22 December 2007

Iman Kristen dan Musik-7 (Tanya Jawab)

Iman Kristen dan Musik (7)—Tanya Jawab
(Jawaban Pdt. Billy Kristanto—B terhadap pertanyaan Sdr. Hansel—H)


Hansel :
Shalom Pak Billy,
Saudara berkata bahwa untuk menguji estetika jenis musik tertentu, kita harus mempelajari latar belakang musik tersebut. Satu pertanyaan saya belum terjawab bahkan setelah membaca 6 email tentang musik yang Saudara post. "Apakah yang Alkitab katakan tentang musik yang kudus dan tidak kudus?"

Billy:
Saya sudah coba sharingkan prinsip ini, sayang sekali Anda tidak menangkap pointnya :)


H :
Mempelajari latar belakang sebuah musik dan kemudian mendasarkan keputusan kita berdasarkan latar belakang tersebut berarti kita mendasarkan keputusan kita pada apa yang kita tahu, dan bukan pada Alkitab.

B :
Di sini Anda salah mengerti. Mempelajari latar belakang, biografi, tradisi musik yang mempengaruhi suatu karya tertentu perlu untuk suatu penyelidikan yang lebih komprehensif, setelah itu pengujian tersebut dibawa dan diuji di bawah terang Alkitab.


H :
Beberapa minggu yang lalu, ada juga yang menge-post soal musik. Dan pendapat dia bahkan jauh lebih ekstrim. Dia seolah-olah berkata hanya musik hymne sajalah yang paling baik. Ketika kita menyanyi untuk Tuhan, kita sama sekali tidak boleh bergoyang. Karena itu, lagu "Oh, betapa indahnya," yang dinyanyikan dengan irama dangdut adalah lagu yang tidak kudus. Tetapi, tidak ada ayat Alkitab sama sekali di dalam email yang dia kirim itu. Berbicara soal bergoyang, tahukah Saudara bahwa Raja Daud pernah memuji dan menyanyi untuk Tuhan sambil menari dan meloncat sekuat tenaga? Tetapi anehnya, Tuhan tidak pernah sama sekali menegur dia untuk tidak menari dan meloncat.

B :
Bagian ini ditujukan kepada saya? Kalau kepada saya: Ya, sebagai hamba Tuhan, puji syukur saya mengenal bagian Alkitab tsb :)
Hanya saja kesimpulan seperti ini bagi saya terlalu cepat dan cenderung menimbulkan pengertian yang salah. Kesulitan penafsiran Alkitab yang seperti ini adalah kerancuan dan kegagalan untuk membedakan bagian Firman Tuhan yang bersifat preskriptif (pengajaran) dan deskriptif (penggambaran). Bagian yang preskriptif berlaku bagi semua orang percaya, bagian deskriptif adalah khusus/unik terjadi pada orang tersebut. Petrus berjalan di atas air sebagai suatu tindakan iman (deskriptif), bukan berarti setiap orang percaya boleh berjalan di atas air sebagai tindakan imannya.


H :
Saya ingin jawaban yang saya dapatkan benar-benar dari Alkitab, dan bukan dari teologi ini dan itu. Terus terang, saya tidak memiliki pengetahuan apa-apa tentang teologi. Yang saya tahu dan kenal sebagai sumber segala kebenaran hanyalah Alkitab.

B :
Tidak mungkin kita tidak memiliki pengetahuan apa-apa tentang teologi. Seringkali tanpa sadar kita banyak dipengaruhi oleh school of thought theologi tertentu. Statement Anda "Yang saya tahu dan kenal sebagai sumber segala kebenaran hanyalah Alkitab" juga berada di bawah pengaruh tradisi theologi tertentu :)
Mengenai gerakan tubuh dalam ibadah, perlu dipikirkan suatu pembahasan yang mengaitkan antara sikap hati dan filsafat tubuh. Pembahasan ini akan menarik jika dikaitkan dengan thema ekspresi. Untuk sederhananya, kita dapat mengajukan beberapa pertanyaan kepada diri kita masing-masing untuk melakukan suatu pengujian:
- Apakah saya menganggap ekspresi itu sebagai sesuatu yang tabu dan tidak alkitabiah?
[1]
- Apakah gerakan tubuh/ekspresi yang saya lakukan itu berkaitan dengan apa yang menjadi isi hati saya? (dalam bagian ini Tuhan Yesus memberikan kritik kepada orang Farisi yang menyalahgunakan ekspresi sebagai suatu kemunafikan, precisely karena apa yang tampak di luar tidak sesuai dengan apa yang ada di dalam hati).
- Apakah ekspresi yang dituangkan dalam gerakan tubuh tersebut bersifat self-centered (saya harus mengekspresikan diri saya) atau God-centered (ekspresi itu sebagai respon kita menikmati Tuhan dalam ibadah).
[2]
- Apakah ekspresi atau gerakan tubuh itu membangun sesama jemaat (dan bukan hanya membangun diri saya saja). Bahwa prinsip membangun jemaat lebih baik dan lebih dewasa, lebih sesuai dengan natur kasih daripada hanya membangun diri sendiri, dapat kita pelajari dari I Kor 14:1-5, terutama karena pembahasan ini ada dalam konteks ibadah (pertemuan bersama).
- Apakah ekspresi/gerakan tubuh itu berlangsung dalam batasan kesopanan dan keteraturan (I Kor 14:26-40).

Tuhan memberkati kita sekalian. Semper reformanda.

Yours in Christ.
[1] Jika kita cenderung berpendapat ya, kita perlu berhati-hati dan kritis terhadap pandangan seperti itu, karena pandangan yang mengaitkan kekudusan atau kerohanian yang tinggi dengan semakin meninggalkan ekspresi tubuh lebih banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani kuno daripada Alkitab.
[2] Di sini sebagai orang percaya kita perlu berhati-hati dan membedakan dengan kritis ekspresi yang diajarkan oleh Alkitab dengan ekspresi seperti yang dimengerti oleh aliran expressionisme (yang terakhir ini berpusat kepada diri).

Billy Kristanto

=
http://www.grii.de/ =
Quis credidit auditui nostro? et brachium Domini cui revelatum est? (Is. 53:1)


Sumber :
http://groups.yahoo.com/group/METAMORPHE (mailinglist Pdt. Billy Kristanto)














Profil Pdt. Billy Kristanto :
Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S. lahir pada tahun 1970 di Surabaya. Sejak di sekolah minggu mengambil bagian dalam pelayanan musik gerejawi. Setelah lulus SMA melanjutkan study musik di Hochschule der Künste di Berlin majoring in harpsichord (Cembalo) di bawah Prof. Mitzi Meyerson (1990-96).
Setelah lulus dari situ melanjutkan post-graduate study di Koninklijk Conservatorium (Royal Conservatory) di Den Haag, a conservatory with the largest early music department in the world (mempelajari historical performance practice). Belajar di bawah Ton Koopman, seorang dirigen, organis, cembalis dan musicolog yang sangat ahli dalam interpretasi karya J.S. Bach. Selain itu juga mempelajari fortepiano di bawah Prof. Stanley Hoogland.
Setelah lulus dari situ pada tahun 1998 pulang ke Indonesia, lalu melayani sebagai Penginjil Musik di Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) di Jakarta pada Februari 1999. Pada tahun yang sama memulai study Teologi di Institut Reformed di Jakarta. Lulus pada tahun 2002 dengan Master of Christian Studies (M.C.S.). Sejak tahun 2002 sampai sekarang menjabat sebagai Dekan School of Music di Institut Reformed Jakarta serta menggembalakan jemaat Mimbar Reformed Injili Indonesia (MRII) Jerman : Berlin, Hamburg dan Munich. Beliau ditahbiskan menjadi pendeta sinode GRII pada Paskah 2005 dan saat ini sedang menyelesaikan studi doktoral di bidang filsafat di Universitas Heidelberg, Jerman. Beliau menikah dengan Suzianti Herawati dan dikaruniai seorang putri, Pristine Gottlob Kristanto.

Iman Kristen dan Musik-6 (Diskusi)

Iman Kristen dan Musik (6)—Diskusi
(Sdr. Jimmy—S dan Pdt. Billy Kristanto—B)


J :
Sekali lagi, saya angkat topi utk upaya kamu meninjau masalah ini dari seluruh dimensi yg penting... Tidak disangkal lagi, kamu sangat bertanggung jawab dan serius mendalami hal ini... Kami semua dapat belajar banyak dari kamu... Pembahasan kamu menyegarkan motivasi saya utk belajar lbh serius lagi...

B :
Saya pikir diskusi ini juga mempertajam dan memperjelas kesimpang-siuran konsep tentang musik gerejawi yang banyak dianut, sekalipun mungkin kita belum bisa 100% sependapat.

J :
Satu pertanyaan saja karena saya belum menemukan jawabannya secara lugas dalam pembahasan kamu: Apa properties dari suatu jenis musik yang memungkinkan kita melakukan pengkategorian musik yang kudus atau tidak (selain teks, apalagi)?
Saya setuju bahwa dari sudut pandang estetika, maka ada kemungkinan bahwa jenis musik tertentu (seperti Klasik) adalah high-art. Mungkin inilah perbedaan kita berdua. Kamu berangkat dari estetika. Sedangkan saya berangkat dari preferensi musikal manusianya.

B :
As you already noticed, pengujian musik yang good or bad, atau lebih baik: better and worst.
[1] Pengujian ini terutama dilakukan dengan menyelidiki estetika musik tersebut.[2] Tentang approach (pendekatan) tentunya bisa beraneka-ragam dan tidak mutlak, namun kita harus selalu ingat bahwa ketika kita membicarakan “starting point” (bukan “approach”) maka hanya ada satu-satunya starting point yaitu penilaian dari Alkitab sendiri. Persoalan berangkat dari preferensi musikal bagi saya adalah ini bukan hanya sekedar perbedaan approach (which I have no problem at all with), melainkan sudah berurusan dengan “starting point”. Preferensi musikal ini berangkat dari diri sebagai subyek yang menyukai musik tertentu (saya suka musik A, kamu musik B, yang lain lagi musik C dan seterusnya). Dengan kata lain starting pointnya masih berada di bawah tradisi filsafat Cartesian (Rene Descartes). Kita tahu bahwa pengaruh Descartes dan Kant (yang mulai dari diri manusia sebagai subyek) hanya membawa kepada agnostisisme, skeptisisme, relativisme, dan terakhir (menurut Hauerwas) nihilism. Kalau kita mulai starting point dari diri (padahal kita tahu diri kita berdosa dan tidak sempurna) maka yang akan terjadi adalah “you can choose whatever you like, what you think is best and good for you”. Starting point dari diri (manusia) pasti tidak akan ada jalan temu karena setiap orang mempunyai pendapatnya sendiri-sendiri. Musicology yang dimulai dengan starting point diri bukan jalan dari Alkitab tetapi dari Descartes and co.
Sebaliknya ketika kita melakukan penyelidikan estetis, kita percaya bahwa terlepas dari selera musik saya secara pribadi, ya, terlepas dari pendapat saya sebagai manusia yang berdosa dan tidak sempurna, Alkitab memberikan prinsip-prinsip tentang apa itu keindahan. Dengan kata lain, Alkitab membicarakan tentang estetika. Menurut Fil 4:8 ada kaitan antara keindahan (aspek estetik) dengan kebenaran, kemuliaan, keadilan, kesucian dsb). Apa yang indah adalah apa yang kudus dan apa yang benar. Sehingga musik yang indah (menurut kriteria Alkitab) dapat juga dikatakan kudus, musik yang tidak indah adalah tidak kudus dan tidak benar. Di sini kita langsung berbeda dengan para relativist yang mengatakan bahwa indah adalah persoalan selera, tidak bisa diuji etc. Pandangan itu bukan pandangan Alkitab tapi pandangan filsafat dunia.
Bagaimana kita menguji estetika suatu musik tertentu, atau lebih detail, suatu karya komponis tertentu? Untuk suatu pengujian yang lebih kompleks dan komprehensif kita perlu untuk mempelajari musik tersebut terbentuk dari latar belakang yang bagaimana (di sini diperlukan study interdisipliner bidang-bidang yang lain seperti sosiologi, filsafat, kebudayaan dsb). Atau kalau mempelajari estetika komponis tertentu, kita perlu mengetahui biografinya, kepercayaan atau ideologi yang dia anut (saya sudah sharingkan secara singkat di tulisan yang terdahulu tentang John Cage misalnya yang banyak dipengaruhi oleh Zen-Buddhism). Selain itu juga dia berada di bawah pengaruh tradisi apa, adakah pengaruh estetika Kristen dalam tradisi ini? Jika ada, seberapa jauh? Berapa banyak penyimpangannya?
Konsep estetika ini berkaitan dengan penggarapan yang terjadi dalam 5 musical parameter dasar (harmoni, melodi, ritme, dinamika dan suara [Klang]). Estetika tertentu digarap dalam harmoni atau melodi tertentu yang merefleksikan estetika tadi (kembali dalam pembahasan tentang John Cage saya mencoba untuk mensharingkan kaitan antara estetika yang dianut oleh Cage dengan teknik penggarapan komposisi musiknya). Dengan demikian musik tidak mungkin netral. Dan kalau kita menerima pandangan Alkitab tentang keindahan (bukan pandangan relativisme), kita tahu bahwa keindahan memiliki kriteria obyektif dalam suatu pengujian yang dilakukan di bawah terang Alkitab. Yang indah adalah kudus dan benar, yang tidak indah tidak kudus dan tidak benar. Dengan kata lain, there is better aesthetics and worst aesthetics. Estetika tidak relatif menurut konsep Alkitab.


J : Analogi saya sederhana saja. Dalam dunia linguistik pun kita dapat menemukan beberapa bahasa yang jauh lebih tinggi dalam pengungkapan dan kedalaman makna. Contohnya saja bahasa Inggris dan Indonesia lebih unggul Inggris karena memiliki tenses. Sementara bahasa Yunani mungkin lebih tinggi daripada bahasa Inggris. Ada pula yang bilang bahasa Mandarin lebih tinggi karena kandungan filosofis dalam perkawinan pelbagai karakter yang menghasilkan karakter baru, dsbnya. Namun, apakah dengan demikian kita seharusnya berdoa/berkomunikasi kepada Tuhan dalam bahasa Yunani/Inggris/Mandarin ketimbang Indonesia karena Indonesia lebih inferior?

B:
Kamu mengangkat satu point yang penting di sini (“higher culture”) yang saya percaya akan semakin memperjelas diskusi ini. Mengenai “higher culture” ini saya ada beberapa tanggapan:
1. Saya pribadi lebih suka menggunakan istilah kebudayaan yang lebih kompleks/berbobot dan kebudayaan yang lebih sederhana, instead of high and low. Pembedaan high and low arts bisa membawa orang terjebak dalam spirit cultural elitist yang salah (menghina culture yang lebih rendah), dengan demikian, seperti sudah saya bahas sebelumnya, merupakan ketidak-mengertian terhadap theology of grace. Dalam tradisi Reformed theology orang lebih suka menggunakan istilah kebudayaan yang lebih kompleks di satu sisi dan lebih sederhana di sisi yang lain.
2. Pembedaan ini penting karena adanya konsep takaran yang berbeda-beda bagi setiap orang. Tidak setiap orang diberikan takaran yang sama, let say, untuk mengecap ‘high’ education, ‘high’ cultural living, ‘high’ civilization dsb. Alkitab mengajarkan agar kita memberikan yang terbaik bagi Tuhan (motivasi, tujuan dan pemberiannya sendiri). “Yang terbaik” yang dimaksud di sini tentunya adalah “yang terbaik yang dapat saya berikan.” Yang terbaik, sesuai dengan takaran yang Tuhan percayakan pada saya. Persoalan yang terjadi pada cultural elitist adalah tidak mengerti bahwa setiap orang memiliki takaran yang berbeda-beda dari Tuhan. Yang penting di sini adalah setiap orang harus jujur dan mengenal diri dengan benar.
3. Namun ini tidak berarti bahwa takaran itu statis dan tidak dapat berubah. Alkitab juga mengajarkan bahwa mereka yang setia dalam perkara kecil akan dipercayakan perkara yang lebih besar. Dalam takaran pun terjadi progresi. Point ini juga sama pentingnya dengan point ke-2, karena tanpa pengertian ini kita cenderung menjadikan konsep takaran itu sebagai rasionalisasi untuk mempertahankan status quo alias keengganan untuk bertumbuh dan terus maju. Di sini saya sulit untuk menerima pop-culture karena salah satu kecenderungan yang sangat kuat dalam kebudayaan ini adalah spirit yang suka mempertahankan “lack of depth” yang menjadi karakteristiknya.
[3] Bukan hanya di dalam musik/seni saja, dalam pengenalan akan firman Tuhan juga bisa merembet spirit pop-culture,[4] dalam filsafat pelayanan juga dapat dipengaruhi oleh pop-culture.[5] Spirit instant dan mau langsung jadi, “how-to Christianity” yang mau jawaban siap pakai (tanpa harus bergumul) menjadi karakteristik umum di jaman kita sekarang. Sebaliknya jika kita mengikuti Alkitab, kita harus dengan rendah hati untuk terus mau bertumbuh dengan dipercayakan perkara yang lebih besar oleh Tuhan, termasuk di dalamnya pengenalan teologis yang lebih dalam dan lebih kaya akan Firman Tuhan, juga musik yang lebih berbobot dan lebih kompleks yang Tuhan ingin berikan kepada kita. Ini termasuk dalam bagian pertumbuhan yang wajar dalam hidup Kristen.
4. Sekalipun benar memang ada perbedaan seni yang lebih kompleks dan yang lebih sederhana, namun concern saya sebagai orang percaya lebih berurusan dengan apakah suatu karya memiliki good or bad aesthetics daripada ‘high’ or ‘low’ aesthetics. I have no problem at all dengan estetika musik yang lebih sederhana, karena bagi saya, kedua-duanya (musik yang kompleks atau yang sederhana) dapat dipakai oleh Tuhan. Yang menjadi persoalan bukanlah tingkat kompleksitas musiknya, melainkan estetika yang benar atau tidak. Ada musik yang sangat kompleks estetikanya, and yet bad aesthetics (seperti John Cage misalnya). Sebaliknya ada musik yang lebih sederhana and good aesthetics. Sebagai orang percaya kita mempertahankan yang good aesthetics dan membuang yang bad aesthetics (mengikuti anjuran Paulus untuk menguji segala sesuatu dan memegang yang baik [I Tes 5:21]). Di sinilah perbedaan kita dengan para cultural elitists karena mereka (para elitists) akan mempertahankan ‘high’ arts dan menghina serta membuang ‘low’ arts. Bagi kita, good aesthetics bisa ada pada karya seni yang kompleks maupun yang lebih sederhana, demikian juga halnya dengan bad aesthetics. Sama halnya dengan perdebatan musik trasional – kontemporer, perdebatan musik dalam kategori ‘high – low’ arts totally miss the point, karena yang dipersoalkan Alkitab adalah benar dan tidak benar, kudus dan tidak kudus (bukan tinggi atau rendah).
[6]

Mengenai analogi bahasa, saya sudah pernah singgung bahwa analogi ini lemah dan tidak cukup untuk menggambarkan kompleksitas persoalan dalam pengujian estetika. Mengapa? Karena bahasa lebih bersifat universal, yang paling dasar yang ada pada setiap bangsa/suku. Jika analogi ini tetap mau dipaksakan juga, yang mungkin dapat menjadi perbandingan yang lebih tepat adalah dengan etno-musik, yang juga ada pada setiap bangsa/suku.
[7] Sementara jenis musik seperti Rock, New Age, Expressionism, bi-tonality etc, bukanlah produk universal setiap bangsa (seperti keanekaragaman dalam etno musik misalnya), melainkan merupakan kebudayaan yang lebih banyak berkait dengan ideologi, bahkan agama tertentu. Ini yang membuat kategori jenis musik yang terakhir ini sangat tidak tepat jika dianalogikan dengan bahasa (karena kandungan nilai kepercayaannya yang sangat kuat).


J :
Kembali ke ibadah, saya melihat kesamaan masalah bila kita juga apply cara pikir yg sama. Saya melihat begini: mari kita pakai bahasa musik kita masing-masing... namun tetap terapkan striving for excellence within each categories...

B :
Jika ada seseorang yang dilahirkan dalam ‘bahasa musik’ New Age lalu dia ingin bertumbuh dalam ‘bahasa musik’nya itu dan menggunakannya dalam ibadah, bagaimana respon kita? Saya pribadi sulit dengan hati nurani yang jujur dan bertanggungjawab di hadapan Tuhan mengatakan “silakan saja, itu memang ‘bahasa musik’ kamu …” karena saya tahu musik-musik seperti itu lahir dari pergumulan agamawi yang melawan Tuhan. ‘Bahasa musik’ kita pun tidak netral, dan perlu terus dikuduskan oleh Firman Tuhan.


J :
Saya tidak menolak aspek keunggulan estetika namun itu menjadi tahap berikut, bukan titik awal.... makanya dalam credo saya, quality saya letakan setelah diversity dan love... jika kita mau pakai musik kontemporer, maka berikan musik kontemporer terbaik...

B :
Saya sependapat dengan kamu jika itu berurusan dengan estetika ‘tinggi – rendah’ maka tidak terlalu matters (asal kita tetap memperhatikan bahwa takaran kita bersifat progresif). Tapi itu matters jika berurusan dengan good/bad aesthetics (bagi saya memberikan yang terbaik mencakup pengujian musik yang baik dan benar). Sudah saya bahas di atas bahwa concern kita lebih berurusan dengan good or bad music instead or ‘high/low’ (complex/simple). Dalam konteks yang pertama (good and bad aesthetics), saya sedikit terganggu dengan kalimat di atas bahwa keindahan boleh ditempatkan setelah diversity and love, karena dalam Firman Tuhan kita tidak mendapati bahwa keindahan (yang berkait dengan kebenaran, kekudusan dsb) boleh dibicarakan ‘belakangan’. Sulit untuk mendapati bahwa Firman Tuhan mengajarkan bahwa pluralitas dan kasih lebih dahulu daripada kebenaran, kekudusan, keindahan, kemuliaan dsb.
[8] Bagi saya, semuanya harus diuji, tanpa mendahulukan yang satu dan mengesampingkan yang lain. Dalam Alkitab kebenaran, keindahan, kemuliaan, kekudusan tidak mungkin dipisahkan dari kasih. Kebenaran ada dalam keaneka-ragaman faset (namun ini tidak berarti semua faset dapat ditampung dalam kebenaran), keaneka-ragaman ini dipersatukan oleh kasih, di dalam kebenaran. Mengenal kebenaran berarti menerima keaneka-ragaman di dalam kasih. Ketika kita menomor-duakan kebenaran (yang berkait dengan keindahan, kekudusan, kemuliaan dsb) kita cenderung akan terjebak pada pluralisme yang diajarkan oleh dunia (bukan pluralitas yang diajarkan oleh Alkitab) dan kasih kita akan menjadi kasih yang tidak berkait dengan pengertian (blind love). Sebaliknya hanya menekankan ‘kebenaran’ tanpa bisa menerima keaneka-ragaman di dalam kasih juga bukanlah merupakan pengenalan kebenaran yang sejati. Allah yang kita percaya adalah Allah yang benar, Allah yang mengasihi, dan Allah di dalam tiga Pribadi. Tuhan memberkati kita sekalian. Sola scriptura.

In Christ,
one of the greatest sinners, forgiven by God
[1] Seperti sudah saya bahas dalam tulisan yang lalu bahwa tidak ada musik yang sepenuhnya sempurna, demikian juga tidak ada musik yang sepenuhnya rusak dan tidak ada keindahan yang tersisa di dalamnya. Maka kita lebih baik berbicara tentang musik yang lebih baik dan kurang baik, yang lebih alkitabiah dan kurang alkitabiah, dalam berbagai macam tingkat kebaikan atau kerusakan.
[2] Penyelidikan estetis ini bisa terjadi dalam beberapa tahap tentunya, mulai dari tahap yang paling general, seperti misalnya estetika musik Rock, musik Barock, musik medieval, serial music, expressionism, new age etc, atau yang lebih detail misalnya Barock Perancis, Barock Jerman, Italia etc, dan lebih detail lagi dengan menguji estetika per komponis (let say Mozart misalnya), lebih detail lagi: Mozart pada periode kehidupan yang mana, atau lebih detail lagi: per karya, dan lebih detail lagi: bagian tertentu pada karya tertentu. Pengujian estetika yang general mencoba untuk mencari karakteristik umum dari musik yang diuji (misalnya musik Rock, Klassik, Romantik etc), kelemahan dari pengujian yang seperti ini pasti adalah kecenderungan generalisasinya (ini tidak bisa dihindarkan karena memang pengujiannya terjadi pada tahap yang general). Kalau kita mau melakukan pengujian yang lebih kompleks harus bicara lebih detail.
[3] Ini wajar dan dapat dimengerti karena jika goal yang ingin dicapai adalah mendapatkan jangkauan sebanyak-banyaknya maka yang seringkali harus dikompromikan adalah kualitasnya. Pop-culture yang menuju kepada “depth” tidak akan menjadi pop-culture lagi dan akan dituduh menjadi penganut cultural elitist. Bagi saya pilihan cultural elitist di satu sisi dan pop-culture di sisi yang lain, dua-duanya salah. Alkitab memberikan alternatif yang lain mengenai ini yaitu konsep takaran dalam progresi.
[4] Kalimat seperti “Untuk apa susah-susah mempelajari teologi, itu hanya bikin tambah bingung, bahkan sombong, lebih baik kita belajar saling mengasihi saja” saya kuatir tanpa sadar sebenarnya juga dipengaruhi oleh kecenderungan pop-culture yang cenderung menolak untuk belajar lebih dalam dan terus maju. Dalam Alkitab kasih tidak dapat dipisahkan dengan pengertian yang benar, demikian pula sebaliknya.
[5] Misalnya mencoba untuk mendapatkan jiwa sebanyak-banyaknya dengan mengkompromikan kualitas yang ditakar oleh Tuhan.
[6] Tuhan dapat memakai tulisan dengan kapasitas teologi yang sangat kompleks seperti J. Edwards, maupun juga khotbah-khotbah yang sangat sederhana dari D.L. Moody. Tulisan Kant boleh jadi jauh lebih kompleks, lebih ‘tinggi’ daripada Moody namun ini tidak berarti pemikiran Kant lebih benar dan kudus daripada Moody hanya karena dia lebih kompleks. Pengujiannya adalah kesetiaan kepada Firman Tuhan (entah kompleks atau sederhana).
[7] Ini pun bagi saya juga tidak dapat diakomodasi begitu saja sebagai totally neutral tanpa critical reflection terlebih dahulu. Di satu sisi kita percaya seperti diajarkan dalam Reformed Theology, ada anugerah umum dalam setiap kebudayaan, dan di sisi yang lain kita juga tidak boleh melupakan tanpa pencerahan wahyu khusus, pengertian wahyu umum sesungguhnya kabur dan bahkan cenderung ditekan oleh manusia berdosa (Roma 1:21-23). Dalam etno-musik pasti ada respon terhadap pengenalan akan Allah dalam wahyu umum (bayang-bayang dan kabur), namun juga sekaligus produk keberdosaan dan ketidak-taatan manusia.
[8] Sekali lagi menurut Alkitab konsep keindahan tidak dapat dipisahkan dengan kebenaran, kekudusan, kemuliaan dsb.

Bab 11 : DIRENCANAKAN BAGI KESENANGAN ALLAH ?? (Analisa Terhadap Bab 8 Buku Rick Warren)

Bab 11
Direncanakan bagi Kesenangan Allah ??


Pada bab 11 ini, kita akan mencoba menggali masing-masing pengajaran Rick Warren di dalam bab/hari kedelapan dalam renungan 40 harinya. Penggalian ini bisa bersifat positif maupun negatif dari kacamata kebenaran Firman Tuhan, Alkitab. Mari kita akan menelusurinya dengan teliti berdasarkan kebenaran Alkitab.
Tidak usah membahas terlalu jauh, dari judulnya saja, kita dapat menemukan apa yang diajarkan Warren mulai bab ini sudah mulai kacau dan ngawur. Benarkah kita direncanakan bagi kesenangan Allah ? Kalau benar, bukankah berarti bahwa kita itu paling agung bahkan melebihi Allah ? TIDAK. Mari kita akan menelusuri apa yang Warren ajarkan di dalam bab yang aneh ini.
Ayat pembuka bab ini diambil dari Wahyu 4:11 yang dikutip dari terjemahan New Living Translation (NLT), “Engkau telah menciptakan segala sesuatu, dan bagi kesenangan-Mu semuanya itu ada dan diciptakan.

Komentar saya :
Lagi-lagi, penyakit buruk Warren kambuh, ia suka mengutip ayat-ayat Alkitab yang sengaja dicarikan versi terjemahan yang cocok dengan yang ingin ia ajarkan di dalam bab ini. Kata “kesenangan-Nya” tidak ditemukan dalam terjemahan bahasa asli (Yunani), Terjemahan Baru (TB) LAI, Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), King James Version (KJV), International Standard Version (ISV) dan English Standard Version (ESV). ISV dan ESV menggunakan kata will yang tidak menunjukkan kesenangan, tetapi kehendak. Demikian pula, TB LAI dan BIS menggunakan kata “kehendak-Nya”. King James Version (KJV) menggunakan kata pleasure, tetapi kata aslinya adalah thelēma yang berarti choice, will, purpose, decree, desire, dll. Tidak ada satu arti dari kata Yunani thelēma ini yang menunjukkan kesenangan.

Lalu, ia melanjutkan pengajarannya yaitu dengan mendatangkan kegembiraan bagi Allah, hidup bagi kesenangan-Nya, menurut Warren, itulah yang menjadi tujuan pertama hidup manusia dan ini mengakibatkan kita tidak pernah lagi memiliki perasaan yang tidak berarti (Warren, 2005, p. 69)

Komentar saya :
Tujuan pertama hidup kita bukan untuk mendatangkan kegembiraan bagi-Nya, tetapi untuk bersekutu dengan-Nya, sehingga kita tidak bisa hidup tanpa Allah ! Kecenderungan kita bisa minder bisa disebabkan karena kita ditelantarkan dan dibenci oleh orang-orang sekitar kita serta dianggap tidak berguna. Tetapi Allah memang mengasihi manusia dan manusia itu berharga di mata-Nya. Tetapi ingatlah satu hal, meskipun Allah memahkotai manusia dengan kemuliaan karena mereka dicipta segambar dan serupa dengan-Nya, jangan lupa, manusia sudah berbuat dosa dan telah mengurangi kemuliaan Allah. Dari awal sampai bab ini, saya sedikit lagi membaca pengajaran tentang dosa yang dipaparkan oleh Warren. Entah apa alasannya. Kembali, ini disebut paradoks di dalam iman Kristen, yaitu kita memang diciptakan segambar dan serupa dengan Allah, oleh karena itu kita tidak boleh minder, tetapi di sisi lain, kita sudah berdosa, ini mengakibatkan kita tidak boleh terlalu sombong, seolah-olah kita pintar, hebat, dan tidak membutuhkan Allah. Ketidakseimbangan mengajarkan doktrin manusia ini akan berakibat sangat fatal. Misalnya, terlalu menekankan keberhagaan manusia bisa mengakibatkan manusia menjadi sombong dan sok tahu, persis seperti yang saya lihat pada banyak dosen “Kristen” di kampus “Kristen” (?) di mana saya menempuh studi Sastra Inggris ! Banyak dosen “Kristen” baru memiliki pengetahuan sedikit, sudah sombongnya minta ampun, bahkan ada yang mengklaim diri “melayani Tuhan” tetapi anehnya “alergi” mendengar nama Tuhan disebut di dalam perkuliahan. Inilah realita orang “Kristen” abad postmodern, sok tahu dan sombong !

Kemudian, ia melanjutkan penuturannya bahwa kita dapat mendatangkan kesenangan bagi-Nya melalui “penyembahan” (halaman 70). Di dalam poin ini, ia memaparkan,

Tergantung latar belakang agama Anda, Anda mungkin perlu memperluas pemahaman Anda tentang “penyembahan.” Anda mungkin berpikir tentang ibadah minggu dengan menyanyi, berdoa, dan mendengarkan khotbah. Atau Anda mungkin berpikir tentang upacara-upacara, lilin-lilin, dan perjamuan. Atau Anda mungkin berpikir tentang kesembuhan, mukjizat dan pengalaman-pengalaman ekstatis. Penyembahan bisa meliputi unsur-unsur ini, tetapi penyembahan jauh lebih dari sekedar ekspresi-ekspresi ini. Penyembahan adalah gaya hidup. (Warren, 2005, p. 71)

Komentar saya :
Saya mengamati ada tiga kesalahan yang menurut saya sangat fatal.
Pertama, dari kalimat pembuka pada pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa Warren mengajarkan bahwa semua agama itu menyembah Allah, lalu ia hanya ingin memperluas pengetahuan tentang makna “penyembahan”, sehingga masing-masing pemeluk agama bisa “menyembah” Tuhan. Ini jelas salah total ! Dari titik pertama, Warren sudah membuka peluang bagi bidat/ajaran sesat “theologia” religionum/social “gospel” masuk ke dalam keKristenan. Apakah semua agama menyembah Allah ? MUSTAHIL ! Dr. John R. W. Stott, theolog abad 20 yang dikutip oleh Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa agama itu bukan sedang mencari Allah, tetapi melarikan diri dari hadirat Allah. Kok bisa ? Bukankah setiap agama keras-keras meneriakkan bahwa mereka sedang mencari Allah ? TIDAK. Sebenarnya, mengikuti pandangan Feuerbach, agama itu hanya ingin menciptakan ilah-ilah yang cocok dengan idaman manusia sendiri. Mari kita berpikir secara logis, kalau benar semua agama mencari dan bahkan menyembah Allah, mengapa ketika Kristus berinkarnasi dan menjadi manusia, Alkitab menyatakan, “…orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya.” (Yohanes 1:11) Benarkah agama mencari dan menyembah Allah ? TIDAK. Sangat amat mustahil !
Kedua, perhatikan kalimat yang saya garisbawahi yang kedua di mana Warren mengatakan bahwa penyembahan bisa meliputi unsur-unsur beribadah di hari Minggu, mendengarkan khotbah, upacara-upacara, kesembuhan, mukjizat, dll. Dari sini, saya menyimpulkan bahwa Warren tidak bisa membedakan antara penyembahan sejati yang Theosentris dengan penyembahan palsu. Mengapa ? Karena pada poin pertama, ia telah menyetarakan penyembahan sejati di dalam iman Kristen dengan penyembahan palsu dari agama-agama dunia (non-Kristen), lalu disambung dengan pengajaran bahwa mukjizat, kesembuhan, dll itu juga termasuk bagian dari penyembahan. Tidak semua mukjizat, kesembuhan dan hal-hal supranatural itu termasuk bagian dari penyembahan. Bahkan kalau mau dikatakan banyak gereja kontemporer yang pop sangat menggemari ibadah kesembuhan ilahi untuk memuaskan hawa nafsu mereka yang menyesatkan yaitu ingin sembuh, bukan ingin Tuhan. Benarkah ini menyembah Allah ? TIDAK ! Banyak gereja tidak lagi menyembah Allah dengan bertanggungjawab mengajarkan Firman Allah dengan teliti, konsisten, jujur, terintegrasi, tetapi banyak gereja suka menyembah diri ketimbang Allah dengan mengadakan banyak kebaktian yang sebenarnya menurut saya : BUANG-BUANG WAKTU, misalnya mengundang artis menyanyi, menari, dll. Itu SIA-SIA ! Kalau ibadah seperti itu, apa bedanya dengan konser musik dangdut atau konser dunia yang ada sekarang ?! Itu sama sekali tidak bernilai dan memuakkan !
Ketiga, saya tidak pernah menjumpai Alkitab pernah mengajarkan bahwa penyembahan itu adalah gaya hidup ! Penyembahan BUKAN gaya hidup tetapi keharusan ! Ini bukan sekedar perbedaan istilah, tetapi perbedaan esensi. Kalau penyembahan dikatakan sebagai gaya hidup, berarti penyembahan itu bisa berubah-ubah tergantung spirit dan kondisi zaman. Kalau zaman itu postmodern yang me“mutlak”kan kerelatifan ditambah munculnya musik-musik rock, pop, dll, lalu apakah penyembahan juga ikut-ikutan zaman postmodern yang sudah gila ini ?! TIDAK ! Kalau jawabannya ya, maka tidak usah heran, Warren dengan tidak bertanggungjawab mengatakan, “Tetapi tidak ada gaya musik yang alkitabiah !... Musik suatu kelompok etnik bisa kedengaran seperti sebuah keributan bagi kelompok lainnya. Tetapi Allah menyukai keragaman dan menikmati semuanya.” (Warren, 2005, p. 72). Benarkah Alkitab tidak mengajarkan tentang musik ? Secara eksplisit dan terang-terangan jelas tidak, tetapi secara konsep implisit pasti. Perhatikan. Di dalam theologia Reformed, Allah mewahyukan diri-Nya melalui dua sarana, yaitu wahyu umum dan wahyu khusus. Wahyu umum merupakan bukti penyataan diri Allah kepada semua manusia tanpa kecuali melalui cara alam semesta (eksternal) dan hati nurani (internal). Wahyu umum Allah yang internal, hati nurani, diresponi oleh manusia yang berdosa dengan cara menciptakan agama, sedangkan wahyu umum Allah yang eksternal diresponi oleh manusia yang berdosa dengan cara menciptakan kebudayaan (culture). Kalau kita mempelajari budaya, maka musik adalah salah satu produk budaya, dan budaya itu sendiri adalah hasil respon manusia berdosa terhadap alam semesta. Karena manusia yang meresponi wahyu umum Allah sudah berdosa, secara otomatis respon ini pasti mengandung unsur berdosa, sehingga manusia seenaknya sendiri memakai budaya untuk memuaskan keinginan pribadinya, demikian halnya dengan musik, mereka menggunakan musik bukan untuk memuliakan Allah, tetapi untuk memuaskan diri. Yang lebih celaka, gereja Tuhan tidak mau dan sangat malas mempertahankan tradisi musik gereja yang agung sepanjang sejarah, tetapi malahan membuang dan menggudangkannya lalu menghinanya dengan sebutan, “musik yang tidak ada ‘roh kudus’”. Inilah citra “gereja” abad postmodern ! Bukankah Warren sendiri mengajarkan bahwa penyembahan itu bukan untuk kepentingan kita (halaman 72) ? Lalu, mengapa di halaman yang sama, ia mengatakan, “Tetapi Allah menyukai keragaman dan menikmati semuanya.” Bagi saya, ini jelas sangat tidak konsisten ! Kalau penyembahan itu bukan untuk kepentingan kita, tetapi untuk Tuhan, maka jelas, kita menggunakan musik-musik dan seluruh keberadaan hidup kita hanya bagi kemuliaan-Nya. Caranya ? Apakah gereja-gereja harus 100% menggunakan lirik-lirik lagu himne dan membuang lagu-lagu Karismatik/Pentakosta ? TIDAK. Lagu-lagu himne juga ada yang salah, tetapi sebaliknya ada sedikit lagu-lagu rohani kontemporer yang bermutu dan Alkitabiah. Tentang musik, gereja-gereja Reformed tidak pernah sedikitpun berkompromi, mereka hanya menggunakan musik-musik klasik. Apakah ini kuno ? TIDAK. Kalau ini kuno dan perlu dibuang, maka Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa kita tidak perlu makan nasi, karena nasi itu kuno ! Tradisi yang beres dan Alkitabiah harus kita jaga kualitasnya, tetapi kita juga harus rendah hati menerima budaya-budaya kita di zaman postmodern ini yang masih beres dan Alkitabiah. Marilah kita menggunakan semua budaya untuk memuliakan Allah, asalkan budaya itu bukan seperti yang Warren ajarkan bahwa Allah menyenangi keragaman musik bahkan yang ribut sekalipun. Ini jelas salah, karena Allah menghendaki keteraturan, bukan kekacauan (1 Korintus 14:33 ; konteksnya tentang bahasa Roh). Budaya Kristen mutlak berbeda 180 derajat dengan budaya dunia. Budaya Kristen harus dibangun sebagai respon kita sebagai anak-anak Tuhan terhadap wahyu khusus Allah, yaitu Kristus dan Alkitab.


Setelah itu, pada halaman 73, Warren mengajarkan bahwa penyembahan itu berarti segala sesuatu yang kita kerjakan itu hanya untuk memuliakan Allah.

Komentar saya :
Pandangan ini benar. Tetapi pandangan ini berkontradiksi dengan pandangan lainnya antara lain pandangannya yang mengajarkan bahwa penyembahan itu gaya hidup, dll. Dari sini, saya menyimpulkan bahwa konsep sistematika pemikiran Warren di dalam penulisan bukunya sangat kacau (Jawa : amburadul).

Bab 10 : ALASAN UNTUK SEGALA SESUATU ? (Analisa Terhadap Bab 7 Buku Rick Warren)

Bab 10
Alasan untuk Segala Sesuatu ??




Pada bab 10 ini, kita akan mencoba menggali masing-masing pengajaran Rick Warren di dalam bab/hari ketujuh dalam renungan 40 harinya. Penggalian ini bisa bersifat positif maupun negatif dari kacamata kebenaran Firman Tuhan, Alkitab. Mari kita akan menelusurinya dengan teliti berdasarkan kebenaran Alkitab.
Pada bab ini, halaman 59-65, Warren mengajarkan bahwa segala sesuatu dicipta bagi kemuliaan Allah. Ini sangat tepat. Kemuliaan Allah menurut Warren dapat dilihat di sekeliling kita mulai dari kehidupan mikroskopik yang terkecil sampai Bima Sakti yang luas. Inilah yang disebut theologia Reformed sebagai wahyu umum Allah (the general revelation of God), yaitu penyataan diri Allah kepada semua manusia tanpa kecuali melalui sarana alam semesta (eksternal) dan hati nurani (internal). Tetapi wahyu umum Allah bukan satu-satunya cara kita dapat mengenal Allah dan kemuliaan-Nya. Mengapa ? Karena Alkitab menyatakan bahwa dosa telah masuk dan meracuni keseluruhan termasuk alam semesta yang Ia ciptakan. Oleh karena itu, Bapa menyatakan diri-Nya melalui wahyu khusus yaitu Tuhan Yesus Kristus dan Alkitab untuk memimpin umat pilihan-Nya mengenal Allah dan kemuliaan-Nya. Tidak ada jalan lain. Ini juga diajarkan oleh Warren, “Kemuliaan Allah yang termulia tampak dalam diri Yesus Kristus. Dia, Terang Dunia, itu menjelaskan sifat Allah. Karena Yesus, kita tidak lagi buta mengenai rupa sebenarnya dari Allah...” (Warren, 2005, p. 60) Pengajaran ini tepat dan inilah wahyu khusus yang Allah nyatakan hanya kepada umat pilihan-Nya.
Tetapi, Warren juga mengajarkan bahwa sayangnya dosa masuk dan meracuni dunia ini, sehingga manusia sebagai ciptaan Allah gagal mendatangkan kemuliaan bagi-Nya.

Komentar saya :
Hal ini tidak salah, tetapi saya sedikit kurang setuju dengan istilah “mendatangkan kemuliaan bagi-Nya”, saya lebih memilih istilah “memuliakan Allah”. Istilah “mendatangkan kemuliaan bagi-Nya” seolah-olah ingin mengajarkan bahwa Allah itu kurang mulia, sehingga perlu ditambahi oleh tindakan manusia yang memuliakan Allah. Saya tahu bahwa bukan ini yang diajarkan oleh Warren karena ia sendiri mengajarkan, “Kita tidak bisa menambah apapun pada kemuliaan-Nya ini, sama seperti mustahil bagi kita untuk membuat matahari bersinar lebih terang.” (Warren, 2005, p. 60). Lebih baik, Warren menggunakan istilah “memuliakan-Nya”.

Lalu, ia mengemukakan 5 hal yang dapat kita lakukan untuk dapat mendatangkan kemuliaan bagi Allah. Sebelumnya, ia mengemukakan, “Bila sesuatu di dalam ciptaan memenuhi tujuannya, hal tersebut mendatangkan kemuliaan bagi Allah.” (Warren, 2005, p. 61). Dilanjutkan dengan pengajaran bahwa burung-burung dapat mendatangkan kemuliaan bagi Allah ketika mereka terbang, berkicau, membuat sarang, dan melakukan sesuatu yang diinginkan Allah.
Komentar saya :
Pandangan ini memang benar, bahwa kita dapat memuliakan-Nya ketika kita taat mutlak dan hanya menjalankan apa yang Ia perintahkan. Tetapi saya kurang setuju dengan pendapat bahwa Allah begitu mengurusi burung-burung sampai hal-hal terkecil yaitu berkicau, terbang, dll. Allah memang memelihara semua ciptaan-Nya, tetapi tidak untuk hal-hal yang terkecil. Pengajaran ini mirip dengan pengajaran Hyper-Calvinisme yang terlalu menekankan kedaulatan Allah, sampai-sampai tanggung jawab manusia dihilangkan sama sekali, bahkan pandangan Hyper-Calvinisme ini mengajarkan bahwa dosa pun telah ditentukan oleh Allah dan segala sesuatu ada di bawah kontrol-Nya, sampai hal-hal terkecil sekalipun, misalnya rambut, dll. Alkitab mengajarkan bahwa Allah memang adalah Allah yang Berdaulat, tetapi keberdaulatan-Nya tidak meniadakan tanggung jawab manusia. Burung-burung memang dipelihara oleh-Nya (perumpamaan Tuhan Yesus di dalam Matius 6:26), tetapi apakah burung itu terbang, berkicau, dll, itu bukan urusan Allah, tetapi urusan si burung tersebut.

Pada halaman 62-63, ia mengemukakan 5 hal yang dapat dilakukan oleh manusia untuk memuliakan-Nya, yaitu dengan cara : menyembah-Nya, mengasihi orang-orang percaya lainnya, menjadi seperti Kristus, melayani orang lain dengan karunia-karunia kita, dan memberitakan kepada orang lain tentang Dia (memberitakan Injil).

Komentar saya :
Apa yang Warren katakan adalah pengajaran yang tepat. Tetapi saya sedikit kurang setuju dengan pengajarannya poin kedua bahwa kita dapat memuliakan-Nya dengan mengasihi orang-orang percaya lainnya. Kekurangsetujuan saya tidak berarti saya menyalahkan 100% ajaran Warren, tetapi Warren kurang tegas dan jelas menguraikan poin ini. Memang, kita sebagai orang percaya harus mengasihi sesama kita, tetapi apakah mengasihi itu murni mengasihi, artinya tidak ada tindakan menegur sesama kita yang salah dengan prinsip Firman Tuhan ?
Lalu, pada poin ketiga pengajarannya yaitu kita dapat memuliakan Allah dengan menjadi seperti Kristus. Ia memang mengajarkan bahwa Roh Kudus memimpin kita untuk menjadi seperti Kristus dengan memberi kehidupan dan sifat yang baru. Ini jelas tidak salah, karena ini diajarkan oleh Alkitab. Tetapi ia tidak menjelaskan lebih lanjut bahwa kehidupan baru ini adalah kehidupan yang menyangkal diri dengan mematikan kehidupan lama kita yang penuh dosa.

Pada halaman 64-65, ia mengajarkan bahwa Allah mengundang para pembaca bukunya untuk hidup bagi kemuliaan-Nya dengan memenuhi tujuan-tujuan yang untuknya kita telah diciptakan-Nya. Lebih lanjut, ia juga mengatakan, “Kehidupan yang sesungguhnya dimulai dengan menyerahkan diri Anda sepenuhnya kepada Yesus Kristus...” (Warren, 2005, p. 64) Caranya ?
Pertama, percaya. Percaya bahwa Allah mengasihi Anda dan bahwa Ia menciptakan Anda untuk tujuan-tujuan-Nya. Percaya bahwa Anda ada bukan karena kebetulan. Percaya bahwa Anda diciptakan untuk hidup kekal. Percaya bahwa Allah telah memilih Anda untuk memiliki hubungan dengan Yesus, yang mati di kayu salib bagi Anda. Percaya bahwa apapun yang telah Anda perbuat, Allah ingin mengampuni Anda.
Kedua, menerima. Menerima Yesus dalam kehidupan Anda sebagai Tuhan dan Juruselamat Anda. Menerima pengampunan-pengampunan-Nya atas dosa-dosa Anda. Menerima Roh-Nya, yang akan memberi Anda kekuatan untuk memenuhi tujuan hidup Anda... (Warren, 2005, p. 65).

Komentar saya :
Kehidupan sejati memang dimulai ketika kita menyerahkan diri kita kepada Kristus. Tetapi sayangnya penyerahan diri yang dimengerti oleh Warren bukan yang diajarkan oleh Alkitab. Warren mengajarkan bahwa kita perlu percaya dan menerima apa yang Kristus lakukan bagi kita untuk mendapatkan kehidupan sejati. Bahkan, ia sendiri mengajarkan bahwa kita perlu percaya bahwa apapun yang telah kita perbuat, Allah ingin mengampuni kita. Kembali, kata “ingin” dimunculkan oleh Warren, seolah-olah berarti Allah benar-benar membutuhkan manusia, padahal tidak demikian. Benarkah Allah mengampuni kita meskipun kita telah berbuat apa saja ? Di satu sisi, ya, karena Allah mengasihi kita. Di sisi lain, jelas tidak. Dan di sisi lain inilah Alkitab lebih tegas dan jelas mengajarkannya kepada kita. Rasul Yohanes mengajarkan, “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” (1 Yohanes 1:9 ; Terjemahan Baru) Alkitab tidak mengajarkan bahwa ketika kita hanya percaya, maka Ia akan mengampuni dosa kita, tetapi Alkitab dengan tegas mengajarkan bahwa ketika kita mengaku dosa kita atau BERTOBAT, maka Ia itu setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni dosa kita dan menguduskan kita dari segala kejahatan. Allah kita bukan sekedar Mahakasih yang suka mengampuni dosa kita, tetapi Ia juga Mahaadil. Setiap dosa harus dihukum, tetapi Kristus sudah mati bagi dosa-dosa umat pilihan-Nya sebagai bukti keadilan sekaligus kasih-Nya dilimpahkan kepada kita. Kalau Kristus sudah mati bagi kita, apakah kita terus-menerus berbuat sesuka hati kita lalu baru menangis minta ampun di hadapan-Nya ? TIDAK. Alkitab mengatakan bahwa kita harus BERTOBAT dan Allah akan mengampuni dosa kita, lalu Ia juga menyucikan kita dari segala kejahatan. Pengampunan-Nya selalu dilanjutkan pengudusan-Nya (progressive sanctification), sehingga kita terus-menerus hidup di dalam kekudusan yang Allah inginkan.
Apakah cukup hanya dengan percaya dan menerima saja untuk mendapatkan kehidupan sejati ? TIDAK. Warren sendiri mengatakan bahwa kita harus menyerahkan hidup kita kepada Kristus, tetapi ia tidak menjelaskan maknanya. Menyerahkan hidup kita kepada Kristus berarti menjadikan Kristus sebagai Tuhan dan Raja yang memerintah di dalam hidup kita. Mungkin, inilah yang banyak tidak disukai oleh banyak orang Kristen yang mengaku sudah menjadi Kristen puluhan tahun kalau perlu ratusan bahkan ribuan tahun (meskipun pasti tidak ada). Banyak orang “Kristen” hari ini maunya menjadikan Kristus sebagai ban serep kalau sakit langsung menghubungi-Nya untuk minta disembuhkan, kalau susah segera berdoa kepada-Nya minta kekuatan dan penghiburan. Tetapi jarang sekali saya menjumpai orang Kristen yang taat mutlak kepada perintah-Nya meskipun itu bertentangan dengan keinginan dagingnya. Kalau ada orang Kristen yang mau taat mutlak, itulah orang Kristen sejati, bukan sekedar menangis minta ampun, percaya dan menerima Kristus. Bagaimana dengan kita ? Apakah kita mau taat mutlak kepada pimpinan-Nya meskipun itu tidak menyenangkan ?