22 November 2010

Resensi Buku-106: DISIPLIN ANUGERAH (Jerry Bridges, D.D.)

...Dapatkan segera...
Buku
THE DISCIPLINE OF GRACE
(DISIPLIN ANUGERAH):
Peran Allah dan Peran Kita Dalam Mengejar Kekudusan


oleh: Jerry Bridges, D.D.

Penerbit: Pionir Jaya dan NavPress, Bandung, 2007

Penerjemah: Samuel Tumanggor





Deskripsi singkat dari Denny Teguh Sutandio:
Melalui penebusan Kristus, sebagai anak-anak-Nya, kita telah dibenarkan di hadapan Allah. Setelah dibenarkan di hadapan Allah, kita dituntut untuk makin serupa dengan Kristus, Kakak Sulung kita melalui proses pengudusan. Di dalam proses tersebut, kita membutuhkan suatu disiplin agar hidup kita makin serupa dengan Kristus dan terus memuliakan-Nya. Namun sering kali disiplin dalam hidup kita bersifat legalistik, yaitu penuh dengan aturan-aturan baku yang dibuat manusia (meskipun mengutip dari Alkitab). Akibatnya, disiplin rohani dalam Kekristenan mungkin seolah-olah terasa memberatkan bagi orang Kristen. Benarkah disiplin identik dengan legalistik? Dr. Jerry Bridges mendobrak kesalahan pemikiran ini dan mengetengahkan suatu konsep yang seolah-olah berkontradiksi namun sebenarnya paradoks, yaitu: disiplin anugerah. Artinya, di dalam proses pengudusan, kita harus menjalani disiplin rohani, namun disiplin tersebut berkaitan erat dengan anugerah Allah. Konsep ini mengajar kita bahwa selain pembenaran yang merupakan anugerah Allah, pengudusan dan disiplin pun merupakan anugerah Allah. Namun tidak berarti, karena pengudusan dan disiplin rohani adalah anugerah Allah, lalu kita tidak berusaha keras di dalam proses pengudusan. Dr. Bridges secara seimbang juga mengajar tentang tanggung jawab umat-Nya untuk mendisiplin kehidupan mereka yang tetap bergantung pada anugerah Allah. Menggabungkan peran Allah dan peran manusia di dalam proses/mengejar kekudusan dimulai dengan mengkhotbahkan Injil kepada diri kita sendiri, sehingga kita makin mengerti signifikansi Injil. Setelah mengerti signifikansi Injil, kita akan maju dengan pertolongan Roh Kudus untuk hidup makin serupa dengan Kristus dan memuliakan-Nya. Mengkhotbahkan Injil mengakibatkan kita mampu menjalankan disiplin: komitmen, pendirian, pilihan, berjaga-jaga, dan penderitaan. Biarlah melalui buku ini, hidup kerohanian kita makin dikuatkan melalui disiplin yang bergantung pada anugerah Allah.





Profil Dr. Jerry Bridges:
Jerry Bridges, D.D. adalah anggota staf dari The Navigators. Beliau adalah penulis banyak buku laris, di antaranya: the Pursuit of Holiness (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia juga oleh Penerbit Pionir Jaya), the Gospel for Real Life, Trusting God, Transforming Grace, The Joy of Fearing God, dan the Discipline of Grace (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia juga oleh Penerbit Pionir Jaya). Pada tahun 2005, beliau menerima gelar kehormatan Doctor of Divinity (D.D.) dari Westminster Theological Seminary, U.S.A. Beliau dan istrinya, Jane tinggal di Colorado Springs, Colorado, U.S.A. dan mereka dikaruniai 2 orang anak yang sudah dewasa dan 5 orang cucu.

IMAN KRISTEN VS KARMA (Denny Teguh Sutandio)

IMAN KRISTEN VS KARMA

oleh: Denny Teguh Sutandio



Teman saya yang beragama Kristen dan non-Kristen pernah mengupdate statusnya di BlackBerry Messenger (BBM) dengan mengatakan bahwa ternyata karma itu ada. Apa itu karma? Dari mana konsep karma itu muncul? Bagaimana orang-orang “Kristen” zaman ini menafsirkan karma? Apa kata Alkitab tentang karma?


I. KARMA: ASAL USUL DAN AJARANNYA
Karma atau dalam bahasa Pali: kamma yang berasal dari India kuno ini berarti konsep “aksi” atau “perbuatan” yang dalam agama India dipahami sebagai sesuatu yang menyebabkan seluruh siklus kausalitas (yaitu, siklus yang disebut “samsara”). Konsep ini dijaga kelestariannya di filsafat Hindu, Jain, Sikh dan Buddhisme.[1] Di dalam Buddhisme, karma berarti “niat untuk melakukan perbuatan.”[2] Karma bisa melalui pikiran (perbuatan yang dilakukan dengan pikiran), ucapan (perbuatan yang dilakukan dengan ucapan), dan badan (perbuatan yang dilakukan dengan badan). Selanjutnya, dalam Buddhisme, hukum karma berarti hukum sebab akibat. Di dalam Samyutta Nikaya dinyatakan: “Sesuai dengan benih yang ditabur, demikian pulalah buah yang dituai. Mereka yang menanam kebajikan akan tumbuh kebahagiaan.”[3] Lalu, jika kita melihat kondisi dunia kita, bukankah bisa terjadi sebaliknya (yang baik malahan menderita, yang jahat malahan sukses)? Menanggapi hal demikian, Bhikkhu Utamo Thera dalam artikelnya Hukum Karma menjelaskan,
“Kalau hukum karma diumpamakan sebagai sebuah sawah yang mempunyai tanaman padi dan jagung, di mana tanaman padi dan jagung tersebut mempunyai usia panen yang berbeda, maka tanaman jagung tentu akan panen terlebih dahulu daripada tanaman padi. Demikian pula perbuatan baik dan buruk. Kalau kita sudah berbuat baik tetapi masih menderita, ini disebabkan karena perbuatan baik kita belum saatnya dituai/dipanen. Dalam hal ini kita memetik buah dari perbuatan buruk terlebih dahulu. Jadi semua itu ada waktunya, walaupun adakalanya masih bisa dipercepat sampai batas-batas tertentu.”[4]

Oleh karena itu, Bhikkhu Utamo Thera menggolongkan karma dari segi waktu, fungsi, dan bobot. Dari segi waktu, ada 4 kategori karma:[5]
a). Karma yang langsung berbuah
Misalnya kita mencuri helm milik orang lain, karena helm kita dicuri seseorang. Supaya tidak ketahuan, kita mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi walaupun lampu lalu lintas berwarna merah. Akhirnya kita ditangkap polisi. Terpaksa kita harus membayar tilang Rp 15.000, - (padahal harga sebuah helm hanya Rp 10.000,-). Ini adalah karma yang langsung berbuah.
b). Karma yang berbuah agak lama tetapi masih dalam satu kehidupan.
Misalnya orang yang melakukan meditasi hingga tingkat jhana yang tinggi sekali, setelah meninggal langsung terlahir di alam brahma.
c). Karma yang berbuah pada kehidupan-kehidupan yang berikutnya.
Misalnya orang yang sering mendengarkan Dhamma pasti akan terlahir di alam sorga dalam kehidupan-kehidupan yang berikutnya. Mengapa demikian? Dengan mendengarkan Dhamma berarti kita melatih dana perhatian. Pikiran, ucapan dan perbuatan kita terjaga dengan baik pada saat itu. Kita bisa mengerti dan melaksanakan Dhamma. Bahkan hal ini amat sesuai dengan salah satu sutta Sang Buddha, bahwa mendengarkan Dhamma pada saat yang tepat adalah berkah utama.
d). Karma yang tidak sempat berbuah karena kehabisan waktu atau kehilangan kesempatan untuk berbuah.
Sering ada orang yang mengatakan bahwa tercapainya Nibbana apabila karma baik dan buruk telah habis. Padahal karma itu tidak mungkin habis karena jumlahnya tidak terbatas. Tetapi karma bisa dipotong! Kita bisa merasakan karma apabila kita mempunyai badan dan batin, artinya kita dilahirkan. Kalau kita tidak dilahirkan kembali, kesempatan untuk merasakan karma baik dan buruk menjadi tidak ada. Akhirnya ada karma yang tidak sempat berbuah.

Dari segi fungsi, karma dibagi menjadi:[6]
a). Fungsi karma yang melahirkan
Misalnya: ada orang yang dilahirkan dalam kondisi mempunyai banyak penyakit. Kenapa terjadi demikian? Sesuai dengan benih yang ditanam, demikian pula buah yang dituainya; karena ada penyiksaan maka bisa terlahir sakit-sakitan.
b). Fungsi karma yang mendukung à mendukung fungsi karma yang melahirkan. Misalnya: selain terlahir di keluarga yang miskin, dia juga terlahir dalam keadaan cacat. Ini adalah karma yang mendukung.
c). Fungsi karma yang mengurangi à berhubungan dengan perbuatan kita saat ini. Misalnya: meskipun miskin dan cacat, orang tersebut mempunyai sila yang baik.
d). Fungsi karma yang memotong
Karena silanya baik, ucapannya baik, tingkah lakunya baik, maka ada orang yang simpati kepadanya. Orang tersebut diberi pekerjaan yang sesuai dengan keadaannya. Ini adalah karma yang memotong, artinya bertentangan dengan yang sedang terjadi. Karma juga berhubungan dengan perbuatan saat ini. Apa yang terjadi pada saat ini, itulah yang menentukan karma kita. Jadi karma bukanlah nasib! Karma masih bisa diperbaiki dan diubah dengan melihat fungsi karma karena karma adalah niat berbuat. Perbuatan itulah yang paling penting!

Menurut bobotnya, karma dibagi menjadi:[7]
a). Bobot karma super berat
Karma super berat yang baik misalnya; orang yang mencapai jhana, setelah meninggal langsung terlahir di alam brahma; atau memperoleh pañña yang berarti tercapainya Nibbana. Sedangkan super berat yang buruk ada 5 (lima) yaitu membunuh ayah, membunuh ibu, membunuh seorang Arahat, melukai Sammasambuddha, dan memecah belah Sangha. Apabila salah satunya dilakukan maka setelah meninggal orang tersebut langsung terlahir di alam neraka.
b). Karma yang muncul pada saat kematian
Di dalam pikiran akan terjadi satu seleksi pada saat proses kematian yaitu mengingat perbuatan yang pernah berkesan di dalam diri kita. Misalnya; sebelum meninggal, seseorang teringat bahwa dia sering mendengarkan Dhamma, sering bertemu bhikkhu-bhikkhu dan meninggal dalam keadaan bahagia maka orang tersebut akan terlahir di alam bahagia. Sebaliknya kalau kesannya tidak baik, orang tersebut dapat terlahir di alam menderita.
c). Kalau di dalam proses kematian itu tidak ada yang berkesan atau tidak sempat terpikir, misalnya karena meninggal dalam keadaan koma maka yang berbuah adalah kebiasaannya. Umpamanya orang yang mempunyai kebiasaan latah maka seandainya setelah meninggal terlahir menjadi manusia, dia akan menjadi orang yang suka humor.
d). Bobot yang super ringan atau kecil à apabila karma yang super berat, karma pada saat kematian, dan karma kebiasaan tidak muncul maka karma yang super ringan yang akan berbuah. Misalnya: pada suatu waktu kita melihat ada paku payung di jalan lalu kita singkirkan supaya tidak mencelakakan orang lain. Ini adalah bobot yang super ringan. Apabila bobot yang super ringan ini muncul pada saat kematian dan kita merasa bahagia karena bisa menolong orang lain maka kita akan terlahir di alam bahagia.

Dengan kata lain, konsep karma dapat disingkat dengan pernyataan berikut, “Hidup kita ditentukan oleh diri kita sendiri, bukan oleh suatu makhluk adikuasa.”[8] Di artikel yang sama, si penulis mengungkapkannya dengan jelas, “Sang Buddha menekankan bahwa kita lah yang menentukan hidup kita sendiri. Kita juga bisa seperti Buddha dan setara dengan Buddha untuk mencapai kebijaksanaan tertinggi atau penerangan sempurna dengan segenap usaha, semangat, ketekunan, dan pengetahuan sendiri. Kita dapat bertekad untuk mencapai ke Buddha an dengan segala apa yang kita miliki. Oleh sebab itu, berbahagialah kita karena kita pun bisa mencapai kesucian seperti guru junjungan kita. Hal yang sangat jarang dalam kepercayaan lain yang melemahkan posisi manusia yang telah jatuh ke dalam Lumpur Dosa dan hanya oleh kekuatan tetentu saja baru bisa keluar dari sana.”[9]

Lalu, apa akibat dari karma?
“Akibat dari karma buruk adalah tumimbal lahir di tiga alam penderitaan (neraka, hantu kelaparan, dan binatang). Contoh karma buruk yang dapat menyebabkan seseorang terlahir di alam neraka antara lain: membunuh orangtua kandung, membunuh orang suci/ Arahat/Bodhisattva, dan melukai Buddha. Sedangkan akibat dari karma baik adalah tumimbal lahir di alam manusia atau surga. Sedangkan para Buddha, Arahat dan Bodhisattva yang sudah mencapai Pencerahan Sempurna memperoleh karma tidak bergerak, namun Bodhisattva yang karena welas-asihnya untuk menyeberangkan semua makhluk yang menderita dapat saja bertumimbal lahir lagi di alam manusia.”[10]

Bagaimana caranya kita mengetahui karma pada hidup manusia?
“Memang proses bekerjanya karma tidak dapat kita amati atau dibuktikan secara ilmiah, namun prinsip bahwa kita akan menuai sesuai dengan apa yang kita tanam itulah yang penting untuk kita renungkan. Proses bekerjanya karma hanyalah dapat dipahami sepenuhnya oleh seorang Buddha atau Yang Telah Tercerahkan. Untuk mengetahui karma dari kelahiran kita sebelumnya, maka renungkanlah berbagai kejadian baik berupa penderitaan [dukkha] ataupun kebahagiaan [sukkha] yang menimpa kita dalam kehidupan saat ini. Sehingga kita tidak tersudut ke dalam suatu kondisi di mana kita harus mencela orang lain sewaktu menderita ataupun terlalu menjunjung orang lain sewaktu kita berbahagia. Karma yang berbuah dalam kehidupan ini apakah menghasilkan kebahagiaan ataupun penderitaan haruslah kita syukuri sebagai makin berkurangnya timbunan karma kita sehingga makin terbukalah peluang untuk kita keluar dari arus kelahiran dan kematian. Namun demikian kitapun tidak perlu terjebak pada sikap pesimistik dengan menyalahkan kehidupan sebelumnya yang menciptakan karma buruk pada kehidupan saat ini karena Buddhisme tidak mengajarkan fatalisme yaitu suatu sikap yang menyalahkan segala sesuatu kejadian sebagai kodrat, takdir ataupun nasib. Buddhisme mengajarkan suatu tuntunan buat kita untuk melihat kehidupan saat ini sebagai alam kehidupan yang memungkinkan manusia untuk berlatih diri keluar dari lingkaran kehidupan dan kematian.”[11]





II. KONSEP “KRISTEN” BERKENAAN DENGAN KARMA
Berkenaan dengan karma, ternyata orang-orang di luar penganut agama Hindu dan Buddha pun terpengaruh oleh ajaran ini, tidak terkecuali beberapa (atau banyak?) orang “Kristen”. Demi kompromi dengan agama lain (dengan dalih “toleransi”), maka beberapa (atau banyak?) orang Kristen menyetujui tanpa berpikir kritis dengan konsep karma (bahkan yang mengkritisi konsep karma akan dicap “menghakimi”), bahkan ada yang menambahinya dengan konsep Alkitab tentang tabur tuai (Gal. 6:7). Apalagi beberapa hamba Tuhan/pemimpin gereja yang matre, hukum tabur tuai dipakai untuk mengeruk keuntungan dengan mengajar, “Berilah persembahan, maka Tuhan akan melipatgandakan 100x lipat.” Seolah-olah Tuhan bisa diperintah dan harus menaati apa yang manusia kehendaki.




III. TINJAUAN KRITIS IMAN KRISTEN TERHADAP KONSEP KARMA
A. Presuposisi Karma: Konsep Tuhan yang Tak Berpribadi
Sebelum membahas tinjauan iman Kristen yang sesuai dengan Alkitab menyoroti konsep karma, maka kita akan mencoba berpikir kritis dan logis tentang karma. Kalau kita perhatikan kembali asal mula konsep karma, maka sangat jelas bahwa karma lahir dari Hinduisme yang nantinya mempengaruhi Buddhisme. Di dalam Hinduisme dipercaya, “Tuhan (Hyang Widhi), yang bersifat Maha Ada, juga berada di setiap makhluk hidup, di dalam maupun di luar dunia (imanen dan transenden). Tuhan (Hyang Widhi) meresap di segala tempat dan ada di mana-mana (Wyapi Wyapaka), serta tidak berubah dan kekal abadi (Nirwikara)… Tuhan yang Tunggal (Esa) itu dipanggilnya dengan banyak nama sesuai dengan fungsinya. Ia dipanggil Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara dan Ciwa sebagai pelebur/pemralina. Banyak lagi panggilannya yang lain.”[12] Sedangkan di dalam Buddhisme dipercaya, “Yang Mutlak (Tuhan) dalam agama Buddha tidaklah dipandang sebagai sesuatu pribadi (punggala adhitthâna), yang kepada-Nya umat Buddha memanjatkan doa dan menggantungkan hidupnya. Agama Buddha mengajarkan bahwa nasib, penderitaan dan keberuntungan manusia adalah hasil dari perbuatannya sendiri di masa lampau, sesuai dengan hukum kamma yang merupakan satu aspek Dhamma.”[13] Kedua agama ini TIDAK mempercayai Allah yang berpribadi, sehingga tidak heran, penganut kedua agama ini mempercayai bahwa tujuan akhir hidup manusia bukan di tangan Tuhan, tetapi di tangan manusia sendiri. Sebelum kita mengaitkan konsep Tuhan mereka dengan konsep karma, maka ada baiknya kita membahas tentang konsep Tuhan mereka terlebih dahulu.

Kedua agama ini TIDAK mempercayai konsep Tuhan yang berpribadi, maka tentunya mereka hanya mempercayai bahwa Tuhan itu roh. Dan mereka percaya bahwa Tuhan yang adalah roh itu berada di mana-mana dan tidak bisa dilihat dan didengar (konsep Hinduisme). Pertanyaan saya selanjutnya:
Pertama, jika Tuhan itu berwujud roh saja yang tidak bisa dilihat dan didengar, dari mana Hinduisme bisa muncul? Bukankah Hinduisme percaya bahwa Tuhan itu hanya roh yang tidak bisa didengar dan dilihat?
Kedua, jika Tuhan hanya berwujud roh, bagaimana mungkin Buddhisme mengajarkan bahwa Tuhan itu, “Yang Mutlak, Yang Tertinggi, Yang Maha Suci, dan akhir tujuan semua mahluk.”[14] Coba pikirkan: Pertama, Jika Tuhan diklaim Yang Mutlak, dengan dasar apa kita mengetahuinya (problema epistemologi), padahal Tuhan dalam agama ini diklaim tidak bisa dideskripsikan (agama Buddha memandang Yang Mutlak dalam aspek nafi (meniadakan segala sesuatu yang dapat dipikirkan)[15])? Apa bedanya Tuhan dengan setan yang sama-sama roh yang juga tidak bisa dideskripsikan? Jika mereka menjawab, dari perbuatannya, pertanyaan saya selanjutnya adalah bagaimana kita dapat membedakan bahwa kalau dari Tuhan itu benar, sedangkan dari setan itu salah? Kalau mereka menjawab, hati nurani, saya bertanya lagi, apakah hati nurani menjamin suatu tindakan itu benar atau salah? Bukankah hati nurani juga bisa dipengaruhi oleh tradisi dan kebudayaan tertentu? Di sini, mereka akan mengalami kebuntuan cara berpikir. Kedua, jika Tuhan diklaim sebagai akhir tujuan semua manusia, sedangkan manusia sendiri berpribadi, mungkinkah Tuhan itu tak berwujud pribadi? Jika mereka menjawab bahwa Tuhan tidak menciptakan manusia, melainkan ada dengan sendirinya melalui hukum alam, mereka PASTI berhadapan dengan kebuntuan cara berpikir: mungkinkah dari sebuah hukum yang mati dapat menghasilkan manusia yang berpribadi? Logika sederhananya adalah mungkinkah dari sebuah hukum gravitasi yang MATI dapat menghasilkan benda atau bahkan manusia?


B. Kaitan Konsep Tuhan Tak Berpribadi Dengan Karma
Selanjutnya, konsep Tuhan mereka jika dikaitkan dengan karma akan semakin terlihat kacau. Hukum karma mengajarkan bahwa hidup manusia itu ditentukan oleh manusia itu sendiri. Pertanyaannya adalah jika mereka benar-benar mempercayai Tuhan itu ada dan Mahakuasa, pertanyaan saya adalah mengapa Tuhan tersebut tidak memelihara hidup manusia malahan manusia yang harus mengontrol hidupnya sendiri? Bukankah “Tuhan” yang demikian adalah Tuhan yang tak berkuasa, meskipun mereka mengakui bahwa Tuhan itu Mahakuasa? Konsep ini mirip seperti konsep dalam Kekristenan arus theologi Arminian yang mengajarkan bahwa keselamatan bisa hilang. Jika keselamatan yang katanya dari Allah itu bisa hilang, sungguh mengasihankan Allah seperti ini karena tak mampu memelihara apa yang telah dikerjakan-Nya sejak awal.


C. Kelemahan Konsep Karma
Sekarang, kita akan menyoroti secara spesifik tentang hukum karma itu sendiri. Hukum karma mengajarkan bahwa jika seseorang di kehidupan sekarang berbuat baik, maka di kehidupan akan datang ia akan menjadi manusia, sedangkan jika tidak, maka di kehidupan akan datang, ia akan menjadi binatang atau makhluk lain yang rendah. Atau hukum karma mengajarkan hal lain: apa yang kita tabur di kehidupan sekarang akan kita tuai di kehidupan selanjutnya. Misalnya, kalau kita mengalah, maka kita akan menuai keuntungan. Ada juga karma yang tidak langsung terjadi demikian, namun menunggu waktu (baca pembagian karma dari segi waktu di atas). Akibat konsep ini, maka sebuah website Buddhis mengatakan bahwa jika di kehidupan saat ini seseorang itu tampan/cantik, maka itu karena di kehidupan sebelumnya, orang itu telah berbuat baik, sebaliknya jika di kehidupan saat ini orang itu jelek, itu karena di kehidupan sebelumnya, orang itu berbuat jahat.

Mari kita analisa:
Pertama, kaburnya konsep tentang karma. Karma mengajarkan sebab akibat, X mengakibatkan Y, Y disebabkan X, dst, pertanyaan saya adalah siapa/apakah yang menjadi penyebab utama (penggerak yang tidak digerakkan/unmoved mover)? Jika mereka berkata, hukum alam, pertanyaan berikutnya, bukankah hukum alam itu sesuatu yang mati? Mungkinkah dari yang mati mengakibatkan yang hidup? Setelah itu, sebab akibat pasti memiliki akhir yang tidak bisa menyebabkan hal lain, maka siapa/apakah yang menjadi akibat terakhir?

Kedua, kaburnya standar dan kriteria klasifikasi karma. Di atas disebutkan bahwa ada karma baik dan buruk, maka pertanyaan saya, dengan standar apa mengukur baik dan buruk tersebut? Kedua, apakah kriteria menyebut tindakan membunuh sebagai karma buruk? Membunuh semua makhluk hidup, termasuk binatang adalah sesuatu yang buruk? Mari kita pikirkan secara logis. Jika membunuh nyamuk itu suatu dosa, maka logikanya adalah biarkan nyamuk itu menggigit manusia dan mengakibatkan manusia itu mengidap penyakit. Jika nyamuk itu nyamuk yang mengakibatkan penyakit demam berdarah atau penyakit berbahaya lainnya, maka membiarkan untuk TIDAK membunuh nyamuk justru mengakibatkan manusia sakit dan meninggal. Jika satu manusia dibiarkan digigit nyamuk, maka otomatis manusia lain juga demikian, akibatnya banyak manusia akan meninggal karena digigit nyamuk yang menurut iman Buddhisme tidak boleh dibunuh. Bukankah akibat ini tidak sesuai dengan pernyataan Buddhisme sendiri, “Biarlah semua makhluk berbahagia”?

Ketiga, kaburnya akibat karma. Di atas dijelaskan bahwa akibat karma buruk adalah “tumimbal lahir di tiga alam penderitaan (neraka, hantu kelaparan, dan binatang).” Menanggapi hal ini, saya mengajukan beberapa pertanyaan: Pertama, dari mana seorang Buddhis mengetahui bahwa ada tiga alam penderitaan? Lebih tajam lagi, dari mana muncul 3 alam penderitaan tersebut? Ada dengan sendirinya? Atau hukum alam (MATI) yang menciptakannya? Kedua, ada alam hantu kelaparan. Bagi saya, ini adalah suatu kekontradiksian nama. Hantu adalah sesuatu yang bersifat roh yang tidak bisa didengar dan dilihat, maka masa mungkin ada roh yang kelaparan? Kalau yang kelaparan itu pasti adalah sesuatu yang berpribadi seperti manusia.

Keempat, kaburnya proses kerja karma. Di atas sudah disebutkan bahwa proses bekerjanya karma itu tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, berarti di titik pertama, konsep ini sudah tidak logis. Selanjutnya, proses kerja karma dapat diketahui tatkala kita merenungkan penderitaan dan kebahagiaan pada saat ini (dan tentunya mengaitkannya dengan kehidupan masa lalu), akibatnya kita tidak mudah menghina orang lain yang menderita atau menyanjung mereka yang berbahagia. Akibat ini di satu sisi ada baiknya, karena akibat ini membukakan kepada kita tentang realitas hidup di dunia (penderitaan dan kesukaan), namun juga ada salahnya. Kalau kita tidak menghina orang lain yang susah atau memuji orang lain yang berbahagia, berarti kita berada di dalam kondisi cuek atau tidak peduli.[16]
Selanjutnya, dikatakan bahwa konsep karma ini tidak mengakibatkan manusia menjadi pesimistis, karena, “Buddhisme mengajarkan suatu tuntunan buat kita untuk melihat kehidupan saat ini sebagai alam kehidupan yang memungkinkan manusia untuk berlatih diri keluar dari lingkaran kehidupan dan kematian.” Sebenarnya penjelasan ini TIDAK menjawab apa pun, mengapa? Karena: Pertama, konsep karma memang mengakibatkan manusia menjadi pesimistis dan percaya pada adanya karma atau takdir yang sudah ditentukan oleh hukum alam. Kedua, meskipun mereka menolak karma mengakibatkan manusia menjadi pesimistis dan percaya pada takdir, mau tidak mau mereka pasti menghadapi fakta bahwa ajaran karma mengakibatkan mereka menjadi egois (manusia harus berjuang sendiri tanpa perlu memikirkan orang lain). Dan keegoisan ini mengakibatkan seorang Buddhis tidak akan menolong orang lain yang kesusahan. Karena tidak ditolong, maka secara otomatis orang yang kesusahan ini akan meratapi “nasib”nya dan tentunya menjadi seorang pesimistis.[17] Jika ada orang Buddhis menolong orang lain yang kesusahan, dengan dasar apa mereka melakukannya? Welas asih? Bukankah mereka mengatakan bahwa setiap orang memiliki karmanya sendiri? Apa kaitan welas asih dengan karma? Keegoisan itu sendiri berkontradiksi dengan 2 ajaran Buddhisme: kehendak yang benar (belas kasihan) dan “semoga semua makhluk berbahagia”.


D. Iman Kristen Menyoroti Karma: Kedaulatan Allah dan Dosa Vs Karma
Iman Kristen yang sesuai dengan Alkitab TIDAK mengenal konsep karma. Mengapa? Karena iman Kristen dengan jelas dan logis mempercayai bahwa Allah itu adalah Allah yang berpribadi (sekaligus roh) yang menciptakan alam semesta ini, memeliharanya, dan kelak akan menyempurnakannya. Allah yang berpribadi ini adalah Allah Trinitas yaitu 3 pribadi Allah di dalam 1 esensi Allah. Lebih rasional untuk mempercayai bahwa ada Pencipta alam semesta ini ketimbang mempercayai bahwa alam semesta ini jadi dengan sendirinya atau adanya hukum alam, mengapa? Karena jika alam semesta ini jadi dengan sendirinya atau segala sesuatu bergantung pada hukum alam, berarti alam semesta ini tetap mati dan dari mana kita bisa memiliki standar etika/moralitas? Apakah logis mempercayai dari sebuah hukum alam yang MATI keluarlah sebuah standar etika/moralitas? Allah yang berpribadi yang mencipta alam semesta ini juga menciptakan manusia pada hari keenam sesuai dengan gambar dan rupa-Nya, sehingga manusia dalam beberapa hal mirip Allah dengan menyandang atribut-atribut-Nya yang bisa dikomunikasikan, seperti: kebenaran, keadilan, kejujuran, dll, meskipun tidak bisa 100% sempurna seperti Allah. Karena manusia diciptakan oleh Allah, maka sudah seharusnya, manusia hidup oleh dan untuk Dia saja. Setelah mencipta, Allah tidak meninggalkan ciptaan-Nya, namun memelihara ciptaan-Nya (termasuk manusia), sehingga segala sesuatu terjadi di alam semesta terjadi di dalam kehendak-Nya yang berdaulat. Lebih logis mempercayai adanya pemeliharaan Allah di dalam alam semesta daripada percaya bahwa alam semesta ini HANYA diatur oleh hukum alam, mengapa? Karena jika alam ini diatur HANYA oleh hukum alam, bagaimana mungkin jarak antara matahari dengan bumi bisa tetap? Apakah hukum alam bisa mengatur jarak antara bumi dan matahari dengan sendirinya? Jika bisa, dengan cara bagaimanakah hukum alam melakukannya? Kembali, Allah yang mencipta dan memelihara manusia juga adalah Allah yang menetapkan, “manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi,” (Ibr. 9:27) Jika Pencipta manusia telah menetapkan bahwa manusia itu mati satu kali dan setelah itu dihakimi, hak apa manusia berani memberontak lalu mengajar bahwa manusia bisa hidup reinkarnasi di dunia akan datang?

Manusia yang telah dicipta Allah ini karena tidak taat pada perintah Allah, maka mereka jatuh ke dalam dosa. Semua orang tanpa percaya kepada Allah Trinitas atau Alkitab pun PASTI mempercayai bahwa semua manusia itu telah berdosa. Jika manusia berdosa, maka secara logis pun manusia itu tidak bisa berbuat baik dengan sendirinya, karena perbuatan baik yang dikerjakannya pun telah dirusak dosa. Tidak usah jauh-jauh, mari kita perhatikan tingkah laku anak kecil. Coba ajari anak kecil untuk berkata benar/jujur atau memberi kepada temannya, lalu bandingkan dengan anak kecil lain yang diajar untuk berkata dusta, manakah yang lebih cepat untuk ditiru oleh anak kecil? Meskipun lingkungan mempengaruhi, namun pengaruh lingkungan seharusnya bisa dinetralisir oleh pendidikan keluarga, namun fakta yang terjadi adalah anak kecil lebih mudah untuk meniru yang salah ketimbang yang benar. Jika fakta dosa manusia terjadi demikian rusaknya, masihkah manusia membanggakan diri untuk berpikir, bertindak, dll yang benar?

Dosa manusia mengakibatkan manusia harus mengalami kematian (maut). Dosa manusia tidak mungkin bisa diselesaikan dengan cara manusia, karena jika bisa diselesaikan dengan cara manusia berbuat baik, maka perbuatan baik itu pun sudah tidak baik, karena tujuan akhirnya bukan untuk kebaikan, namun untuk menyelesaikan dosa. Kedua, perbuatan baik seperti apa yang bisa menyelesaikan dosa? Apakah karena seorang narapidana telah berbuat baik selama di penjara, maka ia bisa dibebaskan dengan mudahnya? Berpikirlah logis. Karena tidak bisa diselesaikan dengan cara manusia, maka Allah yang pertama kali berinisiatif menyelamatkan manusia berdosa dengan mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dosa-dosa umat-Nya. Karya Kristus disalib adalah karya yang mendamaikan Allah yang Mahakudus dengan manusia yang berdosa, sehingga melalui karya-Nya, kita dapat masuk ke dalam Kerajaan Sorga.

Karena kita telah diciptakan oleh Allah dan umat-Nya telah ditebus oleh-Nya, maka umat-Nya dipimpin oleh Roh-Nya untuk hidup bagi Allah. Hidup bagi-Nya berarti hidup yang bersandar mutlak pada pemeliharaan-Nya dalam hidup kita. Itulah namanya beriman. Apakah doktrin/ajaran pemeliharaan dan kedaulatan-Nya mengakibatkan kita menjadi malas karena kita berpikir bahwa segala sesuatu sudah ditentukan oleh Allah? TIDAK! Ajaran pemeliharaan dan kedaulatan-Nya justru menguatkan kita tatkala harus menghadapi penderitaan dan kesusahan hidup sekaligus mendorong kita bangkit dari keterpurukan kita. Iman Kristen khususnya dalam perspektif theologi Reformed yang mempercayai kedaulatan Allah atas segala sesuatu TIDAK mengajarkan fatalisme atau takdir-isme dan menjadikan orang-orang Kristen khususnya Reformed menjadi malas atau terima nasib! Justru, iman Reformed yang mengajarkan kedaulatan Allah, juga mengajarkan tanggung jawab sebagai respons manusia terhadap kedaulatan-Nya, sehingga tidak heran, di mana iman Reformed diajarkan dengan ketat, di situ kita melihat sumbangsih besar yang dihasilkan dari para penganutnya yang bekerja keras demi kemuliaan-Nya. Sedangkan mereka yang menganut konsep takdir mengakibatkan hampir tidak ada sumbangsih signifikan yang dihasilkan, karena mereka sudah diindoktrinasi bahwa hidup mereka entah miskin atau kaya sudah ditetapkan Tuhan atau sudah ada karmanya.


E. Iman Kristen Menyoroti Karma: Hukum Allah Vs Karma
Jika iman Kristen menolak hukum karma, bagaimana dengan hukum tabur tuai yang diajarkan baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru? Apa beda hukum tabur tuai dengan hukum karma?

Perlu ditegaskan kembali bahwa hukum karma adalah sebuah hukum yang mati yang tidak memiliki kuasa apa pun. Kalau pun kita tidak mempercayai bahkan menolak hukum ini, kita tidak akan meninggal. Mengutip Prof. Norman L. Geisler, Ph.D. dan Ronald M. Brooks, Th.M.,
“karma bukanlah ketentuan moral. Ia adalah sistem pembalasan saja; ia tidak memiliki muatan yang memberi tahu kita apa yang harus dilakukan. Ia adalah pelaksanaan, bukan hukum moral; ia adalah sistem hukuman tanpa badan pembuat undang-undang. Ia tidak personal, hukum moral tentang hubungan tindakan/konsekuensi.”[18]
Dari penjelasan di atas, kita semakin mengerti bahwa hukum karma sebenarnya adalah sebuah hukum tanpa ada pemberi hukum (seperti tempat pengadilan tanpa seorang hakim atau sebuah hukum negara tanpa adanya pembuat dan penegak hukum), tidak personal/berpribadi, dan lagi tidak berisi hal-hal apa saja yang harus manusia lakukan. Berarti dengan sendiri, hukum karma itu adalah sebuah hukum yang mati tanpa ada sumbernya. Jika demikian, mengapa manusia harus percaya adanya hukum karma? Bisakah Anda membayangkan jika seorang hakim mendakwa seorang narapidana dengan hukum yang tak ada pembuatnya? Atau logiskah jika seorang menteri mengeluarkan sebuah keputusan/peraturan yang tak ada pembuatnya? Jika hukum negara Indonesia bisa ada dengan sendirinya, justru kita tidak akan mempercayainya, karena itu suatu hal yang tidak logis.

Lalu, bagaimana halnya dengan Alkitab yang mengajarkan prinsip yang mirip seperti hukum karma? Misalnya: “"Jika engkau baik-baik mendengarkan suara TUHAN, Allahmu, dan melakukan dengan setia segala perintah-Nya yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, maka TUHAN, Allahmu, akan mengangkat engkau di atas segala bangsa di bumi. Segala berkat ini akan datang kepadamu dan menjadi bagianmu, jika engkau mendengarkan suara TUHAN, Allahmu:” (Ul. 28:1-2) Bukankah konsepnya adalah kalau kita taat pada Tuhan, maka Tuhan akan memberkati? Bagaimana pula dengan Galatia 6:7b, “…Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya.”? Kalau kita memperhatikan seluruh prinsip Alkitab, maka kita dapat melihat bahwa hukum dari Allah yang berpribadi ini berbeda total dengan hukum karma. Allah yang berpribadi memberikan hukum-hukum-Nya termasuk Dasa Titah (Kel. 20:1-17) dan perintah-perintah Tuhan Yesus sebagai peraturan dan dasar etika bagi umat-Nya. Hukum-hukum-Nya ini meskipun merupakan hukum yang mati, namun hukum-hukum ini tetap menandakan ada Pembuat hukum yaitu Allah sendiri, sehingga standar etika dan hukuman menjadi jelas. Hukum Allah yang sama juga berlaku dan ditegaskan kembali di dalam Perjanjian Baru. Pertama-tama, Kristus sendiri mengajar umat-Nya untuk berbuat baik demi kemuliaan-Nya. Di dalam Matius 7:12 yang terkenal dengan The Golden Rule, Kristus berfirman, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.” Setelah mengajar seorang ahli Taurat untuk mengasihi Allah, maka Ia berfirman, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Mat. 22:39) Itu adalah hukum terutama dan kedua dalam hukum Taurat. Di dalam Roma 12:7-21, Rasul Paulus mengajarkan kita prinsip pelayanan yang berlandaskan kasih Allah. Di dalam Galatia 6:1, Paulus juga menasihati jemaat Galatia untuk menasihati sesama jemaat yang melakukan pelanggaran sambil tetap menjaga diri. Itu semua menunjukkan bahwa Kekristenan mengenal hukum Allah yang bersumber dari Allah sendiri. Hukum tersebut adalah hukum kasih.

Meskipun dituntut untuk menaati hukum Allah, kita tidak bisa melakukannya dengan kemampuan kita sendiri, sehingga mutlak diperlukannya anugerah Allah yang memampukan kita sebagai umat-Nya untuk menaati hukum-hukum Allah. Setelah mengajar jemaat Filipi untuk mengerjakan keselamatan mereka, maka Rasul Paulus mengingatkan mereka, “Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.” (Flp. 2:13) Dengan kata lain, kemauan untuk umat-Nya untuk berbuat baik demi kemuliaan-Nya pun dapat terjadi tatkala Allah yang berinisiatif terlebih dahulu mendorong/memimpin umat-Nya, sehingga tidak ada jasa baik manusia yang patut dibanggakan tatkala harus berbuat baik. Perbuatan baik umat Tuhan merupakan respons terhadap anugerah Allah di dalam penebusan oleh karya Kristus, sehingga perbuatan baik SEJATI dilakukan bukan demi mendapatkan sesuatu (kehidupan yang lebih baik, keselamatan, dll), tetapi karena sudah mendapatkan sesuatu. Inilah bedanya agama yang berpusat pada anugerah Allah vs agama yang berpusat pada kehebatan diri manusia berdosa.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan hukum tabur tuai yang mengatakan bahwa kalau kita taat kepada Tuhan pasti diberkati, sedangkan kalau tidak taat kepada Tuhan pasti sengsara? Perjanjian Lama di Ulangan 28 dan 29 mengajar hal demikian, namun perlu diingat, itu hanya sepenggal ajaran Alkitab. Alkitab TIDAK berisi hanya Ulangan 28 dan 29, namun dari Kejadian s/d Wahyu, sehingga alangkah berbijaksananya jika kita memperhatikan keseluruhan pengajaran Alkitab secara komprehensif. Mazmur 73 merupakan bagian Alkitab yang mencerahkan kita bahwa justru anak-anak Tuhan hidup sengsara, sedangkan mereka yang tidak mengenal Allah hidup senang, namun penampakan senang pada hidup orang yang tak mengenal Allah itu sebenarnya merupakan tindakan Allah yang membiarkan mereka kelak untuk hancur dan binasa (ay. 18-19). Di dalam Perjanjian Baru, Tuhan Yesus yang taat kepada apa yang Bapa perintahkan pun BUKANlah seorang yang kaya secara jasmani, bahkan Ia pernah mengatakan kepada seorang yang berseru hendak mengikut-Nya, “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya.” (Mat. 8:20) Rasul Paulus yang taat dan setia kepada Tuhan pun harus mengalami penderitaan yang berat (2Kor. 11:24-27) bahkan mengalami penyakit yang tidak disembuhkan Tuhan (2Kor. 12:7-9). Begitu juga dengan para rasul lainnya, seperti Petrus yang menurut tradisi disalib terbalik. Kesemuanya ini mengajarkan kepada kita bahwa mengikut Kristus TIDAKlah mudah (Mat. 16:24). Namun demikian, Ia menjanjikan hidup yang berkelimpahan kepada mereka yang hidup di dalam dan bagi Kristus (Yoh. 10:10b). Hidup yang berkelimpahan TIDAK boleh ditafsirkan berkelimpahan secara materi, karena konteksnya TIDAK menunjukkan hal tersebut. Hidup berkelimpahan berarti hidup yang terus-menerus berlimpah-limpah akan pengertian iman dan anugerah Allah, sehingga umat-Nya dimampukan untuk tetap teguh dan kuat di tengah penderitaan yang mengancam hidup mereka. Dengan kata lain, meskipun harus menderita aniaya karena nama Kristus, kita dimampukan untuk berkata seperti Paulus berkata, “Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.” (Rm. 8:18) Jaminan dan janji Allah yang luar biasa ini TIDAK akan mungkin bisa dijumpai di agama, filsafat, kebudayaan, tradisi, sains, dll apa saja, karena jaminan dan janji Allah ini hanya diberikan oleh Allah yang berpribadi (sekaligus roh) kepada umat-Nya di dalam Kristus.

Bagaimana pula dengan hukum tabur tuai menurut konsep Paulus di Galatia 6:7b, “Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya.”? Ayat ini sering ditafsirkan bahwa kita harus berbuat baik, supaya nantinya juga menuai yang baik juga. Benarkah tafsiran ini? Di dalam menafsirkan Alkitab yang bertanggung jawab, satu ayat TIDAK bisa dilepaskan begitu saja dari konteksnya, maka mengerti ayat 7b TIDAK bisa dilepaskan dari ayat 8 yang menjelaskannya, “Sebab barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu.” Dengan kata lain, konteksnya jelas yaitu perbedaan hidup oleh Roh vs hidup oleh daging (bdk. Gal. 5:16-26). Umat pilihan-Nya dipimpin oleh Roh Kudus untuk hidup oleh Roh, sehingga hasil akhirnya adalah hidup kekal, sedangkan mereka yang tidak dipilih hidup oleh daging dan tentunya hasil akhirnya adalah kebinasaan.




IV. KESIMPULAN DAN TANTANGAN
Hukum karma adalah sebuah hukum yang ditegakkan oleh manusia yang tentunya memiliki problematika dan kelemahan, sehingga adalah berbijaksana bagi kita sebagai manusia untuk tidak memusatkan hidupnya pada sebuah hukum mati yang tak ada pembuatnya, lalu kembali kepada Tuhan Allah yang berpribadi yang menciptakan hukum-hukum-Nya sebagai standar etika yang jelas dan mutlak bagi manusia. Saat ini, jika Anda masih mempercayai hukum karma, saya menantang Anda untuk memikirkan kembali konsep karma yang Anda pegang: bisakah konsep karma dihidupi secara logis dan praktis di dalam kehidupan sehari-hari? Bagi Anda yang sudah Kristen, namun masih suka “jajan” konsep dari agama lain, saat ini bertobatlah dan kembali kepada Kristus dan Alkitab!

Akhir kata, adalah berbijaksananya jika kita mendengar dan menaati apa yang Rasul Paulus katakan kepada jemaat di Tesalonika, “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.” (1Tes. 5:21) Amin. Soli Deo Gloria.
Catatan Kaki:
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Karma
[2] Yang Mulia Bhikkhu Uttamo Thera, Hukum Karma, seperti dikutip dalam http://www.artikelbuddhis.com/hukum-karma.html
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] http://kmbui.net/index.php?option=com_content&task=view&id=62&Itemid=34
[9] Ibid.
[10] http://www.nshi.org/Buddhisme/Indonesia%20Buddhisme/Hukum-Karma.htm
[11] http://alietan.com/buddhism/?p=3
[12] Anak Agung Gde Oka Netra, Pokok-pokok Keimanan Agama Hindu (1), dikutip dalam: http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=481&Itemid=96
[13] http://www.artikelbuddhis.com/hakekat-agama-buddha-bag-1.html
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Prof. Norman L. Geisler, Ph.D. dan Ronald M. Brooks, Th.M. dalam bukunya Ketika Alkitab Dipertanyakan (2006) menjelaskan sikap tidak peduli dari penganut konsep karma, “Ketika Buddha Gautama meninggalkan lingkungan aman di rumah dan menemukan kejahatan dan penderitaan yang ada dalam dunia, ia harus menghadapi konflik moral antara mengizinkan Hukum Karma untuk dijalani atau melakukan perbuatan baik yang bersangkut paut dengannya. Kesimpulannya adalah bahwa seseorang harus bersikap acuh tak acuh. Orang harus kehilangan perhatiannya terhadap orang lain, dengan menyadari bahwa: (1) tidak ada perbedaan riil antara kebaikan dan kejahatan dan (2) segala sesuatu ada sebagaimana seharusnya. Sebab itu, entah seseorang menolong penderitaan itu atau mengabaikannya, ia harus melakukan hal itu dengan sikap tidak peduli sepenuhnya – seolah-olah melakukan satu tindakan sama dengan melakukan tindakan satunya. Apa pun jalan yang Anda ambil, itu akan dipandu oleh takdir. Tidak masalah apa yang Anda lakukan, selama Anda tidak peduli mana yang benar atau yang salah.” (hlm. 289)
[17] Pertanyaan lebih lanjut, perlukah kita terus-menerus membantu orang yang berkekurangan? TIDAK PERLU! Karena kalau kita membantu mereka secara material terus-menerus, mereka akan menjadi malas bekerja dan terus menadah bantuan kita saja. Namun bukan berarti kita tidak usah membantu orang yang berkekurangan. Lalu, bagaimana caranya? Dalam beberapa hal, kita perlu membantu mereka yang berkekurangan, namun sambil membantu secara material, kita sambil membantu mereka dengan menciptakan lapangan pekerjaan, sehingga mereka bisa bekerja dan tidak terus-menerus mengharapkan bantuan material dari kita saja.
[18] Norman L. Geisler dan Ron Brooks, Ketika Alkitab Dipertanyakan, terj. Jhony The (Yogyakarta: Yayasan ANDI), hlm. 286-287.