06 December 2009

Bagian 3

III. KEKRISTENAN MENGOBATI LEBAY-ISME
Bagaimana Kekristenan menghadapi dan mengobati penyakit lebay­-isme? Saya akan memberikan dua hal, yaitu dasar presuposisi dan tindak lanjut sebagai reaksi/aplikasi dari dasar presuposisi tersebut.
A. Dasar Presuposisi
Sebelum kita menentukan sikap menghadapi dan mengobati penyakit lebay-isme, mari kita memikirkan dasar pikir kita tentang sikap kita. Ada dua poin presuposisi kita:
1. Ada Kemutlakan: Alkitab
Prinsip pertama Kekristenan yang jelas dan bertanggungjawab adalah Kekristenan yang orthodoks percaya bahwa Alkitab adalah firman Allah yang tertulis yang memberitakan Kebenaran kepada umat-Nya. Dengan demikian, Kekristenan yang sehat, normal, dan bertanggungjawab berpegang teguh pada otoritas Alkitab sebagai satu-satunya standar mutlak bagi doktrin (pengajaran) dan kehidupan Kristen yang sehat, normal, bertanggungjawab, dan memuliakan Allah. Semboyan Reformasi dari Dr. Martin Luther yang terkenal adalah Sola Scriptura (=hanya Alkitab). Namun, sayangnya semboyan ini hanya dipelajari di otak atau/dan diucapkan di mulut oleh beberapa orang Kristen bahkan “pemimpin gereja”, namun hampir tidak pernah diimplikasikan di dalam khotbah dan kehidupan Kristen sehari-hari. Patutkah jika seorang “Kristen” bahkan “pemimpin gereja” mulai meragukan otoritas Alkitab? TIDAK PATUT! Jika ada orang seperti demikian yang meragukan otoritas Alkitab, dengan otoritas apa/siapa si “pemimpin gereja” tersebut berkhotbah? Otoritas diri sendiri atau pengajarannya sendiri? Jika demikian, layakkah otoritas diri dan ajarannya dijadikan patokan kebenaran bagi jemaat Kristen? Jika orang demikian mengatakan layak, di titik tersebut, “pemimpin gereja” tersebut harus segera dicopot dari pemimpin gereja, karena sudah meninggikan diri dan menghina Allah. Kembali, ketika kita belajar dan mengakui otoritas Alkitab, maka kita harus menerima pengakuan iman tersebut beserta konsekuensi logis dan praktisnya. Ketika Alkitab menjadi otoritas bagi ajaran dan kehidupan Kristen kita, maka:
a) Semua pengajaran (Kristen) harus diuji berdasarkan Alkitab
Konsekuensi pertama pengakuan iman tentang otoritas Alkitab adalah semua pengajaran baik Kristen maupun duniawi harus diuji berdasarkan Alkitab.
Pertama, pengajaran Kristen. Semua pengajaran Kristen yang beres harus dibangun di atas dasar Alkitab dengan penafsiran yang dapat dipertanggungjawabkan keakuratannya. Memang benar di zaman postmodern, aliran-aliran Kristen bermunculan di mana-mana dan herannya mereka mengklaim “Alkitabiah.” Benarkah mereka Alkitabiah? Bukankah mereka yang mengklaim “Alkitabiah” juga mendasarkan ajaran-ajarannya pada Alkitab? Dari mana kita mengetahui bahwa mereka “Alkitabiah”? Semua yang mengklaim “Alkitabiah” tidak menjamin mereka benar-benar mengerti totalitas Alkitab. Saya harus mengatakan satu hal penting: tidak ada satu aliran Kristen yang seharusnya mengklaim diri Alkitabiah. Mengapa? Karena jika ada satu aliran Kristen mengklaim diri Alkitabiah menandakan bahwa aliran tersebut sudah merasa diri paling benar dan itu menunjukkan kesalahan aliran tersebut. Adalah lebih bijaksana, mengutip perkataan Pdt. Dr. Stephen Tong, jika kita mengganti kata “Alkitabiah” dengan kata “mendekati Alkitab” jika ajaran-ajaran kita benar-benar mendekati Alkitab dengan prinsip penafsiran yang ketat dan bertanggungjawab. Kembali, bagaimana kita mengetahui bahwa aliran yang mengklaim “Alkitabiah” itu benar-benar Alkitabiah? Apakah kita hanya melihat buktinya bahwa pendiri atau penganut aliran tersebut memegang dan membaca Alkitab? TIDAK. Tidak semudah itu. Kita bisa menguji suatu ajaran dari aliran tertentu dalam Kekristenan bukan hanya dengan membaca Alkitab, tetapi dengan mengerti Alkitab secata totalitas dan komprehensif. Artinya, kita mengerti Alkitab bukan asal main comot ayat lalu ditafsirkan seenaknya sendiri, seperti metode penafsiran ala postmodernisme yang semau gue. Namun, kita mengerti Alkitab secara terintegrasi dari Kejadian s/d Wahyu. Misalnya, keselamatan Kristen apakah karena iman atau iman + perbuatan baik atau perbuatan baik saja? Penganut Katolisisme dan Arminianisme percaya bahwa keselamatan Kristen karena iman + perbuatan baik. Jika orang Kristen hanya beriman saja tanpa berbuat baik, maka mereka akan kehilangan keselamatan. Mereka mendasarkan pengajaran mereka dari Filipi 2:12 dan Yakobus 2:14-26. Kedua nats Alkitab yang dikutip tersebut memang tidak salah dan benar-benar menjelaskan tentang pentingnya perbuatan baik demi kemuliaan Allah. Namun sayang, jika suatu doktrin dibangun hanya dari kedua nats Alkitab tersebut, maka doktrin tersebut berbahaya, karena tidak memerhatikan pengajaran lain di Alkitab. Di bagian lain, Rasul Paulus dengan jelas dan gamblang mengajarkan, “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.” (Ef. 2:8-9) Perhatikan, Paulus mengajar bahwa keselamatan kita yang diperoleh melalui iman itu meliputi dua hal yang saling berkaitan erat, yaitu: pertama, merupakan anugerah/pemberian Allah dan kedua, bukan hasil pekerjaan manusia. Berarti keselamatan kita murni 100% adalah anugerah Allah dan tidak ada unsur jasa baik manusia sedikit pun juga. Bukankah pengajaran Paulus ini begitu jelas? Hal yang sama ditekankan Paulus melalui suratnya kepada jemaat di Roma, “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah, dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus.” (Rm. 3:23-24) Kembali, Paulus mengajar kita bahwa kita dibenarkan di hadapan Allah bukan karena jasa baik kita, namun karena kasih karunia Allah. Malahan, di bagian ini, Paulus dengan jelas mengaitkan ayat 23 dan 24 dengan menunjukkan satu prinsip: karena semua orang telah berdosa dan mengurangi kemuliaan Allah (mengikuti terjemahan Alkitab bahasa Inggris), maka kita dibenarkan di hadapan Allah bukan karena jasa baik kita (yang tentu berdosa), namun karena anugerah/kasih karunia Allah.
Lalu, benarkah jika kita hanya beriman dan tidak berbuat baik, kita bisa kehilangan keselamatan? Seolah-olah jika kita memerhatikan kutipan ayat Alkitab dari pihak Arminian yang mengajarkan tentang kehilangan keselamatan, kita mungkin dengan mudahnya terkecoh dan menyetujuinya. Namun sayang, sekali lagi, kutipan ayat Alkitab dari pihak Arminian selalu di luar konteks atau tidak memerhatikan konteks yang ada dan tidak memerhatikan bagian-bagian Alkitab yang sudah jelas mengajar bahwa keselamatan di dalam Kristus tidak akan pernah mungkin bisa hilang. Ada dua argumentasi menjawab konsep ini: argumentasi Alkitab dan argumentasi logika Kristen. Argumentasi pertama didasarkan pada perkataan Tuhan Yesus sendiri di dalam Yohanes 10:27-29, “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku, dan Aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya dan seorangpun tidak akan merebut mereka dari tangan-Ku. Bapa-Ku, yang memberikan mereka kepada-Ku, lebih besar dari pada siapapun, dan seorangpun tidak dapat merebut mereka dari tangan Bapa.” Konteks dari ketiga ayat ini adalah pada saat itu Tuhan Yesus sedang mengajar tentang diri-Nya sebagai Gembala (ay. 1 dan 14). Tuhan Yesus seperti gembala domba yang menggiring domba-dombanya. Penjelasan yang Ia berikan tentang gembala domba dan domba-dombanya begitu jelas mengajar kita bahwa gembala domba tidak akan pernah meninggalkan domba-dombanya bahkan rela berkorban demi domba-dombanya (ay. 11-12, 14-15, 17). Konsep ini juga ditekankan oleh Tuhan Yesus sendiri di dalam perumpamaan tentang domba yang hilang di Lukas 15:1-7. Perikop ini mengajarkan bahwa Kristus seperti gembala yang mencari domba yang tersesat dan bersukacita jika si gembala menemukan domba tersesat itu. Jika gembala domba rela mencari domba yang tersesat, maka logiskah jika gembala itu kemudian meninggalkan domba itu gara-gara domba itu nakal? Dengan demikian, dari dua pengertian ini, kita bisa mengerti alasan Tuhan Yesus mengatakan bahwa Kristus yang mengenal dan memberikan hidup kekal kepada mereka adalah Kristus yang menjamin bahwa mereka PASTI tidak akan binasa sampai selama-lamanya dan tidak seorang pun yang dapat merebut mereka dari tangan-Nya. Hal ini ditambah dengan penjelasan Kristus bahwa Bapa yang memberikan umat pilihan itu kepada Kristus dan Bapa itu lebih besar dari siapa pun. Kepastian inilah yang mengakibatkan tidak mungkin ada yang bisa merebut umat pilihan dari tangan Bapa. Bukankah jaminan ini benar-benar menguatkan dan menghibur umat-Nya bahwa mereka tidak akan pernah kehilangan keselamatan?
Kedua, argumentasi logika Kristen. Kalau kita mau menggunakan logika Alkitab, maka kita bisa menemukan dasar pikirnya. Di dalam Roma 3:23-24 dan Efesus 2:8-9, Paulus sudah menjelaskan bahwa kita dibenarkan di hadapan Allah dan diselamatkan bukan karena jasa baik kita, namun karena anugerah Allah. Nah, dari dasar pikir ini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa keselamatan itu mutlak 100% adalah kedaulatan Allah. Jika demikian, jika Allah yang telah menyelamatkan umat-Nya, logiskah Ia sendiri menarik keselamatan itu karena umat-Nya tersebut murtad atau tidak berbuat baik? Jika pola pikir demikian “benar”, maka sungguh mengasihankan “Allah” demikian, karena “Ia” yang melakukan rencana agung-Nya, “Ia” pulalah yang mengubah rencana-Nya. Benarkah Allah bisa dengan mudahnya mengubah rencana-Nya hanya gara-gara “Ia” putus asa dan kecewa dengan tindakan manusia yang mendukakan hati-Nya? “Allah” seperti apakah itu? Itu jelas bukan Allah yang diberitakan Alkitab. Allah versi Alkitab adalah Allah yang Kekal, Mahatahu, Mahabijaksana, Mahakudus, Mahakasih, Mahaadil, Mahakuasa, dan Mahaagung yang tidak mungkin bisa terkaget-kaget dengan fenomena-fenomena yang terjadi. Ia sudah mengetahui segala sesuatu karena Dia Allah. Sedangkan kita adalah manusia biasa yang diciptakan-Nya yang bisa terkaget-kaget dengan fenomena. Jika “Allah” bisa terkaget-kaget kemudian mengubah rencana karena bete dengan umat-Nya, maukah Anda percaya pada “Allah” yang demikian? Kalau saya pribadi, saya tidak mau, karena “Allah” yang demikian tidak ada bedanya dengan manusia yang mudah berubah kalau lagi bete, heheheJ

Kedua, pengajaran dunia. Ada dua pandangan lebay dari Kekristenan berkenaan dengan pandangan dunia? Ada yang terlalu mudah menerima semua pengajaran dunia tanpa mau diuji berdasarkan Alkitab dan ada juga yang terlalu gegabah menolak semua pengajaran dunia karena semua pengajaran dunia, katanya, bertentangan dengan Alkitab. Pandangan lebay pertama diwakili oleh beberapa (atau mungkin banyak?) golongan Kristen Protestan arus utama (termasuk di dalamnya beberapa Katolik) yang hampir menjadi liberal terselubung. Tidak heran, seorang “pendeta” dari gereja Protestan bisa dengan mudahnya mendukung feminisme ekstrem dan (berencana) mengganti kata “Bapa” di dalam Doa Bapa Kami. Pandangan lebay kedua diwakili oleh beberapa (atau mungkin banyak) Pentakosta/Karismatik. Tentang pandangan kedua ini, saya memiliki contoh nyata yang saya dengar dari seorang teman kuliah saya dahulu yang bergereja di salah satu gereja Karismatik terkenal di Surabaya. Seorang pendeta yang masih muda dari gereja Karismatik terkenal di Surabaya pernah mengajar bahwa jemaatnya tidak diperbolehkan membaca atau menonton The Da Vinci Code. Lucu bukan? Jemaatnya tidak boleh membaca atau menonton The Da Vinci Code, tolong tanya, apakah si pendeta sudah membaca/menontonnya? Saya menduga, pasti sudah. Mengapa? Karena jika belum membaca atau menonton, maka si pendeta tidak mungkin bisa melarang jemaatnya untuk membaca atau menontonnya. Inilah gejala kekanak-kanakan iman.
Lalu, bagaimana sikap Kristen yang beres? Semua pandangan dunia harus diuji berdasarkan Alkitab. Mengapa? Karena mayoritas pengajaran dunia dibangun di atas dasar asumsi manusia berdosa, jadi, sebagai orang Kristen, sangatlah wajar jika kita meletakkan semua pengajaran dunia di bawah penghakiman Alkitab. Setelah menghakimi semua pengajaran dunia dengan dasar uji Alkitab, maka apa yang harus kita lakukan kemudian? Ada dua hal yang harus kita lakukan: mempelajari dan menerima pengajaran dunia yang tidak bertentangan dengan Alkitab dan kedua, tetap mempelajari dan menolak pengajaran dunia yang bertentangan dengan Alkitab. Perhatikan kata-kata yang saya garis bawahi. Bagi pengajaran dunia yang sesuai dengan Alkitab, kita harus mempelajari dan menerimanya. Namun bagi pengajaran dunia yang bertentangan dengan Alkitab, kita tetap mempelajarinya namun menolaknya. Mengapa demikian? Mengapa kita tetap mempelajari pengajaran dunia yang melawan Alkitab? Jika ada yang bertanya demikian, saya akan bertanya balik, mengapa kita tidak mau mempelajari pengajaran dunia yang melawan Alkitab? Apakah kita takut bahwa pengajaran dunia yang melawan Alkitab itu nantinya memengaruhi kita? Jika ya, itu membuktikan bahwa iman dan pengertian orang itu akan Alkitab masih rendah dan kekanak-kanakan yang mudah ditipu. Jika orang Kristen benar-benar dewasa dalam iman tidak akan takut ditipu oleh pengajaran dunia, maka ia akan tetap mempelajari semua pengajaran dunia yang melawan Alkitab sekalipun, namun bedanya ia TIDAK akan menyetujuinya. Lalu, apa tujuan mempelajari pengajaran dunia yang melawan Alkitab? Ya, untuk melihat kreativitas sekaligus keberdosaan manusia yang melawan Allah. Dari pengajaran dunia yang melawan Alkitab, kita bisa sisi positif dan banyak sisi negatif/kelemahan dari ajaran tersebut.

Biarlah kita semakin bijaksana mempergunakan Alkitab sebagai dasar uji bagi pengajaran baik Kristen maupun dunia.

b) Semua praktik hidup Kristen harus diuji berdasarkan Alkitab
Bukan hanya pengajaran, seluruh praktik hidup Kristen harus diuji berdasarkan Alkitab. Artinya, Alkitab berhak menghakimi praktik hidup Kristen yang jelas-jelas tidak beres. Contoh, praktik KKN, aborsi, euthanasia, dll ditentang oleh Alkitab. Namun di zaman postmodern dengan hadirnya etika situasi dari Joseph Fletcher mengakibatkan beberapa atau mungkin banyak orang Kristen mulai mengkompromikan standar etika Kristennya. Etika tidak lagi didasarkan pada prinsip Alkitab yang tegas, namun didasarkan pada situasi dan kondisi. Tidak heran, di suatu negara, di dalam gereja, ada “pendeta/uskup” homo/lesbian atau yang melegalkan (memberkati) pernikahan sesama jenis. Belakangan ini saya mendengar dari seorang rekan dan dikonfirmasi oleh pendeta dari sebuah gereja Injili Karismatik, di Indonesia sendiri ada seorang “pemimpin gereja” yang juga menulis buku membentuk persekutuan di Surabaya yang terdiri dari mayoritas anak-anak muda (cewek), kemudian setelah persekutuan tersebut, si “pemimpin gereja” melakukan free-sex dengan para gadis tersebut. Namun si “pemimpin gereja” masih mengklaim dirinya “nabi.” Luar biasa mengerikan. Tidak hanya itu saja, konsep berdusta pun sekarang diperhalus. Sekarang ada pembedaan antara: bohong putih (white lies) dan bohong hitam. Bohong putih itu artinya berdusta demi tujuan kebaikan, sedangkan bohong hitam artinya berdusta bukan bertujuan kebaikan. Dengan kata lain, standarnya bukan lagi kebenaran, namun kebaikan. Seorang rekan gereja saya membedakan dua kata ini: kebenaran vs kebaikan. Kebenaran bisa mengandung unsur kebaikan (namun juga bisa tidak baik) menurut manusia. Namun, kebaikan TIDAK selalu mengandung unsur kebenaran. Baik menurut standar manusia belum tentu baik dan benar menurut standar Allah. Perbedaannya: baik menurut standar manusia biasanya berarti menyenangkan, menguntungkan, dan bermanfaat. Jika tidak bermanfaat dan terus merugikan, maka biasanya orang mencapnya tidak baik. Asas manfaat memang ada sisi positifnya, karena tidak mungkin sesuatu dikerjakan tanpa ada manfaat sama sekali, namun asas manfaat ini jangan dijadikan patokan segala-galanya. Jika asas manfaat dijadikan patokan segala-galanya, ada yang tidak beres dengan diri kita, karena dengan menjadikan asas manfaat sebagai patokan segala-galanya, kita terlalu memberhalakan fenomena lebih daripada esensi.

Setelah mengerti bahwa semua praktik hidup Kristen harus diuji berdasarkan Alkitab, maka apa yang harus kita lakukan?
Pertama, taat. Problematika utama Kekristenan bukan masalah ketidaktahuan atau ketidakmengertian, namun ketaatan. Fakta membuktikan beberapa (atau mungkin banyak?) orang Kristen sudah mengetahui dan mengerti begitu banyak doktrin Kristen yang beres, namun sayangnya, tidak mau menaatinya dengan menjalankannya. Bagi orang ini, mengenal Allah identik dengan mengerti begitu banyak doktrin. Padahal hal tersebut salah. Prof. J. I. Packer, D.Phil. di dalam bukunya Knowing God membedakan realitas antara mengenal Allah vs mengenal tentang Allah. Dr. Packer menyimpulkan satu prinsip, “Pengetahuan yang sedikit dari Allah lebih berharga daripada pengetahuan yang banyak tentang Dia.”[1] Dari prinsip ini, Dr. Packer mengemukakan dua hal: “Seseorang dapat mengetahui banyak tentang Allah tanpa banyak mengenal-Nya.”[2] dan “Seseorang dapat mengetahui banyak tentang kesalehan tanpa banyak mengenal-Nya.”[3] Lalu, apa arti mengenal Allah? Dengan bijaksana, Dr. Packer mengemukakan definisi dari mengenal Allah, “mengenal Allah mencakup, pertama, mendengarkan firman Allah dan menerimanya sebagaimana Roh Kudus menafsirkannya, serta menerapkannya pada diri sendiri; kedua, memperhatikan sifat dan karakter Allah, seperti dinyatakan melalui firman dan karya-Nya; ketiga, menerima undangan-Nya, dan melakukan apa yang Ia perintahkan; keempat, menyadari dan bersukacita di dalam kasih yang telah IA tunjukkan saat Ia mendekati Anda dan menarik Anda ke dalam persekutuan ilahi itu.”[4] Saya akan meringkaskan empat hal yang Dr. Packer paparkan. Mengenal Allah mencakup: mendengar dan menerima Firman, mengerti Firman, menerima undangan Allah dan menjalankannya, dan bersukacita di dalam Allah melalui firman-Nya. Dari ringkasan ini, kita menemukan seluruh totalitas hidup kita (hati, pikiran, afeksi, dan tindakan) dikaitkan dengan Allah. Ketika kita mengenal Allah, secara otomatis kita terus berkomitmen untuk menaati apa yang diperintahkan-Nya, meskipun tentu hal ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ketaatan membutuhkan suatu proses dan di dalam proses itu membutuhkan kerelaan dan komitmen. Relakah kita taat pada firman Allah atau pada nafsu diri kita? Kedua, berkomitmenkah kita untuk terus menjalankan firman-Nya meskipun ada pencobaan menghadang perjalanan iman kita?

Kedua, rendah hati. Bukan hanya taat, kita dituntut untuk rendah hati di hadapan-Nya. Ada orang Kristen yang sudah belajar banyak doktrin, namun kurang memperhatikan satu aspek ini: rendah hati. Dia tahu bahwa perbuatan tertentu itu salah, namun dia dengan mudahnya membuat suatu argumentasi untuk mendukung perbuatan itu. Jika orang ini ditegur, dia bukannya rendah hati, malahan berargumentasi, “who say, who pay.” Konsep “who say, who pay” memang ada benarnya dan hal ini menghindari agar orang Kristen jangan sembarangan memberikan usulan namun tidak mau terlibat dan bertanggungjawab. Namun jika konsep ini diekstremkan (di-lebay-kan) dan diaplikasikan di dalam kehidupan Kristen sehari-hari dengan motivasi dan tujuan tidak beres, misalnya: tidak mau menerima sumbangan saran apa pun, itu bisa berbahaya. Dengan kata lain, selain taat, orang Kristen yang beres harus rendah hati. Rendah hati bukan rendah diri! Rendah diri berarti minder dan tidak mengakui anugerah Allah berupa talenta dan kelebihan atas dirinya. Namun rendah hati berarti dengan kerelaan hati siap ditegur jika kita bersalah. Meskipun kita harus tetap berwaspada bahwa tidak semua teguran itu beres, komprehensif, dan benar, namun kita tidak boleh lebay lagi lalu menolak semua teguran dan menganggap bahwa konsep kita sendiri yang paling benar dan bijaksana. Berhati-hatilah terhadap konsep-konsep dan aplikasi-aplikasi lebay, karena itu bisa berbahaya. Mengapa kita perlu rendah hati menerima teguran dari orang lain? Karena kita harus mengakui keterbatasan kita sebagai manusia yang kadang lemah iman atau kurang bijaksana. Di saat itulah, Tuhan mengirim hamba Tuhan, orangtua, rekan, pasangan hidup, teman kita untuk menegur kita. Bagi orang yang menegur orang lain, camkan satu hal: jangan sombong! Saya menjumpai ada orang “Kristen” yang menegur kesalahan orang lain, lalu dia menjadi sombong dan berkata dengan terus terang bahwa tanpa dirinya, orang lain itu tidak bisa apa-apa. Dengan kata lain, kerendahan hati harus dimiliki oleh semua orang tanpa kecuali. Jangan berpikir bahwa karena kita menegur orang lain, maka kita bisa lepas dari sikap rendah hati. Sekali lagi, introspeksi diri kita masing-masing!

2. Ada Kerelatifan
Selain kebenaran absolut/mutlak, Kekristenan juga mengakui adanya hal-hal yang relatif. Artinya, hal-hal relatif tersebut biasanya tidak ditekankan oleh Alkitab, namun diajarkan secara implisit di Alkitab. Contohnya, baptisan anak. Dari Perjanjian Lama sampai dengan Perjanjian Baru, konsep ini berlanjut secara implisit. Rev. Prof. Richard L. Pratt, Jr., Th.D. di dalam kuliahnya Why Do We Baptize Our Children? menjabarkan bahwa di dalam PL, anak-anak dari kecil disunat, namun di dalam PB, sunat itu diganti dengan baptisan. Dan uniknya, baptisan ini, seperti hanya sunat, juga berlaku untuk anak kecil. Baik sunat maupun baptisan, kedua tanda ini adalah tanda perjanjian (kovenan) antara Allah dan manusia. Mari kita lihat di dalam PB tentang baptisan anak secara implisit. Di dalam Kisah Para Rasul 16:33, setelah Paulus memberitakan Injil kepada kepala penjara di Filipi, Alkitab mencatat, “Pada jam itu juga kepala penjara itu membawa mereka dan membasuh bilur mereka. Seketika itu juga ia dan keluarganya memberi diri dibaptis.” Secara logis, “ia dan keluarganya memberi diri dibaptis” berarti termasuk anak-anak juga dibaptis. Jika tidak demikian, maka tentulah Alkitab mencatat, “ia dan keluarganya, kecuali anak-anak, memberi diri dibaptis.” Namun Alkitab tidak memberi indikasi demikian. Pengajaran Reformed/Calvinis tentang baptisan anak didasarkan pada pengertian komprehensif akan Alkitab. Namun konsep tentang baptisan anak TIDAK pernah dimutlakkan di dalam Alkitab. Dengan kata lain, meskipun secara implisit, konsep baptisan anak diajarkan di Alkitab, namun Alkitab tetap silent di dalam mengajar tentang baptisan anak. Alkitab TIDAK pernah mengajar bahwa yang tidak menjalankan baptisan anak itu sesat atau sebaliknya yang menjalankan baptisan anak itu sesat. Sehingga dengan bijaksana, theologi Reformed yang beres TIDAK memutlakkan baptisan anak! Ini yang saya sebut sebagai hal relatif. Nah, menurut Pdt. Dr. Stephen Tong, yang relatif ya jangan dimutlakkan!


B. Tindak Lanjut
Setelah mengerti dasar presuposisi Kristen menghadapi dan mengobati lebay-isme, maka apa yang harus kita lakukan?
1. Peka Membedakan Mutlak Vs Relatif Berdasarkan Alkitab
Kemutlakan dan kerelatifan di dalam Kekristenan bukan hanya dimengerti di dalam pikiran kita saja, tetapi harus diaplikasikan. Aplikasi tersebut harus berupa suatu kepekaan membedakan mana yang mutlak dan relatif berdasarkan Alkitab. Kecenderungan beberapa (atau mungkin banyak?) orang Kristen khususnya Reformed (terutama hamba-hamba Tuhan tertentu) adalah terlalu menyamaratakan segala sesuatu. Hal-hal relatif yang seharusnya bisa ditoleransi akhirnya menjadi hal-hal mutlak. Sebaliknya, di beberapa (mungkin juga banyak) kalangan Protestan arus utama (dan Katolik), hal-hal mutlak malahan direlatifkan. Pdt. Dr. Stephen Tong mengajar satu prinsip bagus dan bijaksana: yang mutlak jangan direlatifkan dan yang relatif jangan dimutlakkan! Berarti, kita harus peka membedakan mana yang mutlak dan relatif di dalam Kekristenan. Jangan menganggap semuanya relatif dan jangan pula menganggap semuanya mutlak! Tindakan lebay tersebut bisa berbahaya. Biasanya tindakan lebay ini berdampak pada beberapa (bahkan mungkin banyak) jemaat yang kurang dewasa. Akhirnya, beberapa (atau mungkin banyak) jemaat bukan lagi kritis terhadap zaman sesuai dengan Alkitab, tetapi sesuai dengan perkataan si pendeta. Waspadalah! Waspadalah!

Lalu, bagaimana kita bisa memiliki kepekaan tersebut? Ya, tidak ada jalan lain, belajarlah Alkitab. Galilah Alkitab dan belajarlah melalui buku-buku rohani/theologi yang berkualitas untuk memperkaya pengetahuan kita akan Kekristenan dan sekaligus membawa kita makin mencintai dan mengenal Tuhan dan firman-Nya. Percayalah, orang Kristen bahkan hamba Tuhan yang makin teliti dan ketat mengerti Alkitab, tak mungkin orang itu menjadi lebay, karena Alkitab anti dengan lebay-isme! HeheheJ

2. Belajar Menghormati Orang Lain yang Berbeda dalam Hal-hal Primer maupun Sekunder
Setelah peka membedakan mana yang mutlak dan relatif, apa tindakan kita selanjutnya? Tindakan kita selanjutnya adalah belajar mengasihi dan menghormati orang lain. Namun, jangan salah mengerti jawaban saya ini. Saya tidak sedang mengajarkan relativitas, tetapi saya sedang menekankan sikap bijaksana. Kita harus belajar mengasihi dan menghormati orang lain dalam hal-hal primer maupun sekunder dengan bijaksana:
a) Berbagi prinsip dan iman kita yang berdasarkan Alkitab (=memberitakan Injil) tanpa memaksa
Mengasihi dan menghormati orang lain dalam hal-hal primer ditandai dengan sikap kita yang penuh kasih membagikan prinsip dan iman kita yang berdasarkan Alkitab kepada orang-orang di sekitar kita yang belum mengenal Kristus atau pun “Kristen” yang tidak mengenal Kristus secara utuh yang masih memercayai bahwa di luar Kristus masih ada keselamatan. Kepada orang-orang demikian, kita harus memberitakan Injil Kristus dengan bijaksana. Artinya, kita memberitakan Injil dengan kasih, namun tegas, tidak kompromi namun tidak memaksa juga. Jika orang yang kita injili tidak mau menerima Injil yang kita beritakan, jangan pernah memaksa. Ingatlah, di dalam penginjilan, yang dipentingkan bukan teknik-teknik penginjilan, namun kuasa Roh Kudus, meskipun tidak berarti teknik penginjilan dan doktrin Kristen tidak diperlukan. Jangan menjadi lebay lagi ya, heheheJ Di dalam penginjilan, Roh Kudus bekerja dengan begitu rupa sesuai kehendak-Nya. Meskipun orang yang kita injili menolak apa yang kita sampaikan, percayalah, jika orang ini termasuk salah satu umat pilihan-Nya, Roh Kudus akan mencerahkan hati dan pikirannya tentang Injil melalui orang lain yang memberitakan Injil di kesempatan lain. Oleh karena itu, jangan pernah memaksa ketika kita menginjili orang lain.

Jika ada orang yang tidak mau menerima berita Injil yang kita sampaikan, selain tidak memaksa, bagaimana sikap kita terhadap orang tersebut? Sesuai dengan prinsip kasih, kita TIDAK perlu memusuhi bahkan mengutukinya. Kita bisa bersahabat dengannya, namun tetap TIDAK boleh kompromi untuk masalah iman.

b) Belajar menghormati orang lain yang berbeda dari kita dalam hal-hal sekunder
Selain hal-hal primer, kita pun dituntut untuk belajar menghormati orang lain yang berbeda dari kita dalam hal-hal sekunder. Hal ini rupa-rupanya agak susah dijalankan oleh beberapa orang bahkan hamba Tuhan Reformed. Mengapa? Karena mereka terlalu kaku mempertahankan theologi Reformed, sehingga mereka tidak lagi berpegang pada Sola Scriptura (hanya Alkitab saja), namun sudah (sedang dan akan) menjadi Sola Reformed. Padahal prinsip Reformed selain Sola Scriptura juga begitu tegas: Ecclesia Reformata Semper Reformanda (gereja-gereja Reformed terus-menerus di-Reformed-kan) Dengan kata lain, proses di-Reformed-kan yang ditekankan oleh Reformed berarti gereja Reformed bukan gereja yang statis, namun dinamis, sesuai dengan gerakan Roh Kudus yang mencerahkan melalui Alkitab. Berarti, yang menjadi inti Kekristenan/Reformed seharusnya Alkitab, sebagaimana yang ditekankan oleh Dr. Martin Luther maupun Dr. John Calvin. Namun, entah mengapa beberapa pengikut Calvinisme menyimpang dari tujuan itu dan menciptakan rumusan-rumusan tersendiri yang menjadi lebay: Sola Reformed. Waspadalah! Waspadalah!

Jika Alkitab menjadi satu-satunya dasar, maka mengikuti dasar presuposisi kita di atas bahwa ada hal yang mutlak dan relatif, maka kita pun sebagai orang Kristen (bahkan Reformed) harus peka membedakan mana yang mutlak dan relatif, kemudian disusul dengan sikap kita terhadap mereka yang berbeda dari kita dalam hal-hal sekunder/relatif. Misalnya, kita yang bertheologi Reformed yang percaya akan baptisan anak, bagaimana kita memandang saudara Kristen kita yang menolak baptisan anak? Apakah kita memusuhi mereka? Jika ya, maka kita kurang mengasihi. Maka saya mengambil sikap untuk tetap mengasihi mereka, namun tetap tidak mau berkompromi. Artinya, kita memiliki pandangan sendiri yang tegas, namun tetap bisa menoleransi orang Kristen lain yang berbeda pendapat dari kita dalam hal baptisan anak tersebut. Begitu juga halnya dengan perbedaan konsep akhir zaman: Amillenialisme, Premillenialisme, Dispensasionalisme, dan Postmillenialisme. Perbedaan itu tidak perlu diperdebatkan.

Di dalam kehidupan sehari-hari, hal-hal sekunder (bahkan tersier) pun jangan diperdebatkan sampai berkelahi. Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. di dalam salah satu khotbahnya pernah menceritakan bahwa di dalam konseling yang beliau layani, ada satu keluarga yang berkelahi hanya gara-gara beda cara meletakkan barang tertentu. Si suami meletakkan barang itu di X, sedangkan si istri meletakkan barang itu di Y. Hanya gara-gara itu, suami istri bertengkar. Ya, inilah lebay-isme dalam hidup berkeluarga. Belajarlah hidup menghormati orang lain dan bertoleransi (namun JANGAN sampai kebablasan!)


[1] J. I. Packer, Knowing God: Tuntunan Praktis Untuk Mengenal Allah (Yogyakarta: Yayasan ANDI, 2008), hlm. 15.
[2] Ibid., hlm. 15.
[3] Ibid., hlm. 17.
[4] Ibid., hlm. 30.

No comments: