahan (atau lebih tepatnya, kekurangtelitian) perkataan dari seseorang yang bisa bermakna ganda (ambigu). Nah, itu susahnya hidup di zaman postmodern. Meskipun TIDAK semua ide postmodernisme itu salah, namun banyak aspek dan pengajaran postmodernisme itu salah dan berbahaya. Salah satu pengajarannya yang berbahayanya adalah masalah penafsiran ini. Orang bisa berkata sembarangan sesuka hatinya dengan maksud ganda dan orang lain yang menangkap perkataan orang ini juga bisa menangkapnya dengan maksud ganda. Saya terus-menerus berusaha untuk berkata dan menulis dengan hati-hati dan teliti, sehingga orang lain tidak salah menangkapnya. Namun meskipun demikian, masih ada juga orang lain yang menyalahartikan perkataan dan tulisan saya. Ya, susah juga sih hidup di era postmodern, heheheJ


D. Macam-macam Orang Lebay
Setelah mengerti 4 ruang lingkup orang lebay, maka mari kita melihat dua macam orang lebay.
1. Orang Lebay yang Biasa
Macam pertama adalah orang lebay yang biasa. Biasanya ciri orang lebay biasa ini tidak terlalu mencolok dan lebih bersifat introvert. Artinya, sikap lebay-nya ini tidak mau ditonjolkan keluar (sehingga orang lain tahu) atau/dan sikapnya ini tidak terlalu memaksa. Orang seperti ini masih memiliki tingkat toleransi yang cukup baik. Saya masih menghargai orang lebay seperti ini.

2. Orang Lebay yang Otoriter dan Memaksa
Namun, di sisi lain, ada orang lebay yang otoriter dan memaksa. Nah, kalau ada orang lebay seperti ini biasanya tingkat toleransinya hampir tidak ada. Orang lebay macam ini biasanya sangat kelihatan jelas dan lebih bersifat extrovert. Orang lain dengan mudahnya menyebut orang ini sebagai orang lebay karena tingkah laku, perkataan, dan hal-hal di dalam dirinya menunjukkan sebagai orang lebay. Bukan hanya itu saja, sikap lebay-nya ditunjukkannya dengan memaksa orang lain untuk menuruti perkataan dan kemauannya (bahkan untuk hal-hal yang sangat tidak penting). Misalnya, untuk urusan memilih arah jalan pun, orang lebay macam ini benar-benar menjengkelkan, karena ia bukan hanya menyuruh orang lain untuk menuruti kemauannya, namun juga memerintah bahkan marah-marah jika kemauannya tidak dituruti. Kalau orang lain berbeda karakter dari orang lebay ini, biasanya orang lebay ini langsung menghina, tanpa mau mengerti orang lain yang berbeda. Bagi orang lebay ini, dirinya sendiri yang paling hebat, pandai, bijaksana, dll. Bukankah orang seperti ini benar-benar menjengkelkan dan menjijikkan? Selain narsis, orang ini jelas bukan orang Kristen yang beres, karena ia tidak benar-benar mengakui ketergantungannya kepada Allah saja dan tentunya tidak menghargai orang lain sebagai sesama peta dan teladan Allah.


E. Akibat Tindakan Lebay
Setelah mengerti lebay-isme, maka kita perlu memikirkan, apa yang menjadi akibat dari tindakan lebay ini? Hanya satu akibat, yaitu: orang lebay biasanya TIDAK mengenal istilah kompromi dan toleransi. Biasanya (tentu tidak semua) orang lebay tidak mau menghormati orang lain dalam hal-hal sekunder (bahkan tersier) dalam prinsip dan tindakan. Di dalam kamus orang lebay, yang ada adalah kehebatan diri lebih daripada orang lain. Akibatnya, meskipun hampir tidak ada orang lain yang memuji dirinya, biasanya orang lebay macam ini dengan bangganya memuji dirinya sendiri yang hebat. Lama-kelamaan, bukan nama Tuhan yang harus dipuji dan dipermuliakan, tetapi nama dia sendiri yang diagungkan. Sungguh mengasihankan orang lebay macam ini. Selain harus diinjili, orang lebay macam ini harus benar-benar diajar untuk berserah total kepada Allah, karena konsep berserah total kepada Allah ini sangat sulit dilakukan oleh orang lebay macam ini.

Bagian 1

IMAN KRISTEN VS LEBAY-ISME:
Perspektif Kristen Menyoroti Sesuatu yang Berlebih-lebihan


oleh: Denny Teguh Sutandio



I. PENDAHULUAN DAN PRESUPOSISI
A. Konsep Sekular Mengenai Manusia
Siapa sih manusia? Dunia kita memiliki berbagai konsep tentang siapakah manusia:
1. Manusia adalah Makhluk Ciptaan Tuhan
Di abad modern, asal-usul manusia diperdebatkan. Banyak saintis atheis ber“iman” bahwa manusia itu ada melalui teori evolusi dari kera. Lambat laun, kemajuan zaman membuktikan bahwa teori itu salah. Charles Darwin sendiri, sebagai pencetus teori evolusi, menjelang kematiannya menyadari kesalahannya, namun itu sudah terlambat. Maka di era sesudah zaman modern ini, manusia hampir bisa dipastikan tidak lagi memercayai teori evolusi, namun kembali kepada teori penciptaan. Semua orang dari berbagai agama meyakini bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan. Selain itu, mereka juga meyakini bahwa manusia diciptakan Tuhan secara unik yang berbeda dengan makhluk hidup lainnya, seperti binatang dan tumbuhan. Oleh karena itulah, manusia disebut sebagai makhluk religius, karena di dalam diri manusia sudah ada bibit Tuhan di dalamnya. Sehingga tidak heran kita melihat kucing tidak bisa berdoa, melainkan manusia yang berdoa.

2. Manusia adalah Makhluk Sosial
Selain sebagai makhluk religius, manusia juga disebut sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia harus bersosialisasi dengan sesama. Mereka pada umumnya tidak mau hidup sendiri, karena mereka membutuhkan orang lain di dalam hidupnya. Di dalam hidup kita, kita menjumpai realitas ini. Seorang anak kecil tidak mungkin bisa melakukan segala sesuatu jika tidak dibantu oleh orangtuanya. Namun sayang, manusia berdosa sering kali menyalahgunakan konsep ini ke dalam dua konsep ekstrem yang tidak bertanggungjawab:
a. Tidak lagi membutuhkan bantuan orang lain ketika seseorang beranjak dewasa
Ketika masih kecil, orang biasanya mengandalkan bantuan orang lain, khususnya orangtua. Mengapa? Karena orang tersebut masih KECIL yang tidak bisa berbuat apa-apa. Namun, ketika orang tersebut beranjak dewasa, sering kali mereka MERASA tidak lagi membutuhkan bantuan orang lain. Saya menyoroti hal ini dari dua sisi. Dari sisi pertama, hal ini tentu baik. Tidak mungkin seorang dewasa masih membutuhkan bantuan orangtuanya untuk mengganti pakaiannya atau membuatkan susu untuknya. Itu jelas tidak masuk akal. Namun, di sisi lain, karena keberdosaan manusia, maka manusia dewasa sudah merasa mampu berbuat segala sesuatu dan cenderung hampir membuang orang lain yang mau membantunya. Mengapa bisa demikian? Karena mungkin sekali dia trauma dan curiga dengan bantuan orang lain yang belum tentu bertanggungjawab. Hal ini bisa dimaklumi, tetapi tidak boleh diekstremkan. Memang benar bahwa ada orang yang membantu orang lain kadangkala tidak 100% bermotivasi membantu, namun bermotivasi lain yang jahat. Tetapi tidak bisa dibenarkan jika karena alasan ini, maka seseorang membuang semua bantuan orang lain. Itu sama dengan mengeneralisasi segala sesuatu. Hal ini termasuk salah satu lebay-isme yang akan saya bahas di Bagian II. Kembali, orang yang terlalu curiga dan melihat keburukan orang lain biasanya hampir tidak pernah melihat keburukan diri sendiri, yang lebih parah, bukannya tidak mau melihat keburukan diri, malahan menyanjung diri sendiri yang tidak seperti orang lain yang jahat. Inilah dunia kita yang benar-benar mengerikan.
Bukan hanya membuang bantuan orang lain, pendapat orang lain pun dibuangnya. Orang ini bisa mengajari orang lain bahwa semua saran itu ditampung, yang baik diambil, yang buruk dibuang. Namun sayangnya orang yang sama yang mengajari orang lain adalah orang yang tidak mau menerima saran dari orang lain, khususnya saran yang tidak sesuai dengan konsep berpikirnya. Bagi orang ini, konsepnya sendiri yang paling hebat, pandai, dan bijaksana. Meskipun ada beberapa hal yang mungkin benar (ada beberapa konsepnya yang cukup bijaksana), tetapi kesombongannya (baik yang diakui/disadarinya atau tidak) mengakibatkan orang lain akan mencibir dia. Sejujurnya, saya sangat muak dengan orang seperti ini.

b. Membutuhkan bantuan dan membantu orang lain untuk mencari keuntungan bagi dirinya.
Ekstrem kedua adalah ada kecenderungan orang dewasa mungkin membutuhkan bantuan orang lain, namun sayangnya motivasi membutuhkan bantuan itu adalah motivasi jahat, yaitu ingin mencari keuntungan bagi dirinya. Biasanya konsep ini berlaku di banyak perusahaan yang sudah diracuni oleh filsafat materialisme dan humanisme atheis. Biasanya di perusahaan tersebut, bos-bos membutuhkan bantuan dari orang lain khususnya karyawan untuk memajukan perusahaannya. Meskipun hal ini tidak selalu salah, namun sering kali motivasi ini diekstremkan. Dengan bertujuan memajukan perusahaannya, maka tidak jarang bos-bos menekan para karyawannya. Kesejahteraan karyawan ditekan dan hampir dihilangkan, sementara bos-bos hidup dengan enak dan bermewah-mewah. Yang lebih parah lagi, kalau bos “Kristen” yang melakukan hal tersebut.
Bukan hanya membutuhkan bantuan orang lain yang bermotivasi jahat, orang membantu orang lain pun tidak menutup kemungkinan bermotivasi jahat. Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div. pernah mengajar hal ini dan memberikan contoh di dalam dunia realitas, yaitu tentang salesman. Meskipun tidak semua saleman bermotivasi jahat, namun banyak salesman bermotivasi tidak beres. Beliau mencontohkan, kalau di mal atau plaza, para salesman bank atau air minum jenis tertentu mempromosikan, maka isi promosinya selalu baik-baik. Misalnya, “kami mau membantu bapak”, “ini untuk kesehatan bapak”, dll. Tetapi benarkah semua isi promosi tersebut bermotivasi baik? Pdt. Sutjipto berkata TIDAK, mengapa? Karena yang mereka inginkan bukan mau membantu kita, tetapi ingin membantu si penjual dan perusahaan di tempat si penjual bekerja. Di balik kata-kata “kami mau membantu bapak”, sebenarnya terkandung makna, “kami mau membantu bapak sejauh/asalkan bapak membantu kami.” Empat kata di belakang yang saya garis bawahi di atas tidak disebutkan, mengapa? Karena justru itulah yang merupakan realitas asli si salesman.




B. Konsep Alkitab Mengenai Manusia
Jika konsep dunia hanya mengerti manusia secara umum, maka Kekristenan jauh lebih mengerti konsep manusia dengan lebih limpah. Selain diciptakan oleh Tuhan, Alkitab mengajar satu prinsip penting tentang manusia yaitu manusia adalah dari Allah, oleh Allah, dan untuk Allah. Artinya:
1. Manusia: dari Allah
Pertama, manusia adalah dari Allah. Artinya, manusia itu diciptakan oleh Allah. Apakah cukup konsep ini? TIDAK. Manusia itu dari Allah, bukan sekadar manusia diciptakan oleh Allah, namun juga keseluruhan hidupnya adalah dari Allah. Nafasnya dari Allah, tubuhnya dari Allah, kepandaian dan kebijaksanaannya dari Allah, dll. Karena segala sesuatu di dalam diri manusia adalah milik Allah, maka sesungguhnya TIDAK ada satu manusia pun yang boleh membanggakan diri atas apa pun yang dimilikinya. Di dalam prinsip theologi Reformasi dan Reformed, konsep ini disebut Sola Gratia (hanya oleh anugerah Allah). Meskipun konteks prinsip theologi ini berlaku untuk doktrin keselamatan, namun konsep ini sebenarnya juga berlaku bagi seluruh aspek kehidupan Kristen. Inilah bedanya theologi yang berpusat kepada Allah vs “theologi” yang berpusat kepada manusia (meskipun seolah-olah kelihatannya berpusat kepada Allah). Perbedaan ini bukan sekadar perbedaan konsep doktrinal, namun juga memengaruhi perbedaan gaya hidup dan kehidupan sehari-hari. Orang yang beriman beres yang memusatkan hidupnya hanya kepada Allah akan terus-menerus menyadari bahwa apa pun di dalam diri dan hidupnya adalah dari Allah, anugerah Allah, sehingga ia tidak akan berani memegahkan dirinya sendiri atau bahkan menyanjung diri sendiri lebih hebat dari orang lain. Jika ia melayani Tuhan bahkan secara penuh waktu baik sebagai penginjil, pendeta, dll, ia terus menyadari bahwa pelayanan yang dilakukannya adalah dari Allah, hanya oleh anugerah-Nya saja. Hal ini mengakibatkan kita makin rendah hati hidup dan melayani-Nya. Perhatikan bagaimana Alkitab mengajar hal ini dengan begitu jelas melalui teladan hidup seorang rasul Kristus yang paling tersohor, yaitu Rasul Paulus. Paulus adalah seorang rasul Kristus yang sangat brilian, namun rendah hati. Orang seperti ini makin jarang kita jumpai di abad postmodern. Biasanya kita menjumpai orang yang rendah hati namun bodoh atau orang yang sangat brilian namun sombongnya bukan main atau yang lebih parah lagi sudah bodoh, sombong pula, heheheJ. Kembali, ketika kita melihat pengajaran Paulus di dalam kitab-kitab Perjanjian Baru, kita akan makin merasakan kerendahan hati yang dia tunjukkan di dalam hidup dan pelayanan-Nya. Semuanya itu bisa dilakukannya karena Paulus menyadari bahwa segala sesuatu baik hidup dan pelayanannya adalah anugerah Allah. Maka dapat disimpulkan bahwa: konsep anugerah di dalam doktrin keselamatan yang Paulus tekankan memengaruhi konsep anugerah di dalam kehidupannya sehari-hari dan terakhir memengaruhi kerendahan hati yang dimilikinya. Mari kita telusuri pengajaran dan kehidupan Paulus ini.
Di dalam Roma 3:23-24, dengan jelas Paulus mengajar, “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah, dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus.” Di ayat 24 ini, Paulus TIDAK mengatakan, “dan oleh kasih karunia dan perbuatan baik telah dibenarkan dengan cuma-cuma…” Jika Paulus mengatakan bahwa kita dibenarkan melalui anugerah dan perbuatan baik, maka ia tidak konsisten, karena ia menyebutkan “dengan cuma-cuma.” Pernyataan “dengan cuma-cuma” (King James Version, International Standard Version, Revised Version, Modern King James Version, dan beberapa terjemahan Inggris lainnya menerjemahkannya: freely) menyatakan bahwa tidak ada sesuatu di dalam diri manusia yang bisa berkenan di hadapan Allah sehingga Allah membenarkan manusia. Tetapi puji Tuhan, Paulus adalah rasul Kristus yang konsisten, maka ia mengatakan bahwa kita dibenarkan dari dosa-dosa kita oleh anugerah Allah dengan cuma-cuma. Jadi, meskipun tidak ada tambahan kata “saja” atau “hanya” di ayat 24 ini, artinya tetap sama, yaitu kita dibenarkan oleh Allah oleh anugerah Allah (bukan melalui perbuatan baik atau ditambah perbuatan baik). Mengapa bisa sama? Karena ada pernyataan terakhir di ayat 24, “dengan cuma-cuma.”
Konsep anugerah di dalam doktrin keselamatan yang Paulus ajarkan memengaruhi konsep anugerah di dalam kehidupan sehari-harinya. Di dalam Roma 7:1-25, kita membaca penjelasan Paulus secara panjang lebar kaitan antara hukum (Taurat) dengan dosa yang membelenggu kehidupan Paulus dan manusia. Dengan adanya hukum tidak menjamin manusia tidak berdosa, bahkan mungkin sekali bisa mengakibatkan manusia lebih sering berdosa. Mengapa demikian? Karena hukum diberikan bukan untuk menjamin manusia tidak berdosa, namun sebagai standar moral tentang apa yang baik dan jahat. Ringkasan semua pergumulan ini diungkapkan Paulus di ayat 24-25, “Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini? Syukur kepada Allah! oleh Yesus Kristus, Tuhan kita. Jadi dengan akal budiku aku melayani hukum Allah, tetapi dengan tubuh insaniku aku melayani hukum dosa.”
Dan terakhir, semua konsep anugerah ini mengakibatkan Paulus makin rendah hati di dalam hidup dan pelayanannya. Dengan kata lain, ia bermegah hanya di dalam Tuhan. Konsep bermegah di dalam Tuhan ini saja ditekankan 2x oleh Paulus di dalam surat Korintus. Di dalam 1 Korintus 1:31 (bdk. 2Kor. 10:17), Paulus mengutip Yeremia 9:24, “Barangsiapa yang bermegah, hendaklah ia bermegah di dalam Tuhan.” Sebenarnya di dalam Yeremia 9:23-24, Tuhan berfirman, “Beginilah firman TUHAN: "Janganlah orang bijaksana bermegah karena kebijaksanaannya, janganlah orang kuat bermegah karena kekuatannya, janganlah orang kaya bermegah karena kekayaannya, tetapi siapa yang mau bermegah, baiklah bermegah karena yang berikut: bahwa ia memahami dan mengenal Aku, bahwa Akulah TUHAN yang menunjukkan kasih setia, keadilan dan kebenaran di bumi; sungguh, semuanya itu Kusukai, demikianlah firman TUHAN."” Di dalam dua ayat ini, Tuhan membawa kita untuk melihat tiga kehebatan manusia yang sering manusia banggakan lalu dikontraskan dengan kedahsyatan Allah. Tiga kehebatan manusia itu adalah: kebijaksanaan, kekuatan, dan kekayaan. Ketiga kehebatan manusia itu dianggap sampah oleh Tuhan, karena Allah adalah Allah yang jauh melebihi ketiga kehebatan tersebut (bdk. 1Kor. 1).
Sedangkan orang (bahkan tidak menutup kemungkinan banyak orang “Kristen” di dalamnya) yang memusatkan hidupnya pada filsafat manusia berdosa selalu memiliki konsep berpikir, gaya hidup, dan pola hidup duniawi. Jangan heran, biasanya orang ini selalu menampilkan kehebatan diri karena melebihi orang lain. Kalau pun orang lain tidak mau mengakui kelebihannya, ia akan menonjolkan dan menyanjung diri. Sebenarnya orang ini sangat mengasihankan dan perlu dirawat di rumah sakit karena mungkin orang ini mengidap penyakit narsis yang susah disembuhkan, heheheJ
Bagaimana dengan kita sendiri? Kita telah mempelajari teladan hidup Paulus yang rendah hati karena dipengaruhi oleh konsep anugerah dalam keselamatan dan kehidupan sehari-hari. Apa yang menjadi respons kita? Apakah kita terlalu banyak mengamini konsep anugerah di dalam doktrin keselamatan yang telah kita pelajari baik dari buku maupun kuliah theologi, namun tidak lagi mengamini dan mengaplikasikan konsep anugerah itu di dalam kehidupan kita sehari-hari? Yang paling menakutkan adalah orang Kristen bahkan hamba Tuhan yang sudah kuliah theologi bahkan bergelar theologi, kemudian tidak lagi rendah hati karena merasa sudah tahu banyak theologi.

2. Manusia: oleh Allah
Setelah menyadari bahwa hidup umat Tuhan adalah anugerah Allah, maka orang Kristen harus menyadari juga bahwa hidupnya itu oleh Allah. Berarti segala sesuatu di dalam hati, pikiran, perkataan, dan perbuatan ada di dalam kontrol Allah yang berdaulat. Kontrol Allah yang berdaulat ini TIDAK mengakibatkan manusia menjadi robot. Kontrol Allah yang berdaulat tetap mengizinkan bahkan menuntut tanggung jawab manusia jika manusia tidak taat kepada-Nya. Kontrol Allah yang berdaulat juga menuntun kita untuk TIDAK berfokus pada kehendak kita, tetapi lebih kepada Allah dan kehendak-Nya yang berbeda dari kehendak kita. Hal ini membuat kita pun tidak sombong dan terus berpaut kepada-Nya, karena segala hal yang kita pikirkan, katakan, dan perbuat yang tidak kita duga sebelumnya dan yang memuliakan-Nya adalah hasil karya Allah yang berdaulat. Mari kita simak contoh nyatanya di dalam Alkitab. Setelah menjelaskan bahwa kita harus bermegah di dalam Tuhan (1Kor. 1:31), Paulus langsung mengimplikasikan contohnya melalui apa yang ia perbuat di dalam 1 Korintus 2:1-5, “Demikianlah pula, ketika aku datang kepadamu, saudara-saudara, aku tidak datang dengan kata-kata yang indah atau dengan hikmat untuk menyampaikan kesaksian Allah kepada kamu. Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan. Aku juga telah datang kepadamu dalam kelemahan dan dengan sangat takut dan gentar. Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh, supaya iman kamu jangan bergantung pada hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Allah.” Paulus menyadari bahwa segala perkataan dan tindakannya adalah murni Allah yang berkarya.
Bukan hanya perkataan dan tindakan, di dalam pelayanan pun, Paulus mengalami cara kerja Allah yang di luar dugaannya. Perhatikan kisahnya di dalam Kisah Para Rasul 16:5-10, “Demikianlah jemaat-jemaat diteguhkan dalam iman dan makin lama makin bertambah besar jumlahnya. Mereka melintasi tanah Frigia dan tanah Galatia, karena Roh Kudus mencegah mereka untuk memberitakan Injil di Asia. Dan setibanya di Misia mereka mencoba masuk ke daerah Bitinia, tetapi Roh Yesus tidak mengizinkan mereka. Setelah melintasi Misia, mereka sampai di Troas. Pada malam harinya tampaklah oleh Paulus suatu penglihatan: ada seorang Makedonia berdiri di situ dan berseru kepadanya, katanya: “Menyeberanglah ke mari dan tolonglah kami!” Setelah Paulus melihat penglihatan itu, segeralah kami mencari kesempatan untuk berangkat ke Makedonia, karena dari penglihatan itu kami menarik kesimpulan, bahwa Allah telah memanggil kami untuk memberitakan Injil kepada orang-orang di sana.” Di dalam 5 ayat ini, ada dua kali dikatakan bahwa Roh Kudus (atau Roh Yesus) mencegah atau tidak mengizinkan mereka (Paulus dan Silas). Berarti, kehendak Paulus dan Silas yang ingin memberitakan Injil di daerah Asia dilarang oleh Roh Kudus. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah bertanya, mengapa Roh Kudus melarang/mencegah orang memberitakan Injil. Dari jawaban beliau, saya menangkap satu kesimpulan bahwa alasannya adalah karena Roh Kudus jauh lebih mengerti ketimbang apa yang manusia mengerti. Mengutip Pdt. Dr. Stephen Tong, Roh Kudus mengetahui bahwa jika Petrus yang diutus ke daerah Eropa, maka ia tidak akan bisa berkhotbah dan berdebat dengan orang-orang di sana, karena Petrus bukan orang yang menguasai filsafat Yunani, sedangkan Paulus adalah rasul Kristus yang menguasai filsafat Yunani, sehingga ia bisa berdebat dan beradu argumen di dalam penginjilan kepada orang-orang Yunani di Atena (Kis. 17:16-34).
Bagaimana dengan kita? Masihkah hidup kita difokuskan hanya bagi diri sendiri, meskipun kita mengklaim diri “Kristen” bahkan aktivis gereja? Orang Kristen yang beres selain menyadari bahwa hidupnya dari Allah, ia harus menyadari bahwa hidupnya oleh Allah. Artinya, ia harus merelakan hidupnya terus diproses oleh Allah untuk menggenapkan kehendak-Nya. Merelakan hidup diproses-Nya membutuhkan suatu kerelaan hati dan kesiapan hati melihat cara kerja Allah yang jauh melampaui cara kerja manusia. Cara kerja manusia biasanya selalu statis, namun tidak demikian dengan cara kerja Allah. Cara kerja Allah meskipun didasarkan pada rencana kekal-Nya, Ia bekerja dengan cara dinamis bagi umat-Nya. Hubungan Allah dengan umat-Nya tidak didasarkan pada hubungan statis, namun dinamis. Ini bukan hanya konsep saja, saya sendiri mengalami apa yang dikerjakan Allah benar-benar mencengangkan bagi saya dan di luar pikiran saya. Kadang Ia mendadak mencerahkan saya beberapa prinsip dan membentuk saya. Itu semua di luar kendali saya. Tetapi JANGAN pakai alasan ini, lalu menerapkan semuanya secara tidak bertanggungjawab di dalam struktur organisasi. Ada hamba Tuhan yang suka mengutip perkataan Pdt. Dr. Stephen Tong tentang “dinamis”, lalu menerapkannya di dalam struktur organisasi, akibatnya, hampir tidak ada bedanya antara dinamis dengan tidak ada rencana atau bahkan lupa. Gereja memang tidak boleh memutlakkan struktur organisasi lebih daripada pentingnya Firman, tetapi tidak berarti struktur organisasi bisa seenaknya sendiri dipermainkan (apalagi dengan rasionalisasi: “dinamis”). Seorang rekan saya yang adalah pendeta yang bertheologi Reformed dari Gereja Bethel Tabernakel mengeluh kepada saya bahwa ia sangat sulit mengundang hamba Tuhan dari gereja tertentu yang berdenominasi Reformed karena ia pernah mengundang hamba Tuhan tertentu dari gereja tersebut namun mendadak hamba Tuhan itu menelpon rekan saya ini untuk membatalkannya. Ada juga hamba Tuhan di gereja yang berdenominasi Reformed tersebut yang mengaku kepada saya bahwa ia pernah diundang berkhotbah di sebuah kampus Kristen terkenal di Surabaya dan ia menyanggupinya. Undangan itu sudah dia terima cukup lama, namun mendadak karena urusan organisasi gereja yang mengharuskan ia mengutamakan pelayanan di gereja di tempat dia melayani, maka undangan berkhotbah di kampus Kristen tersebut terpaksa dibatalkan. Dalam hal ini, saya TIDAK menyalahkan si hamba Tuhan, tetapi menyalahkan struktur organisasi yang tidak beres dan egois! Apakah ini yang dinamakan dinamis? Atau sebenarnya tidak ada rencana atau bahkan mungkin lupa? Saya ngeri melihat beberapa orang Kristen bahkan Reformed (bahkan ada juga hamba Tuhan dan anak majelis/pengerja gereja) yang sembarangan memakai istilah agung demi keuntungannya sendiri (baik disengaja maupun tidak disengaja). Belajarlah untuk tidak mengkambinghitamkan istilah-istilah agung di dalam rohani, seperti: bergumul, dinamis, dll untuk menutupi ketidakbertanggungjawaban dan nafsu diri yang berdosa! Jika lupa, katakan lupa, jangan pakai alasan “dinamis.” Kalau memang itu hasrat diri yang berdosa yang ingin cari pasangan hidup yang beda agama, bicaralah terus terang dan jujur, jangan pakai istilah “lagi bergumul.” Yang seperti itu tidak perlu bergumul, karena jelas-jelas melawan Alkitab! Bergumul adalah tindakan seseorang yang sudah tahu kebenaran dan siap berisiko di dalam kebenaran itu, tetapi masih ingin berjuang melawan nafsu diri yang berdosa yang terus merayunya. Nah kalau di dalam diri orang tertentu tidak mau berjuang melawan nafsu diri yang berdosa, malahan ingin masuk ke dalamnya (dengan alasan cocok), ya, tidak usah pakai istilah “bergumul” lah, itu benar-benar memalukan dan menjijikkan! Orang Kristen khususnya yang mengklaim diri Reformed, belajarlah mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang dikatakannya, jangan meniru orang-orang postmodern yang seenaknya sendiri mempergunakan perkataan tanpa mengerti arti di balik perkataan itu.

3. Manusia: untuk Allah
Manusia yang hidupnya difokuskan pada rencana dan kehendak-Nya, maka secara otomatis, hidupnya hanya difokuskan untuk memuliakan-Nya. Ini adalah tujuan akhir manusia Kristen yang normal. Mengutip perkataan Pdt. Erastus Sabdono, D.Th. di dalam judul artikelnya di website GBI Rehobot: Manusia yang Normal bagi Allah, maka manusia Kristen bisa disebut normal tatkala mereka hidup bagi Allah, bukan bagi diri sendiri. Jangan berani mengklaim diri Kristen apalagi Reformed, kalau hidupnya masih untuk diri sendiri. Bagaimana memiliki kehidupan yang diperuntukkan untuk kemuliaan Allah?
a) Menyadari Status Kita
Hidup yang memuliakan-Nya didasarkan pada kesadaran kita bahwa siapakah kita sebenarnya di hadapan-Nya. Alkitab mengajarkan bahwa kita adalah manusia yang dicipta segambar dan serupa dengan-Nya, namun manusia ini telah berdosa dan rusak total, sehingga tidak ada jalan lain bagi manusia untuk diselamatkan. Allah dalam kedaulatan dan keadilan-Nya seharusnya menghukum semua manusia akibat dosa, namun karena kasih-Nya, Ia rela mengasihi manusia yang telah dipilih-Nya untuk diselamatkan-Nya dengan mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dosa-dosa manusia pilihan-Nya, sehingga mereka dibenarkan di hadapan Allah dan memperoleh keselamatan kekal. Setelah diselamatkan oleh penebusan Kristus, Roh Kudus diutus untuk mengefektifkan karya penebusan Kristus ke dalam hati umat pilihan-Nya agar mereka bertobat dan menjadi percaya. Karya keselamatan inilah yang mengakibatkan kita bukan lagi berada di dalam status kegelapan (anak setan), melainkan menjadi anak-anak terang yang dipilih Allah sebelum dunia dijadikan. Karya keselamatan ini pula yang mengakibatkan kita terus berusaha hidup untuk Allah saja sebagai respons ucapan syukur kita atas anugerah-Nya.

b) Berkomitmen Menyerahkan Seluruh Hidup Kita bagi Kemuliaan-Nya
Setelah menyadari status kita, langkah kita selanjutnya adalah kita berkomitmen menyerahkan seluruh hidup kita bagi kemuliaan-Nya. Berarti, kita bukan hanya menyadari status kita dan terlena di dalamnya, namun kita bangkit dan terus berusaha hidup bagi kemuliaan-Nya dengan menyerahkan seluruh hidup kita dipakai bagi kemuliaan-Nya. Dengan demikian, Allah lah yang berdaulat menguasai hidup kita sehari-hari melalui firman-Nya, Alkitab dan pimpinan Roh Kudus. Pdt. Thomy J. Matakupan, M.Div. di dalam salah satu kuliahnya tentang Surat Ibrani di Sekolah Theologi Reformed Injili Surabaya (STRIS) Andhika pernah berujar bahwa orang Kristen paling mudah memercayai Allah sebagai Pencipta, namun sangat sulit memercayai Allah sebagai Pemelihara. Mengapa? Karena penciptaan Allah tidak ada kaitannya dengan hidup sehari-hari, namun pemeliharaan Allah sangat berkaitan secara langsung dengan hidup sehari-hari. Ketika pemeliharaan Allah sangat berkaitan secara langsung dengan hidup kita sehari-hari, maka kita menjadi pribadi yang benar-benar egois. Keegoisan kita ditandai dengan tindakan kita marah jika Tuhan menguasai hidup kita. Mungkin kita tidak berani secara eksplisit mengatakannya, karena kita sungkan mengakuinya. Namun sadar atau tidak sadar, iblis terus merayu kita untuk tidak lagi mengizinkan Allah berdaulat atas hidup kita dan kita pun dengan mudahnya terpengaruh oleh bujuk rayu iblis tersebut. Mengapa bisa demikian? Karena kita percaya bahwa hidup kita diatur oleh kita sendiri. Hal tersebut tidak akan terjadi jika pertama-tama kita menyadari status kita (bdk. poin a di atas). Namun sayangnya, kita yang tidak mengakui pemeliharaan Allah adalah orang Kristen yang sebenarnya tidak menyadari statusnya atau mungkin sekali orang “Kristen” palsu yang sedang menyamar sebagai pengikut Kristus di dalam gereja. Berwaspadalah!

c) Berusaha Mematikan Kehendak dan Kemuliaan Diri demi Kemuliaan-Nya
Setelah kita berkomitmen menyerahkan hidup kita bagi kemuliaan-Nya, maka langkah selanjutnya adalah kita berusaha mematikan kehendak dan kemuliaan diri demi kemuliaan-Nya. Mematikan kehendak dan kemuliaan diri tidak berarti kita menghilangkan kehendak kita sama sekali, sehingga kita tidak memiliki kehendak. Jangan dibodohi oleh agama Timur. Jika ada orang yang mengatakan bahwa ia tidak memiliki kehendak apa pun, di titik pertama, orang tersebut secara tidak sadar sedang memiliki kehendak untuk mengatakan bahwa ia tidak memiliki kehendak apa pun. Suatu kontradiksi pemikiran yang lucu dan memalukan! Mematikan kehendak dan kemuliaan diri identik dengan menyangkal diri. Pdt. Dr. Stephen Tong dengan tepat sekali mendefinisikan menyangkal diri sebagai tindakan mencintai apa yang Tuhan cintai dan membenci apa yang Tuhan benci. Ketika kita telah dan terus-menerus berkomitmen menyerahkan hidup kita bagi kemuliaan-Nya, maka secara otomatis, hati kita terus dibakar oleh api Roh Kudus untuk makin mencintai apa yang Tuhan cintai dan membenci apa yang Tuhan benci. Di saat itu pulalah, dengan bantuan Roh Kudus, kita terus-menerus mampu mematikan kehendak kita yang melawan-Nya dan juga mematikan kemuliaan diri kita agar kemuliaan dan kehendak-Nya sajalah yang diutamakan. Mematikan kehendak dan kemuliaan diri memang tidak mudah. Mengapa? Karena dunia kita sedang meracuni kita dengan ide berpikir positif dan pengembangan diri yang selalu berorientasi pada kehebatan manusia. Oleh karena itu, Roh Kudus terus membimbing kita untuk bisa mematikan kehendak dan kemuliaan diri melalui firman Allah (Alkitab) dan pimpinan-Nya setiap hari dalam hidup kita. Yang menjadi tugas kita selanjutnya adalah peka terhadap pimpinan Roh Kudus dan rajin membaca Alkitab. Itulah cara bagaimana kita terus berusaha mematikan kehendak dan kemuliaan diri.