31 December 2009

Resensi Buku-87: A PRIMER ON POSTMODERNISM (Prof. Stanley J. Grenz, D.Theol.)

...Dapatkan segera...
Buku
A PRIMER ON POSTMODERNISM:
Pengantar Untuk Memahami Postmodernisme dan Peluang Penginjilan Atasnya


oleh: Prof. Stanley J. Grenz, D.Theol.

Penerbit: Yayasan ANDI, 2001

Penerjemah: Ev. Wilson Suwanto, S.Th., M.A.





Deskripsi dari Denny Teguh Sutandio:
Setiap zaman memiliki semangat zaman (spirit of the age). Semangat zaman ini adalah presuposisi dasar yang membentuk kehidupan di zaman tersebut. Jika di zaman modern, semangat zamannya mementingkan rasio, maka di zaman postmodern, semangat zaman yang dibangunnya hendak meruntuhkan semangat zaman modern. Apa yang dimaksud dengan postmodern, postmodernisme, dan postmodernitas? Apa latar belakang munculnya postmodernisme? Bagaimana ide postmodernisme mempengaruhi gaya hidup orang-orang postmodern? Bagaimana pula kita sebagai orang Kristen menjadi saksi Kristus di abad postmodern ini? Prof. Stanley J. Grenz, Th.D. di dalam bukunya A Primer on Postmodernism memaparkan dengan jelas dan cukup mudah dimengerti tentang postmodern, filsafat postmodernisme, postmodernitas, dan panggilan Kekristenan di abad postmodern ini. Di awal bukunya, Dr. Grenz telah mengungkapkan bahwa bukunya ini hanya sebagai sebuah pengantar (tidak bisa mencakup semua pandangan postmodernisme) dan beliau menyarankan para pembaca untuk mencari buku-buku para tokoh postmodernisme sendiri. Dr. Grenz di dalam bukunya ini memaparkan tentang ide postmodernisme dan etos postmodernitas yang berpengaruh ke dalam kehidupan sehari-hari, misalnya: arsitektur, musik, sastra, gaya hidup, dll. Kemudian, beliau menganalisa filsafat modernisme (yang dilawan oleh postmodernisme), filsafat postmodernisme, dan tokoh-tokoh postmodernisme (Michel Foucault, Jacques Derrida, dan Richard Rorty). Pada bab terakhir, Dr. Grenz memaparkan pandangan iman Kristen terhadap postmodernisme dan tantangan Kekristenan memberitakan Injil kepada orang-orang di abad postmodern ini. Biarlah melalui buku ini, Kekristenan diperlengkapi dengan sedikit filsafat postmodernisme dan bagaimana memberitakan Injil kepada orang-orang di zaman postmodern ini tanpa harus mengkompromikan berita Injil.




Apresiasi:
“Ditulis secara anggun dengan penelitian yang cermat, Pengantar ini memberikan sebuah tinjauan pengantar yang sangat menolong dari beragam ekspresi kultural yang membentuk postmodernisme. Walaupun penafsirannya atas beberapa pemikir seperti Foucault, Derrida, dan Rorty masih bisa diperdebatkan (lagipula, pendapat siapa yang tidak bisa diperdebatkan?), karya Grenz ini adalah sebuah pedoman yang bisa diandalkan baik dalam masalah-masalah filosofis yang penting maupun terhadap konteks historis dan kontemporer yang melingkupinya.”
Prof. Merold Westphal, Ph.D.
(Philosophy Department, Fordham University, Bronx, New York, U.S.A.; Bachelor of Arts—B.A. summa cum laude dari Wheaton College, Illinois, U.S.A.; Master of Arts—M.A. dan Doctor of Philosophy—Ph.D. dari Yale University, U.S.A.)


“Buku Grenz ini memberikan suatu pengantar yang baik mengenai arus intelektual yang penting bagi orang Kristen. Meskipun pemikiran postmodernisme tentunya beragam, Grenz mensurvei sebagian dari apa yang lebih dikenal sebagai para claimant atau penuntut terhadap istilah itu. Buku ini ditulis dengan jelas, bisa dipahami oleh semua kalangan pembaca buku, dan cukup menarik.”
Prof. Nancey Murphey, Ph.D., Th.D.
(Professor of Christian Philosophy di Fuller Theological Seminary, Pasadena, California, U.S.A.; B.A. dalam bidang Filsafat dan Psikologi dari Creighton University; Ph.D. dari the University of California at Berkeley; dan Doctor of Theology—Th.D. dari the Graduate Theological Union)


“Ketika banyak pengamat budaya melihat ancaman terhadap Injil dalam postmodernisme, Grenz justru melihat peluang… Bagi mereka yang serius memahami etos yang baru ini dan terhadap pentingnya memperlengkapi gereja untuk menghadapi praanggapan dari budaya kita, buku ini akan merupakan suatu pedoman yang berguna sekaligus sebuah sumber harapan.”
Prof. Steve Hayner, Ph.D.
(Peachtree Associate Professor of Evangelism and Church Growth di Columbia Seminary, U.S.A.; Master of Theological Studies—M.T.S. dari Harvard Divinity School; Master of Theology—Th.M. dari Gordon-Conwell Theological Seminary; dan Ph.D. dalam Perjanjian Lama dari the University of St. Andrews, Scotland)






Profil Dr. Stanley J. Grenz:
Prof. Stanley J. Grenz, D.Theol. lahir di Alpena, Michigan pada tanggal 7 Januari 1950. Pada Desember 1971, beliau menikah dengan Edna Sturhahn (dari Vancouver, BC). Mereka menyelesaikan undergraduate studies di University of Colorado. Dr. Stanley menamatkan studi Master of Divinity (M.Div.) dari Denver Seminary pada tahun 1976. Kemudian, Dr. Stanley dan istri pindah ke Munich, Jerman di mana Dr. Stanley menamatkan studi Doctor of Theology (D.Theol.) di University of Munich di bawah bimbingan Wolfhart Pannenberg. Dr. Stanley dan Edna dikaruniai 2 orang anak: Joel dan Corina serta dikaruniai seorang cucu: Anika. Sejak musim gugur tahun 2004, beliau menjabat sebagai Professor of Theological Studies di Mars Hill Graduate School, Seattle WA, U.S.A.

Eksposisi 1 Korintus 1:26-31 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 1:26-31

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 1:26-31



Kalau di ayat 18-25 Paulus lebih menyoroti “Injil” yang dianggap kebodohan menurut pemikiran duniawi, di ayat 26-31 ia memfokuskan pembahasan pada jemaat Korintus. Perubahan fokus ini dapat dilihat dari penggunaan sapaan “saudara-saudara” di awal ayat 26. Paulus memang masih membahas tentang isu “hikmat”, namun kini dia sudah berpindah ke argumen lain.

Paulus ingin membuktikan bahwa kepercayaan mereka yang dahulu terhadap Injil merupakan bukti karya Allah yang luar biasa melalui kekuatan Injil. Mengapa? Karena mereka dulu adalah orang-orang yang rendah menurut ukuran dunia. Kesombongan mereka sekarang merupakan kontradiksi dengan keadaan mereka yang dahulu.


Mayoritas Jemaat Korintus Dahulu Adalah Orang yang Hina Menurut Dunia (ay. 26)
Terjemahan LAI:TB “ingatlah” kurang mengekspresikan kata Yunani yang dipakai. Katablepete di ayat ini seharusnya diterjemahkan “terus-menerus mempertimbangkan”. “Mempertimbangkan” (NASB/RSV) jelas melibatkan pemikiran yang lebih serius dibandingkan sekadar “mengingat”. Tense present yang dipakai turut mempertegas maksud Paulus bahwa tindakan “mempertimbangkan” ini harus dilakukan berulang-ulang. Kita perlu terus melihat diri kita dahulu, supaya kita dapat menghargai keadaan kita yang sekarang.

Apa yang harus dipertimbangkan oleh jemaat Korintus? Penerjemah LAI:TB tampaknya mengadopsi terjemahan NIV ketika mereka memilih terjemahan “keadaan kamu ketika kamu dipanggil” (NIV “think of what you were when you were called”). Berbagai versi lain memilih terjemahan yang lebih hurufiah, yaitu “panggilanmu” (KJV/NASB/RSV). Terjemahan ini lebih sesuai dengan teks asli (klhsin humwn), walaupun maksud dari “panggilanmu” di sini sama dengan “keadaan kamu ketika dipanggil”.

Terjemahan “menurut ukuran manusia” (LAI:TB/NIV “by human standards”) tidak terlalu tegas. Ungkapan Yunani kata sarka dalam ayat ini seharusnya berarti “menurut daging” (KJV/NASB). Pemakaian kata sarx menyiratkan pandangan Paulus bahwa semua hal yang dianggap hebat oleh jemaat Korintus hanyalah hebat secara kedagingan. Ukuran yang dipakai untuk menilai sangat tidak Alkitabiah. Penerjemah RSV mengungkapkan hal ini dengan ungkapan “menurut ukuran duniawi” (according to wordly standards).

Kata “tidak banyak” (ou polloi) menunjukkan bahwa ada sebagian kecil dari jemaat Korintus yang dapat dikategorikan sebagai orang yang mulia menurut dunia. Hal ini sesuai dengan petunjuk yang ada di bagian lain dari surat 1 Korintus. Pasal 11:17-22 menyinggung tentang orang-orang kaya yang menghina jemaat lain yang miskin. Krispus, Gaius dan Stefanas (lih. eksposisi pasal 1:14-16) merupakan beberapa nama orang penting di kalangan jemaat Korintus yang juga sukses menurut ukuran dunia. Penyebutan tiga nama ini dan ucapan Paulus di ayat 26 mungkin menyiratkan sebuah sindiran: Krispus, Gaius, dan Stefanas yang menurut ukuran dunia hebat ternyata tidak memandang rendah Injil, sedangkan mayoritas jemaat lain yang menurut dunia tidak hebat justru memandang rendah Injil.

Kehebatan duniawi yang dimaksud Paulus diungkapkan melalui tiga kata: “bijak” (sofos), “berpengaruh” (dunatos) dan “terpandang” (eugenhs). Kata pertama merujuk pada para pemikir, terutama para filsuf. Kata kedua bisa berarti “kuat” (KJV/NASB), “berpengaruh” (NIV) atau “berkuasa” (RSV), namun kata ini jika diterapkan pada manusia sering kali memiliki arti “punya pengaruh, wewenang atau posisi” (Kis. 25:5 “orang yang berwewenang”). Kata terakhir secara hurufiah berarti “memiliki kelahiran yang baik”. Makna yang tersirat dalam kata ini adalah terpandang dari sisi keluarga atau keturunan (NIV/RSV “not many were of noble birth”).

Mengapa Paulus memilih tiga kriteria ini? Ia sangat mungkin sedang memikirkan Yeremia 9:23 yang berisi kecaman terhadap tiga golongan manusia yang sombong, yaitu orang yang bijaksana, orang yang kuat dan orang yang kaya. Walaupun istilah yang dipakai tidak semuanya identik, tetapi jumlah yang sama memberi petunjuk ke arah itu. Paulus juga sangat mungkin mengubah beberapa istilah di Yeremia 9:23 untuk menyesuaikan dengan situasi sosiologis jemaat Korintus. Dalam konteks budaya kuno waktu itu, sofos, dunamosdan eugenhs memang saling berkaitan secara erat. Orang yang berasal dari keluarga terpandang memiliki kesempatan yang besar untuk belajar (menjadi berhikmat dari sisi keilmuan), sehingga orang itu juga memiliki pengaruh/jabatan di masyarakat. Di samping itu, dengan menyebut tiga golongan ini Paulus telah mencakup orang-orang yang dianggap hebat di bidang filsafat, politik dan sosial.


Tujuan Allah Memilih Orang-orang yang Dianggap Rendah Oleh Dunia (ay. 27-31)
Dengan memaparkan status mayoritas jemaat Korintus yang rendah menurut ukuran dunia, Paulus sekaligus ingin menonjolkan anugerah Allah dalam memilih mereka. Status mereka yang rendah menunjukkan bahwa pilihan atas hidup mereka tidak didasarkan pada kebaikan atau kelebihan mereka. Mereka sebenarnya tidak layak untuk dipilih, tetapi Allah berkenan memilih mereka (bdk. ay. 21b). Pola pilihan seperti ini konsisten dengan cara kerja Allah di seluruh Alkitab (bdk. Yak. 2:5).

Di samping itu, pemunculan kata “dipilih” yang berulang-ulang di ayat 27-28 memberi penekanan pada keaktifan dan inisiatif Allah dalam proses pemilihan ini. Bukan mereka yang memilih Allah, tetapi Allah yang memilih mereka (Yoh. 15:16). Allah telah memanggil mereka (1Kor. 1:9) untuk menjadi orang-orang kudus (1Kor. 1:2). Allah telah memanggil mereka sehingga mereka dulu dapat melihat Kristus sebagai hikmat dan kekuatan Allah (1Kor. 1:24).


Apa tujuan Allah memberi anugerah kepada orang-orang yang sebetulnya tidak layak untuk menerima hal itu? Dalam ayat 27-31 Paulus menjelaskan dua tujuan utama pemilihan berdasarkan anugerah. Dua tujuan ini dapat dideteksi melalui penggunaan kata “untuk” di ayat 27 dan “supaya” di ayat 29.

Supaya Allah merendahkan orang-orang yang hebat menurut dunia (ay. 27-28)
Di ayat 19-20 Paulus sudah menyatakan bahwa Allah membinasakan hikmat dunia, bahkan menjadikannya sebagai kebodohan. Kali ini Paulus tidak lagi menyoroti hikmat, tetapi orangnya. Pemilihan Allah atas orang yang rendah menurut ukuran dunia bertujuan untuk memalukan (ay. 27) dan meniadakan (ay. 28) orang-orang yang hebat.

Ungkapan “mempermalukan” tidak sekadar berhubungan dengan perasaan malu. Ungkapan ini merupakan ungkapan umum orang Yahudi yang menunjuk pada kemenangan yang diberikan Allah kepada orang benar atau tindakan Allah yang mengalahkan orang fasik. Dalam Alkitab ungkapan ini sering kali dipakai dalam konteks perselisihan atau pertengkaran antara orang fasik dan orang benar (Mzm. 6:11; 31:18; 35:4, 26-27). Dengan menggunakan ungkapan ini Paulus ingin mengingatkan jemaat Korintus bahwa Allah telah dan akan mengalahkan orang-orang yang fasik dan merasa diri hebat.

Bagaimana cara Allah mempermalukan orang-orang hebat tersebut? Di ayat 21a Paulus menerangkan bahwa hikmat dunia justru tidak dapat mengenal Allah. Di ayat 27-28 dia lebih menyoroti kelebihan-kelebihan duniawi yang justru menghalangi orang untuk percaya kepada Tuhan. Sama seperti orang-orang pada zaman Yeremia yang menganggap diri hebat dan tidak memerlukan Tuhan, demikian pula orang-orang yang “hebat” pada zaman Paulus cenderung tidak mau mengandalkan Tuhan. Sebagai akibat dari tindakan ini, mereka akan mengalami kekalahan. Mereka tidak mampu mengenal dan bersandar pada Allah, padahal pengakuan terhadap ketidakmampuan diri merupakan kekuatan yang besar.

Ungkapan lain yang dipakai Paulus untuk menyatakan perendahan orang-orang duniawi yang hebat adalah “meniadakan”. Kata Yunani katargew sering dipakai dalam konteks eskatologis (futuris). Kata ini dipakai beberapa kali dalam surat 1 Korintus untuk menunjuk pada hal-hal yang sifatnya sementara dan suatu ketika akan lenyap (2:6; 6:13; 13:8, 10; 15:24, 26). Melalui penggunaan katargew Paulus bermaksud menegaskan bahwa hal-hal yang dikagumi oleh dunia dan sebagian jemaat Korintus merupakan hal-hal yang tidak kekal. Semua itu pasti akan lenyap.

Supaya tidak ada yang sombong di hadapan Allah (ay. 29-31)
Allah memilih orang yang rendah menurut dunia supaya tidak ada satu manusia pun yang memegahkan diri di hadapan Allah (ay. 29, lit. “tidak ada satu daging pun”). Kata “memegahkan diri” (kaucaomai) merupakan salah satu kata favorit Paulus. Dari total pemunculan kata ini sebanyak 59 kali di dalam Alkitab, 55 di antaranya muncul dalam tulisan Paulus. Dari 55 kali pemunculan ini, 39 di antaranya ditemukan di surat 1 dan 2 Korintus. Statistik ini mengindikasikan bahwa kesombongan merupakan salah satu masalah utama jemaat Korintus, sehingga Paulus merasa perlu menyinggung hal ini berkali-kali. Penggunaan kata kaucaomai di ayat 29-31 mungkin didasarkan pada konteks Yeremia 9:23-24 yang sudah disinggung di ayat 27-28 dan akan dikutip lagi di ayat 29-31. Selain itu, penggunaan kaucaomai cocok dengan situasi jemaat Korintus yang sedang membanggakan diri.

Kesombongan di atas merupakan sebuah kontradiksi dengan anugerah Allah. Jemaat Korintus dipilih oleh Allah bukan karena mereka baik (ay. 27-28). Oleh karena Allah, mereka berada di dalam Kristus oleh karena Allah (ay. 30a). Oleh karena Allah, Kristus telah menjadi hikmat yang membenarkan, menguduskan dan menebus mereka (ay. 30b). Perubahan kata ganti dari “kamu” menjadi “kita” menyirakan bahwa Paulus pun berada dalam posisi yang sama dengan jemaat Korintus. Semua orang percaya – baik yang terpandang menurut dunia maupun tidak – dapat datang kepada Kristus karena karya Allah. Jika memang keselamatan kita adalah semata-mata anugerah, maka kita tidak memiliki tempat untuk memegahkan diri (Rm. 4:2). Roma 3:27 “jika demikian, apakah dasarnya untuk bermegah? Tidak ada! Berdasarkan apa? Berdasarkan perbuatan? Tidak, melainkan berdasarkan iman!”.

Paulus selanjutnya mengajarkan bahwa kemegahan kita seharusnya di dalam Tuhan (ay. 31), bukan di hadapan Tuhan (ay. 29). Untuk mempertegas poin ini, Paulus mengutip firman Allah dari Yeremia 9:24 dalam bentuknya yang lebih ringkas. Tidak semua tindakan memegahkan sesuatu (kaucaomai) adalah negatif. Paulus pun dalam bagian suratnya yang lain juga memegahkan diri (Rm. 5:2; 15:17; Flp. 2:16; 2Tes. 1:4). Yang paling penting adalah dasar yang kita pakai untuk bermegah. Ketika Paulus bermegah, dia bermegah di dalam Allah (Rm. 5:11) atau di dalam Kristus (Rm. 15:17; Gal. 6:14; Flp. 3:3).

Dengan memahami dasar kemegahan yang benar – yaitu Allah yang telah memberi anugerah keselamatan – orang percaya tidak akan menaruh kesombongan pada hal-hal yang dianggap hebat oleh dunia. Sebaliknya, kita bahkan mampu bermegah atas hal-hal yang oleh dunia dipandang sebelah mata. Kita bermegah dalam penderitaan (Rm. 5:3) dan kelemahan (2Kor. 11:30; 12:9) kita. Inilah kemegahan yang sejati, bukan seperti kemegahan jemaat Korintus yang didasarkan pada hikmat dunia, pengaruh di bidang politik maupun kehormatan dari sisi sosial.




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 23 Desember 2007

28 December 2009

Renungan Menyambut Tahun Baru 2010: THE CHRISTIAN PARADIGM OF OLD AND NEW (Denny Teguh Sutandio)

Renungan Menyambut Tahun Baru 2010




THE CHRISTIAN PARADIGM OF OLD AND NEW
Paradigma Kristen Menyoroti Sesuatu yang Lama dan Baru


oleh: Denny Teguh Sutandio




“Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari. Adakah sesuatu yang dapat dikatakan: "Lihatlah, ini baru!"? Tetapi itu sudah ada dulu, lama sebelum kita ada.”
(Pkh. 1:9-10)

“Tetapi kamu bukan demikian. Kamu telah belajar mengenal Kristus. Karena kamu telah mendengar tentang Dia dan menerima pengajaran di dalam Dia menurut kebenaran yang nyata dalam Yesus, yaitu bahwa kamu, berhubung dengan kehidupan kamu yang dahulu, harus menanggalkan manusia lama, yang menemui kebinasaannya oleh nafsunya yang menyesatkan, supaya kamu dibaharui di dalam roh dan pikiranmu, dan mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya.”
(Ef. 4:20-24)





PENDAHULUAN
Tahun 2009 akan segera berakhir dan tahun 2010 akan datang. Dunia kita mengerti tahun baru sebagai sesuatu yang baru yang akan datang. Berbagai ramalan dan “nubuatan” dari beberapa aliran Kristen bermunculan menyatakan sesuatu yang terjadi di tahun baru 2010. Ada yang mengatakan hal-hal yang baik, sukses, dll, namun ada juga yang mengatakan hal-hal negatif, misalnya bencana, dll. Bagaimana sikap Kristen seharusnya memandang sesuatu yang baru? Bagaimana pula sikap Kristen terhadap sesuatu yang lama? Mana yang penting?




DUA KECENDERUNGAN EKSTREM: LAMA VS BARU DAN TINJAUAN KRITIS
Ketika orang Kristen berbicara mengenai sesuatu yang baru yang dibandingkan dengan sesuatu yang lama, ada dua kecenderungan ekstrem yang muncul:
1. Terlalu Mengagungkan Sesuatu yang Baru
Dunia di mana kita hidup dipenuhi dengan ide pragmatisme yang tidak lagi memperhatikan prinsip, kebenaran, iman, dll. Maka tidak heran, ketika hal-hal inti dibuang, hal-hal remeh yang ditekankan. Biasanya, orang-orang seperti ini dengan mudahnya tertipu oleh banyak gejala fenomena yang sesaat. Apa yang sedang tren selalu diikuti oleh banyak orang seperti ini. Dengan kata lain, orang ini boleh disebut orang yang selalu up-to-date, tidak pernah ketinggalan zaman. Baju yang dikenakannya selalu baju yang sesuai dengan tren zaman. Begitu juga halnya dengan hal-hal lainnya, seperti: rambut, sepatu, dll. Namun, sayangnya, jika ditanya mengenai prinsip, iman, dan kebenaran, banyak dari antara mereka menjadi bingung dan kacau. Baginya, yang penting hal-hal fenomenal, bukan hal-hal esensial.

Ternyata Kekristenan pun tidak luput diterpa oleh arus pragmatisme. Banyak orang Kristen menggandrungi sesuatu yang baru. Mereka ingin lepas dari ikatan tradisi liturgi dan menciptakan kebebasan selera ibadah di dalam gereja. Mereka menciptakan lagu rohani baru untuk menggantikan lagu rohani yang lama dengan dalih, “Tuhan memberikan nyanyian baru.” Gedung gereja tidak lagi hanya menjadi tempat untuk menyembah Allah, tetapi ditambah dengan hal-hal yang tidak berkaitan dengan gereja, misalnya: restoran, ATM, hotel, dll. Bahkan pendeta di sebuah gereja kontemporer di salah satu negara Asia Tenggara ketika berkhotbah menggunakan pakaian casual. Jangan kaget, jika suatu saat pendeta nanti tidak lagi memakai sepatu, tetapi sandal jepit, heheheJ

Sebenarnya apa paradigma dasar dari mereka yang menginginkan sesuatu yang baru? Sebenarnya presuposisi mereka adalah perubahan. Mereka bosan dengan tatanan dunia yang lama. Mereka ingin mengubahnya menjadi sesuatu yang baru yang berbeda. Kebosanan adalah penyakit zaman kita. Mengapa seseorang menjadi bosan? Ada banyak penyebabnya. Ev. Ivan Kristiono, M.Div. di dalam salah satu khotbahnya yang berjudul Kasih Mengalahkan Kebosanan di National Reformed Evangelical Convention (NREC) 2007 memaparkan bahwa salah satu alasan orang bosan adalah karena adanya repetisi (pengulangan). Repetisi di dalam rutinitas aktivitas sehari-hari, misalnya: bangun pagi à mandi à gosok gigi à makan pagi à berangkat kerja/kuliah à pulang kerja/kuliah à makan à tidur, mengakibatkan seseorang menjadi bosan. Bukan hanya rutinitas aktivitas, repetisi perkataan orang lain pun membuat seseorang menjadi bosan. Saya sendiri mengalami apa yang namanya kebosanan ketika mendengar perkataan yang diulang-ulang. Memang ada manfaatnya jika perkataan seseorang diulang (untuk mengingatkan kita), namun TIDAK berarti hal itu terus-menerus diulang-ulang dan tidak ada yang baru.

Benarkah kita harus mengagungkan sesuatu yang baru? Jika ya, ada beberapa kelemahan konsep ini:
Pertama, konsep ini sendiri sedang melawan Alkitab. Alkitab memberi tahu kita di dalam Pengkhotbah 1:9, “Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.” Jika ada yang menyangka bahwa tindakan tertentu yang terjadi di zaman ini adalah sesuatu yang baru, sebenarnya orang itu sedang tidak mempelajari sejarah, karena kalau kita mempelajari sejarah, sebenarnya kesalahan yang dilakukan oleh orang zaman sekarang sudah dilakukan oleh orang-orang zaman dahulu. Seorang filsuf bernama F. Hegel, seperti dikutip oleh Pdt. Dr. Stephen Tong, pernah berujar, “Pengajaran terbesar dari sejarah bagi manusia adalah manusia tidak menerima pelajaran sejarah.”1 Ya, manusia bukannya bertobat dari kesalahan masa lalu, malah membangkitkan kesalahan masa lalu. Sekarang, mari kita ambil contoh. Misalnya, homo dan lesbian. Apakah kedua hal ini hanya milik dunia modern saja? TIDAK. Di dalam Roma 1:27-28, kedua hal ini sudah dituliskan. Contoh lain, di bidang theologi. Di dalam gereja mula-mula, Arianisme dan Sabellianisme sudah dinyatakan sesat oleh gereja, karena paham mereka yang tidak mengakui Trinitas seperti yang diajarkan oleh gereja mula-mula/orthodoks. Namun, anehnya, kedua ajaran sesat ini dimunculkan kembali melalui paham Unitarianisme (=monotheisme “Kristen”) dan ajaran seorang pendeta tersohor yang dulunya berlatar belakang agama mayoritas yang menyatakan bahwa Tritunggal bukan keberapaan, tetapi kebagaimanaan.

Kedua, konsep ini sedang melawan dirinya sendiri. Jika ada orang yang mati-matian mengagungkan sesuatu yang baru dan menggembar-gemborkannya kepada orang lain, pengagung sesuatu yang baru itu sudah melawan diri dan konsepnya sendiri. Saya akan menjelaskan. Ambil contoh, X adalah seorang pengagung sesuatu yang baru. X ke mana-mana menggembar-gemborkan bahwa ia ingin sesuatu yang baru. “Perubahan,” begitu teriaknya. Kepada Y, X mengatakan, “Perubahan.” Setelah kepada Y, ia juga berteriak, “Perubahan” kepada Z, A, B, C, D, dll. Bukankah dengan teriakannya kepada Z, A, B, C, D, dll sebenarnya ia sedang meneriakkan hal lama yang sudah dikatakannya kepada Y tadi? Sesuatu yang diulang, apakah masih layak disebut sesuatu yang baru dan “perubahan”?

Ketiga, konsep ini tidak bisa diaplikasikan. Jika ada pengagung konsep sesuatu yang baru, tolong tanya kepada orang tersebut, apakah ia masih minum air putih/mineral (mineral water)? Jika orang itu berkata YA, maka orang itu sebenarnya tidak sadar sedang inkonsisten dengan teorinya sendiri yang mengagungkan sesuatu yang baru, karena air mineral bukan sesuatu yang baru, namun sesuatu yang lama. Jika penganut sesuatu yang baru diuji kekonsistenannya, maka dijamin jebol di titik pertama dan aplikasinya. Jika mereka mau konsisten dengan pengagungan konsep sesuatu yang baru, maka ia tidak perlu lagi makan roti, keju, dll dan minum susu, air mineral, kopi, teh, dll, karena itu semua produk sesuatu yang lama, kemudian orang tersebut seharusnya menggantinya dengan makan batu bata dan minum oli, huahahahaJ


2. Terlalu Mengagungkan Sesuatu yang Lama
Jika banyak orang zaman sekarang mengagungkan sesuatu yang baru, maka di zaman kita juga ada orang yang terlalu mengagungkan sesuatu yang lama. Biasanya mereka yang mengagungkan sesuatu yang lama adalah orang tua/orangtua. Mereka selalu menekankan pentingnya prinsip dan hal-hal esensial lainnya. Mereka selalu membandingkan zaman sekarang dengan zaman dahulu di mana mereka masih hidup. Mereka sering berujar, “Dulu, anak muda beretika. Sekarang, anak muda semakin tidak beretika.” Hal ini tentu tidak salah. Memang jika dibandingkan zaman sekarang, banyak anak muda zaman dahulu lebih beretika. Namun jangan diekstremkan. Contoh lain, biasanya mereka lebih suka memakai barang-barang yang sudah “kadaluwarsa”, misalnya kacamata yang lensanya besar, dasi yang out-of-date, dll, heheheJ Mereka sering berkata bahwa barang-barang tersebut awet dan tahan lama. Jangankan orangtua/orang tua, ada anak muda yang berpakaian juga seperti itu (bahasa gaulnya: jadul­—jaman dulu).

Konsep ini herannya juga diaplikasikan di dalam Kekristenan. Kebanyakan gereja Protestan arus utama yang sudah mapan dengan organisasi terstruktur susah sekali diubah. Para pendeta dan majelisnya yang notabene sudah berumur (tua) memiliki paradigma kolot di dalam mengatur gereja. Untuk memasukkan brosur acara rohani dari gereja lain, biasanya di banyak gereja Protestan arus utama, hal ini harus menunggu rapat majelis yang bisa diselenggarakan sekali sebulan. Setelah rapat selesai, baru ada keputusan. Saya tidak mengerti apa motivasi di balik tindakan kolot ini. Jika motivasinya beres dan murni agar jemaat gereja semakin bertumbuh di dalam iman yang beres itu bisa dipertanggungjawabkan (meskipun tidak harus mengimun jemaatnya), namun jika motivasinya hanya karena acara gereja lain itu bukan dari gerejanya, maka ditolak, maka mungkin sekali yang salah adalah struktur organasi dan doktrin yang dipegang oleh gereja tersebut. Bukan hanya masalah struktur organisasi, tata liturgi pun tidak lepas dari sorotan para penganut konsep lama ini. Baginya, tata liturgi yang tertib dan terstruktur itu yang paling “Alkitabiah.” Mereka akan memblame gereja-gereja yang kurang menekankan liturgi yang tertib dan terstruktur. Bahkan seorang hamba Tuhan yang bertheologi Reformed pernah berkata kepada saya bahwa hanya gara-gara gereja yang digembalakannya menggunakan alat musik modern dan lagu-lagu rohani kontemporer, dia dicap bertheologi Arminian.

Konsep ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh suatu konsep bahwa yang lama pasti 100% benar, sedangkan yang baru selalu salah. Meskipun konsep ini tidak dicetuskan secara eksplisit, namun konsep ini secara implisit selalu ditekankan. Yang lebih heran lagi, saya mengamati bahwa mayoritas pendidikan keluarga dari tradisi Timur (Asia Timur, secara khusus: Tionghoa) lah yang memberhalakan sesuatu yang lama. Saya adalah orang keturunan Tionghoa, namun saya harus dengan jujur dan terbuka mengakui kelemahan fatal tradisi Tionghoa yang diadopsi dari kebudayaan leluhur yang mengaburkan perbedaan antara menghormati orangtua vs menyembah orangtua. Meskipun secara perkataan, banyak orangtua/orang tua dari tradisi Tionghoa menolak konsep pemberhalaan sesuatu yang lama, secara sadar atau tidak sadar, mereka sudah diikat oleh setan sejak lama. Konsep apa yang mengikat mereka? Konsep dari banyak filsafat, agama, dan kebudayaan Tiongkok yang tidak mengenal Allah secara tuntas. Pimpinan dan kehendak Tuhan bagi setiap anak secara unik tidak lagi diakui dan diganti dengan pimpinan dan kehendak orangtua. Yang lebih celaka dan berdosa lagi, pimpinan dan kehendak orangtua (“Kristen”) diklaim mutlak berasal dari Allah. Penggunaan otoritas Allah secara tidak bertanggungjawab ini dimaksudkan agar anak-anaknya menuruti apa yang dikehendaki orangtua mereka. Bandingkan gejala tidak beres ini dengan ajaran firman Tuhan sendiri di dalam Ulangan 6:4-7, “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” Sejak kecil, anak-anak dari orangtua Israel dididik untuk mengenal dan mengasihi Allah mereka dengan tulus. Mengasihi Allah dengan tulus tentu berakibat pada mengasihi dan menghormati orangtua. Namun ordo/urutan tetap TIDAK boleh dibalik: pertama, Allah, baru, orangtua. Bandingkan hal ini dengan banyak orangtua (keturunan) Tionghoa yang mengajar anak-anak mereka dari kecil untuk mengasihi uang dan orangtua lebih daripada Tuhan Allah yang mencipta mereka.

Konsep ini meskipun ada hal positif yang bisa dipelajari, namun terlalu menekankan konsep ini secara ekstrem memiliki kebahayaan dan kelemahan yang mungkin disadari atau tidak disadari:
Pertama, konsep benar atau salah diukur dari waktu kurang bisa dipertanggungjawabkan. Biasanya para pengagung konsep yang lama mengatakan bahwa yang lama pasti 100% benar, sedangkan yang baru selalu salah. Benarkah kriteria benar atau tidaknya sesuatu diukur dari waktu? Jawabannya: YA dan TIDAK. Ya, karena mengutip perkataan Pdt. Dr. Stephen Tong, waktu adalah ujian yang paling kejam menyatakan bahwa sesuatu itu beres atau tidak. Ajaran yang bertahan lama biasanya beres, sedangkan yang tidak bertahan lama biasanya tidak beres. Alkitab sendiri mengajar hal ini melalui nasihat Gamaliel di dalam Kisah Para Rasul 5:34-39. Namun hal ini TIDAK berarti bahwa kriteria kebenaran hanya mutlak diukur dari sudut pandang waktu, karena bukan sesuatu yang mustahil jika ada ajaran yang bertahan lama juga termasuk ajaran yang tidak beres bahkan sesat. Tuhan Yesus sendiri di dalam Matius 13:24-30 berfirman bahwa lalang dan gandum dibiarkan Tuhan tumbuh bersama sampai suatu saat penuaian, lalang dipisahkan dari gandum. Dengan kata lain, kita tidak bisa mengambil kesimpulan mutlak bahwa sesuatu yang lama dan bertahan lama pasti 100% benar, karena di dalamnya mungkin saja Tuhan mengizinkan iblis beroperasi secara perlahan namun ganas.

Kedua, konsep ini mengakibatkan para pengagungnya TIDAK akan pernah maju dan menjadi aneh. Orang yang keras kepala memberhalakan konsep yang lama biasanya tidak akan pernah maju, mengapa? Karena ia hanya mau berhenti di dalam paradigma, tingkah laku, dan sikap yang lama. Ia tidak mau belajar lebih banyak untuk makin mengerti kondisi zaman, namun ia secara statis dikunci oleh konsep lamanya. Jangankan orang dunia, ada orang Kristen bahkan Reformed pun tidak terkecuali memiliki keanehan ini. Mayoritas dari mereka yang sudah terbiasa berkutat dengan hal-hal rohani dan filsafat, coba perhatikan tingkah laku mereka. Biasanya banyak dari antara mereka menjadi orang aneh. Di dalam “kamus” orang tersebut, hampir tidak ada senda gurau. Senda gurau dianggapnya serius. Hal ini bukan teori saja, saya sudah menemukan realitas orang yang aneh seperti ini. Senda gurau sedikit langsung dikritiknya dan tidak tanggung-tanggung ia menggunakan ayat Alkitab sekalian. Mereka seperti gudang theologi, Alkitab, dan filsafat, namun sayangnya mereka akhirnya menjadi sombong. Entah mengapa, orang yang makin belajar theologi dan hal-hal rohani, banyak dari mereka menjadi sombong dengan segudang argumentasi theologis dan filosofis yang “rasional” dan “Alkitabiah.”

Ketiga, konsep ini tidak bisa diaplikasikan. Jika para pengagung konsep sesuatu yang lama mau bersikap konsisten, maka seluruh hidupnya harus memberhalakan konsep yang lama, mulai dari cara berpakaian, pikiran, perkataan, tingkah laku, dan sikap harus bersumber dari tradisi lama. Yang perlu ditekankan adalah para pengagung konsep ini jangan dibiarkan bersentuhan dengan dunia teknologi, termasuk: komputer, HP, mobil, sepeda motor, dll. Biarkan para pengagung konsep sesuatu yang lama jika hendak bepergian jauh TIDAK usah menggunakan mobil atau sepeda motor atau pesawat terbang, suruhlah mereka berjalan kaki. Bisakah mereka konsisten dengan pola pikir mereka sendiri? Dijamin TIDAK MUNGKIN.




SIKAP KRISTEN YANG BERTANGGUNGJAWAB TERHADAP SESUATU YANG LAMA DAN BARU
Jika dunia menawarkan konsep yang ekstrem tentang sesuatu yang lama dan baru, bagaimana sikap Kristen yang bertanggungjawab? Sebelum kita masuk ke dalam sikap Kristen menyoroti sesuatu yang lama dan sesuatu yang baru, kita harus mengerti dahulu presuposisi dasarnya, yaitu tentang status kita sebagai anak-anak Tuhan dan waktu.
1. Status Kita: Manusia Baru (Anak-anak Tuhan)
Di titik pertama, kita harus mengerti bahwa kita yang sungguh-sungguh di dalam Kristus adalah umat pilihan Allah yang telah Allah pilih sebelum dunia dijadikan dan dikuduskan oleh Roh Kudus untuk taat kepada Kristus dan menerima percikan darah-Nya (1Ptr. 1:2). Sebagai orang yang telah dipindahkan dari kerajaan gelap menuju kepada kerajaan terang, maka orang Kristen seharusnya menyadari statusnya bukan lagi anak gelap, namun anak terang yang harus memiliki kehidupan baru yang berbeda dari kehidupan lamanya sebagai manusia yang dikuasai oleh daging. Rasul Paulus mengajarkan konsep ini dengan tegas di dalam surat-suratnya, khususnya Galatia, Efesus, dan Kolose. Di dalam Galatia 5:16-26, ia mengajar perbedaan konsep hidup oleh Roh vs hidup menurut daging. Di dalam Efesus 4:17-6:9, ia mengajar bagaimana hidup Kristen adalah hidup baru menurut Roh, bukan menurut daging. Di dalam Kolose 2:6-4:6, ia juga mengajar bagaimana penebusan Kristus membawa dampak perubahan signifikan di dalam diri anak-anak Tuhan. Dengan kata lain, predestinasi Allah, penebusan Kristus, dan kelahiran baru yang Roh Kudus kerjakan mengakibatkan umat pilihan-Nya menjadi manusia baru yang terus-menerus bertumbuh seperti gambaran Kristus. Manusia baru tentu tidak akan terikat lagi dengan kehidupan lama yang diikat dosa, namun terus-menerus bertumbuh di dalam iman dan pengenalan akan Allah. Ia tentu makin lama makin rendah hati diajar oleh firman Tuhan. Namun herannya, ada orang Kristen yang mengaku sudah lahir baru, tetapi makin sombong dan merasa bahwa tanpa dirinya, dunia bakal hancur. Layakkah orang ini disebut orang Kristen lahir baru? Biarlah kita mengintrospeksi diri kita dan mendoakan mereka.


2. Waktu dan Kedaulatan Allah
Setelah kita mengerti status kita sebagai manusia baru di dalam Kristus, maka secara bertahap, kita akan mengerti bagaimana iman Kristen memandang waktu yang dikaitkan dengan kedaulatan Allah. Ia tidak akan menjadi seorang yang antipati terhadap zaman dulu atau pun zaman sekarang, namun ia melihat zaman dahulu dan sekarang dari perspektif kedaulatan Allah. Mengapa? Karena Allah yang berdaulat adalah Allah yang berkuasa atas sejarah dunia ini. Ia yang memakai orang-orang-Nya di zaman dahulu, Ia juga lah yang memakai orang-orang-Nya yang lain di zaman sekarang. Selain itu, Ia jugalah yang memelihara sejarah dunia ini demi maksud dan tujuan-Nya yang agung. Dunia yang tidak dicipta dan dipelihara oleh Allah akan menjadi dunia yang hancur. Begitu juga halnya dengan waktu dan sejarah dunia ini akan menjadi kacau jika tidak ada kendali Allah yang berdaulat. Oleh karena itu, menjadi orang Kristen yang normal dan bertanggungjawab adalah menjadi orang Kristen yang memusatkan hidupnya pada kedaulatan Allah di mana Ia yang memimpin seluruh kehidupan kita.


3. Paradigma Lama dan Baru: Tetap dan Berubah
Jika kita telah mengerti bahwa zaman dahulu dan sekarang ada di dalam kedaulatan Allah, maka kita tidak akan menjadi orang yang antipati terhadap salah satu dari dua zaman tersebut, namun menjadi orang yang menebus dua zaman tersebut bagi kemuliaan Allah. Orang yang menebus dua zaman bagi kemuliaan Allah adalah mereka yang menjalani hidupnya secara paradoks dan bukan secara either or (kalau tidak X, ya Y). Mereka tidak akan memberhalakan salah satu zaman, namun menundukkan kedua zaman di bawah kedaulatan Allah.

Dua paradigma zaman yaitu lama dan baru mempengaruhi respons manusia, yaitu apakah manusia harus tetap atau berubah di dalam segala sesuatu. Orang yang sudah terbiasa dengan pola pikir either or selalu mengambil salah satu opsi/pilihan, entah itu dia mau tetap pada pendiriannya yang kolot ataupun dia terus mau berubah namun tanpa arah. Kekristenan yang berdasarkan Alkitab mengajarkan suatu paradoksikal yang tidak mungkin bisa dimengerti oleh orang-orang di luar anugerah Allah. Di dalam theologi Reformed, kita belajar bahwa Allah adalah Pribadi yang tidak berubah dari dulu, sekarang, dan selama-lamanya, namun di dalam relasinya dengan manusia, Ia bisa berubah. Apakah ini suatu kontradiksi? TIDAK. Ini paradoks. Paradoks adalah sesuatu yang seolah-olah bertolak belakang, namun sebenarnya tidak/berkaitan. Keberadaan diri Allah yang tidak mungkin diubah oleh waktu, tempat, dll mengakibatkan Dia adalah Allah yang Kekal (transenden). Namun di sisi lain, kita mengenal Allah yang transenden bukanlah Allah yang nun jauh di sana, tetapi Allah yang dekat dengan umat-Nya (imanen). Transendensi dan imanensi Allah diungkapkan di dalam firman-Nya, Alkitab sehingga fondasi kebenaran kita di dalam memandang reaksi “tetap dan berubah” harus bersumber dari Alkitab dan konsep kita tentang Allah.

Lalu, apa saja yang termasuk kategori tetap dan bisa berubah/diubah di dalam Kekristenan? Kekristenan mempunyai dasar pikir yang kokoh yaitu Alkitab. Alkitab adalah satu-satunya firman Allah yang tidak mungkin bersalah dalam naskah aslinya, sehingga Alkitab adalah satu-satunya fondasi kebenaran yang sah. Konsep ini harus kita pegang teguh. Inilah wilayah di mana kita harus berpendirian tetap dan teguh. Jika konsep ini kita biarkan lemah dan berkompromi dengan semua arus filsafat dunia, maka percayalah, hidup Anda akan kacau dan hancur. Pendirian dan iman yang beres mengakibatkan seluruh unsur hidup kita beres. Namun, di dalam aplikasi praktis dari iman/pendirian yang beres, hendaklah kita bijaksana memilah mana yang patut dipertahankan secara tetap dan mana yang perlu diubah. Kecenderungan Kekristenan khususnya aliran Reformed tertentu mendiskreditkan semua filsafat dunia sebagai ajaran salah. Hal ini memang benar, tetapi tidak berarti kita tidak bisa belajar sedikitpun dari filsafat dunia. Jangan lupa, theologi Reformed percaya bahwa segala kebenaran adalah kebenaran Allah (all truth is God’s truth). Adalah tidak bijaksana jika karena suatu (tidak semua) ajaran dunia itu salah, lalu kita memblacklist semua ajaran dunia. Jangan menjadi orang lebay! Bersikaplah bijaksana. Jangan suka mengeneralisasi segala sesuatu tanpa mengertinya secara tuntas dan teliti! Kembali, Kekristenan harus dewasa dan bijaksana. Apa yang mutlak secara prinsip/iman, misalnya Allah Trinitas, finalitas Kristus, keberdosaan manusia, jangan berzinah, jangan berdusta, dll itu memang harus dipegang teguh. Namun, sesuatu yang tidak mutlak di dalam prinsip jangan terlalu dipegang teguh secara membabi buta. Jika kita membabi buta menjalankan satu prinsip yang tidak mutlak, bukan tidak mungkin kita nantinya menjadi orang aneh dan tidak menutup kemungkinan kita bisa menjadi orang yang dibenci Tuhan. Anda tahu orang Farisi? Siapa mereka? Mereka adalah para rohaniwan yang belajar Taurat, namun sayangnya mereka tidak mengerti inti Taurat. Yang mereka ajarkan tetap bersumber dari Perjanjian Lama, namun dengan tambahan peraturan yang mereka buat sendiri agar mereka dan orang-orang Israel makin saleh. Melanggar satu peraturan yang para ahli Taurat buat sendiri itu dicap berdosa. Dan tahukah bahwa Kristus menegur orang-orang seperti ini. Ia mengatakan bahwa mereka munafik. Mereka seolah-olah bersih dari luar, namun busuk di dalam hatinya. Itulah citra orang Kristen tertentu yang gemar mengurusi hal-hal sekunder lebih daripada hal-hal primer. Biarlah kita menjadi orang Kristen yang makin lama makin bijaksana yang mempertahankan apa yang perlu tetap dipertahankan dan menghargai hal-hal yang patut dihargai (dan tidak perlu terlalu ketat dipertahankan).

Hal selanjutnya yang perlu kita mengerti adalah mengenai perubahan di dalam Kekristenan. Bolehkah ada sesuatu yang berubah/baru di dalam Kekristenan? Apakah dengan adanya perubahan/hal-hal baru membuat Kekristenan menjadi tidak unik, karena dunia pun menghendaki yang sama? Ke arah manakah perubahan di dalam Kekristenan? Sampai batas manakah perubahan itu? Di dalam Kekristenan, kita tentu mengenal istilah perubahan dan hal-hal baru. Di titik pertama tadi, kita sudah mengerti presuposisi bahwa status kita adalah anak-anak Tuhan/manusia baru yang hidup bagi Kristus. Berarti di dalam Kekristenan kita mengenal istilah baru/perubahan. Jika Kekristenan mengenal istilah perubahan/hal-hal baru, dunia pun mengenal istilah yang sama. Jika demikian, apa beda kedua konsep perubahan/hal-hal baru antara Kekristenan dengan konsep dunia? Dunia kita mengenal konsep perubahan/hal-hal baru sering kali tanpa dasar dan arah tujuan yang jelas. Ambil contoh, pada masa kampanye, Presiden U.S.A. Barack Husein Obama meneriakkan “perubahan” untuk memenuhi selera masyarakat Amerika Serikat. Namun, fakta membuktikan, perubahan seperti apa yang dia buat? Benarkah perubahan itu benar-benar beres? Fakta membuktikan tidak. Perubahan yang dibuatnya justru malah negatif. Etika, perdamaian dunia, dll dilanggar. Dengan kata lain, dunia yang meneriakkan perubahan, kebanyakan dari mereka tidak mengerti perubahan yang dimaksud dan tujuan yang hendak dicapai dari perubahan tersebut. Namun, Kekristenan mengenal dan mengerti konsep perubahan/hal-hal baru dengan dasar dan arah tujuan yang jelas yaitu firman Allah dan kemuliaan-Nya. Mereka mau berubah bukan karena dunia menginginkannya atau karena ambisi masyarakat, namun karena Allah menginginkan mereka berubah. Berarti mereka berubah karena kehendak Allah. Kedaulatan Allah mengakibatkan orang Kristen mau berubah, tentu berubah makin bertumbuh di dalam iman, kerohanian, karakter Kristen yang beres sesuai dengan gambar dan rupa Kristus, Kakak Sulung kita. Dengan kata lain, Kekristenan mengenal perubahan bukan tanpa batas, tetapi dengan batas yaitu kedaulatan Allah di dalam firman-Nya.

Bagaimana kita mengaplikasikannya? Perubahan yang dibatasi oleh kedaulatan Allah mengakibatkan kita hati-hati di dalam menjalani hidup sesuai dengan standar Allah dan firman-Nya. Dengan mengatakan hal ini, saya tidak bermaksud menyuruh orang Kristen menjadi orang paranoid yang ketakutan terhadap semua budaya dunia. Ingatlah, sebagai orang Kristen, kita hidup di dalam dunia dan kita diutus ke dalam dunia oleh Allah, namun kita bukan dari dunia. Sebuah istilah yang bagus sekali di dalam judul konferensi yang digagas oleh Rev. C. J. Mahaney, Rev. Joshua E. Harris, dkk: “In the World but not of the World” (Di dalam dunia, namun bukan dari dunia). Status kita bukan dari dunia, namun panggilan kita ke dalam dunia. Dengan kata lain, ada pembeda yang harus kita buat antara anak-anak Tuhan dengan orang dunia, namun tidak berarti kita menjadi aneh di mata dunia melalui sikap hidup kita. Saya menyebut hal ini sebagai paradoxical Christian life-style (gaya hidup Kristen yang paradoks). Sebagai orang Kristen, secara prinsip, kita adalah anak-anak Allah yang memiliki prinsip dan aturan Kerajaan Allah/Sorga, namun secara aplikasi, kita dituntut untuk menjadi berkat bagi dunia. Ketika kita menjadi berkat bagi dunia, Kekristenan selalu mengambil dua jalan ekstrem, yaitu: kompromi dengan dunia atau tidak mau bergaul dengan dunia. Kekristenan yang beres adalah Kekristenan yang paradoks di dalam pikiran dan gaya hidupnya. Kekristenan yang beres selalu berprinsip tegas, namun tidak kaku di dalam implementasinya ke dalam dunia. Tegas tidak selalu identik dengan kaku dan kolot. Tegas identik dengan prinsip dan kasih. Sebagai aplikasinya, kita boleh berubah mengikuti dunia. Kalau di zaman dahulu, dasi yang laris di kalangan para pria adalah dasi kupu-kupu, maka di zaman sekarang, dasi yang laris adalah dasi panjang. Begitu juga dengan model rambut, baju, dll. Tidak ada salahnya kita mengikuti mode. Namun ada hal yang harus kita perhatikan, sampai batas manakah kita mengikuti mode dan tren zaman? Kita harus menempatkan standar kebenaran Allah di atas mode dan tren zaman. Kita boleh mengikuti mode baju zaman sekarang, namun jangan sampai baju yang kita pakai yang sesuai dengan mode tersebut tidak lagi memperhatikan etika. Di dalam kita bersikap dan bertingkah laku sehari-hari pun, kita harus menampilkan ciri khas Kekristenan kita, namun tidak berarti kita menjadi orang sok religius. Menyeimbangkan dan memparadokskan gaya hidup Kristen memang tidak mudah. Kadang gaya hidup kita (orang Kristen) terlalu duniawi/sekular, di sisi lain, gaya hidup kita terkadang terlalu religius, sampai-sampai teman-teman kita enggan berteman dengan kita. Kekristenan harus mendobrak kedua ekstrem ini dan menjadi berkat bagi dunia kita dengan prinsip yang jelas dan dengan aplikasi yang tidak kolot/kaku. Belajarlah menjadi orang Kristen yang gaul, jangan jadul dan freak, heheheJ


Bagaimana dengan kita? Ketika kita hendak menyambut pergantian tahun dan menuju ke tahun yang baru, sudahkah kita mempersiapkan hati kita untuk memilah apa yang patut diubah dan apa yang patut dipertahankan secara tetap? Biarlah hati kita terus diubah dan dimurnikan oleh Roh Kudus untuk makin taat dan setia kepada firman-Nya yang tak akan pernah berubah selama-lamanya. Amin. Soli Deo Gloria.



Catatan kaki:
1 Louis Berkhof, Teologi Sistematika: Doktrin Allah (Surabaya: Momentum/LRII, 1993), viii.

25 December 2009

Eksposisi 1 Korintus 1:18-25 (Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.)

EKSPOSISI 1 KORINTUS 1:18-25

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 1:18-25



Kata sambung “sebab” (gar) di awal ayat 18 mengindikasikan bahwa ayat 18-25 memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan bagian sebelumnya. Bagian ini merupakan penjelasan terhadap apa yang sudah disinggung di ayat 10-17. Secara khusus, bagian ini menjelaskan ayat 17b “itupun bukan dengan hikmat perkataan supaya salib Kristus tidak dikosongkan kuasanya”. Hal ini terlihat dari kata “perkataan” (logos) yang muncul di ayat 17b (“hikmat perkataan”) dan dan ayat 18a (“perkataan salib”;LAI::TB “pemberitaan salib”).

Keterkaitan dua bagian di atas, terletak pada ide tentang “hikmat” (sophia). Hampir semua penafsir setuju bahwa perpecahan jemaat Korintus di pasal 1-3 berhubungan dengan hikmat. Hal ini didukung oleh pemunculan kata “hikmat” sebanyak 14 kali di pasal 1:18-2:16. Dukungan lain terdapat pada penutup pembahasan Paulus di pasal 1-3 di pasal 3:19 (“karena hikmat dunia ini adalah kebodohan bagi Allah”).

Sebagian jemaat Korintus bersentuhan dengan berbagai filsafat dunia yang ada pada waktu itu. Mereka lalu menganggap diri berhikmat. Ketika mereka melihat kebenaran Injil dari perspektif hikmat duniawi ini, mereka memandang rendah berita Injil yang dulu mereka terima. Mereka juga mulai mengultuskan pemimpin rohani yang menurut mereka sesuai dengan konsep mereka.

Bagaimana respons Paulus terhadap mereka yang menganggap diri berhikmat dan melihat kebenaran Injil sebagai suatu kebodohan? Paulus memberikan beragam respons dari pasal 1:18-2:16. Kali ini kita hanya menyelidiki pasal 1:18-25. Ada beberapa penjelasan yang diberikan untuk meresponi kesombongan intelektual di atas.


Injil Memang Kebodohan Bagi yang Binasa (ay. 18)
Dalam ayat ini Paulus menjelaskan bahwa pemberitaan tentang salib adalah kebodohan bagi yang mereka binasa (tois appolumenois). LAI:TB menerjemahkan kata Yunani ini dengan “mereka yang akan binasa”, seolah-olah kebinasaan mereka bersifat futuris. Terjemahan ini kurang sesuai dengan tense present yang dipakai. Beberapa versi Inggris dengan tepat memilih terjemahan “those who are perishing” (NIV/NASB/RSV). Orang-orang ini sedang mengalami kebinasaan. 2Korintus 4:3 “jika Injil yang kami beritakan masih tertutup juga, maka ia tertutup untuk mereka yang akan (lit. “sedang”) binasa”.

Setelah menjelaskan hal tersebut, Paulus menyatakan keyakinannya tentang keselamatan jemaat Korintus. Hal ini tersirat dari kata ganti “kita” di ayat 18b. Paulus tidak mengatakan “bagi mereka yang diselamatkan” (bdk. ayat 18a), tetapi “bagi kita yang diselamatkan”. Bentuk tense present yang dipakai di ayat ini menunjukkan bahwa keselamatan orang percaya merupakan sesuatu yang sudah terjadi. Orang percaya sudah diselamatkan di dalam Kristus Yesus. Di ayat-ayat selanjutnya Paulus menerangkan bagaimana keselamatan ini bisa terjadi, yaitu melalui perkenanan (ay. 21) dan panggilan Allah (ay. 24).

Bagi yang sedang diselamatkan, Injil adalah kekuatan Allah. Karena Injil sudah memiliki kekuatan ilahi, maka Paulus tidak mau memberitakan Injil dengan hikmat perkataan (1:17b; 2:1-5). Hikmat manusia tidak akan menambah kekuatan apa pun pada Injil. Ungkapan “Injil adalah kekuatan Allah” harus dilihat dalam konteks keselamatan (Rm. 1:16 “Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya”). Paulus juga mungkin memikirkan kekuatan Allah dalam hal merendahkan hikmat dunia (1Kor. 1:19-21).


Allah Telah Merendahkan Orang-orang Dunia yang Berhikmat (ay. 19)
Keyakinan Paulus di ayat 18 didasarkan pada firman Tuhan (bdk. kata sambung “karena” di awal ayat 19). Seperti biasanya, Paulus memulai kutipan firman Allah dengan kata “ada tertulis” (gegraptai). Kata muncul gegraptai muncul 63 kali dalam seluruh tulisan Paulus. Melalui pengutipan ini Paulus menegaskan bahwa firman Tuhan sebagai argumen yang cukup kuat. Dia tidak perlu berbantah-bantah atau memberi bukti-bukti lain di luar Alkitab. Allah telah berfirman, semua telah diputuskan.

Kutipan yang diambil dari Yesaya 29:14 ini sangat relevan dengan situasi yang dihadapi jemaat Korintus. Pada zaman Yesaya, ketika bangsa Yehuda menghadapi ancaman dari bangsa Babel, mereka tidak mau bersandar pada kekuatan Tuhan walaupun Tuhan sudah mengatakan bahwa dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatan mereka (Yes 30:15). Mereka justru memilih untuk mengikuti pemikiran mereka sendiri dengan cara mengikuti dewa-dewa kafir dan meminta bantuan dari bangsa Mesir. Allah sudah menegur tindakan ini dengan menyatakan bahwa hikmat-Nya tidak terbatas dan jauh melampaui siapapun (Yes 40:12-14, 25). Allah menyatakan bahwa para pembesar Zoan dan penasehat Mesir adalah orang yang bodoh semata-mata. Perkataan Allah ini kemudian menjadi kenyataan. Bangsa Yehuda tetap kalah dan dibuang selama 70 tahun.

Melalui pengutipan ini Paulus ingin mengajarkan bahwa Allah selalu merendahkan orang-orang yang menganggap dirinya berhikmat (bdk. 1Kor. 1:29). Sebaliknya, Allah justru sering kali memakai orang-orang yang dianggap bodoh atau lemah oleh dunia (1Kor. 1:27-28). Jemaat Korintus seharusnya tidak sombong karena mereka juga akan diendahkan oleh Allah.


Allah Membuat Hikmat Dunia Ini Menjadi Kebodohan (ay. 20-21)
Kalau di ayat 19 Paulus lebih menyoroti apa yang terjadi atas orang-orang yang menganggap diri berhikmat, di ayat 20-21 dia memfokuskan pada hikmat itu sendiri. Hal ini tersirat dari pertanyaan retoris terakhir di ayat 20b dan penjelasan terhadap pertanyaan ini di ayat 20. Ia memang masih menyinggung tentang orang-orang yang “berhikmat” (ay. 20a), tetapi yang dia tekankan bukan itu.

Pertanyaan retoris di ayat 20a tidak boleh dianggap sebagai tantangan Paulus kepada jemaat Korintus. Dia menyadari bahwa sebagian besar jemaat adalah orang-orang yang lemah dan bodoh menurut dunia (ay. 26). Dia hanya menyadarkan jemaat Korintus bahwa semua orang yang dianggap berhikmat menurut ukuran dunia ternyata tidak mampu bertahan.

Para penafsir berbeda pendapat tentang identitas tiga golongan yang disebut di ayat 20a: orang-orang berhikmat (sophos), ahli Taurat (grammateus) dan para pembantah (suzetetes). Grammateus jelas merujuk pada ahli Taurat (kontra NIV “scholar”), karena hampir semua pemunculan kata ini di PB menunjuk pada salah satu golongan pemimpin agama Yahudi, walaupun kata ini juga dipakai untuk pejabat pemerintahan (Kis. 19:35). Perdebatan di kalangan penafsir biasanya berkaitan dengan golongan pertama dan terakhir. Mayoritas penafsir memahami sophos sebagai para pemikir (filsuf) Yunani, sedangkan suzetetes merupakan rujukan umum untuk semua orang yang suka berdebat. NIV menerjemahkan suzetetes dengan filsuf, mungkin dengan pertimbangan bahwa perdebatan biasa terjadi dalam lingkungan para filsuf.

Paulus selanjutnya menutup rentetan pertanyaan retoris di ayat 20 dengan pertanyaan inti: “bukankah Allah telah membuat hikmat dunia ini menjadi kebodohan?”. Penggunaan ungkapan “hikmat dunia” (sophia kosmou) di ayat ini bukan hanya menunjukkan jenis hikmat yang duniawi, tetapi juga kesementaraan dari hikmat ini. Hal ini tersirat dari ungkapan “para pembantah dunia ini” di ayat 20a. Kata “dunia” di bagian ini memakai kata aion yang secara hurufiah berarti “zaman”. Dengan demikian Paulus ingin menegaskan bahwa hikmat zaman ini bersifat sementara (bdk. 7:31). Kenyataannya, Allah telah membuat hikmat seperti ini menjadi kebodohan.

Di ayat 21 Paulus memberikan alasan mengapa hikmat dunia menjadi kebodohan. Hikmat dunia ini tidak dapat menolong orang untuk mengenal Allah (ay. 21a). Seberapa pun kepandaian manusia, hal itu tidak menjamin bahwa dia mengenal Allah, karena pengenalan terhadap Allah hanya dimungkinkan oleh karya Roh Kudus (2:6-16). Di bagian suratnya yang lain Paulus memberi contoh tentang hal ini. Walaupun manusia sebenarnya dapat mengenal Allah melalui ciptaan-Nya (Rm. 1:19-20), tetapi mereka justru menindas kebenaran tersebut (Rm. 1:18). Mereka terjebak pada berbagai kebodohan, yaitu penyembahan berhala dan dosa-dosa (Rm. 1:21-31).

Alasan lain mengapa hikmat dunia telah dijadikan kebodohan adalah keselamatan dari orang-orang yang percaya pada kebodohan Injil (ay. 21b). Identitas orang-orang yang diselamatkan ini memang tidak dijelaskan Paulus di ayat ini, tetapi ayat-ayat selanjutnya menunjukkan bahwa orang-orang ini adalah mereka yang dianggap bodoh dan lemah oleh dunia (ay. 25-27). Bagaimana mungkin orang yang berhikmat malah tidak mengenal Allah sedangkan yang bodoh justru percaya kepada Dia? Kuncinya terletak pada kata “Allah berkenan menyelamatkan”. Di ayat 24 dijelaskan lebih lanjut bahwa perkenanan Allah ini berhubungan dengan panggilan-Nya untuk orang-orang pilihan (bdk. Rm. 8:29-30; Ef. 1:4; 2Tim. 2:9).

Konsep iman di ayat 21b bukanlah sekadar persetujuan intelektual belaka. Jika hanya sekadar keputusan rasio, maka tidak ada orang yang mau percaya pada kebodohan pemberitaan Injil. Iman di sini berarti penyerahan hidup. Jemaat Korintus yang terjebak pada hikmat duniawi dan mulai berani menghakimi Injil sebenarnya telah melupakan satu fakta yang penting: mereka dulu diselamatkan melalui iman, bukan terutama pergumulan rasio atau kepuasan intelektual.


Allah Tidak Mau Diatur Oleh Tuntutan Manusia (ay. 22-25)
Paulus menyadari bahwa konsep keselamatan melalui salib merupakan hal yang sulit diterima oleh orangorang pada jamannya, baik orang Yahudi maupun Yunani. Bagi orang Yahudi yang selalu menuntut tanda ajaib (Mat. 11:38-39; Mrk. 8:11; Luk. 11:16; Yoh. 6:30), konsep tentang Mesias yang disalib merupakan batu sandungan (lit. “skandal”). Mereka mengharapkan mesias yang perkasa dan mampu menyelamatkan mereka dari tangan bangsa Romawi (bdk. Kis. 1:6). Menurut mereka, kematian Yesus di kayu salib menunjukkan bahwa Dia tidak mampu menyelamatkan diri-Nya sendiri, apalagi mau menyelamatkan bangsa Yahudi. Lebih jauh, kematian di atas kayu salib merupakan bukti bahwa orang itu terkutuk di hadapan Allah dan manusia (Ul. 21:23; Gal. 3:13).

Di sisi lain, orang-orang Yunani yang menyukai “hikmat” (bdk. Kis. 17:21) melihat berita salib sebagai kebodohan. Sebagian dari mereka mungkin mempercayai konsep seorang dewa yang menjadi manusia (walaupun sebagian dari mereka – terutama di kalangan filsuf – menganggap hal ini sebagai mitos), namun konsep yang mereka pegang berbeda dengan inkarnasi Yesus. Dewa yang menjadi manusia tidak mungkin mengalami kematian. Di samping itu, kematian di atas kayu salib hanya dikhususkan bagi para penjahat yang biadab. Bagaimana bisa Allah menjadi manusia, mati dan dengan cara disalib? Semua ini jelas sulit diterima oleh orang Yunani.

Walaupun manusia pada zaman Paulus menuntut tanda dan hikmat, Allah tidak mau kompromi. Jalan keselamatan tetap harus melalui salib. Inilah yang diberitakan oleh Paulus. Apakah itu berarti bahwa pemberitaan Injil adalah perkataan kosong dan hanyalah konsep yang tidak rasional? Sama sekali tidak! Di ayat 24 Paulus menegaskan bahwa Injil adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah. Bagaimana bisa? Ya, Injil adalah kekuatan dan hikmat Allah bagi yang dipanggil oleh Allah, baik bagi orang-orang Yahudi maupun non-Yahudi. terlepas dari paradigma berpikir dari dua golongan manusia ini, kalau Allah memang memanggil seseorang, maka orang ini pasti akan mempercayai Injil. Dengan demikian, bagi orang seperti ini Injil adalah kekuatan dan hikmat Allah.

Di ayat 25 Paulus menutup penjelasannya dengan menyatakan kebenaran teologis yang penting: Allah jauh lebih berhikmat dan kuat daripada manusia. Terjemahan hurufiah dari ayat ini adalah “sebab kebodohan Allah adalah lebih ebrhikmat daripada manusia dan kelemahan Allah adalah lebih kuat daripada manusia”. Jangankan membandingkan hikmat Allah dan hikmat manusia, kebodohan Allah pun juga lebih hebat daripada semua kepandaian manusia. Jangankan membandingkan kekuatan Allah dengan manusia, kelemahan Allah pun sudah jauh melebihi semua kekuatan manusia. Salib merupakan bukti betapa kekuatan dan hikmat manusia telah dipermalukan oleh Allah. Keselamatan melalu salib hanya dimungkinkan oleh hikmat dan kuasa Allah.




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 9 Desember 2007

21 December 2009

Roma 16:19-20: KESATUAN DAN KEBENARAN DI DALAM TUBUH KRISTUS: Solusinya

Seri Eksposisi Surat Roma:
Penutup-16


KESATUAN DAN KEBENARAN DI DALAM TUBUH KRISTUS: Solusinya

oleh: Denny Teguh Sutandio



Nats: Roma 16:19-20



Dikontraskan dengan dua ayat sebelumnya yang menyatakan bahwa ada sekumpulan jemaat yang berniat memecah belah jemaat Roma, maka di ayat 19, Paulus memuji jemaat Roma yang setia/taat sekaligus tetap memberikan nasihat-nasihat, “Kabar tentang ketaatanmu telah terdengar oleh semua orang. Sebab itu aku bersukacita tentang kamu. Tetapi aku ingin supaya kamu bijaksana terhadap apa yang baik, dan bersih terhadap apa yang jahat.” Dibandingkan dengan beberapa jemaat yang berusaha memecah belah, maka jemaat Roma dipuji Paulus adalah jemaat yang setia dan kesetiaannya telah didengar banyak orang. Kata “kesetiaan” dalam bahasa Yunaninya hupakoē bisa berarti ketaatan atau ketundukan atau kepatuhan. Kata “terdengar” dalam bahasa Yunaninya aphikneomai bisa berarti tersebar luas atau tiba (to arrive at). Berarti, ketaatan jemaat Roma tersebar luas ke semua orang (bdk. Rm. 1:8). Sebagai reaksinya, Paulus bersukacita karena ketaatan jemaat Roma tersebut. Lalu, apa maksud Paulus mengungkapkan hal ini? Di ayat 19b, ia mengatakan, “Tetapi aku ingin supaya kamu bijaksana terhadap apa yang baik, dan bersih terhadap apa yang jahat.” Apa maksud ayat ini? Adam Clarke di dalam tafsirannya Adam Clarke’s Commentary on the Bible menafsirkan bahwa pernyataan Paulus yang bersukacita akan ketaatan jemaat Roma dimaksudkan agar jemaat Roma terus mendengar ajaran yang benar dan menjauhi para pengajar yang salah. Berarti Paulus ingin agar jemaat Roma memiliki discerning power (kekuatan membedakan). Mendengar ajaran yang benar dan menjauhi para pengajar yang salah ditandai dengan dua sikap yang Paulus kemukakan di ayat 19b ini:
Pertama, bijaksana terhadap apa yang baik. Kata “baik” dalam bahasa Yunaninya agathos bisa berarti baik atau berguna. Teks Yunani lain ada yang menerjemahkannya men berarti benar-benar (truly). Dengan kata lain, Paulus di titik pertama hendak mengajar jemaat Roma untuk bijaksana terhadap apa yang sungguh-sungguh/berguna/baik. Berarti, bijaksana di titik awal harus dikaitkan dengan suatu kebaikan atau kesungguhan. Bijaksana tanpa dikaitkan dengan kebaikan/kesungguhan bisa berakibat fatal. Berapa banyak dari kita yang menganggap diri bijaksana, namun sayangnya konsep bijaksana mayoritas tidak dibangun di atas dasar kebaikan/kesungguhan, sehingga bijaksana kita menjadi bijak-sini. Selain itu, bijaksana bukan hanya dibangun di atas dasar kebaikan/kesungguhan, tetapi juga melakukan yang baik. Sebagai perbandingan, di Roma 12:9b, Paulus juga mengajar, “lakukanlah yang baik” (King James Version: “cleave to that which is good.”) Kata Yunani untuk “baik” di ayat 9b ini juga agathos. Struktur kata kerja Yunani di dalam ayat ini adalah pasif, berarti bukan kita yang aktif, tetapi kita pasif, mengapa? Karena Roh Kudus yang aktif pertama kali membuat kita berpaut pada dan melakukan kebaikan. Karena Roh Kudus yang aktif dan memulai karya ini, maka Ia pulalah yang menuntun kita di dalam proses bijaksana melakukan yang baik demi kemuliaan-Nya. Melakukan sesuatu yang baik memang diperlukan suatu kebijaksanaan, karena jika tidak, bisa berbahaya. Banyak orang berbuat baik, namun sayangnya tidak bijaksana. Misalnya, menolong orang yang kekurangan dengan menghambur-hamburkan uang, tanpa mendidik orang yang berkekurangan itu untuk bekerja. Akibatnya, pengemis bukan tambah sedikit, tetapi tambah banyak. Biarlah Roh Kudus terus memurnikan dan menuntun kita agar kita makin bijaksana melakukan yang baik demi kemuliaan-Nya.
Kedua, bersih terhadap apa yang jahat. Kata “bersih” di sini memiliki beragam terjemahan. KJV menerjemahkannya simple (=jujur, tidak bercampur, murni). Terjemahan Indonesia dari teks Yunani yang diterjemahkan oleh Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia adalah tidak bernoda. New International Version (NIV) dan New American Standard Bible (NASB) menerjemahkannya innocent (=tidak berdosa/tidak bersalah). Berarti, selain bijaksana terhadap apa yang baik, Paulus menuntut jemaat Roma untuk memiliki kerohanian yang bebas dari sesuatu yang jahat. NIV Spirit of the Reformation Study Bible menafsirkannya bahwa jemaat Roma membutuhkan kebijaksanaan dan hati rohani tanpa campuran dari sesuatu yang jahat. Dengan kata lain, selain bijaksana terhadap apa yang baik, kita pun dituntut untuk memiliki kemurnian hati yang tidak dikontaminasi oleh sesuatu yang jahat. Bagaimana caranya agar tidak tercampur dengan hal-hal yang jahat? Kembali, di dalam Roma 12:9b, Paulus mengajar kita, “Jauhilah yang jahat” KJV menerjemahkannya, “Abhor that which is evil” Ya, bukan hanya sekadar menjauhi kejahatan, tetapi sangat bencilah kejahatan itu. Seorang yang telah membangun bijaksananya di atas dasar kebaikan dan melakukan kebaikan itu dengan sendirinya (dengan bantuan Roh Kudus, tentunya) mengakibatkan orang itu di titik pertama memiliki motivasi hati yang murni, cara yang murni, dan tentunya tujuan yang murni, bukan untuk diri, namun untuk Tuhan. Dia tidak akan mau apa yang dilakukannya dari motivasi, cara, dan tujuan bercampur dengan hal-hal kejahatan, karena itu mendukakan hati-Nya. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita menguji hati kita ketika melakukan segala sesuatu? Apakah kita melakukannya dengan motivasi, cara, dan tujuan yang beres di hadapan-Nya?


Lalu, Paulus bukan hanya memberi pujian dan nasihat, ia juga memberi kekuatan kepada jemaat Roma untuk menjalankan nasihat Paulus itu. Sebagai kekuatan dan penghiburan, di ayat 20, ia menyatakan, “Semoga Allah, sumber damai sejahtera, segera akan menghancurkan Iblis di bawah kakimu. Kasih karunia Yesus, Tuhan kita, menyertai kamu!” Kekuatan dan penghiburan dari Paulus kepada jemaat Roma untuk menjalankan nasihat Paulus untuk memiliki kekuatan pembeda adalah bahwa mereka bisa melakukan hal tersebut karena Allah akan menghancurkan Iblis di bawah kaki umat-Nya. Kata “menghancurkan” di dalam bahasa Yunani suntribō bisa berarti menghancurkan/mematahkan sampai berkeping-keping (to break in pieces). Kata ini di dalam struktur teks Yunani menggunakan bentuk keterangan waktu future (masa depan) dan aktif. Berarti, ketika kita berada di dalam pergumulan melawan kejahatan ketika kita hendak berbijaksana melakukan yang baik, maka percayalah, ada Allah menyertai kita, Ia akan meremukkan iblis sampai berkeping-keping dan meletakkannya di bawah kaki kita, umat-Nya. Dengan kata lain, kemenangan Allah menjadi kemenangan kita asalkan kita tetap berpaut kepada-Nya. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mengalami kemenangan yang Tuhan anugerahkan kita di dalam kesatuan dan kebenaran di dalam tubuh Kristus? Mari kita mengalami terus-menerus kemenangan Allah itu di dalam hidup kita. Amin. Soli Deo Gloria.

Resensi Buku-86: GARAM DAN TERANG BAGI KELUARGA (Ev. Chang Khui Fa, S.E., M.Div.)

...Dapatkan segera...
Buku
GARAM DAN TERANG BAGI KELUARGA

oleh: Ev. Chang Khui Fa, S.E., M.Div.

Penerbit: Pionir Jaya, 2009





Deskripsi dari Denny Teguh Sutandio:
Dunia kita mengajar bahwa keluarga adalah bagian terkecil dari suatu masyarakat. Ketika keluarga beres, maka hidup bermasyarakat pun beres. Di dalam Kekristenan, keluarga menjadi hal utama. Namun sayang, dunia kita bahkan termasuk beberapa (atau bahkan mungkin banyak?) orang Kristen tidak mengerti signifikansi keluarga. Tidak heran, angka perceraian makin lama makin meningkat. Mengapa bisa terjadi perceraian? Apa yang sedang terjadi dengan keluarga di era postmodern ini? Bagaimana orang Kristen menyikapinya? Ikut arus ataukah melawan arus serta menjadi berkat bagi orang lain melalui kehidupan keluarga kita?

Dengan bahasa yang mudah dimengerti, enak dibaca, jelas, dan aplikatif, Ev. Chang Khui Fa, M.Div. yang telah menikah selama 9 tahun memaparkan kepada orang Kristen yang cinta Tuhan untuk menggarap kehidupan pernikahan Kristen yang sehat, agar menjadi: GARAM dan TERANG. Beliau bukan hanya memaparkan segudang teori untuk menjelaskan prinsip kehidupan pernikahan Kristen, tetapi juga disertai dengan aplikasi praktis dan pergumulan pribadi beliau bersama keluarganya. Hal ini yang membuat buku yang beliau tulis menjadi buku yang konseptual sekaligus aplikatif, tidak seperti buku-buku konseling pernikahan lain yang cenderung teoritis, di sisi lain ada yang terlalu menekankan sisi praktika (tanpa konsep). Sebagai aplikasi praktis dan pergumulan pribadinya, beliau tidak segan-segan memaparkan kesulitan-kesulitan di dalam pernikahan, misalnya: komunikasi, konflik, dll (di mana beliau sendiri mengalaminya) dan juga solusi mengatasinya, sehingga para pasutri muda maupun yang sudah bertahun-tahun mengalami indahnya pernikahan Kristen di dalam Tuhan.






Prakata dari Pdt. Caleb Tong, D.Min.:
Sebelum menjadi terang dunia, Tuhan mau kita menjadi pelita bagi keluarga terlebih dulu. Terang dan Garam yang tidak bersuara, namun diam-diam memberi pengaruh yang besar secara aktif, positif, dan berinisiatif.
Temperamen seseorang merupakan bawaan sejak lahir dan sulit berubah, namun tatkala berkembang menjadi sebuah personality, bila Tuhan campur tangan, mukjizat akan terjadi. Segala kekurangan dan kelemahan akan dibentuk kembali, sehingga karakter Kristianinya akan nampak indah sesuai dengan Imago Dei (kodrat citra ciptaan Allah) yang mulia.
Tuhan menghendaki kita semua menadi penyambung lidah dan perpanjangan tangan-Nya. Agar dapat menjangkau mereka yang jauh dari Tuhan, kembali kepada-Nya, supaya rencana agung penyelamatan dunia ini dapat terwujud, maka menjadi Garam dan Terang bagi dunia adalah panggilan mulia yang tak mungkin dielakkan.
Ev. Chang Khui Fa, rekan hamba Tuhan di GII Hok Im Tong, sudah lama dikenal melalui Program Siaran Radio “I Do” telah membuka cakrawala konsultasi bagi pasangan suami-istri yang ingin menanyakan hal-hal yang sedang dihadapi. Melalui pembahasan firman Tuhanlah, nilai-nilai Kristiani dapat ditegakkan.
Kini, ia meluncurkan buku “Garam dan Terang bagi Keluarga” dengan penegasan, sebuah pernikahan yang indah bagi keluarga harus dibangun di atas landasan kokoh yakni Firman Tuhan. Melalui kecakapan komunikasi guna membatasi timbulnya konflik tanpa pertentangan yang semu. Kemurahan hati dan kepercayaan yang meyakinkan antara suami-istri yang saling mengasihi dengan sikap dewasa dan romantis. Fleksibel, tidak mementingkan diri sendiri dalam keegoisan, kasih, dan harapan dalam iman akan bertumbuh menuju kesempurnaan nan indah. Perkara yang dikemukakannya merupakan hal-hal penting bagi setiap keluarga yang merindukan kebahagiaan.
Bila Tuhan telah menetapkan istri sebagai pendamping suami dan pengasuh anak, maka ia patut menjadi pelita keluarga dan mahkota suaminya. Jika Tuhan memanggil suami sebagai kepala keluarga, maka dia harus memimpin dengan baik, agar anak-anak terlindung dan terbina dengan sempurna. Akhirnya, anak-anak menadi sukacita orangtua, bagaikan anak panah di tangan seorang pahlawan serta menjadi kebanggaan keluarga. Karena itu, sebelum kita menjadi terang dan garam dalam dunia, seharusnya terlebih dahulu menjadi garam dan terang bagi keluarga.
Kiranya Tuhan sumber hikmat dan berkat memberi iman, kekuatan, dan keberanian kepada kita semua. Terlebih, buku ini dipakai Tuhan menjadi berkat bagi setiap pembaca yang mau taat kepada panggilan mulia-Nya untuk membahagiakan orang-orang yang Tuhan percayakan kepada kita.

Soli Deo Gloria, Pdt. Dr. Caleb Tong





Apresiasi:
(sebenarnya ada 31 orang yang memberikan apresiasi terhadap buku ini, namun saya hanya mengutip 4 apresiasi dari 4 orang)
“Semangat untuk mengembangkan diri adalah bagian integral dari pengalaman pribadi dengan Tuhan. Makna penulisan sebuah buku diberikan Tuhan bagi mereka yang telah dengan tulus melayani-Nya dalam motto Trust and Obey.
Bagi mereka yang hidup dalam iman yang sejati, “INFLUENCE adalah Fruits of Obedience.” Influence tidak boleh dicari dan atau diupayakan oleh orang-orang percaya, sebab spirit pelayanan Kristen adalah Striving for Excellence dan buka Striving for Superiority. Hanya mereka yang setia dengan “hal kecil, yang disediakan Tuhan baginya,” akan mengerjakan talenta yang Than berikan padanya.
BACALAH buku ini dan Anda akan menemukan apa yang saya MAKSUDKAN. Tuhan memberkati mereka yang haus akan kebenaran.”
Pdt. Yakub B. Susabda, Ph.D.
(Rektor Sekolah Tinggi Theologi Reformed Injili Indonesia—STTRII Jakarta; Sarjana Theologi—dari STT Jakarta; Master of Christian Education—M.C.E. dari Reformed Theological Seminary, Jackson, Mississippi, U.S.A.; Master of Theology—M.Th. dalam Psychology dan Counseling dari Trinity Evangelical Divinity School, Illinois, U.S.A.; dan Doctor of Philosophy—Ph.D. dari Biola University, U.S.A.)


“Buku keluarga yang wajib dibaca pasangan suami-istri dan mereka yang ingin menikah. Penuh dengan MUTIARA hikmat berdasarkan pergumulan pribadi serta pengolahan dari masukan teoritis dan dilandasi oleh Firman Tuhan.
Buku ini ditulis dengan bahasa renyah, sehingga enak dibaca dan mudah dicerna serta DIJAMIN TIDAK MEMBOSANKAN!”
Pdt. Paul R. Gunadi, Ph.D.
(Dosen Konseling di Seminari Alkitab Asia Tenggara—SAAT Malang; Bachelor of Arts—B.A. Psikologi dari Azusa Pacific College; Master of Arts—M.A. Konseling dari Denver Seminary; dan Ph.D. Psikologi Konseling dari University of Southern California)


“Buku yang BERKUALITAS, ditulis oleh orang yang berpengetahuan. Buku yang BERMANFAAT, ditulis oleh roang yang berpengalaman. Buku yang MENGUBAH HIDUP, ditulis oleh orang yang menulis dengan hati.
Chang Khui Fa memenuhi tiga kriteria ini dan mendorong kita semua untuk menjadikan tulisannya sebagai bagian dalam pertumbuhan keluarga dan pelayanan kita. Kiranya Tuhan memberkati baik penulis maupun para pembaca.”
Anne Kartawidjaja, M.Div.
(Ibu Rumah Tangga, Pencipta Pujian Sahabat Kristus 1,2,3, dan Pendiri Yayasan Eunike)


“Sekian lama mengenal Chang Khui Fa dan bergaul dengannya, sekian lama juga menunggu datangnya buku semacam ini yang ditulis olehnya. Akhirnya… Datang Juga! Sesuai dengan gayanya yang khas, buku ini praktis namun ada KERANGKA berpikir yang jelas. Bisa dikembangkan untuk menjadi bahan PA Pasutri atau KTB Married Couple. Pasti MENYESAL bila tidak membaca dan memanfaatkan buku ini.”
Pdt. Paulus Kurnia, C.B.A., D.Min.
(Anggota Dewan Penasihat dan Konselor Lifespring Counseling Center, Anggota Kehormatan Asosiasi Konselor Kristen Indonesia, dan Dosen Konseling Keluarga di STT Amanat Agung, Jakarta; B.A. dari Universitas Tarumanagara, Jakarta; S.Th. dari SAAT Malang; M.Th. dari International Theological Seminary, El Monte, California, U.S.A.; M.Th. dari Fuller Theological Seminary, Pasadena, California, U.S.A.; Doctor of Ministry—D.Min. dari Reformed Theological Seminary, Jackson, Mississippi, U.S.A.; dan C.B.A. dari Counseling Skills Counseling Care Centre, Singapore)








Profil Ev. Chang Khui Fa:
Ev. Chang Khui Fa, S.E., M.Div. lahir di Jakarta, 3 Juni 1972. Beliau menyelesaikan pendidikan Sarjana Ekonomi (S.E.) di Institut Bisnis Nusantara, Jakarta. Beliau pernah menggeluti dunia Auditor beserta Financial Statement-nya di Kantor Akuntan Publik Internasional KPMG dan terakhir sebagai Senior Auditor. Beliau juga menjabat sebagai Finance and Accounting Manager di PT. German Centre Indonesia. Beliau menyelesaikan studi theologi Master of Divinity (M.Div.) di STTRII, Jakarta pada tahun 2003 dan saat ini melayani penuh waktu di Gereja Injili Indonesia (GII) Hok Im Tong, Bandung. Beliau menikah dengan Liana pada tanggal 18 Mei 2000 dan dikaruniai 3 orang anak: Jostein Adams, Joylynne Adams, dan Joshen Adams. Beliau dapat dihubungi melalui e-mail: khuifa@gmail.com.

Fenomena Buku The Secret, A New Earth, dan Spiritualitas Ala Oprah Winfrey (Ev. Bedjo Lie, M.Div.)

FENOMENA BUKU THE SECRET, A NEW EARTH, DAN SPIRITUALITAS ALA OPRAH WINFREY:
BAGAIMANAKAH GEREJA MENYIKAPINYA?


oleh: Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div.



PENDAHULUAN
Oprah Winfrey memang sosok yang fenomenal. Dari seorang ratu talk show yang menyentuh hati, akhir-akhir ini ia mulai dinobatkan sebagai nabiah Gerakan Zaman Baru (New Age Movement).1 Citranya memang sedang bergeser, dari pembawa acara terpopuler menjadi sosok kontroversial karena pernyataan-pernyatannya yang dianggap menyerang keunikan iman Kristen. Ketik saja namanya di Youtube atau Google Search, Anda akan menemukan banyak pujian dan kritik tertuju padanya, secara khusus dari kalangan Kristen. Sebuah website apologetika Kristen menuturkannya demikian:
Oprah Winfrey, yang mengklaim sebagai orang Kristen, telah semakin aktif dalam mempromosikan theologi New Age (misalnya, Ia berkata ’Saya percaya Allah ada di dalam segala sesuatu’) dan menolak bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan keselamatan (Misalnya, ia berkata ’Salah satu kesalahan yang dibuat manusia adalah percaya bahwa hanya ada satu jalan…ada banyak jalan menuju pada apa yang Anda sebut sebagai Allah’. Di kesempatan lain ia berkata, ’saya adalah orang Kristen yang percaya penuh bahwa ada banyak jalan menuju pada Allah selain dari Kekristenan’).2

Tampaknya tuduhan penyebaran ajaran New Age terhadap Oprah bukanlah tanpa dasar. Dukungan Oprah terhadap Gerakan Zaman Baru (selanjutnya disingkat GZB) atau New Age Movement (selanjutnya disebut New Age) memang semakin tercium ketika ia turut mempopulerkan buku/film The Secret karya Rhonda Byrne pada tahun 2007 dan A New Earth karya Eckhart Tolle pada tahun 2008.3 Kedua buku ini, disebut-sebut sebagai buku-buku yang mempromosikan sebuah wawasan dunia (worldview) yang bercorak GZB secara umum.

Berkaitan dengan buku The Secret (selanjutnya disingkat TS), tidak diragukan lagi bahwa buku ini telah menjadi “demam” baru dan semacam epidemi dahsyat di dunia termasuk di Indonesia. Buku TS ini bahkan disebut-sebut oleh majalah Newsweek, “could be the fastest-selling book of its kind in the history of publishing.”4 Dengan dukungan terhadap ajaran TS dari penulis-penulis terkenal seperti Jack Canfield (penulis serial Chicken Soup yang laris di Indonsia bahkan juga di kalangan orang Kristen) dan John Gray (Man Are from Mars…), tidak heran jika di Indonesia sambutan terhadap buku ini juga sangat meluas.5

Lebih dahsyat lagi, walaupun popularitas memang tidak selalu sama dengan pengaruh, namun dalam kasus TS, buku ini tampaknya memiliki kedua-duanya. Pengaruh TS bahkan telah dirasakan oleh komunitas Kristen di Indonesia. Betapa tidak? Mulai dari siswa-siswi sekolah menengah sampai profesor, pendeta maupun profesional Kristen, ada yang mempercayainya, mengajarkannya dan mempraktikkan buku TS ini. Tidak heran, di beberapa perusahaan yang dipimpin oleh orang Kristen, pelatihan-pelatihan yang didasari oleh filsafat TS juga merebak. Mereka biasanya berkata, “Benar lho. Setelah mempraktikkan buku ini, hasilnya sungguh nyata.”

Berlainan dengan TS yang terkenal, buku A New Earth karya Tolle tidak atau belum terkenal di Indonesia. Walaupun demikian, dengan dukungan Oprah maka daya tarik dari buku ini telah meluas di dunia bagai sebuah ombak besar. Dilaporkan bahwa lebih dari 2,000,000 orang dari 139 negara berpartisipasi dengan Oprah dan Tolle dalam sebuah live seminar berbasiskan web yang membahas setiap bab dari buku ini.6 Dengan angka yang bombastis seperti itu tentu saja orang Kristen perlu memberikan penilaian yang kritis tentang ajaran apa yang sedang disebarluaskan oleh buku ini.7

Dalam tulisan singkat ini, kita akan menyorot ke dalam filsafat The Secret dan A New Earth, secara khusus konsep tentang realitas tertinggi (Allah) dan kaitannya dengan alam semesta serta manusia. Khusus untuk buku TS, pembicaraan agak diperluas dengan hukum tarik menarik untuk memberikan wawasan sekilas bagi pembaca.8 Selanjutnya, penulis akan menyampaikan sebuah perspektif perbandingan antara TS dan A New Earth dengan ajaran Alkitab, yang akan dilanjutkan dengan analisa kritis terhadap filsafat dan theologi dalam kedua buku tersebut. Pada bagian penutup, penulis akan memberikan beberapa rekomendasi bagi gereja dalam menyikapi tren spiritualitas ala Oprah Winfrey.




AJARAN THE SECRET
The Secret (TS) bukan sekadar film dan buku biasa. Tidak seperti kebanyakan buku self-help dan motivasional yang berfokus untuk memperlengkapi Anda dalam mencapai kesuksesan atau kebahagiaan, buku ini menawarkan suatu kerangka berpikir yang cukup lengkap tentang segala sesuatu. Anda dapat menemukan konsep tentang kehidupan, uang, relasi, dan kesehatan tetapi juga konsep-konsep tentang siapakah Allah, manusia, dan tujuan hidup manusia di dunia. Bukankah itu menarik?


The Law of Attraction
Mayoritas pembaca atau mereka yang menyaksikan film TS berpikir bahwa Hukum tarik-menarik adalah inti sari dari film/buku TS.9 Rahasia yang menjadi judul dari buku ini adalah keberadaan hukum tarik-menarik dalam kehidupan. Rahasia ini dikatakan telah dipahami oleh semua orang besar dan hebat pada masa lalu namun telah tersembunyi bagi kita. Sekarang buku TS berusaha mengungkapkannya kepada manusia yang hidup di zaman ini.

Dalam menjelaskan rahasia ini, TS menyatakan, “Rahasia besar dalam kehidupan adalah hukum tarik-menarik” dan bahwa, “Pikiran yang sedang Anda pikirkan saat ini sedang menciptakan kehidupan masa depan Anda. Apa yang paling Anda pikirkan atau fokuskan akan muncul sebagai hidup Anda”10

Berikutnya, dalam rangkuman bab penyederhanaan rahasia, TS menegaskan bahwa, “Hukum tarik-menarik adalah hukum alam. Hukum ini sama pentingnya dengan hukum gravitasi.” Selanjutnya, ia menegaskan, “Tidak ada yang muncul ke pengalaman Anda kecuali jika Anda memanggilnya melalui pikiran yang terus menerus”11

Bagaimanakah cara menggunakan rahasia ini secara praktis? Rhonda dengan cekatan menunjukkan langkah-langkah untuk menciptakan segala sesuatu yang Anda inginkan. Ia berkata, “Seperti Jin-nya Aladin, hukum tarik menarik menjamin pemenuhan setiap permintaan kita.” 12 dan “Proses penciptaan membantu Anda menciptakan apa yang Anda inginkan dalam tiga langkah sederhana: meminta, percaya dan menerima.”13

Selanjutnya, alih-alih mendorong kita untuk berdoa kepada Tuhan, buku TS mendorong kita untuk meminta kepada “semesta.” TS berkata, “Meminta apa yang Anda inginkan kepada Semesta adalah kesempatan menjelaskan apa yang Anda inginkan kepada diri sendiri. Ketika permintaan itu menjadi jelas di benak Anda, Anda sudah memintanya.” Sebagaimana akan kita lihat nanti, konsep “semesta” ini sama sekali tidak mengacu pada Tuhan yang berpribadi dan berkehendak dalam konsep Kristen melainkan mengacu pada energi.

Jadi, buku TS sangat menekankan pentingnya pikiran yang terfokus pada keinginan Anda, proses visualisasi dari keinginan itu dan akhirnya Anda akan mengalaminya sebagai kenyataan hidup. Apakah hal itu pasti? Tentu saja, karena hukum ini bekerja seperti hukum alam. Tanpa perkecualian! Dijamin! Demikianlah keyakinan buku ini.


Rahasia Uang, Relasi, dan Kesehatan
Jadi, senada dengan buku-buku positive thinking lainnya, TS percaya bahwa pikiran yang positif menarik hal positif, pikiran yang negatif menarik hal negatif. Hal ini berlaku dalam semua bidang kehidupan termasuk uang, relasi dan kesehatan.

Jika memang rahasianya semudah itu, mengapa banyak orang yang tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan? Dengan mantap Rhonda Byrne berkata, “Satu-satunya sebab mengapa orang tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan adalah karena mereka lebih memikirkan apa yang tidak mereka inginkan daripada apa yang mereka inginkan.”14

Praktisnya, rahasia menuju kekayaan adalah memikirkan kekayaan. Rhonda berkata, “Ubahlah keseimbangan pikiran ke arah kekayaan. Pikirkan kekayaan.”15 Dalam menyatakan hal ini, Rhonda tampaknya juga mengantisipasi antipati yang dapat muncul dari sekelompok orang Kristen. Ia berkata,
Bila Anda dibesarkan dengan kepercayaan bahwa kekayaan tidak spiritual, saya menganjurkan Anda membaca buku The Millonaries of The Bible Series tulisan Catherine Ponder. Dalam buku berseri yang bagus ini Anda akan menemukan Abraham, Ishak, Yakub, Yusuf, Musa, dan Yesus bukan saja guru yang makmur, tetapi juga jutawan, dengan gaya hidup yang lebih mewah daripada yang bisa dibayangkan jutawan yang hidup di masa kini16

Lebih lanjut ia mengajarkan bahwa Anda perlu,
...menggunakan imajinasi dan berpura-pura Anda sudah memiliki uang yang Anda butuhkan. Lakukan permainan seakan-akan Anda sudah memiliki kekayaan itu, dan Anda akan merasa lebih baik tentang uang. Ketika Anda merasa lebih baik tentang uang, lebih banyak uang akan mengalir ke dalam hidup Anda17

Selanjutnya, rahasia untuk memiliki relasi yang baik dan berhasil juga amat mudah. Oleh karena pikiran kita harus selalu positif, maka “Perlakukan diri dengan cinta dan hormat, maka Anda akan menarik orang-orang yang menunjukkan cinta dan hormat kepada Anda.”

Sebaliknya, “Ketika Anda merasa buruk terhadap diri sendiri, Anda akan menghalangi cinta, dan Anda akan menarik lebih banyak orang dan situasi yang akan terus membuat Anda merasa buruk terhadap diri sendiri.”18

Bagaimana dengan kesehatan? Prinsipnya selalu sama. Jika ingin sehat ya jangan pikirkan penyakit. Buku ini bahkan berkata: “Jangan mendengarkan pesan-pesan masyarakat tentang penyakit dan penuaan. Pesan-pesan yang negatif tidak berguna bagi Anda.”19 Jadi, cara menjadi sehat tentu dimulai dengan pikiran bahwa ”saya sehat.” Hal ini penting karena,
Penyakit ditahan oleh tubuh oleh pikiran, oleh pengamatan penyakit, dan oleh perhatian yang diberikan kepada penyakit. Jika Anda merasa agak tidak enak badan, jangan membicarakannya-kecuali jika Anda menginginkan lebih banyak keadaan tidak enak....20


Akar Religius The Secret: Monisme dan Pantheisme
Buku TS menjadi semakin menarik karena para pendukungnya datang dari berbagai bidang keahlian dan mendatangkan kesan seolah-olah didukung oleh berbagai disiplin ilmu termasuk theologi Kristen. Ada ahli fisika kuantum, pembicara motivasional, tokoh spiritualitas, bahkan beberapa kutipan Alkitab seperti Matius 21:22 di dalam buku TS. Tetapi, lebih dari sekadar menawarkan cara hidup sukses, buku TS juga berbicara tentang Rahasia Anda dan Rahasia Kehidupan. Dua rahasia ini adalah dua bab terakhir dalam buku TS yang berbicara filsafat atau akar-akar religius buku TS.

Dalam bab “Rahasia Anda”, secara eksplisit buku ini mengajarkan monisme, paham yang percaya bahwa semua realitas adalah “satu.” TS berkata, “Kita semua terhubung, dan kita semua adalah Satu.”21 Selanjutnya, untuk menjelaskan kesatuan ini, ia berkata,
Kita adalah Satu. Kita semua terhubung, dan kita semua adalah bagian dari Satu ladang Energi, dan Satu Akal Mahatinggi, atau Satu Kesadaran, atau Satu Sumber Kreatif. Sebutlah dengan sebutan apa pun, tetapi kita semua adalah Satu.22

Lebih jauh lagi, TS mengajarkan bahwa bukan hanya kita semua adalah Satu (monisme), tetapi melangkah lebih jauh bahwa yang “satu” itu adalah ”Tuhan” (pantheisme). Rhonda berkata, “Pasokan yang sesungguhnya adalah satu ladang yang tidak kasatmata, terlepas dari apakah Anda menyebutnya sebagai Semesta, Akal Mahatinggi, Tuhan, Intelegensi Tak Terbatas, atau apa pun.”23 Selanjutnya, ia menjelaskan:
Anda adalah Tuhan dalam sebuah tubuh fisik. Anda adalah Spirit dalam daging. Anda adalah Kehidupan Abadi yang mengungkapkan diri sebagai ANDA. Anda adalah makhluk jagat raya. Anda adalah kesempurnaan. Anda adalah keluarbiasaan. Anda adalah pencipta, dan Anda menciptakan penciptaan ANDA di planet ini.24

Jadi, pada hakikat terdalam, manusia adalah Tuhan atau energi atau Intelegensi Tak Terbatas. Tidaklah mengherankan jika rahasia ini benar, maka manusia bisa meraih apa pun yang dia inginkan, entah kekayaan, relasi maupun kesehatan sempurna karena ia sendiri sempurna. Kesempurnaan manusia ini dijelaskan ketika TS menjelaskan posisi antropologinya:
Kebenaran mutlak adalah bahwa ‘Saya’ sempurna dan utuh; ‘Saya’ yang sesungguhnya adalah spiritual, dan karenanya tidak bisa kurang dari sempurna; ia tidak bisa memiliki kekurangan, keterbatasan, atau penyakit.25

Ketika kita membaca pernyataan-pernyataan seperti itu, tidak ada keraguan sama sekali bahwa penulisnya percaya bahwa Tuhan dan manusia serta alam semesta memiliki hakikat yang sama pada hakikat terdalamnya. Ini adalah sebuah paham yang dikenal sebagai pantheisme.

Sesuai namanya, pantheisme adalah paham yang percaya bahwa semua (pan) adalah Allah (theos) atau “God is All and All is God.” Ini adalah ajaran yang bertentangan dengan iman Kristen (Teisme) yang percaya pada Allah yang menciptakan segala sesuatu (God made all) atau atheisme yang percaya tidak ada Allah sama sekali (No God at all).26 Pantheisme sejati percaya bahwa, Anda adalah Allah, tikus adalah Allah, bahkan kertas adalah Allah (God is all). Mengapa demikian? Karena semua pada hakekatnya adalah satu kesatuan. Allah adalah satu kesatuan yang meliputi semua hal. Jadi, alam semesta dan manusia adalah satu yaitu Allah, dan sebaliknya juga.

Selanjutnya, untuk dapat mengenal lebih jauh tentang spiritualitas macam apa yang sedang dipromosikan Oprah, kita akan menyorot buku A New Earth yang banyak dipuji-puji Oprah dalam talk show dan web site miliknya.




AJARAN A NEW EARTH
Setelah tahun 2007 Oprah mendukung The Secret maka tahun 2008 ia dengan getol mempromosikan A New Earth karya Tolle.27 Sesuai dengan fokus kita, maka kita hanya akan melihat konsep realitas tertinggi (Allah) dalam kaitannya dengan alam semesta dan manusia sebagaimana diajarkan oleh A New Earth.


Monisme dan Pantheisme dalam A New Earth
Menurut Tolle, semesta material saat ini hanyalah manifestasi sementara dari kesadaran spiritual yang bersifat universal atau yang biasa disebut “Allah” dalam konsep agama-agama. Kesadaran spiritual universal ini juga bisa disebut sebagai “Life Force.” Jika kita membaca karya Tolle, maka kita menangkap kesan kuat bahwa “Life Force” atau “Allah” dalam konsep Tolle ini lebih bersifat tidak berpribadi (impersonal) atau sedikitnya non-personal daripada berpribadi (personal). Realitas tertinggi ini lebih layak disebut “It” daripada “He” atau “She.”28 Hal ini tentu saja pararel dengan ajaran TS bahwa segala sesuatu adalah “energi.” Selanjutnya, Allah dalam konsep Tolle adalah keberadaan yang memanifestasikan diri dalam semua benda dan makhluk hidup (bukan menciptakan). Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika Tolle berkata:
Setiap hal memiliki Keberadaan, sebuah bentuk sementara yang memiliki sumber di dalam satu Kehidupan yang tak berbentuk, sumber dari segala sesuatu, semua tubuh, semua bentuk. Pada hampir semua kebudayaan kuno, orang-orang percaya bahwa segala sesuatu, bahkan apa yang disebut sebagai benda mati, memiliki roh yang mendiaminya, dan dalam kaitan dengan ini, mereka lebih dekat pada kebenaran daripada kita yang hidup di masa kini.29

Orang-orang Kristen yang mengagumi Oprah Winfrey mungkin akan terkejut ketika mengetahui Oprah mengagumi dan mempromosikan sebuah tulisan yang berusaha mengembalikan kita kepada kepercayaan mistik kuno yang tercermin dalam kalimat Tolle di bawah ini:
Sejak zaman dahulu kala, bunga-bunga, kristal-kristal, batu-batu berharga dan burung-burung telah memiliki signifikansi khusus bagi roh manusia. Seperti halnya semua bentuk kehidupan, hal-hal itu, tentu saja merupakan manifestasi sementara dari esensi Kehidupan, satu Kesadaran.30

Ajaran monisme dan sekaligus pantheisme Tolle juga tercermin secara jelas dalam kata-katanya sendiri:
Di dasar permukaan dari hal-hal yang tampak, segala sesuatu bukan hanya saling terkait satu sama lain, tetapi juga dengan Sumber dari semua kehidupan, yang dari dalamnya semua muncul. Bahkan sebuah batu, dan lebih mudah lagi sebuah bunga atau burung dapat menunjukkan kepadamu jalan menuju pada Allah, kepada sang Sumber, kepada dirimu sendiri.31

Dalam kalimat di atas, Tolle menegaskan bahwa segala sesuatu “terkait satu sama lain” yang adalah ekspresi implisit dari “semua adalah satu.” Perhatikan pula bahwa dalam kalimat di atas kata, “Allah”, “sang Sumber”, dan “dirimu sendiri” mengacu pada sesuatu yang sama. Allah adalah diri kita sendiri, diri kita sendiri adalah Allah.


Manusia Menurut A New Earth
Siapakah manusia sebenarnya? Tolle menjelaskannya di bawah judul Beyond Ego: Your True Identity. Menurutnya, manusia tidaklah identik dengan pengalamannya, pemikirannya, perasaannya karena semua itu bukanlah siapa Anda yang sesungguhnya. Anda tidak dapat menemukan diri Anda dalam hal-hal tersebut karena semua itu akan berlalu.

Selanjutnya Tolle percaya bahwa Buddha mungkin adalah orang yang pertama kali mengalami realisasi spiritual dan mengetahui bahwa manusia pada dasarnya bukan “I” atau “aku: karena “aku” yang sebenarnya tidak ada. Ajaran ini diajarkan sebagai doktrin anatta (no self) yang menjadi salah satu ajaran utama Buddha. Lebih lanjut, Tolle menafsirkan bahwa ketika Yesus mengajarkan “menyangkal diri” hal ini berarti melepaskan ilusi tentang eksistensi diri. Jadi, diri kita yang sebenarnya sama sekali tidak terikat dengan perasaan, pengalaman, pikiran yang tampak dan termanifestasi di dalam dunia sehari-hari.32

Berdasarkan hal ini, kita dapat menyimpulkan bahwa menurut Tolle, diri kita yang sebenarnya terlepas dari semua unsur-unsur pribadi (person) seperti pikiran, perasaan dan kehendak. Pada hakikat terdalamnya manusia bersifat “impersonal” atau paling tidak non-personal karena keberadaan tertinggi yang merupakan the real “I” tersebut juga impersonal atau non-personal. Kita adalah satu dengan Keberadaan Kehidupan tersebut. Perhatikan kata-kata Tolle:
The only thing that ultimately matters is this: Can I sense my essential Beingness, the I Am, in the background of my life at all times? To be more accurate, can I sense the I Am that I Am at this moment? Can I sense my essential identity as consciousness itself? Or am I losing myself in what happens, losing myself in the mind, in the world?33

Jikalau hakikat manusia yang terdalam adalah sama dengan Allah karena manusia adalah manifestasi dari Allah itu sendiri, mengapa manusia tidak menyadarinya? Jawaban Tolle adalah karena kondisi normal dari pikiran manusia berada dalam keadaan disfungsi. Semua manusia mengalami disfungsi dalam pikirannya. Keadaan ini disebut secara berbeda-beda oleh masing-masing agama. Misalnya, dalam Hindu hal ini disebut maya, dalam Buddha, dukka dan dalam Kristen, dosa asal.34

Jadi, agama-agama yang berbeda sebenarnya mengacu pada hal yang sama ketika berbicara dengan istilah yang berbeda-beda tentang kondisi manusia yang sedang dalam masalah. Dengan ini pula usaha untuk menyamakan inti ajaran dari semua agama menjadi nampak dalam buku A New Earth.




TINJAUAN KRITIS ATAS THE SECRET DAN A NEW EARTH
Sebelum memberikan evaluasi kritis terhadap TS dan A New Earth, berikut ini akan diberikan sebuah perbandingan, antara apa yang diajarkan TS dan A New Earth (keduanya merupakan buku “spiritual ”yang dipromosikan Oprah Winfrey) dengan ajaran Alkitab mengenai realitas tertinggi dan manusia:
REALITAS TERTINGGI:
The Secret (thn 2007): Semesta (Universe) yg tidak berpribadi yang disebut-sebut sebagai Satu Ladang Energi, dan Satu Akal Mahatinggi, atau Satu Kesadaran, atau Satu Sumber Kreatif.
A New Earth (thn 2008): Kekuatan Kehidupan yang bersifat Universal (Universal Life Force)
Alkitab: Allah yg berpribadi. Allah adalah Roh (Yoh. 4:24) yang memiliki pikiran
(1Yoh. 3:20), perasaan (Yes. 63:10), kehendak (Mat. 3:15).

MANUSIA:
The Secret: Manusia adalah Tuhan dalam sebuah tubuh fisik. Manusia adalah pencipta dan bersifat sempurna, abadi. Pendeknya, manusia sehakekat dengan Tuhan hanya saja tidak menyadari RAHASIA ini. Buku The Secret berusaha menyadarkan manusia tentang siapa mereka sesungguhnya.
A New Earth: Manusia adalah Allah tetapi tercemar akibat ego. Pencemaran ini disebut secara berbeda-beda oleh masing-masing agama, namun hakekatnya sama saja. Misalnya, dalam Hindu disebut maya; dalam Buddha disebut dukka; dalam Kristen, dosa asal.
Alkitab: Ciptaan Tuhan dalam gambar dan rupa-Nya (Kej. 1:26-27). Manusia tidak sempurna (Rm. 3:23) dan tidak abadi atau memiliki permulaan (Kej. 1:1)


The Secret, A New Earth, dan Gerakan Zaman Baru
Buku The Secret dan A New Earth dalam wacana apologetika Kristen sering kali disebut sebagai bagian Gerakan Zaman Baru.

Gerakan Zaman Baru itu sendiri pada dasarnya adalah sebuah fenomena yang meluas di dunia Barat (walaupun sekarang jelas telah merambah Indonesia).35 Salah satu tonggak sejarah dari GZB terjadi ketika Swami Vivekananda (seorang guru spiritual India) berceramah di World Parliament of Religions pada tahun 1893 dan setelah itu banyak diundang untuk berbicara di universitas-universitas dan kolese-kolese di Amerika. Di dalam ceramahnya ia menyarankan sebuah “persetujuan bilateral.” Ia mengamati bahwa Barat unggul dalam studi tentang “materi” (ilmu pengetahuan dan teknologi) dan Timur unggul dalam studi tentang “spiritualitas.” “Marilah kita saling bertukar keahlian” demikian katanya. Dalam banyak cara, ia kelihatannya telah menjadi perintis dalam meletakkan Hinduisme ke dalam peta dunia dan sekarang guru-guru India sedang menggenapi visi tersebut.36 Jadi beberapa aspek ajaran GZB yang penting mungkin “baru” bagi dunia Barat yang sudah lama didominasi Kekristenan namun sebenarnya “lama” di dunia Timur khususnya India dan Cina.

Melihat ciri-ciri ajaran dari The Secret dan A New Earth yang telah kita bahas sebelumnya, memang kita bisa cukup yakin untuk menyimpulkan bahwa keduanya memiliki ciri-ciri yang sama dengan buku/film, praktik-praktik lain yang tergolong Gerakan Zaman Baru (GZB).

Terdapat beberapa kesamaan ajaran dari para penganut GZB walaupun pada dasarnya mereka bukanlah sebuah kepercayaan yang monolitik atau seragam. Sebagaimana dijelaskan oleh Douglas R. Groothuis, GZB memiliki sedikitnya enam ajaran penting yaitu: 1. Semua adalah satu; 2. Semua adalah Allah; 3. Kemanusiaan adalah Allah; 4. Perubahan kesadaran; 5. Semua agama adalah satu; 6. Optimisme evolusi kosmis.37

Penting untuk diperhatikan bahwa paham monisme (Semua adalah Satu) dan pantheisme (Semua adalah Allah) diletakkan sebagai dua ajaran yang disebutkan paling awal oleh Groothuis tentang GZB. Hal ini sebenarnya mencerminkan sebuah urutan logis bahwa monisme dan pantheisme termasuk fondasi bagi kepercayaan GZB yang lainnya.

Dalam kesamaan ciri-ciri dengan GZB, sedikitnya TS dan A New Earth yang didukung Oprah Winfrey mempromosikan pandangan yang merupakan variasi dari monisme dan secara khusus pantheisme.38 Oleh karena itu, orang-orang Kristen perlu lebih jauh memberikan suatu penilaian kritis terhadap kedua buku yang sedang meraih popularitas tersebut.


Kritik Terhadap Monisme (Semua adalah Satu) dalam TS dan A New Earth
Dalam filsafat GZB sebagaimana tercermin dalam TS dan A New Earth, monisme adalah fondasi bagi kepercayaan GZB berikutnya. Monisme berasal dari kata “mono” yang berarti “satu.” Jadi, monisme adalah suatu kepercayaan bahwa semua yang ada adalah satu. Pada puncaknya, tidak ada lagi perbedaan antara Allah, manusia, wortel atau sebuah batu karang.39 Hal ini berarti manusia dan batu sebenarnya tidak berbeda secara jenis namun hanya berbeda secara derajat dalam memanifestasikan realitas tertinggi atau “Allah.” Filsafat ini memiliki akarnya dalam pemikiran Hindu, Buddha di Timur maupun pemikiran filsuf Yunani Parmenides di Barat.40

Dalam pemikiran Hinduisme, monisme ini juga menjadi dasar bagi praktik vegetarian dan tanpa kekerasan (non-violence). Jika makhluk hidup (khususnya binatang) pada hakekatnya adalah sama dengan kita, maka tentu kita tidak boleh menyakitinya apalagi memakannya.41

Konsep monisme di atas tentu saja berbeda secara radikal dengan konsep Alkitab tentang realitas. Dalam perspektif wawasan dunia Kristen kita percaya bahwa ciptaan Allah meliputi banyak hal yang berbeda-beda. Enam hari penciptaan menunjukkan pada kita bahwa Allah memisahkan terang dan gelap, siang dari malam, bumi dari langit, tanah kering dari lautan, tumbuhan dari hewan, dan tentunya manusia berbeda dari semuanya itu karena manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.42 Alkitab secara jelas menolak usaha untuk menghapuskan pluralitas dan hanya mengunggulkan kesatuan dari dunia.

Jadi, dalam usaha untuk menjelaskan realitas dunia, monisme berusaha untuk melihat dunia ini dengan segala isinya (misalnya: manusia, binatang, tumbuhan, benda mati) sebagai suatu kesatuan atau “One” daripada “Many.” Hal ini amat berbeda dengan Kekristenan yang memiliki perspektif seimbang bahwa dunia ini adalah “One” sekaligus “Many.” Perspektif Kristen ini memiliki fondasinya yang kokoh dalam diri sang Pencipta yaitu Allah Tritunggal yang menjadi fondasi bagi adanya “One” sekaligus “Many” dalam dunia ciptaan. Sederhananya, dunia ini memang penuh dengan keanekaragaman benda mati, makhluk hidup (tumbuhan, binatang yang beraneka ragam), manusia, bintang-bintang, galaksi-galaksi namun semuanya itu adalah satu kesatuan ciptaan Allah yang memancarkan kemuliaan-Nya (bdk. Mzm. 119:1-7). Bukahkan “One” dan “Many” yang tercermin dalam ciptaan atau semesta ini merefleksikan penciptanya yaitu Allah Tritunggal yang memang “One” dalam esensi dan “Many” tepatnya “Tiga” dalam pribadi-Nya sendiri.

Jadi, monisme bersalah dalam hal mengorbankan “Many” di atas altar “One” dalam melihat realitas dunia ini.


Kritik Terhadap Pantheisme dalam TS dan A New Earth
Pantheisme sebenarnya adalah monisme yang selangkah lebih maju. Jika dalam monisme orang percaya bahwa semua hal meliputi apa pun di dunia ini adalah “Satu” maka dalam pantheisme ditegaskan bahwa yang “Satu” itu adalah “Allah.” Jadi, pantheisme percaya bahwa semua adalah Allah dan Allah adalah semua. Dalam kepercayaan ini, Allah menyebar ke dalam semua hal, mencakup semua hal, meliputi semua hal dan ditemukan di dalam semua hal. Dalam konsep ini, dunia adalah Allah dan Allah adalah dunia. Tidak ada yang bukan Allah di dunia ini.

Pantheisme memiliki sejarah panjang di Timur dan di Barat mulai dari mistisisme Hindu43 sampai rasionalisme yang dicetuskan Parmenides, Benedict de Spinoza, dan G. W. F. Hegel. Tetapi akhir-akhir ini pantheisme memang semakin populer di dunia barat. Pada satu masa, grup musik The Beatles dipengaruhi secara kuat oleh Transcendental Meditation dari Maharishi Mahesh Yogi dan kemudian oleh Gerakan Hare Krishna dari A. C. Bhaktivedanta, yang mengajarkan pemikiran panteistik juga di dalamnya. Film seperti Star Wars dan ajaran dari para individu seperti Alan Watts, D. T. Suzuki, dan Sarvepail Radhakrishnan dari India juga telah menambah pengaruh pantheisme terhadap masyarakat barat dewasa ini..Pengaruh dari pantheisme bahkan telah merambah dunia ekologi dengan dimunculkan ekoteologi yang panteistik dan percaya bahwa “semesta adalah Allah” sehingga tentu saja kita tidak boleh merusak atau mengeksploitasi semesta.44

Sebelum memberikan kritik terhadap pantheisme, mungkin berguna bagi kita untuk melihat analisa dari Nancy Pearcey tentang pantheisme melalu kerangka berpikir penciptaan (creation), kejatuhan (fall), penebusan (redemption) untuk menganalisa sebuah wawasan dunia. Dalam kaitan dengan penciptaan maka atas pertanyaan, “Apakah realitas tertinggi, asal mula dari segala sesuatu dalam pantheisme Zaman Baru?” jawaban dari pantheisme adalah “Yang Mutlak, yang Satu, Sebuah Esensi Spiritual Universal.” Selanjutnya berkaitan dengan kejatuhan atau pertanyaan “Apakah sumber dari kejahatan dan penderitaan?” maka jawaban dari pantheisme adalah “perasaan/pikiran tentang individualitas kita.” Terakhir berkaitan dengan penebusan, maka atas pertanyaan ”Bagaimana pantheisme memberitahukan kita jalan untuk menyelesaikan masalah kejahatan dan penderitaan?” maka jawaban yang diberikan penganut pantheisme adalah “Dengan menjadi satu kembali dengan Esensi Spritual Universal yang darinya kita semua muncul.”45

Beberapa kritik dapat kita berikan kepada pantheisme sebagai paham populer yang juga melandasi pemikiran TS dan A New Earth yang didukung Oprah.
Pertama, kritik positif. Pantheisme berusaha untuk menjelaskan semua realitas dan bukan hanya sebagian realitas. Bukankah dunia ini kita sebut uni-verse dan bukan multi-verse? Hal ini berarti bahwa segala realitas harus diusahakan untuk dilihat sebagai sebuah kesatuan. Dalam usaha ini, pantheisme menyatakan bahwa Allah dan dunia ini saling kait mengait dan bukan terpisah sama sekali. Ini adalah kontribusi positif dari pantheisme.46 Disebut kontribusi positif bukan karena pantheisme menyatakan kebenaran tetapi karena pantheisme mencerminkan sebuah usaha yang positif untuk melihat dunia dari semacam “big picture” dan bukan hanya parsial.

Kedua, kritik negatif. Dalam bagian ini ada beberapa kritik yang dapat kita berikan terhadap pantheisme baik secara biblikal-theologis maupun filosofis.


Kritik Biblikal-Theologis Terhadap Pantheisme
Ada beberapa kritik yang dapat kita berikan terhadap pantheisme dari sudut pandang Alkitab dan theologi Kristen (Injili).
Pertama, konsep pantheisme tentang asal muasal segala sesuatu (origin) jelas bertentangan dengan wahyu Allah dalam Alkitab tentang penciptaan. Dalam Kejadian 1 amat jelas bahwa Allah menciptakan segala sesuatu. Konsep Alkitab ini dipahami oleh para theolog sebagai “creatio ex nihilo” atau penciptaan dari kekosongan. Hal ini bertentangan dengan konsep pantheisme yang percaya “creatio ex Deo” atau penciptaan yang keluar dari Allah.47 Dalam konsep Alkitab terdapat dualitas antara Allah dan alam semesta termasuk manusia. Allah berbeda dengan alam semesta dan manusia secara kualitas jenis dan bukan hanya derajat.

Kedua, pantheisme tampaknya adalah sebuah gema kuno dari godaan ular terhadap Hawa yang berkata, “...Engkau akan menjadi seperti Allah” (Kej. 3:4-5). Dalam pantheisme dan implikasinya, manusia disamakan dengan Allah pada hakikat terdalamnya. Hal ini tentu amat bertentangan dengan penjelasan Alkitab yang menegaskan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26-27) namun tetap berada di bawah Allah.

Ketiga, secara theologis, Allah dalam Alkitab adalah Allah yang transenden, berbeda dengan ciptaan, namun juga imanen, hadir dalam ciptaan-Nya. Keseimbangan antara transendensi dan imanensi Allah ini begitu penting sehingga penekanan yang berlebihan pada salah satu akan menghasilkan ajaran yang menyimpang.48 Dalam kaitan dengan pantheisme jelaslah bahwa ajaran ini mengorbankan transendensi Allah di atas altar imanensi.49


Kritik Filosofis terhadap Pantheisme
Pantheisme percaya bahwa “dunia adalah Allah” dan implikasinya “saya adalah Allah” memiliki masalah yang besar secara filosofis.

Pertama, pantheisme yang tercermin dalam buku TS dan A New Earth berusaha untuk mengatakan bahwa sebenarnya manusia hidup dalam ilusi atau ketidaktahuan, semacam “amnesia” metafisik. Oleh karena itulah buku The Secret ingin membuka rahasia itu kepada kita, sebuah rahasia bahwa “Anda adalah kehidupan abadi. Anda adalah Tuhan yang mewujud dalam bentuk manusia, dibuat untuk kesempurnaan.”50 Demikian pula, A New Earth menyatakan bahwa semua manusia terkena disfungsi pikiran yang perlu disadarkan lagi akan hakikat terdalam kita yang adalah “Satu” dengan “Universal Life Force” atau “Allah” dalam konsep Kekristenan.

Jikalau benar klaim dari buku-buku tersebut bahwa semua manusia mengalami disfungsi pikiran, ilusi atau ketidaktahuan (sehingga perlu membaca Rahasia-The Secret). Bagaimana kita bisa yakin bahwa kaum New Age yang percaya bahwa “kita semua adalah Allah” (pantheisme) juga bukan merupakan sebuah pemikiran dari pikiran yang disfungsional dari Tolle, atau ketidaktahuan yang salah dari Rhonda Byrne serta Oprah Winfrey (yang turut menyetujui dan mempopulerkannya)?

Tentu saja mereka dapat menjawab bahwa pantheisme adalah hasil dari pikiran yang telah tercerahkan. Walaupun demikian, pencerahan itu sendiri adalah sebuah pengalaman subyektif yang tidak dapat dijelaskan secara obyektif. Setiap orang dapat mengklaim sebagai orang yang telah tercerahkan, dan bukankah orang Kristen juga dapat mengatakan bahwa mereka telah “tererahkan” ketika mereka menyadari bahwa Allah adalah pencipta dan asal mula segala sesuatu (creation), kejahatan dan penderitaan adalah akibat pemberontakan manusia terhadap Allah (fall) dan bahwa Allah telah datang ke dunia dalam Yesus Kristus untuk menyelamatkan manusia (redemption). Orang Kristen dapat saja menyebut pemahaman tersebut sebagai sebuah “pencerahan” karena dahulu mereka tidak melihat dunia dalam kacamata demikian dan pada satu momen dalam hidup mereka, dunia dilihat dengan kacamata (atau wawasan dunia) yang baru.

Jadi, pantheisme yang diyakini kaum New Age adalah sebuah subyektifitas pengalaman yang sebenarnya bersifat mistik. Kekristenan di lain pihak percaya pada keyakinan akan konsep creation, fall dan redemption spesifik seperti telah disinggung di atas dan siap untuk diuji secara rasional (rational) maupun pengalaman (experiential).

Kedua, pantheisme percaya bahwa dunia sebagaimana kita lihat melalui kacamata manusia adalah ilusi belaka. Hal ini jelas karena menurut pantheisme versi The Secret maupun A New Earth, manusia pada dasdarnya sering kali hanya melihat perbedaan-perbedaan atas segala hal (misalnya: benda, hewan, manusia) di level permukaan dan gagal melihat hakikat terdalam dari semuanya yang adalah satu “kesatuan” entah itu disebut sebagai energi (The Secret) atau Universal Life Force (A New Earth). Tetapi, jika cara pandang pantheisme yang sebagian sumbernya berakar dari filsafat Hindu ini benar, maka implikasinya sungguh merusak.

Bayangkan saja Anda sedang menyeberang jalan dan berpikir bahwa truk yang sedang berjalan cepat adalah sebuah ilusi. Anda tentu akan mati ditabrak!51 Dalam realitas sehari-hari kita percaya bahwa kita hidup dalam fakta dan bukan ilusi. Jika kita berpikir secara konsisten bahwa semua yang kita lihat ini adalah ilusi maka kekonyolan akan terjadi. Kisah berikut mungkin menolong kita memahaminya.

Pernah suatu kali diceritakan bahwa ada seorang peserta seminar yang bertanya kepada sang pembicara. “Pak, bagaimana saya tahu bahwa ‘saya’ benar-benar ada dan bukan hanya ilusi?” Sang pembicara tersenyum penuh makna dan berkata, “Baiklah, kalau demikian kepada siapakah saya harus menjawab pertanyaan tadi?” Sungguh suatu pukulan telak, karena jawaban itu memaksa orang yang bertanya tersebut untuk menyatakan eksistensinya sekaligus individualitasnya yang berbeda dengan orang-orang lain yang tidak bertanya di ruangan itu.

Selanjutnya, jika eksistensi kita adalah ilusi maka pikiran kita yang merupakan bagian dari eksistensi kita juga adalah ilusi. Jika hal ini benar maka semua pembicaraan tentang ilusi oleh kaum panteis itu sendiri adalah ilusi yang tidak perlu ditanggapi secara serius.52 Geisler mengungkapkannya dengan jenius:
“Jika pikiran adalah bagian dari ilusi, maka ia tidak dapat menjadi dasar untuk menjelaskan ilusi itu sendiri. Selanjutnya, jika pantheisme itu benar dalam menyatakan bahwa individualitas saya adalah ilusi maka pantheisme adalah salah karena tidak ada dasar untuk menjelaskan ilusi itu sendiri.”53

Natur dari pantheisme adalah self-defeating seperti orang Indonesia yang berkata, “I can not speak any word in English” atau seorang suami yang membentak istrinya “Sudah kukatakan kepadamu jutaan kali, jangan pernah membesar-besarkan apa pun” sementara kalimat itu sendiri adalah sesuatu yang dibesar-besarkan.

Implikasi lebih lanjut dari pantheisme yang amat berbahaya adalah di bidang moralitas. Bayangkan, jika Anda percaya bahwa Anda adalah Allah atau Tuhan, maka tentu saja moralitas menjadi subyektif dan relatif tergantung pada diri Anda sendiri.54 Hal ini nampak jelas ketika buku Rhonda penulis TS berkata, “Apa pun yang Anda pilih untuk ANDA adalah benar”55 dan Jack Canfield dikutip dalam TS ketika berkata, “…Saya mempunyai peribahasa: “Jika tidak menggembirakan, jangan lakukan!”56 Jika ini diterapkan dalam seluruh (bukan sebagian) kehidupan maka yang terjadi tentu saja adalah konflik antara standar moralitas seseorang dengan orang lain. Jika pantheisme benar maka moralitas menjadi subyektif dan tidak ada fondasi untuk mengatakan sesuatu itu baik secara universal karena, bukankah “Allah” itu sendiri terlepas dari dualisme baik dan jahat dalam konsep pantheisme? Demikianlah kita melihat bahwa pantheisme memiliki masalah besar secara filosofis dalam dirinya sendiri.


Metode Apologetika terhadap Penganut GZB
Sebagai sebuah catatan akhir dari kritik terhadap pantheisme, namun mungkin merupakan hal yang terpenting adalah metode apologetika yang kita pergunakan dalam pertemuan dengan penganut pantheisme sejati.57 Perlu kita sadari bahwa penganut New Age yang percaya pantheisme sering kali tidak percaya pada penalaran logis sebagai alat untuk menguji kebenaran sebuah kepercayaan. Hal ini jelas karena New Age sendiri justru merupakan sebuah reaksi kebosanan atas Kekristenan liberal, rasionalisme dan scientisme yang mengecewakan. Oleh karena itu, dalam pendekatan terhadap penganut pantheisme, mungkin segala kritik filosofis akan menemui kebuntuan karena mereka tidak menganggap logical consistency sebagai sebuah cara untuk menguji sebuah wawasan dunia. Dengan mempertimbangkan konteks demikian maka penulis percaya pada proklamasi Alkitab secara terus terang dalam konteks tertentu serta pendekatan yang kritik yang sifatnya lebih “praktis” dalam berdialog. Alister McGrath memberikan sebuah contoh untuk pendekatan kedua. Misalnya kita bisa bertanya kepada penganut pantheisme demikian: “Jika Anda adalah Allah mengapa Anda begitu tidak bahagia?” atau “Hak istimewa apa yang dimilik oleh seorang allah dibandingkan yang lain?” “Apakah hal ini membuat mereka tidak terkena pemberhentian kerja, atau dari penderitaan dan kesakitan? Dari kematian? Harapan apa yang diberikan (oleh ajaran New Age khususnya pantheisme) dalam menghadapi realitas kekinian dari penderitaan dan peristiwa kematian di masa depan?58




REFLEKSI AKHIR
Buku dan film The Secret serta A New Earth adalah sebagian simbol kedigdayaan ajaran GZB di dunia pada masa kini. Ternyata, GZB bukan tambah sekarat tetapi justru mengalami kebangunan rohani dan memperoleh nabi-nabi baru (Selain yang lama seperti Shirley Mclaine, Deepak Chopra,59 dll). Oprah Winfrey adalah pribadi yang mengaku sebagai seorang Kristen namun theologi serta spiritualitas yang dikembangkannya justru mencerminkan ajaran GZB. Hal ini mendorong kita untuk merenungkan beberapa hal dan mengambil respons spesifik.

Pertama, menjadi seorang Kristen tidaklah sama dengan memiliki wawasan dunia Kristen (Christian Worldview). Oprah adalah contoh mencolok tentang hal ini dan sebenarnya hanya mencerminkan fenomena gunung es. Ia mewakili jutaan orang Kristen yang tidak terbiasa berpikir kristiani dalam kehidupan.60 Tugas para hamba Tuhanlah untuk memberikan pembinaan yang komprehensif tentang wawasan dunia Kristen terhadap jemaatnya. Pembinaan wawasan dunia Kristen yang berhasil tentu akan menolong jemaat untuk mampu memiliki kepekaan terhadap ajaran-ajaran yang menyimpang di sekitar kita dan tetap berdiri teguh di atas kebenaran Alkitab atau wawasan dunia Kristen.

Kedua, di samping reputasi Oprah Winfrey yang positif dalam kemurahan hatinya serta kemungkinan beberapa ajarannya yang secara praktis mampu menolong orang banyak, ternyatalah bahwa Oprah yang mendukung TS dan A New Earth telah menyebarkan paham yang sesat dan patut diwaspadai. Bahaya dari ajaran Oprah beserta dengan talk show yang diasuhnya perlu mendapat perhatian gereja karena pertentangannya dengan iman Kristen tidak bersifat eksplisit melainkan implisit. Hal ini dapat membuat banyak orang Kristen tanpa sadar mengadopsi ajaran dan spiritualitas New Age di dalamnya.

Ketiga, gereja perlu memikirkan model-model pelayanan yang strategis dalam mempromosikan wawasan dunia Kristen di tengah perang wawasan dunia yang sedang berlangsung. Jika The Secret begitu indah dalam kemasan bukunya, begitu meyakinkan dalam filmnya, dan ajaran A New Earth begitu mudah diakses oleh dunia melalui live seminar berbasiskan web di internet, hal itu tampaknya menandakan bahwa ‘dunia’ sudah amat maju dalam strateginya untuk menyebarkan filsafat yang palsu. Sebagai orang percaya, kita perlu bangkit untuk bekerja lebih keras dan cerdas dalam memproklamasikan kebenaran yang kita yakini dengan tetap meyakini bahwa Allah bekerja bukan hanya melalui metode tetapi melalui orang-orang yang diurapi-Nya.

Keempat, sebagai orang Kristen kita tidak boleh jatuh pada dua ekstrem. Pertama, bersikap paranoid yaitu terlalu cepat curiga pada setiap orang atau setiap kejadian sebagai sesuatu yang bersifat negatif dan membahayakan kita. Dalam kaitan dengan Gerakan Zaman Baru, kita perlu berhati-hati agar tidak mudah memberikan cap-cap “New Age” kepada semua lagu, pengobatan, film, buku atau orang.61 Pemberian label “New Age” yang terlalu cepat sering kali tidak menolong orang lain atau maupun diri kita sendiri dan hanya menunjukkan kedangkalan serta ketidakdewasaan. Sebaliknya, ekstrem yang lain adalah ketidakberanian menilai sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran Alkitab secara tegas. Sikap toleransi yang kebablasan ini memang makin menjamur pada masa kini. Namun demikian, kita harus setia untuk memberitakan kebenaran Alkitab, menyatakan yang salah itu salah dan yang benar itu benar.

Kelima, ketika melihat banyaknya orang yang tertarik pada spiritualitas New Age seperti yang ditawarkan Oprah Winfrey, mungkin kita bukan hanya perlu memikirkan ulang bobot theologis dan bobot praktis tentunya dari khotbah-khotbah gerejawi masa kini namun juga kehidupan kita sebagai orang Kristen. Mungkin saja orang Kristen telah memiliki theologi dan apologetika yang memadai namun masalahnya telah dirumuskan Ravi Zacharias dengan tepat, “apologetics is often first seen before it is heard.” Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa sikap dan perbuatan orang Kristen memiliki relevansi yang penting dalam pembelaan iman Kristen dan penginjilan termasuk pada pengikut ajaran New Age yang bisa saja sudah memiliki agama formal termasuk Kristen.62 Mungkin mereka tidak melihat vitalitas kehidupan Kristen itu begitu indah dan meyakinkan sehingga mereka masih haus akan ajaran-ajaran baru seperti GZB.

Akhirnya, kita dapat mengingat kembali nasihat rasul Petrus ketika ia berkata bahwa pembelaan iman kita haruslah dilakukan dengan “lemah lembut dan hormat” serta disertai dengan “hati nurani yang murni, supaya mereka yang memfitnah kamu karena hidupmu yang saleh dalam Kristus, menjadi malu karena fitnahan mereka itu” (1Ptr. 3:15-16).63



Catatan kaki:
1 Oprah Winfrey Show adalah talk show dengan penonton paling banyak di dunia yaitu 15-20 juta penonton setiap hari di Amerika melalui 205 pasar televisi dan disaksikan di 132 negara. Sejak permulaannya tahun 1986, show ini telah menerima 32 penghargaan Emmy. Pada tahun 1997, Oprah disebut oleh Newsweek’s sebagai ”Most Important Person” dalam dunia perbukuan dan media, T.V. Guide’s "Television Performer of the Year," the People's Choice Award for "Favorite Television Performer," dan tahun 1996, Time Magazine mengakui Oprah sebagai salah satu dari "25 Orang Paling Berpengaruh" di Amerika. (http://www.wfial.org/index.cfm?fuseaction=artNewAge.article_1)
2
www.alwaysbeready.com/index6efd.html?option=com_content&task=view&id=143&Itemid=120. Video yang memuat pernyataan Oprah tentang ”banyak jalan menuju Allah” dapat dilihat di http://www.godtube.com/view_video.php?viewkey=41cf28cf8d26640e74f8
3 Dalam talk show yang dipimpinnya, Oprah juga telah mengundang beberapa tamu dari kalangan New Age seperti (beberapa tamu ini bahkan tampil beberapa kali) Marianne Williamson, Barbara DeAngelis, LaVar Burton, Richard Carlson, Betty Eadie, Dannion Brinkley, M. Scott Peck, Sophy Burnham, Marilyn Ferguson, Kevin Ryerson, Shirley MacLaine, Sara Breathnach, James Hillman, dan psychic medium sekaligus penulis laris, James Van Praagh. Pada tahun 1996, Oprah memulai Oprah's Book Club untuk membuat warga Amerika membaca lagi. Setiap buku-buku yang diseleksi telah menjadi best seller secara instant dengan rata-rata penjualan di atas 1 juta kopi (http://www.wfial.org/index.cfm?fuseaction=artNewAge.article_1)
4
www.alwaysbeready.com/indexb59e.html?option=com_content&task=view&id=100&Itemid=0
5 Rhonda Byrne, The Secret (Jakarta: terj. Gramedia Pustaka Utama). Menurut penulis, buku TS memiliki pengaruh yang lebih kuat dibandingkan dengan The Da Vinci Code dan Injil Yudas terhadap komunitas Kristen Indonesia. Buku TS banyak mempengaruhi pemikiran orang-orang Kristen karena wawasan dunia yang berlawanan dengan Kekristenan di dalamnya ditawarkan secara implisit, sedangkan The Da Vinci Code dan Injil Yudas lebih eksplisit dalam pertentangannya dengan iman Kristen
6 Eckhart Tolle, A New Earth: Awakening to Your Life’s Purpose (New York: Penguin Group, 2006).
7 Hal ini juga menjadi sebuah refleksi bagi pentingnya pelayanan kristiani yang berbasiskan internet sebagai sarana menjangkau jiwa. Salut pada Sabda dan website Kristen lainnya yang telah menjadi berkat besar bagi Kekristenan di Indonesia!
8 Hukum tarik-menarik ini disebut-sebut sebagai intisari dari buku TS. Pembahasan hukum tarik-menarik dalam artikel ini mungkin dapat membuat fokus tulisan ini agak melebar. Namun demi pertimbangan khusus bahwa sebagian pembaca tidak punya kesempatan untuk membaca seluruh buku TS, penulis berharap agar pembaca dapat memhami inti dari hukum tarik-menarik yang sedang populer ini. Walaupun demikian, artikel ini tidak akan memberikan kritik terhadap hukum ini namun memfokuskan pada tinjauan kritis atas fondasi theologis TS dan A New Earth yaitu doktrin mengenai realitas tertinggi dalam kaitannya dengan alam semesta dan manusia.
9 Hukum ini tentu saja yang paling diingat oleh mereka yang secara praktis ingin mencapai uang, relasi dan kesehatan lebih baik. Akan tetapi bagi orang Kristen yang kritis, intisari buku TS justru bukan pada hukum ini melainkan pada filsafat dasarnya tentang siapakah Allah, manusia dan alam semesta.
10 The Secret, hlm. 29.
11 Ibid., hlm. 49.
12 Dalam pengalaman penulis, beberapa orang pernah secara keliru menafsirkan bahwa buku TS mengajarkan kita untuk percaya pada “jin.” Istilah “jin” disini hanya digunakan sebagai ilustrasi. Buku TS tidak mengajarkan kita untuk percaya pada “jin” melainkan menggunakan cerita yang sudah umum tentang “jin” untuk mengilustrasikan bahwa hukum tarik menarik mampu memberikan apa saja yang kita minta
13 Ibid., hlm. 80.
14 The Secret, hlm. 14.
15 Ibid., hlm. 131.
16 Ibid., hlm. 127-128. Belum lama ini penulis mendengarkan bahwa ada seorang pengkhotbah yang mengajarkan Yesus hidup makmur karena keberadaan Yesus sebagai “anak tukang kayu” dapat ditafsirkan sebagai seorang “pengusaha mebel” pada masa kini. Bukankah banyak pengusaha mebel yang kaya saat ini? Jadi, Yesus juga tukang kayu yang kaya. Penulis hanya bisa “kagum” dengan kreatifitas para pendukung “theologi” kemakmuran dalam “menafsirkan” Alkitab sehingga Yesus bisa disulap menjadi pengusaha mebel, untung-untung bukan eksportir kayu ilegal yang kaya seperti di Indonesia.
17 Ibid., hlm. 131.
18 Ibid., hlm. 145.
19 Ibid., hlm. 165.
20 Ibid., hlm. 165.
21 Ibid., hlm. 209.
22 Ibid., hlm. 193.
23 Ibid 195.
24 Ibid 196.
25 Ibid 207.
26 Bdk. Norman L. Geisler dan Frank Turek, I Don’t have Enough Faith to Be an Atheist (Wheaton: Crossway Books, 2004), hlm. 23.
27 Buku karya Eckhart Tolle lainnya adalah The Power of Now (terj. Indonesia, Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2005). Dalam bagian sampul depan buku ini termuat kata-kata pujian Oprah Winfrey terhadapnya “Mengubah pemikiran....Hasilnya? Lebih banyak sukacita, sekarang juga.”
28 Berbicara tentang konsep Allah sebagai Bapa, di tahun 2008 penulis berkesempatan mendapatkan “berkat” dari seorang pendukung theologi feminis di Indonesia yang menyampaikan doa berkat dengan berkata “Allah Bapa dan Ibu kita.” Tampaknya gerakan ini telah menjadi isu yang perlu segera ditanggapi oleh kaum Injili di Indonesia mengingat pendukung “Allah Bapa dan Ibu” sudah mulai unjuk gigi dan meninggalkan pemahaman analogis dan ontologis dari istilah “Bapa” serta mengorbankan teks di atas altar konteks zaman yang terus berubah.
29 Eckhart Tolle, A New Earth: Awakening to Your Life's Purpose (New York: Plume, 2006), hlm. 37. Dalam bagian ini dan seterusnya, penulis menggunakan versi elektronik (PDF) atas buku A New Earth dalam seluruh artikel ini.
30 A New, hlm. 3-4.
31 A New, hlm. 25-26.
32 A New, hlm. 78-79.
33 Ibid., hlm. 79.
34 A New, hlm. 9.
35 Penulis Indonesia yang membahas masalah New Age misalnya, Herlianto dalam bukunya, Humanisme dan Gerakan Zaman Baru (Bandung: Kalam Hidup, 1990); satu bab dari Jan S. Aritonang dalam bukunya, Berbagai Aliran Di Dalam Dan Di Sekitar Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hlm. 426-465. Untuk penulis non Kristen, lihat Sukidi, New Age: Wisata Spiritual Lintas Agama (Jakarta: Gramedia, 2001).
36 Materi kuliah tidak diterbitkan dari Ravi Zacharias International Ministry (RZIM) Academy of Apologetics berjudul “The Church and New Age and New Age Spirituality” di Chennai India, 2008. Ajaran Swami Vivekanda dapat ditemukan dalam sebuah buku bahasa Indonesia karya Nyoman S. Pendit berjudul Vedanta: Percik-percik Renungan Swami Vivekananda (Denpasar: Pustaka Bali Post, 2005). Di dalam buku ini dituliskan bahwa mantan presiden Soekarno pun memuji pemikiran Vivekanda. Selain itu, Harold Netland menunjukkan kepada kita bahwa ajaran GZB banyak disebarkan oleh tokoh-tokoh intelektual Asia yang mempromosikan agama-agama Timur (Hindu, Buddha, Tao) ke Barat. Selain S. Vivekanda, mereka adalah D. T. Suzuki, Rabindranath Tagore, Sri Aurobindo, Sarvepalli Radhakrishnan, tokoh Zen Buddhisme Masao Abe, Tenzin Gyatso sang Dalai Lama Tibet, Maharishi Maha Yogi, dll. Saat ini banyak artis seperti Richard Gere, Tina Turner, Adam Yauch, Herbie Hancock dan Steven Seagal yang secara terbuka menganut agama Buddhisme Tibetan (Lih. Encountering Religious Pluralism: The Challenge to Christian Faith and Mission [Downers Grove: InterVarsity, 2001], hlm. 107-108). Untuk pendahuluan yang baik tentang New Age Movement pembaca dapat melihat karya James W Sire, The Universe Next Door: A Basic Worldview Catalog (Illinois: InterVarsity Press, 1997), hlm. 137-170.
37 Membuka Topeng Gerakan Zaman Baru (terj. Indonesia. Surabaya: Momentum, 2000), hlm. 17-40.
38 Disebut ”variasi” dari monisme dan pantheisme karena pada dasarnya penganut monisme dan khususnya pantheisme memang memiliki sebutan dan cara yang berbeda-beda dalam menggambarkan versi monisme dan pantheisme mereka. Walaupun demikian pada inti ajarannya mereka tetap percaya secara mendasar bahwa dunia ini “Satu” dan yang satu itu adalah “Allah” atau realitas tertinggi. Cara mereka menunjukkan bagaimana kompleksitas dunia ini disebut ”Satu” dan secara khusus adalah “Allah” sering kali berbeda-beda. Bdk. Geisler, Norman L. dan Watkins, William D. Worlds Apart: A Handbook on World Views (2nd ed. Grand Rapids: Baker Book House, 1989), hlm. 77.
39 Groothuis, Membuka Topeng, hlm. 18.
40 Monisme diyakini oleh Hinduisme secara khusus aliran Advaita Vedanta (yang artinya “non dualisme”) dan Buddhisme secara khusus aliran Zen. Frans Magnis Suseno menyatakannya demikian, “Kitab-kitab Suci Hindu, kitab-kitab Veda dan Upanishad, membuka jalan ke pemikiran filosofis mendalam di mana akhirnya segala-galanya dipahami sebagai satu (Menalar Tuhan [Yogyakarta: Kanisius, 2006], hlm. 30); Untuk uraian theolog Katolik lain tentang monisme dan Hinduisme lihat juga Tom Jakobs, Paham Allah (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 79-91. Mengenai monisme dalam Buddhisme, sebuah buku Buddha menyatakan dengan tegas bahwa Buddhisme menolak konsep Tuhan yang personal sebagaimana diyakini oleh Kekristenan. Dalam tradisi Vajrayana Buddhisme, konsep Tuhan dituangkan dalam istilah Adi-Buddha, yang mewakili sifat dasar seluruh makhluk yang paling inheren (Djoko Mulyono dan Petrus Santoso, Studi Banding Agama Buddha dan Kristen [Indonesia: Free Press, 2005], hlm. 33-34). Hal ini menunjukkan bahwa Buddhisme percaya pada konsep ketuhanan yang ada dalam diri semua makhluk, sebuah konsep yang menekankan imanensi lebih daripada transendensi Allah. Pemikiran-pemikiran Hindu dan Buddha inilah yang turut mewarnai para tokoh New Age masa kini karena apa yang disebut sebagai fenomena Baru dalam Gerakan Zaman Baru sebenarnya hanyalah “baru” bagi dunia barat tetapi sudah “lama” di Timur khususnya India sebagai tempat lahirnya Hinduisme dan Buddhisme.
41 Di India sampai saat ini, banyak orang Hindu tidak makan daging sapi, sedangkan muslim seharusnya tidak makan daging babi. Sementara bagi orang Hindu dan Muslim beberapa jenis makanan “haram”, bagi orang Kristen semuanya “harum.” Penulis pernah mendengar bahwa oleh karena alasan itulah maka ada orang yang memilih menjadi Kristen.
42 Lih. Membuka Topeng, hlm. 20.
43 Tidak semua aliran Hinduisme percaya pada pantheisme. Sebagian aliran Hinduisme seperti Sankhya dan Nyaya lebih condong pada atheisme, tetapi Vedanta atau Advaita Vedanta percaya pada pantheisme. Oleh karena itu, ketika membicarakan Hinduisme kita harus sangat berhati-hati karena Hinduisme meliputi banyak aliran yang amat berbeda-beda dan bahkan saling bertentangan satu sama lain. Di dalamnya ada animisme, fetishisme, politeisme, pantheisme, monisme, dan atheisme (lih. Lit-Sen Chang, Asia’s Religions: Christianity’s Momentous Encounter With Paganism [Vancouver, Canada: China Horizon and Horizon Ministries Canada, 1999], hlm. 201-202). Bdk. Satischandra Chatterjee dan Dhirendramohan Datta, An Introduction to Indian Philosophy [New Delhi: Rupa & Co, 2007], hlm. 5-7).
44 Bdk. Geisler dan Watkins, Worlds Apart, hlm. 75-77. Contoh populer di Barat tentang pantheisme adalah ajaran dari artis Shirley MacLaine yang mendorong setiap orang untuk memulai setiap hari demi hari dengan mengafirmasikan keilahian dirinya sendiri (lih. David A. Noebel, Understanding The Times: The Coillision of Today’s Competing Worldviews [Colorado: Summit Press, 2006], hlm. 72). Buku Noebel ini secara komprehensif membandingkan ajaran GZB atau yang disebutnya sebagai Humanisme Kosmik dalam 10 bidang keilmuan (theologi, filsafat, etika, biologi, psikologi, sosiologi, hokum, politik, ekonomi, sejarah) dengan Kekristenan, Islam, Humanisme Sekuler, Marxisme-Leninisme dan Postmodernisme. Buku ini amat informatif dan baik untuk studi awal mendalami peperangan wawasan dunia di sekitar kita. Versi yang mirip dan lebih ringkas telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia di bawah judul Perjuangan Untuk Kebenaran (Jakarta: YWAM Publishing Indonesia, 2007).
45 Total Truth: Liberating Christianity from Its Cultural Captivity (Study Guide Edition, Wheaton: Crosway Books, 2005), hlm. 146-148. Buku ini adalah sebuah analisis worldviews di dunia yang amat baik dan memenangkan penghargaan dari ECPA.
46 Bdk. Norman L. Geisler, Baker Encyclopedia of Christian Apologetics (Grand Rapids: Baker Books, 1999), hlm. 581.
47 Bdk. Ibid., hlm. 580. Hal ini juga ditegaskan oleh Augustine Perumalil dalam bukunya Religious Cosmologies (New Delhi: ISPCK, 2007), hlm. 2. Ia berkata bahwa kata Hindu yang menggambarkan lahirnya alam semesta atau cosmogenesis adalah sristi. Kata Sanskrit sristi tidak berarti memunculkan keberadaan dari ketidakberadaan atau menciptakan sesuatu dari yang tidak ada sebagaimana dalam konsep Kristen. Konsep kelahiran semesta dalam istilah Veda adalah “Out-breathing of God.” Jadi dunia ini keluar dari Allah, bukan diciptakan Allah. Tidak heran jika Hinduisme percaya bahwa jiwa manusia yaitu Atman pada hakekatnya sama dengan Brahman atau realitas tertinggi (Allah dalam konsep Kristen). Dalam kaitan dengan ini, Groothuis mengutip kalimat C. S. Lewis, ”Sebelum adanya waktu, pantheisme bukan merupakan suatu kredo yang sama sekali salah. Pada saat sebelum penciptaan, dapat dikatakan benar jika mengatakan segala sesuatu adalah Allah. Tetapi Allah mencipta: Ia telah menyebabkan yang lain ada, selain dari diri-Nya sendiri (Membuka Topeng, hlm. 22). Penulis setuju dengan Ravi Zacharias yang menentang pandangan C. S. Lewis dalam hal ini karena bahkan dari sejak awal pun Allah ada sebagai Tritunggal yang di dalamnya ada “Saya” dan “Kamu” yang berbeda dengan pantheisme dari satu penguasa tunggal (lih. rekaman dari ceramah-audio dari Ravi Zacharias berjudul “The Spurious Glitter of Pantheism”).
48 Bdk. Daniel Lukas Lukito melihat adanya kecenderungan theologi Kristen yang dibangun di atas landasan immanensi dalam kehidupan gereja masa kini (“Kecenderungan Perkembangan Pemikiran Theologi Abad 21: Sebuah Kajian Retrospektif dan Prospektif,” Veritas: Jurnal Theologi dan Pelayanan Volume 1 Nomor 1 April 2000), hlm. 5-6.
49 Bdk. L. T. Jeyachandran dalam “Challenges From Eastern Religions” dalam Beyond Opinion: Living The Faith That We Defend (gen. ed. Ravi Zacharias; Chennai, India: RZIM Educational Trust, 2008), hlm. 99.
50 The Secret, hlm. 195. Di bagian lain dikatakan, “Terlepas dari siapa Anda pikir diri Anda, sekarang Anda mengenal Kebenaran tentang siapa Diri Anda sesungguhnya. Anda adalah penguasa Semesta. Anda adalah pewaris kerajaan. Anda adalah kesempurnaan dari hidup. Dan sekarang Anda mengenal Rahasia. Semoga kegembiraan menyertai Anda!” (Ibid, 219).
5[1] Bdk. Geisler, Baker Encyclopedia, hlm. 581.
52 Bdk. Ravi Zacharias, Jesus Among Other Gods (Nashville, Tennessee: W Publishing, 2000), hlm. 119. Dalam bagian ini Ravi mengembangkan kritiknya secara jenaka atas konsep ilusi dalam filsafat Shankara, seorang tokoh Hindu yang termahsyur.
53 Lih. Geisler, Baker Encyclopedia, hlm. 582. Untuk kritik lain terhadap pantheisme, lihat Jeyachandran dalam “Challenges From Eastern Religions”, hlm. 105.
54 Alister E. McGrath, Intellectuals Don’t Need God and Other Modern Miths: Building Bridges to Faith Through Apologetics (Grand Rapids: Zondervan, 1993), hlm. 182.
55 The Secret, hlm. 214.
56 Jack Canfield penulis serial Chicken Soup, berkata “Saya membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk tiba di titik ini, karena saya dibesarkan dengan ide bahwa ada sesuatu yang harus saya lakukan, dan jika saya tidak melakukannya, Tuhan tidak akan senang dengan pada saya. Ketika saya sungguh mengerti bahwa tujuan utama saya adalah merasakan dan mengalami kegembiraan, saya mulai hanya melakukan hal-hal yang mendatangkan kegembiraan bagi saya. Saya mempunyai peribahasa: “jika tidak menggembirakan, jangan lakukan!.” Filsafat ini amat berbahaya karena, tujuan hidup manusia telah beralih dari memuliakan Allah “dan” atau “dengan” (menurut John Piper) menikmati Dia selamanya menjadi berpusat pada kegembiraan diri sendiri. Jika peribahasa Jack Canfiel tersebut berlaku universal, maka jika seorang Kristen merasa berat hati sebelum ia memberi persembahan, sebaiknya ia membatalkannya; dan jika Yesus bersedih hati sebelum penyaliban, mestinya Ia tidak usah mau mati disalib, karena itu tidak menggembirakan.
57 Dalam pengamatan penulis, banyak orang Kristen yang terpengaruh The Secret, A New Earth atau menerapkan praktik-praktik New Age seperti Yoga (yang merupakan jalan menuju kesatuan dengan Brahman dalam Hinduisme) tetapi tidak percaya pada pantheisme. Mereka hanya ingin cepat kaya, sehat dan sukses atau memperoleh ketenangan psikologis di dunia yang serba cepat dan penuh stress. Orang-orang ini adalah pragmatis tulen yang tidak peduli pada filosofi dibalik TS dan A New Earth maupun buku-buku New Age lainnya. Pragmatisme ini di dalam dirinya sendiri adalah salah dan lebih dari itu juga membuka kesempatan lebar bagi orang-orang demikian untuk secara tak sadar bergeser dari Kekristenan sejati (theisme-trinitarian) menuju pantheisme.
58 Lih. McGrath, Intellectuals Don’t, hlm. 183.
59 Deepak Chopra adalah penulis New Age yang amat produktif. Salah satu bukunya yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah 7 Hukum Spiritual Yoga: Panduan Praktis Menuju Pemulihan Raga, Pikiran dan Jiwa (terj. Indonesia, Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2008).
60 Beberapa wacana di internet bahkan mengatakan bahwa Oprah hanya berpura-pura tidak tahu bahwa dirinya adalah penganut New Age. Penulis sendiri menduga bahwa Oprah bukan orang yang bodoh untuk tidak tahu bahwa tamu-tamunya dan buku-buku yang dipopulerkannya adalah bagian dari GZB. Tetapi demi menghindari konfrontasi yang terbuka tentunya seorang entertainer harus bermain aman dan cantik, walaupun pada situasi tertentu harus menyatakan siapa dirinya (Lihat lagi kalimat-kalimat Oprah yang disertai catatan kaki no 2 dalam artikel ini).
61 Bdk. Groothuis, Membuka Topeng, hlm. 290.
62 Lih. “The Pastor As an Apologist” dalam Is Your Church Ready (diedit oleh Ravi Zacharias dan Norman L. Geisler; Grand Rapids: Zondervan, 2003), hlm. 22.
63 Dalam beberapa kesempatan, penulis merasa sedih ketika mendengar orang Kristen hanya bisa berkata bahwa buku The Secret dan Oprah Winfrey termasuk New Age dan kemudian menuduh mereka yang membaca atau menyaksikannya sebagai sesat. “Hati-hati nanti kamu sesat” adalah kalimat yang sering kali tidak persuasif dan hanya bersifat menghakimi bagi banyak orang. Jauh lebih baik untuk dengan tenang mengajak mereka yang menyukai ajaran New Age agar masuk dalam diskusi rasional dan menunjukkan letak kesalahannya daripada hanya berkata “itu sesat.” Walaupun demikian dalam sebuah khotbah apologetik yang memiliki waktu terbatas tentu saja proklamasi kebenaran yang dikontraskan dengan kesalahan sebuah wawasan dunia yang sedang berkembang dapat dilakukan dan tidak selalu harus menguraikan secara rinci ajaran sesat tersebut.





Profil Ev. Bedjo Lie:
Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div. adalah Kepala Pusat Kerohanian (Pusroh) dan dosen tetap Filsafat Agama dan Christian Worldview di Universitas Kristen Petra, Surabaya. Beliau menamatkan studi Sarjana Ekonomi (S.E.) di UK Petra Surabaya dan Master of Divinity (M.Div.) di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang. Beliau juga memiliki sertifikat dalam apologetika Kristen dari Ravi Zacharias International Ministry, Academy of Apologetics, India.