15 July 2007

Roma 2:6-10 : KEADILAN ALLAH TERHADAP TINDAKAN MANUSIA-2

Seri Eksposisi Surat Roma :
Realita Murka Allah-9


Keadilan Allah Terhadap Tindakan Manusia-2

oleh : Denny Teguh Sutandio


Nats : Roma 2:6-10

Pada ayat sebelumnya, ayat 5, Firman Tuhan mengajarkan bahwa di dalam kemurahan-Nya, terkandung hukuman dan murka-Nya bagi mereka yang berhati keras dan tidak mau bertobat. Lalu, ayat ini dilanjutkan dengan pernyataan, “Ia akan membalas setiap orang menurut perbuatannya,” Ayat ini hendak mengajarkan tentang Allah yang Mahaadil di samping Allah itu Mahakasih. Konsep ini tidak sedang mengajarkan bahwa keselamatan diperoleh karena perbuatan baik, tetapi konsep ini hendak mengajarkan tentang tanggung jawab manusia kelak di hadapan-Nya (2 Korintus 5:10). Apa yang Paulus ajarkan ini merupakan konsep yang sudah jelas dipaparkan di dalam tiga bagian Perjanjian Lama yaitu Mazmur 62:13, Amsal 24:12 dan Yeremia 32:19. Ketika Mazmur 62:13 mengajarkan tentang Allah yang membalas setiap orang menurut perbuatannya, konsep ini dikaitkan dengan kasih setia Allah (Mazmur 62:12-13, “Satu kali Allah berfirman, dua hal yang aku dengar: bahwa kuasa dari Allah asalnya, dan dari pada-Mu juga kasih setia, ya Tuhan; sebab Engkau membalas setiap orang menurut perbuatannya.”). Dan ketika Amsal 24:12 dan Yeremia 32:19 mengajarkan juga konsep Allah yagn membalas setiap orang menurut perbuatannya, konsep ini dikaitkan dengan Allah yang menguji kedalaman hati manusia (Amsal 24:12, “Apakah Dia yang menguji hati tidak tahu yang sebenarnya? Apakah Dia yang menjaga jiwamu tidak mengetahuinya, dan membalas manusia menurut perbuatannya?”). Dari kedua hal ini, kita mendapatkan suatu pengertian bahwa Allah yang Mahaadil dengan memberikan pahala kepada manusia menurut perbuatannya adalah Allah yang juga Mahakasih dan Mahatahu. Puji Tuhan, Allah yang kita sembah begitu agung, karena Allah kita tetap adalah Mahaadil tetapi di dalam keadilan-Nya, terdapat kasih-Nya. Keadilan-Nya menunjukkan kasih-Nya bagi manusia. Ketika Allah menegur dosa kita, tidak berarti Allah itu jahat atau kejam, melainkan Ia sangat mengasihi kita (Wahyu 3:19). Selain itu, keadilan-Nya juga menunjukkan bahwa Dia itu Mahatahu. KeMahatahuaan Allah menunjukkan kedaulatan-Nya yang mengetahui kedalaman hati manusia, sehingga manusia tidak dapat berdalih daripada-Nya (Roma 1:20). Dari sini, maka konsep deisme yang mengajarkan bahwa Allah tidak mempedulikan ciptaan-Nya itu jelas salah, karena di dalam ayat ini mengajarkan bahwa Allah menguji hati manusia.

Kemudian, ayat 6 ini dilanjutkan dengan penjelasan mengenai dua bentuk keadilan Allah terhadap tindakan manusia, yaitu kemuliaan bagi mereka yang hidup baik dan murka/penderitaan bagi mereka yang hidup tidak baik. Mari kita akan menyelidikinya.
Kedua bentuk pahala atau tindakan keadilan Allah bagi manusia ini berlaku bagi semua orang tanpa kecuali dan di dalam konteks penulisan kitab ini, orang-orang Yahudi dan Yunani. Ayat 7 dan 10 mengajarkan, “hidup kekal kepada mereka yang dengan tekun berbuat baik, mencari kemuliaan, kehormatan dan ketidakbinasaan, …, kemuliaan, kehormatan dan damai sejahtera akan diperoleh semua orang yang berbuat baik, pertama-tama orang Yahudi, dan juga orang Yunani.” Dua ayat ini sengaja saya gabungkan agar kita mendapatkan makna orang pertama yang mendapatkan pahala dari Allah, yaitu orang baik. Orang-orang dunia selalu mengajarkan bahwa orang baik pasti mendapatkan surga, tetapi sebenarnya mereka tidak mengerti artinya orang baik. Di dalam kedua ayat ini, orang baik didefinisikan sebagai orang yang berbuat baik (Bahasa Indonesia Sehari-hari : “orang yang suka berbuat baik”) dan orang yang mengejar hal-hal yang tidak fana. Pertama, orang baik diartikan sebagai orang yang suka berbuat baik. Kalau kita mau meneliti lebih dalam, siapakah orang di dunia yang suka berbuat baik ? Bukankah orang-orang dunia lebih menyukai kalau orang lain berbuat baik bagi dirinya, sedangkan dirinya enggan berbuat baik bagi orang lain atau yang lebih parah lagi orang suka berbuat baik karena ingin mendapatkan “surga” ?! Atau bahkan ada orang dunia yang merasa diri berbuat baik tetapi karena tidak ada orang yang menyadarinya, maka orang yang telah berbuat baik itu mengatakan kepada orang lain bahwa dirinya sudah berbuat baik. Inikah berbuat baik ? Kalau ada seorang yang mengatakan bahwa dirinya sudah berbuat baik, di titik pertama, orang itu sudah tidak baik, karena orang yang berbuat baik tidak akan merasa diri baik. Tuhan Yesus pernah mengajarkan, “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit.” (Matius 9:12). Ayat ini dikatakan oleh Kristus sebagai respon terhadap perkataan orang-orang Farisi kepada para murid-Nya, “Mengapa gurumu makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?” (Matius 9:11). Perkataan ini dilontarkan oleh orang-orang Farisi karena mereka beranggapan bahwa orang-orang berdosa layak untuk dijauhi, sedangkan seharusnya Kristus duduk dan bergaul bersama mereka. Bagi Kristus, yang membutuhkan kebenaran dan Injil bukanlah orang-orang Farisi yang selalu menganggap diri baik, tidak berdosa, dll (yang sebenarnya lebih parah), tetapi orang-orang berdosa, seperti para pemungut cukai, dll. Orang-orang Farisi inilah gambaran orang-orang sombong di abad postmodern ini yang menganggap diri hebat, pintar, baik, dll lalu menghina Kristus, padahal sebenarnya mereka sedang menimbun murka-Nya pada diri mereka sendiri. Sedangkan para pemungut cukai dan orang berdosa lainnya mungkin di mata masyarakat mereka melakukan tindakan yang jijik, tetapi jika mereka dipanggil untuk datang kepada Kristus, itu jauh lebih baik daripada orang-orang Farisi dan orang-orang lain yang terus menipu diri dengan mengatakan bahwa dirinya sudah berbuat baik. Jadi, apakah standar orang bisa berbuat baik atau tidak ? Standarnya adalah anugerah Allah. Manusia bisa suka berbuat baik karena Allah menganugerahkan perbuatan baik itu di dalam dirinya. Anugerah Allah itu bisa berupa keselamatan yang telah diperolehnya secara cuma-cuma. Seseorang bisa suka berbuat baik karena ia telah menerima perbuatan baik dari luar, sehingga ia bisa mendemonstrasikan perbuatan baik yang sesungguhnya. Itulah seharusnya yang dilakukan oleh anak-anak Tuhan yang telah ditebus dan diselamatkan dari dosa melalui penebusan Kristus. Penebusan Kristus memungkinkan manusia pilihan-Nya mampu berbuat baik (Roma 12:1-2 ; 1 Korintus 6:20 ; Yakobus 2:26). Kedua, orang yang baik adalah orang yang mengejar hal-hal yang tidak fana. Hal ini digambarkan di dalam ayat 7 dalam Roma 2, yaitu, “mereka yang dengan tekun berbuat baik, mencari kemuliaan, kehormatan dan ketidakbinasaan.” Hal-hal yang tidak fana ini dideskripsikan ke dalam tiga bentuk, yaitu, kemuliaan, kehormatan dan ketidakbinasaan. Albert Barnes di dalam tafsirannya, Albert Barnes’ Notes on the Bible mengemukakan, “Glory and honour and immortality - The three words used here, denote the happiness of the heavenly world.” (=Kemuliaan dan hormat dan ketidakfanaan. Ketiga kata yang digunakan di sini, berarti kebahagiaan dunia rohani/surgawi.) Orang baik bukan mengejar hal-hal yang fana, misalnya kekayaan, umur panjang, dll, tetapi mengejar hal-hal yang tidak fana, karena pada dasarnya orang baik sadar bahwa yang baik tidak mungkin bisa didapatkan dari dunia yang berdosa (tidak baik), tetapi dari Allah yang kekal. Hal-hal yang tidak fana ini digambarkan dalam bentuk pertama, yaitu kemuliaan (glory). Kata glory ini dalam bahasa Yunani doxa yang bisa diartikan pujian (praise), penyembahan (worship), kemuliaan (glory), dll. Dari arti ini, orang baik tidak mengejar pujian, penyembahan dan kemuliaan duniawi atau dari orang lain, tetapi mereka akan mengejar pujian dari Allah, karena itulah yang terpenting, sama seperti yang Paulus ajarkan, “Jadi bagaimana sekarang: adakah kucari kesukaan manusia atau kesukaan Allah? Adakah kucoba berkenan kepada manusia? Sekiranya aku masih mau mencoba berkenan kepada manusia, maka aku bukanlah hamba Kristus.” (Galatia 1:10). Anak-anak Tuhan perlu belajar bagaimana mencari pujian dan kesenangan hanya dari Allah saja, karena itulah yang paling berharga bagi mereka. Caranya ? Taat mutlak kepada perintah-Nya dan berani berkorban atas apa yang dituntut-Nya dari kita. Ketika kita mencari pujian dari Allah, kita sebenarnya mengetahui siapa yang kita percayai dengan sesungguh-sungguhnya. Sedangkan, ketika kita mulai bermain-main dan mencari pujian dari manusia, kita tidak sedang mempercayai Allah, tetapi diri sendiri (meskipun kita enggan mengatakannya secara terus terang). Bentuk kedua dari hal-hal yang tidak fana adalah hormat (Inggris : honour). Kata ini dalam bahasa Yunani timē bisa berarti nilai (value), harga diri (esteem), dll. Orang baik adalah orang yang mengejar nilai yang tinggi. Dari mana mereka mendapatkan nilai yang tinggi ? Mereka mendapatkannya ketika mereka sudah menemukan obyek sekaligus subyek nilai tertinggi dan meletakkan seluruh kehidupannya di dalam nilai tertinggi itu. Dunia kita sedang mengalami kebingungan nilai, sehingga tidak usah heran, mereka tidak mengerti nilai hidupnya sendiri. Tetapi puji Tuhan, di tengah-tengah kacaunya dunia, anak-anak Tuhan yang sudah memiliki nilai tertinggi yaitu Tuhan Allah sendiri dan karya penebusan Kristus, mereka pasti juga mampu mengejar nilai yang tinggi. Mereka akan mampu menilai apapun yang ada di dunia bukan dengan kacamata sekular/duniawi yang fana, tetapi dari kacamata surgawi atau kedaulatan Allah. Inilah sudut pandang theologia Reformed. Theologia Reformed yang sudah menemukan jangkar nilai yang tinggi tidak akan pernah mau menilai segala sesuatu dengan kacamata dunia, tetapi dari perspektif kedaulatan Allah. Itu pulalah yang membedakan orang-orang Kristen yang merupakan anak-anak Tuhan dengan orang-orang “Kristen” palsu yang selalu anti Tuhan di dalam kehidupan sehari-hari (atheisme praktis). Bentuk ketiga dari hal-hal yang tidak fana, yaitu ketidakbinasaan (Inggris : immortality). Kata ini di dalam bahasa Yunani aphtharsia bisa berarti unending existence (keberadaan yang tiada akhirnya). Ini berarti orang baik tidak terus mengejar kekayaan, kenikmatan duniawi, seks, dll, tetapi mengejar apa yang bernilai kekekalan yang tidak mungkin hilang dimakan waktu. Tuhan Yesus juga mengajarkan, “carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (Matius 6:33) Bagi anak-anak Tuhan, Kerajaan Allah dan kebenarannya menjadi satu-satunya nilai ultimat yang harus dikejar, karena itu bernilai kekekalan dan tidak mungkin bisa hilang. Kristus juga mengajarkan, “Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya.” (Matius 6:20). Harta di sorga yang dimaksud oleh Kristus adalah Kerajaan Allah dan kebenarannya (ayat 33). Tidak berarti kita tidak perlu mencari uang, dll. KeKristenan memperbolehkan manusia itu kaya, tetapi hendaklah kekayaan itu tidak menjadi ilah di dalam hidup anak-anak Tuhan. KeKristenan juga tidak melarang orang mencari dan mendapatkan uang, tetapi hendaklah uang itu tetap ada di bawah kontrol manusia untuk memuliakan Allah.

Bagi orang-orang baik inilah, Paulus mengatakan bahwa mereka memperoleh, “hidup kekal, kemuliaan, kehormatan dan damai sejahtera.” Keempat pahala dari Allah ini murni hanya bisa diberikan oleh Allah yang kekal. Dunia kita tidak mampu memberikan hidup kekal, karena dunia sendiri bersifat sementara. Begitu pula halnya dengan kemuliaan, kehormatan dan damai sejahtera yang tidak mungkin diberikan oleh dunia, karena dunia sendiri berdosa, najis dan penuh konflik. Keempat pahala ini melampaui dan berbeda total dari apa yang dunia bisa berikan. Pahala ini tidak boleh menjadi perangsang kita untuk berbuat baik, tetapi hanya mengingatkan kita. Kita bisa berbuat baik, karena Allah lah yang mengerjakan perbuatan baik itu di dalam diri kita (Filipi 2:13). Tindakan Allah yang mengerjakan perbuatan baik itu di dalam diri kita tetap harus kita responi dengan menaati-Nya secara mutlak. Ingatlah, iman harus disertai perbuatan karena tanpa perbuatan baik yang beres yang dihasilkan dari iman yang sejati, maka iman itu sia-sia adanya.

Sedangkan, pada ayat 8 dan 9, Paulus memperingatkan, “murka dan geram kepada mereka yang mencari kepentingan sendiri, yang tidak taat kepada kebenaran, melainkan taat kepada kelaliman. Penderitaan dan kesesakan akan menimpa setiap orang yang hidup yang berbuat jahat, pertama-tama orang Yahudi dan juga orang Yunani,” Kedua ayat ini merupakan suatu kontras yang jauh dari ayat 7 dan 10 (orang baik). Kedua ayat ini sedang berbicara dua kriteria dari orang jahat, yaitu orang yang berbuat jahat (Bahasa Indonesia Sehari-hari : “orang yang suka berbuat jahat”) dan orang yang melawan Allah. Pertama, orang jahat adalah orang yang suka berbuat jahat. Kata “suka” menjadi kata yang bagi saya cukup penting, karena kata ini mengindikasikan adanya suatu keinginan di dalam hati manusia yang menyenangi perbuatan jahat. Kesukaan berbuat jahat timbul sebagai akibat dari dosa. Ketika Hawa mulai meragukan perintah Allah setelah mendengarkan perkataan iblis bahwa pada saat ia memakan buah pengetahuan yang baik dan jahat, ia tidak akan mati, pada saat itu Hawa sedang meluapkan perasaan hati yang jahat. Dari peristiwa itu, Alkitab mengatakan bahwa Adam pun juga suka melakukannya dan pada zaman Nuh, orang-orang juga suka melakukan perbuatan jahat. Dosa mengakibatkan manusia buta terhadap apa yang (sudah, sedang dan akan) dilakukannya. Kedua, orang jahat bukan hanya suka berbuat jahat, tetapi juga melawan Allah. Tindakan melawan Allah ini digambarkan dalam dua bentuk, yaitu, pertama, mencari kepentingan sendiri atau mementingkan diri sendiri dan kedua, taat kepada kelaliman (tidak taat kepada Allah). Orang jahat bukan hanya orang yang mencuri, merampok, dll, tetapi orang yang pada intinya melawan Allah untuk memuaskan keinginannya sendiri. Inilah gambaran yang Paulus nubuatkan di dalam 2 Timotius 4:3-4, “Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng.” Seorang yang suka mementingkan diri sendiri tentulah orang yang sedang melawan Allah, karena bukan kehendak Allah yang diutamakannya, tetapi kehendaknya sendiri. Bedakanlah orang-orang Kristen sejati yang terus-menerus ingin mencari kehendak-Nya dan bersedia ditegur dosanya ketika mereka berbuat dosa/salah (asalkan sesuai dengan Alkitab), sebaliknya orang-orang “Kristen” palsu terus-menerus ingin mencari kehendaknya sendiri agar diterima (kalau perlu dipaksakan) oleh orang lain dan jika orang ini ditegur, orang ini pasti marah, karena “privasi”nya sedang diganggu. Mereka bukan hanya mementingkan diri sendiri, tetapi juga sedang menaati kelaliman (Yunani : adikia ; Inggris : injustice) atau tidak menaati Allah. Itulah esensi sebenarnya dari dosa. Dosa bukan sekedar membunuh, tetapi dosa adalah tidak taat kepada perintah-Nya atau melawan perintah-Nya.

Bagi merekalah, Allah menjatuhkan, “murka dan geram, penderitaan dan kesesakan”. Mungkin ada orang Kristen yang bertanya bukankah di dalam kitab Mazmur diajarkan bahwa orang jahat kelihatannya makmur, sedangkan orang baik kelihatannya menderita, lalu mengapa di dalam bagian ini mengatakan hal yang berkontradiksi ? Perhatikan. Mungkin saja orang jahat kelihatannya makmur, tetapi sejujurnya di dalam hati mereka yang terdalam, mereka sedang menderita dan tersesak. Mereka yang berbuat jahat akan diliputi oleh desakan hati nurani yang tidak habis-habis yang menghakimi mereka. Itulah titik awal penderitaan dan kesesakan bagi mereka. Lalu, titik ini akan berakhir kelak pada hari Penghakiman Anak Domba ketika mereka semua yang berbuat jahat pasti mengalami kematian kedua di dalam neraka. Sedangkan, mereka yang berbuat baik (anak-anak Tuhan di dalam Kristus) mungkin seolah-olah kelihatannya (harus) menderita, tetapi mereka sebenarnya sedang menantikan janji kedatangan Kristus yang kedua yang akan menjemput mereka untuk menikmati kesukacitaan kekal bersama-Nya.

Hari ini, setelah kita mendengarkan berita Firman bahwa Allah kita adalah Allah yang Mahaadil yang akan memberikan pahala bagi anak-anak-Nya sesuai perbuatannya, maukah kita bertobat dan kembali taat kepada-Nya ketika kita mulai menyimpang dari jalan-Nya ? Amin. Soli Deo Gloria.

Matius 3:13-15 : THE PARADOXICAL POSITION

Ringkasan Khotbah : 23 Mei 2004

The Paradoxical Position
oleh : Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 3: 13-15




Kita telah memahami bahwa keselamatan manusia bukan didasarkan pada baptisan karena dengan demikian hal itu berarti kita telah melecehkan Kritus dan Karya Penebusan-Nya dan kita juga melecehkan anugerah Allah yang telah memilih kita dari dunia ini bahkan sebelum dunia dijadikan. Kalau keselamatan hanya diperoleh melalui baptisan, lalu bagaimana dengan pernyataan Tuhan Yesus pada penjahat yang bertobat di sisi-Nya: Hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus (Luk. 23:43). Iman Kristen sejati mutlak didasarkan pada Kritus dan karya penebusan-Nya maka orang yang melawan pribadi Kristus adalah bidat. Hal itu berarti ia telah meresikokan diri untuk dibuang ke dalam api yang tak terpadamkan. Ingat, manusia merupakan satu-satunya makhluk yang dapat merelasikan unsur kekekalan dan kesementaraan maka manusia harus bertanggung jawab terhadap seluruh perbuatannya di dunia.
Matius 3:13-17 seharusnya tidak boleh dilepaskan dari perikop sebelumnya karena ayat ini berkesinambungan dengan ayat sebelumnya. Dengan adanya judul yang diberikan LAI seolah-olah memberikan gambaran ada dua kejadian yang berbeda, yakni ayat 1-12 merupakan pendahuluan dan ayat 13-17 merupakan inti dari kejadian dimana tokoh utamanya, Yesus Kristus yang dibicarakan Yohanes Pembaptis sebelumnya telah muncul. Untuk lebih memahami ayat ini maka kita harus kembali pada kondisi jaman saat itu, abad 27M dimana semua orang ketika itu mengenal Tuhan Yesus hanya sebatas seorang anak tukang kayu atau sebatas saudara sepupu Yohanes Pembaptis; dan sama seperti yang lain Ia datang untuk dibaptiskan. Maka dapatlah disimpulkan, orang pasti lebih mengenal Yohanes Pembaptis daripada Tuhan Yesus. Orang Farisi dan orang Saduki pun meminta diri untuk dibaptis bahkan mereka tidak membantah sepatah kata pun ketika Yohanes Pembaptis menegur mereka.
I. The Paradoxical Position
Perjumpaan yang terjadi antara Yesus dengan Yohanes Pembaptis ini merupakan perjumpaan yang sangat penting dan kritis. Orang lebih menghormati Yohanes Pembaptis dibanding Yesus terbukti orang Farisi dan orang Saduki, orang yang terhormat datang minta dibaptis. Mereka tidak tahu dan tidak menyangka kalau yang datang itu adalah Yesus, Mesias yang dinantikan namun Yohanes Pembaptis peka karena itu ia dapat berkata, “Akulah yang perlu dibaptis oleh-Mu“ (Mat. 3:14). Bandingkanlah dengan pertemuan yang terjadi antara Yesus dan Pilatus; pada saat itu banyak orang sudah mengenal siapa Yesus bahkan Pilatus pun tahu namun ia justru tidak mau mengenal kebenaran sejati tetapi malah menghina kebenaran dengan kalimat yang mengejek, “Apa itu kebenaran?“ Pilatus menganggap bahwa dirinyalah yang paling berkuasa karena mati hidupnya Yesus berada di tangan-Nya; ia tidak menyadari bahwa kuasa yang ada padanya sekarang adalah pemberian dari Bapa dan sifatnya sementara. Biarlah pertemuan yang terjadi, yaitu pribadi kita dengan Kristus, kita sadari sebagai momentum yang terpenting dalam hidup kita.
Dalam hal ini Yohanes Pembaptis mempunyai posisi lebih tinggi namun ia justru memposisikan dirinya di tingkat yang lebih rendah dan memposisikan Kristus di posisi yang paling sentral di tengah-tengah dunia. Dapatlah dibayangkan pada saat itu orang tentu kaget mendengar perkataan Yohanes Pembaptis yang selama ini bagi mereka adalah seorang yang terhormat yang dapat disejajarkan dengan orang Farisi dan orang Yahudi. Bukanlah hal yang mudah bagi seseorang yang mempunyai kedudukan tinggi dan dihormati masyarakat merendahkan diri di hadapan orang lain karena itu dibutuhkan suatu kerelaan hati. Apalagi sekarang manusia di dunia telah dididik, ditipu, ditekan dan dimanipulasi untuk menyatakan diri sebagai yang nomor satu, I am the one, I am the highest, I am the most important. Merupakan hal yang sulit bagi manusia untuk menyadari dan mengakui bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa meski di dunia ia dihormati. Inilah paradoxical position.
Bukanlah hal yang mudah bagi kita untuk menempatkan diri kita di tengah-tengah alam semesta karena banyak godaan dan keinginan untuk kita menjadi the most important person, kecuali kita kembali pada Tuhan Yesus maka kita akan tahu dengan jelas esensi manusia sejati. Orang yang selalu mempunyai keinginan untuk menjadi nomor satu dan dihormati maka ia semakin dihinakan orang dan Tuhan. First thing first, put yourself in right position, hal yang utama tempatkan dirimu di posisi yang tepat di hadapan Tuhan maka hidupmu akan tertata dengan baik. Yohanes Pembaptis telah memberikan teladan bagi kita supaya kita menyadari akan keberadaan diri di hadapan Yesus sehingga kita dapat berkata, “Dia yang harus makin bertambah dan aku yang harus makin berkurang“.
II. Ketaatan Menjalankan Kehendak Allah
Yohanes Pembaptis menyadari kalau dirinya tidak layak membaptis Tuhan Yesus justru Yesuslah yang seharusnya membaptiskan dia namun Tuhan Yesus tahu bahwa sudah menjadi rencana dan kehendak Allah kalau Diri-Nya dibaptiskan oleh Yohanes Pembaptis dan Yesus pun taat. Yohanes Pembaptis menyadarkan kita agar tidak mudah terjebak dengan fenomena karena topeng dapat membutakan kita untuk melihat realita dengan tepat. Dua macam topeng yang biasa dgunakan: 1) dia ingin menjadi seperti siapa maka topeng itulah yang akan ia kenakan. Biasanya, orang akan meniru semua tingkah laku, gaya hidup, dan lain-lain dari tokoh yang diidolakan; 2) orang ingin dia untuk menjadi seperti apa maka topeng itulah yang akan ia kenakan. Orang akan melakukan apa saja untuk menutupi segala kekurangan yang ada pada dirinya supaya ia dihormati dan orang mempunyai kesan baik terhadap dirinya.
Tuhan Yesus sepanjang hidup-Nya tidak pernah menampilkan diri-Nya seperti yang dipikirkan manusia. Dengan kacamata manusia berdosa maka orang akan sulit melihat diri Yesus yang sejati; manusia selalu melihat apa yang di depan mata. Kita sudah terbiasa dengan segala bentuk topeng akibatnya kita sulit mengerti esensi yang sejati; kita sudah terbiasa dengan segala macam kebohongan sehingga kita sulit melihat kejujuran. Biarlah kita mempunyai kepekaan sehingga mata rohani kita dapat melihat Kristus yang sejati. Yohanes Pembaptis terbiasa dengan konsep bahwa orang yang datang untuk dibaptis pastilah orang berdosa dan sudah bertobat tetapi ada juga orang yang tidak mau bertobat namun minta dibaptis seperti orang Farisi dan orang Saduki. Berbeda dengan Tuhan Yesus, Ia tidak berdosa sehingga tidak perlu dibaptiskan namun Dia datang untuk dibaptis demi untuk menggenapkan rencana Allah. Hal ini mengubah seluruh konsep berpikir Yohanes Pembaptis, dengan waktu singkat.
Hal yang paling menakutkan dan memprihatinkan adalah konsep dunia modern telah berhasil masuk dalam gereja dan orang terjebak dengan ajaran teologi humanistik, yaitu teologi yang mengajarkan bahwa Tuhan membutuhkan manusia sebagai obyek kasih-Nya dan supaya nama Tuhan tidak menjadi rusak maka Ia melimpahkan berkat untuk manusia. Salah! Justru manusia yang membutuhkan Tuhan karena tanpa Tuhan, hidup manusia hampa dan sia-sia. Kita juga menolak konsep deistik, yaitu suatu konsep yang menyatakan bahwa Tuhan tidak tahu akan apa yang terjadi esok hari sehingga segala sesuatunya tergantung manusia. Hati-hati, dengan akal licik iblis yang selalu memutarbalikkan Firman; Allah adalah Allah yang Maha Tahu sebaliknya justru iblis tidak pernah tahu hari esok karena kalau iblis tahu Yesus akan bangkit, pasti ia tidak akan membunuh Kristus.
Konsep dunia telah merasuk manusia maka tidaklah heran kalau konsep pelayanan pun menjadi rusak. Para hamba Tuhan beranggapan bahwa hidupnya tergantung pada jemaat yang dilayani. Lalu dimana posisi kita, menjadi hamba Tuhan atau hamba jemaat? Jangan pernah anda berpikir bahwa kekayaan, kepandaian, talenta dan segala sesuatu yang ada padamu dapat menguasai Tuhan dan gereja. Ingat, semua itu asalnya dari Tuhan maka kita harus mengembalikannya pada Tuhan. Hati-hati jangan menilai segala sesuatu secara fenomena sehingga kita tidak menjadi salah langkah dan jangan memakai cara-cara dunia untuk menggarap hal yang bersifat spiritual dengan mengadakan berbagai macam kegiatan sosial seperti bazaar, kegiatan seni, dll karena dengan demikian kita berarti menurunkan ke titik terendah. Akan tetapi, biarlah kita tetap mengandalkan kekeuatan Tuhan karena Dia pasti akan menolong setiap anak-Nya untuk menggenapkan rencana-Nya di dunia. Sebagai anak Tuhan, janganlah kita dikecohkan dengan segala macam tampilan luar. Biarlah orang melihat keaslian harkat hidup kita tanpa ditutupi oleh berbagai macam topeng sehingga kita dapat menjadi saksi-Nya yang hidup.
III. Momentum Penggenapan Rencana Allah
Yohanes Pembaptis menyadari bahwa pertemuannya dengan Tuhan Yesus bukanlah pertemuan yang biasa tetapi merupakan suatu momentum yang dinamis, yakni pertemuan yang menggenapkan rencana Allah. Perjumpaan ini menjadi titik final karena beberapa saat setelah dibaptis, Tuhan Yesus kemudian berpuasa selama 40 hari 40 malam untuk menyiapkan diri masuk dalam pelayanan dan iblis mencobai-Nya di padang gurun tapi Tuhan Yesus menang dalam pencobaan itu. Mulai saat itu, Tuhan Yesus memberitakan berita yang sama seperti Yohanes Pembaptis, yaitu: “Bertobatlah Kerajaan Sorga sudah dekat“. Pertemuan antara Tuhan Yesus dan Yohanes Pembaptis bukan untuk mementingkan kepentingan salah satu dari mereka tapi demi untuk menggenapkan rencana Allah.
Dalam berbagai aspek, kita selalu bertemu dengan orang lain namun hendaklah dalam setiap pertemuan, kita senantiasa memikirkan kepentingan Tuhan sehingga setiap momen menjadi titik penggenapan rencana Allah. Hal inilah yang membedakan anak Tuhan dengan dunia. Kalau kita bertemu dengan anak dunia maka mereka pasti hanya memikirkan kepentingan salah satu pihak karena mereka tidak mengerti apa yang menjadi rencana Allah. Ingat, setiap anak Tuhan harus menggenapkan rencana Allah di dunia maka hendaklah kita melihat setiap momentum dengan mata rohani yang memandang pada Kristus. Tuhan Yesus dan Yohanes Pembaptis tahu bahwa pertemuan mereka merupakan hal yang istimewa dan sudah direncanakan Allah dari sejak kekekalan.
Secara manusia, Kristus tidak perlu dibaptis karena Ia tidak berdosa; secara Allah, Ia juga tidak perlu dibaptiskan justru Ia yang seharusnya membaptis. Namun Yesus taat pada kehendak Bapa; Ia harus menggenapkan hukum Taurat sama halnya dengan Yohanes Pembaptis yang sadar bahwa ia tidak layak membaptis Kristus tetapi ia taat kehendak Bapa. Biarlah di tengah dunia ini ketika anak Tuhan saling bertemu, kita boleh menggenapkan rencana Tuhan sehingga pekerjaan Tuhan boleh dikerjakan meski hanya segelintir orang. Adalah salah kalau kita selalu berpikir bahwa pekerjaan Tuhan di dunia harus dikerjakan oleh banyak orang. Tuhan Yesus hanya memakai sedikit orang untuk menggarap dunia tapi kita tahu pasti kuasa-Nya akan memampukan kita yang kecil dan sedikit ini untuk menggarap dunia. Biarlah gereja Tuhan dibangun oleh anak-anak Tuhan sejati yang rela menanggalkan segala kepentingan pribadi demi untuk menggenapkan rencana Tuhan.
Menjalankan rencana Tuhan bukanlah hal yang mudah karena dengan akal liciknya iblis akan selalu berusaha menggoda kita tapi janganlah takut dan kuatir karena Dia pasti akan menolong kita. Pengenalan akan Kristus harus mengubah paradigma kita yang salah; kita harus dapat merelasikan antara kesementaraan dengan kekekalan. Janganlah kita menjadi serupa dengan dunia yang melakukan segala sesuatu hanya untuk kepentingan diri. Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, oleh Dia dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya (Rm. 11:36). Setiap hal dalam hidup yang kita jalani setiap harinya adalah momentum untuk menggenapkan rencana Allah. Setiap pertemuan kita pasti bukanlah hal yang kebetulan karena itu hendaklah kita peka terhadap setiap momentum yang Tuhan perkenankan untuk kita alami sehingga seperti Yohanes Pembaptis kita dapat berkata, “Tuhan, aku turut kehendak-Mu.“ Amin.

(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber :

Resensi Buku-13 : THE LAMB AND THE FÜHRER (DR. RAVI ZACHARIAS, D.D.)

...Dapatkan segera...
Buku Seri Percakapan Besar :
THE LAMB AND THE FÜHRER (Sang Anak Domba dan Si Tangan Besi)
Percakapan Yesus dengan Hitler


oleh : DR. RAVI ZACHARIAS

Penerbit : PIONIR JAYA (Bringing Truth to Generation), Bandung ; Desember 2006

Penerjemah : Ev. Dra. Trivina Ambarsari S., S.Th.






MELANGKAH MASUK KE DALAM BUNKER HITLER
dan terbenam dalam suatu percakapan imajiner antara Yesus Kristus dengan Hitler.

Adolf Hitler telah menumpahkan darah jutaan manusia demi dirinya sendiri. Yesus Kristus mencucurkan darah-Nya sendiri demi jutaan manusia. Hitler menyatakan dirinya sebagai “allah” dan penakluk jutaan massa. Yesus Kristus adalah Allah di dalam wujud seorang manusia yang rendah. Hitler menciptakan neraka di tengah-tengah kehidupan banyak orang. Yesus memikul neraka untuk menyelamatkan banyak orang. Nama Hitler identik dengan kekuasaan, kejahatan, dan pembantaian ras. Nama Yesus melukiskan kasih, kedamaian, dan kehidupan.

Tempatkan dua tokoh ini di dalam satu ruangan disertai tokoh-tokoh lain yang hidup di rezim Hitler di mana salah satunya adalah Deitrich Bonhoeffer, Anda tidak akan bisa mempercayai kuping Anda akan apa yang Anda dengarkan dari pembicaraan mereka.

Buku ini mengangkat isu tentang kehidupan dan kematian, kejahatan dan kekejaman atas pelecehan nilai hidup manusia, dan banyak lagi isu-isu di dunia modern saat ini.

Jangan lewatkan seri percakapan besar abad ini !





Profil DR. RAVI ZACHARIAS :
DR. RAVI ZACHARIAS lahir di Madras, India tahun 1946. Beliau dikenal sebagai seorang apologetika Kristen dari Kanada, Amerika. Beliau dan keluarganya pindah ke Toronto, Kanada, ketika beliau masih sebagai seorang remaja, tetapi sekarang beliau berada di Atlanta, Georgia. Beliau terlahir dari keluarga pandita Hindu (kasta Nambudiri Brahmin), kemudian beliau bertobat kepada Tuhan Yesus dan menyerahkan diri menjadi hamba-Nya yang setia. Beliau mendapatkan gelar Master of Divinity (M.Div.) dari Trinity International University di Deerfield, Illinois. Beliau menguasai banyak disiplin ilmu, di antaranya perbandingan agama, aliran agama, dan filsafat, dan oleh karena itu beliau memimpin departemen Penginjilan dan Pemikiran Kontemporer di Alliance Theological Seminary selama 3,5 tahun. Beliau mendapatkan anugerah gelar Doctor of Divinity (D.D.) baik dari Houghton College, NY, maupun dari Tyndale College and Seminary, Toronto. Beliau juga dianugerahi gelar Doctor of Laws (LL.D.) dari Asbury College di Kentucky. Beliau sekarang menjadi dosen tamu di Wycliffe Hall, Oxford University di Oxford, England.

Beliau juga menjadi pembicara utama pada the
National Day of Prayer di Washington, D.C. dan the Annual Prayer Breakfast for the United Nations di New York City. Beliau telah menulis beberapa buku tentang keKristenan, di antaranya, Can Man Live Without God? (1994), The Lotus and the Cross: Jesus Talks with Buddha (2001), and Sense and Sensuality: Jesus Talks with Oscar Wilde (2002). Selain itu, beliau juga adalah Presiden Direktur dari Ravi Zacharias International Ministries yang berpusat di Norcross, Georgia. Pada tahun 2006 ini, pelayanan beliau telah mencapai lebih dari 33 tahun.

Pada undangan dari Billy Graham, beliau menjadi pembicara pleno di dalam International Conference for Itinerant Evangelists di Amsterdam pada tahun 1983, 1986, and 2000. Beliau bersama istri, Margie, memiliki tiga orang anak, yaitu; Sarah, yang menikah dengan Jeremy, Naomi, dan Nathan.