21 October 2007

Refleksi Reformasi 2007 (1) : REFORMED SPIRIT AND EPISTEMOLOGY-1 (Denny Teguh Sutandio)

Refleksi Hari Reformasi 2007 (1)



REFORMED SPIRIT AND EPISTEMOLOGY-1

oleh : Denny Teguh Sutandio



2 Tim 4:1 Di hadapan Allah dan Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati, aku berpesan dengan sungguh-sungguh kepadamu demi penyataan-Nya dan demi Kerajaan-Nya:
2 Tim 4:2 Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran.
(2 Timotius 4:1-2)



Pendahuluan
Kepada anak rohaninya, Timotius, Rasul Paulus berpesan dengan sungguh-sungguh di hadapan Allah dan Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan mati untuk memberitakan Firman, bersiap sedia baik atau tidak baik waktunya, menegur (KJV : reprove), memarahi (KJV : rebuke) yang salah dan menasehati/mendorong (KJV : exhort) dengan segala kesabaran pengajaran. Mengapa ? Kalau kita melihat 1 pasal sebelumnya yaitu di pasal 3 ayat 2a, Paulus sudah mengajarkan bahwa pada hari-hari terakhir (last days), manusia akan menjadi hamba diri (humanisme) dan hamba uang (materialisme). Bukan hanya itu, di ayat berikutnya, sejak ayat 2b s/d 9, kita mempelajari implikasi praktis dari ayat 2a, sehingga kita semakin jelas mengapa Paulus berpesan kepada Timotius di pasal 4 ayat 1-2 untuk sungguh-sungguh memberitakan Firman, menegur, memarahi dan menasehati mereka yang salah dengan kesabaran pengajaran, yaitu karena manusia semakin lama semakin melarikan diri dari Kebenaran Firman (hal ini ditegaskan kembali di 2 Timotius 4 ayat 3-4).

Dunia di mana Timotius hidup adalah dunia yang sama dengan dunia postmodern yang kita hidupi sekarang. Bahkan kalau boleh dibilang, dunia postmodern sekarang lebih parah ketimbang dunia di mana Timotius hidup. Dunia postmodern adalah benar-benar realisasi praktis dari 2 Timotius 4:3-4 di mana banyak orang tidak mau lagi mendengarkan ajaran yang beres/bertanggungjawab, berani mengumpulkan guru-guru untuk mengajarkan apa yang mereka senangi dengan cara : memalingkan telinga dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng/mitos (King James Version : fables ; dalam bahasa Yunani berarti myth). Bukan hanya itu saja, filsafat postmodern disisipi dengan spiritualitas Timur, yaitu Gerakan Zaman Baru (New Age Movement) yang diprakarsai oleh Hinduisme, Buddhisme, Orientalisme Tiongkok, dll. Kedua ajaran ini merasuki keKristenan dengan berbagai ajaran yang tidak bertanggungjawab. Sebagai orang Kristen yang beres, bagaimana kita dapat teguh berdiri di dalam Kristus dan mengatasi kedua ajaran ini ? Tidak ada jalan lain, kecuali kembali kepada semangat Reformasi.



Reformed Spirit (God-Centered Theology) and Reformed Epistemology
Semangat Reformasi adalah semangat mulia dari hamba-Nya, Dr. Martin Luther (1483-1546) untuk mereformasi gereja agar sesuai dengan kebenaran Alkitab. Semangat ini diteruskan oleh John Calvin, di mana Calvin adalah bapak theologia Reformed. Theologia Reformasi dan Reformed sama-sama memiliki pengajaran yang berpusat kepada kedaulatan dan anugerah Allah dan bukan kepada kehendak “bebas” manusia. Sehingga theologia Reformed dapat disebut theology from above (theologia dari atas), artinya theologia ini berpusat kepada Allah (God-centered theology). Kalau kita memperhatikan sejarah berdirinya gerakan Reformasi, kita akan mengerti bahwa gerakan Reformasi dan Reformed berada di suatu zaman Renaissance (tahun 1400-1600), “kelahiran kembali dalam pembelajaran dan pencarian pengetahuan sekuler.” (John D. Currid, Membangun Wawasan Dunia Kristen-1, 2006, p. 149). Ketika Abad Pertengahan yang berusaha mensintesiskan filsafat Yunani dan Alkitab lalu ditambah pengaruh Renaissance yang menekankan otoritas dan superioritas (rasio) manusia, Tuhan membangkitkan para hamba-Nya yang setia kepada firman-Nya, dari Augustinus, Dr. Martin Luther, John Calvin, dll untuk mengembalikan keKristenan kepada Kebenaran final yang tertinggi, Alkitab (back to the Bible). Sola Scriptura berarti kita sebagai umat pilihan-Nya di dalam Kristus menjadikan Alkitab sebagai satu-satunya standar kebenaran Allah yang final dan ultimat bagi iman dan kehidupan kita sehari-hari. Selain itu, Luther juga menekankan Sola Gratia (hanya melalui anugerah), artinya keselamatan di dalam Kristus hanya melalui anugerah Allah yang mengaruniakan Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dosa-dosa manusia. Kemudian, Luther juga mengajarkan Sola Fide (hanya melalui iman), artinya keselamatan di dalam Kristus hanya melalui iman di dalam Kristus yang merupakan anugerah Allah. Mengapa hanya melalui iman ? Karena hanya melalui iman di dalam Kristus yang merupakan anugerah Allah, kita yang berdosa diimputasikan kebenaran dari ketaatan dan kebenaran Kristus melalui penebusan-Nya di kayu salib. Atau dengan kata lain, kita dijadikan benar/dibenarkan oleh Allah di dalam Kristus melalui Roh Kudus. Terakhir, ketiga Sola ini berpusat kepada Soli Deo Gloria (segala kemuliaan hanya bagi Allah). Soli Deo Gloria bukan hanya berkenaan dengan keselamatan, tetapi juga berimplikasi di dalam iman, doktrin dan kehidupan sehari-hari yang menjadikan Allah sebagai Tuhan, Raja dan Penguasa Hidup sejati. Keempat semangat Reformasi ini sangat sesuai dengan ajaran Alkitab dari Paulus, “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Roma 11:36) Inilah dasar epistemologi Reformasi dan Reformed yang bersumber dari Allah, oleh Allah dan semuanya hanya untuk kemuliaan Allah saja. Ketika seseorang kembali kepada dasar epistemologi yang bertanggungjawab di dalam wahyu khusus Allah, Alkitab, maka kita bisa melihat dunia sekeliling kita dengan perspektif kedaulatan Allah dan kita berusaha untuk mengembalikan dunia kita kembali kepada Allah dengan cara menebusnya.

Oleh karena itulah, di dalam waktu menjelang hari Reformasi, 31 Oktober, selama 3 minggu berturut-turut, kita akan merenungkan tiga subtema pengenalan tokoh dan ajaran dari Augustinus (Vs Pelagius dan Thomas Aquinas), Dr. Martin Luther (Vs D. Erasmus), dan John Calvin (Vs Jacobus Arminius). Ketiga tokoh ini dianggap sebagai tokoh Kristen yang berpengaruh dan setia kepada pengajaran Alkitab. Lalu, kita akan mencoba menyelidiki para “musuh” Kebenaran yang mencoba menggusur Allah dari tahta-Nya dan menggantikannya dengan otoritas rasio manusia, kemudian, bagaimana kita menghadapi dan menantang mereka (dan para pengikutnya) agar mereka juga kembali kepada Alkitab.



Bapa Gereja Augustinus : Profil Singkat dan Ajaran-ajarannya
Bapa Gereja Aurelius Augustinus (13
November 354–28 Agustus 430), menurut Prof. Charles S. MacKenzie, Ph.D. di dalam salah satu artikelnya, Jeda Alkitabiah : Trinitarianisme Augustinus di dalam buku Membangun Wawasan Dunia Kristen Volume 1 : Allah, Manusia, dan Pengetahuan (Momentum, 2006), adalah “seorang tokoh besar yang memberikan karakter formatif bagi banyak pemikiran Kristen.” (MacKenzie, 2006, p. 89) Augustinus dilahirkan pada tahun 354 di Tagaster, Aljazair dari seorang ayah, Patricius yang tidak mempedulikan moralitas dan seorang ibu, Monica, seorang Kristen yang berbakti.

Pada masa mudanya, Augustinus memiliki kegemaran-kegemaran, seperti atletik, sangat kompetitif, dan ahli melempar umban. Yang lebih parahnya, ia juga memiliki kebiasaan-kebiasaan buruk, antara lain : berjudi, bertengkar, berkelahi, berdusta, mencuri, dan hidup tidak tertib. Kebiasaan buruk ini mulai terlihat jelas pada usia remajanya di mana gairah seks dan sensualitasnya (percabulan) berkembang. Percabulannya semakin berkembang ketika di usia 16 tahun, ia memiliki seorang wanita simpanan di Kartago dan wanita itu melahirkan anak, Adeodatus. Bukan hanya terpengaruh oleh gairah seks, ia juga terpengaruh oleh banyak filsafat dunia. Filsafat pertama yang mempengaruhinya adalah Manichaeanisme yang didirikan oleh Mani dari Babilonia yang mengajarkan tentang dualisme (=kerajaan terang yang kosmis berperang melawan kerajaan kegelapan yang kosmis) dan bahwa keselamatan datang dari pemikiran (rasio) yang benar dan penolakan asketis terhadap selera dan nafsu jasmaniah. Para penganutnya dibagi menjadi dua golongan : yang sedikit (=orang-orang pilihan : menjalani kehidupan monastis yang keras/bertarak) dan yang banyak (=ditetapkan menjadi pendengar : hanya menerima doktrin-doktrin secara intelektual). Augustinus menjadi pendengar Manichaeanisme. Kemudian, ia berpindah ajaran, dan pada usia 30 tahun, ketika pindah dari Kartago ke Roma, ia menjadi seorang skeptis dan terpengaruh oleh Neo-Platonisme (revisi dari filsafat Plato). Setahun kemudian, ia pindah ke Milan dan menjadi guru retorika. Ketika ia tidak mengajar, ia mulai mempelajari Neo-Platonisme yang mengajarkan : (1) Allah adalah Keberadaan yang murni dan sempurna. (2) Dari Allah memancar akal budi yang universal, kemudian satu jiwa dunia, dan akhirnya alam materi. (3) Manusia naik kepada Allah dengan menjalani suatu kehidupan asketis yang ketat dan melibatkan diri dalam meditasi mistis sebagai satu jalan keselamatan.

Tetapi puji Tuhan, Ia tidak membiarkan hamba-Nya tersesat begitu lama, sehingga Ia memakai ibunya, Monica untuk mendorong Augustinus untuk menghadiri gereja, dan akhirnya Augustinus mau menghadiri gereja dan mulai mendengar khotbah-khotbah dari Uskup Ambrose dari Milan. Sejak saat itu, ia mulai bertobat dan meninggalkan wanita simpanannya. Pada Juli 386, pada usia 32 tahun, seorang kawan Augustinus bertanya kepadanya untuk menantangnya, “Apa yang sedang saya lakukan di atas bumi ini ?” Setelah kawannya pulang, ia keluar ke tamannya dan mendengar suara seorang anak kecil bermain dan berkata, “Ambil dan bacalah.” Lalu, Augustinus menemukan kitab yang terdekat, Alkitab dan membuka secara acak Roma 13:13-14. Pada saat itulah, Augustinus sungguh-sungguh bertobat. Pada Paskah berikutnya, ia dibaptis oleh Ambrose di Milan.

Augustinus lalu kembali ke Afrika dan menjadi Uskup di Hippo, Afrika Utara selama 35 tahun. Buku-buku yang ditulisnya berjumlah 230, lebih dari 50 jilid buku tebal, tiga di antaranya yang paling penting : Confessions (otobiografi, seperti catatan harian, perjalanan spiritual Augustinus sampai kepada Kristus {terdiri dari 100.000 kata}), On the Trinity (yang meneguhkan dan menerangkan natur Trinitarian Allah dari Konsili Nicea) dan The City of God (menjelaskan bahwa Roma jatuh di tangan kaum Barbar karena Romawi terlambat menjadi Kristen).

Ketika pertama kalinya menjadi Kristen, Augustinus menggabungkan pemikiran Yunani dan Alkitabiah tetapi puji Tuhan, semakin ia mendalami Alkitab, ia semakin bertumbuh dalam pemahamannya akan Alkitab, lalu semakin membedakan antara pengajaran Alkitab dan ide-ide Yunani, dan terakhir, ia mengkritik keras pandangan-pandangan Yunani dari sudut pandang Alkitab. Bagi Augustinus, Alkitab secara verbal diinspirasikan oleh Allah. (Confessions 13.4-32) Inilah semangat Sola Scriptura Augustinus yang sayangnya tidak diikuti oleh gereja-gereja di luar Protestan.

Bukan hanya Sola Scriptura saja, Augustinus juga menekankan semangat dan doktrin penting, yaitu iman mencari pemahaman (fides quaerens intellectum atau credo ut intelligam). Artinya, ketika seseorang beriman di dalam Allah, maka orang itu baru mencari pemahaman yang sesuai dengan imannya. Inilah iman Kristen yang berbeda dengan “iman” dunia modern dan postmodern yang meninggikan otoritas manusia. Apa yang Augustinus tekankan ini sesuai dengan Alkitab di dalam Ibrani 11:3, “Karena iman kita mengerti, bahwa alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat.” Ayat ini sudah sangat jelas mengajarkan bahwa hanya melalui iman (mempercayakan diri di dalam Allah), kita baru dapat mengerti tentang Allah, firman-Nya dan ciptaan-ciptaan-Nya. Inilah dasar epistemologi iman Kristen, yaitu dari iman, kita mencari pemahaman yang memperkuat iman kita lagi, dst (circular understanding).

Dari dasar Alkitab dan iman inilah, kita akan mengkaji tiga doktrin Augustinus yaitu tentang Allah, manusia dan dosa, dan keselamatan.

Pertama, Transendensi Allah, Providensia Allah dan Allah Trinitas. Ketika dibelenggu oleh filsafat Yunani baik dari Parmenides tentang being dan Heraclitus tentang becoming, Augustinus menjadi bingung mencari hubungan keduanya. Apalagi ditambah dengan filsafat Manichaeanisme yang mengajarkan dualisme, Augustinus bingung bagaimana hasil akhir peperangan antara terang dan gelap itu. Tetapi puji Tuhan, Roh Kudus menganugerahkan iman dan pengertian kepadanya, sehingga ia menemukan Kebenaran sejati. Ia percaya bahwa Allah itu transenden dan Pencipta segala sesuatu dari tidak ada (creatio ex nihilo). Artinya, alam semesta tidak mandiri tetapi mempunyai sumber dan sasarannya di dalam Allah, yang transenden terhadap segala sesuatu. Lalu, Ia yang mencipta juga adalah Allah yang memelihara segala sesuatu. Di dalam providensia (pemeliharaan)-Nya, Ia mempredestinasikan sebagian orang untuk diselamatkan dengan menempatkan orang-orang percaya dan Roh Kudus di sekeliling mereka sehingga mereka dapat beriman kepada Kristus. Dalam hal ini, ia menolak pengajaran baik dari Plato yang mengajarkan bahwa Demiurge membuat dunia ini dari bentuk-bentuk dan materi-materi yang ada, maupun dari Neo-Platonisme yang mengajarkan bahwa dunia ini adalah pancaran/aliran dari Allah (yang impersonal/tidak berpribadi). Tentang Trinitas, ia percaya bahwa masing-masing Pribadi Allah : Bapa, Anak dan Roh Kudus adalah Allah yang kekal, berbeda masing-masing pribadinya, dan setara kedudukannya. Roh Kudus keluar dari Bapa dan Anak (Filioque). Ia menolak bidat-bidat, seperti Modalisme dari Sabelius pada abad ke-3, dan Arianisme yang mengajarkan Allah yang Esa (Roh Kudus di bawah Anak dan Anak di bawah Bapa). Lalu, apa signifikansi Trinitas bagi Augustinus ? Augustinus menyadari ada dua signifikansi penting dari pengertian Trinitas ini yaitu : (1) Trinitas menyelesaikan masalah being dan becoming. Baginya, becoming itu lambang Roh Kudus yang mengatur segala sesuatu secara providensial dan being adalah lambang Allah Bapa yang transenden terhadap segala sesuatu. Di antara keduanya, Allah Anak, yaitu Tuhan Yesus Kristus menjadi jembatan Ilahi yang berinkarnasi ; (2) Trinitas juga mempersatukan segala realitas dan memelihara rasa ketertiban yang dinamis dan kreatif dalam alam semesta di mana Allah Bapa sebagai esensi Ilahi, dasar dari segala being, Allah Roh Kudus menopang, mendukung, dan memberi eksistensi yang berkesinambungan kepada segala ciptaan, kepada dunia becoming dan Allah Anak yang menghubungkan segala realitas (kelihatan maupun tidak kelihatan).

Kedua, Manusia dan Dosa. Bagi Augustinus, manusia adalah satu kesatuan antara tubuh dan jiwa di mana sebelum berdosa, Adam mempunyai kebebasan untuk berkehendak dan melakukan apa yang benar (Latin : posse non peccare et posse peccare ; artinya : mampu tidak berdosa dan mampu berdosa). Tetapi dosa mengakibatkan manusia rusak total. Bagi Augustinus, kejatuhan manusia ke dalam dosa muncul dari ketidakpercayaan, merupakan suatu produk kehendak (yang merupakan ekspresi otonom dari manusia batiniah), dan dihasilkan dari keinginan dan pilihan bebas manusia untuk menaruh dirinya sendiri mendahului Allah (disebut dosa kesombongan). Dan akibatnya : manusia kehilangan kebebasan dan kuasanya, sehingga dosa memperbudak kehendaknya dan merusakkan penilaiannya dan akhirnya, penilaian moralnya menjadi rusak.

Ketiga, Keselamatan. Tidak ada jalan lain bagi permasalahan dosa, kecuali anugerah Allah yang mengerjakan keselamatan manusia. Bagi Augustinus, anugerah Allah adalah suatu infusi kasih ke dalam diri manusia oleh Roh Kudus yang menciptakan kembali dan memperbarui sumber Allah dalam diri manusia. Anugerah-Nya ini mulai bekerja dengan membebaskan manusia dari kebutaan intelektual manusia (masalah moral) melalui kelahiran kembali dari afeksi dan hasrat mereka sehingga mereka mengasihi Allah karena adanya anugerah Allah yang kuat dan tidak dapat ditolak. Inilah dasar ajaran bagi theologia Reformed/Calvin : Irresistible Grace (Anugerah yang Tidak Dapat Ditolak).

Berbeda dari Augustinus, seorang yang bernama Pelagius dan Thomas Aquinas menolak ajaran Augustinus dan menggantikannya dengan ajaran yang menekankan pada otoritas manusia. Kita akan melihat profil dan ajaran singkat dari kedua tokoh ini.



Profil Singkat dan Ajaran-ajaran Pelagius dan Thomas Aquinas
Setiap kebenaran ketika diberitakan pasti menuai dua akibat, yaitu ada yang menerima dan mengimaninya, dan sebaliknya, ada yang menolaknya. Bagi mereka yang menerimanya berarti mereka adalah kaum pilihan Allah yang telah ditetapkan-Nya untuk menjadi anak-anak-Nya, sedangkan mereka yang menolaknya memang telah ditetapkan-Nya untuk dibinasakan. Sekarang, mari kita akan melihat siapa saja yang menolak pengajaran Augustinus ini.

Pelagius adalah seorang biarawan Inggris yang datang ke Roma pada tahun 390 M. Dia mengajar : (1) Adam dijadikan sebagai makhluk yang fana dan akan mati entah dia berdosa atau tidak. (2) Dosa Adam hanya melukai dirinya sendiri saja dan bukan seluruh umat manusia. (3) Anak-anak yang baru lahir berada dalam keadaan yang sama dengan Adam. (4) Seluruh umat manusia tidak mati karena dosa dan kematian Adam, atau bangkit karena kebangkitan Kristus. (5) Manusia dapat diselamatkan dengan menaati hukum dan mempercayai Injil. (6) Sebelum kedatangan Kristus, manusia dapat menjalani hidup yang tidak berdosa.

Pandangan Pelagius ini dikutuk dalam dua konsili gereja mula-mula yaitu : Konsili Kartago pada tahun 418 M dengan mengajarkan bahwa anugerah Allah mutlak diperlukan untuk keselamatan maupun untuk hidup yang benar dan terakhir, Konsili Efesus pada tahun 431 M.

Di mana letak kesalahannya ?
Pertama, Pelagius menolak dosa asal manusia yang jelas-jelas ditekankan oleh Alkitab baik di Roma 3:9-20 ; 5:12-14 ; dll.
Kedua, Pelagius menambahi Injil dengan hukum sebagai syarat diselamatkan, padahal hal ini sudah jelas-jelas diajarkan oleh Paulus : keselamatan hanya melalui anugerah di dalam iman (Efesus 2:8-9) dan Injil sejati harus diberitakan, bukan “injil-injil” yang lain/different gospel (Galatia 1:6-10).
Terakhir, Pelagius dengan jelas menolak finalitas karya penebusan Kristus dan kebangkitan-Nya yang menjadi dasar kebangkitan umat pilihan-Nya kelak. Padahal hal ini diajarkan oleh Paulus di dalam 1 Korintus 15.

Anehnya, setelah ajaran Pelagius dikutuk di dalam dua konsili gereja mula-mula, manusia berdosa tidak pernah jera menciptakan ajaran-ajaran yang menyeleweng dari Alkitab, akhirnya dengan berkompromi, seorang yang bernama Luis Molina pada tahun 1590-1600 menciptakan sebuah konsep yang dinamakan Semi-Pelagianisme. (http://en.wikipedia.org/wiki/Semi-Pelagianism) Ajaran ini mensistesiskan pandangan Augustinianisme dan Pelagianisme dengan mengajarkan : meskipun manusia alamiah telah dirusakkan oleh dosa, ia masih mampu bekerja sama dengan Allah dalam penebusan (keselamatan : kerja sama manusia dengan Allah). Dengan kata lain, sebagai ringkasannya :

Augustinian mengajarkan : manusia alamiah mati secara rohani.
Pelagian mengajarkan : manusia alamiah hidup dan baik.
Semi-Pelagian (sebagai sintesis keduanya) mengajarkan : manusia alamiah sakit.

Para penganut Semi-Pelagian adalah John Cassianus, Vincent Lerins, Faustus, dll.

Di mana letak kesalahan Semi-Pelagian ? Semi-Pelagian terlalu merendahkan makna dosa, padahal Alkitab dengan jelas dan tegas mengajarkan, “Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu.” (Efesus 2:1) Roma 6:23a juga mengajarkan, “Sebab upah dosa ialah maut;” Dengan sengaja mengerdilkan makna dosa, maka tidak heran, Semi-Pelagian mengajarkan bahwa manusia bisa joint-venture dengan Allah di dalam karya keselamatan. Di minggu terakhir dari ketiga sesi renungan ini, kita akan menyelidiki bahwa Semi-Pelagianisme nanti mempengaruhi Arminianisme yang mempengaruhi banyak (tidak semua) gereja-gereja Injili, Katolik Roma, dan Karismatik/Pentakosta yang mayoritas lebih menitikberatkan pada pengalaman pribadi, hukum gereja, dll ketimbang pemberitaan Injil murni dan kedaulatan anugerah Allah.


Selain Pelagianisme dan Semi-Pelagianisme, Thomistis (pengikut Thomas Aquinas) adalah para “musuh” Kebenaran Firman. Thomas Aquinas (1225-1274) adalah tokoh yang cukup berpengaruh dalam keKristenan, meskipun tidak berpengaruh secara positif. Aquinas adalah sosok tokoh dan dianggap Santo oleh Gereja Katolik Roma pada tanggal 18 Juli 1323 oleh Paus Yohanes XXII di
Avignon. (http://en.wikipedia.org/wiki/Thomas_Aquinas) Aquinas dilahirkan pada tahun 1225 ketika Skolastisisme mulai berkembang. Ajaran ini dipengaruhi oleh ide-ide Yunani dan mengajarkan : segala pengetahuan bisa ditata dalam suatu cara yang teratur dan mendetail dan rasiolah sarana yang tertinggi untuk memperoleh pengetahuan, meskipun rasio harus ditambah dengan penyataan Alkitabiah. Aquinas mempelajari kurikulum tradisional dari 7 seni liberal di Naples dan kemudian lulus dari Universitas Paris. Ia menjadi profesor theologia dalam ordo Dominikan yang didirikan pada abad ke-13. Aquinas menulis lebih dari 40 buku, 3 di antaranya yang paling terkenal adalah : Summa Contra Gentiles (A Summary Against the Gentiles : buku pegangan theologia apologetika bagi para misionaris untuk menobatkan orang kafir), Summa Theologica (A Summary of Theology : buku pelajaran theologia sistematika yang secara kuat mempengaruhi Gereja Katolik Roma) dan tafsiran-tafsiran tentang buku-buku karya Aristoteles. Ia mendapat gelar Doktor Gereja pada tahun 1567.

Aquinas sering disebut sebagai bapak “theologia” natural. Ia dijuluki demikian karena ke“cerdas”annya mensistesiskan filsafat-filsafat Yunani (sebagai pusat) dengan Alkitab (melayani filsafat Yunani). Aquinas dulu belajar Aristoteles dari gurunya di Universitas Paris, Albertus Magnus, akhirnya sampai menjadi profesor theologia pun, Aquinas tetap mengadopsi langsung ide-ide Aristoteles sebagai pusat untuk disesuaikan (lebih tepatnya : dicocok-cocokkan) dengan Alkitab.

Tentang Allah, menurut Prof. W. Andrew Hoffecker, Ph.D. di dalam salah satu artikelnya, Skolastisisme Abad Pertengahan : Sintesis Thomistis di dalam buku Membangun Wawasan Dunia Kristen Volume 1 : Allah, Manusia dan Pengetahuan, Allah Aquinas kadang-kadang dirujuk sebagai penggerak yang tidak digerakkan yang “dibaptis”. (Hoffecker, 2006, p. 110) Ide Penggerak yang tidak digerakkan diimpor dari filsafat Aristoteles. Lalu, ide ini “dibaptis” dalam nama “yesus” dengan memberi ciri-ciri Alkitabiah kepada kekuatan impersonal dari “allah” Aristoteles sehingga Allah menjadi Penggerak yang tidak digerakkan. Keunikan Allah, menurut Aquinas, berakar dalam esensi-Nya yang adalah to be (“berada”), sementara keberadaan lainnya dalam ciptaan eksis karena kebergantungan mereka pada penyebab yang lebih tinggi yang bersumber dari Allah. Karena menekankan Allah adalah kekal, penyebab pertama, dan kebaikan yang berdaulat, ia menolak bahwa Allah itu seperti manusia dalam pengertian universal apapun. Ia mengajarkan bahwa kita mengenal Allah hanya melalui analogi. “Untuk menghindari kekeliruan memahami Allah seperti makhluk-makhluk ciptaan-Nya, Thomas mengedepankan suatu prinsip Abad Pertengahan yang populer yang disebut via negativa. ‘Jalan negasi’ ini menyangkal bahwa kita dapat mengetahui esensi Allah, yaitu apa Dia itu. Hanya Allah yang mengetahui itu. Karena esensi Allah bersifat transenden, Allah tak terselidiki oleh manusia. Karena itu, jika mau mengenal Dia, kita harus memulai dengan menyangkal kualitas-kualitas yang kita tahu tidak pantas bagi Allah. Misalnya, kita tahu bahwa Allah adalah bukan material. Ia juga adalah tidak terbatas, tidak dapat berubah, tidak tunduk pada waktu.” (pp. 112-113) Lebih aneh lagi, alasan di balik gayanya yang mengedepankan via negativa ini adalah supaya kita semakin dekat mengenal Dia karena kita menyingkirkan unsur-unsur yang membuat Allah sama dengan keberadaan-keberadaan lainnya dari pemikiran kita. Ia juga mengajarkan bahwa providensia Allah tetap berimplikasi pada predestinasi Allah di mana Ia memilih sebagian orang untuk diselamatkan dan meninggalkan sebagian lainnya kepada hidup yang binasa. (p. 114)

Tentang manusia dan dosa, Aquinas menggabungkan ide-ide Aristotelian, Augustinian dan Pelagian. Penegasan fundamentalnya adalah bahwa manusia adalah persatuan antara tubuh dan jiwa dalam pengertian Aristotelian. Bagi Aquinas, jiwa adalah bentuk dari tubuh, dan manusia yang dikaruniai dengan rasio mempunyai jenis jiwa yang tertinggi. Tetapi ia juga mengakui bahwa di atas manusia masih ada malaikat dan di atas malaikat masih ada Allah. Dalam hal dosa, ia juga percaya adanya dosa asal yang diteruskan dari generasi ke generasi yang mengeluarkan dampak yang kuat pada kehendak manusia, menghasilkan nafsu yang kuat, hasrat yang kuat dan tidak teratur, lalu akhirnya menghasilkan dosa aktual. Tetapi pengertian dosa asal versi Aquinas tidak sama dengan pengajaran Alkitab. Aquinas mengajarkan bahwa sebelum kejatuhan, manusia dapat melakukan empat kebajikan natural (yaitu : kebijaksanaan, keadilan, pengendalian diri, dan keberanian) yang diuraikan oleh para filsuf Yunani, dan tiga kebajikan supranatural (yaitu : iman, pengharapan dan kasih). Dosa asal membuat manusia tidak mampu menjalankan iman, pengharapan dan kasih, tetapi mereka mampu melakukan empat kebajikan natural itu, sehingga ia menyimpulkan bahwa meskipun natur Adam yang rusak diwariskan kepada keturunannya, kekuatan rasional manusia tersebut tidak berkurang. Ia juga mengajarkan bahwa kehendak manusia tidak rusak secara total, sehingga kita secara moral bebas dan mampu melakukan sejumlah kebaikan, meskipun terbatas. Selain rasio, Aquinas juga dengan terus terang menerima perasaan indrawi sebagai titik tolak yang sah bagi pengetahuan. Baginya, hal-hal material adalah objek-objek primer bagi akal budi manusia. (Hoffecker, 2006, p. 260) Ia mempercayai bahwa metafisika natural yaitu investigasi rasional tentang sesuatu di balik realitas fisis adalah layak dan itu dapat dilakukan dengan menggunakan indra. Jadi, menurutnya, rasio ditambah pengalaman indrawi manusia sanggup menghasilkan pengetahuan. Cara kerjanya adalah (1) rasio memulai dengan data-data dari pengalaman indrawi langsung, (2) merefleksikan pengalaman itu, dan (3) sampai pada suatu kesimpulan yang mutual bahwa bereksistensi satu Allah yang transenden terhadap realitas fisis yang diketahui oleh indra. Ia juga membagi dua langkah dalam mengenal Allah, yaitu dimulai dari keyakinan intelektual bahwa Allah ada, lalu dilanjutkan dengan persetujuan akal budi terhadap pernyataan bahwa ada satu Allah, kemudian disusul dengan langkah kedua yaitu tindakan yang sangat pribadi untuk menempatkan keyakinan atau penyandaran kita pada Allah.

Tentang keselamatan, Aquinas mempercayai bahwa karena setiap orang mewarisi dosa asal dan melakukan dosa aktual, maka penebusan dimungkinkan melalui anugerah Allah yang bebas dan tidak layak diterima. Tetapi anehnya, ia membedakan dua jenis anugerah yang kelihatan berkontradiksi. Anugerah pertama adalah anugerah operatif yang adalah pertolongan ilahi yang diberikan kepada manusia di mana “Allah adalah satu-satunya penggerak”, tetapi ketika Ia juga menggerakkan jiwa manusia (penerima pasif), manusia juga menjadi penggerakkan (partisipan aktif dalam keselamatan), sehingga timbullah doktrin Aquinas yaitu keselamatan dihasilkan oleh jiwa di samping juga oleh Allah. (Summa Theologica 111.2) Selain keselamatan, ia juga mengajarkan adanya pembenaran bersifat subyektif, di mana Allah menjadikan manusia benar dengan menginfusikan anugerah ke dalam diri mereka (melalui sakramen-sakramen). Ia juga percaya bahwa ada sebagian orang Kristen yang disebut orang-orang “kudus” yang melakukan hal-hal yang lebih dari yang diperintahkan di dalam Hukum Allah, misalnya dengan melakukan tiga kaul, yaitu kemiskinan, kesucian, dan ketaatan. Karena itu, mereka mendapatkan pahala-pahala dan orang-orang “kudus” ini nantinya menjadi sarana doa selain Allah, seperti yang jelas-jelas disebutkan dalam doa kepada Santa Anna oleh Dr. Martin Luther ketika dulu ia diterpa oleh angin ribut dan hujan. Orang-orang berdosa dapat menerima anugerah melalui ketujuh sakramen, yaitu baptisan, peneguhan, Perjamuan Kudus, pertobatan, pentahbisan, perkawinan, dan pengurapan. Oleh karena itu, bagi Aquinas dan theologia Katolik Roma, sakramen-sakramen dipandang sebagai mujizat-mujizat (meskipun beberapa orang Katolik menyangkali hal ini). Selain itu, Aquinas juga membedakan dua macam orang, yaitu orang yang hidup membiara/askese disebut religius karena mereka mengikuti suatu panggilan yang lebih tinggi daripada orang-orang yang terlibat dalam kehidupan sehari-hari. Ternyata, dualisme Yunani dari Plato pun direalisasikan oleh Aquinas dan dianut oleh mayoritas Katolik Roma dan beberapa orang “Kristen” di dalam gereja Protestan sekalipun.

Apa kelemahan-kelemahan ajaran Aquinas dan bagaimana solusinya ?
Pertama, Aquinas mengembangkan theologia “Kristen” dengan mensintesiskan filsafat Yunani dengan Alkitab. Meskipun ia mengakui bahwa filsafat Yunani harus dilengkapi dengan Alkitab, tetapi ia tetap bersikukuh pada “kebenaran” filsafat Yunani yang meninggika rasio. Aquinas berbeda dengan Augustinus. Augustinus pernah belajar filsafat Yunani, khususnya dari Plato dan Neo-Platonisme, bahkan ketika ia pertama kali menjadi Kristen, ia juga mirip seperti Aquinas yang mensintesiskan filsafat Yunani dengan Alkitab, tetapi Augustinus sangat berbeda dengan Aquinas, di mana setelah Augustinus mendalami Alkitab, ia semakin sadar bahwa Alkitab sangat berbeda jauh dari filsafat Yunani, sehingga ia mati-matian mengkritik pandangan Yunani yang tak mampu menghubungkan being dan becoming serta membawa orang Kristen kembali kepada Alkitab. Bahkan Pdt. Dr. Stephen Tong pernah menuturkan bahwa Augustinus pernah berkata bahwa apabila salah satu pengajarannya di dalam buku-bukunya ada yang melawan Alkitab, ia menganjurkan agar buku itu dibuang/ditinggalkan dan Alkitab yang dipegang. Augustinus lebih mempercayai wahyu khusus Allah ini ketimbang doktrinnya sendiri. Inilah citra hamba Tuhan sejati. Sedangkan Aquinas yang dulu pernah belajar filsafat Aristoteles, setelah menjadi Kristen bahkan menjadi uskup dan ditetapkan menjadi “santo”, ia tak pernah mendalami Alkitab dengan bertanggungjawab, tetapi ia malahan mengkompromikan Alkitab dengan filsafat Aristoteles, bahkan menempatkan Alkitab hanya sebagai pelengkap “kebenaran” filsafat Aristoteles. Inilah kegagalan fatal “theologia” yang antroposentris. Mereka membangun “theologia” dan dasar iman dari rasio murni, yang tentu hampir mirip seperti rasionalisme. Aquinas tidak mungkin bisa berkata seperti Augustinus yang mengatakan bahwa Alkitab saja yang harus dipegang, karena Aquinas sendiri membangun dasar presuposisinya bukan dari Alkitab, tetapi dari filsafat Aristoteles. Jika demikian, maka Aquinas secara tidak sadar sedang merendahkan Alkitab dan meninggikan superioritas manusia. Lalu, silahkan pikirkan sendiri, apakah layak Aquinas disebut sebagai profesor “theologia” ?

Kedua, seperti yang dipaparkan oleh Dr. Hoffecker, Aquinas membangun epistemologinya dari rasio, sehingga motonya : “Saya mengerti supaya saya bisa percaya.” (intelligo ut credam) (Hoffecker, 2006, p. 261) Dari epistemologi ini, ia mengkonstruksi argumen-argumen rasional untuk membuktikan eksistensi Allah. Usaha inilah disebut “theologia” natural. Presuposisi Thomas Aquinas yang dimulai dari rasio diikuti oleh banyak orang “Kristen” bahkan banyak theolog Injili sekalipun. Mereka mencoba membuktikan kebangkitan Kristus dari fakta-fakta historis kepada orang-orang non-Kristen. Mereka juga mencoba membuktikan bukti-bukti ilmiah otentisitas Alkitab. Tidak berarti itu semua salah, tetapi itu semua bukanlah dasar presuposisi iman Kristen yang bertanggungjawab. Kelemahan fatal presuposisi ini adalah ketika fakta-fakta ilmiah itu sudah berubah dan ada kesalahan sedikit, maka iman Kristen gugur, padahal iman Kristen BUKAN dibangun di atas bukti-bukti ilmiah. Mengapa fakta-fakta ilmiah bisa berubah ? Apakah ini membuktikan ketidakbenaran iman Kristen ? Misalnya, mayat Musa tidak dapat ditemukan, apakah ini berarti Musa tidak pernah meninggal ? TIDAK. Mayat Musa tidak dapat ditemukan, karena Allah yang menginginkan hal itu terjadi, supaya manusia tidak memberhalakan Musa. Bahkan malaikat Allah, Mikhael pernah bertengkar dengan setan mengenai mayat Musa. Demikian juga dengan naskah asli Alkitab (autographa). Banyak “theolog” liberal yang mempengaruhi social “gospel” (“theologia” religionum) mempertanyakan naskah asli Alkitab lalu menyimpulkan bahwa Alkitab bukanlah firman Allah, tetapi hanya salah satu firman Allah yang bisa mengandung kesalahan. Kalau naskah asli Alkitab hilang dan yang ada hanyalah terjemahan-terjemahan, berarti Alkitab sudah didistorsi dan tidak valid lagi. Benarkah anggapan ini ? TIDAK ! Naskah asli Alkitab sengaja diizinkan hilang oleh Tuhan agar manusia tidak memberhalakan naskah asli lalu tidak memperhatikan esensi pengajaran Allah di dalam Alkitab. Hal ini mirip dengan satu agama yang mewajibkan para penganutnya “memberhalakan” tempat/negara tertentu yang dianggap “suci” karena negara itu didiami oleh “nabi suci” mereka. Mereka lebih memperhatikan fenomena ketimbang esensi. Itulah kecenderungan manusia berdosa yang sudah dibuktikan oleh beberapa orang “Kristen” Katolik Roma yang terlalu memberhalakan tempat-tempat suci Tuhan Yesus dengan mendirikan gereja di Betlehem, mencium kandang di mana Kristus dilahirkan, dll.
Presuposisi Aquinas berbeda jauh dari moto Augustinus : “Saya percaya supaya saya bisa mengerti.” (Credo ut intelligam) Presuposisi Augustinus ini (sesuai dengan Ibrani 11:3) menjadi dasar presuposisi baik Dr. Martin Luther, John Calvin bahkan sampai kepada Rev. Prof. Cornelius Van Til, Ph.D. di dalam apologetikanya (Van Til disebut presuppositionalist apologet). Presuposisi ini bertolak dari iman sebagai dasar keKristenan yang bersumberkan wahyu khusus Allah, yaitu Alkitab dan kedaulatan Allah. Sehingga ketika memberitakan Injil, para apologet presupositionalis ini tidak mempergunakan sederetan bukti-bukti ilmiah, tetapi mempertajam presuposisi orang-orang yang diinjili sehingga mereka diyakinkan terlebih dahulu. Hal ini semua dapat dibaca di dalam buku Dr. Van Til : The Defense of the Faith. Bukan hanya itu saja, ketika berdebat theologia, kita pun tidak boleh mempergunakan bukti-bukti ilmiah sebagai dasar pembelaan iman kita. Itu fatal. Tetapi kita harus membentuk cara berpikir atau presuposisi dasar masing-masing golongan agar kita bisa berdebat secara bertanggungjawab. Kalau dasar presuposisi masing-masing golongan tidak beres, itulah yang harus dibereskan dan dibenahi terlebih dahulu, baru kita masuk ke dalam inti perdebatan. (Debat diizinkan di dalam keKristenan dengan motivasi untuk mencari Kebenaran sejati, tetapi itu harus dilakukan dengan semangat kasih yang disertai pengajaran. Jika debat dilakukan dengan motivasi untuk mencapai kemenangan di dalam perdebatan, maka sebaiknya tidak usah berdebat.)

Ketiga, Aquinas memegang doktrin transendensi Allah dan menolak imanensi Allah secara tidak langsung. Aquinas mempercayai bahwa Allah hanya dapat dikenal di dalam natur-Nya sebagai Allah yang tidak berurusan dengan manusia, sehingga Allah tidak boleh dikenal dengan menggunakan atribut-atribut manusia. Sekilas pandangan ini “benar”, karena sebenarnya kata “atribut” terkesan membatasi Allah, tetapi pandangan ini memiliki kesalahan fatal. Dengan bijaksana, Dr. Hoffecker memaparkan kelemahan Aquinas, “...apa yang hilang dengan memakai metode Skolastis Thomas adalah kebergantungan yang sederhana kepada Alkitab sebagai sumber yang paling dapat dipercaya untuk memahami natur dan keberadaan Allah.” (p. 113) Lebih lanjut, Dr. Hoffecker memaparkan bahwa justru di dalam Alkitab, kita mempelajari bahwa Allah memakai istilah-istilah yang dipahami oleh manusia dalam konteks kehidupan keluarga pedesaan sehari-hari, misalnya Bapa Surgawi yang mengasihi, suami yang setia, gembala, Raja, dan Tuhan. Pandangan Thomistis saat ini dianut juga oleh sekelompok orang “Kristen” yang dipengaruhi “theologia” liberal yang menekankan transendensi Allah dan mengabaikan imanensi Allah. Mereka mengajarkan bahwa Allah itu nun jauh di sana dan tidak menyatakan diri-Nya, sehingga Alkitab bukanlah firman Allah, karena Alkitab ditulis oleh manusia. Bukan hanya liberalisme, beberapa golongan Protestan yang menyebut dirinya “Reformed”, ternyata seorang Reformed Neo-Platonisme (mengutip istilah Pdt. Billy Kristanto di dalam khotbahnya di National Reformed Evangelical Worker Convention/NREWC 2004). Mereka belajar banyak doktrin dan theologia penting dari para theolog, misalnya Luther, Calvin, Van Til, Kuyper, Warfield, Hodge, dll, tetapi spiritualitas mereka kering, seolah-olah Allah dimengerti di dalam rasio dan tidak di dalam afeksi. Inilah spiritualitas yang mati. Di sisi lain, beberapa golongan “Kristen” yang kontemporer terlalu menekankan imanensi Allah, sehingga seolah-olah Allah menjadi teman (bahkan “pembantu”)nya. Ada seorang “pendeta” gereja ini bahkan “bersaksi” bahwa ia minum kopi dengan “Tuhan Yesus”, langsung diajari Alkitab oleh “Tuhan Yesus”. Bahkan di dalam Toronto Blessing, beberapa orang yang tertawa-tawa tidak sadarkan diri bahkan sampai 2 minggu mengaku bahwa mereka dipenuhi “Roh Kudus”, bisa main sepak bola dengan “Tuhan Yesus”. Salah satu buku dari para penganut ajaran ini berjudul “Selamat Pagi, Roh Kudus”. Mereka terlalu menekankan imanensi Allah, lalu lupa menekankan transendensi Allah yang Mahakuasa, Mahakudus, Mahaagung, dll. Alkitab yang mempengaruhi theologia Reformed Injili mengajarkan keseimbangan antara pengertian (knowledge) akan firman Allah dan doktrin dengan afeksi yang dinamis dan berkobar-kobar. Meskipun bukan menjadi dasar iman sejati, pengalaman rohani itu tetaplah penting, karena pengalaman itu menunjukkan bahwa kita juga mengalami Allah dan kasih-Nya yang telah kita pelajari di dalam firman-Nya. Meskipun penting, pengalaman rohani itu harus diuji berdasarkan Alkitab, dan jangan sekali-kali menjadikan pengalaman sebagai doktrin. Misalnya, pengalaman doa Yabes di dalam Alkitab adalah pengalaman pribadi Yabes, tetapi beberapa gereja kontemporer menjadikannya doktrin dan dijadikan seminar. Anehnya, doa Tuhan Yesus (Doa Bapa Kami) tidak diseminarkan, tetapi doa Yabes yang diseminarkan.

Keempat, kerusakan sebagian yang dipercayai oleh Aquinas di dalam dosa asal. Aquinas mempercayai bahwa meskipun natur Adam yang rusak diwariskan kepada keturunannya, kekuatan rasional manusia tersebut tidak berkurang. Ia juga mengajarkan bahwa kehendak manusia tidak rusak secara total, sehingga kita secara moral bebas dan mampu melakukan sejumlah kebaikan, meskipun terbatas. Selain rasio, Aquinas juga dengan terus terang menerima perasaan indrawi sebagai titik tolak yang sah bagi pengetahuan. Saya menyebut pandangan Aquinas tentang kerusakan manusia : kerusakan sebagian manusia, karena baginya kerusakan manusia tidak meliputi totalitas manusia, tetapi sebagian unsur manusia. Aquinas mempercayai hal ini karena sekali lagi, ia mensintesiskan filsafat Yunani dengan Alkitab, sehingga baginya Alkitab “diuji” dengan filsafat Yunani, dan bukan sebaliknya. Benarkah demikian ? Augustinus, Luther dan Calvin dengan jelas menolak anggapan ini, mengapa ? Karena Alkitab sendiri yang mengajarkan, “Tidak ada yang benar, seorangpun tidak. Tidak ada seorangpun yang berakal budi, tidak ada seorangpun yang mencari Allah.” (Roma 3:10-11) Kedua ayat Alkitab ini sudah sangat jelas bahwa tidak ada seorangpun yang benar, bahkan tidak ada seorangpun yang berakal budi lalu mencari Allah. Roma 3:10-18 jelas menunjukkan bahwa dosa mengakibatkan hati, pikiran, perkataan, dan tindakan manusia menjadi rusak dan tidak memuliakan Allah. Calvin menyebut hal ini sebagai Total Depravity (Kerusakan Total) di dalam natur manusia berdosa. Kembali, bagi saya, Aquinas sangat aneh di dalam mengajarkan konsepnya (konsep yang berkontradiksi). Ia percaya bahwa manusia rusak akibat dosa, tetapi rusaknya tidak totalitas, tetapi sebagian, di mana rasio dan kehendak manusia tidak rusak. Tolong klarifikasi arti kata “rusak” itu sesungguhnya. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah memberikan ilustrasi untuk menjelaskan arti kata “rusak” ini : teh yang tertumpah dan menempel pada baju (noda teh) mengakibatkan baju yang tadinya berwarna putih, menjadi puteh (putih yang kena teh). Baju ini tetap mengandung unsur putih, tetapi sudah dicemari oleh noda teh ini, sehingga warna putihnya tidak putih seperti warna aslinya, tetapi putih busuk/ agak kecoklatan. Demikian juga dengan natur manusia yang berdosa, di mana manusia yang berdosa tidak kehilangan gambar Allah, tetapi gambar Allah menjadi rusak. Dalam hal ini, Roma 3:23 di dalam Terjemahan Baru LAI kurang tepat menerjemahkannya (memakai “kehilangan kemuliaan Allah”), yang lebih tepat terjemahannya adalah beberapa terjemahan bahasa Inggris. King James Version (KJV) menerjemahkannya, “For all have sinned, and come short of the glory of God;” Pernyataan “come short” berarti tidak mencukupi. English Standard Version (ESV) dan International Standard Version (ISV) menerjemahkannya : fall short. Dari ketiga terjemahan ini, tidak ada indikasi sama sekali tentang hilangnya kemuliaan Allah di dalam diri manusia seperti yang dijumpai di dalam terjemahan LAI. Gambar Allah masih bisa dijumpai di dalam diri manusia, tetapi sayangnya, gambar Allah itu sudah dicemari oleh dosa, sehingga meskipun manusia bisa berbuat baik, perbuatan baik mereka bukan bermotivasi untuk memuliakan Allah, tetapi untuk memuliakan diri. Itulah kerusakan total di dalam diri manusia.

Kelima, joint venture antara Allah dan manusia di dalam keselamatan. Aquinas mengajarkan dua hal di dalam keselamatan dan pembenaran. Di dalam hal keselamatan, ia mengajarkan anugerah Allah dibagi menjadi dua : aktif dan pasif. Anugerah Allah (manusia pasif menerimanya) memang perlu untuk keselamatan manusia dari dosa, tetapi manusia juga aktif menerima keselamatannya. Ajaran ini jelas tidak konsisten. Ia tak mengerti definisi anugerah, lalu berani memakai kata anugerah dan mengajarkan konsep yang aneh ini. Anugerah adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang karena seseorang ini tidak bisa memperoleh yang diberikannya itu. Ilustrasi sederhana (meskipun ini jelas kurang sempurna), seorang ayah memberikan permen kepada anaknya yang masih berusia 3 tahun. Ini yang disebut anugerah, mengapa ? Karena si anak yang masih kecil ini tak mampu membeli permen sendiri, sehingga ayahnya yang membelikan dan memberikan permen itu. Ketika sang ayah memberikan permen itu kepada anaknya, sang anak pasti menerima, lalu ia mengucapkan terima kasih kepada ayahnya. Itulah anugerah. Seorang bapa gereja pernah mengatakan bahwa anugerah Allah harus dimengerti berkaitan erat dengan dosa. Orang tidak akan pernah mengerti seberapa besar anugerah Allah, ketika ia tak mengerti seberapa besar dosa yang diperbuat manusia. Ketika manusia berdosa, seluruh naturnya rusak total, sehingga Augustinus menyebutnya sebagai mati rohani. Kalau seseorang dikatakan mati rohani, apakah mungkin ia bisa tiba-tiba hidup kembali ? MUSTAHIL. Sehingga untuk menghidupkan kerohaniannya ini dibutuhkan anugerah Allah saja. Kalau ada peran aktif manusia di dalam karya keselamatan ini, saat itu bukan lagi disebut anugerah Allah. Berkali-kali Alkitab mengajarkan hal ini khususnya di Surat Roma dan Efesus : Roma 3:24-25 ; Efesus 1-2:9 ; dll, tetapi ayat-ayat ini sengaja diselewengkan artinya oleh Aquinas dan pengikutnya yang adalah beberapa orang “Kristen” non-Protestan untuk mengajarkan bahwa keselamatan diperoleh melalui iman + perbuatan baik. Kalau ajaran ini (mempengaruhi Arminianisme) “benar”, maka Allah seolah-olah “kewalahan” ketika manusia tidak meresponi anugerah-Nya ini melalui iman dan perbuatan baik, akibatnya keputusan di tangan manusia, bukan dari Allah. Kalau sampai demikian, apakah keselamatan murni merupakan anugerah Allah ? Silahkan pikirkan sendiri.
Di dalam hal pembenaran, Aquinas mengajarkan pembenaran subyektif, di mana Allah menjadikan kita benar dengan menginfusikan anugerah itu kepada kita (melalui sakramen-sakramen). Pembedaan dua hal ini jelas tidak diajarkan Alkitab. Alkitab mengajarkan bahwa penebusan Kristus diefektifkan oleh Roh Kudus di dalam hati dan pikiran umat pilihan-Nya sehingga mereka dapat berespon dengan beriman di dalam Kristus. Penebusan ini berfungsi ganda yaitu menyatakan kita benar di hadapan Allah (arti kata ini diambil dari konteks penghakiman/kerajaan), dan sekaligus menjadikan kita benar. Dengan kata lain, Alkitab mengajarkan bahwa pembenaran obyektif, di mana Allah menyatakan kita benar oleh karena penebusan Kristus di kayu salib. Bacalah Surat Roma secara teliti, maka Anda akan menemukan keindahan dan keagungan konsep pembenaran oleh iman ini.

Keenam, adanya sakramen dan orang-orang suci. Aquinas percaya anugerah Allah berupa 7 sakramen yang harus diterima oleh orang-orang percaya, sehingga sakramen dianggap sebagai sarana anugerah Allah. Orang yang tidak berbagian di dalam sakramen ini secara tidak langsung tidak menerima anugerah Allah, dan pasti binasa. Yang paling mengasihankan adalah penjahat di sebelah Tuhan Yesus yang bertobat, tetapi tidak pernah berbagian di dalam sakramen ini. Benarkah ajaran ini ? Tidak ada satu ayat Alkitab yang mengajarkan bahwa sakramen itu menyelamatkan. Yang menyelamatkan manusia adalah penebusan Kristus. Ketika ada anggapan yang mengajarkan bahwa sakramen menyelamatkan, secara tidak langsung, orang itu sedang menghina karya penebusan Kristus yang baginya belum cukup dan harus ditambah sakramen. Kedua, gereja-gereja Protestan yang sehat menetapkan 2 sakramen gereja yaitu Baptisan dan Perjamuan Kudus, karena kedua sakramen itulah yang ditetapkan sendiri oleh Tuhan Yesus (Lukas 22:19-20 ; Matius 22:19). Di dalam Kisah Para Rasul dan tradisi apostolik sendiri, Paulus atau Petrus dan para rasul lainnya tidak pernah menjalankan sakramen-sakramen lainnya kecuali Perjamuan Kudus (1 Korintus 11:23-31) dan Baptisan (Kisah 8:38).
Tentang orang-orang suci, Aquinas percaya bahwa merekalah yang melakukan sesuatu yang melebihi/melampaui hukum Allah. Ketika membaca bagian ini, saya terkejut. Apa artinya melakukan sesuatu yang melebihi hukum Allah ? Apakah berarti hukum Allah kurang lengkap sehingga ia perlu “menambahi”nya dengan tindakan-tindakan “positif” yang diklaim sebagai tindakan “suci”, misalnya bertarak/menyiksa diri, dll ? Padahal Alkitab sendiri yang mengajarkan, “Aku bersaksi kepada setiap orang yang mendengar perkataan-perkataan nubuat dari kitab ini: "Jika seorang menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini. Dan jikalau seorang mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan dari kitab nubuat ini, maka Allah akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus, seperti yang tertulis di dalam kitab ini."” (Wahyu 22:18-19) Tuhan tidak bermain-main dengan barangsiapa yang menambah-nambahi firman-Nya, sehingga bagi saya, melakukan sesuatu yang melebihi/melampaui hukum Allah, itu bukan tindakan “suci”, tetapi tindakan yang tidak beres. Apa yang Tuhan tuntut, itulah yang harus dikerjakan manusia. Aquinas juga mengajarkan adanya jasa-jasa orang suci, bahkan Katolik Roma mengajarkan bahwa orang Katolik dapat berdoa kepada mereka, selain kepada Kristus dan Maria. Adakah Alkitab mengajarkan hal ini ? Adakah Alkitab mengajarkan bahwa Paulus menyuruh Timotius, anak rohaninya untuk berdoa kepadanya atau Petrus/Yohanes menyuruh muridnya untuk berdoa kepadanya ? TIDAK. Mereka semua adalah manusia yang harus berdoa bersama-sama kepada Allah di dalam Kristus melalui Roh Kudus. Berdoa kepada Maria pun tidak pernah diajarkan oleh Alkitab, sebaliknya Alkitab menceritakan bahwa Maria sendiri berdoa dan memuji Allah ketika ia melahirkan Kristus (Lukas 1:46-55).

Ketujuh (terakhir), dualisme antara orang-orang suci dan orang-orang awam. Karena pengajarannya tentang adanya orang-orang suci, maka Aquinas mendualismekan dua golongan orang yaitu orang-orang suci yang menerima panggilan khusus dari Allah untuk menyiksa diri di biara (asketisme/monatisisme), dan orang-orang awam/biasa yang tidak mendapatkan panggilan khusus dari Allah. Thomistis berpengaruh bahkan sampai di abad postmodern ini. Beberapa orang “Kristen” yang saya temui pun juga mengembangkan ide filsafat Yunani tentang dualisme (yang akhirnya juga dikembangkan oleh filsuf Immanuel Kant) sehingga ia pernah mengatakan bahwa agama dan ilmu tidak ada hubungannya. Secara tidak sadar, dualisme itulah yang menjadi “iman” orang “Kristen” yang saya temui ini. Di mana letak kelemahan ajaran ini ? Ajaran dualisme di dalam keKristenan jelas menyangkali beberapa ide dasar iman Kristen, yaitu :
(1) Para dualis (penganut dualisme) “Kristen” jelas-jelas menyangkali bahwa Allah itu Mahakuasa, karena mereka berpendapat bahwa Allah “hanya” menguasai hal-hal rohani, sedangkan hal-hal jasmani adalah urusan manusia.
(2) Para dualis “Kristen” jelas-jelas menyangkali otoritas Alkitab yang juga membicarakan hal-hal tentang pemerintahan (Roma 13:1-7), politik, ekonomi, dll, karena bagi mereka, Alkitab “hanya” berurusan dengan hal-hal rohani, dan bukan jasmani.
(3) Para dualis “Kristen” jelas menyangkali inkarnasi Kristus, di mana Kristus adalah Pribadi Allah yang menjelma menjadi manusia (dwi natur Kristus). Mengapa ? Karena para dualis Kristen mempercayai bahwa yang supranatural tidak ada hubungannya dengan natural, padahal hubungan itulah yang direkatkan di dalam inkarnasi Kristus.
(4) Para dualis “Kristen” jelas menyangkali keimaman orang percaya. Di dalam theologia Reformed yang ketat, kita percaya adanya mandat budaya. Artinya, setiap orang Kristen adalah imam Allah yang membawa kembali alam dan dunia sekeliling kita yang rusak akibat dosa ini kepada Allah sebagai Sang Pencipta dengan menebus alam dan dunia/kebudayaan (Kejadian 1:28 ; 2:15). Tidak mengerjakan mandat budaya berarti tidak menaati perintah Allah dan pada saat yang sama, ia sedang menghina Allah, seolah-olah “Allah” itu terkotak-kotak hanya pada dunia rohaniah/supranatural.
Lalu, bagaimana jalan keluarnya ? Alkitab tidak membedakan antara dua golongan orang yaitu suci dan awam. Semua orang Kristen sejati (baik hamba Tuhan maupun jemaat) adalah umat pilihan Allah yang di dalam theologia Reformed menjabat tiga fungsi yaitu sebagai : nabi, imam, dan raja. Sebagai nabi, ia berfungsi memberitakan firman Allah kepada umat manusia (dari atas ke bawah). Sebagai imam, ia harus membawa kembali dunia ciptaan kepada Allah (dari bawah ke atas). Dan sebagai raja, ia harus bertahta penuh di atas ciptaan Allah untuk memanfaatkan dan memeliharanya untuk kepentingan manusia dan akhirnya untuk memuliakan Allah. Tetapi meskipun demikian, ada beberapa orang yang dipanggil secara khusus oleh Tuhan untuk melayani secara penuh waktu baik untuk menggembalakan gereja, mengajar doktrin/theologia dan memberitakan Injil. Orang-orang inilah yang mengajar orang-orang lain yang tidak dipanggil khusus tentang theologia. Meskipun demikian, baik orang “awam” yang tidak dipanggil khusus, maupun orang-orang yang dipanggil khusus untuk melayani Tuhan secara penuh waktu, mereka semua tetap melayani Tuhan, selama mereka menerapkan prinsip-prinsip Firman Tuhan di dalam kehidupan mereka sehari-hari. Mengapa ? Karena melayani Tuhan bukan dikunci dalam pengertian melayani di mimbar gereja, berdoa, dll, tetapi semua kehidupan kita yang memuliakan Allah adalah ibadah (Roma 12:1). Percuma saja, seorang “pemimpin gereja” berkhotbah di mimbar, tetapi yang disampaikannya adalah “khotbah” tentang Aristoteles, Plato, Kong Fu-Tze, dll, dan bukan berita Kebenaran Firman Allah, mereka bukan sedang melayani Tuhan, tetapi melayani diri sendiri (self-centered service). Bertobatlah jika Anda termasuk salah satu dari mereka.


Penutup
Setelah menjelaskan tentang semangat Reformasi di dalam diri Augustinus dan musuh Kebenaran, baik Pelagianisme, Semi-Pelagianisme dan Thomistis, sadarkah kita bahwa Kebenaran itu begitu agung dan jauh melampaui rasio manusia yang terbatas ? Maukah kita hari ini berkomitmen untuk setia kepada Kebenaran dan memberitakan Firman Tuhan ketimbang filsafat-filsafat Yunani yang atheis ? Sekali lagi, biarlah peringatan Rasul Paulus ini menjadi pelajaran bagi kita, “...sekalipun kami atau seorang malaikat dari sorga yang memberitakan kepada kamu suatu injil yang berbeda dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia.” (Galatia 1:8)

Kiranya Tuhan memberkati kita melalui perenungan Firman-Nya sehingga kita makin lama makin bertumbuh di dalam anugerah dan firman-Nya. Soli Deo Gloria. Solus Christus.


Daftar Kepustakaan :
Augustine of Hippo. (2005). Retrieved on October 20, 2005 from
http://en.wikipedia.org/wiki/Augustine_of_Hippo.
Hoffecker, W. Andrew. dan Gary Scott Smith. (Ed.). (2006). Membangun Wawasan Dunia Kristen (Volume 1 : Allah, Manusia dan Pengetahuan). (Peter Suwadi Wong, Trans.). Surabaya : Momentum Christian Literature.
Semi-Pelagianism. (2007). Retrieved on October 20, 2007 from
http://en.wikipedia.org/wiki/Semi-Pelagianism.
Thomas Aquinas. (2005). Retrieved on October 20, 2005 from
http://en.wikipedia.org/wiki/Thomas_Aquinas.